Anda di halaman 1dari 103

SEJARAH MATEMATIKA MASYARAKAT PRIMITIF

(Mesir Kuno dan Babilonia)

Permulaan munculnya matematika pada zaman primitif itu


berkembang berdasarkan kebutuhan sehari-harinya dengan kebudayaan suatu
bangsa. Seperti halnya akibat dari adanya sungai-sungai besar yang baru
terbentuk di Asia dan Afrika yaitu sungai Nil di Afrika, sungai Tigris dan
Eufrat di sebelah barat Asia, sungai Indus dan sungai Gangga di pusat Asia
Selatan, sungai Hwang Ho dan sungai Yangtse di sebelah Timur Asia.
Kemudian adanya tuntutan kebutuan masyarakat pada saat itu diantaranya :
pengeringan rawa, pembagian petak-petak sawah garapan, pengaturan irigasi
untuk pertanian, keahlian mengatur keuangan dan administrasi telah
dilaksanakan sesuai perkembangan penduduk (Susilawati, Sejarah
Matematika, 2013)
Sehingga dapat dikatakan mula-mula matematika dapat dikatakan
terbentuk di negara Timur kuno sebagai matematika praktis dalam pertanian,
pembangunan, perhitungan kalender, sistem berat dan ukuran untuk
melengkapi perhitungan hasil panen, cara menyimpan hasil
pertanian/pengawetan, cara mengukur luas tanah/membagi petak-petak
sawah, perdagangan serta beraneka ragam masalah kehidupan masyarakat
saat itu.
Sesuai dengan perkembangannya, manusia primitif mulai berhitung
dengan bilangan-bilangan yang sangat sederhana dan terbatas sekali, seperti
misalnya, hanya sampai dua, tiga, atau lima saja. Sedangkan untuk
menyatakan bilangan yang lebih besar dari bilangan yang mereka kenal ini,
dikatakannya dengan perkataan banyak saja (Muchtar, 1988).
Untuk keperluan berhitung maka pada saat itu diperlukan suatu
sistem penulisan bilangan atau sistem numerasi, yang telah mulai digunakan
orang semenjak tiga atau empat ribu tahun sebelum masehi di Mesir dan
Mesopotamia, dan mungkin juga ada di tempat lain, seperti di Cina, India,
dan pada bangsa Indian Amerika.
Penemuan sistem numerasi dan lambang-lambang matematika
lainnya baru muncul jauh kemudian dari penemuan matematika itu sendiri.
Sebelum manusia mengenal tulisan atau lambang-lambang matematika,
orang telah terlebih dahulu mengenal tentang bilangan dan bangun-bangun
geometri.
Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai sejarah matematika di
Babilonia dan Mesir Kuno, konsep bilangan dan sistem bilangan Babilonia
dan Mesir Kuni, serta akan dijelaskan penemuan-penemuan yang telah
ditemukan oleh bangsa Babilonia dan Mesir Kuno pada saat itu sehingga
dapat menambah pengetahuan kita mengenai Sejarah Matematika.

A. Sejarah Perkembangan Matematika Babilonia Kuno


Mesopotamia adalah suatu wilayah perlembahan yang terletak di antara
dua sungai Tigris dan Eufrat. Hulu kedua sungai tersebut berasal dari
dataran tinggi yang bergunung-gunung di Asia Kecil yang mengalir ke arah
tenggara secara pararel menyisir hamparan terbuka. Hanya kurang dari dua
ratus mil, kedua sungai itu saling mendekat. Daerah yang dilalui kedua
sungai itu pada umumnya subur. Sebab daerah itu merupakan daerah yang
berupa tanah hasil endapan air yang dihasilkan dari sungai Tigris dan Eufrat.
Matematika Babilonia merujuk pada seluruh matematika yang
dikembangkan oleh bangsa Mesopotamia (kini Iraq) sejak permulaan
Sumeria hingga permulaan peradaban helenistik. Dinamai "Matematika
Babylonia" karena peran utama kawasan Babylonia sebagai tempat untuk
belajar. Pada zaman peradaban helenistik Matematika Babylonia berpadu
dengan Matematika Yunani dan Mesir untuk membangkitkan Matematika
Yunani. Kemudian di bawah Kekhalifahan Islam, Mesopotamia, terkhusus
Baghdad, sekali lagi menjadi pusat penting pengkajian Matematika Islam
(Kusaeri, 2017).
Peradaban bangsa Mesopotamia telah lama memperlihatkan keunggulan
di bidang ilmu pengetahuan, termasuk di bidang matematika. Beberapa
dokumen yang ditemukan menunjukkan matematika telah digunakan pada
saat itu. Menurut Bergren, penemuan matematika pada zaman Mesopotamia
didasarkan pada dokumen berupa Artefak. Artefak matematika yang
ditemukan menunjukkan bahwa bangsa Mesopotamia telah memiliki
pengetahuan matematika yang luar biasa, kendati matematika yang mereka
miliki belum diformulasikan secara deduktif layaknya saat ini (Kusaeri,
2017: 88 ).
Sebagai kawasan yang subur karena terletak di lembah sungai,
Mesopotamia bagai gula yang banyak disinggahi oleh semut dari berbagai
ordo. Artinya Mesopotamia tidak hanya di huni oleh satu bangsa, namun
beragam bangsa seperti Sumeria, Akkadia, Babilonia, Assyria dan Persia
singgah di sana. Disinyalir, Sumeria merupakan bangsa yang pertama kali
menempati Mesopotamia. Bangsa Sumeria diperkirakan telah
mengembangkan tulisan pada tahun 4000-2000 SM. Mereka menulis pada
kepingan tanah liat. Tulisan yang mereka ciptakan bukan berasal dari
masyarakat pra-peradaban atau terilhami dari masyarakat yang sudah ada
sebelumnya. Tulisan yang pertama dikenal dalam bentuk pahat (inscription).
Tulisan itu diukir pada kepingan tanah liat yang masih basah kemudian
dikeringkan. Kepingan tanah liat tersebut berbentuk lukisan kuno
(pictographic). Teknik penulisannya menggunakan gambar orang, benda,
peristiwa dan tindakan sebagai pengganti simbol huruf.
Prosedur penulisan yang demikian itu dinamakan cuneiform. Cuneiform
berasal daru bahasa Latin, cuneus yang berarti baji atau paku dan forma
yang berarti bentuk. Sehingga cuneiform berarti tulisan kuno yang
menggunakan huruf paku. Untuk menuliskan karakter-karakter berbentuk
piktograf, bangsa Sumeria menggunakan stylus yang diukir pada lempengan
tanah liat. Lempengan tanah liat ini kemudian diperkeras dengan cara
dibakar atau dijemur di bawah sinar matahari (Kusaeri, 2017)

Sumber : (WADE, 2010)


Gambar 1.1 Bentuk Tulisan Bangsa Sumeria (Cuneiform)
Tulisan pada gambar diatas digunakan oleh bangsa Sumeria tahun
3200 SM, seusia dengan hieroglyph yang digunakan masyarakat Mesir
Kuno. Tulisan ini hanya digunakan oleh orang-orang tertentu, karena
membaca atau menulis tulisan Sumeria tidaklah mudah. Susunan
alphabetnya terdiri dari 550 karakter. Meskipun agak sulit, namun cuneiform
digunakan secara luas di Timur Tengah selama ratusan tahun.
Tulisan-tulisan mengenai matematika yang terdapat dalam cuneiform
ini kemungkinan ditulis mulai dari akhir zaman Sumeria (salah satu era
dalam sejarah bangsa Mesopotamia), yaitu kira-kira 2100 tahun sebelum
masehi. Tetapi sebahagian besar dari cuneiform ini ditulis dalam zaman
permulaan Babylonia, terutama sekali pada masa dinasti raja Hammurabbi
(2000-1800 S.M), sedang tahun 600 sampai tahun 300 sebelum Masehi.
Bukti peradaban Babylonia baru telah berkembang, ketika
ditemukannya sekitar 400 lempengan tanah liat yang digali sejak tahun 1850-
an. Oleh bangsa Babylonia, tulisan pada lempengan tanah liat tersebut dibuat
ketika tanah liat masih basah, kemudian dibakar dalam tungku atau dijemur
di bawah sinar matahari. Beberapa naskah kuno yang berkaitan dengan
pengetahuan matematika peradaban Babylonia telah ditemukan di Yale,
Columbia, dan Paris. Di universitas Columbia, terdapat katalog hasil olahan
naskah-naskah kuno Mesopotamia yang ditulis oleh G. A. Plimpton yang
berisi masalah matematika. Katalog ini bernomor 322 sehingga dikenal
sebagai Plimpton 322.
Naskah Plimpton 322 berisi tabel matematika yang ditulis sekitar tahun
1900-1600 SM. Naskah tersebut berbentuk tabel yang terdiri dari empat
kolom dan lima belas baris berisi bilangan yang bersesuaian membentuk
bilangan triple Phytagoras. Sebagian besar lempengan tanah liat juga berisi
topik-topik pecahan, aljabar, persamaan kuadrat dan kubik, perhitungan
bilangan regular, invers perkalian, dan bilangan prima kembar.
Temuan lempengan tanah liat tersebut juga mempertegas bahwa pada
zaman itu bangsa Babylonia sudah menggunakan aljabar, namun hanya
sebatas pada tahap teoritis. Dalam menyelesaiakan aljabar, bangsa Babylonia
menggunakan teknik penyelesaian masalah melalui ide geometri. Ide
geometri ini merupakan proses penyelesaian masalah dengan manipulasi
data, sesungguhnya berdasarkan aturan yang telah ditetapkan.
1. Sistem Bilangan Zaman Babilonia Kuno
a. Angka Bangsa Babilonia Kuno
Dari Gambar 1.2 jelas terlihat bentuk angka-angka bangsa Babilonia.
Bentuknya seperti paku. Oleh karena itu, sering disebut abjad paku. Akibat
dibuat dari bahan bilah kayu yang berbentuk segitiga, maka akan membentuk
wujud cukilan yang menyerupai anak panah. Di samping itu alat tulis yang
sederhana ini akan menghasilkan bentuk dalam variasi yang terbatas pula
(Ruslani, 2010).

Sumber : (Kusaeri, 2017)


Gambar 1.2 Bermacam-macam bentuk angka dari bilangan dasar
10
Bangsa Mesir Purba telah mengenal alat tulis sederhana yang disebut
kertas. Tentu saja bentuk kertas Mesir tidak seperti kertas yang biasa kita
kenal sekarang. Mereka menuliskan lambang yang berbentuk gambar dengan
sejenis pena. Kadang-kadang tintanya berwarna hitam dan merah. Angka-
angka bangsa Maya bentuknya sangat aneh, menyerupai tongkat yang
berbentuk silindris (bulat). Memang angka ini dibuat berdasarkan wujud
tongkat yang bulat dengan jalan menusukkan pada tanah sehingga berbekas
lingkaran. Cara lain dengan jalan meletakkan tongkat ini sehingga
menyerupai batang. Lihat Gambar 1.2c.
Pada angka bangsa cina karena alat tulisnya berbeda akan dihasilkan
bentuk angka seperti terlihat pada Gambar 1.2d. Perhatikan bentuk alat
tulisnya yang menyerupai kuas yang diberi nama pit. Tulisan atau gambar
piktografi yang dibuat dengan alat ini akan mempunyai nilai seni.
Perhatikan juga bentuk angka-angka bangsa Yunani. Bentuk angka
ini diambilkan dari abjad. Lihat Gambar 1.2e. Perlu diketahui tulisan atau
angka bangsa Yunani umumnya dituliskan pada kulit atau logam. Sehingga
angkanya berbentuk kaku dan kuat.

b. Sistem Bilangan Dasar 60


Seperti telah kita ketahui angka – angka yang kita kenal selama ini berasal
dari angka – angka Arab. Pada umumnya angka yang kita kenal sekarang
menggunakan sistem bilangan dasar 10 atau desimal. Wujud angka yang kita
kenal dari mulai 0 hingga 9. Dimulai dari 0 – 1 – 2 – 3 – 4 – 5 – 6 – 7 – 8 –
9. Bila hitungan ini kita lanjutkan akan kita dapati angka yang berulang. Jadi
selanjutnya akan dihasilkan perulang angka dari 10 – 11 – 12 – 13 – 14 – 15
– 16 – 17 – 18 – 19 – dan seterusnya.
Pada sistem angka – angka bangsa Babylonia yang menggunakan sistem
dasar 60 ternyata agak aneh. Pada angka ke – 60 ternyata tidak kita dapatkan
angka yang berulang. Hal ini karena pada zamannya belum ditemukan angka
0. Angka dasar 60 ditemukan karena umumnya para ahli mereka yang utama
ialah ahli perbintangan atau astronomi. Perlu kita ketahui pembagian tahun
menurut perbintangan itu 1 tahun terdiri atas 360 hari yang dibagi 6. Satu
hari terdiri dari 24 jam. Satu jam terdiri dari 60 menit dan selanjutnya 1
menit terdiri dari 60 detik. Keliling lingkaran dapat dibagi menjadi 360
derajat.

Sumber : (Ruslani, 2010)


Gambar 1.3 Bentuk angka Babilonia
Dari studi mendalam tentang setengah abad terakhir, jelas bahwa
Babel matematika jauh lebih berkembang daripada yang pernah dibayangkan
sebelumnya. Orang babel adalah satu-satunya orang pra-Yunani yang bahkan
memanfaatkan sebagian posisi nomor sistem Sistem seperti itu didasarkan
pada pengertian nilai tempat, di mana nilainya dari sebuah simbol
bergantung pada posisi yang ditempatinya dalam representasi numerik.
Mereka Keuntungan luar biasa dari sistem lain adalah seperangkat simbol
yang terbatas untuk diungkapkan angka, tidak peduli seberapa besar atau
kecilnya. Skala Babilonia dari pencacahan tidak desimal, tapi sexagesimal
(60 sebagai basis), sehingga setiap tempat sebuah "digit" dipindahkan ke kiri
meningkatkan nilainya dengan faktor 60. Bila keseluruhan bilangan terwakili
dalam sexagesimalsistem, ruang terakhir dicadangkan untuk nomor 1 sampai
59, yang berikutnya-to-last ruang untuk kelipatan 60, didahului oleh
kelipatan 602 dan seterusnya. Misalnya, Babilonia 3 25 4 mewakili bilangan
3.602 + 25. 60 + 4 = 12.304
dan bukan
3.103 + 25. 10 + 4 = 3254
seperti pada sistem desimal (basis 10) kita.
Penggunaan Babilonia dari notasi nilai-nilai sexagesimal
dikemukakan oleh dua orang tablet yang ditemukan pada tahun 1854 di
Senkerah di Efrat oleh ahli geologi Inggris W. K. Loftus. Tablet ini, yang
mungkin berasal dari periode Hammurabi (2000 SM), Berikan kotak dari
semua bilangan bulat dari 1 sampai 59 dan kubus mereka sejauh 32. The
tablet kotak terbaca dengan mudah sampai 72 atau 49. Dimana kita harus
berharap untuk nd 64, tablet memberi 1 4; satu-satunya hal yang masuk akal
adalah membiarkan saya bertahan selama 60. Berikut ini 82 nilai dari 92.
tercantum sebagai 1 21, menyiratkan lagi bahwa digit kiri harus mewakili 60
(Burton, 2007).
Skema yang sama diikuti sepanjang tabel sampai kita sampai pada entri
terakhir, yaitu 58 1; ini tidak bisa tidak berarti
58 1 = 58.60 + 1 = 3481= 592
Kelemahan dari penghitungan hieroglif Mesir sudah jelas.
Mewakili bahkan nomor kecil mungkin memerlukan simbol yang relatif
banyak (untuk mewakili 999, tidak kurang dari 27 hieroglif diperlukan); dan
dengan setiap kekuatan baru 10, simbol baru harus ada diciptakan
Sebaliknya, notasi numerik Babel menekankan dua irisan karakter. Baji

tegak sederhana memiliki nilai 1 dan bisa dipakai sembilan kali,

sedangkan baji samping lebar berdiri selama 10 dan bisa digunakan sampai
beberapa kali. Babilonia, melanjutkan jalur yang sama dengan orang-orang
Mesir, membentuk semua nomor lainnya kombinasi dari simbol-simbol ini,
masing-masing diwakili sesering yang dibutuhkannya. Saat keduanya simbol
yang digunakan, yang menunjukkan puluhan muncul di sebelah kiri, seperti
di simbol berikut

Jarak yang tepat antara kelompok simbol yang rapat berhubungan dengan
penurunan kekuatan 60, baca dari kiri ke kanan. Sebagai ilustrasi, kita punya

yang bisa diartikan sebagai


1.603 + 28.602 + 52.60 +20 = 319.940
Orang babel sesekali mengatasi kerancuan sistem mereka dengan
menggunakan tanda subtraktif . Ini memungkinkan penulisan angka
seperti 19 dalam bentuk 20 - 1,

alih-alih menggunakan simbol puluhan diikuti sembilan unit:


Notasi posisi babilonia dalam perkembangannya paling awal dipinjamkan
untuk berkontraksi interpretasi karena tidak ada simbol untuk nol. Tidak ada
cara untuk membedakannya antara angka
1.60 + 24 = 84 dan 1.602 + 0.60 + 24 = 3624,
karena masing-masing diwakili dalam cuneiform oleh

Kita hanya bisa mengandalkan konteks untuk menghilangkan


ambiguitas. Jarak pemisah yang mencolok seringkali digunakan untuk
menunjukkan bahwa keseluruhan tempat seksagesimal hilang, namun aturan
ini tidak diterapkan secara ketat dan kebingungan dapat terjadi. . Orang yang
menyalin tablet mungkin saja tidak melihat spasi kosong tersebut, dan
menempatkan simbol-simbolnya berdekatan, dan dengan demikian
mengubah nilai bilangannya. (Hanya dalam sistem posisi harus adanya ruang
kosong yang ditentukan, jadi Orang Mesir tidak menghadapi masalah ini.)
Dari 300 SM. pada, simbol yang terpisah dan kebingungan bisa terjadi.
Seseorang yang recopying tablet mungkin tidak memperhatikan yang kosong
ruang, dan akan semakin dekat mendekat, sehingga mengubah nilai
bilangannya. (Hanya dalam sistem posisi harus adanya ruang kosong yang
ditentukan, jadi Orang Mesir tidak menghadapi masalah ini.) Dari 300 SM.
pada, simbol yang terpisah

disebut pembagi, diperkenalkan untuk dijadikan sebagai placeholder,


sehingga menunjukkan ruang kosong antara dua digit di dalam sebuah
nomor. Dengan ini, angka 84 dapat dibedakan dari 3624, yang terakhir
diwakili oleh
Kebingungan itu tidak berakhir, karena pembagi Babel hanya digunakan
secara medial dan masih belum ada simbol untuk menunjukkan tidak adanya
digit di akhir sebuah angka. Sekitar tahun 150, astronom Aleksandria
Ptolemy mulai menggunakan omicron (o, the huruf pertama dari bahasa

Yunani , "tidak ada") layaknya nilai nol kita, tidak hanya muncul
diantara angka-angka, tetapi juga di posisi ujung. Tidak ada bukti yang
dianggap Ptolemy sebagai sebuah nomor dengan sendirinya yang bisa masuk
ke dalam perhitungan dengan nomor lain.
Tidak adanya tanda nol di ujung angka berarti tidak ada jalan Mengatakan
apakah tempat terendah adalah satu unit, kelipatannya 60 atau 602, atau

bahkan beberapa dari 1/60 . Nilai simbol 2 24 (di cuneiform, )


dapat ditafsirkan
2.60 + 24 = 144

Tapi interpretasi lain mungkin dilakukan, misalnya,


2.60 + 24.60 = 8640
atau jika dimaksudkan sebagai pecahan,
24 2
2+ =2 .
60 5

Dengan demikian, Babel kuno tidak pernah mencapai sistem posisi


absolut. Representasi numerik mereka mengekspresikan urutan relatif digit,
dan konteksnya sendiri memutuskan besarnya angka seksualitas yang ditulis;
karena dasarnya begitu Besar, biasanya terlihat nilai apa yang dimaksudkan.
Untuk memperbaiki kekurangan ini, mari kita setuju untuk menggunakan
titik koma untuk memisahkan bilangan bulat dari pecahan, sementara semua
seksagesimal lainnya tempat akan dipisahkan satu sama lain dengan koma.
Dengan konvensi ini, 25,0,3; 30 dan 25,0; 3,30 berarti, masing-masing,
30 1
25.602 + 0.60 + 3 + 60 = 90.0032

Dan
3 30 7
25.60 + 0 + 60 + 60 = 1500120

Perhatikan bahwa baik titik koma maupun koma memiliki rekanan dalam
bentuk aslinya teks runcing.
Pertanyaan bagaimana sistem seksagesimal berasal sejak lama dan
telah ada menerima jawaban yang berbeda dari waktu ke waktu. Menurut
Theon dari Alexandria, seorang komentator dari abad keempat, 60 termasuk
di antara semua nomor yang paling nyaman karena itu adalah terkecil di
antara semua yang memiliki pembagi paling banyak, dan karenanya paling
mudah ditangani. Poin theon nampaknya adalah karena 60 memiliki
sejumlah besar pembagi yang tepat, yaitu, 2, 3, 4, 5, 6, 10, 12, 15, 20, dan 30,
beberapa fraksi berguna dapat diwakili. nyaman. Bilangan bulat 30, 20 dan
1 1 1
15 dapat mewakili 2, 3, dan 4:
1 30
= 60 = 0; 30,
2
1 20
= 60 = 0; 20,
3
1 15
= 60 = 0; 15.
4

Fraksi yang memiliki ekspansi seksagesimal yang tidak beruntun


diperkirakan oleh nite yang, sehingga setiap nomor disajikan berupa bilangan
bulat. Hasilnya adalah kesederhanaan perhitungan yang menghindari orang
Mesir, yang mengurangi semua pecahan mereka sampai jumlah fraksi
dengan pembilang 1. Yang lainnya melampirkan asal "alami" ke sistem
seksagesimal; teori mereka adalah itu Babel awal memperhitungkan tahun di
360 hari, dan basis 360 yang lebih tinggi dipilih Pertama, kemudian
diturunkan menjadi 60. Mungkin penjelasan yang paling memuaskan adalah
berevolusi dari penggabungan antara dua orang di antaranya seseorang telah
mengadopsi sistem desimal, sedangkan yang lain membawa mereka sebuah
sistem 6, memberikan keuntungan karena dibagi oleh 2 dan oleh 3. (Asal
mula sistem desimal tidak logis tapi anatomis; manusia memiliki telah
dilengkapi dengan sempoa alami-jari dan kaki mereka.) Keuntungan sistem
nilai tempat Babilonia atas aditif Mesir Perhitungan dengan fraksi unit sangat
jelas sehingga metode ini menjadi prinsipal alat perhitungan antar astronom.
Kami melihat notasi numerik ini sepenuhnya digunakan dalam karya
Ptolemy yang luar biasa, Megale Syntaxis (The Great Collection). Orang
Arab Kemudian melewati ini ke Barat dengan nama aneh Almagest (The
Greatest). Almagest begitu membayangi pendahulunya yang sampai saat
Copernicus, itu adalah buku teks dasar tentang astronomi Dalam salah satu
bab awal, Ptolemy mengumumkan bahwa dia akan melakukan semua
penghitungannya dalam sistem seksagesimal untuk menghindari "
memalukan pecahan [Mesir]" (Burton, 2007).

c. Pemakaian Angka Babilonia


Cara penulisan angka bilangan dasar 60 prinsipnya hampir sama dengan
cara penulisan bilangan dasar 10. Pada bilangan dasar 10 setiap angka terdiri
atas urutan dari kanan ke kiri sebagai berikut :
Satuan terdiri atas angka 0 hingga 9
Puluhan terdiri atas angka 0 hingga 9
Ratusan terdiri atas angka 0 hingga 9
Misalnya bilangan 152 dengan bilangan dasar 10
152(10)⇒ 1 5 2
Ratusan Puluhan Satuan

Arti angka – angka itu dapat dijabarkan sebagai berikut :


1 x (100) + 5 x (10) + 2 x (1)
1 ratusan + 5 puluhan + 2 satuan
152
Seratus lima puluh dua
Pada bilangan dasar 60 urutannya sebagai berikut :
Satu terdiri atas angka 0 hingga 59
Enam puluhan terdiri atas angka 0 hingga 59
Tiga ribu enam ratusan terdiri atas angka 0 hingga 59
Dimisalkan angka Babylonia tertulis sebagai berikut :

152(60)⇒ 1 5 2

Ratusan Puluhan Satuan


Bila angka – angka ini kita jabarkan menjadi bilangan dasar 10
akan menjadi:
1 x (60 x 60) + 5 x (60) + 2 x (1)
1 x (602) + 5 x (601) + 2 x (600)
3600 + 300 + 2
3902(10)
Tiga ribu sembilan ratus dua
Mari kita mencoba menulis bilangan 81(10) dengan angka
Babylonia.
Caranya kita bagi bilangan ini dengan 60.
80
60 = 1 sisa 21
1
60 0 = 0 sisa 1
1 21
Jadi, bila ditulis dalam angka Babilonia menjadi :
1 21

Cara penulisan angka – angkanya antara satu angka dengan angka


lainnya mempunyai jarak yang agak renggang.
Contoh kedua, berapakah besarnya angka yang tertulis pada
angka Babylonia untuk bilangan dasar 10?

2 0 10

Angka – angka di atas diganti dengan angka bilangan dasar 10


seperti terlihat di atas. Sekarang kita jabarkan menjadi :
2 x (60 x 60) + 0 x (60) + 10 x (1)
7200 + 0 + 10
7210
Jadi, setelah dijabarkan kita dapatkan angka 7210 untuk dasar 10
(Ruslani, 2010).
d. Penemuan-Penemuan Zaman Babilonia Kuno
1) Dalil Phytagoras Zaman Babilonia
Dalil Phytagoras digunakan untuk mengetahui sisi sebuah segitiga siku-
siku, bila dua buah sisinya diketahui. Dalil ini ditemukan oleh seorang ahli
yang bernama Phytagoras pada tahun 540 sebelum Masehi. Phytagoras
menemukan dalil ini di kota Crotona, sebuah kota jajahan Yunani yang kini
kira-kira terletak di Jazirah Italia (Ruslani, 2010).
Dengan menggunakan dalil Phytagoras, cara untuk mencari sisi sebuah
segitiga siku-siku yang belum diketahui adalah dengan mengkuadratkan
kedua setiap sisi segitiga yang diketahui kemudian menjumlahkannya.
Hasilnya adalah kuadrat sisi miring. Anehnya cara mencari seperti ini
ditemukan pula oleh bangsa Babylonia sekitar tahun 1700 sebelum Masehi.
Gambaran adanya segitiga Phytagoras dilukiskan dalam lempengan tanah liat
dengan cerita sebagai berikut:
Bila pada sebuah dinding (d) yang berdiri pada tanah (t) disandarkan bilah
kayu (b) yang miring, maka panjang kayu (dapat diketahui dengan jalan
mengkuadratkan dua sisi tegaknya dan dijumlahkan. Hasilnya ialah kuadrat
sisi miringnya. Sehingga bila digambarkan seperti Gambar 1.4.

Dinding
Bilah Kayu

d b

t Tanah
Gambar 1.4. Hitungan dengan dalil Phytagoras

Bila panjang bilah kayu = b, batas antara bilah kayu yang bersandar
sampai dengan tanah = d, dan batas antara bilah kayu yang disandarkan pada
tembok dan tanah = t, maka kuadrat jumlah sisi siku-sikunya sama dengan
kuadrat sisi miringnya. Misalkan panjang garis tanah t = 4 meter, sedangkan
tinggi bilah yang bersandar pada tembok/dinding = 3 meter, maka panjang
bilah kayu dapat diketahui dengan dalil phytagoras sebagai berikut :
𝑑2 + 𝑡 2 = 𝑏2
32 + 42 = 𝑏 2
9 + 16 = 𝑏 2
25 = 𝑏2
𝑏 = √25
𝑏 =5
Jadi, semenjak zaman dulu atau semenjak zaman Babylonia
pemakaian hitungan kuadrat telah digunakan. Hitungan kuadrat ialah
perkalian ganda atau 𝑏 2 = 𝑏 × 𝑏. Selain hitungan kuadrat dikenal pula
operasi dengan tanda akar (√). Bila dalil phytagoras hendak dibuktikan
perhatikan Gambar 1.5.
Sumber : (Ruslani, 2010)
Gambar 1.5 Pembuktian Dalil Phytagoras

Bujur sangkar I sisinya a cm


Luasnya a x a = 4 cm x 4 cm = 16 cm2
Bujur sangkar II sisinya b cm
Luasnya b x b = 3 cm x 3 cm = 9 cm2
Bujur sangkar III sisinya c cm
Luasnya c x c = 5 cm x 5 cm = 25 cm2
Dapat kita jabarkan bahwa (a x a) + (b x b) = (c x c)
a2 + b2 = c2
Metode pencarian dengan dalil Phytagoras ini pun kita jumpai di
Mesir Purba. Bahkan matematika geometri ini berkembang dengan pesatnya.
Hal ini dimengerti karena bumi Mesir Purba sangat subur. Terutama setelah
mengalami air bah dari sungai Nil. Bangsa Mesir Purba menentukan luas
lahannya dengan menggunakan dalil Pythagoras.
Seperti yang telah dipaparkan diatas, bangsa Babylonia belum
mengenal kertas. Semua peninggalan karya budaya dan ilmu pengetahuan
ditorehkan dalam lempengan tanah liat. Untuk membuktikan adanya
peninggalan ini akan diperlihatkan bentuk kepingan tanah liat yang berisi
pembuktian dalil Phytagoras ini sebagai berikut:
Gambar 1.6 Bentuk Pembuktian Segitiga Phytagoras
Pada gambar diatas terlihat bentuk kepingan tanah liat yang mulai
retak-retak. Perhatikan juga bentuk angka-angka yang tertoreh padanya. Pada
kepingan itu terdapat angka-angka huruf paku yang bila diterjemahkan
menjadi angka-angka yang dimengerti sekarang, yaitu:
Baris tengah dari kiri ke kanan 1 24 51 10
Bagian bawahnya tertoreh 42 25 35
Bila angka-angka Babylonia ini kita ubah menjadi bilangan desimal
sistem dasar 10 akan menjadi sebagai berikut:
Deret tengah tertoreh : 1 24 51 10
Angka-angka ini merupakan angka-angka bilangan dasar 60. Deretan
angka ini ialah bilangan pecahan. Marilah kita ubah bilangan ini:
24 51 10 2 51 10
1+ + 2+ 3 =1+ + +
60 60 60 5 3600 216000
= 1 + 0,4 + 0,0141666 + 0,0000462
= 1,4142128 …
Bila angka ini kita bandingkan dengan besarnya √2 akan terlihat
adanya pendekatan, karena hasil √2 = 1,414213562. ternyata hanya
berselisih :
1,4142128 − 1,414213562 = 0,000000662
Ternyata selisih hasil angka itu sangatlah kecil yaitu 0,000000662.
Sekarang perhatikan bentuk bujur sangkar pada Gambar sebelumnya.
Disana terdapat tanda 30 pada sisinya. Bila bujur sangkar ini kita belah akan
kida dapati segitiga siku-siku dan berlaku dalil Pitagoras yang berbunyi
sebagai berikut:

Sisi kiri kuadrat + Sisi kanan kuadrat = Diagonal kuadrat


Di sini diagonal merupakan sisi miring segitiga siku-siku. Jadi bila
dijabarkan akan menjadi :
(𝑑𝑖𝑎𝑔𝑜𝑛𝑎𝑙)2 = (𝑠𝑖𝑠𝑖𝑚𝑖𝑟𝑖𝑛𝑔)2 + (𝑠𝑖𝑠𝑖𝑚𝑖𝑟𝑖𝑛𝑔)2
(𝑑𝑖𝑎𝑔𝑜𝑛𝑎𝑙)2 = (30)2 + (30)2
𝑔𝑎𝑟𝑖𝑠 𝑑𝑖𝑎𝑔𝑜𝑛𝑎𝑙 = √302 + 302
𝑔𝑎𝑟𝑖𝑠 𝑑𝑖𝑎𝑔𝑜𝑛𝑎𝑙 = √2 × 302
𝑔𝑎𝑟𝑖𝑠 𝑑𝑖𝑎𝑔𝑜𝑛𝑎𝑙 = 30√2
Jadi, panjang garis diagonal sebuah bujur sangkar bila sisinya telah
diketahui 30 adalah 30√2
Marilah kita beralih kembali pada hitungan bangsa Babylonia yang
telah kita pelajari. Sebelumnya telah dijelaskan bahwa √2 = 1,414213562
menurut hitungan sekarang, sedangkan menurut hitungan zaman dahulu
1,4142128. Bila angka ini dituliskan dalam angka Babylonia akan menjadi
1 24 51 10(60) dasar 60. Berdasarkan penjelasan ini maka panjang

diagonal bujur sangkar menjadi 30√2. Atau kalau diubah menjadi angka
Babylonia ditulis dalam angka desimal menjadi 30 × (1 24 51 10).
Marilah kita analisa bilangan dasar 60 menjadi :
(a) 30 × 1 = 30
24 30×24
(b) 30 × 60 = 60
51 51
(c) 30 × = 30 ×
602 60×60
51
= 2×60
51 1⁄
= 2×60 × 1⁄2
2
51×1⁄2
= 60
251⁄2
= 60
Karena bilangan 1⁄2 bila ditulis dalam dasar 60 = 30, maka hasil bilangan
di atas menjadi :

25 1⁄2
= +
60 60
25 30
= +
60 602
= 0,25 30
10 30 10
(d) 30 × 603 = 60 × 602
1 10
= ×
2 602
5
= 602

= 0,0005
Bila keempat penjabaran ini digabung akan menjadi :
(a) 30
(b) 12
(c) 0,2530
(d) 0,0005 +
42, 2535
Sekarang coba cocokkan sendiri antara hasil ini dengan angka yang
terdapat pada baris bawah pada Gambar 1.6 Bentuk pembuktian segitiga
Phytagoras. Ternyata sama. Berarti bilangan ini sama dengan panjang garis
diagonal yang panjangnya sama dengan 30√2 atau 30 × (1 24 51 10).
Bila bilangan ini kita tulis secara matematika akan menjadi :30 ×
(1 24 51 10) = 42 25 35 dasar 60.
Bilangan di atas dapat dibaca dengan pengucapan waktu, karena waktu
menggunakan bilangan dasar 60. Pengucapannya menjadi 42 jam, 25 menit,
35 detik.
2) Tablet Bilangan-Bilangan Kebalikan
Sebagian besar dari apa yang kita ketahui tentang matematika yang
dikembangkan di Mesopotamia, yang pertama oleh orang Sumeria dan
kemudian oleh orang-orang Akkarin dan orang lain, relatif baru. Subjek ini
disebut matematika Babilonia, seolah-olah satu orang telah menciptakannya.
Sampai saat ini, penekanan besar telah diberikan pada pencapaian orang-
orang Mesir. Untuk beberapa lama, diketahui bahwa koleksi Babilonia besar
di British Museum dan Louvre di luar negeri dan di Yale, Columbia, dan
University of Pennsylvania di Amerika Serikat berisi banyak tablet runcing
yang tidak terbaca dengan tipe yang tidak biasa. Studi mendalam tentang
Otto Neugebauer, yang mencapai hasil pada tahun 1930an, mengungkapkan
bahwa ini adalah tabel dan teks matematika, dan dengan demikian kunci
untuk "pembacaan" isinya ditemukan. Dengan melalui pemecahan,
terjemahan, dan interpretasi cendekiawan ini, sebuah cahaya yang sama
sekali baru dilemparkan pada apa yang orang Babel berkontribusi pada
pengembangan matematika kuno (Burton, 2007).
Dalam menyelidiki matematika Babilonia, kita jauh lebih beruntung
daripada dengan matematika Mesir. Karena cara penulisan Babilonia pada
tablet tanah liat membuat kompilasi risalah yang panjang, tidak ada satu pun
catatan Babilonia yang sebanding dengan Rhind Papyrus. Meskipun
demikian, beberapa ratus tablet matematis telah ditemukan, banyak dalam
kondisi pelestarian yang sangat baik. Mayoritas dari ini (sekitar dua pertiga)
adalah "Babel Tua," yang mengatakan bahwa mereka kira-kira berada pada
periode 1800-1600 SM. Melalui tambang bahan tambang yang kaya
sekarang kita tahu bahwa kecuali mungkin untuk aturan geometris tertentu,
orang Babel jauh melampaui orang Mesir dalam matematika. Meskipun
matematika Babilonia juga memiliki akar empiris yang kuat yang jelas ada di
sebagian besar tablet yang telah diterjemahkan, nampaknya cenderung
mengarah pada ekspresi yang lebih teoritis. (Babel dapat mengklaim prioritas
dalam beberapa penemuan, terutama teorema Pythagoras, biasanya dianggap
berasal dari sekolah matematika berikutnya.) Kunci kemajuan yang dibuat
orang Babel tampaknya adalah sistem bilangan mereka yang sangat mudah.
Notasi sexagesimal yang sangat baik memungkinkan mereka untuk
menghitung dengan pecahan semudah bilangan bulat dan menghasilkan
aljabar yang sangat maju. Ini tidak mungkin bagi orang Mesir, untuk siapa
setiap operasi dengan pecahan melibatkan banyak pecahan unit, sehingga
membuat masalah yang berbeda dari masing-masing divisi.
Orang-orang Babilonia, yang terbebas dari sistem penomoran mereka
yang luar biasa dari perhitungan yang membosankan, menjadi kompiler tabel
aritmatika yang tidak kenal lelah, beberapa di antaranya luar biasa dalam
kompleksitas dan luasnya. Sejumlah meja memberi kotak angka 1 sampai 50
dan juga kubus, akar kuadrat, dan akar kubus dari angka-angka ini. Sebuah
tablet yang sekarang ada di Museum Berlin memberi daftar tidak hanya
dan n3 untuk n = 1, 2, . . ., 20, 30, 40, 50 tapi juga jumlahnya n2 + n3.
Diperkirakan bahwa ini digunakan dalam memecahkan persamaan kubik
yang telah direduksi menjadi bentuknya x3 + x2 = a. Sekelompok besar tabel
lainnya berurusan dengan bilangan timbal balik. Format standar tabel
semacam itu biasanya melibatkan dua kolom tanda, seperti
4 15
5 12
6 10
8 7;30
9 6;40
10 6
12 5
15 4
16 3;45
18 3;20
dimana produk dari setiap pasang angka selalu 60. Artinya, masing-masing
pasangan terdiri dari angka di sisi kiri dan timbal balik seksasenya di sisi
kanan. Tabel ini memiliki celah tertentu di dalamnya; Yang hilang adalah
nomor 7, 11, 13, dan 14, dan beberapa lainnya. Alasannya adalah bahwa
hanya pecahan seksagesimal nite yang dapat dipahami oleh orang Babilonia,
dan timbal balik dari angka "tidak beraturan" ini adalah jenis kelamin yang
tidak bertunangan. Misalnya, dalam ekspansi sexagesimal untuk
1
= 0; 8, 34, 17, 8, 34, 17 . . . . .
7

(Situasi serupa terjadi pada sistem kita sendiri, di mana timbal balik dari,
1
katakanlah, = 0.090909 . . . berada pada titik nite ketika diperluas secara
11

membusuk.). Bila angka tidak beraturan seperti 7 tidak muncul di kolom


pertama, pernyataan dibuat bahwa 7 tidak dibagi, dan perkiraan diberikan.
Tablet Sumeria dari 2.500 SM panggilan untuk membagi nomor 5,20,0,0 x 7;
perhitungannya disajikan sebagai (5, 20,0,0)(0; 8, 34, 17, 8) = 45, 42, 51; 22,
40, dimana 5, 20, 0, 0 telah dikalikan dengan timbal balik dari 7 yang
diperkirakan ke tempat keempat. Meja yang kemudian tampak memberi
1
batas atas dan bawah pada ukuran 7, yaitu
1
8, 34, 16, 59 < 7 < 8, 34, 18

Kita bisa membayangkan ruang lingkup beberapa tabel timbal balik


dari sebuah tablet di Louvre yang berasal dari 350 SM - yang terdiri dari 252
entri satu tempat ke pembagi tujuh belas tempat, dan satu tempat ke empat
belas tempat kebalikannya. Tabel ini adalah daftar angka n dan n0 dimana
produk nn0 sama dengan 1 atau beberapa kekuatan lainnya dari 60. Sebagai
contoh, satu baris berisi nilai
2, 59, 21, 40, 48, 54 20, 4, 16, 22, 28, 44,14, 57, 40, 4, 56, 17, 46, 40
yang mungkin dianggap mewakili produk
(2.605 + 59.604 + ... + 48.60 + 54) x (20.6013 + 4.6012 + ...+ 46.60 + 40) =
6019
Tampaknya perhitungan sebesar ini diperlukan dalam karya para
astronom saat itu.
Seperti yang disarankan sebelumnya, orang Babel tidak melakukan
pembagian dengan cara duplikasi kikuk orang-orang Mesir. Sebaliknya,
mereka menafsirkan sebuah terbagi oleh huruf b untuk berarti bahwa a
𝑎 1
dikalikan dengan timbal balik dari b; yaitu, = a (𝑏). Setelah menemukan,
𝑏

baik dalam sebuah tabel atau dengan perhitungan, timbal balik pembagi,
mereka hanya perlu memperbanyaknya dengan dividen. Untuk tujuan ini,
ahli Taurat Babilonia memiliki tabel perkalian, mereka hampir selalu
memberikan produk dengan jumlah tertentu yang berlipat ganda berturut-
turut dengan 1; 2; 3, ... 18; 19; 20 dan kemudian 30; 40, dan 50. Pada satu
1
tablet 1500 SM adalah tabel dari 7; 10; 12 2; 16; 24, masing-masing

dikalikan dengan rangkaian nilai di atas. Jadi, prosedur untuk, katakanlah, 7


dibagi 2 akan melipatgandakan timbal balik 2 sampai 7:
7(0;30) = 0;210 = 3;30,
1
yang tentu saja notasi seksagesimal untuk 32.

3) Tablet Plimpton 322


Keanehan lain dalam sejarah matematika terungkap saat tablet tanah liat
Babylonia Plimpton 322 (nomor katalog 322 di koleksi GA Plimpton di
Columbia University) diartikan oleh Neugebauer dan Sachs pada tahun 1945.
Tablet ini ditulis dalam naskah Babilonia lama, yang tanggal itu di suatu
tempat antara 1900 SM dan 1600 SM. Analisis dari kelompok gairah yang
luar biasa ini menetapkan tanpa keraguan bahwa apa yang disebut teorema
Pythagoras diketahui ahli matematika Babilonia lebih dari seribu tahun
sebelum Pythagoras lahir. Kita ingat bahwa hasil Pythagoras, yang memberi
hubungan antara panjang sisi segitiga siku-siku, diungkapkan secara ringkas
dalam rumus x2 + y2 = z2 (Wahyudin, 2013).
Teks yang dimaksud, Plimpton 322, adalah bagian kanan dari tablet
yang lebih besar dengan beberapa kolom. Seperti yang terlihat dari jeda di
sisi kiri, tablet ini awalnya lebih besar. Adanya lem modern pada jeda
menyiratkan bahwa bagian lainnya hilang setelah tablet digali. Tablet ini
selanjutnya dirusak oleh chip dalam di dekat tengah sisi kanan dan area aked
di sudut kiri atas. Daftar berikut ini memuat isinya.

119 169 1
3367 4828 2
4601 6649 3
12709 18541 4
65 97 5
319 481 6
2291 3541 7
799 1249 8
481 769 9
4961 8161 10
45 75 11
1679 2929 12
161 280 13
1771 3229 14
56 106 15
Tiga kolom angka dipelihara, masing-masing dengan judul. Kolom
terakhir tidak berisi apa pun kecuali angka 1; 2; .... 15, yang menunjukkan
bahwa ia menyebutkan garis. Dua kolom sebelumnya lebih menarik dan
dikepalai oleh kata-kata yang mungkin diterjemahkan sebagai "lebar" dan
"diagonal." Tidak sulit untuk memastikan bahwa mereka membentuk kaki
dan sisi miring dari segitiga siku-kanan sisi integral. Dengan kata lain, jika
angka di kolom tengah adalah kuadrat dan satu mengurangi dari masing-
masing kotak dari nomor yang sesuai di kolom pertama, hasil persegi yang
sempurna. Misalnya, baris pertama berisi persamaan
(169)2 – (119)2 = (120)2
Teks tersebut berisi beberapa kesalahan, dan dalam daftar, bacaan
asli pada tablet muncul dalam tanda kurung di sebelah kanan gambar yang
dikoreksi. Pada baris 9, kejadian 541 dan bukan 481 tidak diragukan lagi
merupakan kesalahan juru tulis, karena dalam notasi seksagesimal, 541
ditulis 9,1 dan 481 ditulis 8,1. Pada baris ke-13, juru tulis tersebut menulis
kotak 161 di tempat nomor itu sendiri, dan nomor di baris terakhir adalah
setengah dari nilai yang benar. Masih ada kesalahan yang tidak dapat
dijelaskan di baris kedua.
Pertanyaan muncul secara alami tentang bagaimana Babel
memperoleh angka x, y, dan z yang memenuhi persamaan x2 + y2 = z2. Nilai-
nilai yang terlibat dalam Plimpton 322 begitu besar sehingga tidak dapat
diperoleh hanya dengan menebak; Dengan menggunakan metode trial and
andror, seseorang akan menemukan banyak solusi sederhana sebelum ini.
Jika orang Babilonia memiliki metode yang jelas untuk memecahkan
persamaan Pythagoras. Sebuah petunjuk ditemukan di kolom keempat,
namun tidak lengkap, sepanjang tepi kiri dan belakang plimpton tablet. Ini
berisi daftar nilai z2/ x2, yang menunjukkan bahwa hubungannya x2 + y2 = z2
𝑧 2 𝑦 2
dikurangi menjadi (𝑥) − (𝑥 ) = 1. Jika α = z/x dan β = y/x, ini menjadi α2 –

β2 = 1.
Masalahnya kemudian akan membangun segitiga siku-siku yang
memiliki panjang rasional 1, α dan β, dimana α2 – β2 = 1. Sekarang, langkah
kritisnya adalah menyadari hal ini

Sumber : (Bidwell J. K., 1970)


Gambar 1.7 Tablet Plimpton 322
Persamaan terakhir dapat dinyatakan sebagai
(α + β)(α – β) = 1.
Semua nomor yang bersangkutan adalah rasional, jadi jika produk
dari dua angka adalah 1, mereka adalah timbal balik. Artinya, satu nomor
harus m / n dan yang lainnya n / m, dimana dan n adalah bilangan bulat.
Seperti
𝑚 𝑛
α+β= dan α-β=𝑚
𝑛

Kami juga menambahkannya


1 𝑚 𝑛
α = 2 (𝑛 + )
𝑚

dan dengan menguranginya


1 𝑚 𝑛
β = 2 (𝑛 − )
𝑚
Karena itu,
𝑚2 + 𝑛 2 𝑚2 − 𝑛 2
α= , β= .
2𝑚𝑛 2𝑚𝑛

Tapi y = βx dan z = αx; jika sekarang kita pasang x = 2mn, sehingga


mendapatkan solusi dalam bilangan bulat, maka sebagai berikut
x = 2mn, y = m2 – n2, z = m2 + n2
Ini adalah formula terkenal untuk menemukan segitiga yang benar
dengan sisi panjang integral dan digunakan pada zaman Helenistik oleh
Diophantus (sekitar tahun 150), matematikawan paling orisinal dari zaman
kuno. Untuk sampai pada formula ini, terlepas dari kemampuan untuk
menambahkan dan mengurangi pecahan, seseorang memerlukan sebagai
kunci untuk menghasilkan formula aljabar.
α2 – β2 = (α +β) (α -β).
Ini mungkin telah ditemukan dengan mempertimbangkan bayangan
seperti yang ada di sini. Daerah α2 – β2 dapat dibedah seperti yang
ditunjukkan dan kemudian disusun kembali seperti yang ditunjukkan, yaitu
sebagai persegi panjang dengan sisi panjang (α +β) dan (α - β) makanya,
kita punya α2 – β2 = (α +β) (α -β).
Tabel terlampir menunjukkan nilai m dan n yang menghasilkan solusi
di Plimpton 322. Misalnya, dengan mengambil m = 12 dan n = 5 dalam
rumus (1), kita sampai pada
x = 120, y = 119, z = 169.
Dua nomor terakhir adalah entri pada baris pertama tablet. Satu-
satunya pengecualian adalah pada baris 11. Berikut pilihan m = 2 dan n = 1
mengarah ke x = 4, y = 3, dan z = 5, dan masing-masing harus dikalikan
dengan 15 untuk menghasilkan nilai yang tertera. Satu hal menarik yang
muncul dari pemeriksaan meja adalah bahwa m dan n selalu menjadi produk
kekuatan 2, 3, dan 5.

m n 𝑥 = 2𝑚𝑛 𝑦 = 𝑚 2 − 𝑛2 𝑧 = 𝑚 2 + 𝑛2
22 . 3 5 120 119 169
26 33 3456 3367 4828
3. 52 25 4800 4601 6649
53 2. 33 13500 12709 18541
32 22 72 65 97
22 . 5 32 360 319 481

2. 33 52 2700 2291 3541

25 3.5 960 799 1249

52 22 . 3 600 481 769

34 23 . 5 6480 4961 8161

Pengecualian Pengecualian 60 45 75

24 . 3 52 2400 1679 2929

23 240 161 280


3.5
2. 52 33 2700 1771 3229
32 5 90 56 106
Daftar m dan n yang membentuk dua kolom pertama dari tabel
adalah sedemikian sehingga timbal balik mereka semua telah mengakhiri
perluasan seksagesimal. Jika 1 / N memiliki ekspansi nite
1 𝑎 𝑎 𝑎
= 601 + 602 + . . . + 60𝑘𝑘,
𝑁

maka bisa juga ditulis sebagai 1/N = a/60k, dari mana 60k = aN. Implikasinya
adalah N hanya mengandung faktor utama yang muncul 60k dan karena itu di
60. Tapi karena 60 memiliki faktorisasi 60 = 22 . 3 . 5 faktor yang diijinkan
dari N adalah 2, 3, dan 5; artinya, dengan eksponen yang sesuai α, β, dan
γkita harus punya N = 2α . 3β . 5γ
Telah disarankan bahwa nilai z dalam tablet Plimpton tidak dihitung
langsung dari z = m2 + n2 tapi dari rumus yang sama. Proposal ini
memberikan penjelasan menarik tentang kesalahan juru tulis di baris 2 tablet
(kasus di mana m = 26 = 64, n = 33 = 27). Dalam menggunakan rumus yang
ditampilkan, penulis mungkin telah membuat dua kesalahan. Pertama, dia
mungkin telah menambahkan istilah 2mn, jika seharusnya dikurangi; dan
kemudian, dalam menghitung istilah itu sendiri, mungkin telah menulis
2.60.27, di mana 2,64,27 diminta. Ini akan menghasilkan nilai yang salah
z = (64 + 27)2 + 3240 = 8281 + 3240 = 11521,
daripada
z = (64 + 27)2 – 3456 = 8281 – 3456 = 4825.

Contoh soal yang ada, yang dinotasikan dalam penulisan matematika saat ini
:
𝑥𝑦 = 600, (𝑥 + 𝑦)2 + 120(𝑥 − 𝑦) = 3700
Babilonia telah mengetahui (𝑥 + 𝑦)2 = (𝑥 − 𝑦)2 + 4𝑥𝑦
(𝑥 + 𝑦)2 + 120(𝑥 − 𝑦) = 3700 Sehingga dapat ditulis : (𝑥 − 𝑦)2 + 4𝑥𝑦 +
120(𝑥 − 𝑦) = 3700
(𝑥 − 𝑦)2 + 4(600) + 120(𝑥 − 𝑦) = 3700
(𝑥 − 𝑦)2 + 120(𝑥 − 𝑦) = 3700 − 2400 = 1300
Ingat rumus 𝑥 2 + 𝑎𝑥 = 𝑏 (sebelumnya)

𝑎 2 𝑎
𝑥 = √( ) + 𝑏 −
2 2

120 2 120
𝑥 − 𝑦 = √( ) + 1300 − = √4900 − 60 = 70 − 60 = 10
2 2
𝑥 − 𝑦 = 10 dan 𝑥𝑦 = 600
Sehingga 𝑥 = 𝑧 + 5 dan 𝑦 = 𝑧 − 5 maka 𝑥 = 30 dan 𝑦 = 20

4) Geometri pada Zaman Babylonia


Geometri Babilonia pada umumnya sangat erat hubungannya dengan
praktek pengukuran. Dari beberapa contoh konkrit, dapat diambil
kesimpulan bahwa pada zaman permulaan zaman Babylonia (2000-1600
SM), mereka telah sangat familiar dengan luas persegi panjang, luas segitiga
siku-siku dan luas segitiga sama kaki, luas trapezoida yang mempunyai salah
satu kakinya tegak lurus pada sisi sejajar, isi paralelepipedum tegak, dan isi
prisma tegak dengan alas suatu trapezium (Muchtar, 1988).
Dalam tahun 1936 ditemukan sejumlah tablet cuneiform yang berisikan
sejumlah tabel matematika, yang ditemukan di Susa, kira-kira 200 mil dari
Babylonia. Dalam tablet-tablet ini terdapat beberapa hasil geometri yang
sangat penting. Salah satu tablet itu berisi tentang perbandingan luas dan
kuadrat sisi-sisi segi banyak beraturan dengan 3, 4, 5 dan 6 sisi. Ratio dari
luas pentagon dengan kuadrat sisinya dalam tabel ini dinyatakan dengan
1:40, yang ternyata adalah tepat sekali. Untuk hexagon dan heptagon,
rationya dinyatakan dengan 2:37, 30 dan 3:41 untuk masing-masinnya.
Dalam tablet yang sama juga diungkapkan bahwa ratio keliling suatu segi
enam beraturan dengan keliling lingkaran luarnya adalah 0:57, 36. Dari
tablet-tablet ini dapat disimpulkan bahwa Babylonia sudah menetapkan 3:7,
30 atau 3 1/8 sebagai nilai T, yang hampir sama dengan nilai TT yang
diberikan oleh Mesir.
Dari tablet-tablet cuneiform Babylonia dapat pula diungkapkan bahwa
Babylonia sudah mengenal konsep kesebangunan. Contoh soalnya
diantaraya: Suatu tablet di museum Bagdad berisi naskah tentang segitiga
siku-siku ABC dengan sisi a = 60 b = 40 dan c = 75, seperti gambar dibawah
ini:

C E B

F
D
A
Luas dari keempat segitiga siku-siku ini diketahui masing-masingnya adalah:
8, 6, 5, 11;2, 24, 3, 19;3, 56, 36 dan 5, 53;53, 39, 50,24.
Dari luas segitga-segitiga siku-siku yang diketahui ini, diperoleh
panjang AD=27. Dari hasil ini jelaslah bahwa Babylonia telah menggunakan
salah satu rumus kesebangunan dalam menyelesaikan soal ini, yang ekivalen
dengan rumus kesebangunan yang kita gunakan sekarang., yaitu : bahwa
bangun-bangun yang sebangun luasnya berbanding sebagai kuadrat sisi-sisi
yang sepadan. Panjang CD dan BD diperolehnya masing-masing 36 dan 48,
dan dengan menggunakan rumus kesebangunan untuk segitiga BCD dan
CDE akan diperoleh panjang DE.
Pengukuran adalah kunci utama dari geometri Mesopotamia, tetapi
pengukuran Mesopotamia ini mempunyai suatu kelemahan, yaitu kurang
jelasnya perbedaan antara pengukuran yang benar-benar eksak dan
pengukuran yang hanya bersifat aproksimasi. Sebagai contoh misalnya, luas
quadrilateral mereka diperoleh dengan hasil perkalian rata-rata sisi-sisi yang
berhadapan, tanpa menyatakan bahwa nilai yang mereka peroleh itu
bukanlah nilai yang sebenarnya, melainkan bahwa nilai aproksimasi saja.
Begitu juga mengenai isi kerucut atau pyramid terpancung, mereka
memperolehnya dengan mengambil luas rata-rata bidang atas dan bidang
alas, kemudian mengalikannya dengan tinggi kerucut atau tinggi pyramid
terpancung tersebut. Kadang-kadang untuk menentukan isi pyramid bujur
sangkar terpancung dengan luas bagian atas dan bagian bawah masing-
masingnya a2 dan b2, mereka menggunakan rumus:
𝑎+𝑏 2
Isi = ( ) .h
2

Tetapi kemudian mereka menggunakan rumus yang ekivalen dengan yang


digunakan sekarang, yaitu:
𝑎+𝑏 2 1 𝑎−𝑏 2
Isi = h (( ) +3( 2 ) )
2

Sampai sekarang belum dapat dipastikan, apakah bangsa Mesir dan


bangsa Mesopotamia independent antara satu dengan yang lainnya dalam
penemuan matematika pada kedua bangsa itu independent, seperti misalnya
dalil pythagoras. Dalil phytagoras tidak pernah ditemukan dalam dokumen-
dokumen matematika Mesir Kuno, sedangkan di Babylonia, dalil ini sudah
diketahui secara meluas. Pada cuneiform yang terdapat dalam koleksi
universitas Yale, ditemukan gambar suatu bujur sangkar dengan diagonal-
diagonalnya. Pada salah satu kaki bujur sangkar itu dituliskan angka 30, dan
pada diagonal-diagonalnya dituliskan angka 42:25, 35 dan angka 1;24, 51,
10. Bilangan yang terakhir, yakni 1: 25, 51, 10 jelas merupakan ratio
diagonal bujur sangkar dengan sisi bujur sangkar itu. Nilai yang diperoleh ini
sangat akurat sekali untuk √2 , yaitu ratio dari diagonal bujur sangkar
dengan sisinya. Kalau nilai √2 ini dibandingkan dengan nilai aproksimasi
√2 sekarang, hanya terdapat perbedaan satu persejuta saja. Kerepatan nilai
aproksimasi ini tidak akan mungkin diperoleh tanpa menggunakan dalil
pythagoras.
Pengetahuan Babylonia tetang dalil phytagoras bukan hanya terbatas
untuk kasus segitiga siku-siku praktis. Dalam satu tablet cuneiform
ditemukan soal sebagai berikut:
Suatu tangga dengan panjang 0;30 unit berdiri pada suatu dinding.
Berapa jauhnya ujung tangga yang paling bawah bergeser dari
dinding, apabila puncak atas tangga digeser kebawah sejauh 0,6
unit.
Jawaban yang diberikan dalam cuneiform ini adalah persamaan
dengan hasil yang diperoleh bilamana digunakan dalil phytagoras. Seribu
lima ratus tahun kemudian ditempat yang sama, untuk muncul lagi soal yang
hampir bersamaan ,yaitu: Sebatang bambu disandarkan pada suatu dinding.
Ujung atas bambu itu akan bergerak kebawah sejauh tiga unit, bilamana
ujung bawah bambu itu bergerak dari dinding sejauh sembilan unit,
berapakah panjang bambu tersebut.
Jawaban yang diberikan sangat tepat sekali, yaitu 15 unit.
Dalam tablet cuneiform Babylonia banyak ditemukan soal-soal
latihan dalam bidang geometri, tetapi dalam hal ini mereka menganggapnya
sebagai aplikasi aritmatika saja. Salah satu dari soal-soal itu adalah
bagaimana membagi suatu segitiga siku-siku atau enam bagian, dimana garis
pembaginya sejajar dengan salah satu sisi siku-sikunya, dan mempunyai
jarak yang sama antara garis pembagi yang satu dengan garis pembagiyang
lainnya.
Sama halnya di Mesir, Babylonia sudah mengenal bahwa garis yang
dibuat tegak lurus dari puncak suatu segitiga sama kaki ke sisi alasnya akan
membagi dua sisi alasnya itu sama panjang. Jadi apabila diketahui bahwa
panjang tali busur suatu lingkaran yang diketahui panjang jari-jarinya, maka
akan dapat dicari panjang apotemanya. Tetapi tidak seperti di Mesir,
Babylonia sudah familiar dengan fakta bahwa apabila suatu sudut dilukis
dalam suatu setengah lingkaran, maka sudut itu adalah siku-siku Propossi ini
dikenal sebagai proposisi Thales, lebih sepuluh abad kemudian.
Suatu kelemahan dari matematika, baik di Mesir maupun di
Messopotamia, adalah bahwa soal-soal yang ada dalam papyrus atau
cuneiform, hanyalah merupakan kasus-kasus tertentu saja, tanpa adanya
suatu formulasi yang bersifat umum. Ratusan soal dalam tablet cuneiform
nampaknya adalah merupakan latihan-latihan untuk siswa, dimana para iswa
diharapkan bekerja menurut suatu metoda tertentu yang dikenalnya dengan
baik, tanpa menggunakan prinsip-prinsip aturan yang umum. Tanpa adanya
rumus-rumus dan aturan-aturan tertentu yang bersifat umum dalam
menyelesaikann problem, akan mengakibatkan tidak adanya perbedaan
antara nilai-nilai yang benar-benar eksak dan nilai yang hanya aproksimasi
saja.

5) Persamaan Kuadrat Babilonia


Berbeda dari tablet meja adalah tablet yang menangani masalah aljabar
dan geometris. Ini umumnya menyajikan urutan masalah numerik yang
terkait erat, bersama dengan perhitungan dan jawaban yang relevan; teks itu
sering berakhir dengan kata-kata "Begitulah prosedurnya." Meskipun tidak
satupun dari mereka memberikan peraturan umum, konsistensi yang
menyebabkan masalah tersebut menunjukkan bahwa orang Babilonia (tidak
seperti orang Mesir) memiliki pendekatan teoritis untuk matematika.
Masalahnya sering tampak sebagai latihan intelektual, bukan risalah tentang
survei atau pembukuan, dan ini menunjukkan minat abstrak dalam hubungan
numerik.
Ada sejumlah tablet tanah liat yang menunjukkan bahwa Babel pada
tahun 2000 SM. Sudah terbiasa dengan rumus kami untuk memecahkan
persamaan kuadrat. Ini digambarkan dengan baik oleh teks Babilonia Lama
yang berisi masalah berikut:
Saya telah menambahkan area dan dua pertiga sisi kuadrat saya dan
itu adalah 0; 35. Apa sisi kuadrat saya?
Seringkali mungkin untuk menerjemahkan masalah tersebut secara
langsung ke dalam simbolisme kita dengan mengganti kata-kata seperti
panjang (atau samping) dan bandwidth dengan huruf x dan y. Dalam notasi
2 35
modern, kita akan mengungkapkan isi dari masalah ini sebagai x2 + 3 𝑥 = .
60

Rincian solusi dijelaskan dengan instruksi lisan dalam teks sebagai berikut:
Anda mengambil 1, coef ci ent [dari x]. Dua pertiga dari 1 adalah 0; 40.
Setengah dari ini, 0; 20, Anda kalikan dengan 0; 20 dan hasilnya [0];
6.40 Anda tambahkan ke 0; 35 dan [hasilnya] 0; 41,40 memiliki 0; 50
sebagai akar kuadratnya. 0; 20, yang telah Anda kombinasikan dengan
sendirinya, Anda mengurangi dari 0; 50, dan 0; 30 adalah [sisi]
kuadratnya.
Dikonversi ke notasi aljabar modern, langkah-langkah ini memberi tahu
kita

0;40 2 0;40
x = √( ) + 0; 35 −
2 2

= √0; 6,40 + 0; 35 − 0; 20
= √0; 41,40 − 0; 20
= 0;50 – 0;20 = 0;30.
Dengan demikian, instruksi Babel menggunakan rumus yang setara
dengan peraturan yang biasa
𝑎 2 𝑎
x = √(2) + 𝑏 − 2

untuk memecahkan persamaan kuadrat x2 + ax = b. Meskipun ahli


matematika Babilonia tidak memiliki "rumus kuadratik" yang akan
menyelesaikan semua persamaan kuadrat, petunjuk dalam contoh-contoh
konkret ini sangat sistematis sehingga kita dapat cukup yakin bahwa hal itu
dimaksudkan untuk menggambarkan prosedur umum.
Secara historis, mungkin lebih tepat untuk berbicara tentang segi empat,
bukan persamaan kuadrat, karena itu adalah masalah empat persegi panjang
yang memunculkan persamaan ini. Di dunia kuno, kesalahan itu meluas
sehingga luas bidang pesawat terbang bergantung sepenuhnya pada
perimeternya; Orang percaya bahwa perimeter yang sama selalu
menghubungkan area yang sama. Komandan tentara memperkirakan jumlah
tentara musuh sesuai dengan jarak di kamp mereka, dan pelaut seukuran
pulau sesuai dengan waktu untuk navigasi kelilingnya. Sejarawan Yunani
Polybius mengatakan bahwa pada zamannya tidak bermoral, anggota
masyarakat komunal menipu sesama anggota mereka dengan memberi
mereka lahan perimeter yang lebih besar (tapi lebih kecil) daripada yang
mereka pilih untuk diri mereka sendiri; Dengan cara ini mereka mendapatkan
reputasi unsel shness dan kemurahan hati, sementara mereka benar-benar
membuat keuntungan yang berlebihan.
Terbukti masalah bagaimana keliling persegi panjang yang terkait
dengan wilayahnya secara sistematis diselidiki di zaman purba. Masalah
khas di awal matematika Babilonia adalah sebagai berikut. Dengan adanya
semiperimeter x + y = a dan luas xy = b persegi panjang, lebar x dan lebar y.
Kita hanya bisa berspekulasi, karena tidak ada indikasi eksplisit di manapun
dalam teks matematika periode ini tentang bagaimana seseorang sampai pada
hasilnya. Ahli matematikawan Babel adalah empiris dan pengamat yang
bekerja dengan tabel yang menyajikan fakta secara teratur. Kemungkinan
besar, mereka harus membuat tabel untuk nilai yang berbeda yang mungkin
diasumsikan daerah, perimeter dipertahankan konstan. Jadi, untuk persegi
panjang yang semiperimeter x + y = a = 20, area yang dihasilkan mungkin
telah ditabulasikan untuk variasi
𝑎 𝑎
x=2+z dan y = 2 – z

dimana z adalah salah satu dari angka 0 sampai 9.


𝑧 𝑥 = 𝑎 + 𝑧 𝑦 = 𝑎 − 𝑧 𝑥𝑦 = 𝑏 𝑎 2
2 2 ( ) −𝑏
2
0 10 10 100 102 − 100 = 02
1 11 9 99 12
2 12 8 96 22
3 13 7 91 32
4 14 6 84 42
5 15 5 75 52
6 16 4 64 62
7 17 3 51 72
8 18 2 39 82
9 19 1 19 92

Pelajaran yang ditunjukkan oleh angka dalam tabel adalah bahwa daerah
tersebut mengalami penurunan dengan pertumbuhan z, dan perbedaannya
(a/2)2 – b selalu sama dengan kuadrat z; itu adalah,
𝑎 2
( 2 ) - b = z2
Pada titik tertentu, pasti terbayang pada orang Babel bahwa mereka dapat
membalikkan prosedur dan memastikan z dari nilai (a/2)2 – b. Ini akan
memberi

𝑎 2
𝑧 = √( ) − 𝑏
2

dan, sebagai hasilnya, yang tidak diketahui


𝑎 𝑎 2 𝑎 𝑎 2
𝑥 = 2 + √(𝑏) − 𝑏 dan 𝑦 = 2 − √(𝑏) − 𝑏

Pada awalnya, kesimpulan ini dibuat secara empiris melalui pengamatan


fakta konkret; Tidak ada spekulasi logis atau penalaran deduktif dari teorema
yang telah terbukti. Yang terbaik yang bisa dikatakan untuk pendekatan kuno
adalah bahwa ia menggantikan kesabaran untuk kecemerlangan. Nanti Babel
niscaya akan menyadari bahwa jika jumlah x + y = a diberikan, maka jumlah
yang lebih besar, katakanlah x, akan melebihi a = 2 dengan jumlah tertentu z.
Demikian,
𝑎 𝑎
x = 2 + 𝑧 dan y=2−𝑧

Jumlahnya adalah a. Dengan mensubstitusikan nilai-nilai ini dalam


𝑎 𝑎 𝑎 2
persamaan xy = b mengarah ke (2 + 𝑧) (2 − 𝑧) = (2) − 𝑧 2 = 𝑏

Implikasinya adalah
𝑎 2
z2 = ( 2 ) - b

Dan
𝑎 2
z = √(2) − 𝑏

Akar negatif terbengkalai, dan ini biasa sampai zaman modern. Dengan nilai
z yang diketahui, x dan y sekarang dapat diperoleh:
𝑎 𝑎 2 𝑎 𝑎 2
x = 2 + √(2) − 𝑏, y = 2 - √(2) − 𝑏

Pendekatan ini bisa diilustrasikan dengan contoh tipikal. Tablet


runcing dalam koleksi Yale Babilonia meminta (dalam angka tertentu) untuk
solusi dari dua persamaan aljabar,
13 15
x+y= , xy =
2 2

Metode Babel hanya menggambarkan panggilan untuk menyetel x


dan y sama dengan 13/4, plus atau minus koreksi z; itu adalah,
13 13
x = + z, y= –z
4 4

Maka persamaan pertama adalah


13 13 13 13
x + y = ( 4 + z) + ( 4 – z) = 2( 4 ) = 2
15
dan persamaan kedua xy = menjadi
2
13 13 15
( + z) ( – z) =
4 4 2

Hal ini dikurangi menjadi


169 15
− 𝑧2 =
16 2

Atau
169 15 49
z2 = − = 16
16 2
7
Dengan demikian z = 4,
13 7 13 7 3
x= + 4 = 5, y= - 4 = 2.
4 4

Ide yang sama bisa digunakan jika perbedaan x - y pada awalnya


diberikan, bukan x + y. Melanjutkan dengan analogi, orang-orang Babel
akan memecahkan sistem ini
x – y = a, xy = b
dengan menaruh
𝑎 𝑎
x=z+2 dan y=z-2
dari mana solusinya kemudian berikut:
𝑎 2 𝑎 𝑎 2 𝑎
x = √(2) + 𝑏 + 2 , y = √(2) + 𝑏 − 2 .

Masalah aljabar yang lebih rumit berkurang, oleh berbagai perangkat,


ke sistem dasarnya
x ± y = a, xy = b.
yang akan kita sebut bentuk normal. Misalnya, satu tablet berisi soal numerik
yang setara.
35
x+y= , x + y + xy = 14
6

Nilai x dan y diberikan masing-masing 7/2 dan 7/3, namun cara


penyelesaiannya tidak diberikan. Hal itu mungkin dilakukan dengan
mengurangi persamaan pertama dari yang kedua, untuk mendapatkannya
35 49
xy = x +y + xy – (x + y) = 14 - =
6 6

Masalahnya kemudian jumlah untuk memecahkan sistem


35 49
x+y= , xy =
6 6

dan dengan prosedur yang telah dibahas sebelumnya,


35 7 7 35 7 7
x = 12 + 12 = 2, y = 12 - 12 = 3

6) Ilmu Perbintangan dan Astrologi


Perkembangan matematika pada zaman Babylonia sangat menunjang atau
dapat saling mengisi antara matematika dan ilmu astronomi. Dari ilmu ini
pula mulai berkembang ilmu-ilmu yang lain misalnya astrologi, yaitu ilmu
meramal. Akibatnya bangsa Babylonia telah mengenal semacam dewa,
seperti yang dikenal pada dewa-dewa bangsa Yunani. Di bawah ini
digambarkan persamaan dewa-dewa Yunani dan dewa-dewa Babylonia
(Ruslani, 2010).

Dewa Yunani Dewa Babylonia


Mercurius Nebo
Venus Ishtar
Mars Nergal
Jupiter Marduk
Saturnus Ninib
Bulan Sin
Matahari Shamash

Sumber : (RI, 1980)


Tabel 1.1 Dewa-dewa Yunani dan Dewa-dewa Babylonia
Sangatlah jelas bahwa pengetahuan tentang tata surya bangsa
Babylonia sangatlah tinggi. Semua yang disebutkan di atas sekarang dikenal
dengan nama planet. Gerakan kelima planet ini dapat dilihat dengan mata
telanjang. Sedang planet-planet lainnya harus menggunakan alat yang
disebut teropong bintang. Bulan dan matahari terlihat bergerak dari Timur
menuju Barat. Perhatikan bahwa mereka masih beranggapan bahwa bulan,
matahari, dan bintang bergerak. Terutama matahari bergerak. Teori matahari
bergerak bertahan sampai abad ke 16. Teori ini menganggap bumi sebagai
pusat gerakan sedangkan yang lainnya mengelilingi bumi. Paham ini tentu
saja salah karena kini telah diketahui bahwa matahari adalah pusat gerakan.
Sebagai pusat gerakan, maka matahari dikelilingi oleh yang lain.
Mereka menganggap bahwa dari semua bintang, terdapat bintang
yang mempunyai pengaruh terhadap kehidupan dan tingkah laku manusia.
Ilmu seperti ini sekarang sering disebut horoskop. Bintang ini terletak di
jagat raya yang membentuk lingkaran, terdapat pada suatu kedudukan yang
selalu tetap. Sudut lingkaran dsibagi menjadi 12. Ini berarti 360° : 12 = 30°.
Jadi, setiap batas sudut 30° ditempati oleh bintang tertentu itu. Kelompok
bintang ini lazimnya disebut zodiak. Bidang khayal yang membentang
tempat terletaknya 12 rasi bintang ini sering disebut bidang ekliptika. Setiap
rasi bintang ini mempunyai nama-nama yang diambil dari dunia bintang dan
manusia. Digambarkan kedudukan rasi bintang dengan bidang datar
ekliptika.

Sumber : (Ruslani, 2010)


Gambar 1.7 Kedudukan bumi terhadap 12 rasi bintang
Pada keliling bumi kita dapati 12 rasi bintang dengan nama-namanya
sebagai berikut:

Sumber : (Ruslani, 2010)


Gambar 1.8 Lambang pada zodiak
Nama dan lambang rasi bintang ini pada kenyataannya tidak berupa
satu bintang saja melainkan terdiri atas kelompok bintang. Dalam angan-
angan manusia, wujud bintang yang demikian memberi inspirasi untuk
memberi nama seperti pada gambar lambang zodiak. Misalnya rasi bintang
Scorpio (kalajengking), bila kita hubung-hubungkan kelompok bintang dari
satu bintang ke bintang lainnya akan menyerupai binatang berbisa yaitu
kalajengking.

B. Matematika Mesir Kuno


1. Perkembangan Matematika Mesir Kuno
Mesir menjadi salah satu tempat terawal yang dihuni oleh manusia,
sekitar 40.000 tahun yang lalu. Peradaban Mesir sangat bergantung pada
kesuburan sungai Nil. Bangsa Mesir telah menetap di lembah Nil
dikarenakan melimpahnya air di sungai ini. Hal ini menyebabkan mereka
bisa mengolah tanah hanya bersandar pada persediaan air Sungai Nil tanpa
bergantung pada musim hujan (Americana, 1977).
Dari peradaban sekitar sungai Nil inilah, cabang matematika lahir.
Peradaban ini bermula dari kebiasaan para pendeta Mesir melakukan
pengukuran terhadap pasang surut sungai Nil dan meramalkan banjir.
Melalui pengamatan secara berulang-ulang, mereka mulai mengembangkan
geometri. Raja mesir Sesostris juga seringkali membagi tanah kepada
rakyatnya yang sama luasnya berbentuk persegi panjang. Dari kebiasaan
inilah, mereka secara tidak sadar menggunakan geometri dalam membagi
tanah.
Matematika Mesir diawali oleh perkembangan matematika pada zaman
Mesir Kuno. Mesir Kuno adalah suatu peradaban kuno di bagian timur laut
Afrika. Peradaban ini terpusat di sepanjang pertengahan hingga hilir sungai
Nil yang mencapai kejayaan pada sekitar abad ke-2 SM. Peradaban Mesir
Kuno berkembang selama kurang lebih tiga setengah abad. Dimulai dengan
unifikasi awal kelompok-kelompok yang ada di Lembah Nil sekitar tahun
3150 SM (Anglin, 1994).
Bangsa Mesir Kuno membangun piramida-piramida sebagai contoh
yang paling kuat dari struktur matematika dengan menggunakan bentuk-
bentuk segitiga. Bangunan batu yang sangat besar ini terdiri dari dinding
segitiga miring yang diatur di atas permukaan tanah yang berbentuk persegi.
Dari proses pembangunan piramida ini, bangsa mesir kuno merumuskan
perbandingan (rasio) dalam sebuah tabel untuk memudahkan para pembuat
piramida dalam menyesuaikan keempat piramida dengan sudut kemiringan.
Tabel perbandingan ini bentuk perbandingan “trigonometris” yang
bermanfaat hingga saat ini. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman bangsa
Mesir Kuno dalam menggali bidang kajian matematika didasarkan pada
pemikiran-pemikiran mereka yang diperoleh melalui pengalamannya
(Aspray, 1988).
Pandangan yang lebih biasa menyebutkan bahwa matematika muncul
karena adanya kebutuhan-kebutuhan praktis. Peradaban Mesir membutuhkan
aritmetika sederhana untuk melakukan transaksi dalam kegiatan berdagang
sehari-hari dari pemerintah membutuhkannya untuk menentukan pungutan
pajak dari penduduk, untuk menghitung bunga pinjaman, untuk menghitung
gaji, serta untuk menyusun kalender kerja. Aturan-aturan geometri sederhana
digunakan untuk menentukan batas-batas ladang dan daya tampung lumbung
mereka. Jika Herodotus menyebut Mesir sebagai berkah dari sungai Nil,
maka kita dapat menyebut geometri sebagai berkahnya yang kedua. Karena
banjir tahunan selalu terjadi di Lembah Nil, diperlukan aturan perpajakan
untuk menentukan berapa besar luas tanah yang bertambah atau berkurang.
Ini adalah pandangan seorang pengamat ahli asal Yunani yang bernama
Proclus (410-485 S.M), dalam karyanya Commentary on the First Book of
Euclid’s Elements yang menjadi sumber informasi penting bagi kita
mengenai geometri pra-Euclid: Menurut sebagian besar catatan sejarah,
geometri adalah ilmu yang pertama ditemukan diantara bangsa Mesir dan
berasal dari pengukuran luas tanah mereka. Hal ini penting bagi mereka
karena sungai Nil meluap dan menghapus batas antara tanah-tanah milik
mereka (Wahyudin, 2013).
Meski perhatian awal ditunjukan pada matematika yang berdaya guna,
pada akhirnya matematika menjadi suatu ilmu yang selanjutnya dipelajari
secara mandiri. Aljabar pada akhirnya berkembang dari teknik-teknik
perhitungan, dan geometri teoritis dimulai dari pengetahuan tentang
pengukuran luas tanah.
Mesir kuno, dari zaman sekitar 4000 tahun yang lalu itu, juga telah
mengenal deret baik deret hitung maupun deret ukur. Tetapi karena
pengetahuan berhitung mereka berkaitan dengan penggunaan maka deret
mereka selalu bersifat terhingga. Mereka ingin menghitung sesuatu dengan
deret itu tetapi mereka belum dapat melihat hasil perhitungan pada deret
yang tak hingga karena mereka belum mengenal perhitungan limit (Naga,
1980).

2. Sistem Bilangan Zaman Mesir Kuno


a. Bilangan Hieroglif
Begitu ikatan Mesir di bawah satu pemimpin menjadi sempurna
Faktanya, sistem administrasi yang kuat dan ekstensif mulai berkembang.
Sensusnya ada yang harus diambil, pajak yang dikenakan, tentara dipelihara,
dan sebagainya, yang kesemuanya dibutuhkan Perhitungan dengan jumlah
yang relatif besar. (Salah satu dari tahun-tahun Dinasti Kedua adalah
bernama Tahun Terjadinya Penomoran Jumlah Ternak Besar dan Kecil dari
Utara dan Selatan.) Pada awal 3.500 SM, orang Mesir memiliki bilangan
yang sepenuhnya berkembang sistem yang memungkinkan penghitungan
terus berlanjut tanpa hanya pengenalan dari waktu ke waktu simbol baru. Hal
ini ditanggung oleh macehead Raja Narmer, salah satunya relik yang paling
luar biasa dari dunia kuno, sekarang di sebuah museum di Universitas
Oxford.

Sumber : (Burton, 2007)


Menjelang awal era dinasti, Narmer (yang, beberapa pihak
berwenang kira, mungkin punya telah menjadi Menes legendaris, penguasa
pertama bangsa Mesir) wajib menghukum Libya yang memberontak di Delta
barat. Dia pergi ke kuil di Hierakonpolis sebuah palet papan tulis magni-the
Narmer Palette yang terkenal - dan sebuah macehead seremonial, keduanya
beruang adegan bersaksi untuk kemenangannya. Macehead mempertahankan
selamanya dari catatan resmi prestasi raja, karena prasasti itu membanggakan
pengambilan 120.000 tahanan dan daftar hewan tertawan, 400.000 ekor sapi
dan 1.422.000 kambing. Contoh lain dari rekaman angka yang sangat besar
pada tahap awal terjadi di Kitab Orang Mati, kumpulan teks religius dan
magis yang tujuan utamanya adalah untuk menjamin almarhum kehidupan
akhirat yang memuaskan. Dalam satu bagian, yang diyakini sampai saat ini
dari Dinasti Pertama, kita membaca (Nu Nu Allah yang berbicara): "Saya
bekerja untuk Anda, o kamu Roh, kita ada di nomor empat juta, enam ratus
seribu, dan dua ratus. "
Kemunculan spektakuler pemerintah Mesir dan pemerintahan di bawahnya
firaun dari dua dinasti pertama tidak mungkin terjadi tanpa metode menulis,
dan kami menemukan metode seperti itu dalam "tanda suci" yang rumit, atau
hieroglif, dan di tangan juru tulis akuntansi yang cepat.
Sistem tulisan hieroglif adalah sebuah naskah gambar, di mana
masing-masing karakter mewakili benda konkret, tanda tangan yang
mungkin masih bisa dikenali dalam banyak kasus. Di salah satu makam di
dekat Piramida Gizeh terdapat simbol nomor hieroglif dimana nomor satu
diwakili oleh goresan vertikal tunggal, atau gambar staf, dan semacam tapal
kuda, atau tanda heelbone \ digunakan sebagai simbol kolektif untuk
mengganti sepuluh goresan terpisah. Kata lainnya, sistem Mesir adalah
desimal (dari bahasa Latin decem, "sepuluh"), yang Digunakan penghitungan
oleh kekuatan 10. 10 begitu sering ditemukan di kalangan masyarakat purba
sebagai dasar untuk sistem bilangan mereka, tidak diragukan lagi disebabkan
oleh sepuluh jari dan jari manusia kebiasaan kita mengandalkan mereka.
Untuk alasan yang sama, simbol sama seperti angka kita 1 Hampir di mana-
mana digunakan untuk mengekspresikan nomor satu.
Pictographs khusus digunakan untuk setiap kekuatan baru 10 sampai
10.000.000: 100 dengan sebuah tali yang melengkung, 1000 dengan teratai,
10.000 dengan tegak lurus, 100.000 dengan a kecebong, 1.000.000 oleh
seseorang mengangkat dua tangan seolah-olah dengan takjub, dan
10.000.000 oleh simbol terkadang diduga sebagai matahari terbit.
Nomor lain bisa diungkapkan dengan menggunakan simbol-simbol
ini secara aditif (artinya, jumlahnya Diwakili oleh seperangkat simbol adalah
jumlah angka yang ditunjukkan oleh individu simbol), dengan masing-
masing karakter diulang hingga sembilan kali. Biasanya, arah penulisan dari
kanan ke kiri, dengan unit yang lebih besar terdaftar terlebih dahulu, lalu
yang lainnya sesuai urutan pentingnya. Dengan demikian, juru tulis akan
menulis

untuk menunjukkan nomor kita


1. 100,000 + 4 . 10,000 + 2 . 1000 + 1 . 100 + 3 . 10 + 6 . 1 = 142, 136.
Kadang-kadang, unit yang lebih besar ditulis di sebelah kiri, dalam
hal ini simbolnya ada berbalik untuk menghadapi arah dari mana tulisan
dimulai. Lateral ruang itu disimpan dengan menempatkan simbol dalam dua
atau tiga baris, satu di atas yang lain. Karena disana adalah simbol yang
berbeda untuk setiap kekuatan 10, nilai dari jumlah yang terwakili tidak
terpengaruh oleh urutan hieroglif dalam kelompok. Sebagai contoh,

semua berdiri untuk nomor 1232. Jadi metode penulisan angka Mesir tidak
sebuah "sistem posisi" - sebuah sistem di mana satu dan simbol yang sama
memiliki perbedaan tanda tangan bergantung pada posisinya dalam
representasi numerik.
Penambahan dan pengurangan menyebabkan sedikit perbedaan dalam
sistem bilangan Mesir. Selain itu, perlu mengumpulkan simbol dan bertukar
sepuluh seperti simbol untuk simbol yang lebih tinggi berikutnya Beginilah
cara orang Mesir menambahkan, katakanlah 345 dan 678:
Ini akan dikonversi

Dan diubah lagi

yang, dikonversi, akan menjadi

Meskipun orang Mesir memiliki simbol angka, mereka tidak


memiliki notasi yang seragam secara umum untuk operasi aritmatika. Dalam
kasus Rhind Papyrus yang terkenal (berkencan tentang 1650 SM), juru tulis
memang mewakili penambahan dan pengurangan oleh hieroglif dan ,
yang menyerupai kaki seseorang yang datang dan pergi.

b. Penulisan Angka Desimal


Dalam menuliskan bilangan, susunan desimal terbesar ditulis lebih
dahulu. Bilangan ditulis dari kanan ke kiri. Berikut contoh penulisan angka
46,206.

Untuk penulisan tanda koma, lihat simbol hieroglif yang tandanya


berbalik arah. Misalnya pada penulisan angka 46,206 simbol yang berbalik
arah adalah 40000 dan 6000. Sedangkan penulisan simbol 200 dan 6 tidak
berbalik arah. Penulisan tanda koma ditulis setelah angka yang berbalik arah
yakni pada angka 46.000 (Cook, 2005).

c. Cara Penulisan Pecahan


Pecahan untuk orang Mesir kuno terbatas pada pecahan tunggal (dengan
pengecualian dari yang sering kali digunakan 2/3 dan kurang sering
digunakan 3/4). Sebuah pecahan tunggal adalah bentuk 1/n dimana n adalah
bilangan bulat dan ini diwakili dalam angka hieroglif dengan menempatkan
simbol yang mewakili sebuah “mulut”, yang berarti “bagian”, di atas nomor
tersebut.
Berikut adalah beberapa contoh penulisan pecahan.
Perhatikan bahwa ketika bilangan yang mengandung terlalu banyak simbol
“bagian”, ditempatkan di atas bilangan bulat, seperti dalam 1/249 , maka
simbol “bagian” ditempatkan di atas “bagian pertama” bilangan. Symbol
diletakkan di atas bagian pertama karena bilangan ini dibaca dari kanan ke
kiri.
Sedangkan pecahan 2/3 dituliskan sebagai berikut:

Pecahan 2/3 adalah pecahan selain 1/n yang sering digunakan bangsa mesir
kuno.
d. Aritmatika Zaman Mesir Kuno
1) Operasi Aritmatika pada Mesir Purba
Dalam matematika sekarang telah kita kenal tanda tambah (+) dan
kurang (-). Tanda kali (x) dan tanda bagi ( : atau per / ). Selain tanda itu kita
mengenal pula tanda sama dengan atau adalah ( = ).
(a) Lambang Penjumlahan
Lambang penjumlahan pada zaman Mesir Kuno kadang-kadang
mengalami perubahan. Hal ini terlihat pada peninggalan papyrus yang
sekarang berada di museum Moskow. Pada beberapa adegan, lambang
penjumlahan digambarkan dengan lambang yang berbeda-beda.

Gambar 1.9 Lambang Penjumlahan

Gambar di atas memperlihatkan lambang kesatuan atau penambahan.


Tanda ini dibaca dimedsh yang berarti satuan. Lambang lain yang
melambangkan penambahan berupa gambar kaki yang sedang berjalan. Jadi,
lambang ini hampir menyerupai tanda ( + ) tambah sekarang. Tanda ini
untuk menjumlah dua angka. Tanda kaki berjalan, biasanya mendekati
rumah yang digambarkan pada gambar di bawah. Jadi, bila hendak
menggambarkan dua angka yang akan ditambahkan digambarkan seperti
pada gambar berikut.
Gambar 1.10 Tanda Kaki Berjalan
Selain tanda tambah kita dapati pula tanda mengumpulkan. Sebab
mengumpulkan juga berarti menambah. Pada gambar di bawah ini
merupakan tanda mengumpulkan atau ambil dan satukan. Lambang ini
dibaca wah.

Gambar 1.11 Tanda Mengumpulkan atau ambil dan satukan

(b) Lambang Pengurangan


Lambang pengurangan ( - ) dalam aritmatika dikenal pula pada huruf
Mesir Kuno. Lambang pengurangan berarti kebalikan dari lambang
penjumlahan. Jadi, bila lambang penjumlahan berupa gambar kaki yang
berjalan menuju rumah maka lambang pengurangan menggambarkan kaki
yang bergerak keluar rumah.

Gambar 1.12 Lambang Pengurangan


(c) Lambang Sama Dengan
Dalam suatu perhitungan matematika diperlukan tanda akhir yang
menunjukkan hasil perhitungan tersebut. Tanda akhir tersebut yang sekarang
kita kenal dengan lambang (=), sudah dikenal pula pada zaman Mesir Kuno.
Lambang sama dengan Mesir Kuno digambarkan pada gambar berikut.
Lambang ini dibaca tat.

Gambar 1.13 Gambar Sama Dengan

(d) Lambang Bagi atau Per


1
Tanda bagi atau per misalnya satu pertiga , telah diketahui pula pada
3

abjad hieroglif. Tanda seper… ditulis dalam angka hieroglif sebagai berikut:

Gambar 1.14 Hieroglif


1
Mengapa hasil gambar menunjukan nilai satu pertiga , telah diketahui
3

pula pada abjad hieroglif sebagai berikut :


2
Mengapa hasil gambar menunjukan nilai dijelaskan berikut ini . di
3
1 1
bawah tanda (satu per) terdapat tanda 12 tongkat, yang berarti
……
1 1 2
menunjukan angka 12 . Jadi , Gambar 1.13 berati 1 = . Begitu pula pada
1 3
2

1 1 2
gambar menggambarkan tanda 22 . Ini berarti 1 = . Begitu pula cara
2 5
2

menulis lambang pembagian hieroglif.

2) Penjumlahan sistem bilangan Mesir


Penjumlahan sistem bilangan mesir hampir serupa dengan penjumlahan
dengan masa kini yang berbeda hanyalah simbolnya.
456 + 265 = 721 = 721

3) Perkalian pada sistem bilangan Mesir


Kebanyakan soal-soal dari 110 soal pada papyrus Moskow dan papyrus
Rhind adalah mengenai hitungan yang berkenaan dengan soal praktek,
namun beberapa diantaranya sudah bersifat teori. Papyrus itu ditulis oleh
Amus kira-kira 1700 BC. Pada perkalian dua bilangan dipakai azas melipat-
duakan. Tetapi salah satu dari faktor perkalian harus dapat dinyatakan
sebagai jumlah bilangan berpangkat dua. Perkalian diganti dengan
menjumlah (Sitorus, 1990).
Misalnya,
14 X 17.
14 = 2 + 4 + 8, Dengan azas melipat-duakan perkalian itu dikerjakan
sebagai:
17 X 2 + 34 X 2 + 68 X 2 = 34 + 68 +136 = 238.
Proses melipat-duakan itu dapat disusun ke bawah.
47 X 2 ; 22 = 2 + 4 + 16.
Perkalian disusun sebagai berikut :
1 47 47 X 2 = 94
2 94 188
4 188 752 +
1034
8 376
16 752
Dengan cara melipat-duakan ini orang Mesir tidak menyusun tabel perkalian.
Metode melipat-duakan ini kemudian berkembang menjadi melipat-duakan
dan metode bilangan tengah.
Contoh :
49 X 35 = . . .
49* 35 (*)
24 70
12 140
3* 560 (*)
1* 1120 (*)
Metodanya sebagai berikut,
Maka 49 X 35 = 35 + 560 + 1120 = 1715, yang dijumlah ialah pasangan dari
bilangan ganjil di kiri.
Bilangan tengah diambil bilangan bulat hasil pembulatan ke bawah dari hasil
bagi dua bilangan sebelumnya.
(a) Dengan Cara Doubling
Perkalian dalam sistem doubling dikerjakan dari pengulangan
pelipatgandaan bilangan dengan unsur pengalinya kemudian
menjumlahkannya. Contohnya 13 x 12 = ? Buatlah garis untuk memisahkan
dua kolom. Isi kolom ke bawah di sebelah kiri, dimulai dengan nomor 1.
Gandakan dan tulis 2 dibawahnya, lalu gandakan 2 itu sehingga
mendapatkan angka 4, terus digandakan sampai angkanya tidak melebihi
yang dikalikan. Isilah kolom kanan, tuliskan bilangan pengalinya (dalam hal
ini, adalah 12). Dibawah 12, gandakan dan tulis 24. Gandakan lagi 24 dan
tulis 48, Terus sampai sebanyak kolom kiri (lihat dibawah ini).

1 12
2 24
4 48
8 96

Sekarang cari angka di kolom kiri yang kalau ditambahkan akan


menghasilkan angka pertama yang ingin dikalikan (dalam soal ini, 13).
Angka 1 + 4 + 8= 13, lalu garis bawahi nomor dikolom kanan diseberang
nomor tersebut. Maka yang digaris bawahi di kolom kanan adalah (12 + 48 +
96) dan kamu jumlahkan akan mendapatkan 156, yang adalah jawaban tepat
dari 13 x 12 = 156.

(b) Dengan Cara Halving


Perkalian dalam sistem halving berbeda dengan doubling untuk
mempermudah langsung saja pada contoh. Contohnya 13 x 12 = ? Buatlah
garis untuk memisahkan dua kolom. Isi kolom di sebelah kiri, dimulai
dengan membagi angka yang dikali (dalam hal ini 13) dibagi dengan 2 maka
hasilnya 6 (untuk 0,5 tidak di tulis). Isilah kolom kanan, tulislah nomor yang
ingin anda kalikan (dalam hal ini adalah 12). Dibawah 12, gandakan dan tulis
24. Gandakan lagi 24 dan tulis 48. Terus sampai sebanyak kolom kiri (lihat
gambar).

13 12
6 24
3 48
1 96
Sekarang cari angka di kolom kiri yang ganjil, yaitu angka 13, 3, dan
1. Lalu garis bawahi nomor di kolom kanan diseberang nomor tersebut.
Maka yang digaris bawahi di kolom kanan adalah (12 + 48 + 96) dan kamu
jumlahkan akan mendapatkan 156, yang adalah jawaban tepat dari 13 x 12 =
156.

4) Pembagian Pada Sistem Bilangan Mesir


Pembagian dalam sistem bilangan mesir dikerjakan dari pengulangan
pelipat gandaan bilangan dengan unsur pembaginya kemudian
menjumlahkannya. Contohnya 98 : 7 = ? Buatlah garis untuk memisahkan
dua kolom. Isi kolom ke bawah di sebelah kiri, dimulai dengan nomor 1.
Gandakan dan tulis 2 dibawahnya, lalu gandakan 2 itu sehingga
mendapatkan angka 4, terus digandakan sampai angkanya tidak melebihi
yang dibagi. Isilah kolom kanan, tulislah nomor pembaginya (dalam hal ini,
adalah 7). Di bawah 7, gandakan dan tulis 14. Gandakan lagi 28 dan tulis 56,
dan seterusnya. (lihat dibawah ini).

1 7
2 14
4 28
8 56
Sekarang cari angka dikolom kanan yang kalau ditambahkan akan
menghasilkan angka yang dibagi (dalam soal ini, adalah 98). Maka angkanya
14 + 28 + 56 = 98, lalu garis bawahi nomor di kolom kiri diseberang nomor
ini. Maka yang di garis bawahi di kolom kiri adalah (2 + 4 + 8) dan kamu
dapat mendapatkan 14, yang adalah jawaban tepat dari 98 : 7 = 14.
Adapula cara lain pembagian dalam sistem bilangan mesir. Misalnya
Dalam membagi 753 dengan 26 mereka lakukan sebagai berikut :
1 26
2 52
4 104
8 208
16 416

753 = 416 +337


= 416 + 208 + 129
= 416 + 208 + 104 + 25
Jadi hasilnya = 16 + 8 + 4 = 28. Sisa pembagian tersebut adalah = 25.
5) Pecahan
Lambang-lambang pecahan antara lain adalah :
1
=2

2
=3
Lambang pecahan lain ditulis untuk memudahkan saja sebagai :

Sumber : (Sitorus, 1990)


Bundaran berbentuk ellips ditulis di atas suatu bilangan menyatakan
pecahan satuan. Pecahan-pecahan lain dinyatakan sebagai jumlah
1 2
pecahan satuan, kecuali 2 dan 3 yang ditulis dengan satu lambang saja.
2
Dalam papirus Rhind terdapat tabel yang menyatakan bentuk ke
𝑛

dalam bentuk pecahan satuan. Melalui tabel itu, soal-soal dalam papirus
rhind dapat diselesaikan. Misalnya pada tabel itu di dapati :
2 1 1 2 1 1 1
=4 + ; 97 = 56 + + ;
7 28 679 776
2 1 1
= 66 +
99 198

6) Persamaan Aljabar Mesir Kuno


Pada abjad Hieroglif selain lambang angka dikenal pula lambang yang
menunjukkan maksud dari suatu perhitungan. Misal pada lambang tambah
yang berbentuk kaki yang melangkah terdapat pula gambar burung hantu.
Gambar burung hantu dibaca em. Abjad ini menunjukkan kata awalan yang
berarti “dari”, “di luar”, “ke dalam” atau “antara”
Sumber : (Ruslani, 2010)
Gambar 1.15 Bentuk aritmatika dalam lambang-lambang abjad
hieroglif
Pada gambar diperlihatkan perwujudan aritmatika , penambahan dan
pengurangan beserta hasilnya. Gambar 1.15 ini kita bagi menjadi 5 baris.
Urutan membacanya dari kanan ke kiri. Lambang-lambang ini tertulis dalam
lembaran papyrus.J enis papyrus ini papyrus Rhind. Nama Rhind diabadikan
karena jasa-jasanya. Bagaimanakah cara membaca baris pertama itu.
Terjemahannya kira-kira demikian:

Gambar 1.16 Bentuk aritmatika dalam lambang-lambang abjad


hieroglif

Sehingga bila diterjemahkan secara harfiah sebagai berikut :


“2/3 darinya ditambahkan 1/3 darinya (hitungan itu) lalu dikurangi
akan menghasilkan 10”
Bila kalimat diatas kita ubah menjadi kalimat matematika seperti sekarang
akan menjadi :
2 1
𝑏𝑢𝑟𝑢𝑛𝑔 − 𝑏𝑢𝑟𝑢𝑛𝑔 = 10
3 3
Dua pertiga dikurangi satu pertiga sama dengan sepuluh. Seorang
sarjana yang bernama Peet menganalisa, bahwa lambang burung hantu
menunjukan bilangan yang belum diketahui. Maka terjemahan huruf itu
berbunyi:
Dua pertiga darinya ditambahkan dan satu pertiga (dari hitungan
itu) diambilnya, hasilnya 10.
Menurut pendapat Peet, lambang-lambang yang menunjukkan suatu
bilangan yang belum diketahui itu dapat diumpamakan dengan harga x. Jadi,
bila diubah menjadi bahasa matematika yang mudah dimengerti menjadi :
2 1 2
( 𝑥 + 𝑥) − ( 𝑥 + 𝑥) = 10
3 3 3
Persamaan ini termasuk jenis persamaan linier dengan satu nilai x
yang belum diketahui. Maka harga x dapat ditemukan dengan cara :
2 5
1 𝑥 − 𝑥 = 10
3 9
15 5
𝑥 − 𝑥 = 10
9 9
10
𝑥 = 10
9
9
𝑥= × 10
10
𝑥=9
Dengan mengganti nilai x = 9, maka pernyataan matematika di atas menjadi :
15 5
(9) − (9) = 10
9 9
15 − 5 = 10
10 = 10
Marilah kita lanjutkan membaca bunyi tulisan pada baris kedua huruf
hierogliph pada Gambar 1.17 Cara membacanya dari kanan ke kiri. Baris
kedua :

Sumber : (Ruslani, 2010)


Gambar 1.17 Arti Huruf Hieroglif
Sehingga bila dituliskan dalam bentuk kalimat, yaitu :
“Buatlah (tentukan) persepuluh dari sepuluh, hasilnya satu dan
sisanya sembilan”
Bila kata-kata di atas dijabarkan dalam bentuk angka-angka aritmatika akan
menjadi :
Buatlah 1/10 dari 10 = 1, sisanya 9
Bila dituliskan secara bebas menjadi :
Bilangan yang dimaksud adalah 10
1 10
Maka maksud dari “buatlah 1/10 dari 10 = 1” adalah × 10 = 10 = 1
10

sedangkan maksud dari “sisanya 9” adalah 10 – 1 = 9


Sekarang perhatikan juga baris ke-3 pada Gambar 1.18

Gambar 1.18 Arti Huruf Hieroglif


Bila diterjemahkan dalam bahasa kita sebagai berikut :
“Dua pertiga dari bilangan itu, yaitu 6, tambahkanlah, hasilnya 15.
Sepertiga darinya (15) = 5”
Bila kata-kata ini dijabarkan dalam angka-angka sebagai berikut : Bilangan
yang dimaksud adalah 9, maka :
2
×9=6
3
6 + 9 = 15
Sedangkan untuk bilangan yang dimaksud 15, adalah :
1
× 15 = 5
3
Mari kita lanjutkan membahas baris ke-4.
Gambar 1.19 Arti Huruf Hieroglif
Bila diterjemahkan dalam bahasa bebas menjadi :
“Diketahui bilangan 5 yang dikurangkan pada bilangan hasilnya 10”
Bila ditulis secara bebas akan menjadi :
𝐵𝑖𝑙𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 15 − 5 = 10
Sekarang huruf pada baris ke-5 berbunyi

Gambar 1.19 Arti Huruf Hieroglif


Jadi, apa yang tertulis pada huruf hieroglif menggambarkan cara
menghitung sebuah persoalan aritmatika pada zaman Mesir Kuno. Meskipun
kelihatannya berbelit-belit, tetapi begitulah cara berpikir orang Mesir Kuno
pada zamannya.
Akan kita analisa lagi cara menghitung orang Mesir Kuno dengan
menggunakan bahasa kita yang diterjemahkan secara bebas. Masih
menggunakan gambar Hieroglif pada gambar 1.19, akan kita bahas gambar
pada baris ke-1.
Pada baris ke-1 kita dapatkan persamaan dengan satu anu yang belum
diketahui. Sesuatu yang belum diketahui pada matematika modern dapat
dimisalkan dengan sebuah abjad x.
Pada gambar terdapat sebuah bilangan yang belum diketahui.
Bilangan tersebut digambarkan dengan lambang burung.Untuk
mempermudah, bilangan itu dimisalkan dengan x. Bilangan x ini dikalikan
dengan 2/3, setelah itu ditambahkan dengan bilangan x pula. Jika ditulis :
Misalkan bilangan x
Kalikan dengan 2/3 jadi 2/3 x
2
Tambahkan dengan x jadi 𝑥+𝑥
3

Bilangan ini merupakan bilangan baru.Pada gambar dilambangkan dengan


gambar burung pula.Bilangan yang baru ini dikalikan 1/3.
1 2
Jadi 3 (3 𝑥 + 𝑥)

Bilangan lama dikurangi bilangan baru dan hasilnya 10


2 1 2
Jadi (3 𝑥 + 𝑥) − 3 (3 𝑥 + 𝑥) = 10

Ternyata setelah dijabarkan kita dapati suatu hitungan yang ruas


kirinya berbentuk sebuah bilangan dengan satu anu yang belum diketahui
sedang pada kanan terdapat sebuah bilangan yang telah diketahui yaitu 10.
Jadi, yang harus dipecahkan ialah bagaimana persamaan pada ruas kiri ini
sama dengan 10. Orang Mesir Kuno selalu mengumpamakan bilangan yang
belum diketahui ini (x) dengan bilangan pada ruas kanan yaitu 10. Jadi nilai
x diandaikan sama dengan 10.
Untuk menyelidiki kebenaran pengandaian di atas, marilah teruskan
pada baris ke-2 gambar 1.19. Pada baris ke-2 memang dimisalkan x = 10.
Jadi kalau diterjemahkan secara bebas:
Misalkan bilangan itu 10
1 10
Kalikan bilangan ini dengan 1/10, jadi 10 × 10 = 10

Kurangkan bilangan semula dengan bilangan baru dan hasilnya 9


10
Jadi 10 − 10 = 9

Pada gambar 20 baris ke-3, berlaku perumpamaan juga.Nilai bilangan


tersebut dimisalkan 9. Bila diterjemahkan secara bebas menjadi:
Misalkan bilangan itu 9
2
Kalikan dengan 2/3 jadi 3 × 9 = 6

Bilangan ini ditambah dengan bilangan semula jadi hasilnya 15 (bilangan


baru)
1
Bilangan baru dikalikan dengan 1/3 jadi × 15 = 5
3

Jika semua dituliskan menjadi :


2
×9=6
3
6 + 9 = 15
1
× 15 = 5
3
Pada baris ke-4 kita mendapatkan pernyataan berikut :
Misalkan bilangan baru itu 15
Kurangi dengan 5, maka diperoleh :
15 – 5 = 10
Dari baris ke-4 ternyata pada ruas kiri dihasilkan 15 – 5 yaitu 10. Jadi
pengandaian nilai x =10 itu benar karena 10 = 10. Kebenaran pernyataan
kebenaran ini diutarakan pada baris ke-5, yang berbunyi.
“Itulah cara (pemecahan) yang benar hasilnya”
Jadi, persamaan diatas mempunyai bilangan yang belum diketahui
yaitu 10. Maka, bila nilai x diganti dengan 10 akan kita dapatkan persamaan
sebagai berikut :
2 10 10 1 2 10 10
[ (10 − ) + (10 − )] − [ (10 − ) + (10 − )] = 10
3 10 10 3 3 10 10
Pada contoh ini ternyata nilai x = 10 – 10/10 =9. Bandingkan dengan
persamaan pada baris ke-2. Sekarang coba bandingkan lagi dengan
persamaan :
2 1 2
( 𝑥 + 𝑥) − ( 𝑥 + 𝑥) = 10
3 3 3
Bila nilai 2/3 = a, 1/3 = b dan 10 = c maka akan kita dapatkan
persamaan dengan lambang a, b, c. Perhatikan persamaan baru ini
𝑐 𝑐 𝑐 𝑐
[𝑎 (𝑐 − ) + (𝑐 − )] − 𝑏 [𝑎 (𝑐 − ) + (𝑐 − )]
𝑐 𝑐 𝑐 𝑐
𝑐
Disini akan berlaku persamaan 𝑥 = (𝑐 − 𝑐) = 𝑐 − 1. Persamaan
2
diatas dapat dengan mudah dipecahkan dengan jalan mengumpamakan 𝑥+
3

𝑥 = 𝑦. Dengan mengganti y pada persamaan diatas diperoleh persamaan


baru yaitu :
1
𝑦 − 𝑦 = 10
3
2
𝑦 = 10
3
3
𝑦 = 10 × 2

𝑦 = 15
Kita masukkan kembali nilai y = 15 pada persamaan baru diperoleh:
1
15 − (15) = 10
3
15 − 5 = 10
10 = 10
Coba bandingkan dengan baris ke-3 dan ke-4 gambar 1.19. Tetapi
cara orang Mesir Kuno tidak demikian. Melainkan dengan selalu
mengumpamakan bilangan percobaan-percobaan. Misalnya bila
diumpamakan y = 3 untuk persamaan y – 1/3y = 10 maka kita dapati
1
3 − (3) = 10
3
3−1 = 10
2 = 10
Karena hasil persamaan ruas kiri 2 sedang seharusnya 10, maka
persamaan ini belum betul.Ternyata persamaan ruas kiri harus dikalikan
dengan bilangan 5 supaya hasil persamaan itu menjadi betul. Maka hasil
perumpamaan untuk nilai y yang benar ialah 3 x 5, sehingga nilai y = 15.
Coba bandingkan sendiri cara model sekarang dengan cara model zaman
Mesir Kuno.

7) Geometri Mesir Kuno


Mendekati Area dari sebuah Lingkaran yang diterima secara umum
tentang asal usul geometri apakah itu muncul di Mesir kuno, di mana
genangan sungai Nil tahunan dituntut bahwa ukuran properti mendarat akan
dijual kembali untuk pajak tujuan. Memang, namanya "geometri," majemuk
dari dua kata Yunani yang berarti "bumi" dan "ukuran," nampaknya
menunjukkan bahwa subjek timbul dari perlunya survei tanah. Orang Yunani
sejarawan Herodotus, yang mengunjungi sungai Nil sekitar tahun 460-455
SM, menggambarkan bagaimana yang pertama pengamatan geometris yang
sistematis dilakukan (Burton, 2007).
Mereka mengatakan juga bahwa raja ini [Sesostris] membagi tanah di
antara semua orang Mesir untuk diberikan masing-masing memiliki ukuran
yang sama dan menarik dari masing-masing pendapatannya, dengan
mengenakan pajak untuk dipungut setiap tahun. Tapi setiap orang dari
wilayah mana sungai itu merobek apa saja, harus melakukannya pergi ke dia
dan memberitahu apa yang telah terjadi Dia kemudian mengirim para
pengawas, yang harus mengukurnya keluar oleh berapa banyak tanah
menjadi lebih kecil, agar pemiliknya bisa membayar apa dibiarkan,
sebanding dengan seluruh pajak yang dikenakan. Dengan cara ini,
tampaknya bagi saya, geometri berasal.
Apapun pendapat akhirnya diadopsi mengenai langkah awal dalam
geometri, memang begitu aman untuk berasumsi bahwa di negara di mana
mengolah bahkan bagian terkecil dari tanah yang subur Adalah masalah
perhatian, pengukuran lahan menjadi semakin penting. Untuk akhir ini Harus
dianggap berasal dari hasil luar biasa yang diperoleh orang Mesir dalam
matematika.
Tugas survei dilakukan oleh spesialis yang kemudian dipanggil oleh
orang Yunani tali tegang, atau tali pengencang, karena alat utama mereka
ternyata adalah tali dengan simpul atau tanda pada interval yang sama.
Dalam sebuah bagian yang ditulis sekitar 420 SM, filsuf Yunani Demokritus
(460-370 SM) membuktikan bahwa pada zamannya, para surveyor Mesir
masih ada peringkat tinggi di antara geometri besar, memiliki keterampilan
hampir sama dengan miliknya sendiri. Dia dengan bangga membual, "Tidak
ada yang bisa melampaui saya dalam pembangunan pesawat terbang dengan
bukti, bahkan bahkan yang disebut tali peregangan di antara orang Mesir. "
Apa yang diduduki geometri Mesir sekitar 4000 tahun yang lalu?
Matematika papirus yang telah sampai kepada kita mengandung banyak
contoh konkret, tanpa ada motivasi teoritis, aturan seperti resep untuk
menentukan area dan volume pesawat yang paling dikenal dan solid. Aturan
perhitungan seperti itu harus diakui sebagai hasil empiris, pertambahan usia
trial and error pengalaman dan pengamatan. Orang-orang Mesir mencari
fakta-fakta berguna yang berkaitan dengan pengukuran, tanpa harus
Tunjukkan fakta semacam itu dengan setiap proses penalaran deduktif.
Beberapa formula mereka hanya kira-kira benar, tapi hasilnya cukup bagus
untuk penerimaan kebutuhan praktis kehidupan sehari-hari.
Dalam prasasti dedikasi besar, sekitar 100 SM, di Kuil Horus di Edfu,
Ada referensi ke banyak bidang empat sisi yang merupakan hadiah ke bait
suci. Untuk setiap Dari jumlah tersebut, daerah tersebut diperoleh dengan
mengambil produk dari rata-rata dua pasang Dari sisi yang berlawanan, yaitu
dengan menggunakan rumus
1
A = 4(a + c)(b + d)

dimana a, b, c, dan d adalah panjang sisi berturut-turut. Rumusnya jelas


salah. Ini memberikan jawaban yang cukup akurat hanya bila bidangnya
kira-kira empat persegi panjang. Yang menarik adalah formula ini sama
keliru untuk area segiempat telah muncul 3000 tahun sebelumnya di
Babilonia kuno.
Masalah geometris dari Rhind Papyrus adalah yang bernomor 41-
60, dan sebagian besar berkaitan dengan jumlah biji yang disimpan dalam
bentuk persegi dan silindris lumbung Mungkin prestasi terbaik orang Mesir
dalam geometri dua dimensi adalah metode mereka untuk menemukan area
lingkaran, yang muncul dalam Soal 50:
Contoh bidang bundar dengan diameter 9 khet. Apa daerahnya
Buang 1/9 dari diameter, yaitu 1; Sisanya adalah 8. Kalikan 8 kali
8; itu membuat 64. Oleh karena itu berisi 64 setat tanah.
Proses juru tulis untuk menemukan area lingkaran dapat dengan
mudah dinyatakan: Kurangi dari diameter 1/9 nya bagian dan kuadratkan
sisanya Dalam simbol modern, jumlah ini ke rumus
𝑑 2 8𝑑 2
A = (𝑑 − 9 ) = ( )
9
dimana d menunjukkan panjang diameter lingkaran. Jika kita bandingkan ini
𝑑2
dengan Rumus sebenarnya untuk area lingkaran, yaitu π ; kemudian
4

𝜋𝑑2 8𝑑 2
=(9) ,
4

sehingga kita bisa


8 2
π = 4( 9) = 3.1605 . . .

untuk nilai rasio lingkar lingkaran Mesir dengan diameternya. Ini adalah
sebuahmendekati perkiraan ke 3 1/7 ; yang banyak siswa dan cukup baik
untuk keperluan praktis.
Pada periode Babel Tua (kira-kira 1800-1600 SM), lingkar
lingkaran ditemukan dengan mengambil tiga kali diameternya.
Menempatkan ini sama dengan ³d; kita melihat bahwa mereka.
Perhitungannya setara dengan menggunakan 3 untuk nilai ³: Ibrani
menggunakan nilai yang sama dalam Perjanjian Lama, misalnya, dalam I
Raja-raja 7:23, di mana dimensi bak mandi di bait suci Salomo dijelaskan.
Ayat ini ditulis sekitar 650 SM, dan mungkin telah diambil dari catatan kuil
yang berasal dari 900 SM. Bunyinya, "Dan dia membuat a laut lebat, 10
hasta dari satu ujung ke ujung yang lain: sekelilingnya:::: dan sebuah garis
dari 30 hasta kompas itu sekitar. "Sebuah tablet runcing ditemukan di Susa
oleh Ekspedisi arkeologi Prancis tahun 1936 (interpretasi yang
dipublikasikan di Indonesia) 1950) nampaknya mengindikasikan bahwa
1
penulis Babel mengadopsi 3; 7,30 atau 3 sebagai nilai π: Ini setidaknya
8

sama bagusnya dengan aproksimasi yang ditemukan oleh orang Mesir.


Kami tidak memiliki pengetahuan langsung tentang bagaimana
8𝑑 2
rumusnya A = ( 9 ) untuk area sebuah Lingkaran, tapi mungkin saja Soal

48 dari Rhind Papyrus menyediakan sebuah petunjuk. Dalam masalah ini,


pernyataan biasa dari apa yang penulis ajukan lakukan diganti dengan
pandangan yang meski ditarik cukup kasar, paling kuat menyarankan sebuah
kotak dengan empat segitiga di simpul. Di tengah gambar adalah tanda
demotik untuk 9. Jadi itu muncul bahwa juru tulis membentuk sebuah
oktagon dari sebuah persegi dari sisi 9 unit oleh

trisecting sisi dan memotong empat sudut segitiga sama kaki (masing-masing
segitiga memiliki area seluas 9/2 unit persegi). Ahli Taurat mungkin telah
menyimpulkan bahwa oktagon itu ada kira sama di area ke lingkaran tertulis
di alun-alun, karena beberapa bagian Lingkaran bertuliskan terletak di luar
oktagon dan beberapa bagian berada di dalam, dan ini tampaknya kira-kira
sama.

Sekarang luas oktagonal sama dengan luas kotak asli yang kurang dari
daerahnya. Keempat segitiga sama kaki terdiri dari empat sudut cut-off; itu
adalah,
9
A = 92 - 4( ) = 63
2
Ini hampir nilai yang diperoleh dengan mengambil d = 9 pada ekspresi
8𝑑 2
( 9 ) . Demikian penjelasan yang mungkin dari daerah rumus A =

8𝑑 2
( 9 ) adalah bahwa ia muncul dari mempertimbangkan oktom sebagai

perkiraan pertama pada lingkaran yang tertulis dalam kotak.


Soal 52 dari Rhind Papyrus memanggil dinding area trapezoid
(dijelaskan sebagai segitiga terpotong) dengan sisi miring yang tampaknya
sama; panjang 6 dan 4 sisi sejajar dan panjang 20 sisi miring diberikan.

Perhitungan dilakukan dengan formula


1
A = 2 (b + b’)h

Volume Piramida terpotong hanya ada 25 masalah dalam Papirus


Moskow, tapi salah satunya mengandung karya geometri kuno. Soal 14
menunjukkan bahwa orang Mesir sekitar tahun 1850 SM. akrab dengan
rumus yang benar untuk volume piramida terpotong persegi (atau frustum).
Dalam notasi kami, ini

V = (𝑎2 + 𝑎𝑏 + 𝑏 2 ),
3

dimana h adalah ketinggian dan a dan b adalah panjang sisi bujur sangkar
dan bujur sangkar masing-masing.
Peranan yang terkait dengan Soal 14 tampak seperti trapesium isosceles,

Tapi perhitungannya menunjukkan bahwa frustum piramida persegi


dimaksudkan. Teks yang tepat dalam hubungan ini dapat diberikan:
Contoh penghitungan piramida terpotong. Jika Anda diberi tahu:
piramida terpotong dari 6 untuk tinggi vertikal sebesar 4 di dasar
dengan 2 di atas: Anda harus persegi ini 4; hasil 16. Anda harus
ganda 4; hasil 8. Anda akan persegi ini 2; Hasilnya 4. Anda
menambahkan 16 dan 8 dan 4; Hasil 28. Anda harus mengambil 1/3
dari 6; Hasilnya 2. Anda harus 28 kali; Hasilnya 56. Lihat, ini adalah
56. Anda akan melakukannya dengan benar.
Meskipun solusi ini berkaitan dengan masalah tertentu dan tidak dengan
teorema umum, itu masih menakjubkan; beberapa sejarawan matematika
memuji prestasi ini sebagai piramid terbesar di Mesir. Secara umum diterima
bahwa orang-orang Mesir mengenal formula untuk volume piramida persegi
lengkap, dan mungkin itu adalah yang benar,

V = 3 𝑎2
1
Sebagai analogi dengan rumus A = bh untuk area segitiga, orang
2

Mesir mungkin telah menduga bahwa volume piramida adalah waktu


konstan ℎ𝑎2 . Kita mungkin mengira bahwa mereka menduga konstanta
1
menjadi 3. Tapi rumusnya

V = (𝑎2 + 𝑎𝑏 + 𝑏 2 )
3

tidak mungkin menebak dengan baik. Itu bisa didapat hanya dengan

semacam analisis geometrik atau aljabar dari V = (3) 𝑎2 . Namun, tidak

mudah untuk merekonstruksi metode yang dengannya mereka bisa


menyimpulkan formula untuk piramida terpotong dengan bahan-bahan yang
tersedia untuk mereka.

3. Penemuan-Penemuan Zaman Mesir Kuno


a. Papyrus Rhind (Papyrus Ahmes)
Papyrus Rhind atau sering juga disebut dengan papyrus Ahmes sekarang
berada dalam museum di Inggris. Papyrus ini dibeli oleh Henry Rhind
(bangsa Skotlandia, dalam tahun 1958 di daerah sungai Nil. Panjang papyrus
ini adalah sekitar 30 meter dengan lebar sekitar 5,5 meter. Papyrus ini berisi
manuskrip tentang matematika yang ditulis dengan tulisan tangan oleh
Ahmes dalam tahun 1650. Materi yang terdapat dalam papyrus Ahmes ini
bukanlah hasil karya Ahmes sendiri, melainkan berasal dari zaman kira-kira
antara tahun 2000 sampai 1800 sebelum masehi. Dalam hal ini Ahmes
hanyalah orang yang menyalinnya ke dalam papyrus. Lambing-lambang
bilangan yang terdapat dalam papyrus tidak terdapat dalam tulisan Hieroglif,
dan manuscript dalam papyrus ditulis dengan semacam tinta diatas daun
(kertas) papyrus (Muchtar, 1988).
Pada zaman Ahmes, aturan mengenai pecahan sudah dilakukan dengan
baik, tetapi pada zaman Hieroglif masih belum bisa dipastikan. Pada eranya
Ahmes, bangsa mesir sangat menyenangi sekali pecahan 2/3. Kadang-kadang
mereka juga mempunyai lambang-lambang tertentu untu pecahan n/(n+1).
Pecahan 2/3 mempunyai peranan khusus dalam proses operasi matematika
Mesir kuno, karena untuk memperoleh sepertiga dari suatu bilangan harus
dicari 2/3 nya terlebih dahulu, setelah itu hasilnya dibagi dua. Mereka telah
mengenal dan menggunakan kenyataan bahwa 2/3 dari pecahan 1/p adalah
jumlah dari dua unit pecahan 1/2p dan 1/6p, dan dua kali pecahan 1/2p
adalah 1/p.
Bangsa mesir kuno beranggapan bahwa pecahan asli kedalam bentuk
unit-unit pecahan, papyrus Ahmes mempunyai tabel bentuk 2/n sebagai
jumlah dari unit-unit pecahan untuk semua nilai n dari 5 sampai isi. Seperti
misalnya :
𝟐 𝟏 𝟏
=𝟑+𝟓
𝟓
𝟐 𝟏 𝟏
= 𝟒 + 𝟐𝟖
𝟕
𝟐 𝟏 𝟏
= 𝟔 + 𝟔𝟔
𝟏𝟏
𝟐 𝟏 𝟏
= 𝟏𝟎 + 𝟑𝟎
𝟏𝟓
𝟐 𝟏 𝟏 𝟏
= 𝟓𝟔 + 𝟔𝟕𝟗 + 𝟕𝟕𝟔
𝟗𝟕
𝟐 𝟏 𝟏
= 𝟔𝟔 + 𝟏𝟗𝟖
𝟗𝟗
𝟐 𝟏 𝟏 𝟏 𝟏
= 𝟏𝟎𝟏 + 𝟐𝟎𝟐 + 𝟑𝟎𝟑 + 𝟔𝟎𝟔
𝟏𝟎𝟏

Secara umum bentuk diatas dapat diformulasikan sebagai berikut :


1 1
2 𝑛+1 𝑛(𝑛+1)
= +
𝑛 2 2

atau bentuk:
1 1
2 𝑝+𝑞 𝑝+𝑞
= p. + 𝑝.
𝑝 .𝑞 2 2

Tetapi tidak satupun dari prosedur diatas menghasilkan kombinasi


unit pecahan untuk pecahan 2/15 yang terdapat dalam tabel 2/n diatas.
Diperkirakan pecahan itu diperoleh dari pecahan asli ½, 1/3, dan 2/3 dengan
membagi dua terus menerus. Untuk memperoleh jumlah unit-unit pecahan
2/15, dimulai dengan mengambil setengah dari 1/15, diperoleh 1/30.
Kemudian dilihat, apakah hasil ini, apabila ditambahkan dengan suatu
pecahan lain akan menghasilkan 2/15, atau dengan menggunakan rumus lain:
2 1 1 2
. = 2𝑝 + 5𝑝
3 𝑝

Jadi,
2 1 1
= 10 + 30
15

Selanjutnya untuk pecahan 2/7 dilakukan prosedur yang lain, yaitu


membagi dua pecahan 1/7 sebanyak dua kali, maka diperoleh:
2 1 1
= 4 + 28
7

Begitu juga prosedur untuk pecahan 2/13 dilakukan seperti pada pecahan
2/7, dan diperoleh:
2 1 1 1
= 8 + 52 + 104
13

Untuk pecahan 2/n terakhir, yaitu 2/101 tidak digunakan rumus 1/n + 1/n,
melainkan rumus:
2 1 1 1 1
= 𝑛 + 2𝑛 + 3𝑛 + 2.3.𝑛
𝑛

Tabel 2/n papirus ini diikuti oleh tabel singkat untuk n/10 dimana n =
1 sampai n = 9. Pecahan ini juga diekspresikan dengan pecahan favorite 2/3,
ditambahn dengan pecahan lain. Sebagai contoh misalnya, pecahan 9/10
1 1
diuraikan menjadi pecahan 30 + 2⁄3.
Dalam papirus Ahmes terdapat 34 soal (problem), yang pada
umumnya berhubungan dengan praktek kehidupan sehari-hari, seperti
misalnya pertanyaan tentang pembagian roti, campuran makanan ternak,
tempat penyimpanan gandum, dan lain-lain. Pada umumnya soal-soal pada
papirus Ahmes ini berbentuk persamaan linear yang sederhana, dan dengan
angka-angka yang juga sangat sederhana. Salah satu ciri khas dalam sistem
numerasi Mesir kunoini adalah sifat additif, dimana operasi perkalian dan
pembagian dilakukan dengan jalan penjumlahan.
Kebanyakan ahli sejarah mencatat bahwa dimulainya penemuan kembali
sejarah kuno bangsa Mesir adalah pada saat berlangsungnya invasi Napoleon
Bonaparte pada tahun 1798. Pada bulan April tahun tersebut, Napoleon
berlayar dari Toulon bersama armada lautnya yang berjumlah 328 kapal dan
mengangkut sebanyak kurang lebih 38.000 serdadu didalamnya. Dia
bermaksud untuk menaklukan Mesir supaya dapat menguasai jalur darat
menuju wilayah taklukan Inggris yang kaya di India. Selanjutnya, meski
komandan angkatan laut Inggris bernama Laksamana Nelson berhasil
menghacurkan banyak dari armada Prancis sebulan setelah mereka mendarat
di dekat Alexandria, tetapi upaya penaklukan Mesir oleh Prancis terus
berlangsung selama 12 bulan berikutnya, sebelum Napoleon akhirnya
meninggalkan kawasan tersebut dan bergegas kembali ke Prancis.
Meski demikian, bencana bagi pasukan Prancis ini membawa serta
kejayaan bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Napoleon bersama pasukan
ekspedisinya membawa serta satu komisi ilmu pengetahuan dan seni, yang
beranggotakan 167 orang ilmuan terpilih termasuk dua matematikawan,
Gaspard Monge dan Jean-Baptiste Fourier yang bertugas mengumpulkan
berbagai informasi dengan meneliti tiap aspek kehiduan bangsa Mesir pada
masa kuno dan zaman modern. Rencana utama dari kegiatan itu adalah untuk
memperkaya khasanah pengetahuan dunia tentang Mesir sambil
mendinginkan keadaan akibat serangan militer Prancis dengan cara
mengalihkan perhatian dunia pada kehebatan kebudayaan Mesir.
Para ilmuan anggota komisi tersebut ditangkap oleh pasukan Inggris yang
bermurah hati melepaskan mereka untuk kembali ke Prancis dengan
membawa serta catatan-catatan dan gambar-gambar karya mereka. Ketika
waktunya tiba, mereka menghasilkan karya monumental dengan judul
Description de I’Egypte. Karya ini ditulis dalam 9 seri teks folio dan 12 seri
teks lempengan, yang diterbitkan selama lebih dari 25 tahun. Teks itu sendiri

Bibliography
Americana, E. (1977).

Anglin, W. (1994). Mathematics: A Concise History and Philosophy. New York:


Springer-Verlag.

Aspray, W. &. (1988). History and Philosophy of Modern Mathematics.


Minneapolis: The University of Minnesota Press.

Bidwell, J. (1970). Reading in the History of Mathematic Education. Washington


DC: NCTM (National Council of Mathematic).

Bidwell, J. K. (1970).

Burton, D. M. (2007). The History of Mathematics. New York: McGraw Hill.

Cook, R. (2005). The History of Mathematic: A Brief Course. New York: Wiley.

https://en.wikipedia.org. (n.d.).

Kusaeri. (2017). HISTORIOGRAFI MATEMATIKA. Yogyakarta: Matematika.

Muchtar. (1988). Sejarah Matematika. Padang: Badan Penerbit Fakultas


Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

Naga, D. S. (1980). Berhitung Sejarah dan Pengembangannya. Jakarta: Gramedia.

RI, D. P. (n.d.). 1980.


RI, D. P. (1980).

Ruslani, B. K. (2010). Matematika pada Zaman Purba. Bandung: Penerbit Angkasa


Bandung.

Sitorus, J. (1990). Pengantar Sejarah Matematika dan Pembaharuan Pengajaran


Matematika di Sekolah. Bandung: Tarsito.

Susilawati, K. d. (2013).

Susilawati, K. d. (2013). Sejarah Matematika. Bandung: CV Insan Mandiri.

WADE, N. (2010, November 22). An Exhibition That Gets to the (Square) Root of
Sumerian Math. Retrieved Oktober 7, 2017, from SCIENCE:
http://www.nytimes.com/2010/11/23/science/23babylon.html

Wahyudin. (2013). Hakikat, Sejarah, dan Filsafat Matematika. Bandung: Penerbit


Mandiri.

dibagi menjadi empat bagian yang secara berurutan membahas tentang


peradaban Mesir Kuno, monumen-monumen yang mereka bangun, Mesir
modern, dan sejarah alamnya. Tidak pernah ada sebelumnya catatan yang
dibuat tentang negara asing dengan begitu lengkap, begitu akurat, begitu
cepat, dan dibuat pada kondisi-kondisi yang begitu sulit (Wahyudin, 2013).
Description de I’Egypte, beserta kemewahan dan ilustrasinya yang luar
biasa bagus, mendorong kekayaan pengetahuan dan kebudayaan Mesir Kuno
untuk memasuki suatu masyarakat yang telah terbiasa dengan kekunoan
Yunani dan Romawi. Pemaparan mendadak tentang suatu bangsa yang sudah
maju, yang lebih tua dari peradaban mana pun menurut catatan sejarah,
menimbulkan ketertarikan yang tinggi dalam komunitas budaya dan ilmiah
bangsa Eropa. Apa yang membuat ketertarikan itu semakin besar adalah
fakta bahwa catatan sejarah peradaban awal ini ditulis dalam sebuah naskah
yang tiak seorang pun mampu untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa
modern mana pun. Invasi militer serupa yang dilakukan oleh Napoleon
akhirnya memberikan petunjuk literal ke masa lalu bangsa Mesir, saat salah
satu teknisinya menemukan Batu Rosetta dan kemudian mengungkap
kemungkinan bahwa batu tersebut berguna untuk menerjemakan tulisan
hieroglif.
Sebagian besar pengetahuan kita tentang urutan matematika. Mesir Kuno
berasal dari dua papirus yang berukuran besar, masing-masingnya dinamai
dengan nama pemilik papirus itu sebelumnya Papyrus Rhind dan Papyrus
Golenischev. Papyrus yang disebut belakangan disebut juga Papyrus
Moskow, karena ia dimiliki oleh Museum Seni Murni di Moskow. Papyrus
Rhind dibeli dari Luxor, Mesir, pada tahun 1853 oleh seorang pengacara
muda dari Skotlandia yang bernama A. Henry Rhind, dan kemudian
disumbangkan kepada Museum Inggris. Ketika kesehatan pengacara muda
ini menurun drastis, dia mengunjungi wilayah Mesir yang beriklim lebih
hangat dan menjadi arkeolog, dengan spesialisasi bidang penggalian makam-
makam di Thebes. Di kota inilah, pada reruntuhan kecil di dekat
Ramesseum, dikatakan bahwa papyrus tersebut ditemukan.
Papyrus Rhind ditulis dalam naskah hieratik (bentuk kursif hieroglif yang
lebih sesuai untuk penggunaan pena dan tinta) pada sekitar 1650 S.M. oleh
seorang penulis bernama Ahmes, yang meyakinkan kita bahwa papyrus
tersebut dibuat mirip karya awal dari dinasti ke-12, tahun 1849-1801 S.M.
Meski papyrus Rhind bentuk aslinya merupakan gulungan dengan panjang
18 kaki dan tingginya 18 inci, ia tiba di Museum Inggris dalam dua bagian,
di mana bagian tengahnya hilang. Mungkin papyrus tersebut telah robek
ketika dibentangkan oleh seseorang yang tidak memiliki keahlian dalam
memelihara dokumen rapuh seperti ini, atau mungkin ada dua penemu dan
masing-masingnya meminta satu bagian. Dipandang dari segi mana pun,
tampaknya bagian kunci dari papyrus ini telah hilang selamanya bagi kita,
hingga seseorang mendapatkan kesempatan untuk menemukan dan
mengungkapkannya sebagaimana adakalanya memang terjadi dalam dunia
arkeologi.
Sekitar empat tahun setelah Rhind melakukan pembelian terkenalnya,
Edwin Smith sebagai seorang ahli tentang bangsa Mesir asal Amerika,
membeli apa yang dikiranya papyrus pengobatan. Papyrus itu ternyata tipuan
belaka, karena ia dibuat dengan menempelkan potongan-potongan dari
papyrus lain pada sehelai gulungan model. Pada hari kematiannya (tahun
1906), koleksi benda-benda Mesir Kuno milik Smith dipamerkan kepada
Masyarakat Sejarah New York, dan pada tahun 1922, potongan dari
golongan model itu teridentifikasi sebagai bagian yang hilang dari Papyrus
Rhind.
Penguraian Papyrus Rhind menjadi lengkap saat potongan-potongan yang
hilang tersebut dibawa ke Museum Inggris dan digabungkan pada posisi-
posisi yang semestinya Rhind juga membeli naskah pendek yang ditulis di
atas kulit, Gulungan Kulit Matematika Mesir, pada saat bersamaan dia
membeli papyrusnya; tetapi melihat kondisinya yang sangat rapuh, gulungan
tersebut tetap tidak dulu diteliti selama lebih dari 60 tahun.
Kandungan dalam Papyrus Rhind diawali dengan premis yang tegas.
Isinya berkaitan dengan “sebuah kajian yang cermat tentang segala hal,
memahami semua hal yang ada, pengetahuan dari semua rahasia yang
menghalangi”. Secara umum, Papyrus Rhind adalah sebuah buku pegangan
praktis latihan-latihan matematis, dan satu-satunya “rahasia” yang
terkandung di sana adalah bagaimana cara mengalikan dan membagi. Meski
demikian, delapan puluh lima permasalahan yang ada di dalamnya
memberikan gagasan yang cukup jelas bagi kita untuk mengenali ciri khas
dari matematika Mesir Kuno.
Empat Masalah dari Rhind Papyrus
Metode Posisi Palsu
Rhind Papyrus berisi beberapa "penyelesaian" masalah. Ini
biasanya dimulai dengan jumlah pecahan unit dan mencari unit lebih lanjut
fraksi yang akan ditambahkan, untuk mendapatkan nilai 1. Soal 22,
2 1
misalnya, meminta untuk menyelesaikan + sehingga menghasilkan
3 30

jumlah 1. Dalam notasi modern, juru tulis melakukan penghitungan dengan


1 1
memilih nomor yang tepat N dan pecahan unit ,. . . ., 𝑛 secara berurutan
𝑛1 𝑘

2 1 1 1
untuk memenuhi persamaan (3 + + + ...+ )N = N (Burton, 2007).
3 𝑛1 𝑛𝑘

Ini akan mengikuti dari sini bahwa jumlah yang diperluas sama
dengan 1. Mengambil N menjadi 30- Mudah, karena ini adalah kelipatan
umum dari penyebutan yang diberikan - juru tulis mengamati bahwa
2 1
(3 + )30 = 20 + 1 = 21
30

yang kurang dari 30 yang diinginkan. Tapi

1 1
(5 + )30 = 6 + 3 = 9
10

Menambahkan dua persamaan memberi

2 1 1 1
(3 + + + )30 = 30
30 5 10

dan penyelesaian yang diinginkan adalah


2 1 1 1
+ + + =1
3 30 5 10

Banyak ruang diambil dalam Papirus Rhind dengan masalah praktis


mengenai pembagian roti yang adil di antara sejumlah laki-laki atau jumlah
yang ditentukan dari gandum yang dibutuhkan untuk pembuatan bir Masalah
ini sederhana dan tidak melampaui sebuah persamaan linier dalam satu hal
yang tidak diketahui. Soal 24, misalnya, berbunyi: "Kuantitas dan jumlahnya
1
ditambahkan menjadi 19. Berapakah kuantitasnya? "Hari ini dengan
7

simbolisme aljabar kita, kita harus membiarkan x berdiri untuk kuantitas


yang dicari dan persamaan yang akan dipecahkan akan terjadi

𝑥 8𝑥
x + 7 = 19 atau = 19
7

8
Ahmes beralasan bahwa meskipun notasinya tidak mengakui fraksi 7

; "Sudah berkali-kali karena 8 harus dikalikan untuk memberi 19, sebanyak


yang harus dikalikan untuk diberikan nomor yang benar. "Penulis itu
menggunakan prosedur tertua dan paling universal untuknya memperlakukan
persamaan linier, metode posisi palsu, atau asumsi palsu. Brie y, ini Metode
adalah untuk mengasumsikan nilai yang sesuai untuk kuantitas yang
diinginkan, dan dengan melakukan operasi dari masalah yang ada, untuk
menghitung angka yang kemudian bisa dibandingkan dengan nomor yang
diberikan Jawaban sebenarnya memiliki hubungan yang sama dengan
jawaban yang diasumsikan itu nomor yang diberikan harus sesuai dengan
jumlah yang dihitung.

𝑥
Misalnya, dalam menyelesaikan persamaan x + = 19. Kita anggap
7

salah bahwa x =7 (pilihannya pas karena x = 7 mudah dihitung). Sisi kiri dari
7
Persamaan kemudian akan menjadi 7 + = 8, bukan jawaban yang
7
19 1 1
dibutuhkan 19. Karena 8 harus dikalikan dengan = 2 + + untuk
9 4 8

memberikan yang diinginkan 19, nilai yang benar x diperoleh dengan


1 1
mengalikan asumsi salah, yaitu, 7; dengan 2 + 4 + 8 hasilnya adalah

1 1 1 1
x = (2 + 4 + 8 )7 = 16 + 4 + 8

Sebenarnya, kita bisa mengajukan nilai nyaman untuk kuantitas yang tidak
diketahui, misalkan x = a: Jika a + a/7 = b dan bc = 19; maka x = ac seperti
persamaan; x + x/7 = 19; untuk itu
mudah melihat itu
1 𝑎
ac + 7 𝑎𝑐 = (𝑎 + 7)c = bc =19

Kita telah melihat bahwa orang Mesir mengantisipasi, setidaknya


dalam bentuk dasar, favorit metode Abad Pertengahan, posisi yang salah.
Begitu metode itu dipelajari dari Orang Arab, itu menjadi ciri menonjol teks
matematika Eropa dari Liber Abaci (1202) Fibonacci ke aritmatika abad
keenam belas. Sebagai simbolisme aljabar. Kembangkan, peraturannya
lenyap dari karya yang lebih maju. Inilah contohnya dari Liber Abaci:
seorang pria tertentu membeli telur dengan tarif 7 untuk 1 dinar dan
menjualnya pada tingkat 5 untuk 1 dinar, dan dengan demikian membuat pro
t 19 denarii. Pertanyaannya adalah: Berapa banyak uang yang dia
investasikan? Secara aljabar, masalah ini akan diungkapkan oleh persamaan
7𝑥
− 𝑥 = 19
5

Prosedur posisi palsu di sini dengan mengasumsikan 5 untuk yang


7
tidak diketahui; kemudian . 5 - = 2. Ini 2, dalam bahasa ekspresif
5

fibonacci, "akan menjadi seperti 19" (memang begitu terkait dengan 19


19
sebagai 5 adalah nomor yang dicari). Karena 2 ( 2 )=19; jawaban yang benar
19 1
adalah x = 5( 2 ) = 472. Angka yang diajukan oleh Fibonacci untuk yang

tidak diketahui tidak dipilih secara sewenang-wenang, bila yang tidak


diketahui adalah pecahan, jumlah diasumsikan untuk yang tidak diketahui
adalah penyebut pecahan.

Sejauh ini kita telah mempertimbangkan aturan posisi palsu di


mana tebakan tunggal dibuat; Tapi ada varian yang mengharuskan membuat
dua percobaan dan mencatat kesalahan karena masing-masing. Aturan
praktis ini memiliki posisi salah ganda, seperti kadang-kadang
Disebut, bisa dijelaskan sebagai berikut. Untuk mengatasi persamaan kapak
ax + b = 0 biarkan g1 dan g2 menjadi ag1 + b dan ag2 + b, dua tebakan
tentang nilai x, dan membiarkan f1 dan f2 menjadi kegagalan yang sesuai, itu
adalah, nilai-nilai ag1 + b dan ag2 + b; yang sama dengan nol jika tebakannya
benar.
Maka,
(1) ag1 + b = f1 dan (2) ag2 + b = f2
Pada mengurangkan, jelas itu

(3) a(g1 – g2) = f1 – f2

Persamaan mengalikan (1) dengan g2 dan persamaan (2) dengan g1 memberi

ag1g2 + bg2 = f1g2 dan ag2g1 + bg1 = f2g1

Bila dua persamaan terakhir ini dikurangkan, hasilnya adalah

(4) b(g2 – g1) = f1g2 – f2g1

Untuk menentukan argumen, bagikan persamaan (4) dengan persamaan (3)


untuk mendapatkan
𝑏 𝑓1𝑔2
−𝑓2𝑔1
− =
𝑎 𝑓1 − 𝑓2

Tapi karena x = b/a; nilai x ditemukan

𝑓1𝑔2− 𝑓
2𝑔1
x= 𝑓1− 𝑓2

Singkatnya, kami telah menempatkan dua nilai palsu untuk x pada


kapar ekspresi ax + b dan Dari percobaan ini kita bisa mendapatkan solusi
yang tepat untuk persamaan kapak ini ax + b= 0 untuk membuat sesuatu
lebih spesifik, mari kita lihat contoh yang sebenarnya, misalnya, persamaan
x + x / 7 = 19; atau ekuivalen, x + x/7- 19 = 0

Kami mengambil dua tebakan tentang nilai x; katakanlah g1 = 7 dan g2 = 14

Kemudian 7 + 7/7 -19 = 11 = f1 dan 14 +14/7 -19 = - 3 = f2

Ini berarti bahwa nilai sebenarnya dari x adalah

𝑓1𝑔2− 𝑓
2𝑔1 (−11)14−(−3)7 133 1 1
x= = (−11)−(−3)
= = 16 + 2 + 8
𝑓1− 𝑓2 8

Canggung seperti nampaknya, ada unsur kesederhanaan dalam aturan


primitif ini, dan tak heran itu digunakan bahkan di akhir 1880-an. Dalam
Grounde of Artes, Robert Recorde (1510-1558) menulis bahwa dia
mengejutkan teman-temannya dengan mengajukan beberapa pertanyaan
yang berbeda Kemudian, dengan aturan kepalsuan, nding hasil sebenarnya
dari jawaban peluang "begini anak-anak atau idiot seperti yang terjadi di
tempat itu.

Masalah yang Aneh


Kembali ke Papirus Rhind, kita dapat mempertimbangkan Soal 28
contoh paling awal
dari sebuah "memikirkan sebuah nomor" masalah. Mari kita nyatakan
masalah ini dan solusi Ahmes di Istilah modern, menambahkan beberapa
rincian yang jelas.
Contoh Pikirkanlah nomor, dan dari nomor ini untuk dirinya sendiri. Dari
jumlah ini kurangi 13
nilai dan katakan apa. Misalkan jawabannya adalah 10. Lalu ambil 1 /10 dari
10 ini, memberi 9. Maka ini adalah nomor yang pertama dipikirkan.
Bukti. Jika angka aslinya 9, maka 23 adalah 6, yang ditambahkan membuat
15. Kemudian 13 dari 15 adalah 5, yang pada subtraction daun 10. Begitulah
cara Anda melakukannya. Disini juru tulis itu benar-benar menggambarkan
identitas aljabar
2𝑛 1 2𝑛 1 2𝑛 1 2𝑛
(𝑛 + ) - (𝑛 + )- [(𝑛 + ) − (𝑛 + )] = n
3 3 3 10 3 3 3

Dengan contoh sederhana, dalam hal ini menggunakan nomor n = 9: Setelah


diungkapkannya "tidak jelas rahasia, "dia menambahkan sebuah kalimat
penutup tradisional," Dan begitulah cara Anda melakukannya. "
Soal 79 sangat ringkas dan berisi kumpulan data yang aneh-sepertinya untuk
menunjukkan kenalan dengan jumlah deret geometris:

Katalog miscellany ini telah menyarankan beberapa gagasan aneh. Pihak


berwenang tertentu beranggapan kata-kata ini sebagai terminologi simbolis
yang diberikan kepada kekuatan pertama 7. Karena di sebelah kanan, kita
memiliki penjumlahan 7, 72, 73, 74, dan 75 dengan penambahan yang
sebenarnya. Di sebelah kiri, jumlahnya dari seri yang sama diberikan sebagai
7 . 2801; dengan perkalian yang dilakukan oleh biasa metode duplikasi.
Karena 2801 = (75-1)(7-1) hasil

75 −1
7 . 2801 = 7( 7−1 ) = 7 + 72 + 73 + 74 + 75

adalah apa yang akan diperoleh dengan substitusi dalam formula modern
untuk jumlah Sn dari n istilah deret geometris:

𝑟 𝑛 −1
Sn = a + ar + ar2 + . . . + arn-1 = a 𝑟−1

(Kami perhatikan dalam masalah di depan kita bahwa a = r = 7 dan n = 5 :)


Apakah itu formula, genap untuk kasus yang lebih sederhana, diketahui
orang Mesir? Tidak ada bukti konkret bahwa memang begitu. Interpretasi
yang lebih masuk akal tentang apa yang dimaksudkan adalah semacam itu:
"Di masing-masing dari tujuh rumah ada tujuh kucing; setiap kucing
membunuh tujuh tikus; setiap tikus akan memiliki makan tujuh berkas
gandum; dan setiap butir gandum mampu menghasilkan tujuh ukuran butir
gandum. Berapa banyak gandum yang diselamatkan? "Atau seseorang
mungkin lebih memilih pertanyaan," Rumah, kucing, tikus, gandum, dan
hekat gandum - berapa banyak dari jumlah ini ada di sana? "

Beberapa 3000 tahun setelah Ahmes, Fibonacci termasuk dalam Liber


Abaci-nya seri yang sama kekuatan tujuh dengan satu istilah lebih lanjut:

Tujuh wanita tua sedang dalam perjalanan menuju Roma;

Setiap wanita memiliki tujuh keledai;

Setiap keledai membawa tujuh karung;


Setiap karung berisi tujuh roti;

Dengan setiap roti ada tujuh pisau;

Setiap pisau ada di tujuh selubung.

Berapa totalnya?

Perenderan ini, ditambah dengan nomor tujuh, mengingatkan kita pada anak-
anak Inggris Kuno sajak, satu versi yang muncul di bawah ini:

Saat aku pergi ke Saint Ives,

Saya bertemu dengan seorang pria dengan tujuh istri.

Setiap istri memiliki tujuh karung;

Setiap karung memiliki tujuh kucing;

Setiap kucing memiliki tujuh peralatan;

Kit, kucing, karung, dan istri,

Berapa banyak yang akan ke Saint Ives?

Di sini juga, disarankan agar jumlah total perkembangan geometrik dihitung,


Tapi ada joker dalam kata-kata sebenarnya dari baris pertama dan terakhir.
Sementara yang mengejutkan twist kemungkinan besar kontribusi Anglo-
Saxon, orang bisa melihat bagaimana jenisnya masalah mengabadikan
dirinya selama berabad-abad. Rhind Papyrus menutup dengan doa berikut,
mengungkapkan kekhawatiran utama dari komunitas pertanian: "Tangkap
hama dan tikus, memadamkan yang berbahaya gulma; Berdoalah kepada
Dewa Ra karena panas, angin, dan air yang tinggi. "
b. Papyrus Moscow
Papyrus Moscow, atau sering juga dikenal dengan nama papiyrus
colenischev ditemukan di Mesir dalam tahun 1893. Papyrus Moscow ini
panjangnya kira-kira sama dengan papyrus Ahmes. Tulisan papyrus Moscow
ini tidaklah sebaik tulisan Ahmes, dan juga tidak diketahui siapa penulis
naskah ini, tetapi papyrus moscow ini diperkirakan dalam tahun 1890
sebelum Masehi. Papyrus ini berisi 25 contoh-contoh soal, yang sebahagian
besar mengenai kehidupan sehari-hari, seperti halnya papyrus Ahmes,
kecuali dua soal yang cukup penting artinya, yaitu problem 10 dan problem
14.
Soal 14 papyrus Moscow adalah suatu bangun yang hampir menyerupai
trapesium sama kaki, seperti pada gambar di bawah ini, tetapi penyelesaian
adalah mengenai pyramid siku-siku terpancung.

56

4
Bahagian bawah dan bahagian atas dari bangun ini bertuliskan masing-
masingnya 2 dan 4, sedangkan bahagian dalamnya bertuliskan 56 dan 6. Dari
bilangan-bilangan ini yang terdapat pada sisi-sisi gambar ini, jelaslah bahwa
soal 14 papyrus Moscow merupakan contoh untuk menentukan isi suatu
pyramid bujur sangkar terpancung dengan panjang sisi alas dan sisi atas
masing-masingnya 4 dan 2 unit, sedangkan tingginya (jarak antara bidang
atas dan bidang bawah 0 unit). Penyelesaian soal ini dalam papyrus Moscow
adalah sebagai berikut:
1) Kuadratkan masing-masing sisi atas dan sisi alas, maka diperoleh
hasilnya: 16 dan 4.
2) Jumlahkan kuadrat masing-masing sisi alas dan sisi atas tersebut,
diperoleh 16 + 4 = 20. Kemudian tambahkan hasilnya ini dengan
perkalian sisi atas dan sisi alas (2 x 4), akan diperoleh: 20 + (2 x 4 = 23.
3) Kalikan 28 dengan sepertiga dari 6, maka akan diperoleh hasilnya 56.
Hasil 56 ini adalah merupakan isi dari pyramid terpancung ini.
Jadi bangsa Mesir kuno nampaknya sudah dapat menentukan isi suatu
pyramid terpancung dengan hasil yang sama dengan apabila menggunakan
rumus seperti yang kita gunakan sekarang, yaitu :
I = 1/3 h (a2 + ab + b2)
dimana h adalah tinggi pyramid terpancung, a dan b masing-masingnya
adalah sisi-sisi bujur sangkar bawah.
Walaupun bangsa Mesir Kuno tidak pernah menuliskan rumus untuk
menentukan isi suatu pyramid terpancung, tetapi berdasarkan soal-soal yang
terdapat dalam papyrus ini, tidak disangsikan lagi bahwa pada hakekatnya
mereka telah mengenal prosedur menemukan isi pyramid terpancung. Kalau
dari rumus isi pyramid terpancung diatas dimisalkan panjang sisi atas adalah
nol, maka rumus diatas akan menjadi:
I = 1/3 h.b
yaitu rumus untuk menentukan isi pyramid dengan luas alas b dan tinggi h,
rumus yang sudah dikenal baik oleh bangsa Mesir Kuno. Tetapi bagaimana
prosedur yang digunakannya untuk memperoleh rumus ini tidak banyak
diketahui, namun besar kemungkinan rumus ini didapatkan hanya dari
pengalaman saja.
Untuk menentukan isi suatu pyramid terpancung dengan alas bujur
sangkar, kemungkinan besar bangsa Mesir Kuno melakukannya seperti
prosedur menentukan luas suatu segitiga sama sisi dan luas trapesium sama
kaki, yaitu dengan membagi pyramid terpancung ini menjadi
paralelepipedum, prisma dan pyramid.
Misalkan pyramid terpancung ini mempunyai bidang alas dan bidang
atas bujur sangkar, dengan panjang sisi masing-masingnya a dan b unit,
dengan salah satu sisi tegak pyramid itu tegak lurus pada alas, dengan tinggi
kerucut = h. Pyramid terpancug ini dapat dipecah menjadi empat bagian,
yaitu satu paralelpipedum tegak, dua prisma tiga sisi, dan satu pyramid,
seperti pada gambar dibawah ini.

Sumber : (Muchtar, 1988)

Isi pararelepipedum = a2 . h = a2h


Isi masing-masing prisma = a(b – a) . h/2
= ½ ah(b – a)
Isi Pyramid = (a – b)2 . h/3
= 1/3 h(b – a)
Jadi isi pyramid terpancung seluruhnya adalah:
= a2h + 2 . ½ bh(b – a) + 1/3 h(b – a)
= 1/3 h(a2+ ab + b2)
Soal no 10 dari papirus moskow lebih sukar untuk diinterpretasikan
dibandingkan dengan soal no. 14 diatas. Dalam soal no. 10, ditanyakan luas
permukaan sesuatu yang berbentuk keranjang dengan diameter 4 ½ unit.
Nampaknya mereka menyelesaikan soal ini dengan cara yang ekivalen
dengan rumus.
L = (1 – 1/9)2 (2x). x
dimana x = 4 1/2 , dan menghasilkan L = 32 unit. Karena (1 – 1/9)2 adalah
nilai aproksimasi Mesir kuno untuk π/4, maka luas 32 unit adalah sama
dengan luas permukaan setengah bola dengan diameter 4 ½ unit. Hal ini
adalah suatu hal yang sangat menakjubkan sekali, karena rumus untuk
menentukan luas permukaan setengah bola baru dikenal orang seketika 1500
tahun kemudian.
Berabad-abad lamanya orang megasumsikan bahwa bangsa Yunani
mempelajari dasar-dasar geometri dari Mesir, dan Aristoteles menyatakan
bahwa geometri muncul di lembah Nil karena pendeta-pendeta agama disana
mempunyai waktu senggang yang cukup banyak untuk digunakan
mempelajari dan mengembangkan pengetahuan teoritis. Kemungkinan ini
memang ada, karena adanya beberapa matematika dasar Yunani klasik
berasal dari Mesir, seperti misalnya penggunaan unit-unit pecahan, yang
persis sama dengan yang digunakan di Yunani dan Romawi. Tetapi secara
umum tidaklah demikian halnya, karena matematika Mesir kuno jauh lebih
sederhana dibandingkan dengan matematika Yunani, dan matematika Mesir
kuno pada umumnya berhubungan dengan hal-hal yang praktis saja, seperti
terlihat pada papirus Ahmes dan papirus Moskow yang telah dibicarakan
sebelumnya. Begitu juga suatu ciri khas dari matematika Mesir adalah
perkembangannya yang sangat uniform sepanjang masa. Matematika yang
terdapat dalam papirus Ahmes adalah merupakan nenek moyangnya
matematika Mesir kuno, dan juga sekaligus generasi penerusnya.

c. Kunci Menuju Penguraian : Batu Rosetta


Penerjemahan Papyrus Rhind baru mungkin dilakukan secara cepat
karena pengetahuan yang diperoleh dari Batu Rosetta. Penemuan lemping
basal hitam mengkilat ini adalah kejadian paling signifikan dari ekspedisi
Napolen. Batu ini ditemukan oleh seorang perwira pasukan Napoleon dekat
Rosetta di Sungal Nil pada tahun 1799, ketika mereka sedang menggali
pondasi sebuah benteng. Batu Rosetta tersusun dari tiga panel, masing-
masingnya ditulis dalam tiga jenis tulisan berbeda; huruf Yunani pada bagian
paling bawah, naskah demotik bertuliskan huruf Mesir (bentuk
pengembangan huruf hieratik) pada bagian tengah, dan huruf hieroglif kuno
pada bagian paling atas yang agak rusak. Cara membaca huruf Yunani tidak
pernah hilang; cara membaca hieroglif dan demotik tidak pernah ditemukan
sampai saat itu. Untungnya disimpulkan dari naskah huruf Yunani itu bahwa
ternyata kedua panel lainnya membawa pesan yang sama, sehingga naskah
tersebut merupakan teks tiga bahasa yang dapat digunakan untuk
menguraikan alfabet hieroglif.
Nilai penting Batu Rosetta segera disadari oleh orang Perancis, terutama
Napoleon, yang memerintahkan naskah itu diperbanyak dengan salinan cetak
tinta dan dibagikan kepada para ilmuwan di Eropa. Saat Napoleon dipaksa
untuk melepaskan Mesir pada tahun 1801, salah artikel dari fakta penyerahan
mencantumkan penyerahan batu itu kepada Inggris. Seperti semua artifak
yang ditemukan, Batu Rosetta akhirnya menjadi milik Museum Inggris, dan
pembuatan serta penguraian empat cetakan gips di universitas-universitas
Oxford, Cambridge, Edinburgh, dan Dublin, dengan menggunakan analisis
komparatif dimulai. Permasalahannya menjadi lebih rumit daripada yang
terbayangkan, sehingga membutuhkan 23 tahun dan penelitian intensif dari
para ilmuwan untuk memecahkannya (Wahyudin, 2013).
Bab terakhir dari misteri Batu Rosetta, seperti halnya misteri yang
pertama, ditulis oleh seorang Ilmuwan Perancis, Jean Francois Champollion
(1790-1832). Sebagai orang yang paling berpengaruh berkaitan dengan
penelitian tentang Mesir, sejak kecil Champollion telah melihat pertanda
bahwa dia akan berperan penting dalam mengungkap budaya Mesir Kuno
Sejarah mencatat bahwa pada usia 11 tahun, dia berjumpa dengan
matematikawan Jean Baptiste Fourier, orang yang menunjukkan kepadanya
beberapa papyrus dan lempengan batu yang bertuliskan huruf hieroglif.
Meski diyakinkan bahwa tidak ada seorang pun yang dapat membacanya,
sang bocah memberikan jawaban yang lebih meyakinkan, “Saya akan
melakukannya jika saya dewasa nanti”. Dari momen itulah hampir segala
sesuatu yang Champollion lakukan selalu berkaitan dengan ilmu tentang
Mesir (Egiptologi); pada usia 13 tahun dia mampu membaca tiga bahasa dari
kawasan Timur, dan ketika dia berusian 17 tahun dia menuju Universitas
Grenoble dan melakukan studi di sana. Pada tahun 1822, dia telah mampu
mengumpulkan kosakata hieroglif dan membaca secara lengkap panel bagian
atau yang tertera pada Batu Rosetta.
Dari waktu ke waktu, huruf-huruf hieroglif berkembang dari suatu sistem
gambar-gambar dari kata-kata lengkap menjadi sistem yang meliputi
lambang-lambang alfabet sekaligus simbol-simbol fonetik. Pada naskah
hieroglif Batu Rosetta, kerangka-kerangka oval yang disebut cartouches
(kata dalam bahasa Perancis) yang berarti cartridge atau pelor digambarkan
mengelilingi karakter-karakter tertentu. Karena hanya tanda-tanda ini saja
yang menunujukkan penekanan khusus, Champollion menyimpulkan bahwa
simbol-simbol yang dikelilingi oleh pelor-pelor tersebut mewakili nama dari
penguasa saat itu, Ptolemy, seperti yang disebutkan dalam teks yang
berbahasan Yunani. Champollion juga memiliki salinan naskah-naskah yang
terdapat pada sebuah obelisk dan alas tumpuannya, dari Philae. Alas tersebut
memuat tulisan Yunani yang mengagungkan Ptolemy dan istrinya Cleopatra
(bukan Cleopatra terkenal yang konon mati bunuh diri.) pada obelisk itu
sendiri, yang berpahatkan huruf hieroglif, terdapat dua pelor yang
didekatkan, jadi mungkin bahwa dua pelor tersebut menekankan ekuivalen-
ekuivalen Mesir untuk nama diri dari kedua orang tersebut. Selain itu salah
satu pelor tadi memuat karakter-karakter hieroglif yang terdapat dalam pelor-
pelor yang ditemukan pada Batu Rosetta.
Uji silang ini sudah cukup bagi Champollion untuk membuat penguraian
awal. Dari nama-nama bangsawan tadi, dia kemudian menetapkan hubungan
antara simbol-simbol hieroglif dan huruf-huruf Yunani. Saat itu tatkala
tulisan hieroglif mulai tersibak selimut misterinya, Champollion, melalui
usaha tanpa henti selama bertahun-tahun, dikabarkan menangis dan setengah
berteriak,” Aku menemukannya!” dan terjatuh pingsan.
Sebagai puncak dari studi seumur hidupnya, Champollion menulis
karyanya berjudul Grammarie Egyptienne en Encriture Hieroglyphique,
yang diterbitkan dan memperoleh penghargaan pada tahun 1843. Di
dalamnya, dia merumuskan sebuah sistem gramatika dan uraian umum yang
menjadi bagi semua karya yang dihasilkan kemudian oleh para Egiptolog
lainnya. Batu Rosetta telah memberikan kunci pemahaman terhadap salah
satu peradaban hebat di masa silam.
REFERENSI
Americana, E. (1977). New York : Americana Corporation.

Anglin, W. (1994). Mathematics: A Concise History and Philosophy. New


York: Springer-Verlag.

Aspray, W. &. (1988). History and Philosophy of Modern Mathematics.


Minneapolis: The University of Minnesota Press.

Bidwell, J. (1970). Reading in the History of Mathematic Education.


Washington DC: NCTM (National Council of Mathematic).

Burton, D. M. (2007). The History of Mathematics. New York: McGraw


Hill.

Cook, R. (2005). The History of Mathematic: A Brief Course. New York:


Wiley.

Kusaeri. (2017). HISTORIOGRAFI MATEMATIKA. Yogyakarta:


Matematika.

Muchtar. (1988). Sejarah Matematika. Padang: Badan Penerbit Fakultas


Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

Naga, D. S. (1980). Berhitung Sejarah dan Pengembangannya. Jakarta:


Gramedia.

RI, D. P. (t.thn.). 1980. Sejarah Umum untuk SMA IPS Jilid I.

Ruslani, B. K. (2010). Matematika pada Zaman Purba. Bandung: Penerbit


Angkasa Bandung.

Sitorus, J. (1990). Pengantar Sejarah Matematika dan Pembaharuan


Pengajaran Matematika di Sekolah. Bandung: Tarsito.

Susilawati, K. d. (2013). Sejarah Matematika. Bandung: CV Insan Mandiri.

WADE, N. (2010, November 22). An Exhibition That Gets to the (Square)


Root of Sumerian Math. Dipetik Oktober 7, 2017, dari SCIENCE:
http://www.nytimes.com/2010/11/23/science/23babylon.html
Wahyudin. (2013). Hakikat, Sejarah, dan Filsafat Matematika. Bandung:
Penerbit Mandiri.

Anda mungkin juga menyukai