Anda di halaman 1dari 25

AUTISME

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 6

MAHDALIFAH
INTAN SRI WAHYUNI

DOSEN PEMBIMBING: ADE TURSINA, M.Pd

PROGRAM STUDI PIAUD

FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI COT KALA

2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang hingga saat ini masih memberikan
kita nikmat iman dan kesehatan, sehingga saya diberi kesempatan yang luar biasa
ini yaitu kesempatan untuk menyelesaikan tugas penulisan makalah tentang
“Autisme”
Shalawat serta salam tidak lupa selalu kita haturkan untuk junjungan nabi
gung kita, yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan petunjukan
Allah SWT untuk kita semua, yang merupakan sebuah pentunjuk yang paling
benar yakni Syariah agama Islam yang sempurna dan merupakan satu-satunya
karunia paling besar bagi seluruh alam semesta.
Selain itu kami juga sadar bahwa pada makalah kami ini dapat ditemukan
banyak sekali kekurangan serta jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, kami
benar-benar menanti kritik dan saran untuk kemudian dapat kami revisi dan kami
tulis di masa yang selanjutnya, sebab sekali kali lagi kami menyadari bahwa tidak
ada sesuatu yang sempurna tanpa disertai saran yang konstruktif.
Di akhir kami berharap makalah sederhana kami ini dapat dimengerti oleh
setiap pihak yang membaca. Kami pun memohon maaf yang sebesar-besarnya
apabila dalam makalah kami terdapat perkataan yang tidak berkenan di hati.

Langsa, 1 Januari 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGENTAR .................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 3

2.1 Pengertian Autisme ............................................................................... 3

2.2 Penyebab Autisme ................................................................................. 6

2.3 Klasifikasi Anak Autis .......................................................................... 7

2.4 Hambatan-Hambatan Anak Autis ......................................................... 9

2.5 Peranan Orang Tua, Guru, Dan Masyarakat Dalam Pendidikan Anak
Autisme ....................................................................................................... 12

BAB III PENUTUP ........................................................................................ 21

3.1 Kesimpulan ............................................................................................ 21

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 22

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Istilah autisme dikemukakan oleh Dr Leo Kanner pada 1943. Ada banyak
definisi yang diungkapkan para ahli. Chaplin menyebutkan: “Autisme merupakan
cara berpikir yang dikendalikan oleh kebutuhan personal atau oleh diri sendiri,
menanggapi dunia berdasarkan penglihatan dan harapan sendiri, dan menolak
realitas, keasyikan ekstrem dengan pikiran dan fantasi sendiri”.
Pakar lain mengatakan: “Autisme adalah ketidaknormalan perkembangan
yang sampai yang sampai sekarang tidak ada penyembuhannya dan gangguannya
tidak hanya mempengaruhi kemampuan anak untuk belajar dan berfungsi di dunia
luar tetapi juga kemampuannya untuk mengadakan hubungan dengan anggota
keluarganya.”
Semua masalah perilaku anak autis menunjukkan 3 serangkai gangguan
yaitu: kerusakan di bidang sosialisasi, imajinasi, dan komunikasi. Sifat khas pada
anak autistik adalah: (1) Perkembangan hubungan sosial yang terganggu, (2)
gangguan perkembangan dalam komunikasi verbal dan non-verbal, (3) pola
perilaku yang khas dan terbatas, (4) manifestasi gangguannya timbul pada tiga
tahun yang pertama.
Teori awal menyebutkan, ada 2 faktor penyebab autisme, yaitu: (1). Faktor
psikososial, karena orang tua “dingin” dalam mengasuh anak sehingga anak
menjadi “dingin” pula; dan (2). Teori gangguan neuro-biologist yang
menyebutkan gangguan neuroanatomi atau gangguan biokimiawi otak. Pada 10-
15 tahun terakhir, setelah teknologi kedokteran telah canggih dan penelitian mulai
membuahkan hasil. Penelitian pada kembar identik menunjukkan adanya
kemungkinan kelainan ini sebagian bersifat genetis karena cenderung terjadi pada
kedua anak kembar.
Meskipun penyebab utama autisme hingga saat ini masih terus diteliti,
beberapa faktor yang sampai sekarang dianggap penyebab autisme adalah: faktor
genetik, gangguan pertumbuhan sel otak pada janin, gangguan pencernaan,

1
keracunan logam berat, dan gangguan auto-imun. Selain itu, kasus autisme juga
sering muncul pada anak-anak yang mengalami masalah pre-natal, seperti:
prematur, postmatur, pendarahan antenatal pada trisemester pertama-kedua, anak
yang dilahirkan oleh ibu yang berusia lebih dari 35 tahun, serta banyak pula
dialami oleh anak-anak dengan riwayat persalinan yang tidak spontan.
Gangguan autisme mulai tampak sebelum usia 3 tahun dan 3-4 kali lebih
banyak pada anak laki-laki, tanpa memandang lapisan sosial ekonomi, tingkat
pendidikan orang tua, ras, etnik maupun agama, dengan ciri fungsi abnormal
dalam tiga bidang: interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku yang terbatas dan
berulang, sehingga kesulitan mengungkapkan perasaan maupun keinginannya
yang mengakibatkan hubungan dengan orang lain menjadi terganggu. Gangguan
perkembangan yang dialami anak autistik menyebabkan tidak belajar dengan cara
yang sama seperti anak lain seusianya dan belajar jauh lebih sedikit dari
lingkungannya bila dibandingkan dengan anak lain.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian autism?
2. Apa penyebab autism?
3. Bagaimana klasifikasi anak autis?
4. Apa hambatan-hambatan anak autis?
5. Bagaimana peranan orang tua, guru, dan masyarakat dalam pendidikan
anak autism?

2
BAB I

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Autisme


Kata autisme berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yaitu
‘aut’ yang berarti ‘diri sendiri’ dan ‘ism’ yang secara tidak langsung menyatakan
‘orientasi atau arah atau keadaan (state). Sehingga autism dapat didefinisikan
sebagai kondisi seseorang yang luar biasa asik dengan dirinya sendiri (Reber,
1985 dalam Trevarthen dkk, 1998). Pengertian ini menunjuk pada bagaimana
anak-anak autis gagal bertindak dengan minat pada orang lain, tetapi kehilangan
beberapa penonjolan perilaku mereka. Ini, tidak membantu orang lain untuk
memahami seperti apa dunia mereka.
Autis pertama kali diperkenalkan dalam suatu makalah pada tahun 1943 oleh
seorang psikiatris Amerika yang bernama Leo Kanner. Ia menemukan sebelas
anak yang memiliki ciri-ciri yang sama, yaitu tidak mampu berkomunikasi dan
berinteraksi dengan individu lain dan sangat tak acuh terhadap lingkungan di luar
dirinya, sehingga perilakunya tampak seperti hidup dalam dunianya sendiri.
Autis merupakan suatu gangguan perkembangan yang kompleks yang
berhubungan dengan komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas imajinasi.
Gejalanya tampak pada sebelum usia tiga tahun. Bahkan apabila autis infantil
gejalanya sudah ada sejak bayi. Autis juga merupakan suatu konsekuensi dalam
kehidupan mental dari kesulitan perkembangan otak yang kompleks yang
mempengaruhi banyak fungsi- fungsi: persepsi (perceiving), intending, imajinasi
(imagining) dan perasaan (feeling). Autis jugs dapat dinyatakan sebagai suatu
kegagalan dalam penalaran sistematis (systematic reasoning). Dalam suatu
analisis ‘microsociological’ tentang logika pemikiran mereka dan interaksi dengan
yang lain (Durig, 1996; dalam Trevarthen, 1998), orang autis memiliki
kekurangan pada ‘cretive induction’ atau membuat penalaran induksi yaitu
penalaran yang bergerak dari premis-premis khusus (minor) menuju kesimpulan
umum, sementara deduksi, yaitu bergerak pada kesimpulan khusus dari premis-

3
premis (khusus) dan abduksi yaitu peletakan premis-premis umum pada
kesimpulan khusus, kuat. (Trevarthen, 1998).
DSM IV (Diagnpstic Statistical Manual yang dikembangkan oleh para psikiater
dari Amerika) mendefinisikan anak autis sebagai berikut:
1. Terdapat paling sedikit enam pokok dari kelompok a, b dan c, meliputi
sekurang-kurangnya: satu item dari kelompok a, sekurang-kurangnya satu
item dari kelompok b, sekurang-kurangnya satu item dari kelompok
a. Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang ditunjukkan oleh
paling sedikit dua diantara berikut:
(1) Memiliki kesulitan dalam mengunakan berbagai perilaku
non verbal seperti, kontak mata, ekspresi muka, sikap
tubuh, bahasa tubuh lainnya yang mengatur interaksi sosial
(2) Memiliki kesulitan dalam mengembangkan hubungan
dengan teman sebaya atau teman yang sesuai dengan tahap
perkembangan mentalnya.
(3) Ketidakmampuan untuk berbagi kesenangan, minat, atau
keberhasilan secara spontan dengan orang lain (seperti;
kurang tampak adanya perilaku memperlihatkan, membawa
atau menunjuk objek yang menjadi minatnya).
(4) Ketidakampuan dalam membina hubungan sosial atau
emosi yang timbal balik.
b. Gangguan kualitatif dalam berkomunikasi yang ditunjukkan oleh
paling sedikit satu dari yang berikut:
(1) Keterlambatan dalam perkembangan bicara atau sama
sekali tidak (bukan disertai dengan mencoba untuk
mengkompensasikannya melalui cara-cara komunikasi
alternatif seperti gerakan tubuh atau lainnya)
(2) Bagi individu yang mampu berbicara, kurang mampu untuk
memulai pembicaraan atau memelihara suatu percakapan
dengan yang lain

4
(3) Pemakaian bahasa yang stereotipe atau berulang-ulang atau
bahasa yang aneh (idiosyncantric)
(4) Cara bermain kurang bervariatif, kurang mampu bermain
pura-pura secara spontan, kurang mampu meniru secara
sosial sesuai dengan tahap perkembangan mentalnya
c. Pola minat perilaku yang terbatas, repetitive, dan stereotype seperti
yang ditunjukkan oleh paling tidak satu dari yang berikut:
(1) Keasikan dengan satu atau lebih pola-pola minat yang
terbatas dan stereotipe baik dalam intensitas maupun dalam
fokusnya.
(2) Tampak tidak fleksibel atau kaku dengan rutinitas atau
ritual yang khusus, atau yang tidak memiliki manfaat.
(3) perilaku motorik yang stereotip dan berulang-ulang (seperti
: memukul-mukulkan atau menggerakgerakkan tangannya
atau mengetuk-ngetukan jarinya, atau menggerakkan
seluruh tubuhnya).
(4) Keasikan yang menetap dengan bagian-bagian dari benda
(object).
2. Perkembangan abnormal atau terganggu sebelum usia tiga tahun seperti
yang ditunjukkan oleh keterlambatan atau fungsi yang abnormal pada
paling sedikit satu dari bidang-bidang berikut:
3. Sebaiknya tidak dikelompokkan ke dalam Rett Disorder, Childhood
Integrative Disorder, atu Asperger Syndrom.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa anak autis yaitu anak-anak yang
mengalami kesulitan perkembangan otak yang kompleks yang mempengaruhi
banyak fungsi-fungsi: persepsi (perceiving), intending, imajinasi (imagining) dan
perasaan (feeling) yang terjadi sebelum umur tiga tahun dengan dicirikan oleh
adanya hambatan kualitatif dalam interaksi sosial, komunikasi dan terobsesi pada
satu kegiatan atau obyek yang mana mereka memerlukan layanan pedidikan
khusus untuk mengembangkan potensinya.

5
2.2 Penyebab Autisme
Faktor penyebab atuisme mesih terus dicari dan masih dalam penelitian
parah ahli. Beberapa teori terakhir mengatakan bahwa faktor genetika (keturunan
memegang peranan penting dalam proses terjadinya autisme.
A. Faktor Genetik
Lebih kurang 20% dari kasus-kasus autisme disebabkan oleh faktor
genetik.Penyakit genetik yang sering dihubungkan dengan autisme adalah
tuberous sclerosis (17-58%) dan sindrom fragile X (20-30%). Disebut fragile-
X karena secara sitogenetik penyakit ini ditandai oleh adanya kerapuhan
(fragile) X 4.Sindrome fragile X merupakan penyakit yang diwariskan secara
X-linked (X terangkai) yaitu melalui kromosome X. Pola penurunannya tidak
umum, yaitu tidak seperti penyakit dengan pewarisan X-linked lainnya, karena
tidak bisa digolingkan sebagai dominan atau resesi, laki-laki dan perempuan
dapat menjadi penderita maupun pembawa sifat (carrier). (Dr. Sultana MH
Faradz, Ph.D, 2003)
B. Ganguan pada Sistem Syaraf
Banyak penelitian yang melaporkan bahwa anak autis memiliki kelainan
pada hampir semua struktur otak. Tetapi kelainan yang paling konsisten
adalah pada otak kecil. Hampir semua peneliti melaporkan berkurangnya sel
purkinye di otak kecil pada autisme. Otak kecil berfungsi mengontrol fungsi
luhur dan kegiatan motorik, juga sebagai sirkuit yang mengatur perhatian dan
pengindraan. Jika sirkuit ini rusak atau terganggu maka akan mengganggu
fungsi bagian lain dari sistem saraf pusat, seperti misalnya sistem limbik yang
mengatur emosi dan perilaku.
C. Ketidakseimbangan Kimiawi
Beberapa peneliti menemukan sejumlah kecil dari gejala autistik
berhubungan dengan makanan atau kekurangan kimiawi di badan. Alergi
terhadap makanan tertentu, seperti bahan-bahan yang mengandung susu,
tepung gandum, daging, gula, bahan pengawet, penyedap rasa, bahan pewarna,
dan ragi. Untuk memastikan pernyataan tersebut, dalam tahun 2000 sampai
2001 telah dilakukan pemeriksaan terhadap 120 orang anak yang memenuhi

6
kriteria gangguan autisme menurut DSM IV. Rentang umur antara 1 – 10.
tahun, dari 120 orang itu 97 adalah anak laki-laki dan 23 orang adalah anak
perempuan. Dari hasil pemeriksaan diperoleh bahwa anak anak ini mengalami
gangguan metabolisme yang kompleks, dan setelah dilakukan pemeriksaan
untuk alergi, ternyata dari 120 orang anak yang diperiksa: 100 anak (83,33%)
menderita alergi susu sapi, gluten dan makanan lain, 18 anak (15%) alergi
terhadap susu dan makanan lain, 2 orang anak (1,66 %) alergi terhadap gluten
dan makanan lain. (Dr. Melly Budiman, SpKJ, 2003). Penelitian lain
menghubungkan autism dengan ketidakseimbangan hormonal,
peningkatan kadar dari bahan kimiawi tertentu di otak, seperti opioid, yang
menurunkan persepsi nyeri dan motivasi.
D. Kemungkinan Lain
Autisme juga diduga dapat disebabkan oleh virus, seperti rubella, toxo,
herpes, jamur, nutrisi yang buruk, pendarahan dan keracunan makanan pada
masa kehamilan yang dapat menghambat pertuimbuhan sel otak yang
menyebabkan fungsi otak bayi yang dikandung terganggu terutama fungsi
pemahaman komunikasi dan interaksi (Depdiknas, 2002). Kemungkinan yang
lain adalah faktor psikologis, karena kesibukan orang tuanya sehingga tidak
memiliki waktu untuk berkomunikasi dengan anak, atau anak tidak pernah
diajak berbicara sejak kecil, itu juga dapat menyebabkan anak menderita
autisme.

2.3 Klasifikasi Anak Autis


Dalam berinteraksi sosial anak autistikdikelompokan atas 3 kelompok yaitu:
1. Kelompok Menyendiri
 Terlihat menghindari kontak fisik dengan lingkungannya
 Bertedensi kurang menggunakan kata-kata, dan kadang-kadang
sulit berubah meskipun usianya bertambah lanjut. Dan meskipun
ada ada perubahan, mungkin hanya bisa mengucapkan beberapa
patah kata yang sederhana saja.

7
 Menghabiskan harinya berjam-jam untuk sendiri, dan kalu berbuat
sesuatu, akan melakukannya berulang-ulang.
 Gangguan perilaku pada kelompok anak ini termasuk bunyi-bunyi
aneh, gerakan tangan, tabiat yang mudah marah, melukai diri
sendiri, menyerang teman sendiri, merusak dan menghancurkan
mainannya.
2. Kelompok Anak Autisme Yang Pasif
 Lebih bisa bertahan dengan kontak fisik, dan agak mampu bermain
dengan kelompok teman bergaul dan sebaya, tetapi jarang sekali
mencari teman sendiri.
 Mempunyai perbendaharaan kata yang lebih banyak meskipun
masih agak terlambat bisa berbicara dibandingkan dengan anak
sebaya.
 Kadang-kadang malah lebih cepat merangkai kata meskipun
kadang-kadang pula dibumbui kata yang kurang dimengerti.
 Kelompok pasif ini masih bisa diajari dan dilatih dibandingkan
dengan anak autisme yang menyendiri dan yang aktif tetapi
menurut kemauannya sendiri.
3. Kelompok Anak Autisme Yang Aktif Tetapi Menurut Kemauannya
Sendiri
 Kelompok ini seperti bertolak belakang dengan kelompok anak
autisme yang menyendiri karena lebih cepat bisa bicara dan
memiliki perbendaharaan kata yang paling banyak
 Meskipun dapat merangkai kata dengan baik, tetapi tetap saja
terselip kata-kata yang aneh dan kurang dimengerti.
 Masih bisa ikut berbagi rasa dengan teman bermainnya.
 Dalam berdialog, seringmengajukan pertanyaan dengan topik yang
menarik, dan bila jawaban tidak memuaskan atau pertanyaannya
dipotong, akan bereaksi sangat marah.

8
2.4 Hambatan-Hambatan Anak Autis
Ada beberapa permasalahan yang dialami oleh anak autis yaitu: Anak autis
memiliki hambatan kualitatif dalam interaksi sosial artinya bahwa anak autistik
memiliki hambatan dalam kualitas berinteraksi dengan individu di sekitar
lingkungannya, seperti anak-anak autis sering terlihat menarik diri, acuh tak acuh,
lebih senang bermain sendiri, menunjukkan perilaku yang tidak hangat, tidak ada
kontak mata dengan orang lain dan bagi mereka yang keterlekatannya terhadap
orang tua tinggi, anak akan merasa cemas apabila ditinggalkan oleh orang
tuanya.
Sekitar 50 persen anak autis yang mengalami keterlambatan dalam
berbicara dan berbahasa. Mereka mengalami kesulitan dalam memahami
pembicaran orang lain yang ditujukan pada mereka, kesulitan dalam memahami
arti kata-kata dan apabila berbicara tidak pada konteks yang tepat. Sering
mengulang kata-kata tanpa bermaksud untuk berkomunikasi, dan sering salah
dalam menggunakan kata ganti orang, contohnya menggunakan kata saya untuk
orang lain dan menggunakan kata kamu untuk diri sendiri.
Mereka tidak mengkompensasikan ketidakmampuannya dalam berbicara
dengan bahasa yang lain, sehingga apabila mereka menginginkan sesuatu tidak
meminta dengan bahasa lisan atau menunjuk dengan gerakan tubuh, tetapi
mereka menarik tangan orang tuanya untuk mengambil obyek yang
diinginkannya. Mereka juga sukar mengatur volume suaranya, kurang dapat
menggunakan bahasa tubuh untuk berkomunikasi, seperti: menggeleng,
mengangguk, melambaikan tangan dan lain sebagainya.
Anak autis memiliki minat yang terbatas, mereka cenderung untuk
menyenangi lingkungan yang rutin dan menolak perubahan lingkungan, minat
mereka terbatas artinya mereka apabila menyukai suatu perbuatan maka akan
terus menerus mengulang perbuatan itu. anak autistik juga menyenangi
keteraturan yang berlebihan.
Lorna Wing (1974) menuliskan dua kelompok besar yang menjadi
masalah pada anak autis yaitu:

9
a. Masalah dalam memahami lingkungan (Problem in understanding the
world)
(1) Respon terhadap suara yang tidak biasa (unusually responses to
sounds). Anak autis seperti orang tuli karena mereka cenderung
mengabaikan suara yang sangat keras dan tidak tergerak sekalipun
ada yang menjatuhkan benda di sampingnya. Anak autis dapat juga
sangat tertarik pada beberapa suara benda seperti suara bel, tetapi
ada anak autis yang sangat tergangu oleh suara-suara tertentu,
sehingga ia akan menutup telinganya.
(2) Sulit dalam memahami pembicaraan (Dificulties in understanding
speech). Anak autis tampak tidak menyadari bahwa pembicaraan
memiliki makna, tidak dapat mengikuti instruksi verbal, mendengar
peringatan atau paham apabila dirinya dimarahi (scolded).
Menjelang usia lima tahun banyak autis yang mengalami
keterbatasan dalam memahami pembicaraan.
(3) Kesulitan ketika bercakap-cakap (Difiltuties when talking).
Beberpa anak autis tidak pernah berbicara, beberapa anak autis
belajar untuk mengatakan sedikit kata-kata, biasanya mereka
mengulang kata-kata yang diucapkan orang lain, mereka memiliki
kesulitan dalam mempergunakan kata sambung, tidak dapat
menggunakan kata-kata secara fleksibel atau mengungkapkan ide.
(4) Lemah dalam pengucapan dan kontrol suara (Poor pronunciation
and voice control). Beberapa anak autis memiliki kesulitan dalam
membedakan suara tertentu yang mereka dengar. Mereka
kebingungan dengan kata-kata yang hampir sama, memiliki
kesulitan untuk mengucapkan kata-kata yang sulit. Mereka
biasanya memiliki kesulitan dalam mengontrol kekerasan
(loudness) suara.
(5) Masalah dalam memahami benda yang dilihat (Problems in
understanding things that are seen). Beberapa anak autis sangat
sensitif terhadap cahaya yang sangat terang, seperti cahaya lampu

10
kamera (blitz), anak autis mengenali orang atau benda dengan
gambaran mereka yang umum tanpa melihat detil yang tampak.
(6) Masalah dalam pemahaman gerak isarat (problem in understanding
gesturs). Anak autis memiliki masalah dalam menggunakan bahasa
komunikasi; seperti gerakan isarat, gerakan tubuh, ekspresi wajah.
(7) Indra peraba, perasa dan pembau (The senses of touch, taste and
smell). Anak-anak autis menjelajahi lingkungannya melalui indera
peraba, perasa dan pembau mereka. Beberapa anak autis tidak
sensitif terhadap dingin dan sakit.
(8) Gerakan tubuh yang tidak biasa (Unusually bodily movement). Ada
gerakan- gerakan yang dilakukan anak autis yang tidak biasa
dilakukan oleh anak- anak yang normal seperti mengepak-
ngepakan tangannya, meloncat-loncat, dan menyeringai.
(9) Kekakuan dalam gerakan-gerakan terlatih (clumsiness in skilled
movements). Beberapa anak autis, ketika berjalan nampak anggun,
mampu memanjat dan seimbang seperti kucing, namun yang
lainnya lebih kaku dan berjalan seperti memiliki bebrapa kesulitan
dalam keseimbangan dan biasanya mereka tidak menikmati
memanjat. Mereka sangat kurang dalam koordinasi dalam berjalan
dan berlari atau sebaliknya.
b. Masalah gangguan perilaku dan emosi (Dificult behaviour and
emotional problems).
(1) Sikap menyendiri dan menarik diri (Aloofness and withdrawal).
Banyak anak autis yang berprilaku seolah-olah orang lain tidak ada.
Anak autis tidak merespon ketika dipanggil atau seperti tidak
mendengar ketika ada orang yang berbicara padanya, ekspresi
mukanya kosong.
(2) Menentang perubahan (Resistance to change). Banyak anak autis
yang menuntut pengulangan rutinitas yang sama. Beberapa anak
autis memiliki rutinitas mereka sendiri, seperti mengetuk-ngetuk

11
kursi sebelum duduk, atau menempatkan objek dalam garis yang
panjang.
(3) Ketakutan khusus (Special fears). Anak-anak autis tidak menyadari
bahaya yang sebenarnya, mungkin karena mereka tidak memahami
kemungkinan konsekuensinya.
(4) Prilaku yang memalukan secara sosial (Socially embarrassing
behaviour). Pemahaman anak autis terhadap kata-kata terbatas dan
secara umum tidak matang, mereka sering berperilaku dalam cara
yang kurang dapat diterima secara sosial. anak-anak autis tidak
malu untuk berteriak di tempat umum atau berteriak dengan keras
di senjang jalan.
(5) Ketidakmampuan untuk bermain (Inability to play). Banyak anak
autis bermain dengan air, pasir atau lumpur selam berjam-jam.
Mereka tidak dapat bermain pura-pura. Anak-anak autis kurang
dalam bahasa dan imajinasi, mereka tidak dapat bersama-sama
dalam permainan denga anak-anak yang lain.

2.5 Peranan Orang Tua, Guru, Dan Masyarakat Dalam Pendidikan Anak
Autis
A. Peranan Orang Tua
Menurut Puspita (2001) bahwa peranan orang tua anak autistik dalam
membantu anak untuk mencapai perkembangan dan pertumbuhan optimal
sangat menentukkan. Tindakan awal yang perlu dilakukan oleh para orang tua
anak autistik ialah orang tua perlu teliti dalam mengamati berbagai gejala yang
nampak pada diri anak yang autistik. Ketelitian orang dalam mengamati
berbagai gejala tersebut akan menjadi bahan acuan bagi orang tua dalam
mengambil keputusan yang tepat dalam memberikan penanganan secara dini
kepada anak autistik. Namun, pada umumnya para orang tua berlindung
dibalik harapan kosong dengan beranggapan bahwa “anak saya tergolong
autisme ringan”, padahal autisme ringan, sedang, berat akan cenderung

12
menjadikkan anak tidak dapat “mandiri” bilamana tidak di tangani secara
dini.
Tindakan lain yang perlu diperhatikan oleh para orang tua anak autistik
adalah memberikan penanganan kepada anaknya berdasarkan masalah dan
gejala perilaku yang nampak pada diri anak autistik. Masalah dan gejala
perilaku yang ditunjukan oleh sesama anak yang autistik adalah tidak sama.
Karena itu, penanganan yang diberikan kepada setiap anak juga tidak sama.
Penanganan yang diberikan orang tua kepada anaknya yang autistik
sebaiknya bersifat terpadu dan menyeluruh yang mencangkup aspek fisik dan
psikis atau jasmani dan rohani. Pemberian pendidikan dan latihan secara
intensif tanpa di barengi dengan upaya memperbaiki keseimbangan
metabolisme atau perbaikan kondisi fisik pada diri anak yang autistik, maka
akan memberikan hasil yang kurang optimal. Sebaliknya, jika para orang tua
hanya menggantungkan harapan pada obat-obatan atau kontrol makanan tanpa
ada usaha pemberian pendidikan dan latihan yang intensif, kontinyu, dan
konsisten kepada anak yang autistik, tentu saja hasilnya juga kurang optimal.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dan perlu dilakukan oleh para
orang tua dalam menetapkan tatalaksana yang tepat bagi srtiap anak, yaitu
orang tua harus mengenali kelebihan dan kekurangan anak, lengkap dengan
ciri autisnya untuk mengetahui kebutuhan anak, mengenali kemungkinan
penanganan yang dapat diberikan kepada anak, menetapkan beberapa jenis
penanganan sesuai kebutuhan, melakukan pemantauan secara terus menerus
terhadap perkembangan anak, dan secara berkala kembali kepada langkah
pertama, yaitu mengetahui kelebihan dan kekurangan pada diri anak yang
autistik sesuai dengan proses perkembangan yang terjadi pada diri anak
autistik. (puspita, 2001).
Para orang tua tidak boleh lupa bahwa meskipun anaknya autistik, namun
anaknya yang autistik tersebut terus mengalami perubahan atau
perkembangan. Karena itu, para orangtua anak autistik harus juga selalu
berkembang dengan cara para orang tua harus selalu berusaha dan belajar

13
terus menerus untuk mempelajari berbagai hal yang berhubungan dengan
semua aspek kehidupan anak yang autistik.
Dalam memberikan penanganan kepada anak autis dirumah, beberapa hal
yang perlu diperhatikan oleh para orang tua anak autistik ialah orang tua harus
dapat mengenali keadaan anak apa adanya. Para orang tua perlu ingat bahwa
autisme adalah gangguan perkembangan yang terjadi pada anak usia dibawah
tiga tahun. Perwujudan gangguan perkembangan ini mencangkup tiga aspek
utama, yaitu gangguan komunikasi, gangguan perilaku, dan gangguan
interaksi (puspita, 2001).
Setelah para orang tua mengenali keadaan anaknya apa adanya dan
mengetahui ciri autisme yang dimiliki anak serta gejala autisme yang muncul
pada setiap anak yang bersifat sangat individual dan unik, maka langkah
selanjutnya yang perlu dilakukan oleh para orang tua anak autistik adalah
melakukan pendampingan yang intensif. Pendampingan yang dimaksud
adalah memastikan adanya interaksi aktif antara anak dengan orang tua atau
pengasuhnya yang ada disekitar nya. Tujuan kegiatan pendampingan yang
intensif ini ialah untuk membina kontak batin secara terus menerus dengan
anak dan untuk meningkatkan pemahaman anak yang umumnya cenderung
terbatas.
Proses pendampingan dilaksanakan sejak anak autistik mulai membuka
mata sampai saatnya anak autistik tersebut tertidur kembali di malam hari.
Saat proses pendampingan terjadi anak ditemani untuk memberikan informasi
dan pengalaman dalam berbagai bentuk kepada anak. Yang perlu diingat oleh
para orang tua adalah jangan membiarkan anak sendirian tanpa melakukan
sesuatu. Para orang tua harus selalu berusaha meningkatkan pemahaman
anaknya dalam berbagai bidang, misalnya dalm bidang kemampuan berpikir
dan kemandirian mengurus diri sendiri agar kemampuan anak autistik pada
bidang tersebut mendekati kemampuan yang dimiliki oleh anak lain yang
seusia dengan mereka.
Penanganan anak auitistik seharusnya tidak tertuju kepada keinginan agar
anak mampu berbicra, tetapi memahami apapun yang dikatakan oleh orang

14
lain. Perkenalkan kepada anak berbagai kegiatan untuk mengembangkan
minat anak auitstik dalam dunia disekitarnya. Selain meningkatkan
pemahaman anak autis, upaya selanjutnya adalah sedapat mungkin
mengurangi atau menghilangkan ciri negatif yang ada pada anak. Misalnya
anak autis yang cenderung membenturkan kepala untuk mencari perhatian,
peganglah kepala anak sambil diusap-usap. Dengan cara seperti ini anak
merasa diperhatikan.
Para orang tua juga perlu mengenali pola perilaku yang ditampilkan oleh
anak autistik, karena pola perilaku trsebut sering merupakan perwujudan dari
kebutuhan fisik anak autistik akan sesuatu. Misalnya anak autistik senang
melompat di tempat tidur dan kegiatan ini bisa dilakukan berjam-jam lamanya,
maka tnidakan yang perlu dilakukan oleh para orang tua adalah memberikan
fasilitas yang dapt mencegah anak mengalami kecelakaan. Biarkan anak
melompat sesuka hatinya, selama tidak membahayakan bagi dirinya dan
merusak barang miliknya dan barang-barang yang ada disekitar tempat tidur
itu.
Dalam melayani kebutuhan anak autistik anak autistik oloeh pihak orang
tua, keluarga, guru, terapis, pembantu di rumah tangga, dan pihak lain yang
menaruh minat dan peduli terhadap anak autistik, di butuhkan kesabaran,
ketekunan, keikhlasan, dan sikap mau menerima keberadaan anak autistik apa
adanya. Selain itu, dibutuhkan kerja sama yang sinergik kesemua pihak
tersebut untuk menghindari rasa bosan dalam melayani kebutuhan anak
autistik, seperti yang dikemukakan oleh lovaas, 1996 bahwa orang tua yang
paling hangat dan penuh kasih sayang terhadap anaknya yang autistik dapat
mengalami hilang akal dan bahkan berubah menjadi maniak (gila) yang selalu
berteriak-teriak jika tertekan menghadapi anaknya.
Jika para orang tua, guru, terapis, anggota keluarga lainya, dan pihak
terkait lainnya melatih kemampuan motorik kasar dan halus anak autistik,
maka latihan koordinasi visual motorik, keseimbangan, ketelitian, dan latihan
konsentrasi sangat perlu diberikan kepada anak autistik. Dalam pemberian
latihan tersebut, yang perlu diperhatikan ialah kesesuaian program dengan

15
karakteristik, kemampuan, dan kondisi perkembangan anak autistik (puspita,
2001).
Selain usaha tersebut diatas yang dapt dilakukan oleh para orang tua anak
auitistik, orang tua juga perlu menerima bimbingan keluarga melalui kegiatan
“home training”. Pelatihan yang diterima oleh para orang tua dirumah (home
training) dapt berupa: para ahli yang terdiri dari dokter, psikolog, psikiater,
dan pedagog menerangkan tentang apa, bagaimana, dan di apakan anak
autisme itu; para guru dan pelatih memberikan latihan-latihan sederhana untuk
dipraktekkan dirumah khusus nya untuk memberi stimulasi kepada anak nya
dalam bidang latihan panca indera; orang perlu mendapatkan dan mempelajari
isi video home training dari lembaga yang menangani anak autis.
Tujuan pemberian latihan kepada orang tua adalah agar orang tua dapt
mempelajari dan mempraktekkan isi video home itu dirumah. Latihan-latihan
tersebut dapat berupa latihan kontak mata dengan orang lain, latihan makan
sendiri dengan nasi tidak berantakan, latihan konsentrasi terhadap permainan,
latihan berpakaian, latihan sosialisasi dalm kelompok bermain, dan
sebagainya.
Usaha lain yang dapat dilakukan oleh para orang tua anak autis ialah
membawa anaknya ke pusat-pusat terapi dan mengikuti programnya. Di pusat-
pusat terpai tersebut dilakukan latihan-latihan perkembangan anak yang
mengarah kepada domain kognitif, afektif, dan psikomotor (saragi, 2002).
B. Peranan Guru
Guru sebagai pengajar dan pendidik di sekolah memiliki peranan yang
ganda. Yaitu membantu orang tua anak autistik disekolah dan membantu
terapis atau pembimbing dan pelatih dalam program penata laksanaan
gangguan autisme. Widyawati (2002) mengemukakan bahwa tujuan terapi
pada gangguan autistik adalah untuk mengurangi masalah perilaku,
meningkatkan kemampuan dan perkembangan belajar anak autistik, terutama
dalam hal penguasaan bahsa, dan membantu anak autistik agr mampu
bersosialisasi dalm beradaptasi dilingkungan sosialnya.

16
Tujuan tersebut diatas dapat tercapai dengan baik melalui suatu program
terapi yang menyeluruh dan bersifat individual, dimana pendidikan khusus
dan terapi wicara meupakan kompenen yang penting. Namun yang tidak boleh
dilakukan oleh pihak guru khususnya dan pihak lain yang terkait ialah bhwa
masing-masing individu anak yang autistik adalah unik, sehingga jangan
beranggapan bahwa satu metode berhasil untuk satu anak dan metode tersebut
berhasil pula untuk anak autistik yang lain. Jadi suatu metode yang duterapkan
disesuaikan dengan karakteristik dan kemampuan dari masing-masing anak
yang autistik.
Guru perlu memperhatikan kelemahan dan kekuatan anak sebagai basis
dalam menyusun dan menerapkan pendidikan untuk anak autistik. Guru perlu
memberikan pelatihan yang terstruktur yang memperkecil kesempatan anak
untuk melepaskan diri dari teman-temannya dan guru segera bertindak bila
anak melakukan aktivitas sendiri. Anak perlu di iukt sertakan dalam proses
penyusunan program pelatihan struktur ini dengan tujuan agar anak dapat
mengatur sendiri pikiran dan tindakannya agar anak dapat bekerja atas dasar
kemampuan sendiri (mandiri).
Dalam mebelajarkan tetang bahasa, sebaiknya materinya membicarakan
tentang hal-hal yang ada di dalam kehidupan sehari-hari anak. Dengan materi
tersebut, anak lebih mudah mengembangkan kemampuannya dalam
berkomunikasi. Pada bebrapa anak dapat dilatih bahasa isyarat dan
keterampilan sosial yang ada sangkut pautnya dengan kehidupan sehari hari.
Dalam menangani anak autistik yang agresif, peranan yang perlu
dilakukan oleh guru adalah mengajari berkomunikasi bukan kata-kata dan
tingkatan keterampilan sosial anak melalui peragaan. Guru perlu juga
konsultasikan anak ke ahli endokrinologi untuk mengatasi agresivitas seksual
anak dan konsultasi neurologi untuk mengatasi adanya serangan kejang lobus
temporalis dan sindrom hipo talamik. Guru harus menciptakan lingjungan
sekolah yang aman, teratur, dan responsif terhadap anak autistik. Guru harus
berusaha untuk membangkitkan rasa percaya diri pada anak dan membantu
orang tua untuk mengerti dan mempraktekkan teknik-teknik perilaku yang di

17
ajarkan bersama-sama dengan anak autistik agar meningkatkan persepsi orang
tua, sehingga para orang tua dapat membantu dengan efektif dan mengintrol
perilaku anak mereka. Selain itu, guru perlu juga mengembangkan berbagai
keterampilan sebagai pengganti agresivitas, seperti keterampilan sosial,
keterampilan berkomunikasi, kerjasama, menggunakan waktu senggang, dan
keterampilan berekreasi (widyawati, 2002).
Ada beberapa teknik yang dapat digunakan oleh guru disekolah dan para
orang tua dirumah untuk mencegah timbulnya perilaku agresivitas pada diri
anak. Teknik-teknik tersebut, yaitu dengan :
Membina hubungan yang kuat dengan anak, memastikan anak memiliki
rutinitas yang teratur(terutama dirumah), meninjau kembali bermacam
tuntunan terhadap anak autistis, mengatur perubahan
rutinitas(sebelum/sesudah hari libur), menjelaskan dan menyiapkan anak
terhadap perubahan, mengurangi suara dan keributan disekitar anak, membuat
rencana untuk “hari-hari buruk” dengan memilih suatu tempat yang tenang
agar anak autistis dapat lebih tenang, pergunakan relaksasi dan kontrol diri
sebagai cara untuk memberi lebih banyak keterampilan pada anak, pertemuan
rutin dengan anggota tim terapis/pembimbing/pendidik/pelatih agar mereka
menyadari anggota tim menyadari tanda-tanda agresivitas yang muncul pada
anak autistis, dan supervisi dari ahli ilmu jiwa atau psikolog yang terlatih
dalam perilaku kognitif anak autistik (widyawati, 2003).
Guru perlu juga mengetahui gaya belajar anak autistik. Berupa: Rote
Learner, yaitu anak cenderung mengafalkan informasi apa adanya tanpa
memahami arti simbol yang dihapalkan itu; Gestalt Learner, yaitu anak dapat
mengahafalkan kalimat-kalimat secara utuh tanpa mengerti arti kata perkata
yang terdapat pada kalimat itu dan anak cenderung belajar menggunakan gaya
gestalt, yaitu melihat sesuatu secara keseluruhan; Visual Learner, yaitu anak
senang melihat buku, gambar-gambar dan tv dan mudah memahami sesuatu
yang dilihat daripada yang mereka dengar; Hands on Learner, yaitu anak
senang mencoba-coba dan mendapatkan pengetahuan dari pengalamannya
mencoba-coba ini; dan Auditory Learner, yaitu anak autistik senang bicara dan

18
lebih mudah memahami terhadap yang mereka dengar dari pada terhadap apa
yang mereka lihat. Dengan mengetahui gaya belajar dari setiap anak autistik,
maka guru diharapkan dapat menyesuaikan proses pendidikan, bimbingan, dan
latihannya terhadap gaya belajar anak autistik tersebut.
Puspita (2001) menyatakan peran dan tugas guru pendamping anak
autistik sangat besar. Guru pendamping anak autistik memiliki peran ganda,
yaitu membantu anak menguasai tugas akademis dan membantu anak
berkembang sesuai tahapan perkembangan yang seharusnya. Greenspan
(1998) mengemukakan bahwa tugas guru pendamping secara umum adalah:
membantu anak mempersiapkan diri menghadapi tugas berikutnya, membantu
anak mengerti bagaimana bekerja dikelas, tidak sekedar duduk dibelakang
anak, dan membantu terlaksananya tugas anak tetapi menggunakan tugas
sekolah sebagai kesempatan interaksi sehingga anak belajar dua keterampilan
pada saat yang sama, dan menjembatani terjadinya interaksi antara yang satu
dengan anak yang lain sehingga anak dapat memahami tentang bagaimana
bergaul, berbagi, bergiliran, dan sebagainya.
Untuk dapat membantu anak autistik mengaktualisasikan potensinya
secara maksimal, ada beberapa hal yang perlu diprtimbangkan oleh guru,
beberapa hal tersebut ialah berupa: guru perlu memahami bagaimana anak
autis melihat dunia, guru perlu memanfaatkan gaya belajar anak, guru perlu
membuat anak sadar akan makna setiap informasi, guru perlu mengaitkan
informasi yang diterima anak didalam kelas dengan kehidupannya sehari-hari,
dan guru perlu memulai bimbingannya dengan memulai dari minat anak.
C. Peranan Masyarakat
Keterlibatan masyarakat dalam usaha membantu anak autistik dalam
berbagai hal, khususnya dalam masalah pemberian pendidikan, pelatihan, dan
bimbingan dibidang pendidikan, sosial, karier, pribadi, dan keterampilan
sensorik dan motorik sangat besar peranannya. Hanafi(2002) mengemukakan
bahwa anak autistik yang menunjukan perbaikan gejala yang
menggembirakan, memerlukan dukungan, bantuan dan kesempatan serta
toleransi dari lingkungan diluar keluarga dan sekolah khusus atau klinik untuk

19
anak autistik. Untuk mengembangkan potensi anak autistik sebagai makhluk
sosial, maka masyarakat pendidikan dan masyarakat diluar sekolah sangan
dibutuhkan kontribusinya.
Kontribusi yang perlu dilakukan oleh masyarakat pendidikan ialah:
memberikan kesempatan kepada anak autistik untuk bersosialisai atau
diintegrasikan keseolah umum sesuai dengan potensi dan kemampuan yang
dimiliki. Selain itu, masyarakat juga perlu memberikan informasi secara jujur
dan berimbang atau proporsional tentang dan hasil dan segala sesuatu yang
berkenaan dengan penanganan pendidikan autisme, dan membantu usaha
sosialisasi tentang autisme dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya
bagi masyarakat luas melalui media cetak dan elektronik.
Sedangkan kontribusi yang diharapkan dari masyarakat luas ialah berupa:
membantu menciptakan situasi lingkungan yang kondusif atau mendukung
bagi anak autistik. Selain itu, para orang tua “anak yang normal” diharapkan
dapat memahami dan menerima kebutuhan pendidikan anak autistik untuk
diintegrasikan kedalam lingkungan normal, dan masyarakat luas baik sebagai
individu maupun sebagai pemilik fasilitas umum, bersedia memberikan
kesempatan kepada anak autistik untuk menggunakan fasilitas umum yang
dimilikinya sebagai sarana belajar dan interaksi sosial bagi anak yang autistik.
Misalnya pemilik pusat perbelanjaan atau swalayan dapat memberikan
kesempatan kedapa anak autistik untu belajar berbelanja, belajar antri, belajar
membayar sendiri harga barang yang dibeli, dan bahkan jika memungkinkan
untuk membuka kasier khusus untuk anak yang autistik (hanafi 2002).

20
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kata autisme berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yaitu
‘aut’yang berarti ‘diri sendiri’ dan ‘ism’ yang secara tidak langsung menyatakan
‘orientasi atau arah atau keadaan (state). Sehingga autism dapat didefinisikan
sebagai kondisiseseorang yang luar biasa asik dengan dirinya sendiri (Reber, 1985
dalam Trevarthendkk, 1998). Penyebab terjadinya autisme adalah factor genetic,
gangguan pada system syaraf, ketidakseimbangan kimiawi, dan kemungkinan
lainya. Karakteristik menurut power (1989) yaitu adanya 6 gangguan dalam
bidang interaksi social, komunikasi ( bcara dan bahasa), prilaku emosi, pola
bermain, gangguan sensorik – motorik, dan perkembangan terlambat atau tidak
normal.
Untuk mendidik anak autisme diperlukan kerjasama yang
berkesinambungan antara guru, orang tua dan pihak sekolah. Kontribusi yang
perlu dilakukan oleh masyarakat pendidikan ialah: memberikan kesempatan
kepada anak autistik untuk bersosialisai atau diintegrasikan keseolah umum sesuai
dengan potensi dan kemampuan yang dimiliki. Selain itu, masyarakat juga perlu
memberikan informasi secara jujur dan berimbang atau proporsional tentang dan
hasil dan segala sesuatu yang berkenaan dengan penanganan pendidikan autisme,
dan membantu usaha sosialisasi tentang autisme dan segala sesuatu yang
berhubungan dengannya bagi masyarakat luas melalui media cetak dan elektronik.

21
DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association, Diagnostik and Statistical Manual of Mental


Disorders, Washington DC.: American Psychiatric Association
Publisher.

Budiman, Melly, (2003), Gangguan Metabolisme pada Anak Autistik di


Indonesia, (makalah), Jakarta: Konferensi Nasional Autisme-I.

Hidayat. (2004), Aplikasi Metode TEACCH dan Multisensori-Fernald dalam


Optimasi Kemampuan Kognitif dan Prilaku Adaptif Anak Autis,
(makalah).

Peeters, Theo, (1998), Autism From Theoritical Understanding to Educational


Intervention, London: Whurr Publisher Ltd.

Pusponegoro, Hartono D, (2003), Pandangan Umum mengenai Klasifikasi


Spektrum Gangguan Autistik dan Kelainan Susunn saraf Pusat
(makalah), Jakarta: Konferensi Nasional Autisme-I

Sasanti, Yuniar, (2003), Masalah Perilaku pada Gangguan Spektrum Autism


(GSA) (makalah), Jakarta: Konferensi Nasional Autisme-I

Threvarthen, Colwyn, (1999), Children With Autism, Second Edition,


Philadelphia: Jessica Kingsley Publisher.

Wing, Lorna, (1974), Autistik Children A Guide for Parents and Professionals,
New Jersey: The Chitadel Press

22

Anda mungkin juga menyukai