Anda di halaman 1dari 14

A.

Pengantar

Dalam studi kebahasaan, dikenal adanya ilmu linguistik, yakni ilmu yang

mempelajari seluk beluk bahasa secara ilmiah dan sistematis. Pada perkembangan

selanjutnya, ilmu linguistik ini mempunyai beberapa cabang keilmuan yang antara lain

disebabkan karena bersinggungan dengan ilmu-ilmu lain. Beberapa cabang linguistik itu

antara lain (1) psikolingusitik sebagai perpaduan antara linguistik dengan psikologi, (2)

sosiolinguistik, yang merupakan perkawinan antara sosiologi dengan linguistik. Di samping

itu, linguistik juga bisa diklasifikasikan berdasarkan tujuan pokoknya menjadi linguistik

murni (pure linguistics) dan linguistik terapan (applied lingusitics).1

Linguistik murni mempelajari bahasa secara umum dengan tujuan utama memberikan

deskripsi mengenai bahasa guna memperoleh gambaran tentang aspek-aspek bahasa seperti

fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik. Sementara linguistik terapan diartikan sebagai

ilmu yang mencoba menerapkan prinsip-prinsip atau teori-teori lingusitik untuk

kepentingan praktis. Wilayah-wilayah penerapan linguistik itu antara lain di bidang

pengajaran bahasa, penelitian di bidang pemerolehan bahasa kedua, penerjemahan dan lain-

lain.

Munculnya apa yang disebut dengan psiko-sosiolinguistik ini, adalah bentuk dari

adanya linguistik terapan, yakni suatu disiplin yang menjembatani antara disiplin-disiplin

linguistik teoritis dan problem-problem yang terjadi dalam masyarakat, termasuk di

dalamnya adalah dalam kegiatan pengajaran bahasa. Kita bisa melihat bahwa pada

kenyataannya, sumber-sumber rujukan yang digunakan oleh linguistik terapan di bidang

1 Syamsuddin Asyrofi dkk, Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab, (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan
Kalijaga, 2006), hlm. 4.
1
pengajaran bahasa tidak hanya berasal dari ilmu-ilmu linguistik, tetapi juga bersumber dari

ilmu pendidikan, psikologi, metodologi pengajaran, testing kebahasaan, dan lain-lain.

Relasi antara psikologi, sosiologi dan linguistik juga yang akan menjadi salah satu faktor

munculnya Community Language Learning (CLL).

Community Language Learning merupakan salah satu dari tiga metode pengajaran

bahasa inovatif, selain Suggestopedia dan the silent way yang berkembang dan sering

menjadi topik pembahasan para ahli didik, ahli bahasa, dan psikiater pada loka karya,

seminar, simposium dan konferensi pengajaran bahasa asing dari tahun ke tahun di

Amerika Serikat dan Eropa.2

B. Pengertian Community Language Learning (CLL)

Community Language Learning muncul pada tahun 1961, pertama kali dirancang

oleh Charles A. Curran,3 yang merupakan seorang professor dalam bidang psikologi dan

konselor di Loyola University of Chicago, yang juga seorang pemuka agama Katolik. 4 Dan

kemudian CLL mulai dipakai sekitar tahun 1967. Charles A. Curran mendasari metode

CLL dari teori psikologi humanistik Carl Rogers 5 (karya: Freedom to Learn). Menurut Carl

Rogers, suatu organisme itu adalah keseluruhan individu (the total individual). Teori

humanistiknya yang terkenal, yakni:

2 Azhar Arsyad, Suatu Penafsiran Psikodinamik Terhadap Metodologi Pengajaran Bahasa yang Inovatif, (Jakarta:
Al-Quswa, 1989), hlm. 12.

3 Ibid., hlm. 18.

4 http://en.wikipedia.org/wiki/Community_language_learning, akses 16 Februari 2012, pukul 19.23 wib.

5 Earl W. Stevick, Humanism in Language Teaching, A Critical Perspective, (Oxford: Oxford University Press,
1990), hlm. 71.
2
1. Hasrat untuk belajar.

2. Belajar yang berarti.

3. Belajar tanpa ancaman.

4. Belajar atas inisiatif sendiri.

Dan ada lima pilar teori psikologi humanistik yang juga mendasari CLL, yakni:

a. Feelings (personal)

b. Social Relations

c. Responsibility

d. Intellect

e. Self Actualization.6

Menurut Noam Chomsky proses pembelajaran yang ada saat itu seperti Audio

Lingual hanya mempelajari struktur permukaan bahasa (surface structure) saja, tidak

makna bahasa (deep structure) nya. Menurutnya, yang penting bagi seorang linguis atau

pembelajar bahasa adalah menelaah data-data penurutan (yang berupa kalimat-kalimat),

kemudian menentukan kaidah yang telah diterima atau dikuasai oleh penutur-pendengar

dan dipakai dalam penuturan yang sebenarnya. Maka itu, menurutnya teori linguistik itu

bersifat mental karena teori ini mencoba menemukan satu realitas mental yang menyokong

perilaku bahasa yang sebenarnya terjadi.7 Kemudian muncullah suatu ide untuk

menerapkan konsep psikoterapi dalam pengajaran bahasa. Curran menerapkan psikoterapi

dalam bentuk konseling. Penerapan teknik-teknik penyuluhan pada pelajaran pada


6 Ibid., hlm. 23-24.

7 Abdul Chaer, Psikolinguistik: Kajian Teoritik, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003), cet. I, hlm. 77-78.
3
umumnya dikenal dengan nama pelajaran penyuluhan, oleh karenanya metode ini juga

dikenal dengan sebutan Counseling8 Language Learning atau Counseling Learning Method

(dalam bidang psikologi).

Dengan “counseling” menurut Curran diharapkan timbulnya minat murid untuk

memperoleh pandangan-pandangan baru dan munculnya kesadaran pribadi yang dapat

memberikan stimulasi terhadap perkembangan di samping mempererat hubungan dengan

orang lain.9 Di samping itu, minat belajar dapat didorong melalui pengembangan harga diri

dan perasaan dengan menekankan pengajaran pada aktivitas yang dikenal dengan “shared

Task Oriented Activity” atau “Cara Belajar Siswa Aktif Bersama”. Itulah sebabnya

pendukung-pendukung metode ini termasuk Curran sendiri, juga menamakan metode ini

“Community Language Learning” atau “Belajar Bahasa Secara Komunitas”. Di

Indonesia, terkadang dikenal juga dengan sebutan “Belajar Bahasa Secara Berkelompok”

atau BBSB.

Metode ini memandang peserta didik sebagai “manusia seutuhnya”, dengan kata lain

memandangnya sebagai manusia secara holistik (menyeluruh), karena belajar pada manusia

harus meliputi aspek kognitif dan afektif nya. Manusia mempunyai perasaan, kecerdasan,

hubungan interpersonal, reaksi untuk selalu mempunyai rasa aman atau berlindung dan

keinginan untuk belajar yang dibimbing dan seimbang. Teori Konseling Carl Rogers yang

diadopsi oleh Charles A. Curran mengindikasikan adanya proses dimana salah satu orang

8Arthur S. Reber and Emily Reber, The Penguin Dictionary of Psychology, 3rd edition, (London: Penguin Books,
2001), hlm. 162. “Counseling”: A generic term that is used to cover the several processes of interviewing, testing,
guiding, advising, etc. Bimo Walgito, Bimbingan dan Konseling (Studi & Karir), (Yogyakarta: C.V. ANDI OFFSET
(Penerbit ANDI), 2004, 2005), hlm. 6. Berbagai definisi tentang Konseling dikemukakan para ahli dan kesemuanya
punya kesamaan, yakni pemecahan masalah.

9 Azhar Arsyad, Bahasa Arab dan Metode Pengajarannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), cet. II, hlm. 26.
4
yang memberikan nasihat, bantuan dan dukungan kepada orang lain yang memiliki

masalah, dalam Community Language Learning merupakan metafora konseling untuk

mendefinisikan kembali peran guru sebagai konselor dan fasilitator dan peserta didik

sebagai klien di kelas bahasa.

Teknik ini digunakan selama periode yang cukup lama, sampai peserta didik mampu

untuk menerapkan kata-kata dalam bahasa baru tanpa terjemahan, secara bertahap bergerak

dari situasi ketergantungan pada guru-konselor ke keadaan bebas atau merdeka dari

ketergantungan tersebut.10 Ia juga bertujuan untuk menghilangkan rasa cemas pada peserta

didik, tidak boleh menjadikan mereka merasa belajar dalam tekanan. Dengan kunci nya

adalah mengubah hubungan antara guru dan siswa.

Charles A. Curran dalam teori nya menguraikan lima tahap psikologi yang dilewati

setiap individu dari masa anak-anak hingga dewasa, yakni menggambarkan tingkatan

belajar mulai awal sampai akhir:

1. Kelahiran (birth): setiap individu (pembelajar bahasa) tidak tahu akan

sesuatu apa pun tentang bahasa target hingga ia bergantung sepenuhnya pada guru

untuk setiap apa pun yang ingin ia katakan.

2. Diri (self): setiap individu mulai mendapatkan gambaran tentang bahasa

target bekerja dan menggunakannya untuk diri sendiri tetapi masih membutuhkan

bantuan guru.

3. Keberadaan terpisah (separate existence): mereka mulai menggunakan

bahasa target tanpa mengacu dan bergantung pada guru.


10 P. Nagaraj, Application of Community Language Learning for Effective Teaching, dalam The Modern Journal of
Applied Linguistics, (Coimbatore: Department of English and Foreign Languages, Bharathiar University, Mei 2009),
hlm. 176.
5
4. Masa remaja (adolescence): para peserta didik terus belajar bahasa target

secara independen. Tetapi pada satu titik akan menemukan kesenjangan dalam

mempelajarinya dan mereka akan berusaha kembali kepada guru.

5. Kemerdekaan (independence): para peserta didik terus belajar secara

mandiri. Mereka tidak lagi bergantung kepada guru, bahkan sebagian mungkin

sudah bisa menjadi konselor bagi teman mereka yang lain.11

C. Implementasi Community Language Learning

Dalam implementasi nya metode ini disajikan sedemikian rupa sehingga tercipta

suatu suasana yang memungkinkan pelajar (dalam kelas bahasa) untuk berinteraksi dan

berkomunikasi dengan sesama pelajar dengan bebas. Dengan demikian pelajar mengalami

semua masukan secara menyeluruh melalui pikiran (kemampuan kognisi) dan perasaan nya

(kemampuan afeksi). Community Language Learning menggabungkan tugas-tugas belajar

yang inovatif dan beberapa kegiatan di dalam implementasi nya di dalam kelas,

diantaranya:

1. Refleksi (Reflection)

Pada awal langkah ini, siswa sepenuhnya bergantung pada guru.12

Para peserta didik membentuk lingkaran kecil di dekat tape recorder, untuk

menciptakan atmosfir komunitas (community). Dan guru berdiri di sekitar mereka

sambil terus memastikan untuk mengkondisikan para peserta didik nya.

11 Ibid., hlm. 178.

12 Charles A. Curran, Counseling-Learning in Second Languages, (Apple River Illonis: Apple River Press, 1976).
6
a. Siswa mulai memikirkan dan menyepakati apa yang ingin mereka

bicarakan, guru sambil memberikan sedikit instruksi.

b. Untuk memastikan ide/tema apa yang telah disepakati untuk dibahas, guru

menulis tema di papan tulis.

2. Percakapan yang direkam (Recorded Conversation)

Peserta didik menyampaikan apa yang ingin mereka katakan dengan menggunakan

bahasa I, guru memberi dengan bentuk terjemahan langsung dalam bahasa target

(bahasa II).

a. Ketika siswa mencoba mengucapkan apa yang ingin mereka katakan

dengan bahasa target, guru meminta mereka mengucapkan nya berulang-ulang

dan jika guru merasa siswa telah nyaman dengan apa yang mereka ucapkan, guru

akan berusaha memberikan kata/kalimat lebih kompleks. Dan ketika siswa sudah

merasa siap, mereka akan mengambil mikropon dan siap untuk merekam apa

yang mereka katakan.

b. Guru hendaknya berusaha selalu agar siswa merasa lebih tenang dan

nyaman dalam menggunakan mikropon.

c. Ketika salah satu dari mereka telah mengucapkan sesuatu di mikropon

dengan fasih, siswa yang lain akan segera merespon. Jika pada titik ini kurang

berjalan dengan baik, guru sebaiknya sedikit aktif dalam memotivasi mereka. Hal

ini akan berjalan hingga semua dari siswa telah merekam apa saja yang ingin

mereka bicarakan.

7
3. Diskusi (Discussion)

Pada langkah ini para murid akan menyampaikan kesan atau apa yang mereka rasakan

ketika berbicara di mikropon. Apakah mereka merasa nyaman berbicara keras (di

mikropon) atau berbicara dalam keadaan normal.

a. Langkah ini tidak perlu direkam.

b. Guru akan memberikan respon terhadap apa yang mereka rasakan. Inilah

klimaks dari konseling yang dimaksud.

d. Ini biasanya terdiri dari ekspresi perasaan-rasa satu sama lain, reaksi

terhadap keheningan, kepedulian terhadap sesuatu untuk dikatakan dan lain-lain.

4. Transkripsi (Transcription)

Siswa mendengarkan kembali apa yang telah mereka rekam. Guru membiarkan siswa

membahasnya dengan siswa yang lain. Guru hanya berespon ketika mereka bertanya

atau membutuhkan bantuan.

a. Ketika langkah ini kurang berjalan lancar, guru kembali berusaha

memotivasi, memberikan stimulus kepada para siswa. Hingga suasana kelas yang

diinginkan tercipta. Disini akan timbul rasa kemandirian dari siswa.

5. Analisa Bahasa (Language Analysis)

Peserta didik menganalisa dan mempelajari transkripsi apa saja yang telah mereka

rekam dalam bahasa target (pada recording conversation) untuk fokus pada

penggunaan atau aplikasi leksikal tertentu.

8
a. Siswa menganalisa seluruh kalimat dan kata sesuai dengan kemampuan

mereka dan guru tidak boleh mengintervensi dalam hal ini.

b. Siswa mendengarkan monolog dari guru yang didalamnya terdapat

berbagai unsur-unsur yang telah terjadi di dalam interaksi kelas.

6. Percakapan Bebas (Free Conversation)

Peserta didik terlibat dalam percakapan secara bebas dengan guru atau dengan

pembelajar lain nya, yang di dalamnya bisa berupa diskusi tentang apa yang telah

mereka pelajari atau apa yang mereka rasakan dan bagaimana saat mereka belajar.13

Disinilah para siswa sampai kepada kemerdekaan dan kebebasan mereka dalam

berbicara dengan menggunakan bahasa target. Mereka sepenuhnya tidak tergantung

kepada guru (konselor) lagi.

D. Analisa tentang Community Language Learning

Community Language Learning ini bukan sekedar pedagogi metodis, tetapi lebih

kepada filosofi pembelajaran yang sarat akan makna. Proses pembelajaran nya yang secara

holistik, sangat memperhatikan pertumbuhan pribadi dan perkembangan diri setiap

individu. Belajar bahasa bukan merupakan prestasi individu tetapi lebih kepada

pengalaman kolektif.

Ahli psikologi seperti B.F. Skinner (‫ سكينر‬.‫ف‬.‫ ) ب‬menganggap bahwa proses belajar

merupakan proses psikologis yang dapat diperoleh apabila diciptakan suasana lingkungan

13 P. Nagaraj, Application of Community Language Learning…………….hlm. 177-178. Dan Joe Bertrand, Teacher,
Materials Writer, British Council Paris.
9
yang mendukung.14 Dan dalam Community Language Learning ini penulis anggap telah

mampu membangun lingkungan yang mendukung (khususnya untuk pembelajaran bahasa),

jika diterapkan secara efektif.

Prinsip dasar dari Community Language Learning adalah untuk membangun

hubungan interpersonal antara guru dan peserta didik untuk memfasilitasi proses belajar

bahasa peserta didik. Community Language Learning dirancang untuk mengurangi

kecemasan pembelajar bahasa asing dalam konteks pendidikan dan mempromosikan

dinamika kelompok. Dan juga bertujuan untuk melibatkan seluruh aspek kepribadian yang

ada pada diri peserta didik. Guru memahami ketakutan dari peserta didik dan kerentanan

karena mereka berjuang untuk menguasai bahasa lain. Dengan menjadi sensitif terhadap

rasa takut pelajar, guru bisa mengubah energi negatif dari ketakutan menjadi energi positif

dan antusiasme untuk belajar. Dalam proses pembelajaran yang berpola pada teknik

konseling dan disesuaikan dengan rasa keanehan, kecemasan, ancaman, masalah pribadi

dan bahasa ibu peserta didik ketika bertemu dalam pembelajaran bahasa asing. Akibatnya,

peserta didik tidak dianggap sebagai siswa tetapi sebagai klien. Hubungan bahasa

“konseling” dimulai dengan klien linguistik kebingungan dan mengalami konflik. Lalu

perlahan guru, yang disini dianggap sebagai konselor berusaha untuk memungkinkan dia

agar sampai pada kecukupan bahasanya sendiri, yang pada akhirnya akan sampai pada

kebebasan dan rasa merdeka dalam menggunakan bahasa target.

Kelebihan dari metode ini adalah ketika bisa membuat sebuah komunitas yang sangat

mendukung untuk siswa yang mempunyai rasa kecemasan yang tinggi dan membantu

mereka mengatasi faktor afektif yang mengancam, seperti membuat kesalahan atau

14 Shalah Abdul Majid, Ta'allumul Lughah Al Hayyah wa Ta'limuha Baina Nadzoriyyah wat Tatbiq, (Kairo:
Maktabah Lubnan, 1981), hlm. 10.
10
bersaing dengan rekan-rekan. Dan dengan Community Language Learning, akan terbentuk

sebuah komunitas, tidak hanya pada waktu pembelajaran bahasa, para peserta didik bisa

menjadi lebih cerdas sosial, melatih mereka bekerja sebagai tim, saling mengerti

kelemahan dan kelebihan masing-masing. Selain itu, peserta didik tidak terbatas pada satu

topik percakapan saja. Peserta didik bebas untuk berbicara tentang urusan kehidupan

sehari-hari. Yang kemudian bahasa yang telah mereka pelajari dalam bahasa target akan

bisa mereka simpan, sintesa kembali untuk situasi dan kondisi yang baru dan berbeda.

Community Language Learning ini juga memungkinkan peserta didik untuk berlatih

struktur atau pola kalimat dan karakteristik percakapan. Selain itu, diyakini bahwa dari

terjemahan guru, akan mampu menginduksi tata bahasa yang lebih kompleks daripada yang

mereka gunakan. Alasan utama yang Community Language Learning tampak berhasil

adalah ketika peserta didik mampu untuk terus menggunakan Bahasa Ibu, sementara ia pun

terus mempromosikan dan menggunakan bahasa target yang telah ia pelajari. Adalah

penting ketika kita terus menyadari bahwa kedua bahasa (bahasa ibu dan bahasa target) itu

sama pentingnya. Maka jelas metode ini akan membuat belajar lebih bermakna.

Diliat dari berbagai aspek diatas, jika Community Language Learning ini diterapkan

secara efektif maka akan menghasilkan proses pembelajaran yang sesuai dengan empat

pilar belajar yang ditawarkan oleh UNESCO, yaitu belajar untuk mengetahui (learning to

know), belajar untuk bekerja (learning to do), belajar untuk hidup berdampingan dan

berkembang bersama (learning to live together), dan belajar untuk menjadi manusia

seutuhnya (learning to be).15

15 Hariyanto Suyono, Belajar dan Pembelajaran, Teori dan Konsep Dasar, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2011), cet. I, hlm. 29.
11
Dan apabila kembali menilik kepada lima pilar teori psikologi yang diungkapkan Earl

W. Stevick dalam bukunya yang berjudul Humanism in Language Teaching, maka CLL

sudah bisa dikatakan mumpuni untuk semua hal tersebut. Hal yang dominan didalam CLL

yakni feelings dan social relations. Untuk responsibility adalah ketika peserta didik sudah

memilih topik apa yang ingin mereka bahas dan mereka bertanggung jawab atas apa yang

mereka pilih dengan menjalankan tugas mereka sebagaimana mestinya. Untuk hal intellect,

adalah ketika siswa sampai pada langkah ke lima dari CLL, yakni analisa bahasa (language

analysis), dimana mereka secara bersama-sama menganalisa dan mempelajari transkripsi

apa saja yang telah mereka rekam dalam bahasa target (pada recording conversation) untuk

fokus pada penggunaan atau aplikasi leksikal tertentu. Dan untuk self actualization adalah

ketika mereka ada pada langkah percakapan yang direkam (recorded conversation), dimana

peserta didik menyampaikan apa yang ingin mereka katakan dengan menggunakan bahasa

I, guru memberi dengan bentuk terjemahan langsung dalam bahasa target (bahasa II) dan

pada percakapan bebas, dimana siswa sampai kepada kemerdekaan dan kebebasan

mereka dalam berbicara dengan menggunakan bahasa target.

Penerapan CLL saat ini sangat mungkin untuk bisa lebih dikembangkan, misalnya

dengan penggunaan teknologi, diselingi dengan games dan lagu. Namun sesungguhnya ada

alat peraga khusus CLL yang bernama Chromacord Teaching System. Dan ketika hubungan

antara guru dan peserta didik menjadi lebih akrab, menjadi sebuah komunitas, dimana guru

lebih berperan sebagai fasilitator, dirasa cocok dan relevan untuk diterapkan dalam dunia

pendidikan saat ini.

12
E. Penutup

Nilai kuat dari Community Language Learning ini adalah penekanan bahwasanya

pembelajaran bahasa itu hendaknya memandang peserta didik sebagai pribadi manusia

yang utuh, dukungan penuh dari pengajar (konselor), tidak ada penghakiman kepada

peserta didik dan tanggung jawab dari kedua belah pihak (guru dan peserta didik).

Memandang guru dan peserta didik sebagai sebuah komunitas, serta menjadikan guru lebih

dari seorang pengajar, tetapi berperan ganda yakni sebagai fasilitator dan konselor.

Feelings dan social relations sangat dominan di dalam (CLL) ini, tetapi

responsibility, intellect dan self actualization juga tetap terkandung di dalamnya. Metode

ini mampu mengatasi masalah kekhawatiran peserta didik di dalam sebuah pembelajaran

bahasa dan dapat membangun komunitas belajar bahasa yang kuat sehingga hasil yang

diinginkan dari sebuah pembelajaran bahasa dapat tercapai, yakni peserta didik mampu

belajar, berkomunikasi dan berinteraksi dalam bahasa target tanpa tekanan dan ancaman

serta bebas dari ketergantungan kepada guru (konselor atau fasilitator).

13
Daftar Pustaka

Abdul Chaer, Psikolinguistik: Kajian Teoritik, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003.

Arsyad, Azhar, Bahasa Arab dan Metode Pengajarannya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

___________, Suatu Penafsiran Psikodinamik Terhadap Metodologi Pengajaran Bahasa Asing


Inovatif, cet. I, Jakarta: al-Qushwa, 1989.

Asyrofi, Syamsuddin dkk, Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab, Yogyakarta: Pokja Akademik
UIN Sunan Kalijaga, 2006.

Bertrand, Joe, Teacher - Materials Writer, British Council Paris.

Curran, Charles A, Counseling-Learning in Second Languages, Apple River Illonis: Apple River
Press, 1976.

Reber, Arthur S, Emily Reber, The Penguin Dictionary of Psychology, 3rd edition, London:
Penguin Books, 2001.

Majid, Abdul Shalah, Ta'allumul Lughah al-Hayyah wa Ta'allumuha Baina Nadzoriyyah wat
Tatbiq, Beirut: Maktabah Lubnan, 1981.

Nagaraj P, Application of Community Language Learning for Effective Teaching, dalam The
Modern Journal of Applied Linguistics, Coimbatore: Department of English and Foreign
Languages, Bharathiar University, Mei 2009.

Reber Arthur S, Emily Reber, The Penguin Dictionary of Psychology, London: Penguin Books,
2001.

Stevick, Earl W, Humanism in Language Teaching, A Critical Perspective, Oxford: Oxford


University Press, 1990.

Suyono, Hariyanto, Belajar dan Pembelajaran, Teori dan Konsep Dasar, cet.I, Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2011.

Walgito, Bimo, Bimbingan dan Konseling (Studi & Karir), Yogyakarta: C.V. ANDI OFFSET
(Penerbit ANDI), 2004, 2005.

http://en.wikipedia.org/wiki/Community_language_learning.

14

Anda mungkin juga menyukai