AUTIS
DISUSUN OLEH:
WAHYUNI
C12113708
(………………………………………) (……………………………………….)
PROFESI NERS
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
TAHUN 2015
LAPORAN PENDAHULUAN
AUTIS PADA ANAK
A. Definisi
Autisme merupakan gangguan perkembangan yang kompleks pada fungsi otak
yang disertai defisit intelektual dan perilaku yang bervariasi tergantung tipe dan
keparahan. Manifestasi autisme dapat terlihat selama periode anak-anak, terutama dari
usia 18 sampai 36 bulan. Autisme terjadi pada 1 sampai 2 per 500 anak, lebih sering
pada laki-laki dimana 4 kali lebih banyak daripada perempuan dan ini tidak
berhubungan dengan tingkat sosial ekonomi, ras ataupun pola pengasuhan.
Autisme adalah satu dari lima gangguan perkembangan pervasif, yaitu suatu
gangguan syaraf yang dicirikan oleh kerusakan hebat dan besar pada beberapa bidang
perkembangan. Autisme merupakan kumpulan gejala (spektrum). Perilaku khas
gangguan spektrum autisme bisa atau belum muncul pada masa bayi, tetapi umumnya
sudah tampak jelas selama masa kanak-kanak awal (2-6 tahun).
C. Etiologi
Penyebab autisme masih belum diketahui semuanya. Karena fenomena ini
terjadi di usia yang begitu muda, banyak peneliti yang mengatakan kalau ini adalah
hasil dari kelahiran yang kurang sempurna, mungkin otaknya telah mengalami
disfungsi (Rimland, 1964 dalam Crain, 2007). Sementara itu, ada pendapat lainnya
yanng mengatakan bahwa auitisme disebabkan oleh interaksi awal dengan
lingkungan sosial pertamanya, yaitu orang tua atau pengasuhnya. Lebih khusus
lagi, di awal hidupnya anak gagal mengambangkan perasaan otonomi, yang
didefinisikan sebagai perasaan yang membuat anak bisa memiliki rasa kasih sayang
kepada lingkungannya (Crain, 2007).
Penyebab kelainan ini masih belum diketahui secara pasti dan masih dalam
tahap penelitian, tetapi dalam beberapa asumsi menyatakan bahwa penyebab dan
faktor pencetus autisme dapat berasal, dari ( Budhiman, 2002) :
1. Lingkungan yang terpapar oleh organisme atau bahan beracun seperti virus,
jamur, rubella, herpes toxoplasma dalam vaksin imunisasi MMR (Mums,
Measles, Rubella), zat aditif yaitu MSG, pewarna, ethil mercury (Thimerosal)
dalam pengawetmakanan, serta beberapa logam berat seperti Arsen (As),
Cadmium (Cd), Raksa (Hg), Timbal (Pb), alergi berat, obat-obatan, jamu
peluntur, muntah hebat, perdarahan berat.
2. Adanya gangguan pencernaan dan radang dinding usus karena alergi sehingga
terjadi ketidaksempurnaan pencernaan kasein dan gluten.
3. Kelainan otak organik, hal ini dimungkinkan karena adanya kelainan SSP yaitu
jumlah serat Purkinje Cerebellum yang diikuti oleh dampak menurunnya jumlah
serotonin sehingga jumlah rangsang informasi antar otak menurun. Pada
struktur sistem limbik otak yang mengatur emosi juga mengalami kelainan.
4. Faktor genesis atau keturunan (yang diperkirakan menjadi penyebab utama) dan
kelainan gen yang dapat menyebabkan gangguan proses sekresi logam berat dari
tubuh yang dapat berdampak pada keracunan otak. Hal ini dapat menjadi
pencetus autisme jika ada faktor pemicu lain yang ikut berperan.
Faktor pemicu lain yang berperan dalam timbulnya gejala Autisme adalah :
D. Patofisiologi
Diperkirakan bahwa genetik merupakan penyebab utama dari autisme. Tapi
selain itu juga faktor lingkungan misal terinfeksi oleh bahan beracun yang akan
merusak struktur tubuh. Selain itu bahan-bahan kimia juga dapat menyebabkan
autisme.karena kita ketahui bahwa bila bahan tersebut masuk dalam tubuh akan
merusak pencernaan dan radang dinding usus karena alergi. Bahan racun masuk
melalui pembuluh darah yang bila tidak segera diatasi bisa menuju ke otak kemudian
bereaksi dengan endhorphin yang akan mengakibatkan perubahan perilaku.
Anak dengan autisme mengalami gangguan pada otaknya yang terjadi karena
infeksi yang disebabkan oleh jamur, logam berat, zat aditif, alergi berat,obat-obatan,
kasein dan gluten. Infeksi tersebut terjadi pada saat bayi dalam kandungan maupun
setelah lahir. Kelainan yang dialami anak autisme terjadi pada otak bagian lobus
parietalis, otak kecil (cerebellum) dan pada bagian sistem limbik. Kelainan ini
menyebabkan anak mengalami gangguan dalam berpikir, mengingat dan belajar
berbahasa serta dalam proses atensi. Sehingga anak dengan autisme kurang berespon
terhadap berbagai rangsang sensoris dan terjadilah kesulitan dalam menyimpan
informasi baru.
1) Tak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai, kontak mata
kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerak gerik kurang tertuju.
2) Tak bisa main dengan teman sebaya.
3) Tak dapat merasakan apa yang dirasa orang lain.
4) Kurangnya hubungan sosial dan emosional yang timbal balik.
1) Bicara terlambat / bahkan sama sekali tak berkembang (dan tak ada usaha
untuk mengimbangi komunikasi dengan cara lain tanpa bicara).
c. Suatu pola yang dipertahankan dan diulang dari perilaku, minat dan kegiatan
1) Pertahankan 1 minat atau lebih dengan cara yang khas dan berlebih.
1) Interaksi sosial
Dalam bidang yang masih merupakan grey area, dokter dan orang tua harus
memahami bahwa tidak semua publikasi kedokteran atau publikasi lain adalah
benar atau sahih. Dokter harus mempelajari teknik menilai Evidence-based
medicine sehingga mereka dapat menentukan apakah suatu publikasi memang
benar atau kurang benar, dan mendiskusikan hal tersebut dengan orang tua.
Selanjutnya, karena ilmu kedokteran belum dapat memberi jawaban yang pasti,
muncul berbagai terapi komplementer dan alternatif. Bila terapi komplementer dan
alternatif ini memang merupakan hasil suatu penelitian yang sahih, pasti akan di
adopsi oleh dunia kedokteran sebagai terapi standar. Dokter dan orang tua harus
waspada terhadap laporan anekdotal, testimoni, serta berbagai klaim berlebihan
mengenai kesembuhan, terutama bila teknik pengobatan tersebut memerlukan
kepatuhan, waktu, enerji, dan biaya yang berlebihan.
Akhirnya, khusus dalam bidang autisme tidak ada yang dapat mengklaim
diri sebagai pakar, tidak ada juga yang dapat mengklaim bahwa autisme milik
suatu subspesialisasi tertentu. Kerjasama antara dokter, terapis dan orang tua
sangat penting demi kemajuan anak, jangan saling merasa benar sendiri atau saling
menyalahkan.
Tetapi Menurut Beberapa Sumber Ada Terapi Yang Biasanya Digunakan
Yaitu :
1. Terapi perilaku misal dengan Tx. Okupasi, Tx. Wicara, sosialisasi dengan
menghilangkan perilaku yang tidak benar.
Terapi perilaku pada anak dengan autisme berguna untuk mengurangi
perilaku yang tidak lazim dan menggantinya dengan perilaku yang bisa
diterima oleh masyarakat.
a. Terapi Okupasi
Terapi okupasi pada anak dengan autisme bertujuan untuk
membantu menguatkan, memperbaiki koordinasi dan ketrampilan ototnya
karena kadang anak autisme juga mempunyai perkembangan motorik yang
kurang baik.
b. Terapi Wicara
Speech Therapy merupakan suatu keharusan karena semua penyandang
autisme mempunyai keterlambatan bicara dan kesulitan berbahasa
Jenis obat, food suplement dan vitamin yang sering dipakai saat ini untuk
anak autisme adalah risperidone (Risperdal), ritalin, baloperidol, pyridoksin
(vit. B6), DMG (vit. B15), TMG, magnesium, omega-3 dan omega- 6.
Pada saat ini masih belum terdapat terapi medis maupun psikologis
yang dianggap efektif dalam proses penyembuhan autis ini. Tujuan umum
terapi pada autis ini menurut Sacharin (1995) ialah untuk membantu mengatasi
cacatnya dan mengembangkan ketrampilan sosialnya. Farmakoterapi pada
penderita auits hany a bermanfaat untuk menangani masalah penyimpangan
perilaku ( gelisah, selalu ribut, dan berusaha untuk melukai diri sendiri)yaitu
dengan Tionidazin dan Klorpromazin. Keadaan tidak bisa tidur dapat diatasi
dengan Sedatif(Kloralhidrat), konvulsi dapat diatasi dengan Antikonvulsant,
dan hiperkinesis dapat diatasi dengan diit bebas pengawet. Metode terapi non
farmakologis dapat berupa dukungan Reward-punishment yaitu pemberian
haida sebagai dorongan positif dan dorongan negatif berupa hukuman.
Penyebab multifaktorial:
gangguan biokimia,
gangguan pada otak
lingkungan terkontaminasi zat
beracun
Alergi makanan, gangguan
penyerapan Glutein dan kasein
Genetik
Vaksin MMR: mngdg zat yg
terdiri dari atilmerkuri
Terpapar logam berat, Virus,
TORCH
Hippocampus dan
Otak kecil (cerebellum pd
amygdala
lobus VI & VII)
Gangguan pd proses
sensoris, daya ingat, Hambatan komunikasi verbal
berpikir, belajar
berbahasa,& perhatian.