Anda di halaman 1dari 22

ANALISIS WACANA

Bahasa merupakan alat utama dalam komunikasi dan


memiliki daya ekspresi dan informatif yang besar.
Bahasa sangat dibutuhkan oleh manusia karena dengan
bahasa manusia bisa menemukan kebutuhan mereka
dengan cara berkomunikasi antara satu dengan lainnya.
Sebagai anggota masyarakat yang aktif dalam kehidupan
sehari-hari, di dalam masyarakat orang sangat
bergantung pada penggunaan bahasa. Hal ini sesuai
dengan pernyataan bahwa di mana ada masyarakat di
situ ada penggunaan bahasa. Dengan kata lain, di mana
aktivitas terjadi, di situ aktivitas bahasa terjadi pula
(Sudaryanto dalam Djatmiko, 1992: 2).
Para linguis biasanya memberikan batasan tentang
bahasa sebagai suatusistem lambang bunyi yang bersifat
arbitrer yang digunakan oleh sekelompok anggota
msyarakat untuk berinteraksi serta mengidentifikasikan
diri (Abdul Chaer, 1994). Di sisi lain setiap sistem dan
lambang bahasa menyiratkan bahwa setiap lambang
bahasa, baik kata, frasa, klausa, kalimat, dan wacana
saelalu memiliki makna tertentu, yang bisa saja berubah
pada saat dan situasi terentu. Atau bahkan juga tidak

berubah sama sekali. Namun demikian, biasanya tidak


banyak orang yang mempermasalahkan bagaimana
bahasa dapat digunakan sebagai media berkomunikasi
yang efektif, sehingga sebagai akibatnya penutur sebuah
bahasa sering mengalami kesalahpahaman dalam
suasana dan kontekstuturannya. Salah satu cara untuk
mengetahui tentang hal itu adalah melalui sudut
pandang pragmatik.
Berdasarkan latar belakang di atas, dalam makalah
ini membahas beberapa masalah, yaitu 1) Bagaimana
analisis bahasa berdasarkan pendekatan linguistik
struktural dan 2) Bagaimana pandangan analisis bahasa
dari pendekatan pragmati? Adapun tujuan penulisan
makalan ini adalah mendeskripsikan paradigma
pendekatan pragmatik dan pandangan linguistik
struktural.
Analisis
bahasa
berdasarkan
pendekatan
struktural
Teori kebahasaan struktural mempunyai asumsi
dan hipotesis tentang bahasa berdasarkan pada hasil
pemakaian yang otonom tentang bahasa (tidak ada
campur tangan filsafat dan logika). Asumsi dan hipotesis

tentang bahasa diuji atau diverifikasi dengan data


bahasa, baik yang berbentuk lisan maupun tulisan.
Selain itu fakta dan data bahasa diberi kemungkinan
untuk dapat dijadikan sumber penciptaan teori-teori
bahasa yang bersifat universal dan spesifik. Teori-teori
kebahasaan struktural berasal dari cara kerja metode
keilmuan, yaitu deduktif-induktif dan induktif-deduktif.
Pada
permulaan
kemunculan
linguistik
strukturalis, metode yang paling utama digunakan
adalah metode empiris induktif. Metode ini digunakan
karena mampu memberikan informasi gramatika
monolingual dalam penelitian lapangan. Metode ini
berguna untuk mencatat bahasa-bahasa yang belum
dikenal dan dapat ditata sistemnya. Metode ini, memang
mendasarkan pengetahuan pada panca indera (empiris).
Dengan data-data empiris itu orang dapat membuat satu
generalisasi dan sistematisasi tentang bahasa.
Metode yang kedua adalah metode deduktif.
Metode
ini
berguna
untuk
memeriksa competence (perangkat kaidah berbahasa)
berbahasa seseorang dengan menganalisis performance
(yang tertangkap panca indera). Biasanya digunakan

dalam linguistik terapan (terutama pendidikan bahasa)


untuk menilai competence pengguna bahasa.
Strukturalisme merupakan suatu gerakan
pemikiran filsafat yang mempunyai pokok pikiran bahwa
semua masyarakat dan kebudayaan mempunyai suatu
struktur yang sama dan tetap. Ciri khas strukturalisme
ialah pemusatan pada deskripsi keadaan aktual objek
melalui
penyelidikan,
penyingkapan
sifat-sifat
instrinsiknya yang tidak terikat oleh waktu dan
penetapan hubungan antara fakta atau unsur-unsur
sistem tersebut melalui pendidikan. Strukturalisme
menyingkapkan dan melukiskan struktur inti dari suatu
objek (hirarkinya, kaitan timbal balik antara unsurunsur
pada
setiap
tingkat).
Gagasan-gagasan
strukturalisme juga mempunyai metodologi tertentu
dalam memajukan studi interdisipliner tentang gejalagejala budaya, dan dalam pendekatan ilmu-ilmu
humaniora dan alam. Akan tetapi, introduksi metode
struktural dalam berbagai bidang pengetahuan
menimbulkan upaya yang sia-sia untuk mengangkat
strukturalisme pada wilayah filosofis.
Dalam konteks filosofis, strukturalisme berperan
penting dalam meramu teori-teori pengetahuan yang

berpusat pada wilayah bahasa maupun budaya. Oleh


karenanya, epistemologi bahasa maupun budaya sangat
inheren dalam merengkuh nilai-nilai kemanusiaan yang
tercerabut pada wilayah interdisipliner. Begitu pun,
ketika struktur pengetahuan membangkitkan unsurunsur filosofis yang memanifestasikan subjek dan objek
pengetahuan, sehingga memperkuat landasan filosofis
yang dibangun dalam struktur karya maupun bahasa.
Untuk itulah, ketika kita mengkaji gerakan pemikiran
filsafat, maka yang perlu dikedepankan adalah membaca
pemikirannya,
sehingga,
memberikan
acuan
fundamental bagi kita untuk menginterpretasi gerakan
pemikiran tersebut pada wilayah struktur karya maupun
bahasa.
Analisis atau kajian bahasa berdasarkan linguistik
struktural yang tergolong dalam pandangan formal
dilakukan terhadap aspek kebahasaan dan struktur atau
kaidah-kaidahnya
sesuai
dengan
teori
yang
dikembangkan para ahli pada masing-masing tataran
yang ada. Misalnya, kajian struktur fonologi suatu
bahasa menggunakan teori fonologi. Data dapat berupa
bahasa verbal berupa bunyi bahasa yang diambil dari
kosakata dalam kalimat. Dari data tersebut, dapat

dianalisis semua bunyi, fonem, variasi fonem dan jenisjenisnya. Kajian struktur morfologi suatu bahasa
menggunakan teori morfologi. Data dapat berupa bahasa
verbal berupa morfem dan kata yang diambil dari
kosakata dalam kalimat. Dari data tersebut, dapat
dianalisis semua morfem dan kata dari berbagai segi.
Kajian struktur sintaksis atau kalimat suatu bahasa
menggunakan teori sintaksis. Data dapat berupa bahasa
verbal berupa kalimat. Dari data tersebut, dapat
dianalisis semua kalimat dari berbagai segi, dan
seterusnya.
Sebagai contoh, analisis kalimat secara struktural
dapat disampaikan sebagai berikut. Tempat itu agak
jauh dari kota, pemandangannya indah, dan hawanya
sejuk. Dari segi strukturnya tergolong kalimat majemuk
rapatan sama subjek. Dari segi maknanya, tergolong
kalimat berita, dan seterusnya. Dalam pandangan
struktural, kalimat, seperti: Ali dikejar bola dipandang
sebagai kalimat yang salah dan cenderung ditata ke
dalam struktur dengan pola yang benar.
Linguistik Struktural dalam Pengajaran

Pada masa era strukturalis, linguistik struktural


dalam kaitannya dalam pengajaran bahasa memiliki lima
asumsi umum. Asumsi pertama, bahwa prosedur kerja
linguistik struktural dapat digunakan sebagai metode
pengajaran bahasa. Asumsi ini mengisyaratkan kepada
penekanan perlunya latihan berbicara dan menggunakan
informan asli untuk menirukan dan latihan lafal. Asumsi
kedua menyatakan bahwa materi pengajaran bahasa
harus disajikan dalam bentuk latihan berbicara sebelum
siswa diperkenalkan dengan latihan menulis. Hal ini
mengisyaratkan keterampilan berbahasa berbicara dan
menyimak dianggap lebih penting setelah itu baru
diperkenalkan dengan membaca dan menulis.
Linguistik struktural tidak terlalu memperhatikan
makna. Hal ini menimbulkan asumsi ketiga bahwa
tidaklah penting bagaimana makna itu diperoleh siswa.
Dalam hal ini makna dapat ditanyakan saja langsung
kepada penutur asli.
Asumsi keempat menyatakan bahwa tidak perlu
menyajikan gradasi dan urutan kekomplekan gramatikal
pada materi yang dipelajari siswa. Asumsi ini
berdasarkan analisis struktural bahwa ahli bahasa hanya
memiliki kontrol sedikit terhadap kekomplekan data

yang diperoleh dari informannya. Alasan mengapa kaum


strukturalis kurang memperhatikan makna dalam
analisisnya karena mereka berpendapat bahwa makna
itu bersifat abstrak, tidak dapat diindra, dan makna ini
hanya ada di dalam pikiran, dan karena itu makna
dianggap pula bersifat subyektif. Kondisi ini melahirkan
asumsi kelima yang menyatakan bahwa bahasa itu
adalah tingkah laku dan tingkah laku dapat dipelajari
dengan cara melakukan. Oleh karena itu, pembelajar
mempelajari bahasa dengan melakukan respon dalam
praktik-praktik kegiatan berbahasa dan penguatan bagi
respon yang benar.
Dalam proses pemerolehan atau pembelajaran
bahasa terdapat dua teori, yaitu: teori pembentukan
kebiasaan (habit-formation theory) dari linguistik
struktural dan teori belajar kode-kognitif (the cognitivecode learning theory) dari linguistic transformasi
generatif.
Pemanfaatan
asumsi-asumsi
dan
teori
pemerolehan bahasa di atas, guru bahasa harus
membuat beberapa catatan pertimbangan pemanfaatan:
Pertama, jika pemerolehan bahasa adalah suatu
pembentukan kebiasaan, guru bahasa harus menyusun

program secara konkret. Kedua, jika pemerolehan


bahasa adalah belajar tentang kode, guru bahasa harus
menjamin bahwa siswa mampu menginternalkan
kaidah-kaidah yang memungkinkan siswa mampu
menghasilkan kalimat.
Sehubungan dengan kelemahan dan kekuatan
kedua teori di atas, J.B. Carol mengajukan sintesa dari
kedua teori belajar tersebut yang diberi nama teori
pembentukan kebiasan kognitif (cognitive code
learning). Menurut teori Carol ini, belajar bahasa adalah
rangkaian latihan-latihan menguasai pola-pola dan
sekaligus menciptakan kondisi belajar yang kondusif
agar pola-pola itu terinternalisasikan dalam kesadaran
siswa. Tahap berikutnya siswa didorong untuk mampu
menghasilkan
kalimat
baru.
Internalisasi
dan
pembentukan kalimat baru saja, tidak cukup. Tahapan
berikutnya, siswa harus diterjunkan dalam situasi
komunikasi nyata seperti yang terjadi pada penutur asli.
Analisis
bahasa
berdasarkan
pendekatan
pragmatik
Sebagai tataran terbaru dalam linguistik, pragmatik
merupakan tataran yang turut memperhitungkan

manusia sebagai pengguna bahasa. Wijaya (1996:1)


menyebutkan, berbeda dengan fonologi, morfologi,
sintaksis, dan semantik yang mempelajari struktur
bahasa secara internal, pragmatik adalah cabang ilmu
bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara
eksternal, yakni bagaimana satuan kebahasaan itu
digunakan dalam komunikasi. Morris (Rustono 1999:1)
sebagai pencetus pertama bidang kajian ini
mengungkapkan bahwa pragmatik adalah cabang
semiotik yang mempelajari relasi tanda dan
penafsirannya.Di dalam analisis linguistik struktural,
pembahasannya menekankan pada struktur, atau bentuk
formal bahasa. Suatu kalimat dianalisis dengan
mengamati yang mana subyek dan predikat dalam
kalimat tersebut. Bagian yang berupa subyek dapat
dipilah-pilah lagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil,
demikian juga dengan predikatnya. Dan bagian-bagian
tersebut masih dapat dipilah lebih lanjut dan diteruskan
sampai ke bagian yang paling kecil seperti klausa, frasa,
kata, morfem, bahkan fonem. Dalam analisis tersebut,
konteks pemakaian kalimat tidak ikut diperhitungkan.
Contoh kalimat:
Bisa menutupkan pintu itu?

Dilihat dari segi bentuknya, kalimat tersebut


merupakan kalimat interogatif, tetapi dari segi fungsinya
kalimat tersebut tidak dimaksudkan untuk menanyakan
tentang kemampuan (bisa tidaknya) orang yang diajak
bicara. Dari segi fungsinya kalimat tersebut bermakna
perintah (secara tidak langsung). Makna yang sama
dapat juga diutarakan dengan konstruksi imperatif
sehingga menjadi kalimat berikut ini.
Tutup pintu itu!
Tentu saja konteksnya menjadi lain pula. Dengan
mengamati bentuk suatu perintah menggunakan
konstruksi imperatif dan kapan perintah itu
menggunakan konstruksi interogatif, maka akan terlihat
perbedaan yang berhubungan dengan siapa dan kepada
siapa kalimat tersebut diucapkan.
Konteks menjadi patokan utama dalam analisis
pragmatik, sehingga dalam analisis pragmatik dibahas
tentang
hal-hal
sebagai
berikut:
1. Suatu satuan lingual dapat dipakai untuk
mengungkapkan sejumlah fungsi di dalam komunikasi.
2. Suatu fungsi komunikatif tertentu dapat diungkapkan
dengan sejumlah satuan lingual.

Salah satu kecenderungan yang melatarbelakangi


berkembangnya pragmatik adalah antisintaksisme
Lakoff dan Ross yang mengungkapkan bahwa keapikan
sintaksis (Wellformednes) bukanlah segalanya. Sebab
seperti yang sering kita jumpai komunikasi tetap
berjalan dengan penggunaan bentuk yang tidak baik
secara sintaksis (ill-formed), bahkan semantik
(Gunarwan 2004: 6 dalam Quinz 2008). Dalam ranah
sintaksis, seperti dikemukakan oleh Yule (dalam Quinz
2008), dipelajari bagaimana hubungan antarbentuk
linguistis, bagaimana bentuk-bentuk tersebut dirangkai
dalam kalimat, dan bagaimana rangkaian tersebut dapat
dinyatakan well-formed secara
gramatikal.
Secara
umum, sintaksis tidak mempersoalkan baik makna yang
ditunjuknya maupun pengguna bahasanya, sehingga
bentuk seperti kucing menyapu halaman, meskipun
tidak dapat diverifikasi secara empiris, tetap dapat
dinyatakan apik secara sintaksis.
Dalam kehidupan sehari-hari, penggunaan bahasa
tidak semata-mata didasarkan atas prinsip wellformed dalam
sintaksis,
melainkan
atas
dasar
kepentingan agar komunikasi tetap dapat berjalan. Lebih
tepatnya, bahasa digunakan oleh masyarakat tutur

sebagai cara para peserta interaksi saling memahami apa


yang mereka ujarkan. Atas dasar ini, pertama, dapat
dipahami, dan memang sering ditemukan, bahwa
komunikasi
tetap
dapat
berjalan
meskipun
menggunakan bahasa yang tidak apik secara sintaksis.
Kedua, demi kebutuhan para anggota masyarakat tutur
untuk mengorganisasi dan memahami kegiatan mereka,
selain tata bahasa, makna juga merupakan hal yang tidak
dapat diabaikan dalam analisis bahasa. Dengan
demikian, dapat dipahami bahwa perbedaan utama
antara sintaksis dan pragmatik, sekaligus menyatakan
pentingnya studi pragmatik dalam linguistik, terletak
pada makna ujaran dan pada pengguna bahasa.
Kajian pragmatik beranjak dari pendekatan
terhadap bahasa, yaitu fungsional. Pragmatik pada
prinsipnya mendasarkan pemeriannya pada pemakaian
bahasa yang sebenarnya dalam masyarakat pada
kerangka dan latar (situasi, tempat, waktu) interaksi
berbeda. Hasilnya dapat memperlihatkan adanya
berbagai variasi fungsi dan dampak penggunaan bahasa
sesuai dengan dinamika perubahan latar interaksi dan
dalam perkembangannya cenderung mengaitkannya

dengan bentuk dan strategi penggunaan bahasa serta


norma sosial norma budaya masyarakat.
Kajian penggunaan bahasa dalam suatu interaksi
menggunakan teori pragmatik dapat dikaitkan dengan
linguistik struktural sosiolinguistik, psikolinguistik, dan
sebagainya. Data dapat berupa bahasa verbal (tuturan)
dan nonverbal yang menyertainya (konteks: situasi,
faktor sosial, waktu, tempat, dan sebagainya). Unit data
berupa tuturan dalam wacana atau peristiwa tutur
berupa rentetan tuturan dalam wacana tulis atau
percakapan. Dari data tersebut, dapat dianalisis antara
lain tindak tutur yang meliputi penggunaan bentuk
beserta penanda formalnya, fungsi berupa maksud dan
tujuan tuturan, strategi penyampaian tuturan (tindak
tutur) seperti strategi langsung atau tidak langsung.
Sebagai contoh, analisis penggunaan bahasa berupa
tuturan secara pragmatik dapat disampaikan sebagai
berikut. Misalnya: Ayo, tempat itu agak jauh dari kota,
pemandangannya indah, dan hawanya sejuk!. Tuturan
penutur (Pn) tersebut dinyatakan dengan bentuk kalimat
deklaratif atau berita yang berfungsi atau bermaksud
mengajak mitra tutur (Mt) untuk bertamasya ke luar
kota untuk (dengan tujuan) menikmati keindahan dan

kesejukan alam. Untuk menyatakan maksud dan tujuan


tersebut, Pn menggunakan strategi langsung.
Kalimat Bisa ambilkan buku itu? Jika dilihat dari
bentuknya berupa konstruksi interogatif, tetapi dari segi
fungsinya kalimat itu digunakan untuk menanyakan
tentang kemampuan (bisa tidaknya) orang yang diajak
bicara. Kalimat tersebut, dari segi fungsinya
dimaksudkan untuk memerintah secara tidak langsung.
Makna yang sama itu dapat saja diutarakan dengan
konstruksi imperatif, lalu menjadi Ambil buku itu! Tentu
saja, konteksnya menjadi lain pula. Dengan mengamati
kapan perintah dibahasakan dengan konstruksi
imperatif dan kapan perintah dibahasakan dengan
konstruksi interogatif akan tersingkaplah perbedaan
sehubungan dengan siapa yang mengucapkan kalimat itu
dan kepada siapa kalimat itu diucapkan.
Yang menjadi pusat perhatian kajian linguistik
struktural adalah bentuk-bentuk lingual tanpa secara
sadar mempertimbangkan situasi tuturan sehingga
analisisnya bersifat formal. Linguistik struktural adalah
linguistik yang menekankan struktur, yaitu bentukbentuk formal bahasa. Dalam analisis struktural yang
diotak-atik adalah bentuk; suatu kalimat diterpong

dengan mengamati yang mana yang berupa Subjek, yang


mana yang berupa Predikat, dst. Bagian yang berupa
subjek itu ada kemungkinan masih dapat dipotongpotong lagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil;
demikian juga bagian yang berupa predikat.
Di dalam analisis struktural konteks pemakaian
kalimat (kapan kalimat diujarkan, oleh siapa dan kepada
siapa kalimat itu diucapkan) tidak ikut diperhitungkan.
Analisis struktural yang menyeluruh terjadi jika
menganalisis wacana. Dengan jenis analisis ini, wacana
diuraikan atas dasar unsur-unsurnya dari kalimat
sampai dengan morfem bahkan fonem. Berikut ini
adalah contoh analisis linguistik struktural terhadap
wacana iklan minuman.
Wanita
: Kamu kedinginan?
Pria
: Iya, nih. Belum makan lagi
Wanita
: Nih, minum Energen Jahe!
Secara struktural wacana tersebut terdiri atas empat
kalimat dengan berbagai tipe secara berselang-selang,
yaitu interogatif, deklaratif, dan imperatif. Kalimat
pertama terdiri atas subjek dan predikat. Kalimat Kamu
kedinginan? Adalah kalimat interogatif. Kalimat kedua
dan ketiga bertipe deklaratif. Kalimat ketiga Belum

makan lagi merupakan klausa negatif karena di


dalamnya terdapat kata negatif yaitu belum. Kalimat
tersebut menerangkan sebab terjadinya peristiwa
kedinginan. Kalimat keempat Nih, minum Energen
Jahe! bertipe imperatif.
Sementara itu yang menjadi pusat kajian pragmatik
adalah maksud pembicara yang secara tersurat atau
tersirat di balik tuturan yang dianalisis. Maksud-maksud
tuturan, terutama maksud yang diimplikasikan hanya
dapat diidentifikasikan lewat penggunaan bahasa itu
secara kongkret dengan mempertimbangkan secara
seksama komponen situasi tutur ( Wijana 1996: 13). Hal
yang sama juga dikemukakan Rustono dalam
buku Pokok-Pokok
Pragmatik yang
menyebutkan
analisis pragmatis adalah analisis bahasa berdasarkan
sudut
pandang
pragmatik.
Karena
pragmatik
mengungkapkan maksud suatu tuturan di dalam
peristiwa komunikasi, analisis pragmatis berupaya
menemukan maksud penutur, baik yang diekspresikan
secara tersurat maupun tersirat dibalik tuturan.
Dengan bahan analisis yang sama dengan analisis
linguistik struktural, berikut ini adalah contoh analisis
pragmatis terhadap wacana iklan.

Wanita
: Kamu kedinginan?
Pria
: Iya, nih. Belum makan lagi
Wanita
: Nih, minum Energen Jahe!
Secara pragmatis, yaitu dengan mempertimbangkan
komponen-komponen situasi tutur, maksud wacana
iklan itu dapat diidentifikasi. Hasil identifikasi itu adalah
bahwa dengan wacana iklan itu dinyatakan secara tidak
langsung bahwa minum Energen Jahe membuat tubuh
merasa hangat dan menghilangkan rasa lapar. Maksud
wacana itu dapat ditemukan berdasarkan alasan berikut.
Bila ada pertanyaan kedinginan, dan orang yang ditanya
menjawab iya. Maka semestinya orang yang bertanya
menawarkan jaket. Peristiwa kedinginan itu ternyata
diakibatkan karena belum makan, tetapi mitra tutur
malah menawarkan minum. Logikanya, jika lapar maka
yang dilakukan adalah makan. Tetapi, dalam iklan
tersebut yang terjadi adalah wanita memerintahkan pria
supaya minum Energen Jahe. Hal tersebut memberi
makna secara tidak langsung, bahwa dengan
minum Energen Jahemenjadikan kenyang dan hangat.
Pendekatan Fungsional
Pendekatan fungsional memandang bahasa sebagai
sistem terbuka. Bahasa tidak bisa lepas dari keberadaan

faktor eksternal bahasa, yaitu ciri sosial, ciri biologis, ciri


demografi, dan sebagainya. Penggunaan bahasa dalam
konteks sosial merupakan sentral dalam analisisnya
berdasarkan pandangan bahwa dalam fungsinya sebagai
alat berkomunikasi bahasa juga menunjukkan identitas
sosial, bahkan budaya pemakainya (Ibrahim, 1999).
Berdasarkan pandangan tersebut, dapat dikatakan
bahwa pendekatan fungsional pada prinsipnya
mendasarkan pemeriannya pemakaian bahasa yang
sebenarnya dalam masyarakat pada kerangka dan latar
(situasi, tempat, waktu) interaksi berbeda dan norma
sosial budaya masyarakat. Hasilnya memperlihatkan
adanya berbagai variasi dan fungsi bahasa sesuai
dengan latar interaksi dan norma sosial norma budaya
masyarakat.
Pendekatan
fungsional
merupakan
pendekatan yang digunakan antara lain dalam
sosiolinguistik dan pragmatik.
Berdasarkan
pandangan
fungsional,
bahasa
dipandang sebagai sistem terbuka artinya bahasa
mempunyai sistem yang dapat berubah; sifat bahasa
heterogen, yaitu bervariasi, berbeda penggunaannya
bergantung konteksnya, seperti penutur dan lawan tutur,
tujuan, tempat, dan waktunya; fokus deskripsi pada

fungsi bahasa, yaitu maksud dan tujuan penggunaan


bahasa sebagai alat komunikasi; data berupa bahasa
verbal dan nonverbal dengan unit analisis wacana atau
peristiwa tutur; pendekatan atau teori dasar berupa
pandangan fungsional dengan unit teori-teori yang
cenderung
eklektik
(multidisipliner)
berupa
sosiolinguistik, pragmatik, analisis wacana yang
dikaitkan dengan semantik, psikolinguistik, bahkan
dengan disiplin ilmu yang tergolong dalam linguistik
struktural.
Analisis atau kajian bahasa pandangan fungsional
dilakukan terhadap penggunaan bahasa berupa tuturan
dalam penggunaan bahasa secara alami. Dalam hal ini,
kajian penggunaan bahasa dapat dilakukan terhadap
pilihan bahasa, pola dalam bertutur, penutur yang fasih,
situasi tutur, peristiwa tutur, tindak tutur, komponen
tindak dan peristiwa tutur, fungsi tutur, dan sebagainya.
Contoh analisis bahasa dalam kajian pragmatik
(pandangan fungsional)
G: Tin kenapa?
S: (Salah satu siswa menjawab) Dia sakit perut Bu.
Muntah tadi.

G: Sing nyen beling? (a) Tumben masuk udah sakit.


Periksa, sana!
S: (Terdiam)
(Konteks: Percakapan terjadi ketika mengawali
pembelajaran apresiasi sastra di kelas XI PSIS 1. Guru
melihat dua orang siswi belum masuk kelas saat bel
berbunyi. Ternyata siswa sedang sakit dan guru
merespons dengan kata-kata yang kurang sopan).
(TG1/PMKT/62/2011)
Percakapan tersebut terekam saat guru mengawali
pembelajaran apresiasi sastra di kelas XI PSIS 1. Guru
berhenti sejenak saat hendak masuk ke ruang kelas
karena menemukan dua orang siswanya sedang berada
di luar. Guru tersebut bertanya kepada siswa alasan
mereka masih berada di luar kelas saat pelajaran bahasa
Indonesia. Siswa menerangkan bahwa kondisi temannya
(Titin) sedang tidak baik. Guru merespons tuturan siswa
tersebut dengan tuturan yang kurang sopan. Sing nyen
beling? (Tidak hamil?). Tumben masuk udah sakit.
Periksa nae! tuturan ini diujarkan guru dengan maksud
menyindir. Tindak tutur deklaratif yang membuat siswa

merasa terkucilkan ini dianggap sebagai tuturan yang


tidak santun dan menyimpang dari maksim kesimpatian.
Lewat tuturannya, guru menunjukkan bahwa ia menaruh kecurigaan pada diri
siswa (Titin) sebagai remaja yang terlibat dalam pergaulan bebas. Pilihan
kata beling(hamil)

dinilai oleh siswa sangat kasar dan


menuduh. Kecurigaan guru kepada siswanya tersebut
membuat siswa merasa terancam setiap kali diajar oleh
guru tersebut. Berdasarkan hasil wawancara, siswi
(Titin) mengungkapkan pernah beberapa kali enggan
dating ke sekolah setelah mendapat tuturan yang
menyakitkan tersebut. Dalam komunikasi, konteks
situasi juga menjadi perhatian penting penutur dan
mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Konteks
situasi yang buruk saat bertutur seperti tercermin dalam
percakapan di atas memengaruhi kesantunan pemakaian
bahasa, sehingga tuturan akan diinterpretasikan sebagai
tuturan yang memancing emosi, tuturan yang tidak
sopan, serta tuturan yang merendahkan harga diri
seseorang. Keadaan siswa yang sedang sakit tidak
mendapat simpati dari guru. Guru bertutur tanpa
menghiraukan kondisi siswa dan lebih menonjolkan
sikap antipati

Anda mungkin juga menyukai