Anda di halaman 1dari 37

MATEMATIKA HINDU

diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah


Sejarah dan Filsafat Matematika yang diampu oleh:
Dr. Hj. Wati Susilawati, M. Pd. dan Riva Lesta Ariany, M.Pd.

Oleh
Kelompok 9
Dea Karina (1152050019)
Eka Septiyani Jamal (1152050028)

PRODI PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2017
Matematika Hindu
Filsafat (zaman kuno) di India (anviksiki atau
darsana yang berarti sistem) sedikit berlainan artinya
daripada filsafat Barat modern. Lebih menyerupai ngelmu
daripada ilmu, lebih merupakan ajaran hidup yang bertujuan
memaparkan bagaimana orang dapat mencapai kebahagian
yang kekal. Sikap orang India lebih subyektif, lebih
mementingkan perasaan, penuh dengan rasa kesatuan dengan
alam dunia yang mengelilinginya. (Salam, 2012)
Menurut data sejarah, pada zaman 5000 tahun yang
lampau (hampir sama dengan zaman pembangunan piramid
Gizeh di Mesir) di India telah berdiri suatu kota yang bernama
Mahenjo Daro. Dari penggalian-penggalian archeolog di
Mahenjo Daro dapat diketahui bahwa kebudayaan India sudah
cukup tinggi. Dari reruntuhan bangunan Mahenjo Daro dapat
dilihat bahwa kota tersebut telah mempunyai sarana perkotaan
yang cukup baik dan teratur, sarana jalan sudah cukup baik
dan lebar, rumah-rumah sudah di bangun dengan batu bata,
kamar mandi sudah menggunakan porselen, saluran air cukup
baik, serta adanya tempat pemandian (kolam renang) untuk
umum. Berdasarkan penemuan-penemuan tersebut dapat
disimpulkan bahwa pada saat itu kota Mahenjo Daro didiami
oleh orang-orang yang mempunyai kebudayaan yang cukup
tinggi. Di samping itu, mereka juga telah mempunyai sistem
penulisan, sistem berhitung, sistem pengukuran berat dan
luas, serta sistem pengairan yang cukup baik. Tetapi walaupun
demikian tidak terdapat dokumen mengenai perkembangan
matematika pada zaman itu.

Perkembangan Matematika Di India


Matematika India atau juga biasa disebut Matematika
Hindu muncul pada abad ke 26 SM dan berakhir pada abad ke
14 M.
Wilayah Hindu terletak di tengah beberapa pusat
kebudayaan kuno yang telah mencapai peradaban yang cukup
tinggi. Di sebelah barat terdapat Mesopotania, Mesir Kuno,
dan Yunani Kuno. Sedangkan di sebelah timur terletak Cina
Kuno. Letak wilayah ini menyebabkan lalu lintas yang terjadi
di antara pusat-pusat kebudayaan itu melintasi India Kuno,
sehingga dengan demikian banyak kebudayaan luar masuk
kedalamnya dan sebaliknya banyak pula kebudayaan Hindu
yang menyebar keluar. (Naga, 1980)
Sekitar 4000 tahun yang lampau, suku-suku pengembara
dari Asia Tengah masuk ke India dengan melintasi
pegunungan Himalaya, mereka menamakan dirinya sebagai
kaum Arya yang dalam bahasa sansekerta berarti kaum
bangsawan atau tuan tanah. Pengaruh kaum Arya ini secara
berangsur-angsur dapat menguasai seluruh wilayah India.
Dalam 1000 tahun yang pertama, kaum Arya mengajarkan
penduduk asli India membaca dan menulis bahasa sansekerta
serta memperkenalkan sistem kasta. Sedangkan yang
memerintah saat itu adalah nenek moyang orang India dari
golongan ahli bahasa Panini dan guru agama Budha yaitu
Sidharta Gautama. Keadaan ini kemungkinan berlangsung
sampai menjelang masa Sulvasutera (hukum-hukum tali
temali) yang berisi tulisan-tulisan yang berhubungan dengan
keagamaan, serta berhubungan dengan sejarah perkembangan
matematika. Pada masa ini, mereka telah menciptakan
hukum-hukum geometri untuk kerangka tempat-tempat
pemujaan dengan cara merentangkan tali-tali. Selain itu
mereka telah mampu memperlihatkan pendekatan yang
berhubungan dengan bilangan-bilangan Pythagoras.
Pada abad ke VI SM, daratan India diserang oleh tentara
Persia (Persian) di bawah pimpinan Darius. Kemudian pada
tahun 326 SM, Daratan India jatuh pula ke tangan orang-
orang Yunani yang dipimpin oleh Iskandar Zulkarnaen.
Setelah adanya penaklukan tersebut, berdirilah kerajaan
Maurya. Dinasti Maurya telah mampu mengusir kekuasaan
Yunani dan berhasil pula menyatukan kerajaan-kerajaan kecil
yang tersebar di India. Salah satu keturunan dinasti Maurya
yang sangat terkenal adalah raja Asoka (272-232 SM).
Dibuktikan dengan adanya beberapa pilar-pilar batu besar
yang menjulang tinggi di setiap kota penting di India dan
masih berdiri sampai sekarang. (Karso & Susilawati, 2014)
Setelah pemerintahan Asoka, India berkali-kali
mengalami penyerbuan dimana akhirnya diikuti tumbuhnya
Dinasti Gupta di bawah kekuasaan kaisar yang berasal dari
penduduk asli India. Zaman Gupta merupakan abad keemasan
bagi kembalinya sansekerta dan India menjadi pusat pelajaran
seni dan obat-obatan. Pada waktu itu dibangunlah beberapa
kota besar di India, serta bersusulan beberapa universitas.
Sebagai hasil dari kebangkitan kembali kebudayaan
sansakerta ini memulihkan karya-karya ilmu pengetahuan
India yang dikenal dengan Siddhanta.
Banyaknya pengaruh Yunani, Babylonia dan Cina
terhadap Hindu dan sebaliknya masih merupakan persoalan
yang belum dapat diputuskan, tetapi terdapat cukup banyak
bukti bahwa pengaruh itu memang ada. Suatu anggapan yang
dapat menjelaskan ini adalah bahwa terdapat penyebaran ilmu
pengetahuan antara Timur dan Barat dan pada zaman yang
sangat tua. India saling menukarkan duta-dutanya dengan
Negara Barat dan Timur. Sekitar tahun 450 hingga hampir
tahun 1400 India berkali-kali ditaklukkan oleh penakluk-
penakluk asing. Mula-mula datang orang-orang Hun,
kemudian pada abad ke delapan datang orang-orang Arab dan
kemudian orang-orang Persia datang pada abad ke sebelas.
1. Era Sulvasutera
Ada tiga versi dari sulvasutera yang dapat
ditemukan, tetapi yang paling terkenal adalah yang
ditulis oleh Apastamba. Dalam tulisan primitif ini, yang
usianya diperkirakan hampir sama dengan zaman
Pythagoras, ditemukan dalil-dalil untuk melukis suatu
segitiga siku-siku yang sisi-sisinya membentuk triple
Pythagoras, seperti misalnya: 3, 4 dan 5, atau 12, 35 dan
37. Berdasarkan hal ini, bukan mustahil bahwa
sulvasutera dipengaruhi oleh matematika Messopotamia.
Begitu juga nampaknya Apastamba sudah mengenai
dengan baik teorema, bahwa bujur sangkar yang dibuat
pada diagonal suatu persegi panjang adalah sama dengan
jumlah bujur sangkar yang dibuat pada dua sisi yang
berdekatan persegi panjang tersebut. Kemungkinan
teorema ini diperoleh Apestamba dari Messopotamia.
Salah satu dalil yang diberikan Apestamba adalah
dalil yang mirip dengan aljabar geometri dalam buku II
The Element karya Euclid. Yaitu melukis suatu bujur
sangkar yang luasnya sama dengan luas persegi panjang
ABCD yang diketahui (gambar bawah).
Letakan sisi pendek persegi panjang itu pada sisi
panjang sehingga AF = AB = CD. Buat garis HG,
dimana H dan G adalah titik-titik tengah DF dan CE.
Kemudian diperpanjang EF dengan FK, CH dengan HL,
dan BA dengan AM, sehingga FK = HL= FH = AM, dan
kemudian hubungan L, K, dan M. Sekarang dilukis suatu
persegi panjang dengan diagonalnya sama dengan LG
dan sisi pendekatan sama dengan HF. Maka sisi panjang
dari persegi panjang ini adalah sama dengan sisi bujur
sangkar yang diinginkan.
Juga dalam sulvasutera ini terdapat penyelesaian
soal menguadratkan lingkaran, yang apabila dituliskan
dengan notasi sekarang ekivalen dengan:
(2 + 2) 13
= =
3 15
Dimana d adalah diameter lingkaran dan s sisi bujur
sangkar yang luasnya sama dengan luas lingkaran itu.
Disamping itu juga dalam karya Apastamba ini terdapat
pula suatu rumus
1 1 1
2 = 1 + +
3 (3)(4) (3)(4)(34)
Dimana pernyataan ini benar untuk lima decimal.
(Muchtar, 1988)

2. Era Siddhanta
Ada lima versi Siddhanta yang dikenal orang, yakni
Paulisha Siddhanta, Surya Siddhanta, Vasisishta
Siddhanta, Pautanaha Siddhanta, dan Romanka
Siddhanta. Dari kelima Siddhanta ini hanya Surya
Siddhanta, yang ditulis sekitar tahun 400, satu-satunya
Siddhanta yang dapat ditemukan secara lengkap. Surya
Siddhanta (pengetahuan dari matahari) tidak diketahui
siapa penulisnya yang diketahui dari naskah ini hanyalah
bahwa karya ini terasa dari matahari (surya), yaitu Dewa
Matahari Pengetahuan dasar astronomi dalam Siddhanta
nampaknya berasal dari Yunani, bercampur dengan
dongeng-dongeng rakyat Hindu.
Buku Paulisha Siddhanta yang ditulis sekitar tahun
380, kemudian diringkaskan oleh matematikawan Hindu
Varamihira dalam tahun 505. Kemungkinan besar karya
asli Paulisha Siddhanta berasal dari Yunani, atau
sekurang-kurangnya dipengaruhi oleh karya-karya
astronomer Yunani.
Dapat disimpulkan bahwa Siddhanta dituliskan
akhir abad ke IV atau permulaan abad ke V, tetapi belum
ada kesepakatan tentang sumber asli dari ilmu
pengetahuan yang terdapat di dalamnya. Ilmuan Hindu
secara tegas mengatakan bahwa Siddhanta adalah hasil
karya asli bangsa India, namun penulis-penulis Barat
cenderung mengatakan bahwa siddhanta-siddhanta ini
dipengaruhi oleh karya-karya Yunani. Menurut penulis
Barat, bukan tidak mungkin Paullisha Siddhanta berasal
dari karya astrolog Paul dari Alexandria, yang secara
explist juga dibenarkan oleh ilmuan Arab, Al-Biruni.
Juga terdapat kesamaan tentang nilai, yang diberikan
Ptolemy dengan nilai yang diberikan dalam paullisht
Siddhanta, yakni 3 177/1250, atau jika dituliskan dengan
sistem numerasi Yunani adalah 3;8,30.
Walaupun ada kemungkinan bahwa pengetahuan
trigonometri Hindu berasal dari Yunani, namun materi
pembahasannya sudah merupakan bentuk baru. Jika
Ptolemy mendasarkan teoremanya pada hubungan
fungsional antara tali busur lingkaran dengan sudut pusat,
maka penulis Hindu merubahnya menjadi hubungan
antara setengah tali busur lingkaran dengan setengahnya
sudut pusat lingkaran. Jadi dari India lah permulaan
munculnya fungsi trigonometri modern, yakni sinus dari
suatu sudut dan pendahuluan dari fungsi sinus yang
merupakan kontribusi Siddhanta dalam perkembangan
sejarah matematika.
Dari tahun 450 sampai dengan akhir tahun 1400,
India kemudian menjadi arena invasi asing. Yang
pertama kali datang adalah Hant, kemudian diikuti oleh
bangsa Arab pada abad ke VIII, selanjutya disusul oleh
bangsa Persia pada abad ke XI. Selama periode invasi-
invasi asing itu, di India muncul beberapa
matematikawan yang dikenal, diantaranya adalah
Aryabhata, Brahmagupta, Mahavira dan Bhaskara.

3. Aryabhata (475-550)
Selama adab ke VI, tidak lama setelah era tulisan
Siddhanta, muncul dua matematikawan yang keduanya
menulis buku-buku dengan jenis material yang sama,
sehingga sukar untuk membedakan karya kedua mereka
ini. Kedua matematikawan tersebut adalah dua
Aryabhata. Aryabhata yang tua dan Aryabhata yang
muda. Tetapi yang paling menonjol dari kedua Aryabhata
ini dalam sejarah matematika adalah Aryabhata tua, yang
menulis sebuah buku yang berjudul Aryabhatiya, yang
berisi tentang astronomi dan matematika. Posisi karya
Aryabhata ini boleh dikatakan sama dengan posisi the
Element milik Euclid, yang ditulis 800 tahun
sebelumnya. Kedua karya ini, The Element dan
Aryabhatiya, adalah merupakan ringkasan dari hasil
perkembangan matematika yang sudah didapat
sebelumnya, yang masing-masingnya dikumpulkan dan
ditulis oleh satu orang saja. Perbedaan antara kedua
karya ini adalah, Aryabhatiya lebih ringkas dan
sederhana, dimana buku ini hanya berisi 123 bait sajak,
yang berisi mengenai astronomi dan matematika.
Kira-kira sepertiga dari isi Aryabhatiya adalah
mengenai Canitapada (matematika), yaitu dalil-dalil
mengenai mengenal aritmatika, aljabar, dan geometri,
sedangkan sisanya mengenai astronomi. Dalam bidang
geometri nampaknya karya Arybhata tidak sebaik
karyanya dalam bidang aritmatika dan aljabar. Hampir
separuh dari dalil-dalil tentang pengukuran yang terdapat
dalam buku ini adalah salah. Sebagian contoh misalnya,
luas suatu segitiga dinyatakan dengan dalil yang tepat
sekali, yakni setengah perkalian alat dengan tinggi
segitiga itu, tetapi mengenai isi suatu pyramid, Aryabhata
menyetakannya dengan dalil yang tidak benar, yaitu
setengah dari perkalian luas alas dengan tinggi pyramid.
Begitu juga luas lingkaran dinyatakan dalam Aryabhatiya
dengan tepat, yakni perkalian keliling lingkaran dengan
setengah diameter, tetapi sebaliknya isi suatu bola
dinyatakan dengan dalil yang pangkat dua lingkaran
besar itu. Dalam menentukan luas segi empat juga
terdapat dalil-dalil yang tidak benar. Sebagai contoh
misalnya, luas trapesium dinyatakan dengan tinggi
trapesium itu, yang jelas benar. Tetapi luas sembarang
bidang datar dinyatakaan dengan perkalian dua sisinya,
yang jelas dalil ini salah.
Satu pernyataan yang menarik dalam Aryabhatiya
adalah:
Tambahkan 4 dengan 100, kalikan dengan 8, dan
setelah itu ditambah dengan 622.000. hasilnya adalah
kira-kira sama dengan keliling lingkaran dengan
diameter 20.000.
Disini kita lihat bahwa Aryabhata telah memberikan
nilai rr dengan 3, 1416, yang sama dengan nilai rr yang
diberikan oleh Ptolemy beberapa ratus tahun
sebelumnya. Suatu hal yang khas dari Aryabhatiya
adalah terdapatnya teorema-teorema tentang deret
aritmatika (deret hitung), yaitu teorema untuk
menentukan jumlah suku-suku deret aritmatika, dan
teorema untuk menentukan banyaknya suku deret
aritmatika. Apabila diketahui suku awal, selisih antara
dua suku, dan jumlah deret itu. Selanjutnya dalam buku
ini terdapat pula teorema tentang deret geometri yang
sederhana. Karya Aryabhata, Aryabhatiya, sesungguhnya
adalah bunga rampai dari hal-hal yang sangat sederhana
sampai kepada hal yang kompleks, dan dalil-dalil yang
benar-benar eksak disamping dalil-dalil yang kurang
eksak.

4. Brahmagupta
Tidak diketahui dengan pasti kapan Brahmagupta
dilahirkan, begitu juga tahun meninggalnya. Yang dapat
diketahui hanyalah bahwa Brahmagupta lahir di India
Tengah lebih kurang satu abad sesudah Aryabhata, dan
bekerja pada pusat astronomi Ujjain di India Tengah.
Dalam tahun 628 Brahmagupta menulis sebuah buku
yang berjudul Srahas-sphuta-siddhanta (Perbaikan sistem
brahma), suatu karya astronomi yang terdiri dari 21 bab,
dimana dua bab diantaranya, bab 12 dan bab 18,
berhubungan dengan matematika. Dalam satu hal, karya
Brahmagupta ini mirip dengan pendahuluanya.
Aryabhata, dimana dalam buku ini terdapat teorema-
teorema yang salah disampng teorema-teorema yang
benar. Sebagai contoh misalnya Brahmagupta
mengatakan bahwa luas suatu segitiga sama kaki adalah
sama dengan perkalian alas dengan salah satu kaki
segitiga yang sama itu, sedangkan untuk segitiga dengan
panjang alas 14 dan ssi yang lainnya 13 dan 15, maka
luas segitiga itu adalah sama dengan perkalian setengah
alas dengan rata-rata kedua sisi yang lain. Disini
kelihatan bahwa kedua teorema yang diberikan oleh
Brahmagupta tersebut tidak eksak, melainkan hanyalah
sebagai aproksimasi saja. Tetapi disamping teorema yang
tidak eksak itu., terdapat pula teorema-teorema
Brahmagupta yang benar-benar eksak, yaitu teorema
yang memanfaatkan rumus-rumus Archimedes-Heren.
Sebagai contoh misalnya, untuk menentukan jari-jari
lingkaran luar suatu segitiga, Brahmagupta memberikan
rumus yang ekivalen dengan rumus trigonometri yang
kita gunakan sekarang, yakni:

2 = sin =sin =sin

Yang merupakan formulasi kembali dari hasil karya


Ptolemy.
Barangkali hasil karya yang paling menarik dari
Brahmagupta adalah usahanya mengeneralisasikan rumus
Beron untuk menentukan luas segi empat, yaitu:
= ( )( )( )( )
Dimana a, b, c, dan d sisi-sisi segi empat dan s setengah
keliling segi empat itu. Sebenarnya rumus ini hanya
berlaku untuk segi empat lingkaran saja, sedangkan
untuk segi empat sembarang rumusnya adalah:
+
K=( )( )( )( ) 2 2

Dimana A dan c adalah jumlah pasangan sudut-sudut


yang berhadapan.
Kontrabusi Brahmagupta dalam bidang aljabar jauh
lebih tinggi tingkatanya dibandingkan kontribusinya
dalam bidang geometri karena dalam karyanya sudah
ditemukan penyelesaian umum persamaan kuadrat,
termasuk diperolehnya dua akar persamaan kuadrat
dimana salah satunya adalah negatif. Adanya bilangan
negatif dari bilangan nol dalam karya Brahmagupta ini
adalah merupakan karya matematikawan pertama yang
mengemukakan ini. Walaupun bangsa Yunani telah
mengenal konsep nothingness, tetapi mereka tidak
pernah menginterpresentasikannya sebagai bilangan,
sebagaimana yang dilakukan oleh Brahmagupta. Dalam
bukunya ini Brahmagupta mengatakan bahwa :
Positif dibagi positif atau negatif dibagi negatif adalah
affiruatif (sama). Nol dibagi dengan nol adalah nol,
positif dibagi negatif adalah negatif, dan negatif
dibagi positif adalah negatif. Positif atau negatif
dibagi dengan nol adalah pecahan dengan nol sebagai
penyebut.
Tidak seperti halnya bangsa Yunani, bangsa Hindu
menganggap bahwa akar bilangan-bilangan rasional
adalah juga bilangan. Ini adalah merupakan langkah maju
yang disumbangkan matematikawan selalu dalam
perkembangan aljabar untuk sama-sama selanjutnya.
Seperti telah dikatakan sebelumnya, matematika
India bercampur aduk antara dalil yang eksak dengan
dalil yang tidak eksak, tetapi dari bagian yang eksak itu
betul-betul merupakan dalil-dalil yang sangat baik sekali.
Dalam karya Brahmagupta ditemukan beberapa
kontribusi yang sangat besar artinya dalam sejarah
pengembangan matematika. Diantara kontribusi
Brahmagupta tersebut adalah dalil untuk menentukan
tripel Pythagoras, yang dinyatakan (dalam notasi
sekarang) dengan:
1 2 1 2
, ( ) , ( + )
2 2
Walaupun rumus ini nampaknya hanyalah
merupakan modifikasi dari dalil yang sudah dikenal di
Babylonia, yang berkemungkinan Brahmagupta sudah
mengenalnya.
Kontribusi Brahmagupta yang lain dalam geometri
adalah teoremanya tentang diagonal-diagonal suatu segi
empat, dimana Brahmagupta mengatakan bahwa:
Apabila m dan n diagonal-digonal segi empat lingkaran
dengan sisi-sisi a, b, c, dan d maka :

( + )( + )
=
( + )

( + )( + )
=
( + )

Dalam bidang aljabar, Brahmagupta juga mempunyai


kontibusi yang cukup tinggi nilainya dalam sejarah
matematika. Brahmagupta adalah orang yang pertama
sekali memberikan penyelesaian secara
+ =
Dimana a, b, dan c bilangan-bilangan bulat. Untuk
memperoleh penyelesaian secara keseluruhan dari
persamaan ini, maka Faktor Persekutuan Terbesar (FPB)
dari a dan b haruslah pembagi dari 0, Brahmagupta juga
mengetahui bahwa apabila a dan b relatif prima, maka
semua penyelesaian dari persamaan ini dapat dinyatakan
dengan:
= + =
Dimana m adalah sembarang bilangan bulat.
Dalam menyelesaikan persamaan + = ,
Diophatus hanya memberikan satu penyelesaian saja dari
tak terhingga banyaknya kemungkinan penyelesaian,
sedangkan Brahmagupta banyak terdapat contoh soal
yang bersamaan dengan contoh soal yang terdapat contoh
soal yang bersamaan dengan contoh soal yang terdapat
dalam karya Diophantus, yang menunjukan bahwa karya-
karya matematika Yunani mempengaruhi karya
matematika Hindu, atau kemungkinan lain, matematika
(bangsa Hindu dan bangsa Yunani) sama-sama
memperolehnya dari sumber yang sama, yakni dari
bangsa Babylonia.
Seperti halnya aljabar Diophantus, aljabar Hindu
adalah aljabar sinkopasi (syncopated algebra).
Penjumlahan bilangan dinyatakan dengan menulisnya
berjajar, pengurangan dinyatakan dengan titik diatas
pengurangan, perkalian dinyatakan dengan menulis bta
(suku pertama dari perkalian bhavita = perkalian) sejarah
faktor-faktor, pembagian dinyatakan dengan menulis ka
(dari perkataan Karana = irasional) sebelum kuantitas.
Bilangan yang tidak diketahui (variable) dinyatakan
(dari perkataan = sebanyak),
dengan
dan bilangan bulat yang diketahui diberikan awalan r
(dari perkataan rpa = bilangan absolut), sedangkan
bilangan yang tidak diketahui lainnya dinyatakan dengan
menuliskan suku-suku peta dari bermacam-macam
warna, seperti ka (dari perkataan kalaka = hitam). Pi (dari
pitaka = kuning), ha (dari haritaka = hijau), dan lo (dari
lohatika = merah), dan ni (dari nilaka = biru), sebagai
contoh misalnya:

a. 9 + 7xyz 5 dituliskan dengan ru 9 ni 7 bha

rhu 5
b. 8xy + 10 7 dituliskan dengan ya ka 8 bha ka 10
r 7

5. Mahavira ( )
Mahavira berasal dari India bagian selatan dan
mulai di kenal pada tahun 850 Mahesi. Karya Mahavira
dalam metematika adalah tulisannya mengenai
matematika dasar, seperti operasi penjumlahan,
pengurangan, perkalian, pembagian, perpangkatan, dan
operasi penarikan akar. Mahavira juga sudah mengenal
bilangan positif dan bilangan negatif, serta operasi
dengan bilangan nol. Mengenai operasi dengan nol,
Mahavira menuliskannya sebagai berikut:
Sebuah bilangan apabila dikalikan dengan nol akan
menghasilkan nol, dan bilangan itu tidak akan
berubah nilainya apabila ditambah, dikurangi, atau
dibagi dengan nol. (Muchtar, 1988)
Kesalahan yang terdapat dalam tulisan Mahavira ini
adalah bahwa membagi dengan nol dikatakan tidak
merubah bilangan itu sendiri. Tetapi yang paling menarik
dalam karya Mahavira adalah mengenai membagi
bilangan dengan pecahan. Mahavira melakukan
pembagian dengan pecahan dengan cara mengalikan
bilangan yang akan dibagi itu dengan kebalikan pecahan
tersebut. Cara yang dilakukan Mahavira ini belum pernah
dilakukan oleh matematikawan sebelumnya, dan bahkan
sampai abad ke XVI di Eropa orang belum menggunakan
cara yang dilakukan Mahavira. Salah satu soal mengenai
membagi dengan pecahan adalah sebagai berikut:
1
Dari suatu keranjang mangga raja mengambil nya,
6
1
kemudian ratu mengambil dari mangga sisanya.
5

Seterusnya tiga putra raja mengambil masing-masing


1 1 1
, , dan dari sisanya berturut-turut. Sedangkan
4 3 2

putra raja yang bungsu mengambil sisanya yakni tiga


buah mangga. Berapa banyaknya buah mangga yang
terdapat dalam keranjang itu?.
Dengan menggunakan notasi aljabar sekarang,
sebenarnya soal yang diberikan Mahavira tidaklah sukar,
yaitu dengan memisalkan bilangan yang tidak diketahui
1
dengan . Jadi raja akan memperoleh , sehingga
6
5 1 5 1
sisanya , ratu akan mengambil dari = , sisanya
6 5 6 6
4 1 4 1
6
, dan putra pertama akan memperoleh 4
dari 6 = 6
1
dan sisanya 3
begitulah seterusnya, putra yang kedua
1
dan ketiga memperoleh 6
, sehingga mangga yang
1 1
tersisa adalah untuk putra bungsu. Jadi = 3 atau
6 6

= 18

6. Bhaskara
Bhaskara adalah matematikawan Hindu yang
terkemuka pada abad ke XII. Bhaskara dalam karyanya
Vijaya-Ganita membahas tentang soal-soal membagi
dengan nol, yang pada zaman Brahmagupta belum dapat
diselesaikan. Bhaskara dalam karyanya ini mengatakan
bahwa membagi dengan nol akan menghasilkan nilai
tidak terhingga, tetapi dalam hal ini timbul pula keraguan

dari pernyataan Bhaskara, bahwa = .
0

Bhaskara adalah matematikawan terkenal India


terakhir dari zaman pertengahan, dimana karya-karyanya
merupakan titik puncak kontribusi India terhadap
perkembangan metematika. Karya Bhasakara yang paling
terkenal adalah Lilavati (si cantik) yang merupakan
kumpulan soal-soal matematika dari Brahmagupta dan
matematikawan lainnya, dan kemudian menambahnya
dengan soal-soal penemuannya sendiri. Lilavati diambil
dari nama putrinya yang menurut legenda kehilangan
kesempatan yang baik dalam mendapatkan jodoh. Karena
kepercayaan Bhaskara yang kuat terhadap ramalan
astrologinya. Bhaskara memperhitungkan dalam
astrologinya bahwa putrinya Lilavati akan mengalami
masa perkawinan yang bahagia, apabila Lilavati
dikawinkan tepat pada suatu saat tertentu dan pada hari
yang tertentu pula. Pada hari perkawinannya, beberapa
saat sebelum bahagia itu datang, Lilavati bejalan-jalan di
sepanjang pekarangan rumahnya dan kemudian sambil
membungkuk memperhatikan jalan jarum jam air yang
terdapat disitu. Tanpa disadarinya, sebuah mutiara dari
pakaian pengantin Lilavati jatuh ke dalam jam air,
sehingga menutup jalan air pada jam tersebut, yang
mengakibatkan jam itu berhenti bergerak. Ketika orang
menyadari bahwa jam air tidak bergerak lagi ternyata
saat bahagia yang ditunggu-tunggu sudah lewat sehingga
gagallah perkawinan Lilavati. Untuk menghibur hati
putrinya, maka Bhaskara memberi judul bukunya dengan
nama Lilavati.
Lilavati sama halnya dengan karya Bhaskara Vijaya-
Ganita yang berisi banyak soal-soal yang berhubungan
dengan topik-topik yang sangat disenangi oleh orang
Hindu, yakni persamaan linier dan persamaan kuadrat.
Baik dengan akar-akar tertentu maupun yang tidak
tertentu, pengukuran-pengukuran sederhana, aritmatika,
deret, tripel pythagoras, bilangan irasional dan lain-lain.
Dalam Lilavati juga terdapat soal yang sangat terkenal di
Cina yaitu Broken Bamboo (bambu patah) dengan versi
yang sedikit berbeda, yakni:
Apabila sebatang pohon bambu yang tingginya 32
cubit satuan panjang patah diserang badai, dimana
ujung patahan pohon bambu itu mencapai tanah
sejauh 16 cibut dari pangkalnya. Berapa cubitkah
tingginya dari tanah bambu tersebut patah?
Penggunaan teorema pythagoras dalam buku Lilavati
terlihat dari soal berikut:
Seekor burung merak bertengker di atas sebuah pilar,
dimana pada dasar pilar itu terdapat sebuah lubang
sarang ular. Jika burung merak tersebut melihat ular
merayap ke arah sarangnya, yang jaraknya tiga kali
tinggi pilar tadi dari sarangnya, burung merak
menyambar dengan cepat ular itu sebelum mencapai
sarangnya dengan gerakan lurus. Apabila ular dan
burung merak bergerak dengan menempuh jarak yang
sama ketika mereka bertemu, berapakah jaraknya dari
sarang ular tempat pertemuan mereka itu?
Mengenai pengukuran lingkaran dan bola Lilavati gagal
untuk membedakan antara nilai yang benar-benar eksak
dan nilai yang benar-benar aproksimasi. Bhaskara dalam
Lilavati menyatakan luas lingkaran dengan tepat sekali.
Yaitu seperempat keliling lingkaran dikalikan dengan
diameternya. Begitu juga untuk bola dinyatakan dengan
tepat. Yaitu seperempat perkalian luas permukaan bola
dengan diameternya. Tetapi rasio dari keliling lingkaran
22
dengan diameternya dinyatakan Bhaskara dengan 7
.
22
Nilai ini sebenarnya hanyalah merupakan suatu nilai
7

aproksimasi saja, yang memungkinkan tidak disadari


oleh Bhaskara dan matematikawan Hindu lainnya.
Walaupun demikian Bhaskara tidak sependapat dengan
pendahulunya yaitu Brahmagupta mengenai rumus untuk
luas dan diagonal dari suatu segiempat sembarang.
Karena suatu segiempat tidak hanya ditentukan semata-
mata oleh sisi-sisinya. Tetapi Bhaskara tidak menyadari
bahwa rumus ini hanya benar untuk semua segi empat
lingkaran.
Banyak soal-soal dalam Lilavati dan Vijaya Ganita
yang berasal dari karya-karya matematikawan Hindu
sebelumnya. Misalnya persamaan Pell:
2 = 1 +
yang sudah dikemukan oleh Brahmagupta yang
diselesaikan lagi oleh Bhaskara untuk lima kasus yaitu
= 8, 11, 32, 61 dan 67. Untuk persamaan 2 = 1 +

Bhaskara memberikan penyelesaian = 1.776.049 dan


= 22.615.890 dalam karya Bhaskara juga terdapat
banyak contoh-contoh soal dari Phantus.
Karya Bhaskara yang lain adalah Siddhanta
Siromahi (Mahkota Sistem Astronomi) yang ditulisnya
pada tahun 1199. Karya Bhaskara ini nampaknya jauh
lebih maju dari karya Brahmagupta yang ditulisnya lebih
dari lima ratus tahun sebelum zaman Bhaskara.
Bhaskara meninggal dunia pada tahun 1135, dan
setelah meninggalnya Bhaskara walaupun terdapat
beberapa matematikawan Hindu tetapi tidak pernah
mempunyai reputasi yang menonjol seperti halnya
Brahmagupta dan Bhaskara. Salah seorang dari
matematikawan yang muncul setelah Bhaskara adalah
Srinivasa Ramanujan seorang jenius Hindu pada abad
XX terutama dalam aljabar dan aritmatika. Ramanujan
dilahirkan pada tahun 1887 dan meninggal pada tahun
1920. Yang mengesankan dari Ramanujan adalah tentang
kecepatan daya pikirnya. Menurut cerita, pada suatu hari
seorang matematikawan Inggris C.H Hardy mengunjungi
Ramanujan yang sedang di rawat di rumah sakit Puney.
Hardy mengatakan kepada Ramanujan bahwa dia datang
ke rumah sakit itu dengan menaiki taksi yang bernomor
1729. Tanpa pikir panjang Ramanujan mengatakan
bahwa nomor taksi itu adalah nomor yang menarik
sekali, karena 1729 merupakan bilangan terkecil yang
dapat dinyatakan oleh dua bilangan berpangkat tiga
dengan dua cara yaitu:
13 + 123 = 1729
93 + 103 = 1729

Perkembangan Sistem Numerasi dan trigonometri Hindu


Kontribusi Hindu yang paling menonjol dalam sejarah
matematika adalah penemuan sistem numerasi Hindu yang
merupakan cikal bakal dari sistem numerasi Hindu-Arab yang
digunakan sekarang, dan memperkenalkan tabel fungsi sinus
dalam trigonometri, menggantikan tabel tali busur Yunani.
Perkembangan notasi numerasi Hindu sudah dimulai
semenjak zaman Mahenjo Daro, yang semula berbentuk
tongkat yang disusun dalam kelompok-kelompok. Pada
zaman Asoka, abad ketiga sebelum Masehi mereka
menggunakan suatu sistem numerasi yang hampir mirip
dengan sistem numerasi Attic (Herodianic) Yunani. Dalam
sistem numerasi ini walaupun masih menggunakan sifat
pengulangan tetapi telah menemukan lambang-lambang untuk
empat, sepuluh, dua puluh, dan seratus. Sistem numerasi ini
berangsur-angsur dikembangkan, sehingga dikenal bilangan
Brahmi, bilangan gupta, dan bilangan Nagari.
1. Bilangan Brahmi
Bilangan Brahmi hanya mempunyai sembilan lambang
pokok saja, yaitu bilangan satu sampai Sembilan.
Sedangkan untuk lambang bilangan nol belum
ditemukan.

Gambar Bilangan Brahmi (Dimasadi, 2014)


2. Bilangan Gupta
Bilangan Gupta dibangun dari bilangan Brahmi, yang
kemudian bilangan Gupta berkembang menjadi bilangan
nagari.

Gambar Bilangan Gupta (Dimasadi, 2014)


3. Bilangan Nagari
Bilangan nagari sering disebut juga bilangan Devanagari.
Bilangan ini banyak dikirim ke dunia Arab dan sudah
menyebar di Eropa pada akhir abad 5 M.

Gambar Bilangan Nagari (Dimasadi, 2014)


Sistem Numerasi Hindu inilah yang menjadi cikal bakal
dari sistem numerasi Hindu-Arab yang sampai saat ini masih
banyak digunakan dalam berbagai bidang kehidupan, baik
dalam bidang non ilmiah maupun bidang ilmiah.
Karakteristik dari sistem numerasi Hindu-Arab antara lain
adalah:
a. Lambang bilangan dasar hanya ada sepuluh buah
b. Cara penulisannya dari kiri ke kanan
c. Pengelompokkan bilangan yang digunakan adalah basis
sepuluh (sistem desimal)
d. Untuk menyatakan bilangan yang lebih besar daripada 9
dituliskan dengan cara menggabungkan angka-angka
dasar tersebut.
Efisiensi sistem numerasi Hindu-Arab terletak pada
aturan penulisan yang digunakan, yaitu menggunakan sistem
posisi atau sistem nilai tempat. Dengan aturan ini nilai suatu
angka dasar berbeda satu sama lain, tergantung pada letaknya.
(Karso, Materi Pokok Pendidikan Matematika 4, 1999)
Menurut ahli sejarah Jerman H.Hankel orang-orang
Hindu biasanya menulis di atas papan tulis kecil (sekitar 30
cm x 30 cm) dengan menggunakan tongkat rotan sebagai pena
dan mencelupkannya pada sejenis cat putih yang mudah
dihapus. (Muchtar, 1988)
Dalam operasi penjumlahan dan perkalian, bangsa Hindu
melakukannya seperti yang kita lakukan sekarang. Hanya saja
pada operasi penjumlahan mereka melakukannya dari kiri ke
kanan bukan dari kanan ke kiri.
Dalam melakukan penjumlahan, misalnya 345 dengan
488 mereka melakukannya dengan cara:
1. Letakkan bilangan yang paling kecil di atas bilangan
yang besar (bisa sebaliknya)
2. Jumlahkan 3 dengan 4, hasilnya 7 kemudian tulislah 7 di
atas 3 (kolom paling kiri)
3. Jumlahkan 8 dengan 4, hasilnya 12 kemudian coretlah 7
dan tuliskan 8 diatasnya, sedangkan 2 ditulis di atas 4.
4. Jumlahkan 5 dengan 8, hasilnya 13 kemudian coretlah 2
dan tulis di atasnya, tuliskan pula 3 di atas 5
5. Maka hasil penjumlahan dari 345 dan 488 adalah 833

Dalam karya Bhaskara yaitu Lilavati ditemukan metode


lain tentang penjumlahan. Misalnya 345 dan 488, dilakukan
dengan cara:
1. Jumlahkan satuan 5+8= 13
2. Jumlahkan puluhan 4+8= 12.
3. Jumlahkan ratusan 3+4= 7..
4. Jumlah keseluruhan 5+8= 833
Dalam operasi perkalian digunakan bermacam-macam
metode untuk jenis perkalian yang sederhana. Misalnya 569
dikalikan dengan 5. Caranya adalah sebagai berikut:
1. Tuliskan 569 dan 5 pada satu baris yang sama
2. Kalikan 5 dengan 5, hasilnya 25 kemudian tuliskan di
atas 569
3. Kemudian 5 dengan 6, hasilnya 30 kemudian ganti angka
5 dari 25 dengan 6 diikuti dengan 0
4. Kalikan 5 dengan 9, hasilnya 45 kemudian diganti
dengan 4 diikuti dengan 5
5. Jadi hasilnya 2845

Bentuk perkaian yang sedikit sukar seperti misalnya 135


dikalikan dengan 12 kemungkinan diselesaikan dengan
mengalikan terlebih dahulu 132 dengan 4 hasilnya 540 dan
kemudian 540 dengan 3 hasilnya 1620, atau dengan
menjumlahkan hasil perkalian 135 dengan 10 dan 135 dengan
2, yakni 1350 + 270 = 1620. Kemungkinan lain adalah
perkalian ini dilakukan dengan cara sebagai betikut:
1. Letakkan bilangan yang kecil di atas bilangan yang
besar.
2. Kalikan 135 dengan 1, hasilnya 135 kemudian tulis 135
di atas 12.
3. Kalikan 2 dengan 1, hasilnya 2 maka ganti 3 dengan 5.
4. Kalikan 2 dengan 3, hasilnya 6 maka diganti dua angkat
5 dengan 6 dan 1, maka dipeoleh 61.
5. Kalikan 2 dengan 5, hasilnya 10 maka 1 diganti dengan
2, kemudian diikuti dengan 0.
6. Hasilnya 1620

Metode perkalian lain adalah metode yang juga sudah


dikenal oleh bangsa Arab, yang kemungkinan diambil oleh
bangsa Arab dari bangsa Hindu. Metode ini mempunyai
banyak sekali nama seperti perkalian kisi-kisi, perkalian
gelosia, perkalian cell, atau perkalian segiempat. Sebagai
contoh pemakaian metode ini misalkan kita ingin mencari
hasil perkalian 135 dengan 12 maka dilakukan cara sebagai
berikut:
1. Tuliskan angka 135 disebelah atas kisi-kisi dan angka 12
di sebelah kanannya, dengan angka 1 ditulis di atas angka
2.
2. Lakukan perkalian secara bertutur-turut 1 5 = 5,
1 3 = 3 dan 1 1 = 1
3. Tuliskan hasilnya pada kisi-kisi
4. Dengan cara yang sama 2 dikalikan dengan 135.
5. Pada kisi-kisi lakukan penjumlahan secara diagonal
dimulai dari sebelah kanan bergerak ke sebelah kiri
sehingga diperoleh 1620.

Tidak diketahui secara pasti kapan perkalian dengan


metode kisi-kisi ini muncul untuk pertama kali, kemungkinan
metode ini sudah mulai digunakan oleh bangsa Hindu
sekurang-kurangnya semenjak abad ke XII, kemudian dari
India di bawa ke Cina dan Arab. Dari Arab lah metode ini di
bawa ke Italia dan mulai berkembang pada abad XIV.
Karena hampir semua alat aritmatika Arab berasal dari
India, yang kemudian di teruskan ke Eropa oleh bangsa Arab,
maka metode membagi dengan cara panjang yang di kenal
dengan nama metode percoretan atau metoda perahu (galley ),
kemungkinan sekali berasal dari India, sebagai contoh
penggunaan metode galley ini, misalnya membagi 44.977
dengan 382 dilakukan sebagai berikut:

Pada gambar di atas terlihat dua cara penyelesaian


pembagian, yaitu dengan menggunakan metode sekarang
(kiri) dan dengan menggunakan metoda galley (kanan).
Kedua metode ini nampaknya hampir bersamaan,
perbedaanya hanyalah terletak pada penempatan hasil bagi
dan sisanya.
Dari contoh-contoh di atas, terlihat bahwa perkembangan
algoritma untuk operasi-operasi aritmatika elementer yang
kita gunakan sekarang sudah di mulai di India sekitar abad ke
X atau ke XI, kemudian berkembang di Arab, dan selanjutnya
di bawa ke Eropa, dimana metode ini kemudian dilakukan
modifikasi sehingga menjadi bentuk sekarang ini.
Kontribusi kedua dari bangsa Hindu terhadap
perkembangan matematika adalah memperkenalkan tabel-
tabel yang ekuivalen dengan tabel fungsi sinus untuk
trigonometri, menggantikan tabel tali busur Yunani. Tabel
pertama dari relasi sinus yang dapat di selamatkan adalah
yang terdapat dalam Siddhanta dan Aryabhatiya. Dalam tabel
Hindu ini, sinus dari sudut sampai dengan 90 di berikan
dalam 24 interval yang sama, dimana setiap intervalnya 3
3/4. Untuk menyatakan panjang busur dan panjang sinus
dengan unit yang sama maka jari-jari lingkaran di ambil 3438
unit dan keliling lingkaran 360 60 = 21.600 .
untuk sinus 3 3/4 Siddhanta dan Aryabhatiya mengambil
sejumlah unit-unit dalam busur lingkaran, yaitu 603
3/4=225. Dalam bahasa sekarang, sinus dari suatu sudut yang
kecil adalah mendekati sama dengan radia dari sudut itu.
untuk menentukan sinus sudut-sudut lainnya, digunakan
rumus yang dapat dinyatakan sebagai berikut:
Apabila sinus ke n dalam banjar dari n=1 sampai n=24
dinyatakan dengan dan apabila jumlah dari sinus-sinus

pertama dijumlahkan dengan maka +1 = +1 .
1

Dari rumus ini dapat diperoleh:


1
sin 7 = 499
2
1
sin 11 = 671
4
sin 15 = 890
.
.
sin 90 = 3438
Tabel nilai-nilai sinus ini terdapat baik dalam Siddhanta
maupun Aryabatiya. Dalam tabel ini juga ditemukan tabel-
tabel untuk 1 yang dalam trigonometri Hindu
dituliskan dengan 3438(1 )
Daftar Pustaka

Dimasadi, N. (2014, April 11). Retrieved Oktober 28, 2017,


from
https://nugrohodimasadi.wordpress.com/2014/04/11/i
ndian-numeral/

Karso. (1999). Materi Pokok Pendidikan Matematika 4.


Jakarta: Universitas Terbuka.

Karso, & Susilawati, W. (2014). Sejarah Matematika.


Bandung: Fakultas Tarbiyah dan Keguruan.

Muchtar. (1988). Sejarah Matematika. Padang: Badan


Penerbit Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam.

Naga, D. S. (1980). Berhitung: Sejarah dan


Pengembangannya. Jakarta: PT Gramedia.

Salam, B. (2012). Pengantar Filsafat. Jakarta: Bumi Aksara.

Anda mungkin juga menyukai