Anda di halaman 1dari 10

BAB II

PEMBAHASAN

A. Ilmu Nafs Al-Lughawi (Psikolinguistik)


1. Definisi Ilmu Nafs Al-Lughawi (Psikolinguistik)
Secara etimologi, kata psikolinguistik terbentuk dari kata psikologi dan
kata linguistik. Yakni dua bidang ilmu yang berbeda, yang masing- masing berdiri
sendiri dengan prosedur dan metode yang berlainan. Namun keduanya sama-sama
meneliti bahasa sebagai objek formalnya. Hanya objek materinya yang berbeda.
Linguistik mengkaji tentang bahasa dari segi fonologi, morfologi, sintaksis,
semantic. Sedangkan psikologi mengkaji prilaku berbahasa atau proses berbahasa.
Dengan kata lain, linguistik berkaitan dengan kompetensi bahasa (language
competency), sedangkan psikolinguistik berhubungan dengan performansi dari
kompetensi bahasa tersebut (language performance).
Emmon Bach dengan singkat dan tegas mengutarakan bahwa
psikolinguistik adalah suatu ilmu yang meneliti bagaimana sebenarnya para
pembicara atau pemakai suatu bahasa membentuk, membangun atau mengerti
kalimat bahasa tertentu.1 Sedangkan Paul Fraisse menyatakan bahwa,
“Psycholinguistiks is the study of relations between our needs for expression and
communication and the means offered to us by a language learned in one’s
childrood and later”. 2
Artinya, psikolinguistik adalah telaah tentang hubungan
antara kebutuhan-kebutuhan kita untuk berekspresi dan berkomunikasi melalui
bahasa yang kita pelajari sejak kecil dan tahap-tahap selanjutnya.
Dari beberapa definisi di atas berdasarkan ruang lingkupnya,
psikolinguistik adalah ilmu yang mempelajari aktivitas berbahasa manusia, baik
pemerolehan, pemahaman, maupun penggunaan bahasa. Psikolinguistik
merupakan ilmu yang terlahir dari perpaduan ilmu linguistik dan psikologi.
Perpaduan antardisiplin ilmu ini bertujuan agar manusia lebih mampu

1
Henry Guntur Taringan, Psikolinguistik, (Bandung: Angkasa. 2006), hlm. 3.

2
Cazacu Tatlana Slama, Introduction to Psycholinguistics, (Paris: Mouton. 2003), hlm.
39.

3
4

menguraikan fenoma kompetensi-performansi bahasa yang terjadi di kehidupan


masyarakat. Dengan memadukan keduanya, kelemahan linguistik yang hanya
membatasi kajian pada permasalahan bahasa, dan psikologi yang hanya mengkaji
akal manusia, bisa disempurnakan.
Selain itu, ilmu ini juga berpandangan bahwa ungkapan bahasa pada
manusia berdasarkan pada kecondongan jiwa yang berbeda antar individu dengan
lainnya. Oleh karena itu, maka akan berbeda perilaku ucapan antara satu orang
dengan yang lainnya, karena masing-masing berpandangan bahwa apa yang ia
lihat adalah sesuatu yang nyata dan benar menurutnya.

2. Sub-disiplin Ilmu Nafs Al-Lughawi (Psikolinguistik)


Seiring dengan berjalannya waktu, disiplin psikolinguistik yang
merupakan bidang ilmu yang sangat luas dan kompleks telah berkembang dengan
pesat sehingga melahirkan beberapa sub-disiplin psikolinguistik. Di antaranya
adalah sebagai berikut:
a. Psikolinguistik teoretis (theorethycal psycholinguistic)
Psikolinguistik teoretis mengkaji tentang hal-hal yang berkaitan dengan
teori bahasa, misalnya tentang hakikat bahasa, ciri bahasa manusia, teori
kompetensi dan performansi (Chomsky) atau teori langue dan parole (Saussure),
dan sebagainya.
b. Psikolinguistik perkembangan (development psycholinguistic)
Psikolinguistik perkembangan berbicara tentang pemerolehan bahasa, baik
pemerolehan bahasa pertama maupun bahasa kedua, peranti pemerolehan bahasa
(language acquisition device), periode kritis pemerolehan bahasa, dan sebagainya.
c. Psikolinguistik sosial (social psycholinguistic)
Psikolinguistik sosial sering juga disebut sebagai psikososiolinguistik
berbicara tentang aspek-aspek sosial bahasa. Misalnya: sikap bahasa, akulturasi
budaya, kejut budaya, jarak sosial, periode kritis budaya, pajanan bahasa,
pendidikan, lama pendidikan, dan sebagainya.
5

d. Psikolinguistik pendidikan (educational psycholinguistic)


Psikolinguistik pendidikan berbicara tentang aspek-aspek pendidikan
secara umum di sekolah, terutama mengenai peranan bahasa dalam pengajaran
bahasa pada umumnya, khususnya dalam pengajaran membaca, kemampuan
berkomunikasi, kemampuan berpidato, dan pengetahuan mengenai peningkatan
berbahasa dalam memperbaiki proses penyampaian buah pikiran.
e. Neuro-psikolinguistik (neuro-psycholinguistic)
Neuro-psikolinguistik berbicara tentang hubungan bahasa dengan otak
manusia. Misalnya, otak sebelah manakah yang berkaitan dengan kemampuan
berbahasa? Saraf-saraf apa yang rusak apabila seseorang terkena afasia broca dan
saraf manakah yang rusak apabila terkena afasia wernicke? Apakah bahasa itu
memang dilateralisasikan? Kapan terjadi lateralisasi? Apakah periode kritis itu
memang berkaitan dengan kelenturan saraf-saraf otak?
f. Psikolinguistik eksperimental (experimental psycholinguistic)
Psikolinguistik eksperimental ini berusaha untuk mengkaji tentang
eksperimen-eksperimen dalam semua bidang yang melibatkan bahasa dan
perilaku berbahasa.
g. Psikolinguistik terapan (applied psycholinguistic)
Psikolinguistik terapan berbicara tentang penerapan temuan-temuan
keenam sub-disiplin psikolinguistik di atas ke dalam bidang-bidang tertentu,
seperti psikologi, linguistik, berbicara dan menyimak, pendidikan, pengajaran
dan pembelajaran bahasa, pengajaran membaca, neurologi, psikiatri, komunikasi,
kesusastraan, dan lain-lain.3

3. Ruang Lingkup Ilmu Nafs Al-Lughawi (Psikolinguistik)


Psikolinguistik mencoba menganalisis objek linguistik dan objek psikologi
dengan menitikberatkan kajiannya pada bidang psikolinguistik. Psikolinguistik
mencoba menjelaskan bahasa dilihat dari aspek psikologi dan sejauh yang dapat
dipikirkan oleh manusia. Psikolinguistik merupakan ilmu linguistik terapan

3
Kholid A. Harras dan Andika Dutha Bachari, Dasar-Dasar Psikolinguistik, (Bandung:
UPI Press. 2009), hlm. 6-7.
6

(applied linguistics) yang membahas fenomena berbahasa atau hubungan bahasa


dengan akal, sebagaimana ilmu sosiolinguistik, neurolinguistik, leksikologi,
pembelajaran bahasa, semuanya membahas kaitan bahasa dengan aspek-aspek
eksternal bahasa.
Di dalam kurikulum pendidikan bahasa pada lembaga pendidikan tenaga
kependidikan, mata kuliah psikolinguistik dimasukkan dalam kelompok mata
kuliah proses belajar-mengajar, bukan pada kelompok mata kuliah
linguistik/kebahasaan. Hal ini karena pokok bahasan dalam psikolinguistik erat
kaitannya dengan kegiatan proses belajar-mengajar bahasa itu, yang mencakup
antara lain:
a. Hakikat bahasa, fungsi bahasa, komponen bahasa, alat-alat pemerolehan,
dan pembelajaran bahasa yang dimiliki manusia.
b. Proses lahirnya suatu bahasa, pemerolehan bahasa pertama (bahasa ibu),
pembelajaran bahasa kedua, penguasaan bahasa kedua, ketiga, atau
banyak bahasa.
c. Aktivitas otak saat proses berbahasa berlangsung, hubungan antara
bahasa dengan pikiran dan budaya.
d. Gangguan-gangguan dan penyakit berbahasa (seperti: afasia) dan
penyembuhannya.
e. Pembelajaran bahasa yang baik.4

4. Psikolinguistik dalam Pembelajaran Bahasa Arab


Psikolinguistik sangat erat kaitannya dengan pembelajaran bahasa, karena
di samping ruang lingkup pembahasan psikolinguistik yang mencakup
pembahasan fenomena pemerolehan dan pembelajaran bahasa, ia juga membahas
bagaimana pembelajaran bahasa yang baik. Begitu juga pembelajaran bahasa
Arab, yang meliputi prinsip pendidikan, prinsip psikologis, dan prinsip linguistik,
di mana ketiga prinsip ini merupakan titik temu antara linguistik dan
pembelajaran bahasa.5 Berikut akan dipaparkan titik temu psikolinguistik dengan
4
Abdul Chaer, Psikolinguistik: Kajian Teoretik, (Jakarta: PT Rineka Cipta. 2003), hlm. 7.
5
Mochamad Ismail, Peranan Psikolinguistik dalam Pembelajaran Bahasa Arab,
(Malang: Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim. 2013), hlm. 294-296.
7

pembelajaran bahasa Arab berdasarkan prinsip pendidikan, psikologis, dan


linguistik.
a. Prinsip pendidikan
Prinsip ini berkaitan dengan komponen kurikulum, yaitu: tujuan, metode,
materi, dan evaluasi pembelajaran. Dalam menentukan tujuan pembelajarannya,
seorang guru bahasa Arab harus mempertimbangkan beberapa hal, di antaranya:
motivasi, kemampuan, perbedaan individu, dll. Sedangkan metode pembelajaran
bahasa, harus mengikuti pendekatan atau teori pembelajaran yaitu behaviorisme
atau kognitivisme. Beberapa metode dengan pendekatan behaviorisme adalah
metode langsung dan audiolingual. Sedangkan metode dengan pendekatan
kognitivisme di antaranya metode Silent Way dan kaidah-terjemah. Begitu juga
dalam materi pembelajaran bahasa Arab, guru juga harus menyesuaikan materi
dengan kecenderungan pelajar dan signifikansi materi untuk pelajar.
b. Prinsip psikologis
Dari sudut prinsip psikologis, dapat dilihat hubungan antara
psikolinguistik dengan pembelajaran bahasa dari kaitan metode pembelajaran
bahasa dengan teori psikologi pembelajaran. Ada dua teori besar psikologi
pembelajaran yaitu behaviorisme dan kognitivisme. Teori behaviorisme
memfokuskan pembelajaran dengan teknik pembiasaan, pengulangan, peniruan,
penguatan, dan pengaruh, di mana teknik ini sesuai dengan metode langsung yang
membiasakan pelajar dengan bahasa tujuan dengan meninggalkan bahasa asli
pelajar. Begitu juga audiolingual yang memfokuskan pembelajaran bahasa dengan
meniru dan mengulang-ulang pelajaran bahasa. Sementara itu, teori kognitivisme
memfokuskan pembelajaran bahasa dengan teknik pemahaman dan pendalaman
dari segi kemampuan bahasa daripada performansi bahasa tersebut, sebagaimana
yang didengungkan oleh behaviorisme. Konsep ini sesuai dengan metode kaidah-
terjemah dan metode Silent Way.

c. Prinsip linguistik
Dari sudut prinsip linguistik, kita dapat melihat hubungan antara
psikolinguistik dengan pembelajaran bahasa dari kaitan metode pembelajaran
8

bahasa dengan teori linguistik. Teori linguistik adalah teori yang mengkaji analisa
bahasa, di mana ada dua aliran besar yaitu: strukturalisme dan transformatif-
generatif. Strukturalisme menganggap asal bahasa adalah ucapan-ucapan yang
dalam perjalanannya dirumuskan dengan tujuan memudahkan pembelajaran
bahasa. Sehingga pembelajaran bahasa mestinya diajarkan dengan teknik
peniruan, pembiasaan, pengulangan, sebagaimana pandangan behaviorisme.
Sedangkan transformative-generatif menganggap kaidah merupakan jembatan
yang menghubungkan antara penutur dengan pendengar, sehingga keduanya harus
menguasainya agar komunikasi seimbang. Oleh karena itu, teori ini berpandangan
bahwa pembelajaran bahasa hendaknya memfokuskan kepada penguasaan kaidah
bahasa, agar mampu berkomunikasi nantinya.
Adapun manfaat psikolinguistik dalam pembelajaran Bahasa Arab antara
lain sebagai berikut:
a. Dapat mengetahui kemampuan masing-masing individu dan perbedaan
daya serap dalam belajar bahasa.
b. Dapat mendeskripsikan bahwa apa yang diajarkan guru bahasa adalah
kemampuan berbahasa, khususnya kemampuan berbicara yang
merupakan ungkapan jiwa.
c. Dapat mengetahui problematika pengajaran bahasa dari sisi kemampuan
perolehan bahasa pada masing-masing anak didik, kajian yang
berhubungan dengan kemampuan anak dan kesulitan berbahasa, seperti
lamban berbicara (delayed speech), tertahan (dysphasia), berkata menyiut
(lisping), dan berkata gagap (stammering).6

B. Sejarah Ilmu Nafs Al-Lughawi (Psikolinguistik)


Gagasan pemunculan psikolinguistik sebenarnya sudah ada sejak tahun
1952, yaitu sejak Social Science Research Council di Amerika Serikat

6
Karim Zaki Husamuddin, Usul Turatsiyah Fi Ilmu Al-Lughah, (Mesir: Maktabah Anglo.
2005), hlm. 104.
9

mengundang tiga orang linguis dan tiga orang psikolog untuk mengadakan
konferensi interdisipliner. Secara formal, istilah psikolinguistik digunakan sejak
tahun 1954 oleh Charles E. Osgood dan Thomas A. Sebeok dalam karyanya yang
berjudul Psycholinguistics: A Survey of Theory and Research Problems. Sejak itu
istilah tersebut sering digunakan.
Psikologi berasal dari bahasa Inggris, yaitu psychology. Kata pscychology
berasal dari bahasa Greek (Yunani), yaitu dari akar kata psyche yang berarti jiwa,
ruh, sukma, dan logos yang berarti ilmu. Jadi, secara etimologi psikologi berarti
ilmu jiwa. Pengertian psikologi sebagai ilmu jiwa dipakai ketika psikologi masih
berada atau merupakan bagian dari filsafat, bahkan dalam kepustakaan kita pada
tahun 50-an, ilmu jiwa lazim dipakai sebagai padanan psikologi. Kini dengan
berbagai alasan tertentu (misalnya timbulnya konotasi bahwa psikologi langsung
menyelidiki jiwa), istilah ilmu jiwa tidak dipakai lagi. Ketika psikologi
melepaskan diri dari filsafat sebagai induknya dan menjadi ilmu yang mandiri
pada tahun 1879, yaitu saat Wiliam Wundt (1832-1920) mendirikan laboratorium
pskologinya, ruh dikeluarkan dari studi psikologi. Para ahli, di antaranya William
James (1842-1910) menyatakan bahwa psikologi sebagai ilmu pengetahuan
mengenai kehidupan mental.7

1. Aliran-Aliran Ilmu Nafs Al-Lughawi (Psikolinguistik)


Ada dua aliran psikolinguistik, yaitu sebagai berikut:
a. Aliran empirisme
Aliran empirisme erat hubungannya dengan psikologi asosiasi. Aliran ini
cenderung mengkaji bagian-bagian yang membentuk suatu benda sampai ke
bagian-bagiannya yang paling kecil, dan mendasarkan pengkajiannya pada faktor-
faktor luaran yang langsung dapat diamati. Oleh karena itu, aliran ini sering juga
disebut bersifat atomistik dan sering dikaitkan dengan asosiasionisme dan
positivisme.
b. Aliran rasionalisme

7
Muhammad Thoriqussu’ud, Pengantar Psikolinguistik, (Surabaya: UIN Sunan Ampel
Surabaya. 2004), hlm. 5-6.
10

Aliran ini cenderung mengkaji prinsip-prinsip akal dalaman dan nurani


atau kekayasan bawaan lahir (innatetroperties) yang bertanggung jawab mengatur
prilaku manusia. Aliran rasionalisme sering mengkaji akal secara keseluruhan dan
menganggap bahwa faktor-faktor dalaman akal itulah yang mesti diteliti untuk
memahami prilaku manusia itu. Oleh karena itu, aliran ini sering juga disebut
bersifat holistik dan dikaitkan dengan nativisme, idealisme, dan mentalisme.

2. Tiga Generasi Ilmu Nafs Al-Lughawi (Psikolinguistik)


Ada tiga generasi perkembangan psikolinguistik, yaitu sebagai berikut:
a. Psikolinguistik generasi pertama
Psikolinguistik generasi pertama ini ditandai oleh penulisan artikel
“Psycholinguistics: A Survey of Theory and Research Problems” yang disunting
oleh C. Osgoods dan Sebeok. Maka kedua tokoh ini dinobatkan sebagai tokoh
psikolinguistik generasi pertama. Titik pandang Osgoods dan Sebeok dipengaruhi
aliran behaviorisme. Tokoh lain psikolinguistik generasi pertama ini adalah
Bloomfoeld dan Skinner. Menurut Parera (1996) dalam Abdul Chaer generasi
pertama memiliki tiga kelemahan, yaitu:
1) Adanya sifat reaktif dari psikolinguistik tentang bahasa yang
memandang bahwa bahasa bukanlah satu tindakan atau perbuatan
manusiawi melainkan dipandang sebagai satu stimulus-respons.
2) Psikolinguistik bersifat atomistik. Sifat ini nampak jelas ketika
Osgoods mengungkapkan teori pemerolehan bahasa bahwa jumlah
pemerolehan bahasa adalah kemampuan untuk membedakan kata atau
bentuk yang berbeda, dan kemampuan untuk melakukan generalisasi.
3) Bersifat individualis. Teorinya menekankan pada perilaku berbahasa
individu-individu yang terisolasi dari masyarakat dan komunikasi
nyata.

b. Psikolinguistik generasi kedua


Teori-teori generasi pertama ditolak oleh beberapa tokoh seperi Noam
Chomsky dan George Miller. Menurut Mehler dan Noizet, psikologi generasi
11

kedua telah mengatasi ciri-ciri atomistik psikolinguistik. Psikologi generasi ini


berpendapat bahwa dalam proses berbahasa bukanlah butir-butir bahasa yang
diperoleh, melainkan kaidah dan sistem kaidahnya. Di sini, orientasi psikologis
digantikan oleh orientasi linguistik. Penggabungan antara Miller dan Chomsky
merupakan penggabungan model-model linguistik tatabahasa Chomsky yang
relatif berbeda dengan proses-proses psikologi. Malah Mehler dan Noizet
mengatakan bahwa psikolinguistik generasi kedua anti-psikologi. Tokoh fase ini
lebih mengarah pada manifestasi ujaran sebagai bentuk linguistik. G.S.Miller dan
Noam Chomsky menyatakan beberapa hal tentang psikolinguistik generasi kedua
ini dalam artikel “Some Preliminaries to Psycholinguistics”, yakni sebagai
berikut:
1) Dalam komunikasi verbal, tidak semua ciri-ciri fisiknya jelas dan
terang, dan tidak semua ciri-ciri yang terang dalam ujaran mempunyai
representasi fisik.
2) Makna sebuah tuturan tidak boleh dikacaukan dengan apa yang
ditunjukkan. Makna adalah sesuatu yang sangat kompleks yang
menyangkut antar hubungan simbol-simbol atau lambing-lambang.
Respons yang terpenggal-penggal terlalu menyederhanakan makna
secara keseluruhan.
3) Struktur sintaksis sebuah kalimat terdiri atas satuan-satuan interaksi
antara makna kata yang terdapat dalam kalimat tersebut. Kalimat-
kalimat itu tersusun secara hierarkis, tetapi belum cukup menjelaskan
wujud luar linguistik.
4) Jumlah kalimat dan jumlah makna yang dapat diwujudkan tidak
terbatas jumlahnya. Pengetahuan seseorang terhadap bahasa harus
dikaitkan dengan kemampuan seseorang menyusun bahasa dalam
sistem sintaksis dan semantik.
5) Harus dibedakan antara pendesksripsian bahasa dengan
pendeskripsian pemakaian bahasa. Seorang ahli psikolinguistik harus
merumuskan model-model perwujudan bahasa yang dapat meliputi
pengetahuan kaidah bahasa.
12

6) Ada komponen biologis yang besar untuk menentukan kemampuan


berbahasa. Kemampuan berbahasa ini tidak tergantung apada
intelegensi dan besarnya otak, melainkan bergantung pada “manusia”.
c. Psikolinguistik generasi ketiga
Psikolinguistik generasi kedua menyatakan bahwa analisis mengakui
bahasa telah melampaui batas kalimat. Namun, pada kenyataannya, analisis
mereka baru sampai pada tahap kalimat saja, belum pada wacana. Kekurangan
analisis pada psikolinguistik generasi kedua kemudian diperbaharui oleh
psikolinguistik generasi ketiga. G. Werstch dalam bukunya Two Problems for the
New Psycholinguistics memberi karakteristik baru ilmu ini sebagai
“psikolinguistik baru”. Beberapa ciri psiklonguistik generasi ketiga ini adalah:
1) Orientasi mereka kepada psikologi, tetapi bukan psikologi perilaku.
Seperti yang diungkapkan Fresse, Al Vallon (Prancis) dan psikolog
Uni Soviet, telah terjadi proses serempak dari informasi psikologi dan
linguistik.
2) Keterlepasan mereka dari kerangka “psikolinguistik kalimat” dan
lebih mengarah pada “psikolinguistik situasi dan konteks”.
3) Adanya pergeseran dari analisis proses ujaran yang abstrak ke satu
analisis psikologis mengenai komunikasi dan pikiran.

Anda mungkin juga menyukai