Anda di halaman 1dari 49

PERTEMUAN, OL 3

METAFISKA PADA FASE KEHIDUPAN MANUSIA.

A. METAFISIKA DALAM PRESFEKTIF ALQURAN

Alquran adalah firman Allah yang di turunkan kepada Nabi Muhammad SAW
melalui perantara Malaikat Jibril. Hal ini merupakan suatu hal yang bersifat metafisik, karena
Jibril yang tak dapat dilihat, akan tetapi dalam proses penyerahan wahyu tersebut Jibril
mengadakan pertemuan langsung dengan Nabi Muhammad. Proses terjadinya penyampaian
wahyu tersebut tak dapat dipungkiri oleh seluruh para Ulama dan cendikiawan muslim bahwa
proses tersebut adalah merupakan pertemuan antara manusia dengan malaikat. Pertemuan
manusia yaitu Nabi Muhammad dengan Malaikat Jibril, yang merupakan makhluk gaib atau
metafisika yang mana malaikat menjadi bisa terlihat oleh manusia tentunya dalam keyakinan
umat Islam hal ini merupakan kehendak Tuhan.

Alquran adalah sumber hukum utama dengan “The Quran Is a book which
emphazhise deed rather than idea (Alquran adalah kitab yang lebih mengutamakan amal
daripada cita-cita). Namun sebagian ulama berpendapat bahwa Alquran bukanlah undang-
undang, Alquran merupakan yang dapat berkembang sesuai dengan perubahan dan
perkembangan zaman.

Tujuan utama Alquran adalah membangkitkan kesadaran manusia yang lebih tinggi
dalam hubungan manusia dengan Tuhan dan alam semesta. Alquran tidak memuat makna
secara detail maka manusialah yang dituntut untuk mengembangkannya. Dalam istilah fiqh
hal ini disebut ijtihad. Ijtihad dalam pandangan beberapa filosof adalah sebagai prinsip gerak
dalam struktur Islam. Di samping itu, Alquran memandang bahwa kehidupan adalah satu
proses cipta yang kreatif dan progresif. Oleh karenanya, walaupun Alquran tidak melarang
untuk menyeimbangkan karya besar ulama terdahulu, namun masyarakat harus berani
mencari rumusan baru secara kreatif dan inovatif untuk menyelesaikan persoalan yang
mereka hadapi.

Jangan sampai akibat pemahaman yang kaku terhadap ulama terdahulu, terutama
terhadap kekeliruan anggapan sebagian umat yang kurang memahami hal yang metafisika,
maka ketika masyarakat mengungkapkan tentang hal yang metafisika di dalam Alquran,
masih banyak umat Islam tetap berjalan di tempat dan menolaknya.
Satu segi mengenai Alquran yang patut dicatat adalah bahwa ia sangat menekankan
pada aspek Hakikat yang bisa diamati. Tujuan Alquran dalam pengamatan reflektif atas alam
ini adalah untuk membangkitkan kesadaran pada manusia tentang alam yang dipandang
sebagai sebuah simbol. Hal-hal yang menyangkut metafisika ini banyak terjadi pada sejarah
Nabi-Nabi, namun sebagian besar umat Islam hanya menganggap bahwa itu merupakan
mukjizat para Nabi saja, tanpa mau mempelajarinya, menganalisisnya, hingga diperoleh suatu
pendekatan yang dapat diambil menjadi keilmuannya.

Di dalam Alquran terdapat beberapa ayat yang menyatakan sejarah kehidupan para
Nabi dan Rasul yang mengungkapkan tentang hal yang metafisika, diantaranya dari kisah
Nabi Musa A.S sewaktu berhadapan dengan Fir’aun seperti dalam Firman Tuhan: Q.S. Al-
A’raf/ 7: 118,
Artinya:“Dan kami wahyukan kepada Musa lemparkanlah tongkatmu, maka tiba-tiba ia
menelan habis segala kepalsuan mereka”.
Dan Firman Tuhan, Q.S. Al-A’raf/ 7: 118
Artinya: “Maka terbuktilah kebenaran, dan segala. yang mereka kerjakan jadi sia-sia”.
Serta dalam surat Asy-syu’ara/ 26: 45
Artinya:“Kemudian Musa melemparkan tongkatnya maka tiba-tiba ia menelan benda-benda
palsu yang mereka ada-adakan itu ” yat ini bernuansakan fanomena metafisika dimana
kehidupan manusia di zaman Fir’aun yang penuh dengan mistik tak berdaya dengan unsur
metafisika yang datangnya dari Allah yang diberikannya pada nabi Musa. Namun fanomena
metafisika ini kurang menjadi perhatian para ulama dan sainstis untuk menelitinya, fanomena
ini lewat bagaikan cerita begitu saja tanpa dikembangkan, diuraikan dan ditelaah untuk
kepentingan yang lebih besar lagi, yakni, membawa manusia kepada kebesaran Tuhannya
dalam meningkatkan imannya menjadi taqwa.
Demikian juga perspektif Tentang Al-Hadis Sejak dulu Hadis memang selalu menjadi
bahan yang menarik untuk dikaji. Baik umat Islam maupun kalangan orientalis. Tentu saja
maksud dan titik berangkat dari kajian tersebut berbeda pula. Umat Islam didasarkan pada
rasa tanggung jawab yang begitu besar terhadap ajaran agama. Sedangkan orientalis
mengkajinya hanya untuk kepentingan ilmiah. Bahkan terkadang hanya untuk mencari
kelemahan ajaran agama itu lewat ajaran agama itu sendiri. Oleh sebab itu umat beragama
perlu melakukan studi mendalam terhadap kitab sucinya, literatur hadis dengan berpedoman
langsung kepada Nabi sendiri selaku orang yang mempunyai otoritas untuk menafsirkan
wahyunya.
Hal ini sangat besar faedahnya dalam memahami nilai-nilai hidup dari prinsip-prinsip
hukum Islam sebagaimana yang dikemukakan Alquran. Pendapat Ulama tentang Hadis, yaitu
cara Nabi dalam menyampaikan dakwahnya dengan memperhatikan kebiasaan, cara-cara dan
keganjilan yang dihadapinya ketika itu.

Selain itu juga para ulama mengajak untuk mencontoh cara Nabi sangat
memperhatikan sekali adat istiadat penduduk setempat. Dalam penyampaiannya Nabi lebih
menekankan pada prinsip-prinsip dasar kehidupan sosial bagi seluruh umat manusia, tanpa
terkait oleh ruang dan waktu.

Jadi peraturan-peraturan tersebut khusus untuk umat yang dihadapi Nabi. Untuk
generasi selanjutnya, pelaksanaannya mengacu pada prinsip kemaslahatan, dari pandangan
seorang filosof seperti Iqbal menganggap wajar saja kalau Abu Hanifah lebih banyak
mempergunakan konsep istihsan dari pada Hadis yang masih meragukan kualitasnya.

Ini bukan berarti Hadis-Hadis pada zamannya belum dikumpulkan, karena


Abu Malik dan Az-Zuhri telah membuat koleksi Hadis tiga puluh tahun sebelum Abu
Hanifah wafat. Sikap ini diambil Abu Hanifah karena Ia memandang tujuan-tujuan universal
Hadis daripada koleksi belaka. Metafisika yang dikenal sekarang adalah metafisika teologi
yang selalu berupaya merealistiskan semua perihal yang gaib. Sehingga ilmu metafisika ini
bukan bagian fisika yang ilmiah dan bukan pula bagian ajaran ketuhanan yang benar.
Beberapa ilmuwan Barat sendiri menolak keberadaan metafisika. Ilmu metafisika adalah ilmu
yang melebihi fisika. Berbeda dari pengertian ilmu metafisika dalam khasanah western
science, falsafah metafisika Islam adalah ilmu filsafat yang dilanjutkan atau diintegritaskan
sehingga masuk ke dalam ilmu metafisika. Berkaitan dengan konsepsi keagamaan maka
dengan ilmu metafisika akan terungkap apa itu agama secara lebih komprehenshif.

Dengan ilmu metafisika jelas bahwa agama tidak lain berdiri dari hukum-hukum yang
secara konseptual nyata seperti juga alam jagad raya yang tidak lain terdiri dari hukum-
hukum fisika, kimia dan biologi. Hanya saja martabat dan dimensi hukum-hukum agama itu
lebih tinggi dan bersifat hakiki, obsalut serta jika dilihat secara ilmiah nampaklah sangat
sempurna alam ini. Tujuan pembahasan metafisika adalah membangun suatu sistem alam
semesta yang dapat memadukan ajaran agama dengan tuntutan akal.
Dengan penjelasan yang mudah masuk akal bersifat falsafis metafisis logis maka
ajaran-ajaran agama dapat diterangkan secara logis sehingga keimanan semakin meningkat.
Tanpa penjelasan yang falsafi metafisis logis maka ajaran agama menjadi dogma. Tanpa
penjelasan yang logis falsafah dan metafisis, maka ajaran agama juga sekeddar pil yang harus
di telan sehingga tidak akan dapat dihayati maksud lain tujuan ilmiah umat beragama.
Dengan metafisika ilmiah ini maka kita bisa melihat bahwa tanpa adanya agama maka
manusia tidak mungkin peraya kepada Tuhan.
Menurut Al-Attas (2010), masalah kekeliruan ilmu merupakan masalah yang paling
mendasar dalam kehidupan masyarakat modern di era globalisasi saat ini. Kekeliruan ini
disebabkan masuknya faham sekuler yang dibawa oleh peradaban barat ke dalam ilmu
kontenporer khususnya dalam bidang pendidikan. Akibatnya dari kekeliruan ilmu adalah
munculnya tindakan manusia yang keliru sehingga menghilangkan kemampuan manusia
untuk melakukan tindakan yang benar (loss of akhlak or adab). Tindakan ini akan
memberikan kesengsaraan bagi manusia sendiri. Hal ini dibuktikan dengan semakin
berkembang sains dan tekhnologi di era ini, manusia bukan meraih kebahagiaan melainkan
merasakan keresahan dari kekeringan jiwa serta kerusakan alam yang semakin menjadi-jadi.
Kerusakan lingkungan, wabah penyakit, bencana alam, deradasi moral, kriminalitas dan
peperangan erus menerus terjadi.

Berbeda dengan paham sekuler, semua konsep Islam dibangun dalam kaitanya dengan
Tuhan. Oleh karena itu semua urusan di dalam Islam adalah religius. Demikian
juga pandangan Islam mengenai alam. Di dalam Islam, alam bukan sekedar materi tanpa
makna, melainkan tanpa (ayat) tanpa kehadiran dan kebesaran Allah. Oleh karena itu ketika
seseorang meneliti dan mempelajari fisika bearti ia sedang berusaha mengenal Tuhanya. Hal
ini ditegaskan dalam Firman Tuhan Q, S. Ali-Imran/ 3191 yang artinya:

”(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam
keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci
Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.
Ayat ini menegaskan bahwa kegiatan ibadah (mengingat Allah) berjalan bersamaan
dengan kegiatan penelitian alam (memikirkan penciptaan langit dan bumi). Sedangkan ujung
dari kedua kegiatan ini adalah mengenal semakin dekat dan mengenal Allah Pada titik inilah
fisika dan metafisika merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahka (tauhid). Oleh karena itu
dalam Islam tidak dikenal istilah “fisika untuk fisika”, artinya penelitian fisika bukanlah
untuk sekedar kesenangan memecahkan misteri alam. Sebabnya di sepanjang sejarah Islam
tidak mengenal ada ilmuan Muslim yang menjadi anti Tuhan setelah menguasai ilmu fisika,
atau ilmu apapun, karena landasan mempelajarinya berangkat dari keimanan dan pengabdian
kepada Tuhan.

Di dalam negara yang mayoritas Muslim seperti Indonesia walaupun tidak sampai
meragukan Tuhan, umumnya ilmuwan Muslim kurang menguasai ilmu agama yang
bernuansakan metafisika. Sekularisme telah menyebabkan timbulnya kepribadian ganda
(split personality) dalam diri ilmuan tersebut. Hal ini karena visi sekuler selalu memandang
realitas secara dikotomis. Menurut mereka sains adalah sains, agama adalah agama.
Keduanya tidak berkaitan, sehingga wahyu tidak ada hubunganya dengan sains yang
rasioanal dan empiris metafisika.

Tujuan metafisika adalah penemuan kebenaran. Kebenaran tidak seharusnya berubah-


ubah, karena jika demikian tak lagi dapat disebut kebenaran. Tetapi hanya dugaan. Karena
metafisika yang bertujuan menemukan kebenaran terumuskan dengan memadai, tugas
berikutnya bukanlah mencari kebenaran, namun mempertahankanya. Tantangannya adalah
dalam soal pengungkapan metafisika itu dalam bahasa zaman yang terus berkembang serta
peradaban faham budaya yang masuk secara integral, baik soal masa maupun tempat. Ia
melihat, metafisika ini berlaku universal di seluruh masyarakat Muslim, pada kenyataanya
memang telah tersebar ke seluruh wilayah dunia Islam.

Dengan demikian, metafisika dalam presfektif Alquran secara hakiki merupakan


transisi dalam ilmu fisika dan metafisika yang bertujuan untuk mencari kebenaran hakiki.
Metafisika adalah ilmu yang melebihi ilmu fisika, metafisika berorientasi kepada tingkat
ketuhanan dan berintegrasi kepada hal-hal yang bersifat keagamaan.

B. METAFISIKA DARI BERBAGAI ILMU


Metafisika berusaha memfokuskan diri pada prinsip-prinsip dasar yang terletak pada
berbagai pertanyaan atau yang di asumsikan melalui berbagai pendekatan intelektual dan
ilmu pengetahuan. Namun metafisika tidak dapat dikatakan sebagai ilmu, manakala yang
dimaksud dengan ilmu itu sendiri adalah sesuatu yang bersifat pasti (fixed and final). Akan
tetapi metafisika itu dapat dikatakan sebuah ilmu, manakala yang dimaksud dengan ilmu itu
adalah suatu penyelidikan yang dikaitkan dengan sikap dan metode tertentu terhadap
Alquran.

Manusia tidak mampu memahami secara utuh dan integral maksud-maksud yang
dikandung Alquran. Pandangan ini akhirnya melahirkan penafsiran secara harfiah dan
atomistis (parsial) terhadap Alquran. Bahkan ada sebagian ulama yang memahaminya secara
lateral dan tekstual, tanpa melihat maqàsidal-syarî’ah dari ayat-ayat tersebut. Akibatnya,
umat Islam tidak mampu menjabarkan dengan baik pesan-pesan yang dikandung Alquran.

Untuk kedudukan metafisika sebagai ilmu pengetahuan yang alamiah, penelitian


harus memenuhi beberapa kriteria yang telah dikembangkan oleh masyarakat ilmuwan sosial.
kriteria-kriteria atau ciri-ciri ini saling terkait menjadi ciri yang dapat membedakan riset
ilmuan dari berpikir dengan akal sehat (common sense) atau metode-metode penelitian
spekulatif yang bersifat teoretis saja. Oleh karena itu riset ilmiah harus bersifat empiris.

Umumnya umat beragama di Indonesia mulai disuguhkan perubahan-perubahan


dahsyat yang pasti mempengaruhi manusia pasca modern ke arah ultra-modern atau neo-
modern. Sains dan teknologi menjadi salah satu media perubahan tersebut yang dapat dilihat
secara nyata. Komputerisasi menjadi trend global yang tidak dapat dihindari. Agen-agen
sosialisasi, seperti orang tua, guru atau pemimpin agama, akan digeser komputerisasi dan
dapat membentuk keluarga baru yang dihubungkan secara elektronis. Di dunia kontemporer
ini manusia masih mengalami masalah yang relatif sama namun pada skala yang berbeda.
Yaitu sikap jumud dan derasnya penjajahan Barat yang dalam hal ini diwakili oleh
westernisasi, dan umat beragama di Indonesia adalah salah satu negara yang terkena
imbasnya.

Manusia dalam perspektif metafisika merupakan objek sekaligus subjek kajian utama.
Manusia menjadi pusat atau sentral pembahasannya, sehingga menjadi kajian yang
dikembangkan dalam Filsafat Manusia (anthropological philosophy). Persoalan metafisika
merupakan persoalan yang amat rumit, karena berhubungan dengan persoalan yang meta-
rasional dan meta-empiris, sehingga banyak orang menilai sebagai persoalan-persoalan
kebatinan. Lebih dari itu, metafisika ada kalanya sering diidentikkan dengan paranormal,
dukun maupun orang yang mempunyai kemampuan ekstra sensorik. Dari hal tersebut, maka
muncullah pertanyaan Apakah metafisika identik dengan paranormal atau extra sensoric
perception (ESP) yang selalu membicarakan hal-hal yang bersifat meta-empiris dan irasional?

Metafisika sering disebut disiplin yang meminta tingkat abstraksi yang sangat tinggi
karena tujuan kajiannya adalah karakteristik realitas yang seumum-umumnya. Tidak heran
kalau banyak orang menyebut metafisika sebagai disiplin filsafat yang terumit dan
membutuhkan energi intelektual cukup besar untuk mendalaminya. Metafisika mendapatkan
tempat yang tertinggi di antara disiplin ESP yang merupakan suatu kekuatan dan kemampuan
luar biasa dari seseorang dalam melihat sesuatu yang non-fisik seperti seseorang yang mampu
melihat makhluk halus. ESP ini biasa sering dimiliki oleh orang-orang paranormal. lainnya
karena beberapa hal:

Pertama, karena objek-objeknya lebih mendalam, stabil dan mendasar dibanding


objek-objek disiplin lain. Kedua, karena keniscayaan absolut artikulasi proposisi-
proposisinya, keniscayaan tersebut didapat dari fakta bahwa tidak satu pun proposisi yang
tergantung pada data-data indriawi melainkan pemahaman rasio. Ketiga, ketidaktergantungan
metafisika pada data-data indriawi menempatkan metafisika sebagai satu-satunya disiplin
yang mengungkapkan kebenaran fundamental.

Metafisika selalu berupaya menentukan apa yang esensial dengan menanggalkan hal-
hal yang non-esensial, sedangkan jiwa atau diri adalah suatu realitas yang benar-benar nyata.
Filsuf pertama yang mulai menyibukkan diri dengan realitas sebagaimana adanya/realitas
nyata adalah Thales (580 SM). Dia mengklaim bahwa sumber segala sesuatu adalah air, tanah
mengapung di atas air dan segala sesuatu di atasnya dibuat dari air. Walaupun Aristoteles
menyebut teorinya “kekanak-kanakkan”, namun kontribusinya terhadap perkembangan
intelektual Barat sangatlah besar.

C. METAFISIKA DALAM PANDANGAN AGAMA DAN SAINS


Ilmiah sekarang mulai menjamah bidang-bidang batas keilmuan antara ilmiah filsafat
dan agama dan pada umumnya ilmiah mulai kelihatan gagal dalam misionnya. Ilmu filosofis
tertinggi adalah metafisika karena materi subyeknya berupa wujud non fisik mutlak yang
menduduki peringkat tertinggi dalam hierarki wujud.

Adanya kenyataan trans-empiris, yang begitu mempengaruhi dan menentukan, tetapi


sekaligus membentuk dan menjadi dasar tingkah-laku manusia. Yang quddus itu
dikonsepsikan sedemikian rupa sebagai Mysterium Tremendum et Fascinosum; kepada-Nya
manusia hanya beriman, yang dapat diamati (oleh seorang pengamat) dalam perilaku hidup
yang penuh dengan sikap "takut-dan-taqwa", pemikiran menuju pembentukan infrastruktur
rasional bagi ajaran agama. Dalam kajian metafisika agama dan khususnya Islam, salah satu
tujuannya adalah untuk menegakkan bangunan fondasi teologis dan tauhid secara benar.
Karena tauhid merupakan dasar dari ajaran Islam. Prof. Dr. Kadirun Yahya mengatakan
“Belief in God is no longer mere a Belief , but it has become a science of the highest
dimension”.
Kepercayaan pada Tuhan , bukan lagi merupakan kepercayaan se mata –mata , tetapi
kepercayaan telah bertukar ujud menjadi Ilmiah yang setinggi –tinggi di mensinya.
Kekokohan konsepsi metafisika yang dimaksudkan untuk menjawab tantangan pendapat para
pendukung materialisme -khususnya positifisme- yang mengingkari eksistensi immateri dan
supra-natural, yang kedua hal tersebut adalah saripati dan hekekat substansi nilai keagamaan.
Disinilah setiap pemikir agama harus melakukan -minimal- menjawab dua hal pokok yang
menjadi tantangan kelompok meterialistik yang tidak meyakini hal-hal yang
supraindrawi,immateri dan;
Pertama: pemikir agama harus mampu membuktikan keterbatasan indera manusia
dalam melakukan eksperimen dan menyingkap segala eksistensi materi alam semesta. Kedua:
Membuktikan keberadaan hal-hal yang bersifat non-inderawi, namun memiliki eksistensi riil
dalam kehidupan di alam kosmologi yang luas ini.

Metafisika, berbeda dengan kajian-kajian tentang wujud partikulir yang ada pada
alam semesta. biologi mempelajari wujud dari organisme ber nyawa, geologi mempelajari
wujud bumi, astronomi mempelajari wujud bintang-bintang, fisika mempelajari wujud
perubahan pergerakan dan perkembangan alam. Tetapi metafisika agama mempelajari sifat-
sifat yang dimiliki bersama oleh semua wujud ini yang dipandu oleh dimensi keilahiaan
untuk menemukan kebenaran hakiki atas religiusitasnya.

Kajian tentang metafisika dapat dikatakan sebagai suatu usaha sistematis, refleksi
dalam mencari hal yang berada di belakang fisik dan partikular. Itu berarti usaha mencari
prinsip dasar yang mencakup semua hal dan bersifat universal.Yakni sebagai hal
“penyelidikan tentang Tuhan bisa juga dikatakan sebagai “penyelidikan tentang dunia ilahi
yang transenden.Metafisika sering disebut sebagai disiplin filsafat yang terumit dan
memerlukan daya abstraksi sangat tinggi. Ibarat seorang untuk mempelajarinya
menghabiskan waktu yang tidak pendek. Ber-metafisika membutuhkan energi intelektual
yang sangat besar sehingga membuat tidak semua orang berminat menekuninya

Persoalan metafisika yang dibahas oleh al-Razi, namun demikian ada juga seperti
halnya yang ada pada filsafat Yunani kuno yaitu tentang adanya lima prinsip yang kekal
yaitu: Tuhan, Jiwa Unversal, materi pertama, ruang absolut, dan zaman absolut.
Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana dengan konsepsi falsafah Metafisika dalam
perkembangan pemikiran Islam. Disinilah perlu dilakukan sebuah pemetaan berkaitan dengan
konsepsi falsafat metafisika dalam wacana pemikiran Islam. Maka dapat dipetakan kedalam
sejumlah aspek penting yang mesti dideskripsikan oleh falsafah metafisika sehingga islam
menjadi agama yang memiliki bentuknya yang komprehensip.

Misalnya pertanyaan-pertanyan yang menyangkut hal - hal sebagai berikut bagaimana


pemikir islam merumuskan hakekat metafisis Aqal dan Jiwa (hakekat metafisis Manusia),
Bagaimana pemikir Muslim merumuskan hakekat metafisis Wujud (metafisika ketuhanan),
dan Bagaimana Pemikir-pemikir Muslim mengkonsepsikan hekakat Metafisis Falsafat
Wahyu dan Nabi dan lain sebagainya. Pada hakekatnya segala hal yang berkaitan dengan
konsepsi Islam berpedoman kepada hal-hal yang bersifat Ghaib.

Maka untuk memberi rumusan hal-hal yang bersifat ghoib ini para pemikir muslim
berjuang sekuat tenaga melalui akal pikirnya untuk berijtihad menjawabnya sehingga
melahirkan sejumlah konsep yang dapat dijadikan sumber rujukan. Ilmu metafisika adalah
ilmu yg melebihi ilmu fisika.Ilmu metafisika dapat dikatakan ilmu pengetahuan universal,
karena semua dikaitkan dengan yang ada. Berbeda dari pengertian ilmu metafisika dalam
khasanah western science, Falsafah metafisika Islam adalah ilmu fisika yg dilanjutkan atau
ditingkatkan sehingga masuk ke dalam ilmu bi al-ghoibi (ghaib atau rohani). Berkaitan
dengan konsepsi keagamaan maka dengan ilmu metafisika akan terungkap apa itu agama
secara lebih komprehensif. Kebenaran-kebenaran dan rahasia-rahasia agama yang selama ini
dianggap misterius, mistik, ghaib, dan sebagainya akan menjadi sebuah konseptualisasi yang
cukup nyata, relatif riel, dan dapat dijelaskan secara falsafi. Hal ini mirip dengan peristiwa-
peristiwa kimiawi yg dulunya dianggap misterius, nujum, sulap, untuk menakut-nakuti, dan
sebagainya, dengan ilmu kimia menjadi nyata, dan seolah-olah riel, dan dapat dijelaskan
secara filosofis misalnya unsur air (H2O) Asam Klorida (HCL) Besi (Fe) dan lain sebagainya

Dengan ilmu metafisika jelas bahwa agama tak lain terdiri dari hukum-hukum yang
secara konseptual riel seperti juga alam jagad raya yag tak lain terdiri dari hukum-hukum
fisika, kimia, dan biologi. Hanya saja martabat dan dimensi hukum-hukum agama tersebut
lebih tinggi dan bersifat hakiki, absolut serta jika dilihat secara filosofis nampaklah sangat
sempurnanya alam ini. Tujuan pembahasan metafisika adalah untuk membangun suatu sistem
alam semesta yang dapat memadukan ajaran agama dengan tuntutan akal.

Dengan penjelasan yg masuk akal yang falsafi filosofis maka ajaran-ajaran agama
dapat diterangkan secara logis sehingga keimanan semakin meningkat. Tanpa penjelasan
yang falsafi metafisis logis maka ajaran agama menjadi dogma. Tanpa penjelasan yang logis
falsafai metafisis,juga maka ajaran agama sekedar pil yang harus di telan sehingga tidak akan
dapat dihayati maksud dan tujuannya oleh umat beragama. Dari sebuah ritual dan perintah –
perintah agama yang membentuk berbagai ritualitas agama hanya bermakna sebagai beban
yang sangat berat bagi umatnya. Dengan metafisika ilmiah lah kita bisa menghargai betapa
tanpa adanya agama maka manusia tidak mungkin percaya adanya Tuhan.

Menurut Heidegger metafisika merupakan suatu usaha mengatasi dunia fisik. Pada
dasarnya tidak ada sesuatu halpun di alam ini yang tidak dapat ditangkap dengan panca indra
namun demikian, merupakan suatu kemustahilan untuk menangkap secara indrawi; suatu
keseluruhan sebagai keseluruhan.

Namun Aristoteles mengatakan bahwa metafisika adalah sebagai ilmu pengetahuan


mengenai yang ada sebagai yang ada, yang ada sebagai yang digerakkan atau yang ada
sebagai yang dijumlahkan. Kita dapat mendefinisikan metafisika sebagai bagian pengetahuan
manusia yang berkaitan  dengan pertanyaan mengenai hakikat yang ada yang terdalam.

Secara singkat, dapat dinyatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan ini menyangkut persoalan


kenyataan sebagai kenyataan, dan berasal dari perbedaan yang cepat disadari oleh
setiap orang, yakni perbedaan antara yang tidak tampak abstrak dengan yang nyata fisika

Para cendekiawan khususnya di Perguruan Tinggi, terlebih-lebih di Barat kalau


disebut istilah “Metafisika” langsung di tafsirkan dengan “Filsafat”. Masalah inimungkin
timbul sebagai akibat terlalu berlebihan akan rasa kekhawatiran terhadap agama. Hal ini
seperti ungkapan prof Kadirun Yahya “ mereka tidak tahu bahwa Islam adalah sangat dalam
dan sangat tinggi dan halus, yang mengupas ilmu zahir saja tetapi juga ilmu bathin secara
sangat dalam.

Sebelum masa “Renesanse” memang istilah science/ilmu pengetahuan dengan


philosophy/Filsafat adalah sama termasuk metode dan sistemnya,tetapi setelah Renesanse,
para ahli keilmuan membedakan keduanya dalamsistem dan metodenya, sebagai akibat
tuntutan atas kebutuhan hidup manusia di dunia sehingga iptek bergerak maju cepat.Dalam
filsafat ilmu menurut Persons (Ismaun:2004) dalam studinya melakukan pendekatan salah
satunya adalah pendekatan metafisika, yang bersifat intransenden.

Moral berupa sesuatu yang objektif universal dalam dimensi kajian filsafat ilmu
dibagi menjadi dimensi ontologi,dimensi epistemologi, dan dimensi aksiologis.

Metafisika termasuk dalam objek kajian pada dimensi ontologi. Metafisika merupakan
cabang filsafat yang membicarakan tentang hal-hal yang sangat mendasar yang berada diluar
pengalaman manusia. Metafisika mengkaji segala sesuatu secarakomprehensif. Menurut
Asmoro Achmadi (2005:14), metafisika merupakan cabang filsafat yang membicarakan
sesuatu yang bersifat “keluarbiasaan”

(beyond nature) yang berada di luar pengalaman manusia (immediateexperience). Menurut


Achmadi, metafisika mengkaji sesuatu yang berada diluar hal-hal yang biasa yang berlaku
pada umumnya (keluarbiasaan), atau hal-hal yang tidak alami, serta hal-hal yang berada d
luar kebiasaan atau di luar pengalaman manusia

Metafisika sangat penting dalam filsafat, Sementara filsafat dan ilmu pengetahuan
berbeda, tetapi mempunyai asal dan tujuan yang sama. dan pemikiran  manusia mengenai
alam semesta tidak dapat hanya mengandalkan abstraksi fisika dan matematika semata, hal
ini dikarenakan: pertama indera manusia memiliki keterbatasan  dalam melakukan
eksperimen dan menyingkap segala eksistensi materi alam semesta, dan yang kedua terdapat
hal-hal yang bersifat non inderawi yang memiliki eksistensi riil dalam kehidupan di alam
semesta ini.

Konsepsi Islam terhadap metafisika berpedoman pada hal-hal yang bersifat ghaib dan
pemikiran manusia dalam hal metafisika mempunyai kebenaran yang relatif. Namun
kebenaran relatif ini diperbolehkan sepanjang tidak bertentangan dengan Alquran dan Sunnah
Rasul. Selain itu tujuan pembahasan metafisika dalam filsafat adalah untuk membangun
sistem di alam semesta yang dapat memadukan ajaran agama dengan tuntutan akal karena
dengan tidak adanya metafisika maka manusia tidak mungkin percaya adanya Tuhan. Jika
kita melihat secara intensif dan ekstensif terhadap kehidupan di dunia ini sepanjang era
modernisasi, maka sebagian besar manusia sudah mulai meninggalkan metafisika dan hanya
berlandaskan fisika dan matematika saja. Banyak manusia bahkan ilmuwan yang sudah mulai
terpengaruh oleh paham sekular yang memisahkan antara kehidupan dunia dan agama bahkan
menganggap agama dapat menghambat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
telah sampai kepada yang seilmiah-ilmiahnya.

Hal inilah yang menimbulkan terjadinya krisis multi dimensi dalam kehidupan
manusia. Paham sekular juga menjadi landasan bagi perkembangan ilmu pengetahuan
sehingga hanya berpatokan pada empirisme dan positivisme. Dengan pengaruh dari paham
sekular maka manusia berpikir bahwa manusialah yang mengendalikan alam semesta.

Oleh karena itu perlu adanya metafisika Islam yang berlandaskan tauhid untuk membatasi
eksplorasi yang dilakukan oleh manusia terhadap ilmu pengetahuan dalam alam semesta ini.
Dalam era modernisasi, westernisasi juga merebak dalam setiap individu di dunia
bahkan di negara Indonesia. Pragmatisme, hedonisme, kapitalisme juga turut andil dalam
menyebarkan pengaruh negatif terhadap aspek kehidupan di dunia yang bahkan bertentangan
dengan metafisika Islam. Untuk mengatasi krisis multi dimensi ini, manusia harus
memulainya dengan berpikir secara kritis terhadap segala fenomena yang terjadi, salah
satunya adalah dengan berpikir secara filsafati yang didalamnya terdapat metafisika
khususnya metafisika Islam.

D. METAFISKA MENURUT PANDANGAN PARA FILOSOF.


Jika kita melacak aliran filsafat dengan berbagaimacam perbedaanya, maka kita temukan
bahwa setiap aliran filsafat tersebut tidak pernah terlepas dari pada aliran tasawuf. Untuk
memperoleh gambaran yang memadai atas metafisika dalam bingkai pemikiran para filosof,
maka perlu dilacak sejumlah wacana yang berkembang di kalangan pemikir-pemikir muslim
pada abad pertengahan. Lebih-lebih ketika masa-masa periode pembentukan (formative
Periode) khazanah intelektual dapat ditemukan alasan yang memungkinkan dapat dijadikan
sebuah refleksi untuk mendiskusikan metafisika menurut para filosof.

Banyak ungkapan para filosof bahwa metafisika merupakan berinduk pada pemikiran
filsafat sehingga metafisika dapat ditemukan diantara ungkapan para tokoh tersebut banyak
yang menyangkut eksistensi Manusia (jiwa) Alam (kosmologi) dan Yang ada (wujud).

1. Metafisika menurut Al-Kindi


Al-Kindi memandang bahwa metafisika haruslah diterima sebagai bagian dari
peradaban Islam. Ia berupaya menunjukkan bahwa metafisika dan agama merupakan dua
barang yang bisa serasi, ia menegaskan pentingnya kedudukan metafisika dengan
menyatakan bahwa aktifitas filsafat dan metafisika yang definisi nya adalah mengetahui
hakikat sesuatu sejauh batas kemampuan manusia dan tugas filosof adalah mendapatkan
kebenaran

Tentang metafisika alam Al-Kindi mengatakan bahwa alam in adalah illat-Nya. Alam
itu tidak mempunyai asal, kemudian menjadi ada karena diciptakan Tuhan. Al-Kindi juga
menegaskan mengenai hakikat Tuhan, Tuhan adalah wujud yang hak (benar) yang bukan
asalnya tidak ada menjadi ada, Ia selalu mustahil tidak ada, jadi Tuhan adalah wujud yang
sempurna yang tidak didahului oleh wujud yang lain.
Pembahasan tentang masalah metafisika, Al-Kindi juga memberikan kontribusi pemikirannya
yang tercatat dalam beberapa risalahnya, di antaranya “tentang filsafat pertama” dan “tentang
keesan Tuhan dan berakhirnya benda-benda alam”. Terkait dengan ini Al-Kindi
mengemukakan pendapatnya mengenai seputar hakikat Tuhan, bukti-bukti wujud Tuhan dan
sifat-sifatNya.

Tentang hakikat Tuhan Ia menyatakan bahwa Tuhan tidak ada permulaan yang
menyebabkan Ia ada. Tuhan akan selalu ada dan tidak berakhir, serta menjadi sebab bagi
keberadaan wujud yang lain. Kemudian dalam rangka membuktikan keberadaan Tuhan ia
membangun argumentasinya melalui tiga hal. Pertama, baharunya alam, kedua, keaneka
ragaman dalam wujud dan ketiga, menyangkut keteraturan alam.

Langkah pertama ketika membuktikan wujud Tuhan yang metafisik dengan


argumentasi baharunya alam Al-Kindi mengemukakan pendapatnya melalui satu argumentasi
bahwa sesuatu tidak mungkin menjadi sebab bagi wujud dirinya. Dengan demikian alam
semesta ini bersifat baharu dan mempunyai permulaan waktu, sekaligus juga bersifat terbatas.
Berdasarkan argumentasi ini Ia menegaskan bahwa Tuhanlah yang telah menciptakan alam
semesta dari tidak ada menjadi ada.

Sedangkan argumentasi kedua mengenai keaneka ragaman dalam wujud, Al-kindi


membuktikan keberadaan Tuhan dengan menyatakan bahwa alam ini baik yang bersifat
inderawi maupun alam lain yang menyamainya, tidak mungkin ada keanekaragaman tanpa
ada keseragaman, atau sebaliknya ada keseragaman tanpa ada keanekaragaman. Jika alam
inderawi tergabung dalam keanekaragaman dengan keseragaman secara bersama-sama, maka
hal itu bukan disebabkan karena kebetulan namun karena adanya sesuatu yang menjadi
sebab. Namun sebab tersebut tentu bukan dari alam itu sendiri, karena jika demikian maka
tidak akan ada ujung pangkalnya dan tidak akan pernah berakhir dan itu adalah mustahil
terjadi. Oleh karena itu, sebab tersebut haruslah berada di luar alam dan lebih mulia, lebih
tinggi dan lebih dahulu adanya. Karena sebab harus ada sebelum efek atau akibatnya.

Mengenai pembuktian wujud Tuhan melalui argumentasi keteraturan alam, Al-Kindi


mengungkapkan pendapatnya dengan menyatakan bahwa alam lahir tidak mungkin rapi dan
teratur kecuali karena adanya zat yang tidak nampak. Sedangkan zat yang tidak nampak
tersebut hanya bis diketahui keberadaannya melalui bekas-bekas Nya dan keteraturan yang
ada di alam semesta ini. Langkah argumentasi ini dikenal dengan sebutan “illat “ tujuan”.
Kemudian pandangan al-Kindi mengenai sifat-sifat Tuhan, ia mengemukakan
pendapatnya bahwa ke esaan Tuhan sebagai salah satu sifatnya dapat dibuktikan bahwa
Tuhan bukanlah materi, bukan bentuk, tidak mempunyai kuantitas dan juga mempunyai
kualitas. Ia tidak memiliki hubungan ketergantungan dengan yang lain, semisal sebagai ayah
atau sebagai anak. Tidak bisa di sifati dengan apa yang ada dalam pikiran. Oleh sebab itu
menurut Al-Kindi Tuhan hanya bersifat Esa saja. tidak ada hal lain kecuali Esa semata.

Tuhan bersifat azali, yaitu zat yang sama sekali tidak ada permulaannya.
Keberadaannya tidak tergantung pada yang lain atau tidak berkaitan dengan sebab. Dengan
demikian Tuhan bukanlah subyek atau predikat. Kesimpulannya Tuhan adalah sebab pertama
dimana wujudnya bukan karena adanya sebab yang lain. Menurut Al-Kindi sifat azalinya
Tuhan juga tidak bergerak karena dalam gerak memungkinkan adanya pertukaran yang tidak
sesuai dengan wujud Tuhan yang sempurna. Karena zat yang azali itu tidak bergerak maka
zaman atau waktu tidak berlaku padaNya. karena zaman merupakan bagian dari bilangan
gerak. Namun menurut Al-Kindi Tuhan memiliki pekerjaan khusus yang disebut
dengan “ibda”  yaitu menjadikan sesuatu dari yang sebelumnya tidak ada menjadi ada,
namun tidak mengandung pengertian bahwa Ia mempunyai perasaan atau menerima
pengaruh.

2. Metafisika menurut Al-Farabi


Al-Farabi, sendiri di dalam risalah yang berjudul Ma Yanbaghi anYuqoddam qobla
al- falsafah, (Apa yang sebaiknya Dilakukan Terlebih dahulu sebelum Mempelajari Filsafat.
filsafat mencakup matematika, dan matematika bercabang pada ilmu-ilmu lain, sebagaimana
ilmu itu berlanjut pada metafisika. Menurut Al-Farabi bagian metafisika ini secara lengkap
dipaparkan oleh aristoteles dalam metaphysics yang sering juga diacu dalam sumber-sumber
Arab sebagai “book of letters”, karya ini terdiri atas bagian utama yaitu:

Melakukan telaah yang ada jauh keberadaannya atas ontologi, Seperti melakukan
telaah beberapa kaidah pembuktian yang umum dalam logika, matematika dan fisika, atas
epistimologi. Menelaah apa dan bagaimana “substansi-substansi mujarad (immaterial) yang
berjenjang ini menanjak dari yang terendah sampai ke yang tinggi dan berpuncak pada wujud
yang sempurna. Dan tak ada yang lebih sempurna dari apa yang telah ada.

Tuhan adalah wujud yang sempurna, ada tanpa suatu sebab, kalau ada atau memiliki
sebab, maka adanya Tuhan tidak sempurna lagi. Memang benar, peyerapan-penyerapan
Spritual dan inspirasi-inspirasi kalbu kadang tidak menyakinkan, atau minimal sulit untuk di
tetapkan melalui bukti-bukti pasti yang bisa di terima oleh orang lain. Namun itu bisa
membangkitkan rasa tentram dan tenang. Al-Farabi dalam metafisika nya tentang ketuhanan
hendak menunjukkan keesaan Tuhan, juga dijelaskan pula mengenai kesatuan antara sifat dan
zat (substansi) Tuhan, sifat Tuhan tidak berbeda dari zat Nya, karena Tuhan adalah tunggal.
Kalau yang ada hanya Tuhan saja, maka yang menyebut Allah itu siapa.? Mula-mula sekali
sebelum ada mahluk Allah tidak ber Asma, tidak ber Af’al, tidak ber Sifat, dan tidak ber Zat,
dan masa ini masih disebut Zattul Muhti Allah masih ber sifat Qadim.Allah masih Rahasia.

Tentang penciptaan alam (kosmologi) Al-Farabi cenderung memahami bahwa alam


tercipta melalu proses emanasi sejak zaman azali, sehingga tergambar bahwa penciptaan alam
oleh Tuhan, dari tidak ada menjadi ada, menuut Al-Farabi, hanya Tuhan saja yang ada
dengan sendirinya tanpa sebab dari luar dirinya. Karena itu ia disebut wajib al-Wujudu zatih
yang dalam istilah kajian musahadah disebut dengan Rabbul Izzati.

Allah menciptakan alam ini melalui emanasi, dalam arti bahwa wujud Tuhan
melimpahkan wujud alam semesta. Emanasi ini terjadi melalui tafakkur (berfikir) Tuhan
tentang zatNya yang merupakan prinsip dari peraturan dan kebaikan dalam alam. Dengan
kata lain, berpikirnya Allah swt tentang zatNya adalah sebab dari adanya alam ini. Dalam arti
bahwa ialah yang memberi wujud kekal dari segala yang ada. Berfikirnya Allah tentang
zatnya adalah ilmu Tuhan tentang diriNya, dan ilmu itu adalah daya ( al-Qudrah) yang
menciptakan segalanya, agar sesuatu tercipta, cukup Tuhan mengetahuiNya.

Secara konseptual hirarki wujud menurut Al-Farabi adalah sebagai berikut:Tuhan


yang merupakan sebab keberadaan segenap wujud lainnya. Para Malaikat yang merupakan
wujud yang samasekali immaterial. Benda-benda langit atau benda-benda angkasa. Benda-
benda bumi. Dengan filsafat emanasi Al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana yang
banyak bisa timbul dari Yang Esa. Tuhan bersifat Maha Esa, tidak berubah, jauh dari materi,
Maha Sempurna dan tidak berhajat pada apapun. Kalau demikian hakikat sifat Tuhan
bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari yang Maha Satu. Argumennya
tentang teori emanasi seperti yang disinggung di atas merupakan solusinya bagi Al-Farabi.

Proses emanasi itu adalah sebagai berikut. Tuhan memerintahkan kepada akal, agar
berpikir tentang diriNya, dan dari pemikiran ini timbul satu maujud lain. Tuhan merupakan
wujud pertama dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua, dan juga mempunyai
substansi. Ia disebut Akal Pertama (First Intelligent) yang tak bersifat materi. Sehingga hal
ini disebut dengan istilah Tuhan sebagai akal. Wujud kedua ini berpikir tentang wujud
pertama dan dari pemikiran ini timbullah wujud ketiga, disebut akal kedua. Wujud kedua atau
akal pertama itu juga berpikir tentang dirinya dan dari situ timbul langit pertama dan
selanjutnya dengan segala planet yang ada pada sistem tata surya.

Menurut Al-Farabi, manusia dapat berhubungan dengan akal  Faʻȃl melalui dua cara,
yakni penalaran atau renungan pemikiran dan imajinasi atau inspirasi yang berupa metafisika.
Cara pertama hanya dapat dilakukan oleh para filosof yang dapat menembus alam materi dan
dapat mencapai cahaya ketuhanan yang memasuki unsur undang-undang metafisika,
sedangkan cahaya kedua hanya dapat dilakukan oleh nabi. Menurutnya, bila kekuatan
imajinasi yang metafisik pada diri seseorang kuat sekali, objek inderawi dari luar tidak dapat
memengaruhinya sehingga manusia seperti ini dapat berhubungan dengan akal Faʻȃl.
Apabila kekuatan imajinasi manusia yang berdimensi metafisik telah mencapai taraf
kesempurnaan, tidak ada halangan baginya menerima peristiwa-peristiwa sekarang atau
mendatang dari akal Faʻȃl pada waktu bangun. Dengan adanya penerimaan demikian, maka
ia dapat nubuwwat terhadap perkara-perkara ketuhanan.
Jadi, ciri khas seorang nabi, menurut Al-Farabi ialah mmpunyai daya imajinasi yang kuat dan
ketika berhubungan dengan Tuhan dapat menerima visi dan kebenaran-kebenaran dalam
bentuk wahyu. Wahyu tidak lain adalah limpahan dari Allȃh melalui akal Faʻȃl (akal
kesepuluh) yang dalam penjelasan Al-Farabi adalah jibril. Sementara itu, filosof dapat
berkomunikasi dengan Allȃh melalui akal perolehan (al-‘Aql al-Mustafȃd) yang telah terlatih
dan kuat daya tengkapnya sehingga sanggup menangkap hal-hal yang bersifat abstrak murni
dari akal kesepuluh.

Dari sisi pengetahuan dan sumbernya, antara filosof dan nabi terdapat kesamaan, oleh
Karena itu Al-Farabi menekankan bahwa kebenaran wahyu tidak bertentangan dengan
pengetahuan filsafat, sebab antara keduanya sama-sama mendapatkan dari sumber yang
sama, yakni akal Faʻȃl. Demikian pula tentang mukjizat sebagai bukti kenabian, menurut Al-
Farabi dapat terjadi dan tidak bertentangan dengan hukum alam dan mukjizat sama-sama
berasal dari akal kesepuluh sebagai pengatur dunia ini.

3. Metafisika menurut Al-Razi


Manusia yang berakal harus mampu mangaktualisasikan pikirannya pada kebesaran
sang pencipta melalui alam dan bukti-bukti yang terkandung didalamnya. Hingga dengan
akal manusia dihantarkan untuk mengetahui mana diantaranya yang kekal dan mana yang
tidak. Argumen-argumen Al-Razi yang paling terkenal dalam filsafat dengan ajarannya yang
dinamakan Lima yang Kekal, yakni: Tuhan, Jiwa Universal, Materi Pertama Ruang Absolut
dan Zaman Absolut Persoalan metafisika yang dibahas oleh Al-Razi tak jauh seperti halnya
yang ada pada filsafat yunani kuno yaitu tentang adanya lima prinsip yang kekal tersebut.

Secara prinsip tentang metafiska dikatakan bahwa Tuhan menciptakan manusia


dengan substansi ketuhanan-nya, kemudian akal, akal berfungsi menyadarkan manusia bahwa
dunia yang dihadapi sekarang ini bukanlah dunia yang sebenarnya, dunia yang sebenarnya itu
dapat dicapai dengan berfilsafat. Dalam karya tulis Al-Razi, al-Tibib al-Ruhani (kedokteran
Jiwa) tampak jelas bahwa Ia sangat tinggi menghargai akal, dikatakannya bahwa akal adalah
karya terbesar dari Tuhan bagi manusia. Al Rȃzȋ lebih dikenal sebagai seorang rasionalis
murni dari pada berbicara tentang metafiska dengan unsur-unsur imajinasinya. Akal
menurutnya adalah karunia Allȃh yang terbesar untuk manusia. Dengan akal, manusia dapat
memperoleh manfaat sebanyak-banyaknya bahkan dapat memeroleh pengetahuan tentang
Allȃh. Oleh sebab itu, manusia tidak boleh menyia-nyiakan dan mengekangnya tetapi harus
memberikan kebebasan padanya dan harus merujuknya dalam segala hal.

Kemudian Al-Razi juga dengan perinsif bahwa akal telah memperoleh pengetahuan


tentang Allah maka dia sedikit mengritik orang yang melaksanakan agama yang tidak taqwa
secara umum. Ia juga menjelaskan kontradiksi yahudi, Kristen, dan Majusi secara rinci.
Bahkan lebih lanjut Ia katakan tidaklah masuk akal Allȃh mengutus para Nabi kalau hanya
menyebabkan dan menimbulkan kemudharatan karena perselisihan tentang Tuhan. Ia juga
mengritik secara sistematis kitab-kitab wahyu seperti Alqurȃn dan Injȋl, Ia ber kurang
sependapat dengan orang yang mengelu-elukan kemukjizatan Alqurȃn hanya dalam teori
saja, Kemukjijatan isi dan kandungan Alquran tersebut menurut Al-Razi tidak bisa dengan
hasil yang dibaca dengan gaya fisik saja. Namun harus melalui bidang filsafat yang lebih
mendalam lagi yakni menelusuri bidang metafisika yang menjadi pokok bahasan utama pada
bidang filsafat.

4. Metafisika menurut Ikhwa Al-Safa’


Ikhwan al-Safa’ membagi pengetahuan kepada tiga kelompok yaitu: yang pertama
merupakan pengetahuan adab/sastra, yang kedua merupakan pengetahuan syari’ah, dan yang
ketiga merupakan pengetahuan falsafat, Namun pengetahuan yang dominan di kenal oleh
khalayak dan bidang keilmuan serta yang merupakan bagian dari kehidupannya adalah
filsafat.
Keberadaan Ikhwan Al-Safa’ adanya setelah wafatnya al-Farabi, yang terdiri dari
kalangan kelompok muslim yang menyebutkan diri mereka sendiri dengan nama ikhwan al-
Safa’ yang berarti saudara-saudara yang mementingkan kesucian batin atau jiwa. Mereka
berhasil menghasilkan karya ensiklopedi tentang ilmu pengetahuan dan filsafat yang dikenal
dengan judul Rasa’il Ikwan al-Safa’, terdiri dari lima puluh dua risalah yang dapat dibagi ke
dalam empat kelompok, yaitu bidang matematika, fisika, risalah yang berbicara tentang jiwa
manusia dan kelompok risalah yang mengkaji masalah-masalah metafisika lain nya seperti
tentang Tuhan, malaikat, jin dan setan.

Ikhwan al-Safa’ membagi pengetahuan kepada tiga kelompok yaitu: pengetahuan


adab/sastra, pengetahuan syari’ah, pengetahuan falsafat, dan pengetahuan filsafat mereka
bagi menjadi empat bagian yaitu: pengetahuan matematika, pengetahuan logika, pengetahuan
fisika, dan pengetahuan ilahiah, metafisika. Filsafat menurut mereka mempunyai tiga taraf,
yaitu: pertama; taraf pemulaan, yakni mencintai pengetahuan, kedua; taraf pertengahan yakni
mengetahui hakikat dari segala yang ada sejauh kemampuan manusia, ketiga; taraf akhir
yakni berbicara dan meramal sesuatu sesuai dengan pengetahuan mengenai alam ikhwan al-
safa’ juga menganut paham pencipataan alam dan Tuhan melalui cara emanasi. yang hampir
sama dengan teori emansi Al-Farabi dan Ar-Razi.

5. Metafisika menurut Ibnu Maskawih


Menurut Ibnu Maskawaih untuk membuktikan Tuhan itu dengan pengenalan, jadi
tidak dengan melalui rasional. Sebab pengenalan selain di dapat secara rasional juga dapat
dengan melalui penghayatan yang berupa penggalan kejiwaan. Sebagai bukti adanya Tuhan
ialah gerak-gerak yang lain itu timbulnya dari sumber gerak, sedangkan sumber gerak itu
timbul sendiri, adapun menurut teori pembahasan lama ialah tiap-tiap bentuk berbuah pasti
diganti dengan bentuk yang lain.

Tentang jiwa manusia dan akhlak Ibnu Maskawaih menyatakan bahwa tujuannya
untuk menulis itu adalah agar kita berhasil membangun bagi jiwa-jiwa kita suatu akhlak,
dengan akhlak itu muncul dari diri kita dengan mudah tanpa dibuat-buat perbuatan yang
indah. Baginya jiwa itu berasal dari akal aktif, jiwa bersifat rohani, karena itu jiwa mampu
menerima hal-hal yang bertentangan, sedangkan panca indra hanya dapat menangkap sesuatu
jika sesuatu itu sudah menempel pada benda. Sebagaimana Al-Farabi, Ibnu Miskawaih juga
menginterpretasikan tentang dimensi metafisik kenabian secara ilmiah. Usahanya ini juga
dapat memperkecil antara nabi dan filosof dan memperkuat hubungan dan keharmonisan
antara wahyu dan akal.
Menurut Ibnu Miskawaih, nabi adalah seorang Muslim yang memeroleh hakikat-
hakikat kebenaran karena pengaruh Akal Aktif atas daya imajinasinya yang mengandung
unsur metafisik. Hakikat-hakikat atau kebenaran seperti ini diperoleh pula oleh filosof,
perbedaanya hanya terletak pada teknik memerolehnya. Filosof mendapatkan kebenaran
tersebut dari bawah ke atas, yakni dari daya inderawi naik ke daya khayal dan naik lagi ke
daya berpikir yang dapat behubungan dan dapat menangkap hakikat-hakikat atau kebenaran
dari Akal Aktif. Sementara itu, nabi mendapatkan kebenran diturunkan langsung dari atas ke
bawah, yakni dari dimensi metafsik ke akal aktif langsung kepada nabi sebagai rahmat Allah.
Dari itu, sumber kebenaran yang diperoleh nabi dan filosof hampir sama, yaitu Akal Aktif
(Akal Faʻȃl), pemikiran ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Al-Farabi sebelumnya.

Penjelasan di atas dapat dijadikan petunjuk bahwa Ibn Miskawaih berusaha


merekonsiliasi antara metafisika, agama dan filsafat dan ketiganya mesti cocok dan serasi
karena sumber ketigaanya sama. Justru itulah filosof adalah orang paling cepat menerima dan
memercayai apa yang dibawa oleh nabi karena nabi membawa ajaran yang tidak bisa ditolak
oleh akal. Namun demkiian, tidak berarti manusia tidak memerlukan nabi karena dengan
perantaraan nabi dan wahyulah manusia dapat mengetahui hal-hal yang bermanfaat yang
dapat mengantarkan manusia pada kebahagiaan. Ajaran ini tidak dapat diketahui manusia
kecuali oleh para filosof yang melanjutkan ke bidang metafisik, dengan kata lain, sangat
sedikit kuantitas manusia yang dapat mencapainya, hal ini desebabkan metafisika tidak dapat
ditangkap semua lapisan masyarakat.

6. Metafisika menurut Ibnu Sina


Ar-Rais al-Husain bin Abdullah bin Ali Al-Hamadani di lahirkan pada tahun 980 M
disebuah desa bernama afshanah. Dekat Bukhara yang saat ini terletak dipinggiran selatan
Rusia, Ibnu Sina adalah filosof dan ahli kedokteran muslim paling populer sampai saat ini di
dunia barat, Ibnu Sina dikenal dengan sebutan Avicenna.

Sebagai seorang metafisikus Islam, Ibnu Sina berpendapat bahwa antara jiwa dan
badan memiliki perbedaan. Pengenalan dan perasaan manusia terhadap jiwa bersifat
langsung, karena pemikiran tidak memerlukan perantara di dalam mengenal dirinya. Ibnu
Sina seperti halnya al-Farabi berpendapat bahwa jiwa adalah wujud rohani (immateri) yang
berada dalam tubuh. Jiwa dapat berinteraksi dengan fisik akan tetapi jiwa yang metafisik juga
dapat terlapas dari fisik. Hal ini karena jiwa merupakan wujud imateri. Jiwa tidak dapat
langsung mengendalikan tubuh atau fisik. Menurut Ibnu Sina didalam jiwa yang
mengendalikan fisik atau tubuh adalah akal. Dengan demikian, jiwa manusia adalah wujud
imateri yang berada dalam tubuh manusia. Jiwa itulah yang menjadi sebab penggerak dan
pengendali tubuh, Ibnu Sina juga menjelaskan tiga macam jiwa di bumi yaitu pertama Jiwa
tumbuh-tumbuhan, kedua Jiwa binatang, dan ketiga jiwa manusia, pada jiwa tumbuh-
tumbuan terdapat potensi makan potensi menumbuhkan potensi mengembang biakkan. Pada
jiwa binatang, selain jiwa yang baru disebutkannya juga terdapat potensi menggerakkan dan
potensi menangkap, potensi khayal dan sebagainya.

Pada jiwa manusia, selain semua potensi yang telah disebutkan di atas juga terdapat
potensi berpikir praktis dan berpikir teoritis, kemampuan teoritis ini pada taraf potensi
disebut akal material dan setelah berkembang pada taraf berikutnya disebut akal makalah.
Pemikiran terpenting yang dihasilkan Ibnu Sina ialah falsafatnya tentang jiwa. Ia juga
menganut faham pancaran.

Ibnu Sina berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat yakni, sifat wajib
wujudnya sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin wujudnya, jika ditinjau dari
hakekat dirinya. Dengan demikian Ibnu Sina mempunyai tiga obyek pemikiran: Tuhan,
dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya.

Dari pemkiran tentang Tuhan timbul akal-akal dari pemikiran tentang dirinya sebagai
wajib wujudnya timbul jiwa - jiwa dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujudnya
timbul di langit. Jiwa manusia sebagaimana jiwa - jiwa lain dan segala apa yang terdapat di
bawah bulan, memancar dari akal ke sepuluh.

Menurut Ibnu Sina jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai
wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan, yang sesuai
dan dapat menerima jiwa, lahir didunia ini. Sungguh pun jiwa manusia tidak mempunyai
fungsi-fungsi fisik, dan dengan demikian tak berhajat pada badan untuk menjalankan
tugasnya sebagai daya yang berfikir, jiwa masih berhajat pada badan karena pada permulaan
wujudnya badanlah yang menolong jiwa manusia untuk dapat berfikir dengan akal. Oleh
sebab itu semua bahasan keagamaan juga berkaitan dengan jiwa manusia, yang menjadi
tempat iman dan kepercayaan, tempat bergantungnya perintah dan tanggung jawab. Oleh
sebab itu agama dan hukum syariat lebihdulu dibicarakan dengan jiwasebelum dengan tubuh1
1Ibrahim Madkour Filsafat Islam Metode dan Penerapan Bagian I , terj.Yudian Wahyudi Asmin dan Ahmad Hakim Mudzakhir
dari buku aslinya Fi al-Falsafah al-Islamiyyah manhaj watathbiquh (Jakarta: RajaGrafindoPersada, 1996)h 94,95
Dalam pembagian wujud, Ibnu Sina terpengaruh oleh pembagian wujud para
pendapat para kaum mutakallimun. Hal ini karena dalil mereka tentang wujud Allah
didasarkan pada pembedaan -pembedaan “baharu” dan “Qadim” sehingga mengharuskan
orang berkata, setiap orang yang ada selain Allah adalah baharu, yakni didahului oleh zaman
dimana Allah tidak berbuat apa-apa. Pendirian ini mengakibatkan lumpuhnya kemurahan
Allah pada zaman yang mendahului alam mahluk ini, sehingga Allah tidak pemurah pada
satu waktu dan maha pemurah pada waktu lain. Dengan kata lain perbuatan-Nya tidak Qadim
dan tidak mesti wajib.2

Untuk menghindari keadaan Tuhan yang demikian itu, Ibnu Sina menyatakan sejak
mula “bahwa sebab kebutuhan kepada alwajib (Tuhan) adalah mungkin, bukan baharu”.
Pernyataan ini akan membawa kepada aktifnya iradah Allah sejak Qadim, sebelum zaman.
Perbuatan Ilahi” dalam pemikiran Ibnu Sina dapat disimpulkan dalam empat, catatan sebagai
berikut: Pertama, perbuatan yang tidak kontinu (ghairi mutajaddid) yaitu perbuatan yang
telah selesai sebelum zaman dan tidak ada lagi yang baharu. Ibnu Sina berkata : “yang wajib
wujud (Tuhan) itu adalah wajib (mesti) dari segala segi, sehingga tidak terlambat wujud lain
(wujud al muntazhar) dari wujudNya, malah semua yang mungkin menjadi wajib
denganNya.

Tidak ada bagiNya kehendak yang baru, tidak ada tabi’at yang baru, tidak ada ilmu
yang baru dan tidak ada suatu sifat zatNya yang baru”. Demikianlah perbuatan Allah telah
selesai dan sempurna sejak qadim, tidak ada sesuatu yang baru dalam pemikiran Ibnu Sina,
seolah - olah alam ini tidak perlu lagi kepada Allah sesudah diciptakan.Yang kedua,
perbuatan Ilahi itu tidak ada tujuan apapun. Seakan-akan telah hilang dari perbuatan sifat akal
yang dipandang oleh Ibnu Sina sebagai hakekat Tuhan, dan hanya sebagai perbuatan mekanis
karena tidak ada tujuan sama sekali. Ketiga, manakala perbuatan Allah telah selesai dan tidak
mengandung sesuatu maksud, keluar dariNya berdasarkan “hukum kemestian”, seperti
pekerjaan mekanis, bukan dari sesuatu pilihan dan kehendak bebas.3

Yang dimaksudkan dalam catatan yang ketiga, yaitu Ibnu Sina menisbatkan sifat yang
paling rendah kepada Allah karena sejak semula ia menggambarkan “kemestian” pada Allah
dari segala sudut. Akibatnya upaya menetapkan iradah Allah sesudah itu menjadi sia-sia,
akrena iradah itu tidak lagi bebas sedikitpun dan perbuatan yang keluar dari kehendak itu
adalah kemestian dalam arti yang sebenarnya. Jadi tidak ada kebebasan dan kehendak selagi

2Ahmad Hanafi, MA, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta : Bulan Bintang), 1996, hal.125
3Ibid , hal.125-126
kemestian telah melilit Tuhan sampai pada perbuatanNya, lebih-lebih lagi pada dzat-Nya.
Dan yang keempat, perbuatan itu hanyalah “memberi wujud” dalam bentuk tertentu.

Untuk memberi wujud ini Ibnu Sina menyebutnya dengan beberapa nama, seperti:
shudur (keluar), faidh (melimpah), luzum (mesti), wujub anhu (wajib darinya). Nama-nama
ini dipakai oleh Ibnu Sina untuk membebaskan diri dari pikiran “Penciptaan Agamawi”,
karena ia berada di persimpangan jalan anatara mempergunakan konsep Tuhan sebagai
“sebab pembuat (Illah fa’ilah) seperti ajaran agama dengan konsep Tuhan sebagai sebab
tujuan (Illah ghaiyyah) yang berperan sebagai pemberi kepada materi sehingga bergerak
kearahnya secara gradual untuk memperoleh kesempurnaan. 4

Menurut Ibnu Sina, sebagian manusia dianugerahi Tuhan akal potensial yang
demikian kuat sehingga tidak perlu melalui latihan keras akal potensial yang sedemikian kuat
dapat dengan mudah menerima cahaya kebenaran atau wahyu Tuhan yang metafisik melalui
Akal Aktif. Potensi yang sedemikian besar itu disebut al-Ḥuds yaitu intuisi atau al-Quwwah
al-Qudsiyyah (daya suci).5 Ibnu Sina dalam tulisannya yang khusus untuk mengukuhkan
adanya kenabian, Risalah fi Itsbat al-Nubuwwah, berupaya menunjukkan adanya perbedaan
keunggulan atau keutamaan pada segenap wujud, dan pada akhirnya menegaskan bahwa para
nabi, yang akal teoritis mereka mengaktual dengan sempurna secara langsung lebih unggul
dari para filosof yang akal teoritis mereka mengaktual dengan sempurna secara tidak
langsung (dengan perantara latihan).

Menurutnya ada wujud yang berdiri sendiri dan ada pula yang tidak berdiri sendiri
dan yang pertama lebih unggul dari yang kedua. Ada bentuk dan substansi yang tidak berada
dalam materi dan ada pula yang berada dalam materi dan yang pertama lebih unggul dari
yang kedua. Selanjutnya, ada pula bentuk bersama materi yang bersifat tumbuh (organik) dan
ada pula yang tidak tumbuh (benda-benda mati) dan yang pertama lebih unggul dari yang
kedua. Selanjutnya ada binatang yang rasional (manusia) dan sebaliknya (hewan) maka yang
pertama lebih unggul,6 manusia ada yang memiliki akal bi al-Malakah dan ada pula yang
tidak maka yang pertama lebih unggul.

Ada pula manusia yang akal bi al-Malakah-nya menjadi akal aktual dan ada pula
yang tidak meningkat, maka yang pertama lebih unggul. Selanjutnya ada manusia yang

4Untuk mendapat gambaran lebih dalam berkaitan dengan pemikiran Ibnu Sina tentang roh lihat tulisan Harun Nasution dalam buku Islam
ditinjau dari berbagai aspek, bab IX dan bab X tentang Falsafah dan Mistisisme Islam.
5 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 2010), hal. 26-27
6 Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam, terj. Yayasan Obor Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hal. 138
memiliki akal aktual dengan sempurna secara langsung dan tidak langsung, yang pertama
yakni para nabi, lebih unggul daripada yang kedua yakni para filosof. 7 Para nabi berada di
puncak keunggulan atau keutamaan dalam lingkungan-lingkungan makhluk material, dan
karena yang lebih unggul harus memimpin yang diungguli maka nabi harus memimpin
seluruh rakyatnya yang mana yang terakhir adalah teori politik Ibnu Sina yang menganjurkan
nabi sebagai pemimpin negara, jika tidak ada diganti oleh filosof.

7. Metafisika menurut Al-Gazali


Tiga pendapat para filosof muslim yang dikufurkan Alghazali8 yang tertuang dalam
bukunya “tahafut al-Falasifah”, yakni pendapat bahwa alam itu azali atau qadim, pendapat
bahwa Tuhan tidak mengetahui juz’iyyat, lalu ia juga mengkufurkan paham yang
mengingkari adanya kebangkitan tubuh di akhirat, itu berarti bahwa siapa saja yang
menganut, salah satu dari tiga paham tersebut menurut Alghazali jatuh ke dalam kekafiran.
Untuk paham yang pertama tentang paham qadimnya alam menurut nya bila alam tu
dikatakan qadim maka mustahil dapat dibayangkan bahwa alam itu diciptakan oleh Tuhan.
Jadi paham qadim nya alam membawa kepada kesimpulan bahwa alam itu ada dengan
sendirinya.

Kedua tentang paham bahwa Tuhan tidak mengetahui juz’iyyat. Paham bahwa Tuhan
tidak mengetahui yang juz’iyyat bukanlah paham yang dianut oleh filosof muslim tapi paham
ini dianut oleh aristoteles, menurut Alghazali Tuhan mengetahui hal-hal juz’iyyat itu dengan
pengetahuanya tidak berubah, dan ini dapat dipahami seperti tidak berubahnya pengetahuan,
tetapi sebab-sebab yang bersifat umum, atau dapat di pahami dengan pengertian bahwa
Tuhan telah mengetahui hal-hal yang juz’iyyat ketiga tentang paham pengingkaran
kebangkitan jasmani di alam kubur. Menurut Alghazali gambaran Alqur’an dan Hadis
tentang kedua akhirat bukan megacu pada kehidupan yang bersifat rohani saja, tapi pada
jasmani juga, jasad-jasad di bangkitkan dan disatukan dengan jiwa-jiwa manusia yang pernah
hidup di dunia, untuk merasakan nikmat surgawi yang bersifat rohani-jasmani dan merasakan
azab neraka yang juga bersifat rohani – jasmani.

7Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam (Jakarta: Djambatan, 2003), hal. 105
8Al-Ghazali hidup dari tahun 450 H / 105 M sampai degan tahun 505 H / 1111 M. ia lahir di desa Gazaleh dekat Tus. Ia berlajar di Tus jurtan,
di nisyapur, di nisyapur inilah ia dalam usai 20-28 tahun berguru dan bergaul denga imam al-Juwaini, di Baghdad ia menjadi guru besar madrasah nizamiah
Baghdad. Di Baghdad pula lah ia berupaya mempelajari filsafat dan menunjukkan pemahamannya tentang filsafat dengan menulis buku “Maqa sid al-
Falaisfah”, serta kemudian menunjukkan kemampuannya mngkritis argument-argumen kaum filosofis. Untuk lebih lengkap konsepsi al ghozali berkaitan
dengan falsafahnya dapat dibaca dalam kitabnya muqaddimah tahafut al falasifah yang berjudul Maqassid al falasifah lil imam al ghozali yang ditahqiq
oleh Dr. Sulaiman D. Terbitan Darul Ma’arif Mesir. Cetakan Ke -2
Jauh sebelumnya Alghazali telah melalui fase-fase kajian dan analisa, sibuk dengan
berbagai macam studi.9Menurut Alghazali dalam buku-buku nya Ia menyatakan bahwa
manusia mempunyai identitas esensial yang tetap tidak berubah-ubah yaitu al-Nafs atau
jiwanya. Adapun yang dimaksud tentang al-Nafs atau jiwa adalah “substansi yang berdiri
sendiri yang tidak bertempat” yang merupakan hal yang metafisik. Jiwa merupakan “tempat
bersemayamnya pengetahuan - pengetahuan intelektual (al-ma’qulat) yang berasal dari alam
al-malakut atau al-amr . Hal ini menunjukkan bahwa esensi manusia bukan fisiknya dan
bukan fungsi fisiknya yang merupakan yang nyata. Fisik adalah sesuatu yang mempunyai
tempat, sedangkan fungsi fisik adalah sesuatu yang tidak berdiri sendiri, karena keberadaan
fungsi fisik tergantung kepada fisik.

Sementara dalam penjelasannya yang lain, Alghazali menegaskan bahwa manusia


terdiri atas dua substansi pokok, yakni substansi yang berdimensi dan substansi yang tidak
berdimensi, namun mempunyai kemampuan merasa dan bergerak dengan kemauan.Substansi
yang pertama dinamakan badan ( al-jism), fisika, dan substansi yang kedua disebut jiwa ( al-
nafs) yang metafisik.

Penjelasan Alghazali tentang kenabian dalam Maʻȃrif al-Quds terbagi dalam dua


bagian yang cukup berbeda: Di bagian yang pertama, Alghazali mengemukakan argumen-
argumen untuk mengukuhkan kenabian, sedangkan di bagian kedua, dia mengemukakan
kerja kenabian pada tiga level: imajinasi, akal, dan kekuatan pencipta mukjizat. 10 Bagian
pertama ditandai oleh upaya untuk mengompromikan ajaran naturalisme dari filsafat dengan
supranaturalisme dari teologi dogmatik. Sedangkan di bagian kedua, dia meminjam
seluruhnya dan hampir-hampir secara harfiah dari penjelasan Ibn Sina. Alghazali
menawarkan tiga argumen bagi kenabian: Pertama, dia berupaya menempatkan kelas nabi-
nabi sebagai spesies berbeda yang berada di atas derajat manusia. Dia mengemukakan,
sebagaimana halnya spesies manusia dibedakan dari binatang-binatang lain dengan jiwa
rasionalnya, demikian juga jiwa para nabi dibedakan dari jiwa manusia biasa oleh akal yang
membimbing dan terbimbing yang berada di atas semua akal yang memerintah dan
mengaturnya melalui keutamaaan Ilahi yang sangat erat dengan dimensi metafisika. Kedua,
argumen yang bertolak dari manusia ada dua, yang pertama secara ketat bersifat moral dan
yang kedua didasarkan pada moralitas “utilitarian” atau “konvensional”.

9Ibrahim Madkour. Filsafat Islam Metode dan Penerapan, h. 26


10Ibrahim Madkour, Filsafat Islam: Metode dan Penerapan, terj.Yudian Wahyudi Asmin dan Ahmad Hakim Mudzakhir
(Jakarta: RajaGrafindoPersada, 1993)hal. 148
Tindakan-tindakan yang bisa dilakukan manusia meliputi tindakan yang baik dan
buruk. Oleh karena itu, sebagian tindakan harus dilakukan sementara sebagian yang lain
harus dihindari. Ketiga, garis pemikiran ini membawa Alghazȃlȋ kepada argumen yang
berupaya memperlihatkan Tuhan sebagai pemberi perintah yang Pertama dan satu-satunya
Pemberi perintah. Segala sesuatu yang bergerak memiliki penggerak; perbedaan-perbedaan
dalam gerak “alamiah” berarti bahwa si Penggerak memiliki kehendak, dan akhirnya, jika
gerakan-gerakan tersebut demi kebaikan, si Penggerak adalah seorang Pemberi perintah.11

Mengenai karya yang bersifat eksoteris, yaitu Mi’raj al-Salikin, ia mewakili sikap


resmi dan umum Alghazali. Dalam bagian kelima, yang secara khusus membahas kenabian,
Alghazȃlȋ mengemukakan bahwa di antara mereka yang mengukuhkan kenabian, terdapat
satu kelompok yang menegaskan bahwa ia adalah sesuatu yang wajib lahir, sehingga dengan
kekuatan jiwanya dapat melahirkan perubahan-perubahan dan memberikan watak dan prilaku
yang utama. 

Alghazali selanjutnya menjelaskan kenabian sesuai dengan kalam resmi, tetapi


mengingkari bahwa manajemen politik-hukum (Siyasah)adalah bagian dari kenabian.
Sekalipun demikian, berkaitan dengan upaya membuktikan misi kenabian Muhammad, pada
bagian yang sama, dia menunjuk pada manajemen politik  orang banyak (Siyasah al-Khalq)
melalui hukum syariat. Demikianlah diantara pemikir-pemikir muslim yang bisa dijadikan
rujukan konsepsi untuk melacak akar pemikiran Falsafah Metasika dalam sejarah pemikiran
Islam,12 sebagai perbandingan perlu dideskripsikan khasanah pemikiran falsafah metafisika di
kawasan barat.
8. Metafisika menurut Ibnu Bajjah
Ibnu bajjah mengatakan bahwa segala yang ada (al-maujud) terbagi dua: yang
bergerak dan yang tidak bergerak, yang nampak, (fisika) dan yang tidak nampak (metafisika).

11Fazlur Rahman, Kontroversi Kenabian dalam Islam: Antara Filsafat dan Ortodoksi, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: mizan,
2003),hal. 99
12Secara prinsip pada hakekatnya masih banyak tokoh-tokoh lain yang dapat dijadikan referensi untuk memperkaya kajian
metafisika dalam pemikiran filosof. Akan tetapi cukup kiranya sebagai bahan diskusi untuk penulisan buku ajar ini. Diyakini bahwa hampir
semua pemikir dan tokoh-tokoh sejak zaman sahabat, khalifah ar rasyidin, masa khalifah muawiyah Abbasiyah bahkan ketika Islam
mengalami masa kemunduran sekalipun masih banyak pemikir-pemikir muslim yang terus berkarya dan berijtihad. Sampai dengan ketika
islam dikatakan mengalami era kebangkitan lagi pada abad 17 dan 18. bahkan sampai era kontemporer sekarangpun masih banyak kita
temukan sejumlah karya-karya monumental dikalangan pemikir muslim untuk merumuskan dan merekonstruksi pemikiran metafisika.
misalnya Fazlur Rahman(dengan segala karya yang dihasilkannya), Sahrur, Nasr Hamid Abu Zayd, al jabiri, Hasan Hanafi, Muhammad
Iqbal, dan untuk yang terakhir ini Prof Dr. Kadirun Yahya dengan argumennya satu-satunya disunia tentang metafisika eksakta dan lain-
lain. Yang secara prinsip diskusi yang mereka paparkan tentang konsep Tuhan, wahyu, konsep hakekat kenabian, hakekat ilmu dan
sebagainya. Belum lagi jika kita mengkaji peta pergerakan aliran-aliran dalam berbagai madzhab, baik itu madzhab teologi-tasawwuf,
madzhab fiqh dan sebagainya yang masing-masing mereka memiliki cara pandang yang sangat beragam untuk membuat rumusan hal-hal
yang bersifat eskatologis (ghoib). Ini dapat dimaklumi sebab konsepsi agama hakekatnya adalah mengandung konsepsi relasi metafisis
antara Tuhan (dengan segala ”wujud”nya) Manusia (dengan segala fenomena) dan Alam (kosmos) dengan segala bentuknya. Agama
hakekatnya memiliki kewajiban memberikan rumusan yang jelas atas relasi-relasi yang dibangun atas dasar keberadaan dari masing-masing
entitas tersebut. Dan pemikiran manusia untuk menemukan relasi ideal yang bersifat falsafi metafisis tiada pernah berhenti sampai
kapanpun.
Yang bergerak adalah jisim (materi) yang sifatnya finite (terbatas). Dan gerak terjadi dari
perbuatan yang menggerakkan terhadap yang di gerakkan. Gerakan ini di gerakkan pula oleh
gerakan yang lain, yang akhir rentetan gerakan ini di gerakkan oleh penggerak yang tidak
bergerak; dalam arti penggerak yang tidak berubah yang berbeda dengan jisim (materi).
Penggerak ini bersifat azali.

Gerak jisim mustahil timbul dari subtansinya sendiri sebab ia terbatas. Oleh karena
itu, gerakan ini mesti berasal dari gerakan yang infinite (tidak terbatas) yang oleh ibnu bajjah
disebut dengan akal. Perlu di ketahui bahwa para filosof muslim pada umumnya menyebut
Allah itu memerintahkan agar manusia menggunakan akal. Argumen yang mereka majukan
adalah Allah pencipta dan pengatur alam yang beredar menurut natur rancangan-Nya,
mestilah Ia memiliki daya berpikir.

Kemudian dalam mentauhidkan Allah yang metafisik atau gaib dengan semutlak-
mutlaknya, menurut Ibnu Bajjah para filosof muslim menyebut Allah adalah zat yang
mempunyai daya berpikir, juga berpikir dan objek pemikiranya sendiri. Keseluruhanya
adalah zat-Nya yang Esa.13 Ibnu Bajjah percaya pada kemajemukan akal, Ia pun mengacu
pada akal pertama dan akal kedua yang bolehjadi hampir sama dengan argumen Al-Farabi.

Ibnu Bajjah berpendapat, akal manusia paling jauh adalah akal pertama. Kemudian ia
menjelaskan tingkat-tingkat akal dengan mengatakan bahwa sebagian akal secara langsung
berasal dari akal pertama; sebagian lain berasal dari akal-akal lain, hubungan antara yang
diperoleh dan tempat asal akal yang diperoleh itu sama dengan hubungan cahaya matahari
yang ada di dalam rumah dan cahaya matahari yang ada di luar rumah. Menurutnya; akal
manusia, berlahan-lahan mendekati akal pertama dengan: pertama, meraih pengetahuan yang
didasarkan pada bukti, yang dalam hal itu, akal paling tinggi direalisasikan sebagai bentuk.
Kedua, memperoleh pengetahuan tanpa mempelajarinya atau berusaha meraihnya. Metode
kedua ini adalah metode orang-orang Sufi, khususnya metode Alghazali. Metode ini
memampukan jiwa manusia memperoleh pengetahuan tentang Tuhan. Salah satu bentuk
filsafat metafisika Ibnu Bajjah, Perbuatan manusia memiliki sejumlah tujuan yang berbeda
tingkatanya. Ada perbuatan untuk tujuan jasmani, seperti makan dan minum, memakai
pakaian, atau membuat rumah sebagai tempat tinggal. Ada pula perbuatan dengan tujuan
rohani (metafisika), yang meliputi sejumlah tingkatan yang juga berbeda seperti;

13 Harun Nasution, Akal dan Wahyu , h. 17


pertama perbuatan memakai pakaian yang indah dan serasi, yang menimbulkan
kebanggaan dan senang serta percaya diri pada jiwa.

kedua perbuatan yang menimbulkan kenikmatan pada daya khayal, seperti perbuatan
memperlengkapi diri dengan persenjataan, tetapi bukan pada waktu perang,

ketiga perbuatan berhimpun sesama orang-orang yang saling bersimpati atau sesama
pemain yang menghasilkan kegembiraan rohani tertentu,

keempat perbuatan dengan tujuan untuk mengaktualkan dengan sempurna daya akal
pikiran seperti upaya mempelajari suatu pengetahuan demi pengetahuan itu, bukan demi
mendapatkan uang atau harta lainnya

Menurut pendapat Ibnu Bajjah, setiap manusia mempunyai jiwa yang berbeda dengan
jasmani. Jiwa adalah penggerak bagi manusia atau fisik manusia. Jiwa di gerakkan dengan
dua jenis alat: yakni alat-alat jasmaniah (fisika) dan alat-alat rohaniah (metafisika). Alat-alat
jasmaniah antaranya ada berupa buatan dan ada pula berupa alamiah, seperti kaki dan tangan.
Alat-alat alamiah ini lebih dahulu dari alat buatan’ yang di sebut juga oleh Ibnu Bajjah
dengan pendorong naluri (al-harr al-gharizi) atau roh insting. Ia terdapat pada setiap
makhluk yang berdarah. Panca indera merupakan lima unsur dari suatu indera tunggal yaitu
akal sehat, dan akal sebagai realisasi penuh tubuh secara keseluruhan, oleh karena itu disebut
sebagai jiwa. Unsur ini juga mensupalai materi untuk unsur imajinasi yang terorganisasi,
sebab itu unsur ini didahului oleh sensasi yang mensupalai materi kepadanya. Oleh karenanya
lagi sensasi dan imajinasi telah dianggap sebagai dua jenis persepsi jiwa.

Tetapi perbedaan keduanya sangat jelas sepanjang sensasi bersifat khusus dan
imajinasi bersifat umum. Unsur imajinatif berpuncak pada unsur penalaran yang melawatinya
orang-orang bisa mengungkapkan dirinya kepada orang lain dan sekaligus mencapai serta
membagi pengetahuan. Ibnu Bajjah membagi bentuk kejiwaan menjadi tiga bahagian, antara
lain: pertama, bentuk-bentuk tubuh sirkular hanya memiliki hubungan sirkular dengan materi
sehingga bentuk-bentuk itu dapat membuat kejelasan materi dan menjadi sempurna. Kedua,
kejelasan materi yang bereksistensi dalam materi. Ketiga, bentuk-bentuk yang bereksistensi
dalam indera-indera jiwa akal14 sehat, indera khayali, ingatan, dan sebagainya, dan yang

14 Akal hanya berfungsi ketika memenuhi empat komponen yaitu 1. Fakta terindera, 2.Panca indera sebagai alat penginderaan,
3. Otak yang sehat dan normal, 4. Informasi sebelumnya mengenai fakta yang di amati. Lihat Moh.Husein Abdullah, Menajamkan
Pemahaman Islam,  terj: M.Romli, ( Bangil, Al-Izzah, 2003), 29-33. Bukti tentang batasan akal sesungguhnya telah dibuktikan dalam kisah
nabi Adam ketika ia tidak mengetahui atau tidak bisa mengidentifikasi benda-benda. kemudian Allah memberitahukan nama benda-benda
tersebut kepada nabi Adam, lihat QS:Al-Baqarah : 31-32. Dan bukti bahwa keberadaan Tuhan dapat dijangkau oleh akal manusia adalah
berada di antara bentuk-bentuk kejiwaan dan kejelasan materi. Bentuk-bentuk yang berkaitan
dengan aktif oleh Ibnu Bajjah dinamakan bentuk-bentuk kejiwaan umum, sedangkan bentuk-
bentuk yang berkaitan dengan akal sehat dinamakan bentuk-bentuk kejiwaan khusus.
Pembedaan ini dilakukan karena bentuk-bentuk kejiwaan umum hanya memiliki satu
hubunganyang menerima.

Sedangkan bentuk kejiwaan khusus memiliki dua hubungan-hubungan khusus dengan


yang berakal sehat dan hubungan umum dengan yang terasa. Misalnya; seorang manusia
ingat akan bentuk Taj Mahal; bentuk ini tidak berbeda dari bentuk nyata Taj Mahal kalau
benda itu berada di depan mata bentuk ini, selain memiliki hubungan khusus seperti yang
tersebut di atas, juga hubungan dengan wujud umum yang terasa sebab banyak orang melihat
Taj Mahal.
Ibnu Bajjah membagi perbuatan manusia kepada dua bagian.

Bagian pertama, ialah perbuatan yang timbul dari motif naluri dan hal-hal lain yang
berhubungan denganya, baik dekat atau jauh. Bagian kedua ialah perbuatan yang timbul dari
pemikiran yang lurus dan kemauan yang bersih dan tinggi dan bagian ini disebutnya,
perbuatan-perbuatan manusia. Pangkal perbedaan antara kedua bagian tersebut bagi ibnu
bajjah bukan perbuatan itu sendiri melainkan motifnya.

Untuk menjelaskan kedua macam perbuatan tersebut, ia mengemukakan seorang yang


terantuk dengan batu, kemudian ia luka-luka, lalu ia melemparkan batu itu. Kalau ia
melemparnya karena telah melukainya maka ia adalah perbuatan hewani yang didorong oleh
naluri kehewananya yang telah mendiktekan kepadanya untuk memusnahkan setiap perkara
yang menganggunya.
Kalau melemparkanya agar batu itu tidak mengganggu orang lain,bukan karena kepentingan
dirinya, atau marahnya tidak bersangkut paut dengan pelemparan tersebut, maka perbuatan
itu adalah pekerjaan kemanusiaan.

Pekerjaan yang terakhir ini saja yang bisa dinilai dalam lapangan akhlak, karena
menurut ibnu bajjah hanya orang yang bekerja dibawah pengaruh pikiran dan keadilan
semata-mata, dan tidak ada hubunganya dengan segi hewani padanya, itu saja yang bisa
dihargai perbuatanya dan bisa di sebut orang langit. Setiap orang yang hendak menundukkan
kisah Nabi Ibrahim ketika ia memperhatikan keterbatasan benda-benda langit sebagai bagian dari alam semesta dengan kesimpulan bahwa
di balik itu semua pasti ada sang pencipta yang telah menciptakannya. Namun akal hanya mampu menjangkau keberadaannya, bukan pada
tentang zat Tuhan.
segi hewani pada dirinya, maka ia tidak lain hanya harus memulai dengan melaksanakan segi
kemanusiaanya. Dalam keadaan demikianlah, maka segi hewani pada dirinya tunduk kepada
ketinggian segi kemanusiaan, dan seseorang menjadi manusia dengan tidak ada
kekuranganya, karena kekurangan ini timbul disebabkan ketundukanya kepada naluri.

9. Metafisika menurut Ibnu Thufail


Pemikiran Ibnu Thufail yang berkaitan dengan metafisika terdapat dua bagian, yaitu,
tentang Tuhan dan tentang alam. Pertama, metafisika yang berkaitan dengan Tuhan adalah
dalam hal Zat dan sifat Allah, Ibnu Thufail sejalan dengan pendapat Mu’tazilah. Sifat-sifat
Allah Yang Maha Sempurna tidak berlainan dengan Zat-Nya. Allah mengetahui dan berkuasa
bukan dengan sifat ilmu dan qudrat yang melekat pada Zat-Nya, tetapi berdiri dengan Zat-
Nya sendiri tanpa bantguan yang lain. 15 Walaupun Sifat sangat identik dengan Zat, Ibnu
Thufail masih membuat rincian sifat Allah dengan membagi dua kelompok, yakni:

a.  Sifat-sifat yang menetapkan wujud Zat Allah, sperti ilmu, qudrat, dan hikmah.
Sifat-sifat ini adalah zat-Nya sendiri. Hal ini untuk meniadakan ta’addud al-qudama’
(berbilangnya yang qadim), sebagaimana paham Mu’tazilah.

b.  Sifat salab, yakni sifat-sifat yang menafikan paham keberadaan dari Zat Allah.
Dengan demikian, Allah suci dari kaitan dengan kebendaan. 16 Kedua, metafisika Ibnu Thufail
berkaitan dengan alam. Dalam buku Hayy Ibn Yaqzhan, Ibn Thufail banyak sekali
menguraikan ide-ide dan pemikiran filsafatnya yang menyangkut bidang metafisika.

Dari sekian luas pemikiran filsafat yang menyangkut bidang metafisikanya, konsep
Ibnu Thuafil tentang penciptaan alam tidak dapat dipandang sebelah mata. Lebih menarik
lagi, konsepnya tentang penciptaan alam berbeda dengan mainstream pemikiran tentang
kedua kutub bumi, hadits atau qadim-kah alam ini. Ibnu Thufail melalui analisis yang
dihubungan kepada kisah Hayy Ibnu Yaqzhan, berusaha menggiring bahwa apapun hasilnya,
hadis atau qadim, penciptaan alam mengisyaratkan eksistensi Tuhan. Kesimpulan itu Ia dapat
setelah mengalami beberapa kebingungan hingga harus memasuki bidang intuisi yang
metafisik. Ia juga meyakini bahwa eksistensi alam tidak bisa terlepas dari benda-benda yang
baharu (hadis). Alam tidak mungkin mendahului benda-benda baharu yang ada di dalam alam
itu sendiri. Sesuatu yang tidak dapat mendahului benda yang hadis, maka alam juga hadis.

15 Ibnu Thufail, Hayy Ibnu Yaqzhan, Tahqiq Faruq Sa’ad, (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidat, 1974), h. 179
16 Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya (Jakarta: RajaGrafindoPersada, 2012), h. 145
Sebaliknya, Ibnu Thuafil juga dihadapkan pada beberapa kerancuan jika harus
meyakini bahwa alam adalah hadis. Menurutnya, sesuatu yang hadis menuntut pengertian
bahwa alam diciptakan setelah sebelumnya tiada. Makna yang demikian tidak akan bisa
dipahami tanpa pandangan bahwa waktu telah diciptakan sebelum alam ini diciptakan. Hal
ini karena waktu adalah bagian dari alam yang tidak bisa lepas dari eksistensi alam itu
sendiri. Maka tidak mungkin waktu diciptakan men-dahului alam, sehingga tidak mungkin
juga alam bersifat hadis.

10. Metafisika Menurut Muhammad Iqbal

Konsep-konsep dari pemikiran metafisika Iqbal tidak begitu mudah dicerna dengan
hanya satu kali membaca buku-bukunya, setiap pembaca harus mengeluarkan konsentrasi
yang ekstra.17 Dibutuhkan pengetahuan ekstra untuk memahaminya dan menelaah buku-buku
yang ditulisnya. Dalam pembangunan perkembangan agama Islam, Iqbal telah berhasil
merekonstruksi sebuah bangunan filsafat Islam yang bernuansakan metafisika, yang dapat
menjadi bekal individu-individu muslim dalam mengantisipasi peradaban Barat yang
materialistik ataupun tradisi Timur yang fatalistik. Jika pikirannya diterapkan maka konsep-
konsep filosofis Iqbal akan memiliki implikasi metafisika tentang tabir eksistensi manusia,
dalam kehidupan sosial yang luas.
Konsep pemikiran Muhammad Iqbal yang signifikan adalah mengajak agar umat
Islam bangkit dari ketertinggalannya, dengan jalan merekonstruksi jiwa yang fisik maupun
yang metafisik, yakni melalui karya ilmiahnya. Dengan karyanya ini Ia ingin membangkitkan
jiwa dari daya hidup kaum Muslimin untuk maju, supaya mengalir-bergerak dan jangan
tinggal diam.
Dalam sebuah seminar bertajuk ”Pembaruan Pemikiran Keagamaan dalam Islam”,
Muhammad Iqbal menyampaikan orasi ilmiahnya tentang ilmu pengetahuan dan
metodologinya dalam Islam.18 Dalam orasi ilmiahnya tersebut Ia mengutip Surat Ad-Dukhan/
44 : 38 – 39:

Artinya :”Dan tidaklah Kami bermain-main menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada
diantara keduanya (38) Tidaklah Kami ciptakan keduanya melainkan dengan haq (benar),
tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui (39)”.19

17Didin Saefuddin, Pemikiran Modern Dan Postmodern Islam, Biografi Intelektual 17 Tokoh, (Jakarta: Gramedia, 2003), h. 47.
18Nunu Burhanuddin, Ilmu Kalam dari Tauhid Menuju Keadilan, h. 201.
19Departeman Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, (Surabaya: Fajar Mulya, Edisi 2002), h. 923.
Melalui ayat ini Iqbal berpendapat bahwa Alquran memandang alam sebagai sarana
agar manusia berpikir, karena indikasi ayat tersebut, kebanyakan manusia tidak mengetahui
dikarenakan tidak mau menggunakan pikirannya dengan benar. Jika mau berpikir dengan
benar tentu, dengan membuat alam ini menjadi inspirasi dengan memunculkan kreativitas
jiwa manusia untuk berpikir dan mengetahuinya.

Manusia melalui potensi akal yang berada dalam jiwa dan perangkat indriawinya
dapat menjangkau apa saja. Tetapi Iqbal tidak hanya berhenti pada akal semata sebagai
pijakan ilmu-ilmu alam, Iqbal melangkah lebih jauh dengan menyebutkan kemampuan hati
manusia. Dari ungkapan pengetahuan dan pengalaman agamanya ia menuliskan “Yet it
cannot be denied that faith is more than mere feeling. It has something like a cognitive
content”.20 Sesungguhnya tidaklah dapat dimungkiri, bahwa Iman itu adalah lebih dari hanya
perasaan semata. Ia mempunyai sesuatu seperti isinya makrifat.21

Manusia melalui potensi akal dan perangkat indriawinya yang terpusat dalam satu
kesatuan yang disebut jiwa, dapat menjangkau apa saja yang menyangkut yang dapat dilihat
oleh indriawi manusia (fisika) maupun apa yang tak dapat dilihat indriawi manusia
(metafisika) sehingga tidak ada alasan bagi manusia untuk tidak mengembangkan
kemampuannya dalam hal yang metafisika. Dalam Alquran tentang yang di lihat (fisika) dan
dan tidak dapat dilihat (meta) terdapat pada surah Al-Haqqah/ 69 ayat 38, 39:
Artinya: “Maka Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat dan demi apa apa yang tidak
kamu lihat”22
Muhammad Iqbal mengatakan terdapat dua macam pengetahuan yang dapat digali
dari potensi manusia. Yaitu pertama, pengetahuan alam yang melibatkan akal yang ada
didalam jiwa sebagai instrumen bagi pencapaian pengetahuan dan peradaban materi(fisika),
yang kedua pengetahuan keagamaan yang bertumpu pada kekuatan hati (metafisika), melalui
perangkat hati atau eksplorasi perenungan dan latihan inilah, dapat diketahui seutuhnya
hakikat ketuhanan.

Melalui konsep ini Iqbal ingin membangun metode baru tentang pengetahuan yang
dapat diaplikasikan oleh umat Islam, hal ini berbeda dengan filsafat dan metafisika barat.
Dalam perspektif ini Iqbal berpendapat citra akal diposisikan ke tingkat yang lebih tinggi

20M. Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, (New Delhi, cet. 2, 1981), h. 1.
21M. Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, terj. Osman Raliby, Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1966), h. 2.
22Departeman Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, (Surabaya: Fajar Mulya, Edisi 2002), h. 1082.
sehingga dapat mempelajari hakikat ketuhanan, sekaligus menjangkau wujud tuhan dan
kenabian.

Menurut Iqbal keimanan kepada tuhan tidak hanya dapat dijangkau oleh akal seperti
yang dilakukan kaum muktazilah melalui pembuktian premis-premis akal, atau seperti yang
dilakukan oleh para filosof melalui argumen-argumen rasio.23

Pandangan Iqbal tentang argumen Ortodoksi sangat bertentangan dengan konsep


pemikirannya, akan tetapi keimanan kepada tuhan dapat direalisasikan dengan sinergi
penalaran, perenungan dan pengalaman batin. Dalam hal ini keimanan kepada tuhan dapat
direalisasikan melalui oleh kemampuan kasap dan juga oleh hati.24

Tempat manusia dalam evolusi kreatif ditekankan oleh Iqbal berulang-ulang dalam
kuliahnya. Tugas manusialah untuk mengambil bagian dalam aspirasi yang lebih luas dari
alam semesta dan sekitarnya serta untuk membentuk nasibnya sendiri juga nasib alam
semesta itu. Pembicaraan tentang evolusi kreatif (creative evolution) membicarakan dua hal
yaitu hakikat manusia dan hakikat alam yang mengepung manusia. Walau sebagai gerakan
kebudayaan Islam menolak pandangan yang statis tentang alam semesta, namun sebaliknya
Iqbal mempunyai pandangan dinamis.
Manusia memikul amanah yang besar di pundaknya untuk mengetahui dan
memahami hakikat penciptaan alam tersebut. Manusia memiliki peranan kuat dalam
mengeksplorasi fakta-fakta alam, sehingga sampai kepada pengetahuan yang autentik dan
argumentatif.25

11. Metafisika dalam Pandangan Pemikir-Pemikir Barat 


Metafisika menurut pandangan pemikir-pemikir Barat, Sebagai analisa memperkuat
konseptualisasi kajian falsafah metafisika yang dikemukakan sejumlah pemikir-pemikir Barat
yang dapat ditelaah secara seksama sehingga dapat menjadi bahan komparasi dan
perbandingan dengan pemikir-pemikir muslim.

Adapun unsur-unsur yang menjadi perbandingan bagi pemikir-pemikr muslim adalah


seperti beberapa argumen-argumen berikut:

a. Thales berpendapat air sebagai arche. Filsafat alam yang berusaha mencari asal
arche dimana alam semesta tercipta dari air.

23M. Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, h. 203.


24M. Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, h. 203.
25M. Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, h. 201-202.
b. Pembuktian Tuhan oleh Ansellmus, tentang dalil ontologis yakni segala sesuatu di
dunia ini tidak ada yg sempurna, melainkan hanya memperlihatkan tingkatan-
tingkatan (gradasi). Oleh karena itu, tentu ada satu yang paling sempurna yang
mengatasi semua ketidaksempurnaan itu, yakni The Perfect Being.
c. Dalil Kosmologis menurut Aristoteles, Keteraturan alam semesta ini ditentukan
oleh gerak (motion). Gerak merupakan penyebab terjadinya perubahan (change) di
alam semesta. Akhirnya akal manusia tiba pada suatu titik yang ultimate, yaitu
sumber penyebab dari semua gerak, yaitu Unmoved Mover, Penggerak yang tadak
digerakkan.26
d. Dalil Teleologis (William Paley) Benda-benda di ruang alam semesta itu memiliki
gerak yg bertujuan (teleos), sehingga alam semesta ini merupakan karya seni
terbesar yang membuktikan adanya A Greater Intelligent Designer. Dalil Etis
(I.Kant), Dalam diri setiap manusia ada dua kecenderungan yang bersifat niscaya,
yaitu keinginan untuk hidup bahagia (happiness) dan berbuat baik. Kedua
kecenderungan itu akan dapat terwujud dalam kehidupan manusia apabila dijamin
oleh 3 postulat, yaitu kebebasan kehendak (freewill), keabadian jiwa
(immortality), dan Tuhan (God) sebagai penjamin hukum moral (Law Giver)27
e. Plotinos: Semua pengada beremanasi dari to Hen (yang satu) melalui proses
spontan dan mutlak. To Hen beremanasi pada Nous (kesadaran), melimpah pada
Psykhe (jiwa), akhirnya melimpah pada materi sebagai bentuk yang paling rendah,
yaitu Meion.
f. Karl Jaspers mengatakan; pertama Metafisika merupakan upaya memahami
Chiffer; simbol yang mengantarai eksistensi dan transendensi. Kedua Manusia
adalah chiffer paling unggul, karena banyak dimensi kenyataan bertemu dalam
diri manusia. Ketiga Manusia merupakan suatu mikrokosmos, pusat kenyataan;
alam, sejarah, kesadaran, dan kebebasan ada dlm diri manusia. Jadi Metafisika:
berarti membaca chiffer, transendensi, keilahian, sebagai kehadiran tersembunyi.
Arti dari Chiffer adalah jejak, cermin, gema atau bayangan transendensi.28
g. Jp. Sartre yang mempelopori aliran filsafat eksistensialisme memberikan konsep
pertama L’etre en soi (Bring-in-itself) yaitu keberadaan dalam diri yang bukan
pasif dan bukan pula aktif, tetapi memuakkan. Kedua, L’etre en soi keberadaan

26Joko Siswanto, Sistem-Sistem Metafisika Barat, (Yogyakarta: Pustaka pelajar ,1998) hal. 7
27Ibid, h. 57
28Ibid , h.127
dlm diri yg bukan aktif dan pasif, sifatnya memuakkan. L’etre pour soi kesadaran
manusia utk diri , sifatnya aktif, kebebasan dan berusaha mengobjekkan orang
lain. Dan ketiga, L’etre pour autrui keberaadaan untuk orang lain (sosial)29
12. Metafisika dalam Kontradiksi Para Pemikir.
Dialektika keilmuan, menjadi wacana yang sangat kental dan berkembang terus
menerus terutama di dunia Barat, sehingga ketika muncul pemikiran-pemikiran metafisika
yang merupakan aliran filsafat idealisme, akhirnya muncullah sejumlah tokoh dan pemikir
yang kontradiksi dan ada juga sebagian kecil yang menentang aliran ini. Mereka yang
kontradiksi ini lebih mengedepankan paradigma filsafatnya pada aliran empirisme
positivistik. Nilai pokok Aliran ini adalah penentangan keras akan adanya konsep metafisika.
Adapun penentang Metafisika yang pada umunya dari barat bisa dikemukakan disini adalah:30

a. David Hume: Menurut nya Metafisika itu merupakan cara berpikir yang
menyesatkan (sophistry) dan khayalan (illusion). Sebaiknya karya metafisika itu
dimusnahkan, karena tidak mengandung isi apa-apa.Metafisika bukanlah sesuatu
yang dapat dipersepsi oleh indera manusia, sehingga merupakan sesuatu yang
senseless. 
b. Alfred Jules Ayer: Srgumenya tentang metafisika adalah parasit dalam kehidupan
ilmiah yang dapat menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan, Oleh karena itu,
metafisika harus dieliminasi dari dunia ilmiah. Problem yang diajukan dalam
bidang metafisika adalah problem semu (pseudo-problems), artinya permasalahan
yang tidak memungkinkan untuk dijawab.
c. Ludwig Wittgenstein31: Metafisika itu bersifat the Mystically, hal-hal yang tak
dapat diungkapkan (inexpressible) kedalam suatu bahasa ungkapan
“yang,bersifat,logis”.
Menurutnya Ada persoalan metafisika, yaitu: pertama Subject does not belong to
the world; rather it is a limit of the world. Kedua, Death is not an event in life, we
do not live to experience death. Dan yag ketiga God does not reveal Himself in
the world.  “Sesutu yang tak dapat diungkapkan secara logis sebaiknya didiamkan
saja”. (What we cannot speak about, we must pass over in silence)

29Ibid, h.138
30Para tokoh-tokoh ini umumnya adalah pemikir empirisme positvisme materialistic yang secara prinsip berseberangan dengan
pemikir rasionals, idealisme
31 Anton Bekker, h. 254
E. MANFAAT METAFISIKA
Pembahasan yang mendalam tentang keberadaan metafisika dalam ilmu pengetahuan
memberikan banyak wawasan bagaimana metafisika merupakan hal substantive dalam
menelaah lebih jauh konsep keilmuan dalam menunjang kejayaan manusia dalam berfikir dan
menganalisis. Sehingga manfaat yang mutlak terhadap pengembangan ilmu.

Kontribusi metafisika terletak pada awal terbentuknya paradigma ilmiah, ketika


kumpulan kepercayaan belum lengkap pengumpulan faktanya, maka ia harus dipasok dari
luar, antara lain: metafisika, dan sains yang lain, kejadian personal dan historis serta
metafisika mengajarkan sikap open-ended, sehingga hasil sebuah ilmu selalu terbuka untuk
temuan dan kreativitas baru.Albert Einstein, yang merasakan perlunya membuat formula
konsepsi metafisika sebagai konsekuensi dari penemuan ilmiahnya.

Manfaat metafisika bagi pengembangan ilmu dikatakan oleh Thomas Kuhn terletak
pada awal terbentuknya paradigma ilmiah, yakni ketika kumpulan kepercayaan belum
lengkap faktanya, maka ia mesti dipasok dari luar, antara lain adalah ilmu pengetahuan lain,
peristiwa sejarah, pengalaman personal, dan metafisika. Misalnya adalah, upaya-upaya untuk
memecahkan masalah yang tak dapat dipecahkan oleh paradigma keilmuan yang lama dan
selama ini dianggap mampu memecahkan masalah membutuhkan paradigma baru,
pemecahan masalah baru, hal ini hanya dapat dipenuhi dari hasil perenungan metafisik yang
dalam banyak hal memang bersifat spekulatif dan intutitif, hingga dengan kedalaman
kontemplasi serta imajinasi akan dapat membuka kemungkinan-kemungkinan (peluang-
peluang) konsepsi teoritis, asumsi, postulat, tesis, dan paradigma baru untuk memecahkan
masalah yang ada.

Manfaat metafisika terhadap ilmu pengetahuan tidak dapat disangkal lagi adalah pada
fundamental ontologisnya, yakni persinggunggan antara metafisika dan ontology dengan
epistimologi. Sedangkan John Locke telah menjawab pertanyaan tersebut bahwa pengetahuan
diperoleh dari pengalaman, maka ia telah melahirkan aliran empirisme. 32Beberapa ahli
kemudian merumuskan beberapa manfaat filsafat ilmu dan metafisika dalam pengembangan
ilmu33

1. Kontribusi metafisika terletak pada awal terbentuknya paradigma ilmiah, ketika


kumpulan kepercayaan belum lengkap pengumpuan faktanya maka ia harus dipasok dariluar,

32Dov. M. Gabbay, Paul Thagard, and John Woods. Ebook of General Philosophy of Science. h.305
33Fakhry, Majid, A History of Islamic Philsopy alih bahasa R. Mulyadi Kartanegara Sejarah Filsafat Islam(Jakarta : Pustaka
Jaya, 1987).h. 27
antara lain: metafisika, sains yang lain, kejadian personal dan historis serta metafisika
mengajarkan sikap open-ended, sehingga hasil sebuah ilmu selalu terbuka untuk temuan dan
kreativitas baru.34

2. Metafisika mengajarkan cara berfikir yang serius, terutamadalam menjawab


promlem yang bersifat enigmatif (teka-teki), sehingga melahirkan sikap dan rasa ingin tahu
yang mendalam.(Kennick)

3. Metafisika menuntut orisinalitas berfikir, karena setiapmetafisikus menyodorkan


cara berfikir yang cenderungsubjektif dan menciptakan terminology filsafat yang khas.Situasi
semacam ini diperlukan untuk pengembangan ilmudalamrangka menerapkan heuristika. (Van
Peursen)

4. Metafisika mengajarkan pada peminat filsafat untuk mencari prinsip pertama (First
Principle) sebagai kebenaranyang paling akhir. Kepastian ilmiah dalam metode skeptic.

Namun menurut Prof. Dr. H. Kadirun Yahya manfaat dari ilmu metafisika jika dilanjutkan
dengan ilmu kerohanian dan metafisika eksakta mampu membersihkan jiwa manusia dari
syirik nyata dan syirik khafi (tersembunyi) sehingga manusia mampu mendirikan sholatul
khasiin,35 yang mana kita ketahui bahwa sholat khusuk merupakan syarat yang harus dimiliki
oleh umat Islam untuk mencapai kemangan dunia dan selamat di hari kemudian.

F. OBJEK METAFISIKA.
1. Manusia sebagai Objek

Manusia merupakan salah satu objek metafisika yang sangat berperan dalam proses
kehidupan manusia. Eksistensi manusia baru ada seutuhnya ketika terjadinya pertemuan
antara dua substansi yang berbeda yakni substansi fisik yang berbentuk manusia sempurna
yang berasal dari bumi dan substansi Roh yang berasal dari Tuhan yang mencipta. Manusia
dan metafisika memiliki suatu keterkaitan yang erat. Tanpa adanya proses metafisika, patut
dipertanyakan eksistensi manusia sebagai makhluk hidup yang tinggal dan menetap di dua
alam yakni dunia dan akhirat. Alquran menyatakan kejadian manusia terdiri dari dua
kejadian, pertama kejadian zahir (fisik), dan yang kedua kejadian batin( metafisik ) hal ini
terdapat didalam Alquran surah Al-Hijr/ 15: 28, dan di dalam surah As-Sajdah/ 32: 7:

34Dov. M. Gabbay, Paul Thagard, and John Woods. Ebook of General Philosophy of Science.h.516
35 K. Yahya Capita Selekta Tentang Agama Metafisika Ilmu Agama,h. 41
Artinya: Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sungguh, Aku
akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam
yang diberi bentuk”36

Artinya: “Yang memperindah segala sesuatu yang Dia ciptakan dan Yang memulai
penciptaan manusia dari tanah”37

Kejadian di atas disebut sebagai kejadian fisik atau zahir, Menurut Ulama Tauhid
kejadian berkenaan dipanggil diri zahir. Konsep kejadian zahir manusia didalam agama
Islam, sekarang ini dapat dipelajari secara ilmiah dan transparan, yang dapat di akses dari
berbagai sumber ilmu biologi dan kedokteran modern. Kejadian zahir manusia terdiri dari
tiga proses yakni yang petama, 1 x 40 hari berupa cairan biologis (fisika) dan 1 x 40 hari
kedua berupa darah biologis (fisika) serta 1 x 40 hari ketiga berupa daging dan tulang (fisika),
dan sesudah lengkap calon manusia (janin dalam rahim), bersifat jasmaninya, Setelah
sempurna jasad Adam maka Allah SWT ‘meniupkan ROH ALLAH’ ke jasad Adam.al ini
dapat dilihat dalam Alquran Surah Al-Hijr/ 15: 29:

Artinya: “Maka apabila Aku telah menyempurnakan (kejadian) nya, dan telah meniupkan roh
(ciptaan)-Ku ke dalamnya, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud”38

Metafisika adalah suatu rekonstruksi kejadian yang abstrak yang disusun oleh
komponen-komponen tindakan manusia berupa berawal dari tindakan fisik yang dipikirkan,
dilakukan dan diucapkan. Sederhananya metafisika adalah suatu bidang yang mempelajari
tentang apa yang dilakukan, dipikirkan dan diucapkan manusia dialam kesadaran atau alam
fisika yang terikat dengan ruang dan waktu, kemudian ditingkatkan pada tingkatan di atas
alam fisika Metafisika secara tidak langsung telah menggambarkan eksistensi manusia.

Manusia juga tampak sebagai objek yang ingin membuktikan eksistensi mereka pada
suatu sejarah kehidupan manusia. Metafisika merupakan fenomena manusiawi tentang
keberadaan manusia. Keterkaitan yang erat antara manusia dengan metafisika juga dapat di
gambarkan oleh peran metafisika dalam proses pembentukan sifat-sifat kemanusiaan yang
berujung pada pembentukan jati diri manusia. Metafisika juga merupakan manifestasi yang
khas manusiawi, pengenalan metafisika merupakan kenyataan yang dapat ditelusuri sejak
perkembangan kemanusiaan yang paling dini. Manusia pun berperan dalam sejarah yang tak

36Departeman Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, (Surabaya: Fajar Mulya, Edisi 2002), h. 461.
37Departeman Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, (Surabaya: Fajar Mulya, Edisi 2002), h. 757.
38Departeman Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, (Surabaya: Fajar Mulya, Edisi 2002), h. 461.
luput dari metafisika. Dalam hal ini, manusia berperan dalam menghadirkan eksistensi
sejarah.

Eksistensi sejarah tersebut dapat muncul apabila manusia dalam kehidupannya telah
beranjak menuju hari esok sehingga meninggalkan hari kemarin. Dengan demikian, “hari
kemarin” menjadi perwujudan dari eksistensi manusia dalam sejarah kehidupannya. Contoh
yang paling sederhana adalah seperti ini : diri kita yang saat ini sudah berumur 20, 30, 50
atau berapa pun, tentunya tidak langsung terlahir langsung seumur itu.

Dan itu pun membuktikan bahwa setiap manusia memiliki masa lalu. Dan masa lalu
itulah yang menjadi bukti eksistensi sejarah yang diperani manusia di dalamnya. Tanpa
manusia, mustahil sejarah Iqbal dapat diungkapkan sebagai proses maupun cerita yang dapat
dihadirkan. Karena manusialah yang menentukan sejarahnya sendiri. Sejarah itu terletak
dalam suatu dinamika. Dinamika itu timbul akibat dari sifat manusia yang dinamis. Selama
manusia itu bergerak (bertindak, berpikir dan berucap) maka akan mendorong terjadinya
perubahan demi perubahan yang seiring berjalannya waktu perubahan-perubahan itu akan
menjadi suatu komponen-komponen sejarah seperti yang pernah dilakukan ini. Karena
manusia yang membuat sejarah, sudah seharusnya setiap dari diri kita menjadi seorang
sejarawan. Minimal sejarawan bagi diri sendiri (every man is own historians). Dalam sudut
pandang manusia sebagai objek metafisika, karena manusia terdiri dari fisik, jiwa, batin atau
hati, dan ruh merupakan satu kesatuan diri manusia.

Dalam kajian Ilmu filsafat yang membahas manusia tidak akan pernah lepas dari
metafisika. Ilmu filosofis tertinggi adalah metafisika, karena materi subyeknya
berupa wujud non fisik mutlak yang menduduki peringkat tertinggi dalam
hierarki wujud. Dan sebagai objek metafisikanya adalah juga merupakan wujud non fisik,
yakni mengacu kepada Tuhan, malaikat, jin, setan, manusia, dan alam jagat raya.

Kajian tentang objek metafisika dapat dikatakan sebagai suatu usaha sistematis,
refleksi dalam mencari hal yang berada di belakang fisika. Itu berarti usaha mencari prinsip
dasar yang mencakup semua hal dan bersifat universal. Yakni sebagai hal “penyelidikan
tentang Tuhan”, bisa juga dikatakan sebagai “penyelidikan tentang dunia Ilahi yang
transenden”. Metafisika sering disebut sebagai disiplin filsafat yang terumit dan memerlukan
daya abstraksi sangat tinggi. Ibarat seorang untuk mempelajarinya menghabiskan waktu yang
tidak pendek. Ber-metafisika membutuhkan energi intelektual yang sangat besar sehingga
membuat tidak semua orang berminat menekuninya.
2. Manusia sebagai Subjek

Manusia sebagai subjek adalah manusia yang memerankan metafisika. Dalam filsafat
yang sangat diilhami oleh hasrat menghidupkan ketingiian agama tak luput dari rancangan
filsafat Metafisika yang tentunya diperankan oleh manusia, yaitu pemikiran filsafati (kritis,
analitis, rasional) tentang gejala agama yaitu hakikat agama sebagai objek dari pengalaman
religius manusia, hakikat hubungan manusia dengan Yang Suci. Dalam kajian metafisika
agama dan khususnya, salah satu tujuannya adalah untuk menegakkan fondasi teologis dan
tauhid secara benar karena tauhid merupakan dasar dari ajaran agama. Tujuan manusia adalah
penaklukan, bahkan menaklukan atau menawan Tuhan, menawan sifat-sifat Tuhan untuk
mengembangkan dirinya.39

Kekokohan konsepsi metafisika yang di perankan oleh manusia sebagai pelaku


dimaksudkan untuk menjawab tantangan pendapat pemeranya dari pemeran metafisika yang
berpandangan materialisme maupun positivisme yang mengingkari
eksistensi imaterial dan supra-natural. Sebagai pemeran agama harus mampu membuktikan
keterbatasan indera manusia dalam melakukan eksperimen dan menyingkap segala eksistensi
materi alam semesta sehingga dalam pembuktian keberadaan hal-hal yang bersifat non-
indriawi, manusia sebagai pemeran metafisika memiliki eksistensi riil dalam kehidupan di
alam semesta yang luas ini.

Metafisika berbeda dengan kajian-kajian tentang objek partikular yang ada pada alam
semesta. Biologi mempelajari objek dari organisme bernyawa, geologi mempelajari objek
bumi, astronomi mempelajari objek bintang-bintang, fisika mempelajari objek perubahan
pergerakan dan perkembangan alam. Tetapi metafisika agama mempelajari sifat-sifat yang
dimiliki bersama oleh semua objek ini yang dipandu oleh dimensi keIlahian untuk
menemukan kebenaran hakiki atas religiositasnya.

Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana dengan konsepsi falsafah Metafisika


dalam perkembangan peran pemikiran Islam sebagai pelaku metafisika. Di sinilah perlu
dilakukan sebuah pemetaan berkaitan dengan konsepsi filsafat metafisika dalam wacana
pemikiran Islam. Maka dapat dipetakan ke dalam sejumlah aspek penting yang mesti
dideskripsikan oleh falsafah metafisika sehingga Islam menjadi agama yang memiliki
bentuknya yang komprehensif dalam menjelaskan objek dan subjek metafisika dengan benar.
Misalnya pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut hal-hal hakikat metafisis akal dan jiwa

39M. M. Syarif, Iqbal Tentang Tuhan dan Keindahan, h. 97.


(hakikat metafisika manusia), bagaimana pemikir muslim merumuskan hakikat
metafisis objek (metafisika ketuhanan), dan bagaimana pemikir-
pemikir muslim mengonsepsikan hakikat metafisis falsafah wahyu dan nabi dan lain
sebagainya.

Pada hakikatnya segala hal yang berkaitan dengan konsepsi Islam berpedoman kepada
hal-hal yang bersifat gaib. Maka untuk memberi rumusan hal-hal yang bersifat gaib ini para
pemikir muslim berjuang sekuat tenaga melalui akal pikirnya untuk berijtihad menjawabnya
sehingga melahirkan sejumlah konsep yang dapat dijadikan sumber rujukan. Ilmiah sekarang
mulai menjamah bidang-bidang batas keilmuan antara ilmiah filsafat dan agama dan pada
umumnya ilmiah mulai kelihatan gagal dalam misinya.40 Ilmu filosofis tertinggi adalah
metafisika karena materi subyeknya berupa wujud non fisik mutlak yang menduduki
peringkat tertinggi dalam hierarki wujud.

Adanya kenyataan trans-empiris, yang begitu mempengaruhi dan menentukan, tetapi


sekaligus membentuk dan menjadi dasar tingkah-laku manusia sebagai pemeran metafisika.
Dalam kajian metafisika agama dan khususnya Islam, salah satu tujuannya adalah untuk
menegakkan bangunan fondasi teologis dan tauhid secara benar kepada pemeran metafisika.
Karena tauhid merupakan dasar dari ajaran Islam. Prof. Kadirun Yahya mengatakan “Belief
in God is no longer more a Belief, but it has become a science of the highest dimension”.41

Yang artinya, Kepercayaan kepada Tuhan bukan lagi merupakan kepercayaan semata-mata,
tetapi kepercayaan telah bertukar wujud menjadi Ilmiah yang setinggi-tinggi dimensinya.

Kekokohan konsepsi metafisika agama (Islam) dimaksudkan untuk menjawab


tantangan pendapat para pendukung materialisme (khususnya positivisme) yang mengingkari
eksistensi imaterial dan supra-natural, yang kedua hal tersebut adalah saripati dan hakikat
substansi nilai keagamaan. Disinilah setiap pemikir agama harus menjawab menjawab dua
hal pokok yang menjadi tantangan kelompok meterialistik yang tidak meyakini hal-hal yang
supra indriawi dan imaterial; Pertama: pemikir agama harus mampu membuktikan
keterbatasan indera manusia sebagai pemeran metafisika dalam melakukan eksperimen dan
menyingkap segala eksistensi materi alam semesta. Kedua: Membuktikan kepada pemeran
metafisika bahwa keberadaan hal-hal yang bersifat non-indriawi, namun memiliki eksistensi
riil dalam kehidupan di alam kosmologi yang luas ini.

40K. Yahya, Mutiara Alquran dalam Capita Selecta, Tentang Agama, Metafisika, Ilmu Eksakta, (Lembaga Ilmiah Metafisika
Tasawuf Islam/ LIMTI UNPAB Medan), h. 1.
41K. Yahya, Mutiara Alquran dalam Capita Selecta, h. 1.
Metafisika, berbeda dengan kajian-kajian tentang wujud partikular yang ada pada
alam semesta. biologi mempelajari wujud dari organisme bernyawa, geologi mempelajari
wujud bumi, astronomi mempelajari wujud bintang-bintang, fisika mempelajari wujud
perubahan pergerakan dan perkembangan alam. Tetapi metafisika agama mempelajari sifat-
sifat yang dimiliki bersama oleh semua wujud ini yang dipandu oleh dimensi ke-Ilahiaan
untuk menemukan kebenaran hakiki atas religiusitasnya.

Kajian tentang metafisika sebagai subjek dapat dikatakan sebagai suatu usaha
sistematis, refleksi dalam mencari hal yang berada di belakang fisik dan partikular. Itu berarti
usaha mencari prinsip dasar yang mencakup semua hal dan bersifat universal. Yakni sebagai
hal penyelidikan tentang Tuhan bisa juga dikatakan sebagai penyelidikan tentang dunia Ilahi
yang transenden. Metafisika sering disebut sebagai disiplin filsafat yang terumit dan
memerlukan daya abstraksi sangat tinggi. Ibarat seorang untuk mempelajarinya
menghabiskan waktu yang tidak pendek. Ber-metafisika membutuhkan energi intelektual
yang sangat besar sehingga membuat tidak semua orang berminat menekuninya.

Persoalan metafisika yang dibahas oleh Al-Razi, 42 Metafisika sering disebut sebagai
disiplin filsafat yang terumit dan memerlukan daya abstraksi sangat tinggi, namun demikian
ada juga seperti halnya yang ada pada filsafat Yunani kuno yaitu tentang adanya lima prinsip
yang kekal yaitu: Tuhan, Jiwa Universal, materi pertama, ruang absolut, dan zaman absolut.43

Bagaimana pemikir Islam merumuskan pada pemeran metafisika tentang hakikat


metafisik Akal dan Jiwa (hakikat metafisik Manusia), Bagaimana pemikir Muslim
merumuskan hakikat metafisik wujud (metafisika ketuhanan), dan bagaimana pemikir-
pemikir Muslim mengonsepsikan hakikat metafisik Falsafah Wahyu serta Nabi dan lain
sebagainya.

Pada hakikatnya segala hal yang berkaitan dengan konsepsi Islam berpedoman kepada
hal-hal yang bersifat gaib. Maka untuk memberi rumusan hal-hal yang bersifat gaib ini para
pemikir muslim berjuang sekuat tenaga melalui akal pikirnya untuk berijtihad menjawabnya
sehingga melahirkan sej’umlah konsep yang dapat dijadikan sumber rujukan pada manusia
sebagai pemeran utama metafisika.

42Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad Ibnu Zakaria Al-Razi, hidup pada 250-313 H/864-925 M. ia lahir, dewasa
dan wafat di Ray, dekat Teheran Persia. Al-Razi sangat luas ilmunya, cabang-cabang ilmu pengetahuan yang pernah dipelajarinya ialah
filsafat, kedokteran, astronomi, kimia, sastra dan logika. Dengan demikian tidak mengherankan apabila ia dikenal sebagai seorang yang ahli
dalam medis, filsafat, dan kimia, di bidang kedokteran Al-Razi cukup terkenal, karena karangannya di bidang kedokteran menjadi buku
pedoman atau sebagai buku teks kalangan kedokteran.
43Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), cet, III, h. 34.
Sebagai pemeran manusia memposisikan Ilmu metafisika sebagai ilmu yang melebihi
ilmu fisika. Ilmu metafisika dapat dikatakan ilmu pengetahuan universal, karena semua
dikaitkan dengan yang ada.44 Berbeda dari pengertian ilmu metafisika dalam khasanah
western science, Pemeran metafisika memerankan nya dengan falsafah metafisika Islam
yakni dengan ilmu fisika yang dilanjutkan atau ditingkatkan sehingga masuk ke dalam ilmu
bi Al-gaibi (gaib atau rohani).45 Yang berkaitan dengan konsepsi keagamaan. Sehingga
dengan ilmu metafisika akan terungkap apa itu agama secara lebih komprehensif kepada
pemeran metafisika. Kebenaran-kebenaran dan rahasia-rahasia agama yang selama ini
dianggap misterius, mistik, gaib, dan sebagainya akan menjadi sebuah konseptualisasi yang
cukup nyata, relatif riil, dan dapat dijelaskan secara falsafi.

Hal ini mirip dengan peristiwa-peristiwa kimiawi yang dulunya dianggap misterius,
nujum, sulap, untuk menakut-nakuti, dan sebagainya, dengan ilmu kimia menjadi nyata, dan
seolah-olah riil, dan dapat dijelaskan secara filosofis misalnya unsur Air (H2O) Asam
Klorida (HCL) Besi (Fe) dan lain sebagainya. Dengan ilmu metafisika jelas bahwa agama tak
lain terdiri dari hukum-hukum yang secara konseptual riil seperti juga alam jagat raya yang
tak lain terdiri dari hukum-hukum fisika, kimia, dan biologi. Hanya saja martabat dan
dimensi hukum-hukum agama tersebut lebih tinggi dan bersifat hakiki, absolut serta jika
dilihat secara filosofis nampaklah sangat sempurnanya alam ini. Tujuan pembahasan
metafisika adalah untuk membangun suatu sistem alam semesta yang dapat memadukan
ajaran agama dengan tuntutan akal.46
Dengan penjelasan yang masuk akal yang falsafi filosofis maka ajaran-ajaran agama
dapat diterangkan secara logis kepada pemerannya sehingga keimanan semakin meningkat.
Tanpa penjelasan yang falsafi metafisis logis maka ajaran agama menjadi dogma. Tanpa
penjelasan yang logis falsafi metafisis, maka ajaran agama sekedar pil yang harus di telan
sehingga tidak akan dapat dihayati maksud dan tujuannya oleh umat beragama. Dari sebuah
ritual dan perintah-perintah agama yang membentuk berbagai ritualitas agama hanya
bermakna sebagai beban yang sangat berat bagi umatnya. Dengan metafisika ilmiah-lah kita
bisa menghargai betapa tanpa adanya agama maka manusia tidak mungkin percaya adanya
Tuhan.

Menurut Heidegger metafisika merupakan suatu usaha mengatasi dunia fisik. 47 Pada
dasarnya tidak ada sesuatu hal pun di alam ini yang tidak dapat ditangkap dengan panca indra
namun demikian, merupakan suatu kemustahilan untuk menangkap secara indriawi suatu
keseluruhan sebagai keseluruhan.

44Lorens Bagus, Metafisika, h. 4.


45K.Yahya, Capita selecta Tentang Agama Metafisika Ilmu Eksakta Jilid I, ( Medan ,1981)
46 K.Yahya, Capita selecta Tentang Agama Metafisika Ilmu Eksakta Jilid I, ( Medan ,1981)
47Loren Bagus, Metafisika, h. 4.
Namun Aristoteles mengatakan bahwa metafisika adalah sebagai ilmu pengetahuan
mengenai yang ada sebagai yang ada, yang ada sebagai yang digerakkan atau yang ada
sebagai yang dijumlahkan. Kita dapat mendefinisikan metafisika sebagai bagian pengetahuan
manusia yang berkaitan dengan pertanyaan mengenai hakikat yang ada yang terdalam.

Secara singkat, dapat dinyatakan bahwa pernyataan-pernyataan ini menyangkut persoalan


kenyataan sebagai kenyataan, dan berasal dari perbedaan yang disadari oleh setiap orang
sebagai pemeran metafisika, yakni perbedaan antara yang tidak tampak abstrak dengan yang
nyata fisika.

Para cendekiawan khususnya di Perguruan Tinggi, terlebih-lebih di Barat kalau


disebut istilah “Metafisika” langsung di tafsirkan dengan “Filsafat”. Masalah ini mungkin
timbul sebagai akibat terlalu berlebihan akan rasa kekhawatiran terhadap agama dan belum
ada yang mampu megenakan manusia sebagai pemeran metafisika. Hal ini seperti ungkapan
Prof. Kadirun Yahya:“Mereka tidak tahu bahwa Islam adalah sangat dalam dan sangat tinggi
dan halus, yang mengupas ilmu zahir saja tetapi juga ilmu batin secara sangat dalam.”48

Sebelum masa “Renesanse” memang istilah sains atau ilmu pengetahuan dengan
philosophy atau Filsafat adalah sama termasuk metode dan sistemnya, tetapi setelah
Renesanse, para ahli keilmuan membedakan keduanya dalam sistem dan metodenya, sebagai
akibat tuntutan atas kebutuhan hidup manusia di dunia sehingga Iptek bergerak maju cepat.
Dalam filsafat ilmu menurut Persons (Ismaun: 2004) dalam studinya melakukan pendekatan
salah satunya adalah pendekatan metafisika, yang bersifat intransenden. Moral berupa sesuatu
yang objektif universal dalam dimensi kajian filsafat ilmu dibagi menjadi dimensi ontologi,
dimensi epistemologi, dan dimensi aksiologi.

Metafisika sangat penting dalam filsafat, Sementara filsafat dan ilmu pengetahuan
berbeda, tetapi mempunyai asal dan tujuan yang sama.49 dan pemikiran manusia sebagai
subjek atau pemeranya bahwa alam semesta tidak dapat hanya mengandalkan abstraksi fisika
dan matematika semata, hal ini dikarenakan: pertama indera manusia memiliki
keterbatasan dalam melakukan eksperimen dan menyingkap segala eksistensi materi alam
semesta, dan yang kedua terdapat hal-hal yang bersifat non indriawi yang memiliki eksistensi
riil dalam kehidupan di alam semesta ini.

48K.Yahya, Mutiara Alquran dalam Capita Selecta, Tentang Agama, Metafisika, Ilmu Eksakta, (Lembaga Ilmiah Metafisika
Tasawuf Islam/ LIMTI UNPAB Medan), h. 28.
49Loren Bagus, Metafisika, h. 7.
Konsepsi Islam terhadap metafisika berpedoman pada hal-hal yang bersifat gaib dan
pemikiran manusia dalam hal metafisika mempunyai kebenaran yang relatif. Namun
kebenaran relatif ini diperbolehkan sepanjang tidak bertentangan dengan Alquran dan Sunnah
Rasul. Selain itu tujuan pembahasan metafisika dalam filsafat adalah untuk membangun
sistem di alam semesta yang dapat memadukan ajaran agama dengan tuntutan akal karena
dengan tidak adanya metafisika maka manusia tidak mungkin percaya adanya Tuhan.

Jika kita melihat secara intensif dan ekstensif terhadap kehidupan di dunia ini
sepanjang era modernisasi, maka sebagian besar manusia sudah mulai meninggalkan
metafisika dan hanya berlandaskan fisika dan matematika saja. Banyak manusia bahkan
ilmuwan yang sudah mulai terpengaruh oleh paham sekuler yang memisahkan antara
kehidupan dunia dan agama bahkan menganggap agama dapat menghambat perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah sampai kepada yang seilmiah-ilmiahnya.

Hal inilah yang menimbulkan terjadinya krisis multi dimensi dalam kehidupan
manusia. Paham sekuler juga menjadi landasan bagi perkembangan ilmu pengetahuan
sehingga hanya berpatokan pada empirisme dan positivisme. Dengan pengaruh dari paham
sekuler maka manusia berpikir bahwa manusialah yang mengendalikan alam semesta. Oleh
karena itu perlu adanya metafisika Islam yang berlandaskan tauhid untuk membatasi
eksplorasi yang dilakukan oleh manusia terhadap ilmu pengetahuan dalam alam semesta ini.

Dalam era modernisasi, westernisasi juga merebak dalam setiap individu di dunia
bahkan di negara Indonesia. Pragmatisme, hedonisme, kapitalisme juga turut andil dalam
menyebarkan pengaruh negatif terhadap aspek kehidupan di dunia yang bahkan bertentangan
dengan metafisika Islam. Untuk mengatasi krisis multi dimensi ini, manusia harus
memulainya dengan berpikir secara kritis terhadap segala fenomena yang terjadi, salah
satunya adalah dengan berpikir secara filsafati yang di dalamnya terdapat metafisika
khususnya metafisika Islam.

G. TUJUAN MEMPELAJARI METAFISIKA.


Karena manusia menyimpan ruh dari Tuhan Sang Pencipta, pemelihara dan Pemilik
alam semesta. Dengan menganalisa tanda-tanda di alam jagad raya dan beberapa
keistimewaan manusia, akan terbuka kesadaran untuk meningkatkan rasa syukur sebagai
hamba Tuhan yang paling mulia

Kehidupan manusia, bukan sekedar mencari makan, harta, tahta, dan gelar intelektual,
tetapi tanda keberadaan eksistansi dan substansinya sebagai insan. Kesadaran diri dan
pengembangan diri dari sekedar sebuah "keberadaan kodrati" atau "keberadaan potensial"
menjadi "keberadaan aktual" disamping sebagai pemikir yang mampu menyumbang bagi
pengembangan ilmu, kebudayaan, dan kesejahteraan masyarakat, melelui pengembangan diri
sebagai pemikir , manusia juga diharapkan mampu mengembangkan diri dan manusia mampu
menyumbang bagi pemenuhan keterbatasan kodratinya serta membudayakan diri dengan
alam lingkungannya menjadi bermartabat serta berbudaya.

Pikiran membuat mausia mampu melakukan transendensi diri sehingga mampu


membebaskan diri dari berbagai determinasi dan represi, baik yang bersifat alami, tradisi,
provokasi, maupun "penyakit peradaban" yang ingin membelenggu dan memperbudak
manusia secara utuh dan sitematis. Metafisika membukakan titik buta manusia terhadap
firman-firman tuhan sehingga orang yang belajar metafisika menjadi komunikator, kreator,
dan pemimpin, yang profesional dan relegius”.

Metafisika dapat memberikan pandangan pada manusia akan bisa berperan menjadi
profesional muda sebagai harapan bangsa dan Negara yang relegius setelah ia menjalani
semua proses pembelajaran. Profil orang yang belajar metafisika, merupakan profesi yang
berperan di berbagai bidang yang sangat dibutuhkan di dalam banyak kondisi dan situasi
kerja. Dikarenakan orang yang belajar metafisika yang di barengi dengan mengikuti pula
seminar dan training metafisika,akan memiliki nilai-nilai keperibadian yang tangguh ,
visioner, dan berakhlakul karimah. Apalagi selanjutnya berkenan untuk melanjutkan
pembelajaran kebidang taswuf dengan mengikuti iktikaf ( mengintensifkan zikir) seperti para
ikhwan-ikhwan yang telah terlebih dulu masuk menjadi ikhwan tarikat Naqsabandiyah.
Karakter orang yang belajar metafisika, dengan di barengi masuk menjadi ikhwan tarikat
merupakan karakter yang sangat baik peduli dengan nilai-nilai perilaku dan penuh perhatian
pada generasi muda sebagai generasi penerus bangsa.

H. PERKEMBANGAN METAFSIKA.
Aristoteles dianggap pemakarsa dasar metafisika. Namun sebenarnya praktek
pemikiran metafisika telah terjadi sejak Thales (624-546 S.M.), yang dianggap sebagai Bapak
filosof Yunani, mempertanyakan bahan dasar alam semesta. Bahkan, hemat penulis, sejak
Nabi Adam diciptakan dan tinggal di Syurga, praktek pemikiran metafisika telah terjadi.
Kalau kita jeli bahwa, kehidupan manusia zaman dulu sampai sekarang kajian metafisikanya
adalah tak lain merupakan tentang manusia, Tuhan dan alam. Namun dizaman dulu pelaku
metafisika adalah para nabi. Yang diperankannya adalah tentang perintah Tuhan.
Mengapa saat ini Aristoteles yang dianggap peletak dasar metafisika? Alasan
pertama karena istilah metafisika (di)-muncul-(kan) dalam karya-karya Aristoteles, tidak
dalam karya-karya filosof lain. Alasan kedua karena pembahasan metafisika secara jelas dan
sistematis hanya terdapat pada pembahasan filsafat Aristoteles. Buku-buku filsafat atau buku-
buku yang sebagian isinya membahas filsafat-yang bisa diangkat sebagai maslah metafisika.

Apa metafisika Aristoteles tersebut? Metafisika Aristoteles bisa dikategorikan dengan


dua hal. Pertama, metafisika yang membahas tentang persoalan barang (matter) dan bentuk
(form). Menurut Aristoteles, barang ialah materi yang tidak mempunyai bentuk. Ia hanyalah
substansi belaka yang menjadi dasar segala wujud benda. Sementara bentuk adalah
bangunannya yang memberikan kenyataan kepada benda.50 Hubungan antara barang dan
bentuk ini bisa dilihat pada marmer dan benda yang terbuat dari marmer. Marmer adalah
barang. Ia memberikan kenyataan kepada bentuk. Meja marmer, keramik marmer, atau
patung marmer adalah bentuk dari marmer. Meja, keramik, dan patung adalah bangunan yang
terbuat dari marmer.
Segala yang ada adalah barang yang berbentuk. Oleh karena itu, semua barang sudah
mempunyai bentuk. Barang dalam satu keadaan adalah bentuk dalam keadaan yang lain.
Papan yang membentuk rumah (menjadi bahan rumah) adalah barang, namun papan itu
disebut bentuk dari kayu sebagai barang.
Menurut hemat penulis, barang yang dimaksud oleh Aristoteles adalah bahan atau
bahan dasar, ini sifatnya konkret. Sementara benda tertentu yang berbahan dasar dari barang
itu adalah bentuk, Ini sifatnya abstrak. Yang terkait langsung dengan konsep ketuhanan
adalah metafisika gerak. Ini menjadi kategori kedua metafisika Aristoteles. Gerak yang
dimaksud disini tidak sama dengan perpindahan tempat suatu benda. Gerak disini adalah
perubahan. Perpindahan tempat hanyalah salah satu sifat khusus dari perubahan. Menurut
aristoleles, semua gerak yang ada digerakan oleh penggerak pertama. Ia adalah Tuhan. Ia
mengatur segala-galanya. Ia immaterial dan tidak berubah. Ia tidak bergerak  dan tidak
digerakan. Ia adalah Aktus Murni atau pikiran murni (yang tidak henti-hentinya berpikir). Ia
menjadi tujuan selain dirinya. Ia tentu saja bukan barang dan bentuk.
Dari sisi objeknya, yaitu apa yang bisa diketahui, Metafisika bisa dibedakan menjadi
metafisika di wilayah sains (ontologi sain) dan metafisika di wilayah mistik (ontologi mistik).
Metafisika di wilayah sains didefinisikan oleh Francis Bacon sebagai hukum-hukum alam,
yaitu entitas yang tidak bisa disentuh oleh pengamatan inderawi atau jiwa.

50Mohammad Hatta. Alam Pikiran Yunani. (Jakarta: PT. Tintamas Indonesia. 1980). h. 126-127.
Ketika mencari sebab-sebab dari peristiwa-peristiwa yang diamati oleh para ilmuwan,
Bacon mengajukan sebab-sebab fisik menuju sebab-sebab metafisik. 51 Jadi bagi Bacon,
ketika realitas di alam ini luput dari pengamatan panca indera maka itu lah metafisika.
Namun, sayang sekali, Bacon tidak sedang membicarakan tentang Tuhan, sebagai sesuatu
yang luput dari pengamatan inderawi. Bahkan Bacon tidak mempercayai itu. Bacon hanya
mempercayai hukum-hukum alam saja.
Berbeda dengan Bacon, Thomas Aquinas justru mempercayai bahwa metafisika itu
adalah pemikiran tentang Tuhan. Baginya metafisika diarahkan untuk mengetahui Tuhan.
Renungkan kutipan berikut ini.

Thomas percaya bahwa akal budi dituntut ke arah ini hanya dengan merenungkan
dunia alamiyah (untuk memahami Tuhan: dari penulis makalah). Dengan mashur, Thomas
mengajukan bukti-bukti eksistensi Tuhan yang didasarkan pada analisis akal budi terhadap
para pengada kontingen (dengan kata lain, pengada-pengada yang bergantung pada sesuatu
yang lain dari dirinya agar dapat mengada atau agar dapat berprilaku sebagaimana adanya).52

Hal inilah yang membuat metafisika menjadi kurang diminati orang banyak. Oleh
sebabitu penulis berkeinginan menyampaikan berupa tulisan dalam bentuk karya yang lebih
menarik agar metafisika yang sebenarnya merupakan bagian dari manusia dapat menjadi
bagian yang menarik untuk diminati para pembacanya.

I. POSISI METAFISIKA DALAM SAINS.


Bagaimana posisi metafisika dalam sains? Sebagai study ontologis, metafisika sangat
penting. Tanpa metafisika, sains tidak akan pernah ada. Mengapa? Karena sains itu dibentuk
dari perpaduan antara dua aliran pemikiran dalam filsafat, yaitu Rasionalisme dan
Empirisisme. Rasionalisme meyakini bahwa kebenaran itu adalah sesuatu yang dihasilkan
melalui rasio, yaitu sesuatu dipahami berdasarkan akal. Oleh karena itu kebenaran yang
didapatkan tidak melalui rasio berarti salah. Sementara itu, Empirisisme meyakini bahwa
kebenaran adalah sesuatu yang dihasilkan oleh pengalaman inderawi. Oleh karena itu
kebenaran yang didapatkan tidak melalui pancaindera berarti salah. Sains mengambil
keduanya. Sehingga ukuran kebenarannya adalah sesuatu dianggap benar kalau bisa dipahami
oleh rasio dan dibuktikan dengan pengalaman inderawi.

51Christ Verhaak. Francis Bacon: Perintis Filsafat Ilmu Pengetahuan. Salah satu makalah dalam buku Hakikat Pengetahuan
dan Cara Kerja Ilmu-Ilmu. Disusun oleh Tim Redaksi Driyarkara. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 1993). h. 17.
52 Robert C. Solomon & Kathleen M. Higgins. Sejarah Filsafat. (Jogjakarta: Yayasan Bentang Budaya. 2002). h. 291.
Sains memerlukan metafisika sebagai busur atau landasan peluncuran pemikiran
ilmiah.  Artinya penelitian sains ada karena metafisika mengajukan pertanyaan-pertanyaan
yang nanti sebagain pertanyaan tersebut akan dijawab melalui penelitian sains. Bahwa tidak
semua pertanyaan metafisika akan diteliti oleh sains adalah benar sekali. Namun tidak
mungkin sains bekerja tanpa terlebih dahulu adanya kinerja pemikiran ilmiah. Jadi
pertanyaan metafisika itu akan berujung pada pertanyaan-pertanyaan yang dikelola oleh
filsafat dan ada yang nanti diteruskan menjadi pertanyaan-pertanyaan sains.

Metafisika juga bisa dibedakan menjadi metafisika di wilayah sain (ontologi sains)
dan metafisika di wilayah mistik (ontologi mistik). Metafisika diwilayah sains dipelopori oleh
Francis Bacon, sebagai perintis filsafat ilmu. Metafisika di wilayah mistik dikembangkan
oleh Plotinus, Thomas Aquinas, dan para pemikir filsafat Perennial.

Metafisika mempunyai keterkaitan dengan sains. Metafisika menjadi landasan


pemikiran sains. Perkembangan penemuan-penemuan ilmiah diyakini karena metafisika
menjalankan perannya dengan baik dan para ilmuwan melakukan penelitian dengan baik
pula. Oleh hal tersebut metafisika baik juga dikembangkan dalam reonstruksi karakter dengan
bahasa-bahasa kekinian hingga mampu mengisi jiwa manusia untuk berperilaku kebersamaan
dalam keberagaman. Terutama untuk merekonstruksi jiwa bangsa melalui bidang pendidikan
dimana masyarakat kita terdiri dari keberagaman agama yang dianut akan memiliki jiwa
yang diisi dengan nilai-nilai yang benar dan baik akan bangkit dalam kebersamaan yang
dapat membawa kebahagiaan dan kemajuan negara.

Anda mungkin juga menyukai