Anda di halaman 1dari 9

A.

AUTISM SPECTRUM DISORDER


a. Definisi gangguan spektrum autisme

Kata “Autisme” diambil dari bahasa yunani, Autos (self, diri sendiri) dan Ismos
(state/action/keadaan/tindakan). Kata tersebut digunakan pertama kali oleh Eugen
Bleuler untuk menerangkan dewasa penyandang schizophrenia yang menarik dirinya ke
dalam dunianya sendiri, sikap dan perilakunya tidak sesuai dengan realita lingkungan
(Bernier & Gerdts, 2010; Irwin dkk, 2011). Kemudian Leo Kanner, pada tahun 1943,
melakukan studi pada 11 anak yang tidak mampu melakukan interasksi dengan orang
lain dan lingkungan serta menunjukkan sikap dan perilaku menyendiri, tidak mampu
menggunakan bahasa dalam berkomunikasi, dan menunjukkan perilaku yang berulang.
Leo Kanner menyebut gangguan tersebut dengan nama Early Infantile Autism (Irwin
dkk, 2011; Neale dkk, 1995).

Pada standar acuan gangguan mental, Diagnostic and Statistical Manual of


Mental Disorder (DSM) IV, mendefinisikan bahwa gangguan autisme sebagai keadaan
perkembangan yang bermasalah pada perkembangan perilaku, interaksi sosial dan
komunikasi serta perilaku berulang. (American Psychiatric Association, 2000).

Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) V menyatakan


bahwa gangguan spektrum autisme merupakan gejala gangguan spektrum autisme yang
muncul saat awal usia perkembang yaitu sebelum usia 3 tahun yang mengganggu
kehidupan sehari-hari (American Psychiatric Association, 2013).

Sebelum tahun 1980 DSM, belum memasukkan istilah autisme pada kategori
gangguan mental. Jika ada anak yang menunjukkan gangguan perilaku autistik, maka
anak akan didiagnosa gangguan mental dengan gejalanya yang mendekati, yaitu
gangguan dengan reaksi Schizophrenia (Kaufmann, 2012).

Pada tahun 1980, istilah autisme mulai dimasukkan dalam DSM sebagai kriteria
gangguan yang ada dalam diagnosa gangguan payung Pervasive Developmental
Disorders, dengan kriteria gangguan autisme yang mencakup Autistic Disorders,
Asperger’s Syndrome, Pervasive Development Disorder-Not Otherwise Spesific. Pada
tahun 2013 berdasarkan DSM V, gangguan autisme dimasukkan dalam satu diagnosa
tersendiri yaitu Autism Spectrum Disorders.
(Malucelli 2020 dan APA: 2020) menemukakan bahwa Autism Spectrum
Disorder (ASD) adalah gangguan perkembangan neurologis yang ditandai dengan
perbedaan yang signifikan dan persisten dalam interaksi dan komunikasi sosial, selain
pola stereotip dan berulang dari perilaku, aktivitas, atau minat.

b. Masalah pada anak dengan spektrum autisme

Anak dengan spektrum autisme memiliki masalah pada interaksi sosial, perilaku
dan komunikasi.

1) Masalah Interaksi Sosial

Masalah yang terjadi pada umumnya adalah tidak memahami perilaku sosial
non verbal kontak mata, gesture, ekspresi muka, berhubungan dengan orang lain
secara sosial, kurangnya spontanitas (Volkmar dkk, 2005; Bernier & Gerdts,2010).
Berdasarkan Theory of Mind Anak dengan spektrum autisme tidak mampu
memahami atau menempatkan diri pada posisi mental orang lain (Baron-Cohen,
2001). Ketidakmampuan menempatkan diri berdampak pada perilaku tidak tertarik
untuk menaruh perhatian pada orang di lingkungannya ataupun tertarik dengan
apa yang menarik perhatian orang di lingkungannya (joint attention)adanya joint
attention ditandai dengan perilaku menunjuk benda yang diinginkan dan melihat apa
yang ditunjuk oleh orang lain. (Bernier & Gerdts, 2010).

Masalah membina hubungan dengan teman sebaya sering terjadi pada anak
dengan spektrum autisme. Beberapa anak memperlihatkan ketertarikan mengamati
teman sebaya, tetapi tidak berminat untuk bermain bersama. Beberapa kasus
menunjukkan bahwa anak dengan spektrum autisme yang bisa bermain dengan
teman sebayanya menunjukkan kesulitan untuk memulai, menjaga dan membangun
hubungan.

Salah satu yang termasuk paada aspek masalah sosial adalah kurangnya
hubungan sosial dan emosional secara timbal balik. Pada anak usia dini, hal ini
terjadi karena adannya masalah komunikasi. Hal ini berhubungan dengan tahap
perkembangan linguistik karena pada usia dini, anak menggunakan bahasa non
verbal yaitu kontak mata, bahasa tubuh, ekspresi muka untuk mengkomunikasikan
apa yang mereka inginkan (Landa, 2007).
2) Masalah Komunikasi

Dalam berinteraksi seseorang membutuhkan komunikasi. Komunikasi


merupakan konsep yang menyangkut aspek linguistik, paralinguistik dan pragmatik.
Pada masalah komunikasi, penekanan masalah pada aspek linguistik, sedangkan pada
masalah dalam interaksi sosial, penekanan masalah lebih pada aspek pragmatik.

Masalah pada komunikasi pada anak dengan spektrum autisme lebih pada
frekuensi dan keragaman komunikasi (perilaku babbling, gestures, mengucapkan
konsonan, mengucapkan kata, kombinasi kata). (Wetherby dkk, 2004; Goldberg dkk,
2005). Anak dengan spektrum autisme cenderung terlambat dalam berbicara, kesulitan
untuk memulai percakapan, menjaga percakapan, mengulang kata yang mereka dengar
atau echolalia.

Bentuk komunikasi untuk memberitahu apa yang anak inginkan dan butuhkan,
sangat terbatas, hal ini berdampak pada kurangnya inisiatif untuk mengkomunikasikan
apa yang mereka tuju. Ketidak mampuan tersebut merupakan karakteristik pembeda
antara anak dengan spektrum autisme dengan anak yang mengalami gangguan
perkembangan lain (Wetherby dkk, 1998).

3) Masalah Perilaku

Anak dengan spektrum autisme seringkali menampilkan perilaku yang terbatas,


berulang dan berpola. Anak autis memiliki pola perilaku yang kaku, seringkali
memunculkan gerakan motorik yang dilakukan berulang, ketertarikan yang berlebihan
pada suatu benda, terikat pada pola perilaku tertentu merupakan contoh dari perilaku
bermasalah pada anak dengan spektrum autisme. (Cunningham & Schreibman, 2008).

Perilaku terbatas yang berulang dan memiliki perilaku yang kaku berupa
gerakan atau perilaku memainkan benda secara terus menerus dapat juga
bermanifestasi pada perilaku yang memainkan suatu bagian dari benda secara terus
menerus atau kelekatan yang tidak wajar pada suatu obyek/bagian dari obyek. (Healy
& Leader, 2011).
c. Konsep Komunikasi Anak Autis

Komunikasi adalah proses untuk menyampaikan informasi dari seseorang


kepada orang lain dengan secara verbal ataupun non-verbal, komunikasi dapat terjadi
secara satu arah ataupun dua arah. Komunikasi bisa dilakukan dengan cara menulis,
kontak mata, berbicara, gerakan tubuh, mimik wajah, menunjuk benda. Berkomunikasi
bukan sekedar berbicara atau berkata-kata, namun keseluruhan proses penyampaian dan
penerimaan informasi. Komunikasi, dapat diartikan sebagai proses penyampaian suatu
pernyataan oleh seseorang pada orang lain sebagai konsekuensi dari hubungan sosial.
Komunikasi memiliki tujuan, yaitu untuk memberi tahu (informatif) ataupun untuk
mengubah sikap, pendapat, atau perilaku (persuasif), secara lisan (verbal) ataupun
melalui media (non verbal), yaitu melalui tulisan atau isyarat. Rogers dan Kincaid
(dalam Cangara 2005) menjelaskan bahwa, “komunikasi merupakan suatu proses
dimana dua orang atau lebih melakukan pertukaran informasi antara satu dengan yang
lainnya, yang pada gilirannya terjadi pengertian yang saling mendalam. Penjelasan
tersebut, sejalan dengan Hallahan & Kaufman (2006) yang menyatakan bahwa, proses
komunikasi adalah proses berbagi (sharing) antara dua orang atau lebih individu.
Firdiana, Ade D (2011) menyatakan bahwa terdapat empat komponen yang
memmbentuk komunikasi dasar, yaitu:

1) Kemampuan komunikasi awal (Precursor Skills), dasar-dasar komunikasi non verbal


yang biasanya digunakan untuk menyampaikan informasi sebelum munculnya
kemampuan berbicara. Banyak berkembang saat bayi, seperti : menunjuk,
memusatkan perhatian bersama, kontak mata, imitasi.
2) Kemampuan ekspresi (Expressive communication), adalah usaha untuk
menyampaikan informasi pada orang lain, misalnya: memproduksi suara,
menggunakan kata dan kalimat, meminta, bertanya, echolalia (mengulang kata-kata
yang telah didengar).
3) Kemampuan reseptif (Reseptive Communication), adalah usaha dan perilaku
menerima dan memahami informasi pada orang lain, seperti: menyahut ketika
dipanggil, mengikuti perintah sederhana, menjawab pertanyaan, serta mampu
memecahkan masalah.
4) Kemampuan pragmatis, adalah usaha menngunakan keseluruhan kemampuan
komunikasi awal, ekspresif dan reseptif dalam suatu konteks interaksi sosial,
misalkan: memberikan salam ketika bertemu orang lain, menggunakan gesture
ketika berbicara, memahami jarak personal yang perlu dibuat agar orang lain
nyaman berinteraksi dengan kita.

Anak autis mengalami kesulitan untuk mengembangkan komponen-


komponen komunikasi ini. Menurut Dyer, L. (2009) mengemukakan bahwa dalam
proses komunikasi dibutuhkan kemampuan bahasa dan bicara, berikut pernyataan
tersebut, Bahasa merupakan konsep yang lebih luas daripada kemampuan bicara.
Bahasa merupakan suatu sistem simbolik yang digunakan untuk mewakili pikiran
seseorang dengan mengacu pada kosa kata, tata bahasa dan kondisi sosial yang
mengatur cara kita berkomunikasi melalui berbagai sarana seperti berbicara,
memberikan isyarat tubuh dan menulis. Dalam perpesktif ekologis, bahasa dan
bicara merupakan alat komunikasi yang berkembang sebagai hasil dari fungsi
interaksi antara anak dengan lingkungannya, terutama dengan orang tua dan orang
lain yang signifikan. Kofi Marto (1988) (dalam Sunardi&Sunaryo, 2007)
menyatakan bahwa komunikasi adalah fungsi aktivitas, harapan, hubungan, tujuan,
dan motivasi bersama yang sifatnya unik untuk menjaga kelangsungan hubungan.
Erat kaitannya antara bahasa dan bicara dengan komunikasi digambarkan oleh
Spoon, dkk. (2002) (dalam Sunardi&Sunaryo, 2007) sebagai berikut: Goldberg,
Wendy A (2005); Carr, James E. (2011) menyebutkan bahwa, tahapan komunikasi
yang harus dikembangkan yaitu kemampuan bahasa reseptif terlebih dahulu,
sebelum kemampuan bahasa ekpresifPendapat lain tentang definisi bahasa ekspresif
disampaikan oleh Maurice (dalam Yuwono, 2009) bahasa ekspresif adalah
kemampuan anak dalam penggunaan kata – kata dan bahasa secara verbal, tulisan,
simbol, isyarat ataupun gestur untuk mengkomunikasikan konsep atau pikiran. Anak
autis pada awalnya tidak memiliki alasan untuk berkomunikasi (tidak tertarik, tidak
ada kebutuhan), dan ketika mereka sudah tertarik untuk berkomunikasi, mereka
memiliki masalah lain yaitu, kesulitan mengungkapkan, tidak dapat menjalin kontak
mata, sulit memusatkan perhatian, dsb. Menurut Susman (dalam Yuwono, 2009)
menjelaskan bahwa perkembangan komunikasi anak autis berkembang melalui
empat tahapan, yaitu

a) The Own Agenda Stage

Anak cenderung bermain sendiri dan tampak tidak tertarik pada orang –
orang sekitar. Untuk mengetahui keinginannya kita dapat memperhatikan gerak
tubuh dan wajahnya. Anak dapat berinteraksi cukup lama dengan orang yang
sudah dikenal, namun akan kesulitan dan menolak berinteraksi dengan orang
baru. Anak akan menangis dan berteriak jika merasa terganggu atau menolak
terhadap aktivitas bermainnnya.

b) The Requester Stage

Anak telah menyadari bahwa prilakunya dapat mempengaruhi orang


lain.Bila memungkinkan anak akan menarik tangan dan mengarahkan pada
benda yang diinginkan. Pada tahap ini, anak sudah dapat memproduksi suara
tetapi bukan sebagai fungsi komunikasi namun hanya untuk menenangkan
diri. Anak dapat mengenal perintah sederhana, tetapi responnya belum
konsisten. Anak juga telah dapat melakukan aktivitas yang bersifat rutinitas.

c) The Early Communication Stage

Pada tahap ini anak sudah mampu menggunakan gestur, gambar dan
suara untuk berkomunikasi. Anak dapat berinteraksi dalam waktu yang cukup
lama dan dapat menggunakan satu bentuk komunikasi dalam situasi
tertentu.Inisiatif untuk berkomunikasi masih terbatas pada hal yang disukai.
Pada tahap ini anak telah mulai mengulang hal–hal yang didengar, mulai
memahami isyarat visual/gambar dan memahami kalimat–kalimat sederhana
yang diucapkan.

d) The Partner Stage

Bila kemampuan bicara anak sudah baik, maka ia berkemungkinan


dapat melakukan percakapan sederhana. Anak mampu menceritakan kejadian-
kejadian yang telah berlalu, meminta untuk memenuhi keinginan untuk
menemukan topik pembicaraan baru serta cenderung menghafal kalimat.

Hambatan komunikasi anak yang akan dikaji pada penelitian ini yaitu
pada kemampuan komunikasi verbalnya, dimana aktivitas bicara anak masih
terbatas. Anak tidak menggunakan bicara untuk mengungkapkan keinginan
seperti meminta sesuatu hanya dengan menarik tangan orang disekitar,
pengucapan yang tidak jelas, serta anak tidak menunjukkan usaha untuk
berkomunikasi. Indriyati (2011) menjelaskan bahwa gangguan bahasa dan
bicara yang menyertai seseorang karena kondisi autismenya yaitu kesulitan
dalam mmengekspresikan bahasa menimbulkan frustasi bagi anak sehingga
anak akan berusaha berkomunikasi dengan memunjuk dengan jarinya,
menggandeng untuk menunjukkan ke mana akan pergi atau minta apa, atau
dengan tidak menjawab pertanyaan karena tidak tahu bagaimana harus
mengungkapakan jawaban. Sugiarmin (2013) mengungkapkan bahwa
gangguan dalam komunikasi verbal anak autisme meliputi: terlambat bicara,
merancau dengan bahasa yang tidak dimengerti, mulai mengucapkan kata-kata
namun tidak memahami artinya, ekolalia, menarik tangan bila menginginkan
sesuatu, dan beberapa anak pandai menirukan nyanyian, nada dan kata-kata
namun tidak memahami artinya. Kesulitan bahasa verbal anak tersebut
menjadi fokus peneliti dalam membuat rancangan program intervensi dini
yang dapat dijadikan sebagai panduan orang tua dalam melakukan intervensi
komunikasi verbal kepada anak secara mandiri.

B. PELATIHAN ORANGTUA
Saat ini, tidak ada obat khusus untuk ASD, dan intervensi dipercaya dapat
meningkatkan perkembangan (Dawson dkk. 2010). Autism Society of America
menyarankan agar anak-anak dapat diterapi 25-40 jam intervensi perminggu (American
Psychiatric Association 2010). Namun, penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa
sekitar sepertiga anak dengan ASD memiliki masalah dalam mengakses layanan yang
diinginkan karena sumber daya dan biaya terbatas (Dai dkk. 2018 ).
Faktor biaya menjadi salah satu penyebab anak penyandang ASD tidak mendapatkan
intervensi yang cukup. Banyak keluarga mencari strategi intervensi dengan biaya rendah
(Liu dkk. 2016). Oleh karena itu, intervensi yang diberikan orang tua dapat menjadi
alternatif dan untuk mengurangi biaya (Manohar dkk. 2019). Orang tua merupakan orang
yang paling dekat anak-anak, mereka memahami keterampilan dan perilaku anak-anak
mereka. Selain itu, anak-anak bisa lebih nyaman berinteraksi dengan orang tua. Oleh
karena itu, orang tua dapat menjadi pilihan untuk melakukan intevensi anak ASD.
Intervensi yang diberikan oleh orang tua di lingkungan secara alami dapat meningkatkan
waktu bersama anak dan memberikan (Dai dkk. 2018). Beberapa penelitian menyatakan
bahwa intervensi yang diberikan orang tua dapat meningkatkan komunikasi, dan
keterampilan bermain (Beaudoin dkk. 2014).
Mayoritas program pelatihan orang tua berlokasi di luar rumah atau melibatkan orang
tua yang menerima pelatihan individual di rumah dengan menyewa konsultan. Kedua
pendekatan ini memiliki keterbatasan, yang mungkin menghalangi orang tua untuk
mendapatkan pelatihan. Meninggalkan rumah untuk pelatihan bisa mahal, waktu

DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association. 2010. Diagnostic and statistical manual of mental


disorders: Text revision. Berlin: Springer.

Baron-Cohen, S. (2001). Theory of mind in normal development and autism. Prisme,


34(1), 74- 183.
Bernier, R. A., & Gerdts, J. (2010). Autism spectrum disorders: a reference
handbook. ABC CLIO.
Cangara, H. (2005). Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Rineka Cipta
Cunningham, A. B., & Schreibman, L. (2008). Stereotypy in autism: The importance
of function. Research in autism spectrum disorders, 2(3), 469-479.
Dai, Y. G., Brennan, L., Como, A., Hughes-Lika, J., Dumont- Mathieu, T., Carcani-
Rathwell, I., Minxhozi, O., Aliaj, B. And Fein, D. A. 2018. A video parent-training program
for families of children with autism spectrum disorder in Albania. Research in Autism
Spectrum Disorders, 56, 36–49.
Dawson, G., Rogers, S., Munson, J., Smith, M., Winter, J., Greenson, J., Donaldson,
A. and Varley, J. 2010. Randomized, controlled trial of an intervention for toddlers with
autism: the early start Denver model. Pediatrics, 125, e17–e23.
Indriati, Etty. (2011). Kesulitan Bicara dan Berbahasa Pada anak:Terapi dan
Strategi Orang Tua. Jakarta: Prenada Media Group.
Firdiana, Ade Dian. (2013). Guru dengan Pemahaman Perilaku Komunikasi Anak
dengan Autism. Malang: Pusat Layanan Autis. 111-119.
Goldberg, W. A., Jarvis, K. L., Osann, K., Laulhere, T. M., Straub, C., Thomas, E., ...
& Spence, M. A. (2005). Brief report: Early social communication behaviors in the younger
siblings of children with autism. Journal of autism and developmental disorders, 35(5), 657-
664.
Goldberg, Wendy A. (2005). Early Intervention in Autism. Infants&Young Children.
18(2). 74-85.
Hallahan dan Kauffman. (2005). Special Education What It Is and Why We Need It.
United States: Pearson Education. Inc.
Hallahan, D.P. & Kauffman, J.M. (2006). Exceptional Learners: Introduction to
Special Education 10th ed. USA: Pearson.
Healy, O., & Leader, G. (2011). Assessment of rituals and stereotypy. In International
handbook of autism and pervasive developmental disorders (pp. 233-246). Springer New
York..
Indriati, Etty. (2011). Kesulitan Bicara dan Berbahasa Pada anak:Terapi dan
Strategi Orang Tua. Jakarta: Prenada Media Group.
Irwin, J. K., MacSween, J., & Kerns, K. A. (2011). History and evolution of the
autism spectrum disorders. In International handbook of autism and pervasive developmental
disorders (pp. 3-16). Springer New York.
Kaufmann, W. E. (2012). DSM-5: The new diagnostic criteria for autism spectrum
disorders. In Research Symposium-Autism Consortium, Boston, MA.
Landa, R. (2007). Early communication development and intervention for children
with autism. Developmental Disabilities Research Reviews, 13(1), 16-25.
Liu, Y.M., Zhang, L.L., Wei, Y. and Yang, Y. 2016. Relationship between treatment
environment and treatment compliance and prognosis in children with autism spectrum
disorder. Chinese Journal of Clinical Research, 29, 1384–1387.
Manohar, H., Kandasamy, P., Chandrasekaran, V. and Rajkumar, R. P. 2019. Brief
parent-mediated intervention for children with autism spectrum disorder: a feasibility study
from South India. Journal of Autism and Developmental Disorders, 49,
3146–3158.
Malucelli, E. R., Antoniuk, S. A., & Carvalho, N. O. (2020). The effectiveness of early
parental coaching in the autism spectrum disorder. Jornal de Pediatria.
Sugiarmin, M dan Baihaqi, MIF. (Eds). (2012). Sekolah Inklusif Konsep dan
Penerapan Pembelajaran. Bandung: nuansa.
Sunardi & Sunaryo .(2007). Intervensi dini anak berkebutuhan khusus. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional.
Volkmar, F., Rogers, S., Paul, R., & Pelphrey, K. A. (2005). Handbook of autism and
pervasive developmental disorders.
Wetherby, A. M., Prizant, B. M., & Hutchinson, T. A. (1998). Communicative,
social/affective, and symbolic profiles of young children with autism and pervasive
developmental disorders. American Journal of Speech-Language Pathology, 7(2), 79-91.
Yuwono, Joko. (2009). Memahami Anak Autistik (kajian teoritik dan empirik).
Bandung: Alfabeta.

Anda mungkin juga menyukai