Anda di halaman 1dari 7

Karakteristik dan Faktor Eksternal Penyebab Autisme

Oleh Lisa Qothrunnada_1906400633

A. Karakteristik Autis
Autisme adalah sebuah gangguan karena kekacauan pada otak dan gangguan
pervasive yang ditandai dengan adanya masalah keterlambatan dalam berkomunikasi
dan bahasa, gangguan bermain, gangguan perilaku, interaksi sosial, gangguan
perasaan dan emosi, gangguan sensoris dan motorik. Gangguan ini membuat
penderitanya cenderung menjauhkan dirinya dari dunia dan membuat imajinasi
dunianya sendiri, ia bisa berbicara, menangis, tertawa, bahkan marah-marah pada
dirinya sendiri. (Huzaemah., 2010) (Rinarki, 2018 dalam Maghfiroh, V.S. & Rif’ati,
M.I., 2019)
Seorang autis yang memiliki gangguan dalam berkomunikasi verbal
maupun nonverbal dan bahasa mempunyai karakteristik, (Huzaemah., 2010)
(Hallahan & Kauffman , 2006 dalam Maghfiroh, V.S. & Rif’ati, M.I., 2019)
(Rinarki, 2018 dalam Maghfiroh, V.S. & Rif’ati, M.I., 2019)
- Menggunakan kata-kata tanpa menghubungkannya dengan arti yang wajar
digunakan secara berulang-ulang.
- Berkomunikasi dengan Bahasa tubuh.
- Hanya dapat berkomunikasi dalam waktu yang singkat.
- Kata-katanya sulit dimengerti.
- Senang menarik tangan orang untuk melakukan sesuatu yang mereka
inginkan.
- Perkembangan berbicara sangat lambat.
- Tidak memahami ucapan orang lain.
- Sering mengulang kata yang baru saja didengar.
- Tidak ingin berkomunikasi.
Karakteristik adanya gangguan bermain yang dialami penderita autis meliputi,
- Tidak bermain dengan teman seumuran.
- Tidak memainkan mainan dengan baik.
- Lekat dengan mainan atau benda tertentu saja.
- Senang dengan benda yang bisa berputar.
- Memiliki kreativitas dan imajinasi yang tinggi.
Karakteristik adanya gangguan perilaku pada penderita autis antara lain,
- Perilaku yang berulang.
- Terkadang berlebihan dan terkadang sangat pasif.
- Kurang menyukai perubahan lingkungan.
- Merangsang diri.
- Pada kasus tertentu, dapat terdiam dengan pandangan kosong.
Selain itu (Rinarki, 2018 dalam ) penderita autis mempunyai permasalahan interaksi
social meliputi,
- Menyukai tempat yang sepi.
- Suka menyendiri.
- Menghindari kontak langsung dengan orang sekitar.
- Kurang suka dan bahlan menolak bermain dengan teman yang seumuran.
- Pada bayi, ia tidak akan merespon normal ketika diangkat seseorang, tidak
tersenyum pada situasi social, tidak bisa membedakan stimulus dari orang
sekitar, dan memiliki tatapan yang berbeda.
Karakteristik adanya gangguan perasaan dan emosi pada penderita autis adalah,
- Sering marah, menangis dan tertawa tanpa alasan yang jelas.
- Terkadang hiperaktif dan agresif sehingga mampu merusak benda di
sekitar.
- Dapat menyakiti diri sendiri.
- Kurang rasa empati.
Karakteristik adanya gangguan sensorik dan motoric pada penderita autis meliputi,
- Kurang bisa merasakan sentuhan.
- Kurang merasakan sakit.
- Tidak senang dengan suara yang keras, hingga terkadang menimbulkan
refleks untuk menutup telinga.
- Senang mengoral benda sekitarnya.
Karakteristik anak autis ini berkembang dari waktu ke waktu tergantung dari
seberapa berat atau ringannya gangguan tersebut. (Fauziah et al, 2009 dalam
Maghfiroh, V.S. & Rif’ati, M.I., 2019 )
B. Faktor Eksternal Penyebab Autisme
Adanya mutasi sebagai faktor resiko timbulnya autism tak lantas
membebaskan faktor lingkungan sebagai faktor resiko yang ikut mempengaruhi
kondisi autisme seseorang. Seperti seseorang yang menderita kanker, mutasi yang
menyebabkan kanker membebaskan karsinogen, dalam perkembangan toksikologi
resiko ini bersifat kumulatif (terus bertambah). Pewarisan autism tidak hanya
dipengaruhi oleh gen dominan autosomal sederhana atau X-linked, tidak juga hanya
dipengaruhi oleh pewarisan monogenic resesif. Resiko autism ini adalah sebuah sifat
kompleks dimana di dalamnya terdapat beberapa faktor. Oleh karena itu kita tidak
boleh mengesampingkan faktor lingkungan dalam terjadinya autism pada seseorang.
Gen dan lingkungan sama-sama memegang setengah tanggung jawab dalam
munculnya autism. (Hallmayer et a., 2011; Sandin, 2014 dalam Weiler, J.L., 2016)
Pada keluarga yang telah memiliki bayi autis memiliki resiko yang lebih
tinggi, gejala atau intensitas juga lebih terlihat pada keluarga yang memiliki lebih dari
satu anak autis, Namun tidak semua resiko ini dianggap genetik, anggota keluarga
pastilah berbagi lingkungan. Banyak resiko tambahan yang dapat diidentifikasi seperti
usia orang tua saat pembuahan, dan urutan kelahiran.

Bayi mempunyai kemungkinan lebih besar autis jika lahir dari orang tua
dengan usia yang lebih tua. di berbagai negara usia ibu dan ayah yang lebih tua dari
atau sama dengan 34 tahun telah memiliki peningkatan risiko autisme pada keturunan
mereka. Namun, tidak semua penelitian tentang usia ini diterima, hanya saja telah
disetujui sebagian besar penelitian. Contohnya sebuah penelitian pada warga Iran
pada tahun 2010 yang dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara
usia orang tua dan risiko autisme. Hasil penelitian ini, risiko autisme meningkat
sebesar 29% untuk setiap peningkatan usia ayah selama 10 tahun. Ayah yang berusia
antara 34 dan 39 memiliki risiko hampir dua kali lipat lebih besar, dan mereka yang
lebih tua dari 40 memiliki risiko lebih dari dua kali lipat (2,58) lebih besar untuk
memiliki anak yang terkena dampak dibandingkan dengan yang berusia 25- 29 tahun
(Karimi, P. et al., 2017).

Urutan kelahiran juga mempengaruhi karena anak yang lebih muda biasanaya
akan menerima jumlah vaksin yang terus meningkat di lingkungan yang semakin
berbahaya.

Selain itu beberapa faktor eksternal yang dapat mempengaruhi munculnya


autism adalah paparan prenatal terhadap polusi udara atau pestisida tertentu, obesitas
ibu, diabetes, gangguan sistem kekebalan, prematuritas ekstrim, serta berat lahir
sangat rendah.
Paparan prenatal dan faktor ibu berhubungan dengan sistem kekebalan ibu,
kondisi metabolisme tertentu, atau peradangan pada saat hamil. Hal ini dapat memicu
risiko autisme yang lebih tinggi pada anak. Sejumlah ibu yang mempunyai anak autis
memiliki antibodi dan protein dalam tubuh yang melawan infeksi. Ababila ini terjadi,
maka dapat mengganggu perkembangan otak anak yang kemungkinan mengarah ke
autisme. Paparan logam berat sebelum melahirkan seperti merkuri, timbal, atau
arsenic juga dapat memicu timbulnya kelainan pada janin. Dalam sebuah penelitian
dikatakan bahwa seorang anak autis rendah mangan dan seng atau logam yang penting
untuk kehidupan, tetapi memiliki kadar timbal yang tinggi. Paparan insektisida pada
ibu selama awal kehamilan juga dikaitkan dengan risiko autisme yang lebih tinggi.
(National Institute of Environmental Health Sciences., 2020)
Munculnya autism juga banyak dihubungkan dengan gangguan metabolik,
perdarahan, dan infeksi ibu selama kehamilan. Perdarahan pada ibu hamil dikaitkan
dengan peningkatan risiko autisme 81% yang signifikan, dan gangguan metabolik,
seperti diabetes, hipertensi, dan obesitas, serta hipoksia dimana berbagai gangguan ini
dapat mengakibatkan perkembangan otak yang kurang dan induksi perubahan
mielinisasi, adhesi membran, dan defisiensi neuron hipokampus (area otak yang
sangat terlibat dalam autisme). Selain itu ibu yang mengalami infeksi virus rubella,
campak, gondongan, cacar air, influenza, herpes, pneumonia , sifilis, varicella zoster,
dan cytomegalovirus pada trimester pertama kehamilan dan infeksi bakteri pada
trimester kedua akan meningkatkan risiko autisme pada embrio karena disebabkan
oleh aktivasi kekebalan ibu yang abnormal sehingga dalam tubuh ibu terjadi
peningkatan kadar sitokin yang berpengaruh pada perkembangan otak embrionik.
(Karimi, P. et al., 2017).
Seorang ibu hamil yang meiliki gangguan mental seperti depresi, kecemasan,
dan stres berat selama 21-32 minggu kehamilan (periode plastisitas yang meningkat
untuk pembentukan janin dan perkembangan) juga berpotensi melahirkan anak
dengan gangguan autism. Keadaan psikologis yang tidak sehat dan berkepanjangan ini
dapat menyebabkan beberapa gangguan seperti agresi pada ibu yang dapat
menyebabkan janin terpapar pada peningkatan kadar kortisol melalui penghentian
aksis HPA ibu. Lalu memperkuat steroid adrenal seperti kortisol dan meningkatkan
permeabilitas plasenta ke hormon-hormon tersebut sehingga perkembangan janin
(melalui epigenom) terganggu dan bahkan sistem respons stres janin, jalan untuk
berbagai gangguan fisik dan mental termasuk autisme akan dibuka. (Karimi, P. et al.,
2017).
Penggunaan obat pada ibu hamil, dapat peningkatan risiko autisme sebesar
46%. Hal ini karena penggunaan obat sembarangan dapat memicu adanya
penyilangan plasenta dan mengganggu perkembangan janin. Contohnya obat
antiepilepsi, asam valproate yang bisa menyebabkan sindrom valproat janin,
meningkatkan stres oksidatif dan pola ekspresi gen yang bervariasi lalu kemudian hal
ini akan membuat anak menjadi terhambat dalam perkembangan, motorik dan
perilaku social. Selain itu obat lain seperti parasetamol (asetaminofen) juga bisa
menginduksi apoptosis dan nekrosis yang ada pada otak autis (Karimi, P. et al., 2017).
Faktor lain datang dari permasalahan ekonomi keluarga. Munculnya autism
dapat berakar dari keluarga yang paling miskin karena keluarga ini mengalami tingkat
kesehatan yang rendah, sosialitas yang tidak tepat dan kondisi kehidupan yang tidak
stabil karena masalah keuangan. Selain itu pada keluarga dengan kondisi keuangan
yang kurang berpotensi menerima paparan stres dan kecemasan yang lebih tinggi dari
keluarga yang semua kebutuhannya terpenuhi dengan baik terutama pada ibu hamil
(Karimi, P. et al., 2017).
Pada saat kelahiran yang prematur (<35 minggu) dapat meningkatan risiko
autisme yang signifikan. Terlebih jika saat kehamilan terdapat beberapa faktor resiko
autism pada Ibu. Setelah itu faktor setelah kelahiran bayi menjadi hal yang harus
diperhatikan seperti berat badan lahir rendah, ikterus, dan infeksi pascakelahiran.
Berat janin di bawah 2.500 g dianggap sebagai berat lahir rendah/ BBLR hal ini
memiliki resiko autis dua kali lipat.
Ikterus postnatal (produksi bilirubin yang tinggi) memiliki resiko empat kali
lipat autisme jika bertahan hidup.

Infeksi postnatal seperti meningitis gondok, varicella, demam yang tidak


diketahui, dan infeksi telinga pada 30 hari pertama kehidupan juga sangat
berkontribusi pada risiko tinggi autism (Karimi, P. et al., 2017).
Namun faktor-faktor lingkungan atau eksternal ini tidak dapat muncul secara
sendiri melainkan berhubungan dengan faktor bawaan lain seperti gen atau faktor lain
baik dari anak maupun orang tua.

Referensi
Weiler, J.L. (2016). The Environmental and Genetic Causes of Autism. New York: Skyhorse
Publishing.
National Institute of Environmental Health Sciences. (2020). Autism. Retrieved from
https://www.niehs.nih.gov/health/topics/conditions/autism/index.cfm#:~:text=Progres
s%20has%20been%20made%20toward,diabetes%2C%20or%20immune%20system
%20disorders.
Huzaemah. (2010). Kenali Autisme Sejak Dini. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Maghfiroh, V.S. & Rif’ati, M.I.. (2019). Psikoedukasi Autisme (Autism Spectrum Disorder).
Surabaya : Program Studi Magister Psicologi Universitari Airlangga. Retrieved from
https://www.researchgate.net/publication/335291771_PSIKOEDUKASI_AUTISME_
AUTISM_SPECTRUM_DISORDER.
Karimi, P. et al. (2017). Environmental Factors Influencing The Risk of Autism. Retrieved
from https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5377970/.

Anda mungkin juga menyukai