Anda di halaman 1dari 88

Ulil Abshar-Abdalla

Bismillahi-rrahmani-rrahim...

NGAJI HIKAM #1

USAHA PENTING, TETAPI BUKAN SEGALA-GALANYA

Syekh Ibn Atailllah berkata: Min alamat al-itimad ala


al-amal, nuqshan al-raja indawujud al-zalal.

Terjemahan: Tanda seseorang bergantung pada amal dan


karyanya adalah bahwa dia akan cenderung pesimis,
kurang harapan manakala dia mengalami kegagalan atau
terpeleset.

Ini kebijaksanaan yang mendalam. Bisa


dipahami dalam pengertian khusus menurut
para ahli mistik/tasawwuf. Atau dipahami
secara awam.
Pengertian awam. Saya akan mulai dengan
pemahaman yang awam dulu. Pemahaman
orang-orang biasa. Seorang yang beriman
seharusnya memiliki kesadaran bahwa ia
bisa
mencapai sesuatu bukan semata-mata
karena
pekerjaannya.
Kita berusaha, lalu berhasil. Kita bekerja, lalu
sukses. Kita berdagang, lalu untung. Kita
belajar, lalu menjadi orang pintar. Dan
seterusnya. Semua hasil itu jangan semata-
mata kita pandang sebagai melulu berkat
usaha dan pekerjaan kita.
Kita harus menyisakan sedikit ruang bahwa
keberhasilan kita ini jangan-jangan tidak
seluruhnya karena faktor usaha kita, tetapi
juga
karena ada fakor X yang kita tidak tahu.
Kehidupan manusia adalah sangat
kompleks.
Kita tidak bisa mengontrol seluruh faktor
yang
berpengaruh dalam tindakan sosial kita.
Ada faktor-faktor yang luput dari perhitungan
dan kontrol kita. Faktor ini bisa membuat
usaha
kita sukses, bisa juga membuatnya gagal.
Sebagai seorang beriman, kita percaya
bahwa
hanya Tuhan yang berkuasa atas faktor-
faktor
misterius semacam ini. Kalau Anda
ateispun,
Anda tetap bisa memahami logic di balik
kata-
kata bijak Ibn Ataillah ini.
Manfaat dari sikap semacam ini adalah:
Anda
tidak langsung pesimis dan putus asa saat
gagal mencapai suatu hasil. Jika Anda
berpikir
bahwa usaha Anda adalah satu-satunya
faktor
penentu, saat Anda gagal, Anda boleh jadi
akan
ngenes dan sedih: Saya sudah bekerja
keras,
kenapa tetap gagal?
Ajaran ini mau memberi tahu kita agar kita
rendah hati.
Pengertian khusus/mistik. Ada tiga jenis
pekerjaan atau amal: amal syariat, amal
thariqat, dan amal haqiqat.
Amal syariat adalah ketika Anda menyembah
Tuhan sesuai dengan peraturan dan hukum
agama. Amal thariqat adalah kesadaran
bahwa
saat Anda menyembah Tuhan, Anda tidak
sekedar menyembah. Melainkan Anda
sedang
on the journey, sedang dalam petualangan
dan perjalanan menuju Tuhan. Amal haqiqat
adalah pengalaman spiritual yang disebut
dengan syuhud atau vision.
Apa itu syuhud? Yakni: pengalaman mistik/
spiritual yang hanya bisa dialami oleh
seseorang yang sungguh-sungguh menjalani
dua amal sebelumnya. Dalam pengalaman
itu,
Anda merasa seolah-olah berjumpa,
menyaksikan (vision) Tuhan. Tentu bukan
penyaksian dengan indera lahir. Melainkan
dengan indera batin.
Jangan sekali-kali Anda mengira bahwa amal
syariat dan thariqat bisa langsung, secara
otomatis, membawa Anda kepada
pengalaman
haqiqat. Amal syariat dan thariqat adalah
jalan
atau wasilah menuju ke sana. Anda harus
melalui jalan itu. Tetapi Anda sampai ke
puncak haqiqat atau tidak, itu bukan
sepenuhnya ditentukan oleh usaha kita
sendiri,
melainkan karena kemurahan (fadl) Tuhan.
Seorang yang bijak pernah berkata: Ketika
seseorang telah sampai pada hakikat Islam,
dia tak mampu berhenti berusaha/ beramal
baik. Ketika seseorang memahami hakikat
iman, dia tak akan mampu beramal/bekerja
tanpa disertai Tuhan. Ketika seseorang
sampai
kepada hakikat ihsan (kebaikan), dia tak
mampu berpaling kepada selain Tuhan.
Apa pelajaran yang dapat kita peroleh dari
kebijaksanaan Ibn Ataillah ini?
Pertama, kita diajarkan agar tidak merasa
paling alim sendiri, saleh sendiri, Islami
sendiri,
karena amalan kita. Sombong dan tinggi hati
bukanlah perangai orang beriman.
Kedua, kita juga diajarkan untuk rendah hati,
jangan merasa sok bahwa usaha kita
menentukan segala-galanya. Sebab
perasaan
sombong semacam itulah yang akan
menjerembabkan kita kepada perasaan
mudah
putus asa, patah hati, pesimis.
Orang beriman harus optimis terus, tak
peduli
keadaan apapun yang sedang mengerubuti
kita!

Ulil Abshar-Abdalla
NGAJI HIKAM #2
Bismillahirrahmanirrahim
Mari, sebelum ngaji kita mulai, kita hadiahkan Al-Fatihah kepada pengarang Kitab Hikam
Syekh Ataillah, kepada ayah dan guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan kepada ibu saya Nyai
Salamah.
Mari kita mulai Ngaji Hikam untuk seri kedua.
---------------------
MANUSIA KAMAR ATAU MANUSIA SOSIAL

Ibn Ataillah berkata:


Iradatuka al-tajrid maa iqamatillahi iyyaka fil asbab min al-syahwah al-khafiyyah.
Wa iradatuka al-asbab maa iqamatillahi iyyaka fi al-tajrid inhitat an al-himmah
al-aliyyah.
Terjemahannya: Kehendakmu untuk tajrid (mengisolir diri, tidak melakukan usaha),
sementara Tuhan menempatkanmu pada maqam seorang yang harus berusaha, itu adalah
sebentuk syahwat atau kesenangan nafsu yang tersembunyi.
Sebaliknya, kehendakmu untuk ikut-ikutan berusaha, padahal Tuhan memberimu maqam
sebagai orang yang seharusnya tajrid, itu adalah sebentuk kemerosotan kelas.

Kebijaksanaan Ibn Ataillah ini bisa dipahami secara awam, bisa juga secara khusus.
Pengertian awam. Manusia pada dasarnya ada dua jenis; ada manusia kamar, ada manusia
sosial. Manusia kamar ialah manusia yang maqam atau posisi ontologisnya adalah
sebagai pemikir, sebagai pengolah dan produsen ide-ide, sebagai pertapa yang
menjaga kesucian diri. Manusia seperti ini bertugas seperti, istilah Arif Budiman dulu,
cendekiawan yang berumah di angin.

Orang yang maqamnya seperti ini, tak akan memiliki passion atau kesenangan untuk
terlibat dalam kehidupan sosial. Orang seperti ini oleh kalangan sufi disebut sebagai orang
bermaqam tajrid.
Sebaliknya, ada orang yang maqamnya adalah manusia sosial. Tugas manusia seperti ini
adalah hidup di tengah gebalau kehidupan sosial yang ramai, penuh dengan gelora
perjuangan. Dia tak cocok untuk kehidupan kontemplatif seperti yang dijalani oleh manusia
jenis pertama.

Ibn Ataillah mempunyai istilah khusus untuk manusia jenis kedua ini. Yaitu, manusia-sebab,
men/women of causes. Yakni: manusia yang tugasnya adalah berurusan dengan usaha
yang melibatkan hukum sebab-akibat. Orang-orang ini harus bekerja, ikhtiar untuk mamayu
hayuning bawana, jika mau memakai istilah dalam filsafat Jawa. Yaitu: memperindah dunia.

Hannah Arendt, filsuf Yahudi itu, punya istilah yang agak-agak mirip. Ada dua jenis
kehidupan, menurut dia -- vita activa dan vita contemplativa. Yang pertama adalah
kehidupan aktif: bekerja. Yang kedua adalah kehidupan kontemplatif: merenung, berpikir,
meditasi, menyepi.

Masing-masing orang harus hidup sesuai dengan maqamnya. Orang yang mestinya
bekerja tetapi menjalani kehidupan kontemplatif, dia sebetulnya tidak menjalani
kehidupan yang mulia. Dia hanya mengikuti hawa nafsunya sendiri. Cuma, ini hawa nafsu
yang lembut, tersembunyi. Bukan hawa nafsu yang terang-terangan seperti menghendaki
kemewahan material. Sebaliknya dia yang mestinya ada di maqam manusia kamar, tetapi
ikut-ikutan terjun ke dalam vita activa, dia mengalami kemerosotan kelas.
Pengertian khusus/mistik. Ini adalah pembahasan dalam ilmu tasawwuf atau mistik
yang sangat pelik. Seseorang yang masuk dalam kehidupan sufi, menikmati ketenangan
batin di sana, biasanya menghadapi dilema ini:

Apakah saya boleh tinggal dalam ketengangan batin ini, menjadi manusia kamar yang
asyik; ataukah saya tetap harus bergaul dengan masyarakat, bekerja bersama mereka?
Jawaban kaum sufi: Masing-masing orang punya maqamnya sendiri-sendiri. Ada orang
yang maqamnya adalah tajrid, menjadi manusia kontemptalif-spiritualis; ada
manusia-sebab yang hidup di tengah-tengah masyarakat.

Suatu hari, ada seseorang yang hendak menjalani kehidupan meditatif, menjadi sufi,
lalu mendatangi sufi besar Mesir asal Murcia, Spanyol, Abu al-Abbas al-Mursi (w. 1287 M).
Sebelum sempat dia mengatakan maksud kedatangannya, Syekh Mursi sudah
mendahuluinya dengan sebuah pembicaraan yang isinya berikut ini.

Beberapa hari sebelumnya, kata Syekh Mursi, ada seorang ahli ilmu-ilmu lahir (ilmu syariat)
datang kepadaku. Dia sudah sedikit mencicipi ilmu batin, lalu memutuskan untuk
meninggalkan pekerjaannya sebagai guru ilmu- ilmu lahir. Lalu aku berkata kepadanya:
Bukan begitu caranya. Tetaplah kamu dalam posisi yang telah diberikan Tuhan kepadamu.
Pengalaman mistik yang kami miliki akan bisa kamu capai dengan jalan yang kamu tempuh
sekarang ini.

Apa pelajaran yang bisa kita petik dari kebijaksanaan Ibn Ataillah ini? Ialah bahwa
masing-masing orang memiliki kelasnya masing-masing. Orang Hindu punya istilah
dharma. Masing-masing orang pa sendiri-sendiri. Orang harus hidup sesuai dengan dharma,
maqam, dan kelas-kelasnya.
Jangan menyalahi kodrat, kata orang-orang. Setiap orang tahu, dalam hatinya yang
terdalam, ada di maqam mana dia. Orang tak boleh iri kepada maqam orang lain. Masing-
masing orang, seperti dikatakan wali besar Syekh Abu al-Abbas al-Mursi itu, akan
mencapai pengalaman kebahagiaan dan ketenangan batin melalui jalan dan maqam
yang diberikan oleh Tuhan kepadanya.

Dengan kata lain, kebahagiaan bisa kita peroleh jika kita hidup sesuai dengan the real
self, hakikat diri kita masing-masing. You are going to be happy when you become who you
are.[]

HIKAM 3

Bismillahirrahmanirrahim
Sebelum mulai ngaji Hikam, mari kita hadiahkan al-Fatehah kepada pengarang Hikam Syekh Ibn Ataillah,
kepada ayah dan guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu saya Nyai Salamah.

Mari kita mulai ngaji Hikam seri yang ketiga.

----------------------------

NGAJI HIKAM #3

BISAKAH KITA MENEMBUS TEMBOK TAKDIR?

Syekh Ibn Ataillah berkata:

Sawabiq al-himam la takhriqu aswar al-aqdar.

Terjemahannya: Kehendak kuatmu yang sudah engkau tetapkan lebih dahulu, tak akan bisa melubangkan atau
menembus tembok-tembok kepastian (taqdir) yang sudah ditentukan Tuhan.

Kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah ini bisa dipahami secara awam, bisa juga secara khusus/mistik.

Pengertian awam. Masalah takdir, kita tahu, adalah masalah yang pelik. Bertahun-tahun saya (baca: UAA)
bergulat dengan konsep ini, mencoba memahaminya. Baru sekarang, mulai agak terang sedikit pada saya apa
pengertian takdir itu.

Orang modern biasanya mengidap semacam sindrom mental yang ingin saya sebut sebagai promethean
syndrome. Promethues adalah tokoh dalam dongeng Yunani yang menggambarkan sosok yang percaya pada
kemampuan diri sendiri, kehendak bebas, untuk mengubah sesuatu.
Dengan perkembangan sains dan teknologi yang luar biasa dahsyat, manusia merasa bisa melakukan apa saja.
Dia merasa dirinya sebagai the creator of his/her own destiny. Dia bisa menjadi pencipta takdir dan nasibnya
sendiri.

Pengertian modern yang promethean semacam ini tidak seluruhnya salah. Tetapi agama punya perspektif yang
berbeda. Mari kita dengarkan perspektif tradisional agama seperti diungkap dengan indah dalam aforisme
(kata mutiara) Ibn Athaillah ini. Kata dia: Ketetapan hatimu untuk mengubah sesuatu tetap tak akan bisa
mengubah takdir.

Pernyataan ini seolah-olah berbau fatalistis, menyerah kepada takdir, ketetapan Tuhan. Benarkah? Saya
mengatakan tidak. Percaya kepada takdir tidak menafikan pentingnya dimensi usaha pada manusia. Sebagai
subyek yang bisa bertindak, manusia tentu harus memiliki kehendak untuk berbuat dan mengubah sesuatu.

Tetapi usaha seseorang biasanya bertabrakan dengan, kalau memakai bahasa sekarang, externalities,
kondisi-kondisi di luar yang tak sepenuhnya ada di dalam kontrol kita. Contoh terbaik: Pemerintah kita berusaha
keras untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi agar tercipta lapangan kerja bagi rakyat. Ini namanya
ikhtiar.

Tetapi ada kondisi eksternal, seperti situasi ekonomi global, yang tak sepenuhnya ada pada kontrol pemerintah.
Keadaan domestik memang relatif bisa dikontrol oleh pemerintah; tetapi situasi global, jelas tidak. Sebab, itu
masuk dalam kawasan externalities, kondisi luaran. Itulah, kira-kira, takdir.

Sekeras apapun kita berusaha, tetap ada kondisi luaran, atau kondisi yang given, terberi, sudah ada sejak
awal, yang tidak bisa kita kendalikan sepenuhnya. Karena itu, Anda harus rendah hati, realistis, tidak bertindak
membabi-buta, super-optimist. Kita harus optimis, tetapi tetap dalam kerangka precautious optimism.
Optimisme yang hati-hati. Bukan optimisme yang kebablasan.

Pengertian khusus/mistik. Pengertian mistik dari kebijaksanaan Ibn Ataillah ini justru berbeda dengan pengertian
awam di atas. Apa yang dimaksudkan dengan pernyataan Ibn Ataillah ini ialah bahwa kehendak seorang yang
telah sampai kepada maqam marifat (memahami inti wujud/ketuhanan) akan bersesuaian dan beriringan
dengan kehendak Tuhan.

Kehendak sang wali, katakan saja begitu, tidak bisa mendahului kehendak Tuhan, melainkan berjalan seiring
dengan yang terakhir itu.

Dengan bahasa yang sederhana: seseorang yang sudah sampai kepada inti realitas, memahami makna wujud
di dunia ini, dia akan mengerti gerak-gerik alam, tanda-tanda zaman. Dan dia bisa menyeiringkan kehendak
dirinya dengan kehendak alam itu. Tidak mendahuluinya, dan tidak teledor, keteter karena terlambat
mengejarnya.

Maulana al-Arabi, guru dari guru sufi Maroko yang mengarang komentar atas al-Hikam, yaitu Ibn Ajibah (w.
1808 M), berkata: Jika seseorang yang telah mencapai maqam fana (lebur) dalam nama-nama diri Tuhan
memiliki kehendak yang kuat terhadap sesuatu, maka sesuatu itu akan terjadi. Sementara orang yang telah
mencapai fana (lebur) dalam dzat atau diri Tuhan, sebelum ia menghendaki sesuatu, sesuatu itu sudah
langsung ada. Orang Jawa bilang: weruh sakdurunge winarah, tahu sebelum tahu.

Dengan bahasa yang sederhana, seorang yang arif, bijak, mencapai pengetahuan tentang inti wujud dan
ketuhanan, ia bisa mengubah sesuatu dengan kehendaknya. Ia bisa menggerakkan benda-benda di
sekelilingnya, seolah-olah benda itu adalah hamba yang bisa ia kendalikan dengan kehendaknya sendiri.
Tetapi itu semua terjadi karena kehendak Tuhan, bukan kehendak dia. Kehendak sang arif itu tidak berjalan
sendiri, melampaui kehendak Tuhan, melainkan berjalan seiring.

Dalam sebuah hadis disebutkan: Jika Aku (Tuhan) telah menjadikan seorang hamba menjadi kekasihKu, maka
Aku akan menjadi telinga, mata, tangan dan pendukungnya; apapun yang ia minta, Aku akan memberikan
kepadanya.

Apa pelajaran yang bisa kita petik dari kebijaksanaan Ibn Ataillah ini?

Seorang hamba harus berusaha sekeras mungkin untuk bisa mencapai maqam marifat, mengetahui hukum dan
inti sesuatu. Orang yang mencapai tahap pengertian ini, akan bisa mengerti kehendak Tuhan, dan kemudian
akan berjalan seiring dengannya.

Dalam bahasa sains, jika Anda mengerti hukum alam, maka Anda sama saja dengan mengerti kehendak Tuhan.
Anda bisa bekerja seiring dan berbarengan dengan kehendak Tuhan itu.

Anda bisa mengubah sesuatu, bukan dalam kerangka melawan takdir, tetapi justru memanfaatkan takdir untuk
kemaslahatan Anda sendiri.

Kalau mau, Anda bisa mengatakan (seperti kata-kata sahabat Umar): Melawan takdir dengan takdir![]

HIKAM 4
Ulil Abshar-Abdalla
NGAJI HIKAM #4
Bismillahirrahmanirrahim.
Malam ini, saya ada acara sampai pukul 11
malam. Tetapi Ngaji Hikam tetap berlangsung
seperti biasa. Saya ingin ngaji ini tetap
berlangsung tanpa jeda setiap hari, walaupun
saya ada acara atau kesibukan lain.
Bedanya dengan malam-malam biasa, saya
akan merespon komentar dan pertanyaan para
"santri" setelah saya balik di rumah nanti
malam. Silahkan ajukan komentar dan
pertanyaan seperti biasa. Saya akan usahakan
untuk menjawab semuanya.
Mohon maklum.
Mari kita mulai Ngaji Hikam dengan membaca
Fatehah untuk Syekh Ataillah, untuk ayah dan
sekaligus guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu
saya Nyai Salamah.
Bismillah...
---------------------
SUMELEHLAH, JANGAN KEMRUNGSUNG!
Syekh Ibn Ataillah berkata:
Arih nafsaka min al-tadbir. Fa-ma qama bihi
ghairuka anka la taqum bihi anta li-nafsika.
Terjemahannya: Buatlah dirimu santai dan
istirahat, tak dirisaukan oleh urusan tadbir
(bekerja/berusaha). Sebab apa yang sudah
dikerjakan oleh orang lain, tak ada gunanya
engkau mengerjakannya sendiri untuk dirimu.
Ungkapan Ibn Ataillah mengandung
kebijaksanaan hidup yang luar biasa dan
mendalam, tetapi juga bisa disalah-pahami.
Kita bisa memahami ungkapan ini dengan cara
awam dan cara khusus.
Pengertian awam. Dalam bagian ini, kita
berhadapan dengan masalah tadbir.
Tadbir adalah lawan dari tajrid. Jika tajrid
artinya membuat diri Anda sepenuhnya
mengabdi untuk kehidupan kontemplatif,
beribadah kepada Tuhan, maka tadbir adalah
kehidupan yang penuh dengan kerja kerja, dan
kerja. Tadbir adalah Anda berusaha dengan
mengikuti hukum sebab-akibat.
Apa yang diungkapkan oleh Ibn Ataillah di sini
semacam nasihat untuk orang-orang yang
masuk dalam kategori manusia-sebab;
manusia yang bekerja dengan menuruti hukum
sebab akibat; manusia yang melakukan ikhtiar
untuk melakukan perubahan dalam dunia ini.
Mayoritas manusia ada pada maqam ini.
Nasihat Ibn Ataillah: Ketika Anda sibuk
melakukan usaha, bekerja keras untuk meraih
atau mengubah sesuatu, maka sekali-kali
Anda perlu istirahat sebentar. Buatlah
semacam jeda untuk dirimu sendiri. Semacam
sabbatical leave. Ada saat-saat tertentu
seseorang perlu melupakan segala pekerjaan
dan memberikan istirahat kepada jiwa dan
pikirannya.
Pada saat Anda berada dalam pause mode
atau istirahat semacam itu, jangan berpikir
apapun. Lupakan segala bentuk tadbir atau
usaha. Sebab, jika seluruh hidup Anda
dihabiskan untuk memikirkan urusan tadbir,
Anda bisa mengalami stres dan tekanan batin.
Sesekali, di tengah-tengah kesibukan usaha
Anda, arih nafsaka buatlah dirimu santai,
rileks. Pada momen istirahat seperti itu, filosofi
yang harus Anda pegang adalah berikut ini: fa-
ma qama bihi ghairuka anka la taqum bihi anta
li-nafsika.
Anda tak bisa menyelesaikan segala soal
dalam hidup ini sendirian. Kerapkali masalah
dalam kehidupan ini, baik personal atau sosial,
sangat kompleks. Satu orang saja, sendirian,
tak akan bisa memecahkannya. Pemecahan
harus dilakukan secara gotong-royong. Jika
Anda tak bisa melakukan sesuatu untuk
mengubah keadaan, maka katakan pada diri
Anda: Barangkali ada orang lain yang lebih
kompeten dari saya, dan bisa memecahkan
masalah ini.
Jangan sekali-kali Anda merasa bahwa Anda
bisa mmemborong sendirian seluruh
pemecahan masalah tanpa melibatkan orang
lain, sehingga akhirnya Anda sendiri kerepotan
dan mengalami tekanan mental. Ringankan diri
Anda. Katakan pada diri Anda bahwa apa yang
bisa dikerjakan oleh orang lain dengan lebih
baik, serahkan saja pada mereka. Belum tentu
Anda, bila ngotot mengerjakannya sendiri,
akan bisa melakukannya lebih baik.
Pengertian khusus/mistik. Di kalangan kaum
sufi, dikenal tiga jenis tadbir atau usaha. Ada
tadbir yang tercela (madzmum), yang
diharuskan (mathlub), dan yang dibolehkan
(mubah).
Tadbir yang tercela adalah usaha yang disertai
dengan sikap ngoyo, ngotot, dan kadang-
kadang malah nggege mangsa, mendahului
waktunya. Ini adalah tadbir yang dibarengi
dengan sikap kemrungsung, ingin segera
melihat hasil. Sikap semacam ini hanya
membuat Anda berada dalam tekanan mental.
Sama sekali tidak sehat. Selain kurang sopan
atau adab terhadap Tuhan.
Ahmad ibn Masruq (w. 910 M), seorang tokoh
sufi Baghdad, berkata: man taraka al-tadbir fa-
huwa fi rahah. Barangsiapa meninggalkan
tadbir, usaha, dia akan tenang, tidak
mengalami tekanan. Yang dimaksud dengan
tadbir yang harus ditinggalkan ini tentunya
adalah tadbir yang dibarengi dengan sikap
kemrungung semacam itu, sehingga
menimbulkan tekanan batin.
Tadbir yang diperinthakan (matlub) ialah usaha
yang berkaitan dengan kewajiban kita sebagai
hamba Tuhan. Kita, misalnya, wajib terlibat
dalam tadbir atau usaha untuk melakukan
perintah-perintah Tuhan, seperti ibadah wajib.
Tadbir semacam ini tak bisa dihindarkan.
Adapun tadbir yang diperbolehkan adalah
tadbir dalam bidang duniawi. Anda butuh
menafkahi keluarga Anda, dan karena itu harus
melakukan usaha/ikhtiar. Itulah tadbir yang di-
mubahkan, diperbolehkan.
Apa pelajaran dari kebijaksanaan Ibn Ataillah
ini? Ini mengajarkan kepada kita suatu sikap
yang oleh orang Jawa disebut dengan
sumeleh. Sumeleh berasal dari kata seleh
yang artinya meletakkan. Pada saat
disibukkan dengan tadbir/usaha yang
membuat diri Anda mengalami tekanan batin,
Anda kadang perlu sumeleh: meletakkan
beban dan menyerahkan semuanya kepada
Tuhan.

HIKAM 5
Ulil Abshar-Abdalla
NGAJI HIKAM #5
Bismillahirrahmanirrahim...
Mari kita mulai Ngaji Hikam malam ini dengan
menghadiahkam Fatehah kepada Syekh Ibn
Ataillah (semoga ruhnya disucikan Tuhan),
kepada ayah dan guru saya Kiai Abdullah Rifai,
dan ibu saya Nyai Salamah.
Yang memiliki syarah Hikam karya Syekh Ibn
Ajibah, Iqadzul Himam, yang kita kaji malam ini
ada di hal. 39 (edisi Dar al-Maarif, Kairo).
Mari kita mulai ngaji Hikam. Bismillah...
--------------------
ELING LAN WASPADA
Syekh Ibn Ataillah berkata:


.
Ijtihaduka fi-ma dumina laka wa taqshiruka fi-
ma tuliba minka dalilun ala intimas al-
bashirati minka.
Terjemahannya: Manakala engkau bekerja
keras untuk meraih hal-hal yang sudah
dijaminkan untukmu, sementara engkau teledor
untuk mengerjakan hal-hal yang merupakan
keharusan bagimu, maka itu adalah pertanda
engkau kehilangan mata batin.
Ungkapan Ibn Ataillah ini memiliki dua
pengertian: awam dan khusus.
Pengertian awam. Secara awam, ungkapan ini
pada hakikatnya mengajarkan kepada kita
pentingnya mempertajam mata batin. Dalam
filosofi Jawa, ada istilah yang khas: eling lan
waspada; ingat dan waspada. Manusia harus
selalu waspada, agar tak tergelincir
mengerjakan hal-hal yang kurang perlu, seraya
mengabaikan perkara yang lebih urgent.
Dalam Buddhisme Zen, dikenal ajaran tentang
mindfulness, kondisi selalu sadar dan awas,
tidak lengah. Manusia adalah makhluk yang
berkesadaran. Sadar artinya adalah sadar
mengenai sesuatu. Sadar adalah kegiatan
mental yang berasal dari dalam diri manusia,
dan mengarah keluar. Orang yang sadar berarti
menyadari segala sesuatu yang ada di
lingkungannya.
Seorang yang sadar kecil kemungkinannya
untuk terpeleset. Seseorang yang terpeleset
biasasanya karena dia lengah, tidak
memperhatikan situasi di sekelilingnya.
Sesuatu yang menyelamatkan manusia dari
keterpelesetan adalah sikap waspada, awas,
mindfulness. Sementara sikap yang membuat
seseorang mudah jatuh adalah lalai, alpa,
forgetfulness.
Saat seseorang sadar, tidak lengah, dia tahu
mana yang perlu dilakukan, mana yang tidak.
Dia mengerti skala prioritas. Dia mengerti mana
yang mendesak, mana yang tidak. Dia akan
memberikan perhatian yang lebih pada hal-hal
yang mendesak dan penting. Hal-hal yang
tidak perlu, tak akan mendapatkan perhatian
terlalu besar darinya.
Seseorang yang sadar juga tahu mana hal
yang mempunyai manfaat dalam jangka
panjang, mana yang hanya memberikan rasa
gratifikasi atau kepuasan dalam jangka
pendek. Dia memberikan perhatian yang yang
besar pada yang pertama, dan tak terlalu
terkecoh dengan hal yang kedua. Orang yang
sadar biasanya memiliki pandangan jauh ke
depan, bukan pandangan yang pendek, short
sighted.
Itulah kira-kira makna dari ungkapan bijak
Syekh Ibn Ataillah tadi. Jika engkau sibuk
mengurus perkara yang gampang, karena
sudah pasti dengan mudah bisa kau peroleh,
dan mengabaikan hal yang lebih penting dan
bernilai, tetapi harus kau perjuangkan dengan
susah payah, maka itu pertanda kau lengah
atas skala prioritas. Artinya: engkau lebih
memilih comfort zone, daerah yang nyaman.
Engkau takut merambah hal baru, karena
masih asing dan penuh resiko.
Pengertian khusus/mistik. Manusia memiliki
dua mata: mata lahir, dan mata batin. Mata
lahir, dalam bahasa Arab, disebut basar. Mata
batin disebut basirah. Mata lahir hanya mampu
mengindera hal-hal yang kasat-mata (al-
mahsusat). Mata batin mampu melihat hal-hal
yang halus, lembut, subtil.
Jika Tuhan menghendaki hambanya menjadi
orang yang baik, maka Dia akan menyibukkan
mata lahirnya untuk berbakti kepadaNya,
dengan cara memanfaatkan indera mata untuk
melihat hal-hal yang berguna dan memperkaya
batin. Sekaligus Dia akan menyibukkan mata
batinnya untuk mencintaiNya.
Sebaliknya, jika Tuhan hendak merendahkan
derajat seseorang, Dia akan menyibukkan mata
lahirnya untuk menghamba pada hal-hal yang
melulu bersifat material, permukaan,
superfisial. Dia juga akan menyibukkan mata
batinnya untuk mencintai hal-hal seperti itu.
Baik mata lahir dan batinnya terperangkap
pada hal-hal yang fisik dan material.
Orang kafir ialah dia yang mata batinnya telah
terhapus sama sekali sehingga kehilangan
kemampuan untuk melihat dan mencerap hal-
hal yang rohani. Dia terpenjara pada yang
materi. Dia tak mampu menyeberang dari
yang materi kepada yang gaib dan non-materi.
Materialisme adalah sebentuk kekufuran dan
pertanda matinya mata batin.
Orang yang beriman harus bisa melamapaui
yang materi itu. Sebab ciri orang beriman
adalah percaya pada yang gaib, yang non-
materi.
Pelajaran yang bisa kita ambil dari
kebijaksanaan ini jelas: Manusia harus eling lan
waspada. Sadar dan ingat terhadap hal yang
bersifat inti dan sejati; waspada terhadap
barang-barang yang hanya indah dan
gemerlap di permukaan tetapi keropos di
dalam.[]

HIKAM 6

NGAJI HIKAM #6

Bismillahirtahmanirrahim
Mari kita mulai ngaji Hikam malam ini dengan membaca Fatehah untuk Syekg Ibn Ataillah (qs), untuk ayah dan
guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu saya Nyai Salamah.

Mari kita mulai ngaji Hikam seri ke-6. Bismillah...

--------------------------------

KEHENDAK KECIL, KEHENDAK BESAR

Syekh Ibn Ataillah berkata:

.

.

La yakun taakh-khuru amadil athai maa al-ilhahi fi al-duai mujiban li yasika, fahuwa damina laka al-ijabata fi-
ma yakhtaru laka, la fi-ma takhtaru li-nafsika, wa fil-waqti al-ladzi yuridu la fil waqti al-ladzi turid.
Terjemahannya:

Janganlah terlambatnya peparing gusti atau pemberian Tuhan, sementara engkau sudah berdoa begitu lama,
membuatmu putus asa. Sebab, Tuhan pasti mengabulkan permintaanmu dengan cara yang Dia pilih, bukan
dengan cara yang engkau pilih. Dia akan mengabulkan permintaan itu pada waktu yang Dia kehendaki, bukan
menurut waktu yang engkau kehendaki.

Ungkapan bijak Syekh Ibn Ataillah ini memiliki dua pengertian: awam dan khusus.
Pengertian awam. Bagian ini membahas situasi kejiwaan yang biasa mendera orang-orang beriman. Dalam
keadaan yang ekstrim, situasi ini bahkan bisa membawa seseorang kepada agnostisisme, tak percaya pada
Tuhan lagi. Ada dua situasi di sini: situasi yang sederhana; dan situasi yang akut.

Situasi yang sederhana seperti digambarkan oleh Ibn Ataillah di sini: Engkau berdoa, meminta, dan meminta,
dan meminta, tetapi permintaanmu belum juga terwujud. Situasi ini lalu menimbulkan pertanyaan pada kita: Jika
Tuhan Maha Mendengar, Maha Mengetahui, kenapa permintaanku tak didengar dan diketahuiNya?

Situasi yang lebih serius dihadapi oleh satu-dua komunitas orang-orang beriman yang menghadapi kejahatan
yang ekstrim, seperti, misalnya, keadaan yang pernah dihadapi orang-orang Yahudi dalam kamp pembantaian
Auschwitz. Pada saat jutaan orang-orang Yahudi menghadapi ancaman terminasi, genosida, penghancuran
secara total, orang-orang Yahdi bisa bertanya: Di manakah Tuhan? Kenapa, pada momen itu, Tuhan tidak turun
tangan?

Situasi yang kurang lebih sama kita jumpai di Aceh waktu terjadi Tsunami pada 2004 dulu. Hampir dua ratus ribu
rakyat Aceh menjadi korban tsunami yang teramat dahsyat itu. Orang-orang, menghadapi pemandangan yang
mengerikan itu, bisa juga bertanya: di manakah Tuhan? Kenapa Dia diam menghadapi kekejaman alam seperti
ini?

Dan seterusnya.

Pertanyaan-pertanyaan dari pihak manusia seperti itu sah-sah saja. Dan Tuhan pun tak melarang kita
mengajukannya. Tetapi, di sini, Ibn Ataillah mengajarkan suatu kebijaksanaan sebagai seorang beriman. Sikap
yang diajarkan olehnya adalah sikap rendah hati. Kehidupan yang maha luas ini penuh dengan misteri yang
belum seluruhnya dapat kita pahami.

Jika kita meminta Tuhan dan belum terkabul, kita mesti mengatakan kepada diri kita: Jangan-jangan Tuhan
mengabulkan doaku dengan cara yang lain; bukan dengan cara yang aku kehendaki. Dia lebih tahu hal yang
terbaik buat diri saya.

Sikap semacam ini menghindarkan kita untuk berpikir negatif, pikiran yang justru membuat kita sendiri
mengalami kelelahan mental. Sikap loba, terlalu buru-buru ingin melihat hasil dari doa kita, kata Ibn Ajibah
(penulis komentar atas Kitab Hikam), bisa membuatmu lelah dan sengsara: wa-la tahris, fa-inna al-hirsa taabun
wa madzallatun. .

Pengertian khusus/mistik. Manakala engkau harus meminta kepada Tuhan, maka jadikanlah permintaanmu itu
sebagai bagian dari ibadahmu kepadaNya, bukan permintaan sebagai permintaan. Sebab, berdoa dan meminta
Tuhan adalah salah satu ekspresi menyembah Sang Pencipta.

Kita meminta kepada Tuhan bukan karena kita menghendaki ada hasil yang akan datang dari sana; kita
meminta bukan karena tujuan utilitarian itu. Kita meminta karena memang seorang hamba sudah seharusnya
mengajukan permintaan (talab).

Syekh Abdul Aziz al-Mahdawi (semoga kerelaan Tuhan tetap atasnya) berkata: Barangsiapa berdoa dan
mengatur-atur Tuhan dengan cara apa permintaannya itu harus dipenuhi, doanya mungkin saja dikabulkan.
Tetapi doanya dikabulkan sebagai bentuk pemanjaan (istidraj) dari Tuhan kepadanya. Tuhan berkata kepada
malaikatnya: Kabulkan saja doanya, karena Aku tak suka mendengar permintaannya lagi.

Pelajaran apa yang bisa kita petik dari ajaran Ibn Ataillah ini?
Sederhana: Kerendah-hatian. Janganlah kita mengeluh atau merasa terdampar putus asa karena kehendak
kecil kita sebagai manusia tidak berjalan seiringan dengan kehendak besar Tuhan. Alam kadang punya logic-
nya sendiri. Pengetahuan kita tentang kompleksitas hidup sangat terbatas. Ada hal-hal yang kerap di luar
pengetahuan kita.

Saat kenyataan bekerja tidak sesuai dengan keinginan kita, sikap terbaik yang harus kita ambil adalah: Boleh
jadi keinginan saya tidak tepat; boleh jadi ada hal yang tak saya ketahui.

Dengan sikap seperti ini, kita tidak menderita keterdamparan dan keputus-asaan. Sikap positif adalah cara hidup
yang paling baik. Sehat secara mental, menggembirakan dalam hidup.[]

HIKAM 7

HIKAM 8 10 14 15

HIKAM 9

Ngaji Hikam #9

SEGALANYA BERMULA DARI HATI KITA

Syekh Ibn Ataillah berkata:

Tawwaat ajnas al-amal bi tanawwu waridat al-ahwal.

Terjemahannya:

Amal dan pekerjaan kita berbeda-beda kualitas dan jenisnya karena perbedaan keadaan spritual yang kita
alami.

Kebijaksanaan Ibn Ataillah yang sangat sederhana ini memiliki makna yang mendalam. Saya akan
mengupasnya dari sudut pengertian yang umum atau awam, dan pengertian yang khusus.

Pengertian awam. Apa yang ada dalam hati dan batin kita menentukan jenis-jenis pekerjaan yang kita lakukan.
Pekerjaan kita mencerminkan suasana hati kita. Pekerjaan lahir hanyalah seperti baju luar. Ia tidak berdiri
sendiri, melainkan ditentukan oleh pikiran, hati dan niat kita.

Karena itu, tugas seorang beriman adalah bukan membiarkan seluruh perhatiannya diserap oleh hal-hal yang
sifatnya lahir. Sebab yang nampak di permukaan, yang kelihatan di luaran, hanyalah cerminan dari hal-hal yang
sifatnya batiniah itu. Seorang beriman seharusnya lebih sibuk memperhatikan hati, niat, yang ada di dalam
batinnya.

Ilmu tasawwuf biasa disebut sebagai kedokteran roh, jiwa atau batin (tibb al-arwah atau al-tibb al-ruhani).
Sementara kedokteran yang dipraktekkan oleh para dokter di rumah sakit adalah kedokteran badan (tibb al-
ajsad). Sebagaimana badan kita harus diobati jika sakit, begitu juga roh dan batin kita juga harus dirawat dan
diobati saat mengalami ketidak-beresan.

Kedokteran batin jauh lebih penting daripada kedokteran badan, meskipun kedokteran badan tampak lebih
mentereng dan mewah, dengan bangunan rumah sakit yang magrong-magrong, yang besar. Sebab jiwa lah
yang mengendalikan badan. Jika badan telah kita sehatkan di rumah sakit melalui kedokteran badan, tetapi jiwa
dan batin masih sakit, maka badan yang sehat itu bisa dipakai untuk melakukan hal-hal yang destruktif.

Karena itulah, ilmu olah batin menjadi penting agar kita bisa menata jiwa kita sehingga ia bisa menjadi
pengendali yang baik bagi badan.

Nabi bersabda: Ingatlah, dalam diri kita ada seonggok daging. Jika ia baik, maka seluruh badan juga baik. Jika
ia buruk, seluruh badan juga buruk.

Banyak penyakit fisik yang sumbernya bukan dari badan yang sedang tak sehat. Melainkan dari hati dan kondisi
mental yang buruk. Sikap hidup yang negatif, negative thinking, bisa membuat kita sakit secara fisik, selain sakit
jiwa.

Karena itu, menata hati dan mengkondisikannya agar sehat dan bugar jauh lebih penting dari merawat badan.
Sebab semuanya bermula dari hati dan batin kita. Ini bukan berarti merawat badan tak penting. Sebab, dalam
badan yang sehat juga terdapat batin dan jiwa yang sehat.

Kebijaksanaan ini hanya mau menunjukkan saja: jangan lengah pada yang batin, yang tak tampak. Sebab itu
mengendalikan tindakan lahir kita.

Pengertian khusus/mistik. Dalam kalangan sufi dikenal istilah ahwal, yaitu kondisi batin seorang pelaku
tasawwuf. Ahwal atau kondisi batin ini tidak bersifat tetap, melainkan berubah-ubah. Perubahan ahwal tercermin
juga pada keadaan lahiriah dalam keadaan seseorang.

Jika seseorang mengalami keadaan yang disebut qabd, atau kondisi batin yang mengkerut, maka itu akan
tercermin dalam keadaan lahiriahnya: yaitu sikap diam dan merasa berat untuk bertindak/beribadah.

Jika hatinya mengalami basth atau mekar dan terbuka, maka ia akan terlihat juga dalam tindakan lahiriahnya.
Dia akan merasa bersemangat dan ringan beribadah.

Jika seseorang mengalami kondisi yang disebut dengan hirsh atau tamak dan loba, maka itu juga akan
tercermin dalam kondisi fisiknya. Orang yang loba dan tamak akan kelihatan grusa-grusu, kemrungsung, ngotot,
dan akhirnya lelah sendiri secara mental. Kelelahan mental itu juga akan tercermin dalam fisiknya juga. Ia akan
tampak lesu dan capek.

Menata ahwal atau kondisi batin ini sangat penting bagi seorang sufi, sebab ia menentukan martabat dan
tingkatan yang bersangkutan.

Apakah seorang sufi disebut abid (seorang yang tekun beribadah), wari (seorang yang menjauhi hal-hal yang
secara moral tak bisa dipertanggungjawabkan, scrupulous), zahid (seorang yang menjauhi kemewahan), atau
arif (seorang yang mencapi hakikat hidup dan ketuhanan) ya, apakah ia disebut ini atau itu, tergantung
sepenuhnya pada ahwal yang ada pada dirinya.

Apa pelajaran yang layak kita petik dari kebijaksanaan Ibn Ataillah ini?
Karena segala hal bersumber dari hati dan batin kita, maka kita harus benar-benar merawat dan melatih batin ini
agar tertanam di dalamnya sifat-sifat yang baik, sifat-sifat ketuhanan. Jika seorang beriman bisa menghiasi
batinnya dengan sifat-sifat ini, maka seluruh badannya akan mengerjakan semua hal yang baik.

Lingkungan sosial yang diisi oleh orang yang sehat secara mental juga akan menjadi lingkungan yang sehat.
Dalam lingkungan seperti inilah semestinya anak-anak kita dibesarkan, agar saat besar nanti bisa
mengembangkan sifat-sifat ketuhanan dalam dirinya.[]

HIKAM 10

HIKAM 11

NGAJI HIKAM #11

Bismillahirrahmanirrahim
Malam ini, saya ada acara. Jadi tidak bisa menunggui teman-teman seperti biasanya. Silahkan pembahasan
malam ini dikomentari. Silahkan ajukan pertanyaan seperti biasa. Insyaallah akan saya respon nanti.

Mari kita mulai Ngaji Hikam #11 ini dengan menghadiahkan Fatehah kepada Syekh Ibn Ataillah (qs), kepada
ayah dan guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu saya Nyai Salamah.

Mari kita mulai. Bismillah...

----------------------------------

KUBURLAH DIRIMU DI BALIK KE-TAKTENAR-AN

Ibn Ataillah berkata:

Udfun wujudaka fi ardil khumul, fa ma nabata mimma lam yudfan la yatimmu nitajuhu.

Terjemahannya: Kuburlah dirimu di dalam bumi ketidak-nampakan (khumul). Sebab sesuatu yang tumbuh dari
benih yang tak ditanam di balik ketidak-nampakan tak akan sempurna buahnya.

Ini kebijaksanaan Ibn Ataillah yang, bagi saya, sangat luar biasa, serta dikemukakan dalam ungkapan yang
sangat padat, indah, tetapi maknanya kaya sekali. Inilah ciri-ciri dari Hikam-nya Ibn Ataillah ini. Dia mirip
aphorisme, kata-kata bijak yang pendek, tetapi pengertiannya padat. Mirip seperti puisi haiku Jepang.
Ada dua pengertian untuk kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah ini: pengertian awam dan pengertian khusus.

Pengertian awam/umum. Suatu kesuksesan biasanya dimulai dari pekerjaan permulaan yang dilakukan secara
sepi, sendiri, soliter, jauh dari gebyar popularitas, jauh dari sorot lampu televisi dan kamera wartawan. Para
peneliti sukses yang dikenal oleh publik biasa memulai pekerjaan mereka dari kamar laboratorium yang sepi, tak
diketahui oleh siapa-siapa.
Jika engkau ingin menjadi manusia yang berhasil, maka tindakan pertama yang harus engkau lakukan ialah
bekerja keras, melakukan sesuatu secara pelan-pelan, puasa terlebih dahulu dari popularitas dan perhatian
publik. Sebab, sebuah kesuksesan mengandaikan bahwa engkau melakukan sesuatu dengan tekun, penuh
dedikasi dan komitmen. Biasanya, ketekunan semacam itu akan justru terganggu jika dari awal anda sudah
muncul ke publik, mencari ketenaran.

Ibn Ataillah menggunakan istilah sufi yang menarik, yaitu khumul. Istilah itu artinya ialah kondisi di mana anda
terhalang dari perhatian khalayak ramai. Khumul, pendeknya, adalah keadaan di mana anda tak tenar, tak
diketahui oleh orang lain. Ibn Ajibah malah memberikan pengertian yang lebih dalam lagi: Khumul adalah
kondisi di mana anda sama sekali tak dianggap orang lain (suquth al-manzilah inda al-nas).

Ungkapan yang dipakai oleh Ibn Ataillah sangat simbolis dan artistik. Kuburlah dirimu di bumi khumul, di tanah
ketaktenaran. Sembunyikanlah dirimu dari perhatian orang ramai. Sebab pohon besar yang menghasilkan buah
yang banyak bermula dari benih kecil yang ditanam dan disembunyikan di dalam tanah. Jika benih ditanah di
atas tanah, ia bisa menghasilkan pohon, tetapi tak sebaik pohon yang berasal dari benih yang ditanam dalam-
dalam di tanah.

Ini kebijaksanaan yang berlaku baik dalam kehidupan sufistik, maupun kehidupan sehari-hari. Keberhasilan
usaha seseorang biasanya dimulai dari tahap-tahap awal yang tersembunyi, ketekunan yang tak terlihat oleh
orang banyak, dari tahap khumul, seperti dikatakan oleh Ibn Ataillah itu. Tanpa tahap ini, yang muncul adalah
kesuksesan instan yang tak tahan lama. Mirip seorang penyanyi yang muncul mendadak lalu hilang dari
peredaran. Ini beda dengan penyanyi yang sukses karena latihan yang lama, karena ketekunan yang dimulai
dari ruang-ruang yang jauh dari sorot lampu wartawan entertainment.

Anda boleh menikmati kesuksesan dan sorot popularitas asalkan anda telah melewati tahap khumul dulu,
tahap ketersembunyian melalui kerja keras yang penuh dedikasi. Hanya kesuksesan semacam itulah yang tahan
lama. Selain itu hanyalah kesuksesan karena faktor-faktor yang palsu, entah karena nepotisme, sogokan, atau
keberuntungan yang sifatnya sesaat saja.

Pengertian khusus. Dalam bagian sebelumnya, Ibn Ataillah berbicara mengenai ikhlas sebagai roh yang bisa
menghidupkan amal dan pekerjaan manusia. Keikhlasan itu biasanya akan pudar jika kita mengerjakan sesuatu
agar diketahui oleh orang ramai. Seorang yang ingin meraih ikhlas, sebaiknya mengusahakan agar
menguburkan dirinya dalam-dalam di bumi khumul, serta menjauhi zuhur.

Di sini kita berhadapan dengan dua istilah: khumul dan zuhur. Keduanya adalah antonim, kata-kata yang
pengertiannya saling bertolak belakang. Khumul adalah ketidakmunculan, sementara zuhur adalah kemunculan
di permukaan. Seorang yang ingin meraih ikhlas haruslah berada pada situasi khumul, dan menghindarkan diri
sebisa mungkin dari zuhur. Keterlihatan pada orang lain biasanya menggoda seseorang untuk punya pamrih
yang macam-macam. Jika kita menjauh dari sorot mata publik, pamrih seperti itu pelan-pelan akan hilang.

Dalam kehidupan orang-orang saleh, kita banyak mendengar kisah-kisah para sufi yang sengaja tampak tidak
saleh di muka umum, berpakaian sederhana, tak terlihat seperti seorang alim atau kiai besar, agar tidak
mengganggu kebersihan niatnya untuk beribadah kepada Tuhan. Begitu seseorang berpakaian ala ustaz atau
kiai, ia merasakan dorongan atau tekanan jaga imej agar bertindak dengan cara tertentu. Ia melakukan
tindakan itu hanya untuk menjada citra saja.

Seorang yang bijak pernah berkata: Makin dalam engkau menguburkan dirimu selapis demi selapis di bumi,
makin menjulang batinmu selapis demi selapis di angkasa/langit. Dalam sebuah hadis qudsi, Nabi Muhammad
bersabda: Seringkali ada orang yang rambutnya tampak kacau, mukanya berdebu, dan bajunya jelek,
sementara orang-orang ingin menjauh darinya karena pemandangan lahiriahnya yang buruk; tetapi jika ia
bersumpah dan meminta sesuatu kepada Tuhan, maka Dia akan kangsung memenuhinya.
Hadis ini hanya ingin memberikan contoh: ada orang-orang tertentu yang berhasil membenamkan kesalehan
dirinya di balik penampakan lahiriah yang kelihatan tak mentereng, tidak kelihatan relijius. Tetapi orang-orang ini
bisa saja memiliki kualitas hati yang lebih spiritualistik dan relijius daripada mereka yang tampilannya tampak
relijius.

Apa pelajaran dari hikmah Ibn Ataillah ini? Seorang beriman harus mengusahakan agar ikhlas dalam segala hal
yang ia kerjakan. Jika keikhlasan itu tak bisa ia raih kecuali dengan menjauh dari perhatian orang ramai, maka
dia harus melakukan itu. Sebab, kebanyakan orang tak bisa menghindarkan dari dari perasaan jumawa dan
pamer (show off) di depan orang banyak.[]

HIKAM 12

NGAJI HIKAM #12

Bismillahirrahmanirrahim

Mari kita mulai Ngaji Hikam #12 ini dengan menghadiahkan Fatehah kepada Syekh Ibn Ataillah (qs), kepada
ayah dan guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu saya Nyai Salamah.

Mari kita mulai. Bismillah....

------------------------------------

UZLAH BUKAN TUJUAN PADA DIRINYA SENDIRI

Syekh Ibn Ataillah berkata:

Ma nafaa al-qalba syaiun mitslu uzlatin yadkhulu biha maidana fikratin.

Terjemahan:

Tak ada sesuatu yang lebih berguna buat hati kita kecuali tindakan menyingkir dari keramaian masyarakat
(uzlah) yang disertai dengan kegiatan ber-tafakkur (merenung/berpikir).
Ada dua pengertian untuk kebijaksanaan Ibn Ataillah ini: pengertian awam dan pengertian khusus.

Pengertian awam/umum. Dalam bagian yang lalu, Ibn Ataillah sudah mengulas mengenai dua konsep penting,
yaitu ikhlas dan khumul. Kedua hal itu saling terkait. Ikhlas adalah mengerjakan sesuatu bukan karena pamrih
sesaat, misalnya sekedar untuk meraih gaji atau menyelesaikan kewajiban saja. Ikhlas adalah dedikasi dan
komitmen pada suatu pekerjaan. Atau, dalam bahasa agama, ikhlas adalah mengerjakan sesuatu hanya karena
Tuhan saja. Bukan karena tujuan lain.

Khumul adalam membenamkan diri agar tak kelihatan oleh orang ramai. Ikhlas biasanya memang akan mudah
dicapai jika kita bisa memiliki sikap khumul: tidak menonjol-nonjolkan diri, pamer.
Dalam bagian ini, Syekh Ibn Ataillah masih membahas tema yang berkaitan dengan tema sebelumnya, yaitu
soal uzlah.
Uzalah artinya mengisolasi diri, menyingkir dari keramaian masyarakat. Bagian ini memang tampakya ditujukan
kepada jenis manusia kamar, manusia yang maqamnya memang bukan maqam sebab, melainkan maqan
menyendiri, bermeditasi, membaktikan seluruh waktunya untuk mengabdi dan beribadah kepada Tuhan.

Menghindar dari kermaian bukanlah tujuan pada dirinya sendiri. Jika maqam seseorang adalah maqam uzlah,
mengisolasi diri, lalu dia menyingkir dari keramian orang banyak, tetap setelah itu tak melakukan apa-apa selain
hanya menyendiri saja, maka jelas tak gunanya.

Uzlah bukan tujuan pada dirinya sendiri. Uzlah tak ada manfaatnya jika tak disertai dengan kegiatan lain, yaitu
beribadah dan bertafakkur, melakukan refleksi, merenung, berpikir, melakukan aktivitas rohani.

Ada orang-orang yang secara fisik terisolir dari dan tak bergaul dengan orang ramai, tetapi hatinya tetap
bersama orang ramai. Maka uzalah semacam ini hanyalah uzlah di permukaan saja. Ini sama saja dengan
orang yang tak memiliki harta, tetapi hatinya selalu memikirkannya. Orang yang demikian itu tak bisa disebut
sebagai seorang yang zahid atau asketik. Sebaliknya ada orang yang memiliki harta berlimpah, tetapi hatinya
bersama Tuhan, tidak kumanthil atau melekat dengan hartnya itu. Inilah orang benar-benar zahid.

Hal yang sama berlaku juga untuk uzlah. Ada orang-orang yang secara fisik bergaul bersama orang banyak,
tetapi fikiran dan hatinya tak pernah berhenti melakukan meditasi, refleksi, tafakkur, memikirkan Sang Khalik.
Inilah uzlah yang sebenar-benarnya. Sebab, seperti dikatakan oleh Ibn Ataillah sebelumnya, yang menentukan
kualitas tindakan kita adalah sikap hati, bukan pekerjaan itu sendiri.

Pengertian khusus. Kata Syekh Ibn Ajibah: Tak ada sesuatu yang lebih berguna bagi hati dan rohni kita melebihi
uzlah. Tetapi, ini bukan sekedar uzlah, melainkan uzlah yang dibarengi dengan fikrah, bertafakkur, merenung.

Ibn Ajibah membuat analogi yang menarik. Uzlah adalah seperti orang yang melakukan humyah atau diet
makan, sementara bertafakkur adalah seperti meminum obat. Orang yang sakit harus melakukan diet atau
mengurangi makanan, terutama makanan yang akan menambah parah sakit yang ia derita. Diet itu harus ia
lakukan agar obat yang ia telan memiliki pengaruh yang signifikan.

Dengan kata lain, uzlah dan bertafakkur adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan.

Menurut Syekh Abul Hasan al-Shadzili; buah dari uzlah (yang disertai dengan tafakkur) adalah meraih berkat
dari Tuhan (mawahib al-minnah). Ada empat berkat ilahiah yang akan diperoleh oleh orang yanguzlah:
tersingkapnya hijab yang menghalang antara hamba dan Tuhan, rahmat yang turun bercucuran bagai hujan,
memahami makna cinta yang sesungguhnya (cinta kepada Tuhan), dan kemampuan untuk jujur dalam berkata-
kata.

Apa pelajaran yang bisa kita peroleh dari kebijaksanaan Ibn Ataillah ini? Uzlah adalah tindakan yang sangat
mulia bagi orang-orang yang memang maqam-nya ada di sana. Tetapi uzlah bisa kita maknai secara lebih luas:
yaitu kemampuan kita untuk memfokuskan fikiran, begitu rupa sehingga saat kita berada di tengah-tengah orang
ramai, kita tidak larut bersama mereka. Fikiran kita tidak kehilangan orientasi. Kita tetap ingat kepada Sumber
Kehidupan: yaitu Tuhan.[]

HIKAM 13

NGAJI HIKAM #13


Bismillahirrahmanirrahim

Malam ini saya sedang ada acara, jadi tidak bisa menunggui teman-teman.

Mari, seperti biasa, kita mulai Ngaji Hikam #13 ini dengan menghadiahkan Fatehah kepada Syekh Ibn Ataillah
(ds), kepada ayah dan guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu saya Nyai Salamah.

Mari kita mulai. Bismillah...

---------------------------------------

MEDITASI IBN ATAILLAH (1)

Syekh Ibn Ataillah berkata:

Kaifa yusyriqu qalbun shuwarul akwani munthabi'atun fi mir'atihi.

Terjemahan:

Bagaimana hati bisa bersinar terang sementara cerminnya "dikotori" oleh gambar-gambar "kahanan" atau wujud
material.

Pada bagian ini dan dua pasal berikutnya, kita akan mendengarkan meditasi Ibn Ataillah serta renungan-
renungannya yang, bagi saya, sangat indah sekali. Meditasi Ibn Ataillah begitu puitis, begitu rohaniah, begitu
artistik. Keindahan renungan Ibn Ataillah bukan semata-mata karena permainan kalimat yang licin dan
mengkilap, melainkan karena tenaga rohaniah yang dahsyat yang "muncrat" bagi mata air dari dalam kalimatnya
itu.
Mari kita mencoba memahami renungan Ibn Ataillah ini dengan pengertian umum dan khusus.

Pengertian umum. Rohani dan dunia batin kita tak akan bisa bersinar dan memiliki daya tangkap yang sensitif
jika di dalamnya terdapat pelbagai bentuk gangguan, distraksi. Jika dunia batin kita keruh, karena tetek-bengek
urusan duniawi yang membuat fokus perhatian kita tercerai-berai, maka sulit bagi batin kita untuk bersinar,
jernih, seperti kaca yang tak berdebu.

Kita bisa merasakan hal ini dalam kehidupan sehari-hari. Jika hati kita keruh karena gangguan suatu masalah,
kita akan sulit untuk memusatkan perhatian, kita akan kehilangan konsentrasi, batin kita akan cerai-berai seperti
pasir yang diterpa angin badai. Selama kita tak bisa merebut kembali hati dan batin kita, mengosongkannya dari
gangguan-gangguan itu, selama itu juga kita akan gagal melakukan sesuatu yang berguna. Sebab kita telah
kehilangan konsentrasi.

Pekerjaan-pekerjaan besar dalam kehidupan biasanya membutuhkan konsentrasi yang penuh dan konsisten.
Konsentrasi yang penuh, intensif, dan konsisten adalah persis dengan kaca suryakanta. Kita bisa membakar
kapas, misalnya, dengan memusatkan sinar matahari melalui kaca suryakanta. Jika kaca itu bergerak-gerak,
tidak konsisten diarahkan ke kapas, maka kapas itu tak akan terbakar.

Kesuksesan yang besar dimulai dari hal yang sederhana: kemampuan menata fokus dan konsentrasi. Ini
perkara yang mudah dikatakan, tapi tak semua orang bisa melakukannya. Di zaman ketika godaan-godaan
datang dari segala arah, entah hiburan, media sosial, berita yang datang susul-menyusul tanpa henti, kita
kadang kehilangan kemampuan untuk konsentrasi.

Anda sekarang bisa bertanya pada diri anda sendiri: setelah munculnya teknologi digital, apakah kemampuan
anda untuk konsentrasi membaca dalam waktu yang cukup lama makin bertambah atau berkurang? Saya
khawatir jawabannya adalah yang kedua: makin berkurang. Sebab teknologi digital menggoda orang untuk
pindah dari satu "jendela" (window) ke jendela lain lagi. Kita tak betah berlama-lama menghadapi satu jendela
informasi. Ingin segera pindah.

Inilah persisnya penyakit yang menjadi bahan renungan Syekh Ibn Ataillah. Hati kita tak akan bisa bersinar dan
kaya dengan ilham yang mengalir kalau dia disesaki dengan banyak godaan yang mengalihkan perhatian.

Begitu juga hati seorang beriman, tak akan bisa bersinar terang untuk menerima ilham dari Tuhan jika isinya
penuh dengan "akwan" atau obyek-obyek duniawi yang mengganggu.

Bagaimana ilham dan pengertian tentang hakikat hidup bisa melimpah-mencurah dari Tuhan kepada hati kita,
jika kita memenuhi hati kita itu dengan pikiran-pikiran mengenai dunia. Sebab Tuhan tidak bisa dimadu,
diduakan. Jika kita tak memusatkan perhatian kita seluruhnya pada Tuhan, kita tak akan mendapatkan
pengertian rohaniah dariNya.

Pengertian khusus. Hati manusia bisa diserupakan dengan kaca atau besi, seperti disebutkan dalam sebuah
hadis. Nabi bersabda: Sesungguhnya hati manusia itu bisa mengalami karatan seperti besi. Dan sesungguhnya
iman itu bisa menjadi "iman lungsuran", persis seperti baju baru yang lama-lama menjadi baju lungsuran.

Hati yang karatan adalah hati yang terhijab, terhalang untuk "syuhud", menyaksikan Tuhan. Yang bisa membuat
hati terhalang adalah "akwan", yaitu segala hal selain Tuhan. Orang Jawa memiliki istilah padanan yang baik
untuk istilah "akwan" yang banyak dipakai oleh kalangan sufi itu -- yaitu "kahanan". Kahanan atau wujud ciptaan
Tuhan bisa menjadi penghalang antara kita dan Tuhan. Kecuali jika kita mampu memahami "kahanan" itu
sebagai tanda-tanda Tuhan.

Menurut Syekh Ibn Ajibah: Jika Tuhan ingin menunjukkan kepeduliannya kepada seorang hamba, maka Dia
akan menyibukkan hati dan pikirannya dengan rahasia-rahasia ketuhanan, dan melepaskan dia dari ikatan-
ikatan dengan "kahanan" atau obyek material yang gelap.

Sebaliknya, jika Tuhan ingin merendahkan derajat seorang hamba, maka Dia akan menyibukkan hati dan
pikirannya dengan obyek-obyek material yang gelap itu hingga ahirnya hati dan pikirannya gelap.

Apa yang bisa kita pelajari dari hikmah Ibn Ataillah ini? Kita mesti terus-menerus mempertajam mata batin kita
dengan cara membersihkan hati dan pikiran kita dari hal-hal yang bisa membuat lengah, mengalihkan perhatian
kita dari Tuhan. Hati yang dipenuhi dengan obyek-obyek duniawi lama-lama bisa gelap dan sinarnya padam.
Jika mata hati kita padam, kita akan kehilangan kontak dan komunikasi dengan sumber kehidupan, yaitu Tuhan.

Seorang yang beriman adalah orang yang bisa menjaga fokus dan konsentrasi. Sebab, beriman kepada Tuhan
pada dasarnya adalah proses kejiwaan agar kita melatih diri untuk bisa mengarahkan fokus pada Tuhan saja.
Orang yang "kafir" adalah orang yang perhatiannya buyar, cerai-berai, tidak bisa terpusat kepada pusat dan
fokus yang tunggal. Sebagaimana anda tak bisa menangkap obyek jika fokus kamera anda bergerak-gerak
terus, begitu juga saat kita tak bisa menjaga fokus hati kita. Kita akan gagal "menangkap" Tuhan.

Seorang beriman tak selayaknya menjadikan dunia sebagai fokus satu-satunya dalam kehidupan. Untuk
sementara waktu, kesuksesan duniawi bisa membawa kepuasan. Tetapi kepuasan duniawi ada batasnya. Pada
satu titik kita akan bosa dengan kesuksesan semacam itu, dan mencari sesuatu yang lebih. Kepuasan spiritual
adalah sebenar-benarnya kepuasan yang layak diburu oleh seorang beriman.[]

HIKAM 14
HIKAM 15

HIKAM 16

NGAJI HIKAM #16

Bismillahirrahmanirrahim
Mari kita mulai Ngaji Hikm 16 dengan menghadiahakn Fthah untuk Syekh Ibn Ataillah (qs), kepada ayah dan
guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu say Nyai Salam.

Mari kita mulai. Bismillah.

--------------------------------

MEDITASI SYEKH IBN ATAILLAH (4)

Syekh Ibn Ataillah berkata:


Am kaifa yarju an yafhama daqaiq al-asrar wahuwa lam yatub min hafawatihi?

Terjemahan:

Atau, bagaimana seseorang berharap bisa memahami rahasia-rahasia ketuhanan yang terdalam sementara dia
belum bertaubat dari kesalahan-kesalahannya?

Pengertian awam/umum. Taubat adalah tindakan yang sangat penting dalam kehidupan seorang beriman.
Taubat artinya kembali ke jalan kesadaran setelah untuk sementara waktu seseorang terjatuh dalam situasi
kelengahan, kealpaan, lalai. Tanpa taubat, seseorang akan terus berada dalam situasi lupa diri, tak ingat tujuan
utama dalam hidupnya. Lupa pada sumber kehidupan, yaitu Tuhan.

Seseorang tak akan bisa memahami rahasia kehidupan yang terdalam jika dia lupa, dia tak bertaubat. Dosa
adalah kedaan ketika kita lengah, lupa diri, tak sadar akan orientasi. Dosa membuat kita jauh dari diri kita
sendiri. Jika kita makin jauh dari diri kita sendiri yang sesungguhnya (real self), maka kita juga akan jauh dari
Tuhan. Sebab, sebagaimana dikatakan oleh para sufi, barang siapa mengetahui dirinya sendiri, maka dia akan
mengenal Tuhan. Man arafa nafsahu fa qad arafa rabbahu. Sebab, Tuhan pada dasarnya ada dalam diri kita
sendiri.

Dosa adalah bak sebuah hija atau telekung yang menghalangi kita dari diri kita sendiri, juga penghalang yang
menutup kita dari Tuhan. Bagaimana mungkin engkau bisa mengenal dirimua, mengenal Tuhanmu, jika dirimu
berada dalam situasi lengah karena tenggelam dalam (istilah Sykeh Ibn Ataillah) hafawat, atau kesalahan-
kesalahan.

Hafawat, istilah yang dipakai oleh Sykeh Ibn Ataillah di sini, memiliki arti zallah atau terpeleset. Seseorang
yang berdosa adalah orang yang sedang terpeleset. Kata itu juga berarti al-saqthah yang artinya terjatuh.
Seorang yang berdosa sama dengan berada dalam kondisi jatuh. Ini mengingatkan kita pada Nabi Adam yang
terjatuh dari sorga karena melakukan kesalahan: yaitu tak bisa menahan diri dari godaan setan, sehingga ia
melanggar larangan Tuhan.

Jatuh dalam kesalahan dan dosa adalah sesuatu yang manusiawi. Sebab, manusia dalam bahasa Arab disebut
sebagai insan. Kata insan memiliki akar yang sama dengan nisyan yang artinya adalah lupa.
Mengalami situasi lupa dan lengah adalah sangat manusiawi. Tetapi, yang membedakan manusia yang baik dan
tidak ialah apakah ia ingat kembali setelah lupa, atau membiarkan diri terus-menerus dalam kelupaan. Jika
manusia dikehendaki oleh Tuhan menjadi orang yang baik, ia akan kembali ke jalan kesadaran setelah lupa.
Kembali kepada Tuhan.

Ada pengertian yan implisit atau tak tersurat dalam meditasi Ibn Ataillah ini. Kesalahan dan dosa jika dibarengi
dengan taubat akan menaikkan derajat seseorang, sehingga dia bisa memahami rahasia-rahasia ketuhanan
yang terdalam. Meskipun ini bukan berarti bahwa seseorang harus berdosa dulu sebelum memahami rahasia
Tuhan. Bukan. Tetapi apa yang mau disampaikan oleh Ibn Ataillah ialah bahwa kesalahan yang dibarengi
dengan sikap mawas diri, kembali ke jalan yang benar, bertaubat, akan mengantar seseorang kepada rahasia
ketuhanan.

Pengetian khusus/mistik. Syekh Ibn Ajibah berkata: memahami rahasia Tuhan atau asrar tak akan bisa terjadi
jika seseorang terus-menerus berada dalam keadaan lupa atau israr. Asrar dan israr tidak bisa jalan bareng.
Jika seseorang berada dalam keadaan israr, lengah terus-terusan, dia sudah pasti akan menjauh dari asrar atau
ilmu Tuhan yang paling rahasia.

Yang disebut dengan asrar atau rahasia Tuhan di sini ialah rahasia dzat (esensi) Tuhan dan sifat-sifatNya yang
mewujud dalam bentuk yang terlihat oleh indera kita, yaitu wujud fisik atau alam (akwan).

Apa yang bisa kita pelajari dari meditasi Syekh Ibn Ataillah kali ini? Ialah bahwa manusia harus menerus dalam
kondisi alert, sadar, tidak lengah. Ciri seorang yang beriman adaalh dia harus terus-menerus berzikir, atau
ingat Tuhan. Ini bukan sekedar zikir dalam pengertian mengulang-ulang nama Tuhan sebagaimana kita pahami
selama ini. Tapi zikir dalam pengertian alertness, eling atau ingat, dan waspada.

HIKAM 17

NGAJI HIKAM #17

Bismillahirrahmanirrahim

Malam ini, mohon maaf, saya tidak bisa menyertai dan menunggui teman-teman seperti biasa, karena ada
acara. Ngaji berlangsung seperti biasa, in absentia.

Mari kita mulai Ngaji Hikam #17 dengan menghadiahkan Fatehah kepada Syekh Ibn Ataillah (qs), kepada ayah
dan guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu saya Nyai Salamah.

Mari kita mulai. Bismillah

---------------------------------
BUKAN GELAS YANG ENGKAU CARI, TETAPI ISINYA

Syekh Ibn Ataillah berkata:

Al-kawnu kulluhu dzulmatun wa innama anarahu dzuhur al-haqq fihi.

Terjemahan:

Seluruh keadaan (alam raya, kawn) ini adalah kegelapan. Yang membuatnya bercahaya dan terang benderang
ialah terbitnya Yang Maha Benar di dalamnya.
Kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah ini bisa kita pahami secara umum, di luar konteks keilmuan batin atau
esoterisme, dan secara khusus dalam konteks ilmu-ilmu kerohanian atau tasawwuf.

Pengertian umum. Segala hal yang ada di dunia ini, berupa kenyataan, fakta, data, realitas, adalah sesuatu
yang gelap, dalam pengertian tak beraturan, keotik, kacau balau. Saat anda berhadapan dengan ribuan lalu-
lintas di tengah-tengah kota Jakarta, misalnya, ada melihat suatu pemandangan yang kacau, tak beraturan, tak
berpola, tak mengikuti hukum tertentu. Itulah yang disebut kegelapan.

Tetapi, begitu anda menelaah dengan cermat ribuan kendaraan di tengah kota itu, dan mencari pola tertentu,
anda pelan-pelan akan menemukan semacam sinar terang di tengah kekacauan itu. Ternyata ribuah kendaraan
itu bergerak mengikuti pola tertentu. Di permukaan, seolah-olah ribuan kendaraan itu adalah sesuatu yang
gelap. Tetapi jika anda sudah berhasil menemukan pola tertentu, maka hal yang semula kacau itu akan pelan-
pelan kelihatan jelas. Terang. Tak membingungkan.

Saya pernah mengalami sendiri keadaan ini.

Suatu malam, saya menyetir kendaraan, dan melewati perempatan Garuda di Taman Mini. Malam itu lalu-lintas
sangat padat, dan ribuan kendaraan bergerak lambat seperti siput yang malas beringsut. Saya, malam itu,
mestinya harus mengambil jalan menuju tol Jagorawi. Tetapi entah kenapa, saya salah jalur, sehingga saya
menjauh dari arah yang tol. Saya harus berputar balik. Tetapi bagaimana berputar di tengah ribuan kendaraan
yang sedang macet dan bergerak lambat? Saya seperti berhadapan dengan kekacauan yang tanpa pola. Saya
bingung.

Tetapi saya harus putar balik. Akhirnya, pelan-pelan, dengan sabar, saya mencari celah. Ada bukaan pada
pemisah jalan tempat orang-orang biasa berputar balik. Saya menunggu dengan sabar, dibantu oleh polisi
gopek yang biasa mencari uang receh dengan membantu orang-orang lewat atau putar balik. Saya akhirnya
berhasil memutar, setelah menunggu lama, dan harus sabar menanti kebaikan hati para supir kendaraan dari
arah yang berlawanan. Saya nyaris tak percaya malam itu, bahwa saya bisa putar balik.

Di jalan, setelah melewati keruwetan lalu-lintas itu, saya berpikir: Ternyata, di tengah-tengah lalu-lintas yang
tampak ruwet itu, ada suatu pola. Pola itu ialah: orang-orang akan memberi anda jalan untuk lewat jika anda
sabar menunggu. Ini hanya contoh sederhana: realitas itu tampak gelap, kacau. Dia akan menjadi teratur dan
tidak membingungkan jika kita berhasil menemukan pola yang ajeg di dalamnya.

Ini adalah keadaan yang dihadapi oleh semua ilmuwan. Mereka biasa berhadapan dengan informasi yang
jumlahnya ribuan, bahkan jutaan. Informasi itu mula-mula tampak gelap, tak beraturan, kacau balau, chaotic.
Tetapi dia harus menemukan kebenaran di dalam kekacauan itu. Kebenaran tersebut tak lain ialah sebuah
teori, penjelasan, keterangan mengenai informasi yang kacau itu. Setelah teorinya ditemukan, realitas yang
semula kelihatan kacau itu kemudian menjadi terang-benderang.

Benarlah kata Syekh Ibn Ataillah: alam raya ini berisi kegelapan. Maksudnya ialah kekacauan. Ia baru menjadi
jelas jika cahaya kebenaran menyorotkan sinarnya kepada kegelapan itu.

Tugas para ilmuwan adalah mencari kebenaran di tengah-tengah kekacauan alam raya. Para ilmuwan atau
saintis bisa kita serupakan dengan para sufi. Bedanya, para saintis adalah sufi untuk ilmu-ilmu lahir, ilmu-ilmu
yang berkenaan dengan alam fisik, alam badan dan wadag. Sementara para sufi adalah ilmuwan atau saintis
ilmu-ilmu rohani. Keduanya memiliki kesamaan: mereka bertugas mencari Kebenaran (dengan K besar) yang
bisa menyinari dan menjelaskan alam raya yang gelap ini.

Pengertian khusus/mistik. Bagi seorang yang sedang melakukan perjalanan menuju Tuhan, dan mengikuti laku
tasawwuf, seluruh ciptaan di alam raya ini bisa menjadi hijab atau penutup yang menghalangi perjalanan orang
itu menuju kepada tujan akhir, yaitu Tuhan. Sebab alam raya ini adalah kegelapan, sementara Tuhan adalah
cahaya. Sebagaimana ditegaskan dalam Surah al-Nur:35: Tuhan adalah cahaya langit dan bumi. Allahu nur al-
samawati wa alard.

Alam raya ini seperti sebuah bulan. Ia pada dasarnya materi yang gelap. Bulan bercahaya hanya jika ada
matahari yang memberinya sinar. Jika matahari tak ada, maka cahaya bulan akan sirna juga. Demikian juga,
manusia dan alam raya ini, semuanya adalah kegelapan. Mereka ini bisa bersinar jika ada cahaya ketuhanan
yang menyinarinya. Sebab hanya Tuhanlah sumber cahaya.

Jika kita mengikuti pemikiran sufi besar Ibn Arabi (w. 1240), seluruh kenyataan, baik yang kita lihat atau tidak,
pada intinya adalah Tuhan. Kenyataan dan wujud yang bermacam-macam itu langit, bumi, manusia, hewan,
tumbuh-tumbuhan, mineralsemuanya pada dasarnya adalah cerminan dari Tuhan saja. Yakni Tuhan yang satu
tetapi mewujud dan nampak dalam keragaman wujud. Keragaman wujud itu, hanyalah pada penampakannya
saja ia kelihatan bermacam-macam, plural. Tetapi ia sejatinya satu saja: yaitu Tuhan.

Artinya, jika kita mengikuti pemikiran Ibn Arabi, yang ada adalah cahaya saja, yaitu Tuhan. Kegelapan hanyalah
penampakan yang palsu saja.

Kata wali besar dan sekaligus penyair sufi dari Andalusia, Abul Hasan al-Shustari (w. 1269): La tandzur ila al-
awani, wa khud bahra l-maani, laallaka tarani. Jangan melihat wadah saja, melainkam selamilah lautan makna,
maka engkau akan melihat Aku. Alam raya adalah sebuah wadah, bejana. Jangan melihat wadah, atau gelas.
Lihatlah isinya, air yang ada di dalamnya.
Sesiapa yang hanya melihat wadah saja, terpukau dan terkesima oleh keindahan gelas, ia akan terhalang untuk
menikmati sesuatu yang lebih berharga dari gelas itu, yaitu isi yang ada di dalamnya.

Gelas adalah alam raya ini. Air yang ada di dalam gelas itu adalah perlambang hakikat wujud ketuhanan.
Seindah apapun bentuk gelas, jangan sampai engkau tertipu olehnya. Engkau harus meraih sesuatu yang ada
di dalam gelas itu. Sebab di sanalah cahaya berada.

Apa pelajaran yang bisa kita peroleh dari kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah ini? Intinya: jangan tertipu oleh gelas.
Oleh wujud lahir. Carilah cahaya, yaitu isi gelas.[]

HIKAM 18

NGAJI HIKAM #18

JIKA ANDA BELUM PAHAM, ARTINYA ANDA MASIH TER-HIJAB

Bismillahirrahmanirrahim

Malam ini, mohon maaf, saya tidak bisa menyertai dan menunggui teman-teman seperti biasa, karena ada
acara. Ngaji berlangsung seperti biasa, in absentia.

Mari kita mulai Ngaji Hikam #18 dengan menghadiahkan Fatehah kepada Syekh Ibn Ataillah (qs), kepada ayah
dan guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu saya Nyai Salamah.

Mari kita mulai. Bismillah


---------------------------------

Syekh Ibn Ataillah berkata:


Fa man raa al-kauna wa lam yasyhadhu fihi aw indahu aw qablahu aw badahu, fa qad awazahu wujud al-
anwar wa hujibat anhu syumusy al-maarif bi suhub al-atsar.

Terjemahannya:

Sesiapa yang melihat wujud alam raya ini, tetapi tidak melihat Yang Maha Benar di sana, maka sesungguhnya
dia belum mendapatkan cahaya, dan awan-awan jejak wujud-Nya masih menghijabnya, menghalanginya untuk
melihat matahari pengetahuan tentang hakikat-Nya.

Kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah ini bisa kita pahami dalam dua pengertian: pengertian umum dan khusus.

Pengertian umum. Semua orang yang memiliki indera tentu saja bisa melihat kenyataan-kenyataan bendawi
yang ada di alam raya ini: matahari, bulan, bintang-bintang, manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan mineral.
Semua wujud-wujud fisik itu bisa diindera oleh siapa saja. Tetapi, sebagaimana telah dikatakan oleh Ibn Ataillah
dalam pembahasan sebelumnya, semua kenyataan fisik itu gelap, tak bisa dipahami, membingungkan.

Hanya cahaya kebenaran yang bisa membuat kenyataan-kenyataan itu bersinar, dan bisa dipahami. Bagi
seorang ilmuwan, cahaya itu biasanya terjadi pada saat dia mengalami aha moment, saat-saat di mana dia
merasa plong karena tiba-tiba sesuatu yang semula gelap menjadi terang karena dia telah menemukan pola
atau teori di baliknya.

Jika seseorang melihat semua kenyataan bendawi itu, tetapi tak melihat cahaya kebenaran di sana, berarti dia
masih dalam kondisi kegelapan, sehingga tak melihat cahaya di sana. Dia belum menemukan pengertian dan
pemahaman. Dia masih terhijab.

Jika kita melihat alam raya, tetapi tak melihat cahaya Tuhan di sana, berarti kita memang belum mendapatkan
cahaya pengertian dari-Nya. Kita masih diselimuti oleh kabut kegelapan. Kita masih terhalang oleh yang nampak
di mata, sehingga belum bisa melihat inti atau hakikat gaib yang ada di balik yang tampak itu. Sebab, Yang
Maha Benar memang sekaligus juga Maha Gaib.

Tetapi Yang Maha Gaib meninggalkan jejak-jejak-Nya dalam alam raya ini. Bagi orang yang mendapatkan
cahaya pengertian, ia bisa menemukan Yang Maha Gaib itu melalui jejak-jejak-Nya di alam raya ini. Manakala ia
tak bisa melihat-Nya, maknanya ia masih terpenjara oleh jejak Tuhan, terpukau dengan jejak-jejak itu, sehingga
ia lupa dan tak mampu menemukan Tuhan di sana.

Jejak Tuhan di alam fisik ini memang indah. Keindahan ini bisa menghijab atau menghalangi seseorang
sehingga ia tak bisa melihat hakikat yang ada dibalik keindahan itu. Seorang yang beriman adalah orang yang
beriman akan sesuatu yang gaib, sesuatu yang tak tercerap oleh indera-indera badan kita.
Sebaliknya orang yang kafir ialah dia yang terpenjara pada yang nampak saja, pada sesuatu yang material,
sehingga mengingkari hal-hal yang di ada balik yang nampak.

Pengertian khusus. Syekh Ibn Ataillah, dalam bagian ini, membuat suatu penggambaran yang indah tentang
kebenaran Tuhan, atau bahkan mengenai Tuhan itu sendiri. Kebenaran Tuhan (al-haqq, al-haqiqah), atau Tuhan
itu sendiri, ada di dalam segala sesuatu, ada pada segala sesuatu, ada sebelum sesuatu, dan ada setelah
sesuatu.

Dia ada di dalam segala sesuatu sebagai sebuah esensi (fihi). Dia ada pada segala sesuatu sebagai sebuah
proses (indahu). Dia juga sebab dari segala sesuatu (qablahu). Dan Dia juga akibat dari segala sesuatu
(badahu). Dengan kata lain, dia meliputi segala sesuatu dari segala sudut. Dia adalah yang nampak, tetapi
sekaligus tersembunyi. Dia nampak dalam ketersembunyian-Nya. Dia tersembunyi dalam kenampakan-Nya.
Makna ungkapan Ibn Ataillah ini memang memuat sebuah misteri, mengandung banyak kemungkinan makna
fihi, indahu, qablahu, badahu. Tuhan itu ada di dalam sesuatu, pada sesuatu, sebelum sesuatu, dan sesudah
sesuatu. Ini, bagi saya, ungkapan mistis dan sekaligus puitis. Tak bisa dipahami dengan pengertian lahiriah saja.

Syekh Ibn Ajibah mengartikan ungkapan ini dengan mengutip ungkapan sebagian para orang-orang yang telah
mencapai pengertian atau arifin. Kata sebagian oran-orang arif: Orang-orang pada umumnya melihat alam
bendawi, alam fisik, dan setelah itu sesudah melalui tahap refleksi dan perenungan baru dia melihat
mukawwin atau Tuhan yang mengadakan sesuatu itu. Sementara orang-orang arifin, mereka tak melalui tahap
yang gradual seperti itu. Sebab mereka tak melihat kecuali Tuhan itu sendiri. Dia tak melihat wujud fisik. Dia
langsung melihat Yang Maha Gaib.

Dengan kata lain, orang-orang yang telah mencapai tahap marifat, ia tak melihat jejak-jejak Tuhan di alam raya
itu. Sebab, jejak-jejak itu hanya sesuatu yang semu saja. Yang mereka lihat hanya Tuhan. Kemanapun dia
memalingkan muka, di sana dia hanya melihat Tuhan saja. Mereka melihat Tuhan di dalam, pada, sebelum dan
sesudah segala sesuatu.

Orang semacam ini ialah orang yang bisa kita sebut sebagai orang rohani, seorang spiritualis, seorang esoteris,
seorang yang arif, seorang yang tahu hakikat segala sesuatu. Saya tahu, ini bukan tahap yang bisa dicapai
oleh semua orang. Tetapi, minimal, kita tahu bahwa ada taham semacam ini, dan kita pelan-pelan, melalui
kesabaran, berusaha mencapainya. Orang yang telah mencapai tahap semacam ini, bisa kita sebut sebagai wali
atau kekasih Tuhan. Seluruh ucapannya adalah kebijaksanaan. Seluruh tindakannya adalah gerak-gerik Tuhan.

Apa pelajaran dari sini? Jika anda belum bisa memahami sesuatu yang ada di sekitar anda, itu artinya cahaya
ketuhanan belum datang. Anda masih terhijab. Telekung yang menutup mata batin anda belum tersingkap.
Maknanya: anda masih harus terus berusaha agar mata batin anda kian tajam. Anda harus membersihkannya,
sehingga anda sampai pada suatu titik ketika cahaya dari Tuhan itu datang, lalu anda mencapai pemahaman.
Tetapi anda jangan berhenti berusaha untuk meraih pemahaman, untuk meraih cahaya, untuk mencapai
pengertian.[]

HIKAM 19

NGAJI HIKAM #19

Bismillahirrahmanirrahim
Mulai hari ini sampai hari Senin mendatang, saya ada acara di luar negeri. Tetapi Ngaji Jikam tetap berjalan
seperti biasa. Mohon maaf, teman-teman, karena tak bisa menuggui dalam beberapa hari ini.

Mari kita mulai Ngaji Hikam #19 dengan menghadiahkan Fatehah kepada Syekh Ibn Ataillah (qs), kepada ayah
dan sekaligus guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu saya Nyai Salamah.

Mari kita mulai. Bismillah...

----------------------------------

KITA SERING GAGAL MENANGKAP KEBENARAN YANG BERTEBARAN DI SEKITAR KITA

Sykeh Ibn berkata:

Mimma yadulluka ala wujudi qahrihi subhanah an hajabaka anhu bi ma laisa bi-mawjudin maahu.
Terjemahannya:

Salah satu tanda keagungan-Nya, Dia bisa menghalangimu untuk melihat-Nya dengan hal-hal yang sebetulnya
tak ada bersama-Nya.
Mari kita menyelami kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah ini dengan dua lapis pengertian; pengertian umum dan
pengertian khusus.

Pengertian umum. Hal yan menakjuban dalam hidup manusia adalah seringkali dia gagal melihat kebenaran,
melihat hakekat kehidupan, melihat Dia yang menjad sumber kehidupan, padahal kebenaran itu ada di depan
matanya, padahal Dia itu terang-benderang ada di dalam semua wujud dan alam raya ini.

Kebenaran hidup ada di depan mata kita, terhampar di balik semua peristiwa yang kita hadapi setiap hari, tapi
kita kerap gagal melihatnya. Ini sama dengan lampu yang begitu terang, sehingga menyilaukan mata, sehingga
mata kita tak kuasa untuk melihat lampu itu. Hal yang terlalu jalas kadang gagal kita pahami, luput dari
pengamatan kita. Kita baru ngeh setelah mengalami semacam peristiwa yang membuat kita shock, kaget.

Masih ingatkah kita kisah ditemukannya sebuah kebenaran ilmiah yang disebut dengan teori gravitasi?
Penemu teori ini adalah Isaac Newton, seorang fisikawan dan matematikawan Inggris. Konon, kisah penemuan
teori yang amat penting dalam fisika ini terkiat dengan kejadian yang sepele. Suatu hari, Newton duduk di bawah
pohon apel. Saat Newton sedang duduk merenung, tiba-tiba buah apel jatuh tak jauh dari tempat dia duduk.

Jika yang duduk di bawah pohon apel itu orang lain, bukan Newton, mungkin tak ada penemuan penting
setelahnya. Mungkin orang itu akan gembira, bukan karena menemukan sebuah teori, tetapi menemukan buah
apel. Tetapi peristiwa sederhana itu, bagi Newton, menjadi aha moment, menjadi peristiwa yang menyingkap
semacam wahyu kebenaran ilmiah.
Kenapa apel jatuh ke bawah? Kenapa ia tak melayang terbang ke atas seperti burung? Itu pertanyaan-
pertanyaan yang ada di kepala Newton. Singkat cerita, melalui peristiwa apel jatuh itu, Newton kemudian
menemukan sebuah penjelasan, sebuah teori, yaitu teori gravitasi.

Apel jatuh karena bumi, dan juga obyek-obyek lain di alam raya ini, mempunyai force atau gaya yang disebut
dengan gravitasi. Gaya yang menarik sebuah benda ke benda lain, seperti sebuah magnet. Karena itulah apel
jatuh. Karena itulah ada galaksi dengan gerak planet di dalamnya yang teratur.

Peristiwa apel jatuh bisa dilihat oleh dan terjadi pada siapapun.Insiden jatuhnya apel kelihatan melok-melok,
terang benderang di depan mata kita. Ia begitu terang seperti cahaya lampu yang menyorotkan sinar yang
sangat terang. Tetapi tak semua orang yang bisa melihat kebenaran atau hakekat di balik peristiwa
sederhana itu. Hanya orang yang telah mencapai tingkat marifar dalam bidang sains seperti Newton yang bisa
melihat hakekat itu.

Begitulah, Tuhan yang maha terang ada di depan mata kita. Tetapi kita sering tak bisa melihat-Nya. Kita
terhalang oleh hal-hal yang semua, hal-hal yang sebetulnya maya, hal-hal yang sejatinya tak ada, sehingga kita
tak bisa tembus pandang untuk melihat-Nya.

Pengertian khusus. Salah tanda kebesaran Tuhan, Dia bisa tersembunyi dalam penampakan-Nya. Dan Dia bisa
nampak dalam ketersembunyian-Nya. Dia bisa dekat kepada mansia dalam kejauhan-Nya. Dia bisa begitu jauh
dalam kedekatan-Nya dengan manusia. Tuhan adalah tempat di mana sejumlah paradoks kita jumpai. Dia
dekat, Dia jauh. Dia nampak, Dia tersembunyi. Dia Maha Pengasih, Dia Maha Pengazab.
Ini semua bisa benar-benar menjadi paradoks yang membingungkan bagi orang-orang yang tak mau membuka
pikiran dan hatinya kepada inti kebenaran.
Dengan pikiran formal seorang manusia, paradoks ketuhanan ini jelas bisa membingungkan, bahkan bisa
menyebabkan seseorang marah dan protes dan melontarkan cercaan pada Tuhan.

Tanda kebesaran Tuhan ialah Dia tersembunyi, padahal jejak-jejak-Nya terang-benderang ada di depan mata
kita. Dia adalah Kebenaran yang ada di mana-mana, tetapi kita gagal melihatnya. Situasi ini persis seperti
ungkapan dalam bahasa Inggris, elephant in the room, gajah di dalam ruangan, tetapi kita tak bisa melihatnya.

Sebuah petikan dari hadis qudsi yang sangat dalam maknanya memuat sabda Nabi seperti ini: Tuhan berkata
kepada hamba-Nya, Aku sakit, kenapa engkau tak menjengukku? Lalu kata hamba itu: Tuhan, bagaimana aku
bisa menjenguk-Mu, sementara Engkau adalah Tuhan seluruh alam semesta? Jawab Tuhan: Hambaku sakit,
tetapi engkau tak menjenguknya.

Tuhan sebagai Kebenaran hadir bersama kita dalam kehidupan sehari-hari, dalam diri orang yang sakit, orang
yang tak memiliki kain yang cukup untuk menutup tubuhnya, orang yang lapar dan haus. Tuhan adalah Dia yang
immanent, yang ada bersama manusia, tetapi tak semua manusia bisa merasakan kehadiran-Nya.

Apa pelajaran yang bisa kita petik dari kebijaksanaan Ibn Ataillah ini? Kerapkali kita gagal memahami sesuatu
yang sederhana, yang sejatinya terang-benderang. Sebab kebenaran yang terlalu jelas biasanya mirip dengan
cahaya yang terlalu terang sinarnya, sehingga kita dibutaka oleh cahaya itu.[]

HIKAM 20

NGAJI HIKAM #20

Bismillahirrahmanirrahim

Mari Ngaji Hikam #20 ini kita mulai dengan menghadiahkan Fatehah kepada Syekh Ibn Ataillah (qs0, kepada
ayah dan sekaligus guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu saya Nyai Salamah.

Mari kita mulai. Bismillah...

Catatan: Seperti sudah saya katakan kemaren, hingga Selasa depan, saya masih di luar negeri, sehingga
pengajian malam ini hingga tiga malam berikutnya berlangsung secara in absentia.
---------------------------------
TUHAN KERAP HADIR SECARA TAK TERDUGA-DUGA

Syekh Ibn Ataillah berkata:

Kaifa yutasawwaru an yahjubahu syaiun wa huwa l-ladi adzhara kulla syaiin? Kaifa yutashawwaru an
yahjubahu syaiun wa huwa l-ladzi dzahara bi kulli syaiin? Kaifa yutashawwaru an yahjubahu syaiun wa huwa
l-ladzi dzahara fi kulli sayain?

Terjemahan:

Bagaimana Dia bisa terhalang oleh sesuatu (sehingga tak tampak kepada hamba-Nya), padahal Dialah yang
menjadikan segala sesuatu tampak?

Bagaimana Dia bisa dihalang-halangi oleh sesuatu, sementara Dia lah yang justru menampakkan Diri lewat
sesuatu itu? Bagaiama Dia bisa dihalang-halangi oleh sesuatu sementara Dia lah yang tampak di dalam segala
sesuatu?
Ini adalah salah satu meditasi Syekh Ibn Ataillah yang maknanya sangat mendalam. Renungan ini bisa kita
pahami melalui dua pengertian: pengertian umum dan khusus.

Pengertian umum. Kebenaran dengan K besar tak bisa dihalang-halangi oleh apapun. Sebab Dia tampak dan
mewujud melalui segala sesuatu, di dalam segala sesuatu. Kebenaran itu ada di mana-mana, dan bisa dijumpai
melalui dan dalam segala hal yang ada di dunia ini. Bagi seorang beriman, seorang yang tak terpenjara oleh
kekafiran materialisme, segala hal adalah wahana melalui mana Dia Yang Maha Benar menampakkan diri
kepada manusia. Ini yang disebut dalam ilmu kerohanian Islam sebagai tajalli, epiphany.

Tuhan adalah Dia yang membuat sesuatu muncul dari kegelapan ke kondisi terang-benderang sehingga bisa
terlihat, tampak. Karena itu, tak ada sesuatu pun yang bisa menghalangi penampakan-Nya.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita kerap mendapatkan pemahaman dan kebijaksanaan hidup melalui hal-hal
yang sederhana. Kadang-kadang Tuhan menyampaikan pengertian kepada kita melalui jalan yang tak terduga-
duga. Perjumpaan kita dengan seorang kawan lama yang sudah menghilang bertahun-tahun, bisa menjadi
wasilah atau instrumen melalui mana Tuhan hendak menyampaikan pengertian tentang kebijaksanaan hidup
kepada kita.

Kadang-kadang, kita menjumpai dan merasakan kehadiran Kebenaran, divine presence, al-hudur al-ilahi,
melalui kegiatan-kegiatan yang dari luar tak tampak sebagai kegiatan yang biasa diberikan label ibadah.
Kadang-kadang kita malah tak merasakan kehadiran-Nya saat salat. Ini memang pengalaman yang aneh.
Sebab Tuhan adalah Dia yang kehadirannya tak bisa diduga-duga. Tak ada sesuatu apapun di dunia ini yang
bisa menutup jalan kehadiran-Nya jika Dia menghendaki untuk hadir dan menampakkan Diri kepada hamba-
Nya.

Banyak tindakan yang labelnya ibadah, tetapi justru kosong makna, hampa, tanpa kehadiran Yang Maha Benar.
Sementara itu, banyak tindakan yang tampaknya sangat duniawi, sama sekali tak kelihatan sebagai kegiatan
keagamaan, tetapi justru Tuhan menampakkan Diri-Nya di sana.

Ini sejatinya mengajarkan kepada kita "ethics of humility", sikap rendah hati. Kegiatan ritual yang secara taat kita
lakukan setiap hari, jangan membuat kita sombong dan menyombongi orang lain, sebab, belum tentu ritual
semacam itu membuat kita merasakan kehadiran Tuhan.

Sementara itu, seseorang yang dalam penampakan luarnya terlihat sibuk dengan kegiatan duniawi, belum tentu
dia kurang "spiritual" dibanding orang-orang lain yang setiap harinya berlumuran dengan ibadah.

Sebab Tuhan hadir secara tak terduga-duga. Dia hadir melalui segala sesuatu, dan di dalam segala sesuatu.
Dan kehadiran-Nya tak bisa dicegah, dihalang-halangi oleh apapun.

Pengertian khusus. Bagi seorang yang sudah mencapai tahap marifat, tahap pemahaman mengenai hakekat
dan rahasia ketuhanan, tak ada wujud di dunia ini selain Dia. Wujud yang hakiki hanyalah ada pada Tuhan.
Selebihnya adalah wujud yang semu. Bagaimana mungkin wujud yang semu bisa menghalangi Wujud Yang
Hakiki? Bagaimana mungkin bulan menghalangi sinar matahari, sementara cahaya bulan berasal secara
derivatif dari matahari?

Wali besar dari Baghdad Syekh Abdul Qadir Jilani (w. 1166) mendendangkan sebuah kasidah indah yang
disebut dengan kasidah Ainiyyah:

Tajallaita fi 'l-asy-yai khina khalaqtaha


Fa-ha hiya mithat anka fiha l-baraqiu
Tuhan, Engkau menyingkapkan diri
Ketika mencipta segala sesuatu.
Dan kini, telekung yang menutupi Engkau,
Tersingkap dari segala sesuatu yang Engkau ciptakan itu.

Catatan: Telekung: mukena, pakaian yang dipakai perempuan saat salat/sembahyang.

Dalam sebuah hadis qudsi yang terkenal di kalangan para sufi, Tuhan berfirman: Aku adalah perbendaharaan
yang tersembunyi, dan Aku ingin diketahui, lalu Aku ciptakan segala bentuk ciptaan.

Tuhan, dalam konsepsi kaum sufi, adalah rahasia yang tersembunyi. Tetapi Tuhan tak mau terus menerus
berada dalam keadaan tersembunyi. Dia ingin agar rahasia-Nya tampak kepada orang lain. Lalu alam raya ini Ia
ciptakan. Tuhan yang Maha Tersembunyi, Maha Gaib itu ingin menampakkan diri-Nya melalui dan dalam
semburat warna-warni ciptaan-Nya.

Apa pelajaran dari hikmat Syekh Ibn Ataillah ini? Kebenaran, jika sudah ingin menampakkan diri, tak ada
sesuatu apapun yang bisa menghalangi penampakannya. Ada saat-saat krusial dalam kehidupan manusia yang
disebut moment of truth, momen ketika kebenaran menyingkapkan diri tanpa bisa dihalang-halangi oleh
siapapun. Orang Jawa mengenal kebijaksanaan ini melalui filosofi becik ketitik, ala ketara, yang benar, cepat
atau lambat, pasti akan muncul ke permukaan, meskipun segala daya upaya dilakukan oleh para pembencinya
untuk menghalangi-halangi. "The truth is unstoppable when it ripens." Kebenaran, ketika sudah masak dan tiba
waktunya untuk dipetik, tak akan bisa dihentikan oleh siapapun.

Begitu juga dalam kehidupan spiritual: Jika Tuhan sudah ingin menampakkan diri kepada seseorang, tak
sesuatu apapun yang bisa menghalangi-Nya. Ketika Tuhan hendak melakukan tajalli, menampakkan diri
kepada hamba-Nya, segala hal, bahkan hal-hal yang tampak remeh-temeh, bisa menjadi instrumen dan alat
untuk penampakan-Nya.[]

HIKAM 21

NGAJI HIKAM #21

Bismillahirrahmanirrahim

Mari kita mulai Ngaji Hikam #21 ini dengan menghadiahkan Fatehah kepada Syekh Ibn Ataillah (qs), kepada
ayah dan sekaligus guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu saya Nyai Salamah.

Mari kita mulai. Bismillah...

Catatan: Saya masih ada di luar negeri, sehingga belum bisa menunggui teman-teman dan memberikan
tanggapan atas semua respon dan pertanyaan. Mohon maaf. Pengajian tetap berlangsung setiap hari.

---------------------------------

BAGAIMANA MENJADI SUFI DI ERA DIGITAL?

Syekh Ibn Ataillah berkata:


Kaifa yutashawwaru an yahjubahu syaiun wahuwa adzharu min kulli syaiin? Kaifa yutashawwaru an yahjubahu
syaiun wa-huwa l-ladzi laisa maahu syaiun? Kaifa yutashawwaru an yahjubahu syaiun wa-huwa aqrabu ilaika
min kulli syaiin? Kaifa yutashawwaru an yahjubahu syaiun wa-laulahu la-ma dzahara wujudu kulli syaiin?

Terjemahan:

Bagaimana mungkin Dia terhijab dan terhalang oleh sesuatu


Sementara Dia lebih terang-benderang dari segala barang?
Bagaimana Dia terhijab oleh sesuatu
Sementara tak ada sesuatu yang lain bersama Dia?
Bagaimana Dia bisa terhijab oleh sesuatu
Sementara Dia lebih dekat kepadamu
Dari segala wujud yang ada?
Bagaimana Dia bisa terhijab
Sementara Dia adalah Dia
Yang tanpaNya, segala sesuatu gelap, tak nampak?

Renungan Syekh Ibn Ataillah ini masih berkaitan dengan renungan-renungan sebelumnya. Ia masih berbicara
tentang Kebenaran (dengan K besar) yang tak mungkin dihijab dan dihalangi-halangi oleh segala sesuatu jika
Dia menghendaki diriNya untuk menampakkan diri kepada kita. Kita bisa memahami kebijaksanaan Syekh Ibn
Ataillah ini dengan dua pengertian: pengertian umum dan khusus.

Pengertian umum. Sebagaimana dikemukakan dalam bagian sebelumnya, Kebenaran adalah bagai cahya yang
begitu terang yang tak mungkin ditutup oleh apapun. Pada momen ketika kemunculan cahaya kebenaran,
moment of truth, sudah tiba, tak ada siapapun yang bisa menghalanginya.

Banyak skandal besar dalam sejarah yang semula terpendam dan terkubur, tetapi pelan-pelan kemudian muncul
ke permukaan. Alam bekerja dengan cara yang misterius. Manusia kerap mencoba untuk menyembunyikan
kebenaran, tetapi makar dan usahanya itu kerapkali muspra, sia-sia. Sebab, cepat atau lambat, kebenaran
akan muncul ke permukaan.

Ini mengingatkan kita kepada kisah Yusuf dan isteri Potifar, seorang pegawai pada kerajaan Firaun.
Sebagaimana kita baca dalam Surah Yusuf di Quran, isteri Potifar (konon namanya Zulekha) pernah menggoda
Yusuf untuk melakukan tindakan percabulan. Yusuf menolak dan hendak lari dari hadapannya. Zulekha menarik
baju Yusuf dari arah depan dan robek. Lalu Potifar masuk rumah dan mendapati situasi yang mencurigakan itu.
Zulekha mengadu kepada suaminya bahwa Yusuf hendak menggodanya. Yusuf kemudian dipenjara dengan
tuduhan hendak mencabuli isteri seorang petinggi kerajaan.

Tentu saja, Zulekha menyampakan versi yang bohong tentang peristiwa skandal itu. Semula banyak yang
mempercyai versinya. Tetapi, pelan-pelan, kebenaran terungkap, dan akhirnya Zulekha mengaku bersalah. Dia
membuat pengakuan: Dia memang jatuh cinta pada Yusuf dan yang terakhir ini menolak. Pengakuan itulah
moment of truth. Kebenaran, jika sudah matang, akan mlethek, pecah dengan sendirinya seperti sebuah
bisul. Dia tak bisa dihalang-halangi.

Pengertian khusus. Seseorang, jika masih dalam keadaan terhijab, terhalang, sehingga tak bisa melihat dan
menjumpai Tuhan, dia mempunyai sangkaan dan asumsi bahwa wujud dirinya sebagai makhluk/manusia adalah
wujud yang daruri, wujud yang niscaya, wujud yang riil dan nyata. Dia menganggap bahwa dirinya adalah the
real being. Pada saat yang sama dia juga beranggapan bahwa wujud Tuhan adalah wujud yang semu, wujud
yang nadzari, teoritis, konseptual.
Tetapi, jika seorang hamba pelan-pelan, dan secara konsisten, melakukan perjalanan dan meningkat maqam-
nya lebih tinggi, yaitu maqam memahami Kebenaran ketuhanan, dan lebur di dalamnya, dia akan mengalami
situasi spiritual dan eksistensial yang sama sekali berbeda. Dia akan menganggap bahwa yang konseptual dan
teoritis adalah wujudnya sendiri. Sementara yang ada secara daruri, secara sungguh-sungguh, adalah Tuhan.

Orang yang mencapai tahap marifat akan memahami bahwa Tuhan adalah wujud yang lebih terang dari wujud
apapun; bahwa Tuhan adalah wujud satu-satunya, sementara yang lain adalah wujud yang semu; bahwa Tuhan
adalah wujud yang jauh lebih dekat kepada manusia tinimbang wujud apapun; bahwa Tuhan adalah kekuatan
yang membuat segala sesuatu bisa tampak ada ke permukaan.

Apa yang bisa kita pelajari dari kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah ini? Bagi sebagian orang, mungkin renungan
Ibn Ataillah ini adalah renungan elitis yang hanya relevan bagi orang-orang khawass, orang-orang sufi yang
telah mencapai tahap spiritual yang tertinggi. Pandangan semacam ini, menurut saya, keliru.

Kebijaksanaan Ibn Ataillah ini relevan dalam kehidupan sehari-hari. Jika kita telah mengetahui kebenaran,
mengerti duduk soal segala masalah, memahami versi yang sebenarnya dari sebuah informasi, kita tak akan
terombang-ambing oleh rumor, sas-sus, berita-berita yang simpang-siur.

Betapa relevannya kebijaksanaan Ibn Ataillah di era digital sekarang, di era di mana ribuan informasi yang kerap
simpang-siur membombardir kita setiap detik. Kita sering dibuat bingung, sebab informasi datang dengan
semacam framing atau kerangka tertentu yang berbeda-beda. Kesimpang-siuran ini adalah simbol dari dunia
maya yang memiliki wajah yang bermacam-macam. Mirip dengan Rahwana yang multi-wajah. Kita dibuat
bingung olehnya.

Tugas kita sebagai manusia yang berpikir dan beriman adalah menapis informasi itu, sehingga kita bisa
mengetahui duduk masalah yang sebenar-benarnya, tidak diombang-ambingkan oleh rumor dan opini yang
saling tabrakan.

Mencari kejelasan di tengah kebingungan ini adalah sama dengan seorang sufi yang mencari Kebeneran di
tengah-tengah realitas yang maya, yang sering berubah-ubah seperti partikel neutrino yang kemaren sempat
menjadi pembicaraan luas karena Hadiah Nobel Fisika 2015 yang diberikan kepada dua ilmuwan yang meneliti
partikel super-mini ini.

Anda harus menjadi sufi di tengah-tengah ledakan informasi yang kerap menipu ini. Kebijaksanaan Ibn Ataillah
ini adalah semacam kiat bagaimana menjadi sufi di tengah-tengah era digital![]

HIKAM 22

NGAJI HIKAM #22

Bismillahirrahmanirrahim

Mari kita mulai Ngaji Hikam #22 ini dengan menghadiakan Fatehah kepada Syekh Ibn Ataillah (qs), kepada ayah
dan guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu saya Nyai Salamah.
Mari kita mulai. Bismillah.

---------------------------------

YANG MAYA AKAN PUDAR OLEH YANG ABADI


Syekh Ibn Ataillah berkata:

Ya ajaban kaifa yadzharu al-wujudu fi al-adam? Am kaifa yatsbutu al-haditsu maa man lahu washf al-qidam?

Artinya:

O alangkah mengherankan!
Bagaimana ciptaan ini bisa tampak
Padahal ia maya?
Atau, bagaimana sesuatu yang baru
Bisa tetap tegak
Di hadapan Dia yang Maha Abadi?

Mari kita menelaah kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah ini dengan dua pengertian: pengertian umum dan khusus.

Pengertian umum. Jika dua hal bersandingan, yang satu sifatnya maya, sementara yang lain adalah sesuatu
yang abadi, maka sudah pasti yang maya akan pudar, akan terkalahkan oleh yang abadi itu. Atau, jika
kebenaran dan kesalahan bertemu, sudah pasti kebenaran akan menaklukkan kesalahan. Kebenaran adalah
sesuatu yang sifatnya abadi. Ia tak bisa dikalahkan oleh kesalahan.

Untuk sementara waktu, kadang-kadang kekeliruan, tipuan, dusta dan rekayasa bisa menang dan menguasai
opini publik. Tetapi pelan-pelan, sesuatu yang sifatnya tipuan, superfisial akan pudar bersama berlalunya
waktu. Ia tak akan tahan lama. Sebab, hanya kebenaran yang bisa bertahan lama. Kekeliruan dan citraan yang
menipu, walau disokong oleh propaganda yang luas dan indoktrinasi yang massif, pelan-pelan ia akan tampak
bolong-bolongnya.

Quran memiliki sebuah metafor yang menarik. Kekeliruan dan tipuan adalah seperti buih yang kelihatan besar di
permukaan air. Tetapi ia sejatinya keropos, dan akan cepat dihanyutkan air. Tetapi kebenaran akan bertahan
lama dan membawa manfaat yang luas bagi banyak orang. Wa amma ma yanfau al-nasa fa-yamkutsu fi al-ard
(QS 13:17).

Ini adalah hukum sosial yang berlaku objektif dan universal. Propaganda, di manapun, tak akan bertahan lama,
meskipun milyaran rupiah ditumpahkan untuk membiayainya. Kita ingat bagaimana indoktrinasi dan propaganda
yang dilakukan oleh Orde Baru dahulu untuk memoles kekejaman-kekejaman yang terjadi pada 1965. Selama
bertahun-tahun murid-murid sekolah di Indonesia diberikan informasi yang keliru dan menyesatkan mengenai
peristiwa itu. Milyaran, mungkin trilyunan rupiah dimobilisasi untuk membiayai proganda itu.

Tetapi, akhirnya toh propaganda itu tak bisa bertahan lama. Akhirnya ia terkuak juga kepalsuannya. Akhirnya,
kebenara, walau dibungkam selama puluhan tahun, tetap muncul ke permukaan.

Di seluruh dunia, kita menyaksikan kasus yang serupa. Setiap usaha untuk menutupi kebenaran, dan memoles
kekeliruan, pada akhirnya akan sia-sia belaka. Pada akhirnya, tak ada yang bisa menghalangi kebenaran untuk
muncul ke permukaan, jika saatnya telah tiba.

Pengertian khusus. Dalam pandangan sufisme Islam, wujud yang riil dan sebenar-benar wujud hanyalah Tuhan.
Yang lain adalah wujud yang maya; wujud yang sifatnya derivatif: wujud yang bersumber dari wujudnya Tuhan.
Jika Yang Abadi bersanding dan berada secara berdampingan dengan yang relatif, sudah tentu Yang Abadi
akan menenggelamkan wujud yang relatif itu. Jika Tuhan berdampingan dengan manusia, maka manusia akan
tenggelam dalam wujud Tuhan. Manusia akan hilang, seperti debu.
Ada kisah tentang wali besar dari Persia, Imam Junaid (w. 1204). Suatu hari ada seseorang yang berkata: Al-
hamdu li l-Lah. Puji bagi Tuhan. Dia tidak meneruskan ucapan itu dan menambahkan frasa ini: Rabb al-alamin
(Tuhan seluruh alam raya). Kata Imam Junaid; Sempurnakan kalimatmu, Wahai saudaraku! Jawab orang itu:
Apakah aku harus menyebut sesuatu selain Tuhan (yaitu al-alamin), sementara yang selain Tuhan tak memiliki
nilai apa-apa di samping-Nya.

Tukas Imam Junaid selanjutnya: Kamu tetap perlu menyempurnakan kalimatmu. Sebab, jika yang baru (al-
hadits) engkau sebut bersama dengan Yang Abadi (al-qadim), maka yang baru dan relatif itu akan luruh
wujudnya (talasya) oleh Yang Abadi itu.

Dengan kata lain, Imam Junaid mau menunjukkan bahwa ungkapan Al-hamdu li l-Lahi rabb al-alamin tetap
perlu diucapkan secara sempurna, tidak dipotong seperti dilakukan seorang sufi yang merupakan kawan Imam
Junaid itu. Sebab dengan menyebut dua hal itu, yakni Tuhan dan ciptaan-Nya, akan kelihatan kontras antara
Yang Abadi dan yang maya. Dengan kontras itu, kita akan mengerti bahwa Yang Abadi akan memudarkan dan
mengalahkan yang relatif. Dan kita bisa belajar tentang kekuatan kebenaran ilahiah, walau ia semula tak tampak
gemerlap di permukaan.

Apa pelajaran yang bisa kita petik dari taman kebijaksaan Ibn Ataillah ini? Kebijaksanaan ini memberikan rasa
optimis kepada true believer, orang-orang yang memiliki keyakinan teguh, bahwa kebenaran pada akhirnya
akan berada di atas angin, meski untuk beberapa saat dia bisa saja berada di bawah angin dan tersembunyi di
balik kenyataan semu yang dipeluk oleh banyak orang.

Di balik setiap kebenaran ada Tuhan Yang Maha Benar. Dan wujud Tuan adalah wujud yang hakiki; ia tidak bisa
ditenggelamkan oleh wujud-wujud lain yang sifatnya maya dan relatif![]

HIKAM 23

NGAJI HIKAM #23

Bismillahirrahmanirrahim,

Mari kita mulai Ngaji Hikam #23 ini dengan menghadiahkan Fatehah kepada Syekh Ibn Ataillah (qs), kepada
ayah dan guru saya Kyai Abdullah Rifai, dan ibu saya Nyai Salamah.
Mari kita mulai. Bismillah

-----------------------------

BICARALAH KEPADA ORANG SESUAI DENGAN MAQAM-NYA

Syekh Ibn Ataillah berkata:

Ma taraka min al-jahli syaian man arada an yudzhira fi al-waqti ghaira ma adzhaharahu l-Lahu fihi.

Terjemahannya:

Tak ada yang lebih bodoh ketimbang saat seseorang menampakkan sesuatu pada waktu tertentu sesuatu yang
tidak ditampakkan oleh Tuhan pada saat itu.

Mari kita ulas kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah yang agar misterius kali ini dengan dua pengertian: pengertian
umum dan khusus.
Pengertian umum. Masing-masing orang, dalam hidup ini, memiliki maqam atau level spiritual sendiri-sendiri.
Ada orang-orang yang maqamnya adalah maqam zahir, maqam syariat, maqam di mana seseorang mengikuti
hukum-hukum agama yang berlaku untuk semua orang. Berhadapan dengan orang semacam ini, kita harus
memperlakukannya sesuai dengan maqamnya itu. Kita juga harus memakai bahasa yang sepadan dengannya.

Sebaliknya, terhadap orang yang berada pada maqam marifat, maqam mereka yang telah mencapai rahasia
ketuhanan, dia juga harus memperlakukan orang itu sesuai dengan maqamnya serta menggunakan bahasa
yang sepadan dengannya.

Orang yang menyalahi aturan ini adalah orang yang bodoh sebodoh-bodohnya. Jika terhadap orang yang
maqamnya adalah maqam syariat, kita memakai bahasa orang-orang marifat, maka sudah tentu kita akan
mendapatkan banyak kesulitan dari sana. Kita bahkan bisa dibunuh karena melanggar aturan empan papan
ini, aturan bahwa setiap orang punya maqam sendiri-sendiri dan bahwa untuk masing-masing orang ada bahasa
khusus yang tepat untuk yang bersangkutan.

Ini bukan hal yang khusus berlaku dalam dunia mistik. Dalam dunia sehari-hari pun kita dituntut untuk
melakukan hal yang sama. Setiap komunitas memiliki bahasanya masing-masing. Setiap orang memiliki level
pengetahuan tertentu. Jika kepada orang-orang umum (the commoner) kita memakai bahasa kaum spesialis,
tentu orang-orang itu tak akan paham. Masih bagus jika mereka cukup tidak paham saja. Kadang-kadang
keadaannya lebih gawat lagi: orang-orang umum itu marah bukan main karena bahasa yang kita pakai tidak
pas untuk mereka.

Dalam setiap konteks dan momen tertentu, Tuhan menampakkan kebenaran tertentu yang pas dengan momen
itu. Orang yang bijak, yang arif dan mengetahui rahasia Tuhan harus menampakkan kebenaran yang sesuai
dengan kebenaran yang disingkapkan Tuhan pada momen itu. Mereka yang menyalahi aturan ini, dia bukan lah
orang yang arif, tetapi orang jahil, orang yang bodoh.

Pengertian khusus. Orang yang telah mencapai tahap marifat, yaitu memahami rahasia Tuhan, dia mengerti
bagaimana memperlakukan manusia sesuai dengan maqamnya. Orang yang arif, mengerti haqiqat atau
kesejatian realitas, dia tahu maqam orang-orang dan memperlakukannya sesuai dengan maqam itu.

Seorang yang arif berkata: Barangsiapa memperlakukan orang-orang dengan ilmu zahir (fikih) dalam keadaan
apapun (tanpa melihat konteksnya), dia akan mendapatkan banyak musuh. Tetapi, barangsiapa memperlakukan
orang-orang dengan ilmu haqiqat (yakni, memperlakukan orang-orang sesuai dengan maqamnya masing-
masing), dia akan bisa mengerti mereka. Dan dia tak akan dimusuhi oleh orang banyak.

Apa pelajaran yang bisa kita petik dari sini? Kita harus bersikap bijak (arif). Kebijakan itu tercermin dalam
kemampuan kita untuk memperlakukan orang-orang sesuai dengan maqamnya masing-masing dan berbicara
kepada mereka dengan bahasa yang tepat.[]

HIKAM 24

NGAJI HIKAM #24

Bismillahirrahmanirrahim

Mari kita mulai Ngaji Hikam #24 kali ini dengan menghadiahkan Fatehah kepada Syekh Ibn Ataillah (qs), kepada
ayah dan sekaligus guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu saya Nyai Salamah.
Mari kita mulai. Bismillah.
______________________

JANGAN MENUNDA PEKERJAAN

Syekh Ibn Ataillah berkata:

Ihalatuka al-amala ala wujud al-faraghi min ruunat al-nufus.

Terjemahan:

Kebiasaanmu menunda pekerjaan hingga engkau mempunyai waktu longgar untuk mengerjakannya adalah
bagian dari kotoran jiwa.

Apa yang disampaikan oleh Syekh Ibn Ataillah ini sangat jelas. Menunda pekerjaan adalah kebiasaan yang
kotor. Ini pengertian yang sederhana, tetapi tak semua orang mampu melaksanakannya. Mari kita coba ulas
kebijaksanaan Sykeh Ibn Ataillah ini dengan dua pengertian: pengertian umum dan khusus.

Pengertian umum. Entah kenapa, penyakit menunda pekerjaan bisa dipastikan pernah diderita oleh semua
orang. Setiap orang sudah pasti pernah mengalami hal ini. Yang menarik ialah: kita sering kali merasakan
kegembiraan saat melaksanakan suatu pekerjaan manakala pekerjaan ibelum merupakan keharusan.

Begitu ia menjadi keharusan, menjadi kewajiban yang harus kita selesaikan dengan tenggat waktu tertentu, tiba-
tiba kita merasakan beban tertentu yang membuat kita menunda-nunda.

Akibat terburuk dari menunda pekerjaan ialah kita terpaksa mengerjakannya pada menit-menit terakhir
menjelang tenggat tiba. Kita lalu terbiasa menjadi seorang last minuter, orang yang gemar menyerahkan
pekerjaan pada menit terakhir. Sudah bisa diduga, karena kita mengerjakannya pada menit-menit terakhir, tentu
hasilnya tidak maksimal. Terburu-buru.

Ada kebiasaan lain yang dalam bahasa Inggris disebut procrastination, yaitu mengerjakan hal yang kurang
perlu, sementara yang mestinya perlu dikerjakan diabaikan. Ini juga penyakit yang saya yakin pernah
menghinggapi siapapun.

Saya biasa mengalami hal ini jika menjelang ujian sekolah dulu. Saat ujian menjelang tiba, saya tiba-tiba rajin
membaca buku-buku yang bukan merupakan pelajaran wajib yang akan diujikan di kelas. Sementara pelajaran
yang mestinya akan diujikan, saya abaikan. Itulah yang disebut procrastination. Padahal, di hari-hari normal
saya tak terlalu tertarik membaca buku-buku non-pelajaran itu.

Mungkin ada penjelasan yang siftanya psikologis mengenai fenomena menunda pekerjaan dan prokrastinasi ini.
Saat suatu pekerjaan dibebankan kepada kita, kita cenderung mengalami semacam tekanan batin. Cara untuk
menghindari tekanan itu biasanya dua: cara negatif, yaitu tak mengerjakan kewajiban itu sama sekali, atau
menundanya hingga menit-menit terakhir.

Cara kedua adalah menghindar dengan mengerjakan hal-hal lain yang bukan merupakan kewajiban. Itulah yang
disebut prokrastinasi. Penghindaran dengan cara mengerjakan pekerjaan lain ini yang bukan merupakan
keharusan itu membuat stres yang menekan batin kita agak sedikit berkurang.

Kesemua ini adalah kebiasaan-kebiasaan yang oleh Syekh Ibn Ataillah disebut sebagai kotoran jiwa. Sesuatu
yang kotor tentu harus dihindarkan, bukan dirawat dan diawetkan, dibiasakan.
Pengertian khusus. Nasihat yang diberikan oleh Syekh Ibn Ajibah untuk mengatasi penyakit menunda-nunda
pekerjaan ini adalah dengan cara menyadari tentang ketakterdugaaan yang bisa saja hinggap pada umur kita.

Saat kita menunda sebuah kewajiban untuk beribadah kepada Tuhan, adakah jaminan bahwa umur kita akan
cukup panjang untuk bisa melaksanakannya pada waktu yang sudah kita rencanakan itu? Jangan-jangan
kematian datang kepada kita secara tak terduga-duga.

Dengan menyadari elemen ketakterdugaan dalam hidup ini kita mungkin sedikit merasa lebih ringan untuk
melaksanakan kewajiban-kewajiban kita kepada Tuhan dengan segera, tanpa menunda (taswif). Taruhlah anda
memiliki umur yang cukup, tetapi tak ada jaminan juga bahwa pada saat kita hendak melaksanakan kewajiban
pada waktu tertentu di masa datang, kita tak memiliki kesibukan lain pada waktu itu.

Dengan kata lain, menunda-nunda pekerjaan hanyalah sebentuk kebodohan (al-humq) saja.

Apa pelajaran yang bisa kita petik dari sini? Seorang beriman adalah orang yang memandang waktu sekarang,
the present, sebagai waktu yang sangat berharga. Grab it! Rebutlah waktu itu, jangan biarkan ia berlalu tanpa
kita isi dengan pekerjaan yang mestinya kita selesaikan pada saat sekarang juga.

Kita mesti ingat, bahwa umur adalah elemen dalam hidup yang tak bisa diduga. Belum tentu kita memiliki
kesempatan yang cukup untuk menunda kewajiban hingga waktu nanti. Boleh jadi, pada saat waktu itu tiba,
umur kita telah sampai pada date of expiry, kedaluwarsa, alias kita mati. Atau kita memiliki kesibukan yang
lain.

Jika kita merasaka tekanan mental karena adanya suatu kewajiban tertentu, cara terbaik untuk menghilangkan
tekanan itu bukan dengan cara menghindar atau malah menunda pekerjaan. Tetapi justru dengan cara
menyegerakan pekerjaan itu. Sebab, jika kita bisa segera menyelesaikan pekerjaan yang menjadi kewajiban
kita, kita akan merasakan kepuasan mental, plong![]

HIKAM 25

NGAJI HIKAM #25

Bismillahirrahmanirrahim

Mari kita mulai Ngaji Hikam #25 malam ini dengan menghaiahkan fatehah kepada Syekh Ibn Ataillah (qs),
kepada ayah dan sekaligus guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu saya Nyai Salamah.

Mari kita mulai. Bismillah


______________________

MENERIMA TAKDIR DENGAN SIKAP JANTAN!

Syekh Ibn Ataillah berkata:

La tathlub minhu an yukhrijaka min halatin li-yastamilaka fima siwaha. Fa-law aradaka la-s-tamalaka min ghairi
ikhrajin.

Terjemahannya:
Janganlah engkau menuntutTuhan untuk mengeluarkanmu dari keadaan tertentu supaya Dia menempatkanmu
dalam keadaan yang lain (yang engkau ingini). Jika Tuhan berkehendak, Dia tentu akan menempatkanmu dalam
keadaan itu tanpa engkau minta.

Mari kita ulas kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah ini dengan dua pengertian: pengertian umum dan khusus.

Pengertian umum. Dalam masyarakat Jawa, ada filosofi kehidupan yang sangat menarik, yaitu nrima ing
pandum, menerima apa yang telah menjadi ketentuan Tuhan untuk kita. Janganlah mengatur-atur Tuhan
supaya memenuhi kehendakmu, sebab apa yang engkau alami saat ini adalah resultante, karma, hasil dari
apa yang engkau kerjakan selama puluhan tahun sebelumnya. Apa yang kita peroleh hari ini pas, plek, sesuai
dengan apa yang anda kerjakan sebelumnya.

Filosofi Jawa itu kerap disalah-pahami sebagai sikap pasif, menerima keadaan apa adanya, tanpa berusaha
untuk mengubahnya. Ini pemahaman yang sama sekali keliru. Filosofi ini, jika dimaknai dengan tepat,
mengajarkan kepada kita hal-hal yang positif dalam kehidupan ini.

Pertama, kita diajarkan untuk bersikap realistis, melihat kenyataan seperti apa adanya, tanpa mengutuknya atau
mencacinya. Sebab kenyataan yang terjadi pada kita hari ini adalah hasil dan akibat saja dari kegiatan-kegiatan
kita sebelumnya. Dengan bersikap realistis seperti itu kita tidak mengalami tekanan mental dalam diri kita.

Kedua, jika kita mau mengubah pandum, share, bagian, atau takdir kita di masa depan, ya lakukan sesuatu
sekarang juga agar ada hasil yang berbeda di masa-masa mendatang. Mengutuki keadaan sekarang ini, bahkan
mengatur-atur Tuhan untuk membantu kita keluar dari kesulitan dan kemelut yang sekarang ini kita hadapi, tak
ada gunanya.

Tentu saja, ini bukan berarti bahwa doa tak ada gunanya. Jelas berbeda antara doa yang tulus dengan berdoa
dengan sikap ingin mengatur-atur Tuhan, seolah-olah Tuhan adalah bawahan kita. Doa yang tulus bukan doa
yang hendak mengatur-atur Tuhan, tetapi memohon secara tulus sebagai bagian dari sikap pengabdian sebagai
hamba kepada Tuannya.

Sikap mental yang sehat dalam hidup ini adalah manakala kita bisa menerima takdir secara jantan, secara tulus,
tanpa mengutuki keadaan, apalagi mencerca Tuhan. Mencerca Tuhan karena kegagalan yang kita alami
sekarang ini sama saja dengan mengutuki diri sendiri. Alih-alh mengutuki dan mencerca Tuhan atau keadaan,
lebih baik kita menerima keadaan itu dengan sikap legawa, jantan, seperti seorang kandidat presiden yang
dengan gentle mengakui kekalahannya, seraya menyusun strategi kemenangan untuk langkah berikutnya.

Jika anda mampu menerima takdir dengan jantan, anda telah menjadi seorang sufi dalam pengertian yang
sesungguhnya. Sebab esensi kesufian adalah anda menerima kehendak Tuhan secara sukarela. Melawan
kehendak Tuhan, sama saja dengan mengingkari hakikat diri anda sendiri. Sikap semacam itu akan
mendatangkan kesengsaraan batin yang luar biasa.

Kedamaian terjadi ketika anda menerima kehendak Tuhan dengan jantan. Dalam bahasa yang populer sekarang
ini, filosofi itu bisa diterjemahkan dalam ungkapan yang populer: Be yourself! Jadilah dirimu sendiri. Menjadi diri
sendiri adalah mengatur kehendak anda agar selaras dengan kehendak Tuhan, bukan melawannya. Begitu anda
melawan kehendak Tuhan, anda akan sengsara seumur hidup.

Pengertian khusus. Kata Syekh Ibn Ajibah, pensyarah atau komentator kitab Hikam: Salah satu etika yang harus
dipenuhi oleh seorang yang telah mencapai tahap marifat (pengetahuan tentang rahasia kehidupan/ketuhanan)
adalah dia mampu mencukupkan diri pada pengetahuan Tuhan saja, dan melepaskan dari ikatan dengan yang
lain.
Jika dia tahu bahwa Tuhan menghendakinya untuk berada pada situasi (khalah) tertentu, maka dia akan
menerimanya dengan ikhlas. Dia tak akan menuntut Tuhan untuk mengeluarkannya dari situasi itu ke situasi lain
yang menurut anggapannya lebih baik.

Pengetahuan kita sebagai manusia sangat terbatas. Apa yang kita anggap baik, belum tentu baik pada dirinya
sendiri, atau baik dalam jangka panjang. Manusia selalu cenderung mengukur segala sesuatu berdasar
pandangan matanya yang sangat terbatas. Sebab begitulah "natuur" atau watak manusia.

Salah satu pengertian yang pernah diberikan oleh Tuhan kepada Nabi Daud adalah berikut ini.

Tuhan berkata kepada Nabi Daud: "Wahai Daud, engkau menghendaki sesuatu. Tetapi Aku juga menghendaki
sesuatu. Tak ada sesuatu yang terjadi kecuali sesuai dengan apa yang Aku kehendaki.

"Jika segala sesuatu engkau serahkan sesuai dengan kehendak-Ku, engkau akan mencapai apa yang engkau
kehendaki. Jika engkau membandel dan tak mau menyerahkan diri sesuai dengan kehendak-Ku, engkau akan
membuat dirimu sendiri sengsara, sementara segala sesuatu pada akhirnya akan terjadi sesuai dengan
kehendak-Ku."

Dengan kata lain, jika kita melawan kehendak Tuhan, kita akan sengsara sendiri. Kehendak Tuhan tetap akan
berlangsung, baik anda suka atau tidak.

Apa yang bisa kita petik sebagai pelajaran dari kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah ini? Ada satu hal penting yang
patut kita pelajari di sini: Kita harus mampu menyesuaikan kehendak kita dengan kehendak Tuhan. Begitu kita
mencoba membandel, dan melawan kehendalk Tuhan, kita akan sengsara sendiri. Kita akan mengalami
penderitaan batin.

Jika kehendak Tuhan menuntut anda menjadi seorang pengusaha, maka ikutilah kehendak-Nyaitu. Ikutilah
takdirmu itu dengan sukarela, ikhlas, dan sungguh-sungguh. Jangan anda membangkang dengan mencoba
menjadi diri yang lain, misalnya dengan ngotot menjadi seorang pengarang, atau dosen, atau birokrat, atau
rohaniawan.

Sebaliknya, jika kehendak Tuhan menempatkan anda pada kedudukan sebagai seorang intelektual, rohaniawan,
peneliti, jangan ingkari kehendak-Nya itu, dengan menjalani hal lain yang tak sesuai dengan diri anda yang
asli.

Kebahagiaan hanya bisa anda capai jika anda mengikuti kehendak Tuhan. Artinya, ketika anda menjadi diri anda
sendiri, bukan menjadi diri orang lain.[]

HIKAM 26

NGAJI HIKAM #26

Bismillahirrahmanirrahim

Mari kita mulai Ngaji Hikam #26 dengan menghadiahkan Fatehah kepada Syekh Ibn Ataillah (qs), kepada ayah
dan sekaligus guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu saya Nyai Salamah.

Mari kita mulai. Bismillah.


_____________________
TUJUAN AKHIR KITA: MENJADI INSAN KAMIL, MANUSIA YANG SEMPURNA, UBERMENSCH

Syekh Ibn Ataillah berkata:

Ma aradat himmatu salikin an taqifa indama kusyifa laha illa wa nadathu hawatif al-haqiqati: Alladzi tathlubu
amamaka! Wa la-tabarrajat dzawahir al-maknunati illa wa nadathu haqaiquha: Innama nahnu fitnatun fa-la
takfur!

Terjemahan:

Tak seorang salik pun (orang yang melakukan perjalanan menuju Tuhan) yang merasa puas dengan
pemahaman tertentu yang disingkapkan kepadanya, kecuali pada momen seperti itu akan ada kebenaran yang
memanggil-manggil: Jangan berhenti, yang engkau cari sudah ada di depanmu! Tak ada rahasia Tuhan yang
tersingkap kepada seseorang kecuali ada suara kesejatian yang juga akan memanggil-manggil: Aku ini
hanyalah ujian, jangan terkecoh!

Mari kita bahsa kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah yang sangat mendalam maknanya ini dengan dua pendekatan
dan pengertian: pengertian umum dan khusus.

Pengertian umum. Kita seringkali merasa puas dengan kesuksesan-kesuksesan kecil yang kita capai, lalu
mengabakan kemungkinan untuk meraih kesuksesan berikutnya yang lebih besar. Manusia memang memiliki
watak yang khas, yaitu puas dengan kenikmatan jangka pendek, dengan instant gratification.

Ini seperti keadaan yang seringkali dialami oleh para penulis. Demi mendapatkan uang yang cepat, seorang
penulis kerap menjual karyanya secara putus. Padahal, jika menjualnya dengan sistem royalti, dia akan
mendapatkan pahala atau honorarium dalam jangka panjang secara terus-menerus.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita pasti sering mengalami sendiri atau melihat orang lain yang terjebak pada
kepuasan jangka pendek, kepada keberhasilan yang ada sekarang, lalu lupa untuk berusaha lebih keras lagi,
sehingga bisa meraih kesuksesan yang lebih besar lagi di masa depan. Kesuksesan kadang bisa menjadi hijab
atau penghalang untuk meraih kesuksesan berikutnya yang lebih besar.

Meminjam bahasa Syekh Ibn Ataillah yang diilhami oleh sebuah ayat dalam Quran (QS 2:102): Aku ini hanyalah
fitnah, ujian, janganlah terkecoh. Sebuah keberhasilan kerap merupakan fitnah atau ujian. Karena itu kita tak
boleh terkecoh dengan keberhasilan pada tahap tertentu.

Tetapi, jika kita mau mendengarkan suara hati kecil kita, suara Tuhan yang ada dalam diri kita, setiap kita
merasa puas dengan pencapaian tertentu, biasanya ada suara dalam diri kita yang mengatakan, Ayo, bekerja
lebih keras lagi, sebab di depanmu ada kesuksesan yang lebih besar. Jangan berhenti! Orang yang malas,
sudah pasti tak akan mendengar suara ini. Dia akan lebih memilih berhenti, menikmati keberhasilan yang ada
sekarang, dan tak berusaha lebih jauh lagi.

Jika dipahami secara dangkal, ajaran Ibn Ataillah ini seperti mengajarkan kita untuk greedy, rakus, mau lebih,
tak puas dengan apa yang ada, kemrungsung. Ini jelas tidak benar. Kita harus bisa membedakan mana
wilayah nrima, menerima apa yang diberikan oleh Tuhan kepada kita, dan mana wilayah ikhtiar atau usaha.

Sejauh menyangkut takdir/ketentuan Tuhan, kita memakai filosofi tulus menerima, seperti dijarkan oleh Ibn
Ataillah dalam bagian sebelumnya. Sikap ini harus kita miliki agar kita terhindar dari penyakit mental karena
depresi atau tekanan kejiwaan yang membuat kita sengsara.

Tetapi pada wilayah usaha, ikhtiar, struggle, kita diajarkan filosofi yang lain: kita harus bekerja keras, tidak
mudah puas dengan keberhasilan kecil, sementara kita punya potensi lebih untuk meraih keberhasilan yang juah
lebih gede. Jika kita berhenti dan puas dengan kesuksesan kecil, itu sama saja dengan menyia-nyiakan
takdir, mengabaikan potensi yang ada pada diri kita untuk mencapai kelas yang lebih tinggi lagi.

Keadaan yang sama juga bisa terjadi pada seorang salik, orang yang menempuh spiritual journey, perjalanan
ketuhanan menuju kepada Sang Hakikat. Seorang salik kerap merasa puas dengan ahwal, keadaan spiritual,
dan maqam, atau level spiritual tertentu, sehingga lupa untuk berjalan terus guna meraih ahwal dan maqam
berikutnya.

Pada momen kemalasan seperti itu, biasanya ada suara kebenaran, atau hatif, yang memanggil-manggil
dalam diri orang bersangkutan, Jangan berhenti, sebab apa yang engkau cari sudah dekat, tinggal beberapa
langkah lagi. Jika orang itu jujur dan mau mendengarkan suara hati itu, pasti ia akan tergerak untuk berusaha
dan berjalan lebih jauh lagi untuk mencapai maqam spiritual yang lebih tinggi.

Apa yang dikatakan oleh Syekh Ibn Ataillah ini, sebetulnya, berlaku bukan saja dalam konteks suluk atau
perjalanan spiritual, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari, dalam konteks profesi dan pekerjaan. Taruhlah
anda seorang sutradara yang sedang mengerjakan film. Anda, karena kerja keras anda bersama seluruh crew
yang lain, merasa puas dengan film itu.

Tetapi, jika anda jujur pada diri sendiri, anda mungkin akan mendengar suara dalam diri anda, Your work is
great. But you could have done better than this, if you want. Kamu memang telah membuat film yang bagus.
Tapi kalau kamu mau, kamu bisa bekerja lebih keras lagi dan membikin film itu lebih baik lagi dari yang ada
sekarang.

Pada setiap artis atau kreator, pasti ada momen-momen seperti ini: momen ketika kita merasa bahwa apa yang
kita kerjakan sebetulnya bisa lebih baik lagi. Tetapi karena malas, dan puas hanya dengan keberhasilan kecil,
kita akhirnya berhenti dan tak mau bekerja lebih keras lagi.

Akhirnya, kita menyesal di kemudian hari, dan kelak berbisik pada diri sendiri, Andai saya dulu mau bekerja
sedikit lebih keras lagi, mungkin saya akan mencapai lebih dari apa yang ada sekarang.

Pengertian khusus. Dalam dunia sufi, dikenal suatu pengalaman spiritual yang disebut fana atau lebur dan
menghilang dalam samudera ketuhanan. Ini tak bisa diketahui kecuali oleh mereka yang pernah mengalaminya.
Ada tiga jenis fana atau penghabluran. Fana dalam afal atau tindakan Tuhan. Fana dalam sifat-sifat dan
asma/nama Tuhan. Dan, terakhir, fana dalam dzat atau esensi Tuhan.

Ketika kita lebur, hanyut dalam tindakan Tuhan, kita akan merasakan kenikmatan. Segala kejadian dan
peristiwa di dunia ini kita hayati sebagai tindakan atau afal Tuhan. Tak ada tindakan di dunia ini yang tak ada
Tuhan di baliknya. Walaupun itu tindakan kejahatan. Saat kita sudah bisa menghayati pengalaman hanyut
semacam ini, kita akan mendapatkan spiritual gratification, kenikmatan dan kepuasan spiritual yang luar biasa.

Tetapi, saat mengalami kenikamatan itu, kita akan dipanggil oleh suara gaib yang ada dalam diri kita, Jangan
puas dengan pengalaman itu, sebab masih ada kelas lebih lanjut yang lebih tinggi. Jangan berhenti di sana,
sebab yang kau nikmati itu hanya fitnah belaka! Jika seseorang mau mendengarkan panggilan gaib ini, dia
akan berusaha lebih keras lagi, tidak berhenti. Dia akan mencoba meraih fana berikutnya: yaitu hanyut dalam
nama dan sifat Tuhan.

Tuhan memiliki nama dan sifat yang tak terhingga jumlahnya. Hanya seorang yang arif dan mengerti rahasia
ketuhanan yang mengerti sifat dan nama Tuhan dengan sesunguhnya. Memang ada sembilan puluh nama
Tuhan yang disebutkan dalam Quran. Tetapi itu hanyalah contoh saja.
Nama dan sifat Tuhan jumlahnya tak terbatas, seperti doa Nabi Muhammad: la uhsi tsanaan alaika, anta kama
atsnaita ala nafsika. Aku (maksudnya Nabi) tak bisa menghitung seluruh sifat baik yang layak untukMu, Tuhan.
Sebab Engkaulah yang lebih tahu sifat-sifat baikMu. Engkau adalah seperti sifat-sifat yang Engkau nisbahkan
pada diriMu.

Seseorang yang menyelam dan tenggelam dalam rahasia sifat dan nama Tuhan, dia akan mendapati suatu
pengalaman spiritual yang lebih tinggi dari fana sebelumnya. Tetapi, jika ia puas di sana, dia bisa saja berhenti.
Dan persis saat berhenti itu, dia terhalang untuk mencapai kenikmatan spitual berikutnya yang akan ia raih jika
ia mampu hanyut dalam dzat atau esensi Tuhan. Dengan kata lain, jika dia bisa hanyut dan menjadi Tuhan itu
sendiri.

Tujuan tertinggi perjalanan mistik adalah bagaimana manusia bisa menjadi Tuhan. Kata menjadi sengaja
saya taruh di antara dua tanda kutip, karena ini hanya sekedar bahasa manusia saja. Pengertiannya tak bisa kita
pahami secara harafiah. Hanyut dalam diri Tuhan, dalam dzat Tuhan, fana fi al-dzat, pada dasarnya adalah
menjadi Tuhan itu sendiri.

Apa yang bisa kita petik dari kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah ini?
Manusia memiliki potensi yang luar biasa menakjubkan, sebab dalam dirinya ada elemen ketuhanan, ada anasir-
anasir ilahiah. Karena itu, manusia jangan cepat puas diri. Sikap cepat puas diri adalah sifat Setan dan Iblis.
Manusia harus terus berusaha agar potensi-potensi ilahiah yang ada dalam dirinya keluar, terealisasi, sehingga
dia menjadi Insan Kamil, manusia yang sempurna!

HIKAM 27

NGAJI HIKAM #27

Bismillahirrahmanirrahim

Mari kita mulai Ngaji Hikam #27 dengan menghadiahkan Fatehah kepada Syekh Ibn Ataillah (qs), kepada ayah
dan guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu saya Nyai Salamah.

Mari kita mulai. Bismillah.


______________________

CURIGAILAH DOAMU!

Syekh Ibn Ataillah berkata:

Thalabuka minhu ittihamun lahu, wa thalabuka lahu ghaibatun minka anhu, wa thalabuka li-ghairihi li-qillati
hayaika minhu, wa thalabuka min-ghairihi li-wujudi budika minhu.

Terjemahan:

Saat engkau meminta kepada Tuhan,


Itu adalah sejenis tuduhan tersembunyi padaNya.
Saat engkau mencariNya,
Itu pertanda engkau alpa dan abai terhadapNya.
Saat engkau mencari orang lain selain Dia,
Itu pertanda engkau telah kehilangan rasa malu padaNya.
Saat engkau meminta dari orang lain selain Dia,
Itu pertanda engkau telah menjauh dariNya.

Mari kita ulas dan pahami kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah kali ini dengan dua pendekatan dan pengertian:
pengertian umum dan khusus.

Pengertian umum. Saat kita meminta sesuatu kepada Tuhan, itu mengandung tuduhan tersembunyi pada Dia
bahwa Dia seolah-olah tak tahu apa yang kita butuhkan, apa yang terbaik untuk kita; seolah-olah kitalah lebih
tahu tentang apa yang paling pas untuk kita. Saat kita meminta sesuatu pada Tuhan, kita secara tak langsung
menuduhNya telah mengabaikan (ihmal) kita.

Ini jelas pengertian yang sangat mendalam, dan bisa menjebak seseorang untuk memahaminya secara salah.
Sering kali kebijaksanaan para sufi begitu dalam maknanya, sehingga mudah di salah-pahami oleh mereka yang
belum menyelam dalam lautan kesejatian wujud. Di mata seorang yang belum mencapai hakikat sesuatu,
kebijaksanaan Ibn Ataillah ini bisa dituduh berlawanan dengan syariat. Sebab syariat memerintahkan kita untuk
berdoa.

Bagaimana mungkin berdoa dianggap sebagai tuduhan tersembunyi pada Tuhan seperti dikemukakan Ibn
Ataillah itu? Ini jelas tidak cocok dengan syariat!

Seperti kita tahu sendiri, dalam bagian terdahulu, kita sudah belajar dari Syekh Ibn Ataillah: bahwa doa adalah
tindakan kemuliaan yang harus dilakukan oleh seorang hamba. Tetapi, yang dianjurkan dalam konteks mistik
atau kesufian bukanlah doa yang mengharap pamrih, doa yang ingin mengatur-atur Tuhan, seolah-olah kita
adalah majikan bagi Tuhan.

Pada bagian ini, kita diajak oleh Syekh Ibn Ataillah untuk naik setingkat lebih tinggi lagi dalam tangga perjalanan
spiritual. Pada tingkatan ini, kita bahkan harus mencurigai doa itu sendiri. Sebab, saat kita berdoa, jangan-
jangan jauh di dalam hati kecil kita ada tuduhan tersembunyi pada Tuhan. Tuduhan itu, kalau diverbalisasikan,
kira-kira akan berbunyi demikian, Tuhan, masak engkau tak tahu sih, aku sedang butuh ini dan itu? Masak aku
harus meminta secara terus terang kepadaMu? Bukankah Engkau Maha Tahu?

Kita harus mencurigai doa, tetapi bukan meninggalkan doa sama sekali. Kita tetap berdoa. Tetapi saat doa, kita
harus waspada agar tak terjatuh dalam jebakan tuduhan tersembunyi kepada Tuhan semacam itu.

Ilmu tasawwuf adalah ilmu yang, antara lain, sangat peduli pada gerak-gerik hati manusia, termasuk gerak-gerik
yang paling tersembunyi yang tidak kita sadari. Dalam tingkatan tertentu, tasawwuf adalah semacam
psikoanalisa, tetapi dalam konteks kehidupan spiritual. Tujuan akhir psikoanalisa yang sekular seperti
diperkenalkan oleh Freud, dan psikoanalisa ala kaum sufi, pada dasarnya sama: yaitu membantu manusia
merealisasikan kesehatan mental dan spiritual/rohani.

Pada bagian berikutnya, Syekh Ibn Ataillah mengemukakan sebuah kebijaksanaan lain yang sangat mendalam:
Saat kita mengatakan bahwa kita mencari Tuhan, pada titik itulah kita sebetulnya sedang lupa dan abai pada
Tuhan. Apa gunanya kita mencari Tuhan, jika kita terus ingat dan hadir bersama Tuhan? Mencari sesuatu adalah
pertanda bahwa sesuatu itu sedang tak ada (ghaibah) di tangan kita.

Saat engkau mencari selain Tuhan, engkau sejatinya tak punya rasa malu pada-Nya. Sebab Tuhan ada di mana-
mana, bahkan di dalam pekerjaan kantor yang sedang anda lakukan. Saat anda mengarjakan tugas-tugas
kantor, dan anda melakukannya untuk pamrih selain Tuhan, misalnya semata-mata (ingat: semata-mata!) hanya
untuk meraih gaji, anda sebetulnya tak tahu malu. Sebab Tuhan ada di sana, tetapi anda mencari hal yang lain.
Ini sama saja dengan situasi semacam ini: Di sebuah event besar di mana hadir seorang pemain bola kelas
dunia seperti Christiano Ronaldo atau Lionel Messi, anda justru ingin selfie dan berpotret dengan pemain bola
tak ternama dari Kulonprogo atau Kedung Kimpul (yang kebetulan hadir di sana), ketimbang memburu selfie
dengan pemain kelas dunia itu. Anda, dalam situasi seperti itu, benar-benar tak tahu malu, tak tahu diuntung!

Saat anda meminta sesuatu kepada seseorang selain Tuhan, itu jelas pertanda bahwa anda sedang jauh dari
Tuhan. Sebab, Tuhan begitu dekat kepada anda tetapi anda justru meminta kepada pihak lain yang sebetulnya
jauh dari anda, walau secara fisik dekat dengan anda.

Sekali lagi, kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah ini jangan disalah-pahami sebagai larangan untuk meminta tolong
dari teman atau menolong teman. Kebijaksanaan mistik harus dipahami secara tepat, bukan ditelan mentah-
mentah. Jika itu yang anda lakukan, anda akan mengalami apa yang oleh orang Jawa disebut kllgn --
menelan sesuatu yang menyebabkan anda tersedak.

Maksud kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah yang terakhir itu ialah: Anda jangan tergantung pada pertolongan
orang lain. Pada akhirnya, anda harus bersandar pada diri anda sendiri, pada Tuhan. Sebab Tuhan ada dalam
diri anda. Anda, dengan kata lain, harus mandiri, otonom! Bukan heteronom.

Pengertian khusus. Kata Syekh Ibn Ajibah: Al-sukunu tahta majari al-aqdar afdhalu inda al-arifina min al-
tadarrui wa al-ibtihal.
Artinya kira-kira: Bagi orang-orang yang sudah mencapai tahapan marifat (memahami kesejatian Tuhan), diam
dan mengalir mengikuti kehendak/takdir Tuhan, jauh lebih baik ketimbang meminta-minta, memohon-memohon
kepadaNya. Jika kita memakai ungkapan yang populer dalam bahasa Inggris, flowing with the flow, mengalir
bersama kehidupan. Tak terlalu neka-neka. Tak terlalu banyak cas-cis-cus.

Jika seorang arif, orang yang bijak berdoa, mereka melakukannya bukan dalam kerangka mengharap hasil dari
sana. Mereka berdoa secara, meminjam istilah filosof Jerman Immanuel Kant, deontologis. Dia berdoa karena
memang berdoa adalah kewajiban seorang hamba kepada Tuhannya. Bukan karena alasan yang lain, misalnya
agar Tuhan mengabulkan doa itu dan kita memperoleh material reward, hasil yang kasat mata.

Apa pelajaran yang bisa kita petik dari sini? Seorang beriman dan seorang yang bijak harus benar-benar bisa
menata gerak-gerik hatinya sehingga tidak keliru tempat, dan salah sasaran, off-mark. Saat kita berdoa, jangan
sampai hati kita salah langkah, sehingga secara diam-diam kita menuduh Tuhan telah abai pada kita.

Saat kita minta pertolongan dari orang lain, jangan pula kita salah menata niat dan mengatur hati, sehingga
dalam diri kita muncul sense of dependency, perasaan tergantung pada orang lain, sehingga kita kehilangan
otonomi, rasa kemandirian. Sebab merasa tergantung pada orang lain bisa merupakan penyakit mental yang
destruktif. Ini yang hendak diobati oleh tasawwuf.[]

HIKAM 28

NGAJI HIKAM #28

Mari kita mulai Ngaji Hikam #28 ini dengan menghadiahkan Fatehah kepada Syekh Ibn Ataillah (qs), kepada
ayah dan sekaligus guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu saya Nyai Salamah.

Mari kita mulai. Bismillah.


_____________________

NAFAS KITA ADALAH SUCI


Syekh Ibn Ataillah berkata:

Ma min nafasin tubdihi illa wa-lahu qadrun fika yumdihi.


Terjemahan:

Pada setiap nafas yang engkau tunjukkan/hembuskan terdapat takdir/ketentuan Tuhan yang Dia selenggarakan
pada saat itu juga.

Mari kita ulas kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah ini dengan dua pendekatan dan pengertian: pengertian umum
dan khusus.

Pengertian umum. Pada setiap unit terkecil dalam hidup kita, yaitu nafas, tersembunyi takdir dan ketentuan
kehidupan kita, tersembunyi karma kita, tersembunyi cicilan-cicilan kecil untuk masa depan kita.

Nasib kita di masa depan yang jauh ditentukan oleh hal-hal yang sangat mikro dalam hidup, yaitu nafas. Karena
itu, kita harus berhitung benar dengan setiap unjalan nafas yang meluncur keluar dari mulit kita. Nafas adalah
seperti building block, batu-batu yang menyusun kehidupan kita di masa depan.

Dengan menyadari hal yang sangat subtil/halus ini, kita akan menjalani kehidupan ini dengan sikap yang awas,
hati-hati, tidak sembrono. Kebijaksanaan Ibn Ataillah kali ini seperti mengajari kita semacam the economy of
life, bagaimana berhitung secara cermat dengan kehidupan kita sendiri, tidak membiarkannya berlangsung
secara begitu saja, sehingga kita kehilangan kesempatan yang terbaik dalam hidup ini.

Sebab, dalam setiap hembsan nafas yang hanya berlangsung seper sekian detik itu, sebetulnya sedang
berlangsung suatu takdir dalam diri kita. Saat nafas keluar dari mulut kita, something of great importance has
just occurred to us. Saat kita bernafas, sesuatu yang sangat bermakna dan penting telah terjadi pada diri kita,
meskipun kita tak menyadarinya.

Dalam setiap hembusan nafas, ada takdir Tuhan. Karena itu, sudah selayaknya kita menghayati setiap nafas
yang kita hembuskan. Karena itu, dalam yoga, nafas adalah elemen penting dalam setiap meditasi dan refleksi.
Nafas bukanlah sekedar hembusan yang digerakkan oleh organ kasat mata, yaitu paru-paru. Nafas adalah the
essence of life, inti kehidupan yang sangat suci. Kita harus menghargai setiap nafas yang keluar dari mulut kita.
Sebab di sana ada sesuatu yang suci yang merupakan inti kehidupan.

Pengertian khusus. Saat menyadari bahwa dalam setiap nafas kita terdapat takdir dan ketentuan Tuhan yang
sedang berlangsung pada diri kita, sudah seharusnya kita menerima segala ketentuan Tuhan dengan sikap rida,
legawa, rela, sumlh. Seperti kita, dengan legawa dan tanpa beban, membiarkan nafas kita keluar secara
alamiah dari mulut.

Terimalah takdirmu dengan begitu ringan dan tanpa beban seringan engkau bernafas. Pengertian rida dan rela
yang sesungguhnya, kata Syekh Ibn Ajibah, adalah talaqqi al-mahalik bi-wajhin dlahik, menerima bencana
hidup dengan wajah yang sumringah, dengan tersenyum.

Ini jelas bukan petuah yang mudah dijalankan dalam kehidupan yang riil. Ini adalah sikap hidup mistik yang
hanya bisa dicapai oleh orang-orang yang telah kenyang makan garam kehidupan dan menghayatinya secara
sungguh-sungguh dan bijak.

Apa yang bisa kita petik dari kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah ini? Kita mesti bisa menerima keadaan secara
ringan, secara rileks, serileks kita bernafas. Bersikap alamiah dalam menerima segala kejadian dalam hidup
sangat penting. Tidak panik. Tidak was-was. Tidak kehilangan keseimbangan.
Menerima segala macam peristiwa kehidupan secara sukarela dan alamiah adalah persis dengan gambaran
yang kita lihat pada patung Buddha: tenang, tersenyum, dan tak terganggu oleh apapun. Sebab semuanya
adalah kehendak alam, kehendak Tuhan yang akan berjalan seperti yang sudah seharusnya. Kita hanya harus
menerimanya dengan sikap ringan hati. Seringan nafas yang keluar dari mulut kita.[]

HIKAM 29

NGAJI HIKAM #29


Bismillahirrahmanirrahim
Mari kita mulai Ngaji Hikam #29 ini dengan menghadiahkan Fatehah kepada Syekh Ibn Ataillah (qs), kepada
ayah dan sekaligus guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu saya Nyai Salamah.
Mari kita mulai. Bismillah.
_____________________

SUFISME JUSTRU DIBUTUHKAN DI TENGAH KERAMAIAN

Syekh Ibn Ataillah berkata:

La tataraqqab faragh al-aghyar, fa inna dzalika yaqthauka an wujud al-muraqabati lahu fi-ma huwa muqimuka
fihi.

Terjemahan:

Jangan menunggu hingga semua aghyar (sesuatu yang menimbulkan gangguan pada kondisi rohani kita)
hilang terlebih dahulu. Sebab hal itu akan menghalangimu untuk terus bersikap berjaga-jaga dan ingat kepada-
Nya pada saat engkau berada dalam situasi (penuh gangguan) dimana Dia menempatkanmu di sana.

Dengan kata lain, jangan menunggu keadaan tenang terlebih dahulu untuk mengingat Tuhan. Justru dalam
kedaan sibuk dengan aghyar, engkau harus terus mengingat-Nya, agar engkau tak lengah.

Mari kita dalami kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah ini dengan dua pengertian: pengertian umum dan khusus.

Pengertian umum. Kita akan kembali ke teori awal: bahwa masing-masing orang memiliki maqam atau stasi
spiritual yang berbeda-beda. Ada orang yang ditempatkan oleh Tuhan pada maqam manusia kamar, ada yang
ditempatkan di maqam manusia sosial. Setiap orang hendaknya menerima dengan ikhlas masing-masing
maqam yang dianugerahkan Tuhan kepadanya, tanpa mengeluh, tanpa protes. Melainkan menjalaninya dengan
tulus dan penuh dedikasi.

Seseorang yang berada di maqam manusia sosial, dia biasanya cenderung banyak berkecimpung dalam dunia
ramai, di masyarakat, sibuk dengan hal-hal yang sifatnya duniawi. Orang yang berada di maqam semacam ini
memiliki tantangan yang besar. Sebab, kesibukan di dalam kehidupan ramai memang rentan membuat
seseorang lengah, alpa, lalai terhadap sesuatu yang esensial dan inti dalam kehidupan. Pendeknya: terhadap
Tuhan.

Seseorang yang ditempatkan pada maqam manusia kamar tak memiliki tantangan sebesar manusia sosial,
sebab mereka lebih diuntungkan oleh keadaan mereka yang terisolasi dan terpisah dari kehidupan orang
banyak. Mereka lebih memiliki kesempatan untuk memusatkan kehidupan spiritualnya kepada sumber segala
hakikat, yaitu Tuhan. Mereka bisa menikmati kehidupan khalwat atau menyepi dan menyingkir dari gangguan
aghyar (sesuatu yang bisa mengganggu pikiran dan rohani seseorang).
Nasihat Syekh Ibn Ataillah ini ditujukan baik kepada manusia kamar dan manusia sosial sekaligus. Tetapi,
manusia jenis yang terakhir ini selayaknya memberikan perhatian yang lebih kepada nasihat ini, sebab mereka
berada pada situasi yang rentan untuk lalai, alpa dan lupa.

Kepada manusia sosial ini, Syekh Ibn Ataillah berpesan agar tetap menjaga sikap muraqabah, looking out,
waspada, dan ingat terus, tidak membiarkan dirinya terserap kedalam gangguan aghyar yang bisa
membuatnya menyimpang dari tujuan hidup yang sebenarnya, dari hakikat kehidupan.

Sebaiknya kita tak perlu menunggu situasi untuk tenang terlebih dahulu untuk mengingat Sumber Kehidupan.
Sebab, sikap menunda semacam itu justru akan membuat kita lengah. Justru dalam keadaan sibuk dengan
hal-hal yang sifatnya duniawi kita harus tetap ingat akan Dia, tetap waspada terhadap hakikat hidup, tetap
berjaga-jaga supaya tak terjatuh dan terpeleset.
Mengingat Tuhan dalam keadaan kita tak sibuk bukanlah hal yang istimewa. Tetapi mengingat Tuhan pada saat
kita tenggelam dalam kesibukan duniawi, itulah keistimewaan yang patut dipujikan.

Ini sama saja dengan situasi berikut ini. Bersikap jujur dalam keadaan di mana tak ada godaan untuk bersikap
curang, itu bukanlah hal yang menakjubkan. Tetapi bersikap jujur pada saat kita berada di tengah-tengah sistem
yang menggoda untuk berbuat curang dan korup, itulah keistimewaan yang luar biasa.
Sikap muraqabah atau selalu berjaga-jaga, waspada, mengingat esensi kehidupan justru dibutuhkan pada saat
seseorang tenggelam dalam kehidupan yang sarat/penuh dengan aghyar.

Jika kita menunda hingga kehidupan kita sepi dari kesibukan untuk kemudian baru eling, mengingat Tuhan, itu
jelas kurang banyak mafaatnya. Anda kehilangan kesempatan spiritual yang terbaik, yaitu bersikap waspada
justru pada saat anda dalam situasi yang rentan pada kelengahan, kealpaan.

Pengertian khusus. Seorang yang dalam perjalanan menuju marifat, menuju kepada pengetahuan tentang
kesejatian hidup, kadang-kadang mengalami ujian yang berat: yaitu tergoda dengan mahsusat, dunia yang
bisa kita indera. Indera orang itu untuk sementara waktu tergoda untuk menikmati dunia material itu. Dia bisa
saja tenggelam di sana, lalu lupa pada perjalanan spiritualnya menuju sumber marifat, yaitu Tuhan Yang
Immaterial, Yang Tak Tampak.

Godaan seorang arif adalah lupa pada Tuhan Yang Maha Gaib dan lengah oleh hal-hal yang nampak, zahir,
yaitu dunia fisik ini.
Godaan semacam ini tak terhindarkan selama manusia masih berupa tubuh dan badan yang berada di bumi.
Karena itu, tak mungkin seorang arif bermimpi untuk lepas dari kehidupan badan ini selama ia masih di dunia.
Justru kehidupan dalam dunia badan ini adalah tantangan baginya: apakah ia tetap bisa terus ingat pada Tuhan,
atau lengah dan tergoda dengan dunia fisik.

Hidup bersama aghyar di dunia ini adalah ujian bagi seorang salik, pelaku perjalanan spiritual. Jika dia
sungguh-sungguh bisa melakukan muraqabah, menjaga dirinya untuk tak lengah, dunia fisik itu justru menjadi
sarana peningkatan maqam spiritual dia.
Tetapi jika dia bersikap malas, dan menunggu sampai godaan dunia material itu berlalu dan hilang terlebih
dahulu sebelum dia akhirnya kembali mengingat Tuhan, maka dia telah gagal mencapai kenaikan maqam
spiritual.

Pelajaran dari kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah ini ialah: Selalu menginat Tuhan, selalu eling lan waspada,
dalam keadaan apapun. Tuntutan untuk ingat dan waspada justru lebih besar dalam momen-momen ketika kita
rentan untuk lengah karena sibuk dengan kehidupan yang penuh dengan godaan.

Pada saat berada di tengah-tengah keramaian yang banyak copet, justru anda perlu meningkatkan
kewaspadaan. Jika ada waspada pada copet dalam keadaan sepi, tak ada orang di sekitar, jelas tak ada guna.
Sikap sufistik, sikap terus awas dan ingat akan Yang Hakiki, justru dibutuhkan dalam keadaan kita hidup di
tengah orang ramai.[]

HIKAM 30

NGAJI HIKAM #30

Bismillahirrahmanirrahim

Mari kita mulai Ngaji Hikam #30 dengan menghadiahkan Fatehah kepada Syekh Ibn Ataillah (qs), kepada ayah
dan guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu saya Nyai Salamah.

Mari kita mulai. Bismillah.


______________________

JADILAH SEPERTI BUDDHA: TENANG DI TENGAH KERAMAIAN

Syekh Ibn Ataillah berkata:

La tastaghrib wuqu al-akdar ma dumta fi hadzihi al-dar, fi innaha ma abrazat illa ma huwa mustahiqqun
wasfaha, wa wajibun natuha.

Terjemahan:

Jangan merasa aneh jika engkau menjumpai kekotoran selama engkau masih hidup di dunia ini. Sebab dia
hanyalah menampakkan hal-hal yang memang layak disifati dengan kekotoran itu, hal-hal yang memang
seharusnya digambarkan demikian.

Mari kita telaah kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah ini dengan dua pengertian: pengertian umum dan khusus.

Pengertian umum. Dalam kehidupan manusia, sering dijumpai hal-hal yang membingungkan, sesuatu yang
oleh Ibn Ataillah digambarkan dengan akdar, kotoran, sesuatu yang membuat sedih, galau, dan gelisah.
Selama ini kita masih berada dalam jasad dan tubuh, selama itu pula kita akan mengalami hak-hal semacam ini.

Dengan kata lain, konsekwensi hidup dengan dan dalam wadag atau jasad adalah kita akan mengalami
kegelisahan, kesakitan, penderitaan, kegalauan. Semuanya itu akan selalu datang dan pergi. Saat pengalaman-
pengalaman itu datang, janganlah kita merasa heran, bingung, atau bahkan mencerca Tuhan.

Hidup manusia memang melalui tahap-tahap yang menarik. Yang pertama adalah tahap sorga alamiah. Tahap
ini dialami oleh bayi yang masih ada di dalam rahim ibunya: bayi di dalam rahim tidak pernah hirau dengan
keramaian dunia, sebab dia menyepi dan terisolasi di dalam gua ketenangan, yaitu rahim ibunya. Seluruh
kebutuhan nurtisinya terpenuhi. Seorang bayi tak mengalami kesedihan dan penderitaan karena dia tidak
menyadari alam di sekitarnya. Dia masih pada tahap alamiah dan menyatu dengan alam.

Tahap kedua adalah saat ia lahir dan keluar dari gua khalwat di dalam rahim ibunya, dan bayi itu kemudian
berada di tengah-tengah alam, di tengah-tengah keluarga dan komunitas. Pelan-pelan dia mulai menyadari
lingkungan di sekitarnya, mulai mengerti apa yang terjadi di sekelilingnya. Saat dia mengerti itu lah, pelan-pelan
dia akan mengalami penderitaan, tetapi juga sekaligus kegembiraan. Firdaus alamiah yang membahagiakan
saat ia masih ada di dalam rahim ibunya sekarang sudah tak ada.
Dia seperti Adam yang terjatuh dari ketenangan dan kebahagiaan di Taman Eden (Firdaus), dan harus bekerja
keras di bumi.

Kehidupan di bumi, di tengah-tengah masyarakat itu berlainan sama sekali dengan kehidupan di dalam rahim
ibu. Di dalam rahim ibu, yang ada adalah biological tranquility, ketenangan biologis-alamiah, tanpa gangguan
apapun. Di dalam masyarakat manusia, dia mulai mengalami peristiwa yang menggembirakan dan
menyedihkan. Sebab, kehidupan di dunia ini, kata Syekh Ibn Ajibah, adalah dar ahwal, wa manzil furqah wa
intiqal. Dunia adalah tempat terjadinya segala penderitaan, perpisahan, perpindahan. Semuanya itu memang
menggelisahkan.

Tetapi, jika seseorang bisa menyikasi perubahan-perubahan dalam hidup itu dengan tenang, dengan waspada,
dengan sikap rela dan sumeleh (menyerahkan diri), dia tak akan terganggu dengan semua itu. Dia akan
seperti Buddha yang dengan tenang mengalami meditasi dan ketenangan walau di tengah keramaian.

Kuncinya adalah: Jangan merasa galau, gelisah, dan heran.

Pengertian khusus. Tuhan kerapkali menampakkan diri dengan cara yang tak terduga-duga. Dia menampakkan
diri secara indah dalam pengalaman-pengalaman indah yang kita alami dalam kehidupan ini. Dia juga
menampakkan diri dalam pengalaman-pengalaman sedih yang kita derita. Dia menampakkan diri dalam setiap
gejala dan peristiwa yang kita alami. Yang menggalaukan kita dan yang menggembirakan kita dua-duanya
adalah bagian apa yang oleh Syekh Ibn Ajibah disebut tajalliyat al-Haqq, penampakan Yang Maha Benar.

Yang Maha Benar menampakkan diri dengan dua cara: melalui sifat jamal atau keindahan-Nya, dan melalui
sifat jalal atau keagungan-Nya. Saat kita mengalami pengalaman yang menyenangkan, Tuhan sedang
menampakkan melaui sifat keindahan-Nya. Ketika kita mengalami penderitaan, Tuhan menampakkan diri
kapada kita lewat sifat keagungan-Nya.

Bagi seorang yang bijak, yang arif, seorang yang telah tahu hakikat hidup, dua pengalaman itu sama saja bagi
dirinya. Baik saat gembira atau menderita, dia akan bersikap tenang, stoic, tak terganggu oleh perubahan-
perubahan dalam pengalamannya itu. Sebab ia tahu, semuanya itu berasal dari sumber yang sama: Tuhan.

Dia akan menerima penderitaan dengan senyum. Tetapi dia juga aka mengalami kebahagiaan dengan sikap
semenjana, tidak meluap-lupa. Dia tenang seperti air kolam di pagi hari, sebelum ada angin menghembus,
sebelum ada anak-anak yang bermain berkecipak di sana. Dia, dalam keadaan apapun, bersikap tenang seperti
Buddha yang dalam keadaan meditasi.

Pelajaran yang bisa kita petik dari sini adalah: Kita harus bisa mengembangkan sikap self control, bisa
menguasai diri, tidak hanyut dalam perasaan sesaat, baik perasaan gembira atau menderita. Kemampuan
mengontrol diri ini yang akan membebaskan kita dari penderitaan hidup, dan bisa kembali ke kebahagiaan
awal saat kita berada di dalam rahim ibu kita.[]

HIKAM 31

NGAJI HIKAM #31

Bismillahirrahmanirrahim

Mari kita mulai Ngaji Hikam #31 dengan menghadiahkan Fatehah kepada Syekh Ibn Ataillah (qs), kepada ayah
dan guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu saya Nyai Salamah.
Mari kita mulai. Bismillah.
_____________________

IKHTIAR SANGAT PERLU, TETAPI JANGAN TERALU JUMAWA DENGAN USAHA DIRI SENDIRI

Syekh Ibn Ataillah berkata:

Ma tawaqqafa mathlabun anta thalibuhu bi-rabbika, wa-la tayassara mathlabun anta thalibuhu bi-nafsika.

Terjemahan:

Suatu tujuan yang engkau perjuangkan atas nama Tuhan, tak akan menjadi sulit. Sementara tak ada pekerjaan
yang engkau kerjakan dengan mengandalkan dirimu sendiri yang akan menjadi mudah.

Mari kita pahami kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah ini dengan dua pengertian: umum dan khusus.

Pengertian umum. Apa yang dikatakan oleh Syekh Ibn Ataillah di sini menegaskan pengertian-pengertian yang
sudah pernah beliau bahas dalam bagian sebelumnya. Intinya: seorang hamba yang beriman sudah selayaknya
melakukan semua pekerjaan bukan dengan mengandalkan sepenuhnya hal-hal lain di luar Tuhan. Sebab,
mengandalkan diri pada orang lain akan membuat seseorang tergantung, dependent, tidak mandiri.

Sebaliknya, menggantungkan diri pada Tuhan akan membuat seseorang memiliki semangat merdeka, mandiri,
tidak disetir oleh orang lain.

Karena itu, setiap pekerjaan di mana gantungan utama kita hanyalah Tuhan, ia akan menjadi mudah, meskipun
banyak tantangan yang besar di dalamnya. Sebab, pekerjaan yang dilakukan murni karena Tuhan adalah
pekerjaan di mana seseorang di dalamnya mendedikasikan diri penuh, berkomitmen total, tanpa pamrih-pamrih
sekunder yang bisa mengganggu.

Sementara pekerjaan yang dilakukan dengan pamrih tertentu, biasanya seseorang akan mengalami kekenduran
mental dan semangat untuk melakukannya saat pamrih atau iming-iming itu tak ada atau hilang. Jika semangat
kendur, dengan sendirinya dorongan dari dalam diri kita untuk mengerjakannya juga berkurang. Akibatnya sudah
bisa ditebak: orang itu melakukan pekerjaan tersebut dengan asal-asalan, dan dengan demikian kualitasnya pun
tidaklah maksimal.

Nasihat Syekh Ibn Ataillah ini jika dipahami dengan tidak tepat bisa membuat seseorang malas dan tak mau
mengerjakan apapun. Larangan mengandalkan pada usaha diri sendiri, sebagaimana dikatakan oleh Syekh Ibn
Ataillah di atas, maksudnya bukan mencegah kita untuk melakukan usaha dan ikhtiar dengan kekuatan diri
sendiri. Yang dimaksud ialah: jangan sampai kita bersikap jumawa dan sombong seolah-olah hasil usaha yang
kita capai sepenuhnya berada di bawah kontrol kita, sepenuhnya berkat usaha-usaha kita sendiri.

Sikap arogansi semacam ini yang hendak dianjurkan oleh Ibn Ataillah agar kita hindari. Sebab setiap bentuk
kesombongan adalah sikap mental yang korosif, yang bisa mengeroposkan rohani. Sikap yang sehat adalah
sikap ringan: yaitu berusaha, bekerja, berikhtiar, tetapi ikhtiar kita lakukan bukan dengan perasaan tergantung
pada orang lain, juga bukan dengan perasaan sombong bahwa usaha kita menjamin hasil secara pasti.

Sikap mental akhir yang dianjurkan melalui ajaran Syekh Ibn Ataillah ini ialah: terus bekerja, berusaha, tetapi
dengan sikap rendah hati. Sikap rendah hati bisa diterjemahkan sebagai sikap realistis. Apa yang dimaksud
dengan realistis di sini ialah sikap menerima kenyataan sebagaimana apa adanya. Dalam kenyataan, memang
banyak faktor yang menentukan keberhasilan atau kegagalan kita, dan faktor-faktor itu ada di luar kontrol kita.
Manakala kita berhasil, atau bahkan gagal, itu bukan semata-mata karena usaha kita, sebab ada hal-hal di luar
usaha kita, di luar kontrol kita yang juga menentukan hasil akhir dari ikhtiar kita itu. Karena itu, keberhasilan
usaha kita biasanya disebabkan oleh faktor yang kompleks, bukan semata-mata karena usaha kita sendiri. Ada
faktor lingkungan yang begitu rumit dan komplek. Kompleksitas itu dalam bahasa agama disebut TUHAN. Sebab
Tuhan memang Yang Maha Kompleks, Maha Rumit!

Pengertian khusus. Tanda-tanda bahwa kita mengerjakan sesuatu dengan mengandalkan pada Tuhan (al-
thalabu bi l-Lah), bukan mengandalkan diri sendiri (al-thalab bi al-nafs), adalah berikut ini. Jika Anda
mengerjakan sesuatu dengan tujuan Tuhan semata, tandanya ialah Anda tidak attached atau terikat kepada
pekerjaan dan sesuatu itu, sehingga Anda tergantung padanya.

Sebagaimana diajarkan dalam Buddhisme, setiap bentuk attachment atau ikatan adalah sumber dukkha atau
kesengsaraan batin. Jika Anda mau lepas dari kesengsaraan, putuskan ikatan Anda dengan pekerjaan, dengan
hal-hal yang selain Tuhan. Anda boleh melakukannya, tetapi Anda tidak terikat secara obsesif dengannya.

Sementara tanda-tanda seseorang yang mengerjakan sesuatu dengan mengandalkan pada dirinya sendiri
adalah: dia kemrungsung atau begitu ambisius mengejarnya, terikat padanya, sehingga akhirnya dia menderita
kesengsaraan batin karena keterikatan itu.

Sabda Nabi kepada salah seorang sahabatnya, yaitu Suwaid ibn Ghaflah: La tathlub al-imarata, fa-innaka in
thalabtaha wukkilta ilaiha; wa-in atatka min ghairi masalatin, uinta alaiha. Artinya: Janganlah engkau memburu
kekuasaan. Jika engkau memburunya, boleh jadi engkau akan mendapatkannya, tetapi engkau akan
diserahkan kepada kekuasaan itu (engkau menjadi hamba kekuasaan). Tetapi jika kekuasaan itu datang tanpa
engkau buru secara ambisius, engkau justru akan ditolong untuk meraihnya dan menjalankannya.

Apa pelajaran yang bisa kita petik dari sini? Sebagaimana ditekankan berkali-kali oleh Syekh Ibn Ataillah, kita
perlu menanamkan dalam diri kita sikap rendah hati, tidak sombong mengandalkan pada kekuatan sendiri. Cara
untuk menetralisir kesombongan ini adalah dengan menyandarkan diri pada Tuhan.

Konsep Tuhan dalam agama memang berfungsi, antara lain, agar manusia bisa melakukan netralisasi atas
sikap-sikap vanity, sikap burung merak, sikap sombong dan sok merasa kuasa dan bisa segala-galanya yang
biasa menghinggapi manusia. Sikap-sikap ini, cepat atau lambat, akan destruktif, menghancurkan rohani
manusia, menjauhkannya dari kehidupan mental dan rohani yang sehat bahagia.[]

NGAJI HIKAM 32

NGAJI HIKAM #32

Bismillahirrahmanirrahim

Mari kita mulai Ngaji Hikam #31 dengan menghadiahkan Fatehah kepada Syekh Ibn Ataillah (qs), kepada ayah
dan guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu saya Nyai Salamah.

Mari kita mulai. Bismillah.


________________________

AWAL YANG BAIK MENENTUKAN HASIL AKHIR YANG BAIK

Syekh Ibn Ataillah berkata:


Min alamat al-najihi fi al-nihayat al-ruju ila l-Lahi fi al-bidayat. Man asyraqat bidayatuhu asyraqat nihayatuhu.
Terjemahan:

Tanda-tanda seseorang yang akan berhasil di ujung perjalanan ialah: dia bersandar dan kembali kepada Tuhan
pada permulaan pekerjaan. Barangsiapa yang awal perjalanannya terang-benderang, maka akhir perjalanannya
juga akan demikian.
Mari kita telaah kebijaksanaan Ibn Ataillah ini dengan dua pengertian: umum dan khusus.

Pengertian umum. Secara sederhana, kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah ini bisa kita pahami dengan ungkapan
yang sudah sering kita kenal selama ini: permulaan yang baik menentukan ujung sebuah perjalanan. Kata
pepatah Arab: kama takun al-bidayah, takun al-nihayah. Bagaimana permulaan, itulah yang akan menentukan
sebuah akhir. Awal yang baik akan menentukan akhir yang baik juga. Begitu juga sebaliknya.

Jika sejak awal seseorang sudah benar menata hati di niatnya, yaitu melakukan sesuatu bukan untuk pamrih-
pamrih yang sifatnya sementara saja, melainkan hanya untuk Tuhan semata, maka itu menjadi pertanda
keberhasilan pekerjaannya.

Dalam Islam, kedudukan niat sangat penting sekali. Niat bukan sekedar krentek atau gerakan hati yang
menghendaki sesuatu. Bagi seorang arsitek, niat adalah semacam gambar sebuah bangunan, semacam blue
print, rencana awal yang menentukan seluruh pekerjaan pada tahap berikut.

Karena itu, ada kaidah fikih yang berbunyi: niyyat al-mumin khairun min amalihi. Niat seorang beriman lebih
baik dari pada pekerjaannya itu sendiri. Ini buka berarti bahwa pekerjaan dan eksekusi atas niat tidak penting.
Bukan. Melainkan: tanpa niat yang benar, pekerjaan bisa berlangsung tidak karuan, dan bahkan bisa destruktif,
baik bagi pelaku pekerjaan itu atau orang lain yang ada di sekitar dia.

Jika niat sudah bisa ditata dengan benar, ini sama saja dengan seorang insinyur sipil yang membangun suatu
bangunan dengan gambar yang jelas dan detil. Separoh lebih dari kebarhasilan pekerjaannya ditentukan oleh
niat alias gambar yang benar.

Karena itulah, awal yang baik, menentukan akhir. Jika kita mulai segala sesuatu dengan niat untuk mencari
kerelaan Tuhan, bukan pamrih-pamrih yang lain, maka kita sudah menjamin keberhasilan bagi pekerjaan kita.

Pengertian khusus. Bagi seorang yang hendak masuk ke dalam kehidupan sufi, hal yang paling penting untuk
ditata terlebih dahulu adalah niat. Jika seseorang masuk dan menjalani kehidupan sufi untuk, misalnya, mencari
efek sosial, agar dipandang keren oleh orang-orang di sekitarnya (sebab, sekarang ini, di kalangan tertentu,
menjadi sufi adalah semacam mode atau fashion yang dipandang keren!), maka ia sudah mencicil
kegagalannya sendiri sejak awal.

Jika seseorang menjalani kehidupan sufi agar meraih pengaruh sosial-politik yang luas (sebab, sekarang,
menjadi tokoh sufi bisa memiliki pengaruh politik yang luas!), maka dia mungkin saja akan memperoleh yang ia
tuju itu. Tetapi perkara apakah dia akan mencapai pengetahuan tentang rahasia ketuhanan, marifat yang
sesungguya, tentu perkara lain. Jika niatnya adalah untuk tujuan duniawi, maka dia telah menutup jalan menuju
kepada keberhasilan, wusul, sampai kepada Tuhan.

Jika engkau berniat melakukan sesuatu, maka sebaiknya kita menata agar kehendak kita berjalan seiring
dengan kehendak Tuhan. Jika kita mempu menata niat sepeti ini, memasang niat agar lusus seiring dengan
kehendak Tuhan, maka kita akan merasa ringan, dan tidak menderita tekanan karena risau akan berhasil
tidaknya pekerjaan kita. Apapun yang terjadi, akan kita terima sebagai bagian dari kehendak kita.
Sekali lagi, kita janglah memaknai ini sebagai sikap pasif menerima saja ketentuan Tuhan. Sebagaimana sudah
kita ulas dalam bagian yang lalu: ikhtiar manusia tetaplah tak terhindarkan. Bahkan suatu keharusan. Tetapi
seraya kita berikhitiar, kita harus menata niat agar ikhtiar kita itu semata-mata kita sandarkan hasil akhirnya
pada Tuhan semata.

Pelajaran yang bisa kita petik dari sini: Kita harus bisa membaca kehendak alam, ketentuan Tuhan, dan
bekerja menyesuaikan diri dengan itu. Jika sejak awal kita sudah bisa menata hati kita seperti ini, kita akan
berjalan dengan ringan. Kita bekerja keras, tetapi tanpa beban yang berlebihan mengenai hasil akhir. Sebab
kerapkali Tuhan mengajari kita lewat proses, bukan lewat hasil akhir.[]

HIKAM 33

NGAJI HIKAM #33

Bismillahirrahmanirrahim

Mari kita mulai Ngaji Hikam #33 ini dengan menghadiakan Fatehah kepada Syekh Ibn Ataillah (qs), kepada ayah
dan guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu saya Nyai Salamah.

Mari kita mulai. Bismillah.

Catatan; Mohon maaf, listrik di rumah saya mati sehingga tak bisa menunggui Ngaji Hikam malam ini. Kalau
sudah hidup, saya akan online kembali. Maaf.
______________________

TINDAKAN KITA ADALAH JENDELA HATI

Syekh Ibn Ataillah berkata:

Ma ustudia min ghaib al-sarair dzahara fi syahadat al-zawahir.

Terjemahan:

Sesuatu yang tersimpan dalam kegaiban rahasia batin akan tampak keluar dalam tindakan dan sikap lahir.

Mari kita telaah kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah ini dengan dua pengertian: umum dan khusus.

Pengertian umum. Secara harafiah, makna ungkapan Syekh Ibn Ataillah ini adalah sebagai berikut: rahasia-
rahasia batin yang dititipkan dan disimpan oleh Tuhan dalam hati kita tak akan terus bisa tersimpan di sana. Dia
akan keluar, dan nampak dalam tindakan lahir kita. Sifat-sifat mental yang ada dalam diri kita adalah ibarat
sebuah rahasia kita. Tetapi ia tak bisa kita rahasiakan, sebab sifat-sifat itu akan muncul keluar, membentuk
tindakan sehari-hari kita.

Ketika kita berjumpa denga orang baru yang tak kita kenal sebelumnya, ia seperti sebuah rahasia yang penuh
misteri yang tak kita ketahui apa sikap, pikiran, dan pendapat-pendapatnya. Pelan-pelan, ketika kita sudah
berinteraksi dengan orang itu, bercakap-cakap, berdiskusi dan bertukar pikiran dengannya, kita mulai tahu siapa
sesungguhnya dia. Orang yang semula merupakan rahasia dan misteri bagi kita, akhirnya terungkap melalui
tindakan, ucapan, pendapat dan sikap yang ia tunjukkan kepada kita dan orang lain.
Sebab segala rahasia yang ada dalam batin kita tak bisa terus bersemayan di sana selamanya. Apa yang ada
dalam batin kita akan keluar dan muncul, dan bisa dilihati oleh orang lain melalui tindakan-tindakan kita. Karena
itu, tindakan orang adalah semacam jendela dari mana kita bia melihat isi hati orang.

Apa yang dikemukakan oleh Syekh Ibn Ataillah ini tentu saja merupakan kebijaksanaan mistik, ilmu batin yang ia
peroleh berdasarkan pengalaman spiritualnya sebagai seorang sufi. Tetapi, kebijaksanaan ini sebetulnya berlaku
untuk konteks kehidupan yang luas. Kita bisa mengalami hal ini dalam peristiwa sehari-hari yang kita alami
bersama sahabat kita atau orang-orang lain yang ada di sekitar kita.

Kita bisa menilai watak, isi hati, dan sikap batin orang lain berdasarkan tindakan dia sehari-hari. Karena itu,
kadan sulit bagi seseorang menyembunyikan apa yang ada dalam batin dan hatinya, sebab gerak-geriknya
dengan cukup baik menceritakan rahasia batinnya. Dalam pepatah Arab dikatakan: lisan al-hal afshahu min
lisan al-maqal. Tindakan seseorang lebih jelas mengatakan siapa orang itu daripada kata-katanya. Tindakan
berkata lebih keras dari kata-kata.

Jika kita bisa mengetahui rahasia hati seseorang berdasarkan tindakan-tindakannya, begitu juga kita bisa
mengerti dan memahami Tuhan Yang Maha Rahasia dan Maha Batin melalui tindakan-tindakan-Nya di dunia ini.
Seseorang yang memahami tindakan Tuhan di dunia ini akan mengetahu siapa sejatinya Tuhan itu. Dan
siapapun yang memahami Tuhan dengan sesungguhnya, dia dengan sendirinya akan paham juga siapa
manusia.

Pengrtian khusus. Di kalangan sufi dikenal dua istilah, yaitu: al-ahwal al-qalbiyyah atau suasana dan sikap
kebatinan, dan al-afal al-qalabiyyah atau tindakan yang muncul dalam badan lahir kita. Ada dua kata yang
saling berpasangan, yaitu al-qalb yang artinya hati, dan al-qalab yang artinya adalah wadag atau badan lahir
kita. Apa yang ada dalam qalb/hati akan tampak keluar dalam qalab/badan.

Jika dalam qalb kita terdapat sifat-sifat yang terpuji seperti kehalusan budi (adab/tahzib), ketenangan dan
ketegaran batin (sukun/tumaninah/razanah), kedermawanan dan mudah mengampuni kekeliruan orang lain
(badzl dan afw), maka sifat-sifat itu tentu akan muncul ke permukaan dalam qalab atau badan kita.

Sebaliknya, jika dalam qalb terdapat sifat-sifat buruk dan tercela, seperti kersehahan batin (qalaq), kemarahan
(ghadab), kekeras-kepalaan (thaisy), maka sifat-sifat itu juga akan muncul di dalam qalab atau tindakan badan
kita.

Kata Syekh Ibn Ajibah: Wa kullu inain bil-ladzi fihi yarsyahu. Gelas biasanya akan memercikkan apa yang ada di
dalamnya. Jika di dalam gelas itu terdapat air, maka ia akan memercikkan air pula. Tak mungkin cangkir yang
berisi air bisa memercikkan susu, misalnya. Sebab gelas hanya mengeluarkan apa yang ada di dalamnya,
bukan yang lain.

Dari sini, sebuah pelajaran moral bisa kita peroleh. Yakni: Kita harus terus-menerus berusaha memperbaiki apa
yang ada di dalam qalb, hati dan rohani. Jika kita melakukan reformasi, islah, atau perbaikan terhadap apa
yang ada di dalam hati dan batin, dengan sendirinya tindakan lahiriah kita juga akan ikut menjadi baik.

Tak mungkin kita berharap terjadinya perbaikan atas tindakan seseorang tanpa ada perbaikan terhadap apa
yang ada dalam rahasia batin orang itu. Karena itu, pendekatan perubahan sosial dalam pandangan kaum sufi
biasanya adalah mulai dari dirimu sendiri. Tak ada gunanya kita mengubah struktur, sistem, dan aturan jika
batin dan hati orang-orang masih sakit.

Sebab peraturan dan sistem yang baik dan ideal bisa dikorupsi oleh orang-orang yang hati dan batinnya jahat.[]
HIKAM 34

NGAJI HIKAM #34

Bismillahirrahmanirrahim

Mari kita mulai Ngaji Hikam #34 dengan menghadiahkan Fatehah kepada Syekh Ibn Ataillah (qs), kepada ayah
dan guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu saya Nyai Salamah.

Mari kita mulai. Bismillah.


________________________

DUA JALAN MENUJU TUHAN

Syekh Ibn Ataillah berkata:

Syattana baina man yastadillu bihi aw yastadillu alaihi. Al-mustadillu bihi arafa al-Haqqa li-ahlihi, fa atsbata al-
amra min wujud aslihi. Wa al-istidalalu alaihi min adam al-wusuli ilaihi. Wa-illa fa-mata ghaba hatta yustadalla
alaihi? Wa-mata bauda hata takuna al-atsaru hiya al-lati tusilu ilaihi?

Terjemahannya:

Beda sekali antara orang yang mencari dalil dengan Dia, dan yang mencari dalil untuk (menuju kepada) Dia.
Orang yang pertama, yang mencari dalil dengan Dia, orang itu telah mengetahui Dia Yang Maha Benar, lalu
menetapkan eksistensi segala sesuatu berdasarkan wujud aslinya.

Sementara orang yang mencari dalil untuk menuju kepada-Nya, dia melakukan itu karena belum sampai kepada
Tuhan. Jika tidak demikian, sejak kapan Tuhan pernah bersembunyi lalu orang itu harus mencari dalil untuk
menetapkan wujud-Nya dan untuk sampai kepada-Nya? Dan sejak kapam Tuhan begitu jauh sehingga
membutuhkan jejak-jejak yang akan bisa membawa seseorang sampai kepada-Nya?

Apa yang dikatakan oleh Syekh Ibn Ataillah kali ini tampak rumit, terutama dalam versi terjemahannya. Tetapi
maksudanya sebetulnya sangat sederhana dan gampang dipahami. Mari kita pahami kebijaksaaan Syekh Ibn
Ataillah ini dengan dua pengertian: umum dan khusus.

Pengertian umum. Ada dua jalan menuju kepada kebenaran. Jalan yang pertama adalah jalan yang ingin saya
sebut jalan deduktif. Jalan kedua adalah jalan induktif. Jalan deduktif adalah jalan dari atas ke bawah. Jalan ini
dimulai dari pengalaman iman dahulu, dimulai dengan sikap menerima kebenaran ketuhanan. Setelah
pengalaman ini dicapai, baru orang yang bersangkutan memahami segala sesuatu berdasarkan iman yang ada
di dalam dirinya itu.

Sementara jalan induktif adalah jalan dari bawah ke atas. Jalan ini dimulai dari pengamatan terhadap segala
fenomena yang ada di dunia ini, kemudian dari sana pelan-pelan naik ke atas untuk menuju kepada Sang
Pecipta. Jalan induktif adalah jalan yang mirip dengan pekerjaan seorang ilmuwan: bergerak dari data-data
spesifik untuk kemudian menarik sebuah teori umum dan general dari sana.

Jalan deduktif adalah jalan para wali, yaitu orang yang sudah sampai kepada pengetahuan yang sejati tentang
inti kehidupan dan Tuhan, orang-orang yang sudah mencapai marifat. Orang-orang semacam ini sudah memiliki
semacam kunci untuk memahami rahasia segala sesuatu dan mampu mengerti segala hal berdasarkan
proporsinya masing-masing. Dia melihat dunia ini dengan mata spiritual: dia melihat Tuhan ada di mana-mana.
Jalan induktif adalah jalan yang ditempuh para mutakallimun atau teolog Islam. Para teolog Muslim memahami
Tuhan dengan cara yang berbeda. Para teolog memahami Tuhan dengan jalan induktif: yaitu bergerak dari dunia
yang nyata dan menjadikan dunia nyata itu sebagai jalan atau dalil menuju Tuhan.

Tentu saja beda antara dua jalan itu. Jalan deduktif adalah jalan orang-orang yang sudah sampai atau wusul
kepada Tuhan, dan dari pengalaman wusul itu dia memandang seluruh gejala dan fenomena di dunia ini. Dia
memandang dunia dengan mata Tuhan. Sementara jalan induktif adalah jalan orang-orang yang belum sampai
kepada Tuhan, sehingga mereka perlu mencari-Nya lewat ayat-ayat Tuhan yang ada di dunia ini.

Dengan kata lain, ada beda yang besar antara ilmu tasawwuf dan ilmu teologi. Ilmu tasawwuf menjumpai Tuhan
dengan jalan pengalaman spiritual, sementara jalan teologi berusaja menjumpai dan menuju Tuhan dengan
metode yang rasional. Menurut Syekh Ibn Ataillah, jalan tasawwuf lebih tinggi derajatnya ketimbang jalan teologi.

Pengertian khusus. Menurut Syekh Ibn Ajibah, ada dua jenis manusia. Yang pertama adalah manusia yang
berada pada maqam mahabbah (ahl al-mahabbah), orang-orang yang mencintai Tuhan. Yang kedua adalah
orang-orang yang ada pada maqam hikamh atau ahl al-hikmah. Manusia yang pertama adalah mereka yang
diberikan pengetahuan tentang rahasia ketuhanan, rahasia eksistensi atau segala wujud yang ada.

Sementara manusia kedua adalah orang-orang yang masih berputar-putar di kulit, belum sampai kepada inti
wujud. Dia sibuk dengan fenomena lahiriah, menelitinya, mengkajinya, mengobservasinya, tetapi dia belum
sampai kepada inti dari sesuatu yang dia observasi itu. Tuhan begiti tampak dan terang-benderang dalam
segala sesuatu, tetapi orang-orang yang ada pada maqam ini, maqam hikmah, tak mampu melihat-Nya.

Dari ajaran Syekh Ibn Ataillah ini kita bisa memetik satu hal: jalan terbaik untuk memahami dan mengerti Tuhan
adalah jalan mistik. Bukan jalan rasional. Jalan mistik atau tasawwuf berdasarkan pada pengalaman langsung
atas rahasia ketuhanan. Bukan melalui penalaran rasional.[]

HIKAM 35

NGAJI HIKAM #35

Bismillahirrahmanirrahim

Mari kita mulai Ngaji Hikam #35 ini dengan menghadiahkan Fatehah kepada Syekh Ibn Ataillah (qs), kepada
ayah dan guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu saya Nyai Salamah.

Mari kita mulai. Bismillah.

Catatan: Karena sedang ada acara malam ini, mohon maaf saya tak bisa menunggui pengajian. Silahkan dibaca
bagian Hikam kali ini dan didiskusikan di antara teman-teman di ruang komentar. Yang hendak mengajukan
pendapat, komentar dan pertanyaan, silakan.

Sekali lagi, mohon maaf.


________________________

KEDALAMAN ILMU MEMBUAT SESEORANG KIAN LUAS PANDANGAN DAN BIJAK

Syekh Ibn Ataillah berkata:

Li-yunfiq dzu saatin min saatihi al-washiluna ilaihi, wa man qudira alaihi rizquhu al-sairuna ilaihi.
Terjemahan:

Hendaklah bersedekah orang-orang yang kaya dari kekayaannya, yaitu orang-orang yang telah wusul atau
sampai kepada Tuhan. Begitu juga, orang-orang yang miskin, yang terbatas rejekinya, yang sedang dalam
perjalanan menuju kepada Dia (hendaknya mereka bersedekah juga).

Pengertian umum. Ada dua derajat bagi manusia: yang pertama ialah derajat mereka yang sedang dalam
perjalanan untuk mencari kebenaran; yang kedua, derajat mereka yang telah sampai kebenaran yang mereka
cari itu. Orang-orang yang telah sampai kepada kebenaran yang hakiki, biasanya akan menjumpai sebuah
keluasan pandangan, dan karena itu menjadi bijak.

Sementara orang-orang yang masih dalam tahap perjalanan, biasanya memiliki pandangan yang sempit,
terbatas. Itulah sebabnya, kerapkali kita menyaksikan orang-orang yang demikian itu tampak lebih kereng,
galak, dan keras, bahkan sok paling relijius ketimbang mereka yang sudah sampai kepada puncak
pengetahuan tentang kebenaran yang sejati.

Yang menarik di dalam bagian ini ialah bahwa Syekh Ibn Ataillah memakai ayat 65:7 itu dalam konteks
pengertian mistik atau tasawwuf. Bunyi lengkap ayat itu ialah: Li yunfiq dzu saatin min saatihi, wa man qudira
alaihi rizquhu fal yunfiq mimma atahu l-Lah. Terjemahan bebasnya: masing-masing orang hendaknya
bersedekah yang kaya bersedekah dari kekayaannya, dan yang miskin serta terbatas rejekinya, hendaknya
bersedekah sesuai dengan apa yang diberikan oleh Tuhan kepadanya. Kaya atau miskin, hendaknya seseorang
mau membagi sebagian dari yang ia miliki dengan orang lain.

Siapa yang kaya, dan siapa yang miskin dalam konteks tasawwuf? Dalam kalimat Syekh Ibn Ataillah di atas,
yang kaya ditakrifkan sebagai orang-orang yang telah berhasil mencapai marifat, ilmu sejati, orang-orang yang
wusul. Sementara orang-orang yang miskin adalah orang yang masih dalam tahap perjalanan.

Dalam ayat tadi, orang yang kaya, yakni orang yang telah sampai kepada kebenaran yang sejati, digambarkan
sebagai orang-orang yang memiliki kelapangan; dalam ayat tadi diungkapkan dengan frasa dzu saatin (yang
memiliki kelapangan). Sementara orang miskin, yakni yang masih dalam tahap mencari Tuhan, digambarkan
sebagai orang-orang yang memiliki kesempitan: qudira alaihi.

Dengan kata lain, kebenaran yang sejati membuat pandangan seseorang makin luas dan bijak, karena dia
mampu meletakkan segala sesuatu dan kejadian dalam tempatnya yang pas dan proporsional. Orang semacam
ini tidak gampang melakukan penghakiman kepada orang lain, termasuk menghakimi keyakinan-keyakinan
orang yang berbeda.

Sebaliknya, mereka yang masih dalam tahap perjalanan cenderung terbatas wawasannya, dan gampang
tergoda untuk melakukan penilaian yang kurang berimbang terhadap segala hal.
Masing-masing orang, kata Syekh Ibn Ataillah, akan ber-infaq atau bersedekah sesuai dengan wawasan
kebenaran yang ia miliki. Yang kaya secara spiritual akan bersedekah kepada orang lain dari kekayaan
spiritualnya itu; sementara yang miskin secara spiritual juga akan berbagi pengertian dan pemahaman sesuai
dengan apa yang ia miliki.

Dengan kata lain: Kita harus lah memaklumi fakta semacam ini, sebab setiap orang tak bisa bertindak melebihi
pengetahuan dan wawasan hidup yang ia miliki. Jika kita berjumpa dengan orang-orang yang masih terbatasan
wawasannya secara spiritual lalu mudah menghakimi orang lain, kita maklumi saja, seraya kita berikan nasihat
jika ia bersedia mendengarkan. Jika tidak, kita harus mafhum saja.
Sebaliknya, jika kita berhadapan dengan orang yang luas wawasan spiritualnya, maka hendaknya kita
mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya untuk menyesap sebanyak mungkin kebijakan dari yang
bersangkutan.

Pengertian khusus. Kata Syekh Ibn Ajibah: orang-orang yang mampu menerbangkan jiwa dan rohaninya ke
alam roh (alam al-arwah), meninggalkan alam materi yang hanya bayang-bayang semu belaka (alam al-
asybakh), ke alam kerajaan rohani (al-malakut), meninggalkan kerajaan materi (al-mulk) mereka itu akan
mengalami keluasan ilmu dan wawasan spiritual.

Sebaliknya, mereka yang membiarkan diri bersemayam dalam kesempitan wujud dan alam materi (al-akwan),
membiarkan dirinya terpenjara oleh alam simulacra atau bayang-bayang yang memenjarakan jiwa, mereka itu
tak akan dibukakan pintu menuju gudang pemahaman. Mereka harus membersihkan jiwanya terlebih dahulu
(tasfiyat al-qulub) dan melawan tendensi-tendensi buruk/jahat dalam dirinya (jihad al-nufus), sebelum bisa
menikmati keluasan rohani dan pengetahuan spiritual.

Sebuah pesan spiritual dari Syekh Ibn Ajibah (penulis kitab Iqadz al-Himam yang merupakan syarah atau
komentar atas Kitab al-Hikam) adalah sebagai berikut: Jika engkau hendak menikmati ilmu rasa (ilm al-
adzwaq), yaitu ilmu tentang kebenaran yang sejati, maka engkau harus meninggalkan ilmu yang ada di kertas
(ilm al-awraq).

Artinya: jika kita hendak terjun dalam pengalaman tasawwuf/mistik, tinggalkan teori di buku, dan jalanilah
langsung apa yang tertulis di buku itu dalam kehidupan yang nyata, melalui pengalaman langsung. Sebab teori
di buku tak akan mengubah apa-apa selain hanya menambahkan informasi ke dalam otak kita. Sementara ilmu
tasawwuf adalah ilmu rasa dan hati.

Pelajaran yang bisa kita petik dari sini ialah: Jika kita hendak memiliki keluasan pandangan dan wawasan
spiritual, kita harus bisa melonggarkan ikatan diri kita dengan hal-hal yang sifatnya material, dan belajar pelan-
pelan untuk mengasah ketajaman rohani; meninggalkan kerajaan materi menuju kepada kerajaan rohani. Di
kerajaan rohanilah orang akan memiliki pandangan yang luas dan dari sana bisa menjalani hidup yang bijak.[]

NGAJI HIKAM 36
NGAJI HIKAM #36
Bismillahirrahmanirrahim
Mari kita mulai Ngaji Hikam #36 ini dengan menghadiahkan Fatehah kepada Syekh Ibn Ataillah (qs), kepada ayah dan guru
saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu saya Nyai Salamah.
Mari kita mulai. Bismillah.
______________________
MANUSIA ADALAH WUJUD YANG BERCAHAYA
Syekh Ibn Ataillah berkata:
Ihtada al-rahiluna ilaihi bi-anwar al-tawajjuh, wa al-wasiluna lahum anwar al-muwajahah. Fa al-awwaluna li al-anwar, wa
haulai al-anwaru lahum. Li-annahum li l-Lahi la li-syaiin dunahu. Quli l-Lahu tsumma dzarhum fi khaudlihim yalabun.
Terjemahan:
Orang-orang yang masih dalam tahap perjalanan menuju Tuhan, mendapatkan jalan menuju kepada-Nya melalui cahaya
tawajjuh, cahaya menghadap. Sementara mereka yang telah sampai kepada Tuhan, mendapatkan jalan kepada-Nya
dengan cahaya muwajahah, cahaya berhadap-hadapan. Yang satu sedang mencari cahaya, yang satunya lagi cahaya
selalu menyertai mereka. Sebab mereka, golongan yang kedua itu, seluruh dirinya hanya untuk Tuhan, bukan untuk yang
lain. Katakan: Tuhan saja! Lalu tinggalkan mereka tenggelam dalam permainan. (QS 6:91).
Mari kita ulas kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah ini dengan dua pengertian: umum dan khusus.
Pengertian umum. Seseorang yang hendak mencari kebenaran yang sejati, kebenaran tentang hidup, kebenaran tentang
Tuhan, harus dituntun oleh sebuah cahaya. Seseorang yang berada dalam kegelapan, atau memiliki kegelapan dalam
dirinya, akan sulit mendapatkan jalan menuju kepada kebenaran itu. Harus ada cahaya, sekecil apapun, yang menuntunnya.
Cahaya itu sebetulnya ada pada setiap diri manusia. Persoalannya hanyalah satu belaka: manusia bersangkutan mau melihat
cahaya itu atau tidak. Sebab, sejak lahir, dalam diri manusia ada cahaya yang meneranginya untuk berjalan menuju kepada
sebuah kebenaran. Selebihnya, pilihan ada pada manusia itu: apakah mau merawat cahaya itu, memakainya, dan bahkan
mengembangkannya menjadi cahaya yang lebih kuat dan berbinar-binar.
Atau dia biarkan cahaya itu redup, dan mati sama sekali. Ketika cahaya itu telah mati, maka sejatinya manusia bersangkutan
telah mati sebagai manusia. Dia hanya seonggok daging yang tak berbeda jauh dengan binatang. Dia hanya pure matter,
materi murni yang tanpa kesadaran apapun tentang sesuatu yang gaib, sesuatu yang lebih dari sekedar materi. Itulah
sebabnya saya berkali-kali mengatakan di ruangan ini bahwa materialaisme adalah sejenis kekufuran karena membuat
cahaya dalam diri manusia redup dan mati sama sekali.
Cahaya yang ada dalam diri manusia itu, menurut Syekh Ibn Ataillah, terbagi dua. Ada yang disebut cahaya tawajjuh, dan
cahaya muwajahah. Istilah yang kelihatannya rumit ini maknanya seseungguhnya sangat sederhana. Cahaya tawajjuh
adalah cahaya pada diri manusia yang membuat dia rindu dan ingin mencari kebenaran. Dalam diri manusia, selalu ada
cahaya semacam ini. Ini semacam cahaya fitrah yang baik. Semua manusia pada dasarnya memiliki kapasitas untuk
kebaikan karena adanya cahaya tawajjuh ini.
Secara harafiah, tawajjuh artinya adalah menghadap kepada atau berjalan menuju. Seseorang yang berjalan menuju ke
sebuah tempat bisa disebut sebagai orang yang sedang tawajjuh menuju tempat itu. Cahaya tawajjuh ialah kecenderungan
alamiah pada diri manusia untuk mencari kebenaran, untuk berbuat baik kepada sesama. Ini cahaya yang diletakkan oleh
Tuhan dalam hati manusia sejak ia lahir sebagai kecenderungan alamiah yang menuntunnya kepada kebenaran.
Dalam Kristen maupun Islam, ada pemahaman spiritual bahwa manusia diciptakan dalam citra Tuhan; imago Dei, wa
nafakhtu fihi min ruhi. (QS 15:29) Dengan kata lain, dalam diri manusia pada dasarnya ada Tuhan Tuhan yang melekat
pada jiwa manusia dalam bentuk cahaya. Itulah yang disebut dengan cahaya tawajjuh.
Cahaya muwajahah adalah cahaya pengetahuan tentang kebenaran yang sejati yang telah dicapai oleh manusia. Seseorang
yang telah berhasil mendidik jiwanya, mereformasinya, dan menjadikannya sebagai jiwa yang muthmainnah, jiwa yang
tenang karena telah mengetahui ilmu rahasia hidup, ilmu ketuhanan yang sejati, orang itu akan berhasil menyalakan cahaya
muwajahah dalam dirinya.
Muwajahah secara harafiah artinya ialah berhadap-hadapan, face-to-face, tte--tte. Seseorang yang telah berhasil
menyalakan cahaya muwajahah dalam dirinya adalah seperti seseorang yang bisa bercakap-cakap langsung dengan Tuhan,
muwajahah.
Pengertian khusus. Menurut Syekh Ibn Ajibah, cahaya tawajjuh adalah cahaya Islam dan Iman. Sementara cahaya
muwajahah adalah cahaya Ihasan. Sebagaimana kita tahu, tahap-tahap keberagamaan harus melalui tiga tangga ini: Islam,
Iman, dan Ihsan. Masing-masing tahap adalah tangga menuju kepada tahap berikutnya.
Islam adalah ketaatan fisik dalam bentuk ibadah badan. Iman adalah ketaatan atau ibadah batin dalam bentuk percaya
kepada Tuhan, malaikat, dan nabi-nabi sebagai perantara kebenaran antara Tuhan dan manusia. Sementara Ihsan adalah
sikap hati di mana sesorang merasa terus bersama Tuhan, dalam keadaan apapun. Ihsan adalah an acute sense of divine
presense, perasaan yang begitu akut dan mendalam tentang kehadiran Tuhan dalam diri manusia.
Seseorang yang sudah mencapai tahap Ihsan adalah seperti orang yang bercahaya. Dia tak butuh cahaya dari luar, sebab
dirinya, tubuhnya, jiwanya, pikirannya telah malih rupa menjadi cahaya, sebab telah menjadi rohaniah.
Itulah yang dimaksud dengan ungkapan Syekh Ibn Ataillah wa haulai al-anwaru lahum. Cahaya ada pada mereka, dalam
pengertian mereka telah berubah menjadi tubuh yang bercahaya. Orang semacam ini, kemanapun ia pergi, dia secara
otomatis akan menjadi lilin untuk lingkungan di sekitarnya dan mendatangkan rasa damai dan ketenteraman.
Sementara orang-orang yang masih dalam tahap Islam dan Iman saja, mereka baru dalam proses mencari cahaya tentang
kebenaran yang sejati. Orang-orang ini belum menjadi cahaya, dan karena itu membutuhkan bimbingan dari orang lain yang
telah bercahaya.
Pelajaran yang bisa kita petik dari sini ialah: manusia pada dasarnya adalah wujud yang bercahaya. Dia bisa menerangi
kegelapan di sekitarnya. Tetapi ini tergantung pada manusia yang bersangkutan. Dia bisa merawat cahaya itu dan
membesarkannya, tetapi dia bisa juga memadamkan cahaya itu dan ia akan merosot menjadi sekedar manusia zombie
belaka.
Manusia yang bercahaya akan menebarkan cahaya harapan dan optimisme bagi lingkungan sekitar. Sementara manusia
yang telah redup cahaya jiwanya, akan menebarkan ketakutan dan teror untuk lingkungannya. Teroris yang sebenarnya ialah
dia yang telah redup dan mati cahaya dalam jiwa dan rohaninya![]

NGAJI HIKAM 37
NGAJI HIKAM #37

Bismillahirrahmanirrahim

Mari kita mulai Ngaji Hikam #37 ini dengan menghadiahkan Fatehah kepada Syekh Ibn Ataillah (qs), kepada
ayah dan guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu saya Nyai Salamah.

Mari kita mulai. Bismillah.


______________________

AWAL PERJALANAN MISTIK: MELAKUKAN OTOKRITIK

Syekh Ibn Ataillah berkata:

Tasyawwufuka ila ma bathana fika min al-uyub khairun min tasyawwufika ila ma hujiba anka min al-ghuyub.

Terjemahan:

Kegigihanmu untuk meneliti aib dan kelemahan yang tersembunyi dalam dirimu jauh lebih baik daripada
kegigihanmu untuk mengetahui pengetahun-pengetahuan rahasia yang tersembunyi darimu.

Mari kita telaah kebijaksanaan yang asyik dari Syekh Ibn Ataillah ini dengan dua pengertian: pengertian umum
dan khusus.

Pengertian umum. Perjalanan menuju kepada kebenaran yang sejati, menuju kepada Tuhan, menuju kepada
marifat, sejatinya dimulai dari langkah yang amat sederhana, yaitu melakukan penelitian atas kelemahan-
kelemahan dan aib yang mengendap dalam diri kita. Meskipun manusia memiliki cahaya tawajjuh, cahaya
fitrah yang menuntunnya kepada jalan kebenaran seperti kita bahasa dalam bagian sebelumnya, tetapi manusia
juga memiliki kelemahan bawaan.

Manusia adalah anak cucu Adam. Kita semua, sebagai keturuan Adam, mewarisi kelemahan Adam yang
membuatnya terlontar dari Firdaus, tempat keabadian dan kedamaian itu. Kelemahan Adam yang kita warisi
hingga sekarang ialah kecenderungan untuk mudah lengah, mudah tergoda, mudah tergelincir, mudah
melakukan kekeliruan.

Dalam setiap individu, selalu akan kita temukan kelemahan yang endemik ini. Fitrah manusia adalah fitrah
kebaikan, tetapi fitrah itu mudah terkorupsi oleh kelemahan manusia tersebut. Oleh karena itu, permulaan untuk
melakukan perjalanan mistik adalah kesediaan untuk meneliti terus kelemahan dan aib itu. Dengan kata lain,
langkah awal untuk menjadi seorang sufi adalah otokritik: menelaah dan mengkritik diri sendiri.

Syekh Ibn Ataillah bahkan menegaskan: kesediaan untuk menelaah kelemahan-kelemahan diri sendiri itu jauh
lebih baik daripada rahasia-rahasia ketuhanan yang hendak diburu oleh seorang sufi. Sebab, ilmu tentang
kesejatian hidup, tentang rahasia ketuhanan, tentang marufat, sebetulnya merupakan hasil dari langkah awal
itu, yakni otokritik. Tanpa langkah awal tersebut, tahap marifat itu tak akan kita capai.

Apa yang dikemukakan oleh Syekh Ibn Ataillah ini bisa kita terapkan sebagai sebuah kebijaksanaan dalam
kehidupan sehari-hari pula. Keberhasilan seseorang dalam mencapai kebahagiaan hidup dimulai dari langkah-
langkah kecil seperti kesediaan melihat kelemaan diri sendiri. Dengan melihat kelemahan itu, kita siap
melangkah ke tangga berikutnya: yaitu memperbaiki diri, self-reformation.
Kecenderungan yang alamiah pada manusia biasanya ialah self-denial, menolak mengakui kesalahan, dan
melemparkan kesalahan pada orang lain. Manusia memang selalu memiliki kecenderungan untuk lebih mudah
melihat kekurangan pada orang lain, seraya mengabaikan kelemahan pada dirinya sendiri.

Ini bisa kita jelaskan dari sudut psikologis. Menyadari bahwa seseorang melakukan kesalahan menimbulkan
rasa sakit pada dirinya. Kesadaran bahwa seseorang melakukan kekeliruan adalah seperti sebuah tamparan
kejiwaan yang menimbulkan ketidak-nyamanan dalam batinnya. Sebagaimana manusia dengan refleks alamiah
mencoba menghindari tamparan fisik yang menimbulkan ketidak-nyamanan pada tubuhnya, begitu pula ia
dengan otomatis ingin menghindari ketidak-nyamanan batin dengan melemparkan kesalahan keluar dari dirinya.
Inilah asal-usul dari sikap self-denial (menolak mengakui berbuat salah) itu.
Untuk sementara, menolak mengakui kesalahan pada diri sendiri mungkin menimbulkan perasaan nyaman dan
aman. Tetapi itu perasaan palsu. Sebab manakala sikap ini secara akut diderita oleh seseorang, dia akan
menghadapi kenyataan pahit di ujung perjalanan: yaitu ledakan kesalahan demi kesalahan yang tak pernah
diakuinya pada tahap-tahap sebelumnya. Seperti sebuah bisul yang lama-lama tak tertahankan dan akhirnya
pecah juga.

Untuk menghindarkan ledakan di ujung ini, tak ada cara lain kecuali seseorang mencicil perbaikan dengan
mengakui kesalahan secara pelan-pelan, dan memperbaiki kesalahan itu dengan pelan-pelan pula. Dengan
tindakan seperti ini, kita akan hidup secara benar, baik, dan tepat. Dengan hidup secara baik, kita akan
menikmati sebuah kebahagiaan. Sebab tak ada yang mengganggu dan menimbulkan kesengsaraan pada batin
manusia melebihi perbuatan yang salah.

Pengertian khusus. Kelemahan dan cacat manusia itu bermacam-macam. Ada kelemahan jiwa (uyub al-nafs).
Ada kelemahan hati (uyub al-qalb). Dan ada kelemahan roh (uyub al-ruh). Kelemahan jiwa tergambar dalam
kecenderungan manusia untuk bisa lalai karena kegandrungan yang berlebihan pada hasrat-hasrat jasmani:
makan, minum, seks, rumah yang mewah, dsb.

Hasrat-hasrat ini tidak merupakan dosa pada dirinya. Dalam kadar yang wajar, hasrat ini justru penting untuk
menegakkan wujud manusia sebagai badan dan wadag. Tetapi, dalam dosis yang tak terkontrol, hasrat-hasrat
itu bisa destruktif. Dan karena itu, manusia harus siap melakukan self-monitoring untuk mengendalikan kadar
hasrat itu agar tidak mbedhal atau lari tunggang-langgang.

Kelemahan hati terlihat dalam keinginan akan hal-hal yang agak abstrak setelah hasrat elementer yang
pertama seperti makan-minum-seks terpenuhi. Mislanya, hasrat akan kekuasaan, pengakuan, perasaan tinggi
hati dan sombong karena kekuasaan yang ada pada seseorang, dengki, dsb. Perasaan-perasaan semacam ini
jelas bisa berdampak destruktif pada manusia.

Sementara roh kita juga memiliki kelemahan pula, seperti keinginan untuk tampak saleh dan relijius di mata
orang lain, hasrat untuk medapatkan kemuliaan spiritual (karamat) dari Tuhan, dsb. Termasuk dalam
kelemahan roh adalah menyembah Tuhan dengan pamrih mendapatkan sorga dan bidadari yang cantik.

Pamrih rohaniah semacam ini bagi orang umum mungkin bukan suatu kelemahan yang serius. Tetapi bagi
orang-orang yang telah naik kelas dan mencapai maqam al-arifin, orang-orang yang mengetahui rahasia
ketuhanan, hasrat rohaniah seperti itu bisa juga destruktif, merusak.

Apa yang bisa kita petik dari sini? Manusia dikepung oleh kemungkinan salah dari segala segi: salah dalam
tindakan fisik, salah dalam tindakan jiwa, salah dalam tindakan hati, dan salah dalam tindakan roh. Karena itu,
setiap saat manusia harus dalam keadaan alert, waspada, dan mau mengakui kekeliruan jika toh akhirnya ia
melakukannya. Bukan menolak dan melemparnya kepada orang lain.
Inilah langkah awal menuju kepada perjalanan mistik yang disebut dengan tashfiyat al-nufus pembersihan jiwa.
[]

NGAJI HIKAM 38

NGAJI HIKAM #38

Bismillahirrahmanirrahim

Mari kita mulai Ngaji Hikam #38 ini dengan menghadiahkan Fatehah kepada Syekh Ibn Ataillah (qs), kepada
ayah dan guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu saya Nyai Salamah.

Mari kita mulai. Bismillah.

Catatan: Mohon, malam kemaren, malam ini dan besok malam, saya memiliki acara secara berturut-turut,
sehingga tak bisa menunggui teman-teman. Sampai bertemu pada Kamis malam di Ngaji Hikam #40.
______________________

JIKA KITA MENDEKAT KEPADA KEBENARAN, IA AKAN BERGEGAS MENJEMPUT KITA

Syekh Ibn Ataillah berkata:

Al-Haqqu laisa bi-mahjubin anka, innama al-mahjubu anta an al-nadzari ilaihi. Idz laW hajabahu syaiun la-
satarahu ma-hajabahu. Wa law kana lahu satirun la-kana li-wujudihi hasirun. Wa-kullu hasirin li-syaiin fa-huwa
lahu qahirun. Wa-huwa al-Qahiru fawqA ibadihi.

Terjemahan:

Tuhan, Sumber Kebenaran itu, tak pernah terhijab atau terhalang darimu. Melainkan yang terhalang ialah kamu
yang tak mampu melihat-Nya. Sebab, jika Dia bisa dihijab atau dihalangi oleh sesuatu, maka sesuatu itu telah
menutupi-Nya. Jika ada sesuatu yang bisa menutupi-Nya, maka wujud-Nya jelas memiliki batas. Setiap sesuatu
yang bisa menutupi dan membatasi sesuatu yang lain, maka sesuatu itu telah berkuasanya atasnya. Sementara
Dia adalah Dia yang berkuasa atas segala sesuatu.

Mari kita renungkan kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah yang sangat mendalam ini melalui dua pengertian: umum
dan khusus.
Pengertian umum. Sebagaimana sudah pernah kita baca dalam bagian sebelumnya, Kebenaran dengan K
besar (yakni kebenaran sejati yang bersumber dari Tuhan) tidak pernah bisa dihijab, disembunyikan atau diutup-
tutupi. Kebenaran Tuhan adalah seperti matahari: ia sulit disembunyikan dari siapapun. Begitu matahari terbit,
semua orang akan melihatnya, kecuali orang-orang yang menolak melihatnya.

Jika kita tak mampu melihat matahari kebenaran tersebut, masalah tidak terletak pada Kebenaran itu, melainkan
ada pada kita yang tak mau, tak mampu, atau pura-pura tak melihat kebenaran itu. Akhirnya, kita tak
menyadarinya dan terhalang daripadanya. Jika manusia melakukan tindakan aktif untuk mendekat kepada
Kebenaran itu, maka Kebenaran itu akan bergegas menuju kepadanya.

Seperti disebutkan dalam sebuah hadis qudsi yang terkenal, riwayat sahabat Anas ibn Malik, di mana Tuhan
berfirman (melalui Nabi): Jika seorang hamba mendekat kepada-Ku satu depa, Aku akan mendekat kepadanya
satu lengan. Jika dia mendekat kepada-Ku satu lengan, Aku akan mendekat kepadanya dengan satu bentangan
tangan. Jika dia mendekat kepadaku dengan berjalan, Aku akan mendekat kepadanya dengan bergegas.
Dengan kata lain, jika ada inisiatif dari kita untuk mendekat kepada Kebenaran, mau mencarinya, dengan
sendirinya akan terhampar banyak jalan yang menuntun kita ke sana. Kecepatan Kebenaran itu menjemput kita
jauh lebih lekas dan cepat ketimbang inisiatif kita sendiri. Syaratnya sata saja: kita siap membuka diri dan mau
mendekai Sumber Kebenaran itu.

Jika kita membuka diri kepada Tuhan, maka Dia akan mendekat kepada kita, dengan kecepatan yang jauh lebih
lekas ketimbang kecepatan kita sendiri dalam mendekati-Nya. Begitu kita menyiapkan diri untuk menerima
Kebenaran, dengan sungguh-sungguh, maka Kebenaran itu akan datang kepada kita dalam bentuk hikmah
atau pemahaman tentang rahasia ketuhanan. Kuncinya ada di kita. Inisiatif sepenuhnya berada di tangan
manusia.

Begitu ada inisiatif dari pihak manusia, maka Tuhan akan bergerak menuju kepadanya, dan yang terjadi
berikutnya ialah semacam proses klek di mana kehendak manusia bertemu dengan kehendak Tuhan. Pada
titik itu, seseorang akan mendapatkan pengetahuan yang sejati tentang rahasia hidup, tentang rahasia
ketuhanan. Pada titik itu, dia akan mampu melakukan hal-hal besar yang pada mata orang lain tampak seperti
sebuah keajaiban.

Tak ada sesuatu apapun yang bisa menghalangi Kebenaran, sebab dia seperti matahari yang terang-
benderang. Yang bisa menghalangi hanya keengganan kita untuk melihatnya. Pada manusia memang sering
kita jumpai kelemahan berikut ini, yaitu kebandelan, ngeyel, recalcitrance. Sikap ngeyel itu diungkapkan
dalam ayat ini: Inna l-insana ladzalumun kaffar (QS 14:34). Saya ingin menerjemahkan ayat ini sebagai berikut:
Sesungguhnya manusia itu sering keliru tempat dan ngeyel.

Ngeyel ialah sikap keras-kepala di mana seseorang melihat sebuah kebenaran dalam hidup, tetapi dia
menolak untuk menerimanya, mengakuinya. Kita mungkin pernah mengalami momen-momen semacam ini
dalam hidup: kita tahu bahwa jalan yang harus kita tempuh untuk meraih sesuatu adalah jalan A atau B, karena
itulah jalan yang benar. Tetapi karena ke-ngeyel-an kita, kita menolak untuk menempuhnya. Tentu saja, kita
akhirnya gagal. Dan kita sudah bisa menebak kegagalan itu dari awal. Tetapi kita tak mau mengakui.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita mungkin pernah mengalami situasi berikut ini: Kita tahu bahwa untuk
mencapai kebahagiaan dalam hidup, kita harus berlaku jujur dalam setiap hal yang kita kerjakan. Tetapi, entah
oleh pengaruh apa, mungkin karena kelemahan bawaan manusia yang cenderung lengah, seperti pernah kita
bahas dalam bagian sebelumnya, kita menempuh jalan lain: jalan yang tak jujur, dengan anggapan bahwa jalan
itu akan mempercepat kita untuk sampai kepada tujuan.

Memang benar ada hal-hal di mana kebenaran dalam situasi tertentu dalam hidup sulit diketahui, seperti saat
kita berhadapan dengan pilihan-pilihan yang dilematis. Tetapi ada situasi lain di mana kita tahu jalan A adalah
jalan yang tepat, meskipun tampak lama dan lambat. Tetapi jalan itu akan membawa kita kepada kepuasan batin
di ujung perjalanan. Tetapi dengan sikap ngeyel kita menolaknya.

Pengertian khusus. Wujud yang hakiki adalah Tuhan. Wujud-wujud yang lain adalah wujud derivatif; maksudnya,
wujud yang mendapatkan berkah kewujudannya dari Tuhan, seperti sinar bulan yang sebetulnya bukan sinar
yang berasal dari dalam dirinya. Sinar bulan adalah sinar derivatif: sinar yang sumbernya berasal dari matahari.
Bulan sendiri tidak memiliki cahaya dan sinar.

Begitu juga dengan manusia dan makhluk-makhluk yang lain. Wujud segala sesuatu adalah wujud yang semu,
derivatif. Hanya wujud Tuhan lah yang hakiki. Begitu juga kebenaran: hanya kebenaran sejati yang berasal dari
Tuhan adalah kebenaran yang sesungguhnya. Karena itu, wujud kebenaran hakiki yang berasal dari Tuhan tak
mungkin tertutup atau terhijab oleh kebenaran-kebenaran yang lain.
Ibn Ajibah mengutip kata-kata gurunya (kemungkinan Syekh al-Dirqawi): Tak ada yang bisa menghalangi dan
menghijab manusia dari Tuhan kecuali waham atau bayang-bayang semu. Apa yang disebut waham pada
dasarnya hanyalah sesuatu yang tak memiliki wujud yang nyata.

Pelajaran spiritual yang bisa kita petik dari sini ialah bahwa kemungkinan untuk memahami Kebenaran Yang
Sejati, kebenaran ketuhanan, terbuka kepada siapa saja. Tugas kita hanyalah menyiapkan semacam kondisi
spiritual untuk menerima kebenaran itu.

Kebahagiaan hidup adalah kondisi yang bisa dialami oleh siapa saja. Yang menjadi soal hanyalah satu belaka:
apakah kita menyediakan diri, membuka diri kepada kebahagiaan itu atau tidak. Pada akhirnya, kondisi-kondisi
kerohanian yang menentukan kebahagiaan seseorang tak tergantung pada sesuatu yang ada di luar. Semuanya
kembali kepada orang itu: Mau atau tidak?[]

NGAJI HIKAM 39
Bismillahirrahmanirrahim
Mari kita mulai Ngaji Hikam #39 ini dengan menghadiahkan Fatehah kepada Syekh Ibn Ataillah (qs), kepada ayah dan guru
saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu saya Nyai Salamah.
Mari kita mulai. Bismillah.
______________________
DARI MANUSIA-JASAD MENUJU MANUSIA-ROHANI
Syekh Ibn Ataillah berkata:
Ukhruj min awsafi basyariyyatika an kulli wasfin munaqidin liubudiyyatika, li-takuna li nida al-Haqqi mujiban, wa min
hadratihi qariban.
Terjemahan:
Keluarlah dirimu dari sifat-sifat kemanusiaanmu, dari sifat-sifat yang berlawanan dengan kedudukanmu sebagai seorang
hamba Tuhan. Agar dengan demikian engkau bisa mendengar dan merespon panggilan Kebenaran, dan dekat kepadanya.
Mari kita hayati kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah ini dengan dua pengertian: umum dan khusus.
Pengertian umum. Manusia berada dalam suatu situasi dan kedudukan yang tak boleh ia lupakan: kedudukan sebagai
hamba. Inilah yang disebut dengan kedudukan ubudiyyah. Kedudukan ini mengandung sejumlah konsekwensi. Salah satu
konsekwensi terpentung ialah seseorang harus berusaha keras melawan kecenderungan-kecenderungan buruk dalam dirinya
yang berlawanan dengan posisi 'ubudiyyah itu.
Dalam diri manusia ada suatu karakter yang oleh Syekh Ibn Ataillah disebut dengan sifat-sifat basyariyyah, yaitu sifat
manusia sebagai tubuh dan jasad yang memiliki kehendak dan hasrat yang jika tak dikendalikan bisa merusak. Misalnya:
sifat basyariyyah atau kejasadan manusia meniscayakan dia untuk makan, minum, dan melakukan kegiatan seksual. Jika
hasrat semacam ini tidak dikontrol, dilepaskan begitu saja, tentu dia bisa merusak manusia bersangkutan.
Salah satu watak basyariyyah manusia yang lain ialah sifat-sifat seperti kesombongan, kedengkian, keirian, dsb. Sifat-sifat
ini jelas berlawanan dengan kedudukan manusia sebagai hamba. Sifat sombong, misalnya, jika dibiarkan tanpa di-cek dan
dikontrol, bisa membuat manusia merasa besar kepala, memandang dirunya seperti Tuhan, dan mengambil alih wewenang-
Nya. Dengan sikap seperti ini, dia sudah meninggalkan kedudukan dia sebagai seorang hamba. Ini sudah sering kita lihat
dalam sejarah kekuasaan manusia: seorang penguasa despot bertindak layaknya seorang Tuhan.
Sifat sombong hanyalah layak untuk Tuhan saja. Ini bukan berarti bahwa Tuhan akan berlaku sombong dan sewenang-
wenang dengan melanggar hukum moral. Bukan. Ajaran tentang sifat sombong yang hanya milik Tuhan ini sebetulnya
hendak mengajari manusia bahwa sebagai seorang hamba, sifat semacam itu tidak cocok. Sifat yang cocok dengan
kehambaan manusia ialah kerendah-hatian, humility.
Dengan kata lain, sifat basyariyyah dan ubudiyyah tidak saling cocok satu dengan yang lain. Sementara sifat basyariyyah
membuat manusia cenderung menuruti hasrat-hasrat buruk dalam diri manusia, kedudukan ubudiyyah atau kehambaan
manusia justru menuntutnya untuk bertindak sebaliknya: yaitu bertindak benar sesuai dengan hukum kebenaran yang
bersumber dari Tuhan.
Karena itulah, manusai harus bisa melepaskan pelan-pelan dari sifat-sifat basyariyyah itu, dan menghiasi diri dengan sifat-
sifat insaniyyah, yaitu kemanusiaan. Dengan karakter basyariyyah-nya, manusia sebetulnya tidak berbeda jauh dengan
binatang. Hanya dengan sifat insaniyyah atau kemanusiaan lah manusia memisahkan diri dari binatang, menjadi makhluk
yang bermoral, menjadi ciptaan yang dalam dirinya ada cahaya tawajjuh, cahaya fitrah yang menuntunnya kepda Yang
Maha Benar.
Pengertian khusus. Dua ciri dasar watak basyariyyah manusia yang sekaligus menjadi kelemahan pokoknya bisa
dikembalikan ke dua hal pokok. Yang pertama ialah sifat-sifat kebinatangan (akhlaq al-bahaim) seperti hasrat untuk makan,
minum, dan mencintai hal-hal keduniaan yang lain. Yang kedua adalah sifat-sifat setan, seperti sikap sombong, menolak
mengakui kebenaran (al-bathar), sikap kasar kepada orang lain (al-fazazah), kikir, jumawa, dsb.
Sifat-sifat itu biasanya disebut sebagaI cacat dan kelemahan dalam jiwa manusia (uyub al-nafs). Sifat-sifat ini, jika tidak
dihalau jauh-jauh dari rohani dan jiwa manusia, akibat yang akan timbul ialah: manusia itu akan melupakan kedudukannya
sebagai seorang hamba, dan gagal naik ke tingkatan yang lebih tinggi, yaitu menjadi insan atau manusia yang mengandung
roh ketuhanan dalam dirinya. Dia akan mandeg sekedar hanya menjadi basyar atau manusia-tubuh, bukan manusia-
rohani. Manusia-tubuh tak beda jauh dengan binatang pada umumnya.
Pelajaran yang bisa kita petik dari sini ialah: Kita harus terus-menerus bisa menghayati kedudukan kita sebagai hamba.
Kedudukan ubudiyyah yang melekat pada kita. Dengan menghayati kedudukan ini, dengan dengan sungguh-sungguh
merefleksikannya, kita akan bisa terbebas dari kondisi basyariyyah, menuju kepada kondisi insaniyyah; dari level tubuh dan
jasad belaka, menjadi roh yang memancarkan kebenaran Tuhan.[]

HIKAM 40

NGAJI HIKAM #40


Bismillahirrahmanirrahim
Mari kita mulai Ngaji Hikam #40 ini dengan menghadiahkan Fatehah kepada Syekh Ibn Ataillah (qs), kepada
ayah dan guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu saya Nyai Salamah.

Mari kita mulai. Bismillah.

Catatan: Teman-teman, ternyata malam ini saya masih ada acara lain lagi sehingga belum bisa menunggui
pengajian seperti biasanya. Sampai bertemu di Ngaji Hikam #41 Senin minggu depan. Mohon maaf.
______________________

KRITISLAH PADA DIRIMU SENDIRI

Syekh Ibn Ataillah berkata:

Ashlu kulli mashiyatin wa ghaflatin wa syahwatin al-rida an al-nafs. Wa ashlu kulli thaatin wa yaqadzatin wa
iffatin adam al-ridla minka anha.

Terjemahan:

Awal dari segala bentuk pembangkangan kepada Tuhan(maksiat), kelalaian, dan hasrat-hasrat rendah adalah
karena kita senang dengan nafsu kita. Sementara asal-usul segala ketaatan kepada Tuhan, kewaspadaan, serta
iffah (menjauhkan diri dari perbuatan yang tak patut) adalah karena kita berani melawan nafsu kita.

Mari kita hayati ajaran dari Syekh Ibn Ataillah ini melalui dua pengertian: umum dan khsuus.

Pengertian umum. Seringkali kita lengah, terpeleset dan melakukan kesalahan dalam hidup ini karena sikap
menerima keadaan seolah-olah sudah begitu dari sononya, taking things for granted. Akhirnya kita lalai, karena
menganggap bahwa segala sesuatu akan berjalan seperti apa yang kita lihat sekarang ini, tak mungkin ada
perubahan mendadak pada suatu saat.

Dalam hidup, kita memang kerap bersikap seperti itu: taking things for granted. Kita menganggap normal saja
bahwa kita memiliki kaki untuk berjalan, tangan untuk memegang sesuatu, telinga untuk mendengar, dan mata
untuk melihat. Itu semua adalah anugerah kehidupan yang sudah kita terima sejak kita lahir.
Tetapi justru karena anugerah itu sudah ada sejak awal, kita tak menganggapnya lagi sebagai hal yang berharga
dan istimewa. Kita menganggapnya sebagai hal yang sudah semestinya ada, taken for granted. Kita baru ngeh
bahwa kesemuanya itu anugerah saat anggota tubuh kita mengalami kerusakan atau menderita penyakit. Pada
momen itulah kita biasanya baru sadar bahwa hal-hal yang selama ini kita andaikan sudah ada dari sononya,
ternyata begitu berharga, dan karena itu harus dirawat dengan baik.

Banyak sekali hal semacam ini terjadi dalam hidup manusia. Orang kerap lalai, dan lalu akhirnya lengah, karena
mempunyai sikap santai, sikap nyaman di kawasan comfort zone, kawasan yang enak. Menurut Syekh Ibn
Ataillah, asal-usul kelengahan dan kelalaian adalah karena sikap-sikap semacam ini. Pada saat kita sudah
settled, tenang dengan suatu keadaan tertentu, kita merasa nyaman di sana. Kenyamanan itu membuat kita
berpikir seolah-olah segala sesuatu akan berjalan seperti itu selama-lamanya, business as usual. Keadaan
terlalu nyaman itulah asal-usul segala bentuk maksiat dan kelengahan.

Kita bisa memaknai maksiat dalam pengertian yang seluas-luasnya. Maksiat bukan sekedar kita melanggar
larangan-larangan agama dan perintahnya. Maksiat juga bisa kita maknai sebagai pembangkangan terhadap
hukum alam dan hukum masyarakat. Dengan melanggar hukum-hukum itu, kita telah melakukan tindakan
maksiat.

Salah satu hukum alam yang berlaku universal ialah kita harus melakukan ikhtiar dan usaha, agar mencapai
suatu keberhasilan dalam hidup. Kita harus bekerja untuk memungkinakn nasi dan lauk-pauk bisa tersedia di
meja makan rumah kita. Kita harus belajar dengan keras untuk menguasai ilmu dan keterampilan tertentu.
Seorang penguasa harus bertindak adil untuk meraih simpati dan kecintaan dari rakyatnya.

Itu semua adalah hukum alam dan hukum sosial yang harus kita taati dengan khusyuk dan takzim. Begitu kita
melanggar hukum-hukum tersebut, kita akan terkena karma atau akibat dari pelanggaran itu.

Manusia kerap terjatuh pada tindakan maksiat karena terlalu lama berada dalam situasi tertentu, nyaman
dengan keadaan itu, sehingga akhirnya lengah. Persis seperti seorang pengendara mobil yang menikmati jalan
mulus di tol. Jalan semacam itu memang menimbulkan rasa nyaman, tetapi saking nyamannya seseorang bisa
lengah lalu oleng dan mengalami kecelakaan.

Ajaran dari Syekh Ibn Ataillah ini membenarkan kebijaksanaan yang sudah sering kita baca dalam falsafah
Jawa, yakni ajaran eling lan waspada. Atau ajaran dalam Buddhisme Zen mengenai mindfulness atau
kewaspadaan dan menjaga kesadaran secara terus-menerus. Situasi nyaman yang dinikmati oleh seseorang
dalam hidupnya bisa menjadi semacam minuman keras yang memabukkan, lalu membuatnya hilang kesadaran,
lalu lalai, lalu terjatuh.

Pengertian khusus. Seseorang yang rida, rela, senang, nyaman, dan settled dengan nafsunya, dia akan
berhadapan dengan kemungkinan besar untuk lengah dan berbuat salah. Sementara sikap kritis terhadap
nafsu adalah pangkal dari segala keberuntungan dalam hidup, awal dari segala ketaatan kepada Tuhan dan
hukum kebenaran (truth).

Sebuah syair Arab mengungkapan pengertian ini dengan cukup baik:

Wa ain al-rida an kulli aibin kalilatun


Ka-ma anna ain al-sukhthi tubdi al-masawiya

Maknanya: Mata seorang yang sedang jatuh cinta membuat segala cela dan aib tak terlihat. Sementara mata
seorang pembenci membuat kesalahan-kesalahan kecil menjadi tampak.
Sikap terbaik untuk menjaga agar kita terus berada dalam sikap awas, waspada, tak mudah lengah adalah,
seperti diungkapkan oleh syair di atas: jangan jatuh cinta pada diri sendiri, jangan terlalu mencintai nafsu kita.
Sebaliknya, bersikaplah kritis pada nafsu itu. Dengan begitu, kita akan melihat segala bentuk kekurangan, cela,
dan aib dalam diri sendiri, sampai yang sekecil-kecilnya. Sama dengan sikap seorang pembenci yang biasanya
akan selalu mencari dan melihat hal-hal jelek pada orang lain, hingga yang sekecil-kecilnya.

Pelajaran yang bisa kita petik dari sini ialah: kit mesti bisa bersikap kritis pada diri sendiri. Be critical of yourself.
Hanya dengan cara begitu, Anda akan bisa melihat kekurangan diri sendiri secara terus-menerus. Tetapi, ini
bukan bermakna bahwa kita harus merendahkan diri sendiri, mendepresiasi nilai dan harga diri kita, self-
bashing.

Yang dianjurkan oleh Syekh Ibn Ataillah bukanlah self bashing, merendahkan diri hingga ke titik kita kehilangan
kepercayaan pada diri sendiri, hingga akhirnya mengalami kelumpuhan mental, seperti penyakit kejiwaan yang
diderita oleh orang-orang yang mengidap penyakit inferiority complex, penyakit rendah diri. Bukan ini yang
dikehendaki oleh Syekh Ibn Ataillah.

Yang dimaksudkan oleh Syekh Ibn Ataillah ialah: kritis pada diri sendiri sebatas agar kita tidak jumawa, nyaman
dalam comfort zone, lalu lengah pada kelemahan-kelemahan yang ada pada kita. Bukan menghancurkan rasa
percaya diri yang juga sangat dibutuhkan untuk menjalani kehidupan yang sehat secara mental.[]

HIKAM 41

NGAJI HIKAM #41

Bismillahirrahmanirrahim

Mari kita mulai Ngaji Hikam #41 ini dengan menghadiahkan Fatehah kepada Syekh Ibn Ataillah (qs), kepada
ayah dan guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu saya Nyai Salamah.

Mari kita mulai. Bismillah.


______________________

KECERDASAN BISA SAJA MENJAUHKAN KITA DARI TUHAN

Syekh Ibn Ataillah berkata:

Wa la-an tash-haba jahilan la yardla an nafsihi khairun min an tash-haba aliman yardla an nafishi. Fa-ayyu
ilmin li-alimin yardla an nafsihi? Wa ayyu jahlin li-jahilin la yardla an nafsihi?

Terjemahannya:

Lebih baik engkau bersahabat dengan orang bodoh yang bisa bersikap kritis pada dirinya, ketimbang dengan
orang pintar yang tak mampu melakukan kritik-diri. Apalah gunanya ilmu bagi seorang pintar yang tak mampu
melakukan kritik-diri? Dan apalah artinya kebodohan bagi seorang bodoh yang mampu bersikap kritis pada
dirinya sendiri?

Mari kita pahami kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah ini dengan dua pengertian: umum dan khusus.
Pengertian umum. Dalam bagian lalu kita sudah membaca kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah tentang asal-usul
kenapa seseorang lalai, dan kenapa seseorang terus waspada.

Sebagaimana sudah dijelaskan, asal-usul segala maksiat dan kelalaian seorang hamba adalah karena memiliki
sikap puas terhadap dirinya sendiri, tunduk pada hawa nafsunya. Sementara asal-usul ketaatan dan
kewaspadaan diri adalah karena seseorang mampu bersikap kritis pada dirinya sendiri, tak tunduk pada
comfort zone, wilayah aman.

Pada bagian ini kita akan bergerak lebih jauh dan membicarakan mengenai pengaruh-pengaruh yang
ditimbulkan oleh pergaulan sosial dan persahabatan. Menurut Syekh Ibn Ataillah, bersahabat dengan orang
yang mampu bersikap kritis pada dirinya sendiri, tak merasa sombong dengan prestasi-prestasinya, tak pongah
dengan pencapaiannya, tak merasa nyaman dengan apa yang sudah diraihnya, lebih baik daripada bersahabat
dengan orang pintar tetapi pongah, puas diri, jumawa, dan tak mampu melihat kekurangan-kekurangan pada
dirinya.

Sebab, persahabatan bisa menolong kita melakukan hal-hal positif terhadap diri kita sendiri. Lingkungan
persahabatan bekerja sebagai semacam ruang pengkondisian, ruang yang menyediakan situasi yang kondusif
bagi kita untuk mengerjakan hal-hal tertentu. Sebab sahabat-sahabat yang baik bisa memberikan moral
support kepada kita untuk berbuat baik pula. Sebaliknya, lingkungan persahabatan yang buruk dan tak
kondusif, membuat seseorang terkondisikan untuk melakukan hal-hal buruk.

Jika kita bersahabat dengan orang yang dari segi ukuran akademis bukanlah orang yang pintar, tetapi ia
memiliki sikap yang baik, yaitu mampu melakukan kritik-diri, mampu menelaah kekurangan dan aib pada dirinya,
persahabatan semacam itu jauh lebih baik ketimbang pesahabatan yang kita pupuk dengan orang yang pintar
secara akademis tetapi sombong dan jumawa.

Orang yang jumawa dan sombong biasanya cenderung (meminjam istilah Syekh Ibn Ataillah) yardla an nafsihi,
puas dengan dirinya sendiri, tunduk pada nafsunya. Orang yang memiliki sikap puas diri biasanya mengalami
kesulitan untuk melihat aib dan kekurangan pada dirinya. Bagaimana seseorang bisa melihat kekurangan dalam
dirinya jika telah merasa puas dengan apa yang telah ia perbuat?

Orang yang puas diri biasanya juga susah tumbuh dan berkembang. Sebab, seseorang mampu melakukan
perbaikan atas dirinya, dan dengan begitu mengalami perkembangan dan kemajuan, adalah disebabkan oleh
kerana ia tidak puas diri, mampu melakukan self-criticism. Sementara orang yang tak mampu melihat
kekurangan dirinya, bagaimana ia melakukan perbaikan diri, dan meraih kemajuan?

Persahabatan dengan orang-orang yang bodoh tetapi punya sikap positif untuk tak puas diri, jauh lebih baik.
Sebab dengan persahabatan itu, kemungkinan kita untuk mengalami kemajuan dan perkembangan diri jauh
lebih besar.

Ini sama dengan keadaan berikut ini: orang yang kurang pintar secara intelijensi, tetapi rajin dan tekun, jauh
lebih memiliki kemungkinan sukses ketimbang seorang yang jenius tetapi malas dan tak mau bekerja keras.
Kejeniusan seseorang seringkali sia-sia dan muspra karena yang bersangkitan tak memiliki sikap positif dalam
hidup, yakni ketekunan, konsistensi, dan dedikasi dalam pekerjaan.

Pengertian khusus. Kata Syekh Ibn Ajibah, penulis komentar atas Kitab Hikam, kebodohan yang membuat
seseorang justru ingin dekat dengan Tuhan lebih baik daripada kepintaran yang membuat seseorang jauh dari
pada-Nya.
Kenapa kepintaran dan kecerdasan bisa membuat seseorang jauh dari Tuhan? Sebab kecerdasan pada
seseorang kadang-kadang bisa menimbulkan sikap-sikap negatif, kotor dan buruk pada orang itu: kecongkakan,
kesombongan, kepongahan. Sikap-sikap semacam ini justru akan membuat seseorang jauh dari Kebenaran.

Sementara, kondisi kebodohan malah justru bisa membuat seseorang rendah hati, bersikap positif, mau belajar
terus-menerus, siap mengoreksi diri, mau melakukan self-reformation atau perbaikan diri terus menerus.

Orang-orang bijak berkata: Asyadd al-nas hijaban anil-Lahi al-ulama, tsumma al-ubbad, tsumma al-zuhhad.
Artinya: Orang-orang yang paling jauh dan terhijab/terhalang dari Tuhan adalah orang-orang yang alim, lalu
orang-orang yang rajin beribadah, dan lalu orang-orang yang zahid atau menjauhkan diri dari dunia.

Ini semua bukan berarti bahwa menjadi orang alim, abid, dan zahid adalah jelek. Bukan sama sekali. Yang
dimaksudkan dengan kata-kata bijak ini ialah bahwa keunggulan-keunggulan tertentu pada seserang, seperti
keunggulan intelektual, rajin ibadah atau sikap zuhud, bisa menjerumuskan seseorang pada sikap puas diri,
sombong, dan merasa paling tinggi daripada orang-orang lain. Sikap-sikap semacam ini pada dirinya sudah
merupakan penyakit kejiwaan yang berbahaya.

Apa yang bisa kita pelajari di sini ialah: Jangan sampai kita jumawa dengan keistimewaan yang ada pada kita.
Teruslah menyadari bahwa sesempurna-sempurnanya manusia, tetaplah ada kekurangan pada dirinya sendiri.
Kemampuan melihat kekurangan inilah yang menjadi sumber kemajuan dan kebahagiaan seseorang dalam
hidup.[]

KESIMPULAN NGAJI HIKAM #41

1. Orang yang memiliki kelebihan biasanya tergoda untuk bersikap puas diri. Ini membuat yang bersangkutan
justru susah meraih kemajuan dan perkembangan lebih lanjut, karena dia merasa telah cukup. Karena itu,
memiliki kelebihan justeru harus disadari oleh seseorang sebagai ujian ketimbang semata-mata sebuah
anugerah.

2. Bersahabat dengan orang yang secara "akademis" bodoh lebih tetapi memiliki sikap hidup yang positif,
seperti rendah hati, kemampuanmelakukan kritik diri, daripada bersahabat dengan orang-orang yang cerdas
tetapi memiliki sikap-sikap negatif, seperti kecongkakakan dan sikap pongah.

Bersahabat dengan orang pintar yang bersikap semacam ini kerap membuat kita "ill-feel", kesel. Sementara
bersahabat dengan orang-orang yang tak terlalu pintar tapi bisa diajak diskusi dengan baik, tidak menggurui,
tidak sok pintar, jauh lebih enak dan nyaman.

3. Ini semua memperlihatkan satu hal: bahwa sikap hidup yang positif jauh lebih baik ketimbang sekedar
kecerdasan intelektual.

Allahumma, Ya Allah, jauhkan kami dari sikap-sikap negatif dalam hidup kami. Dan guyurlah kami dengan air
hujan sikap positif dalam menjalani kehidupan kami.

Sampai bertemu di Ngaji Hikam #42 besok malam. Mari kita tutup pengajian malam ini dengan bacaan
hamdalah.

HIKAM 42

NGAJI HIKAM #42


Bismillahirrahmanirrahim

Mari kita mulai Ngaji Hikam #42 ini dengan menghadiahkan Fatehah kepada Syekh Ibn Ataillah (qs), kepada
ayah dan guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu saya Nyai Salamah.

Mari kita mulai. Bismillah.

Catatan: Karena ada acara, malam ini saya absen, tidak bisa menunggui teman-teman dalam Ngaji Hikam.
Mohon maaf.
______________________

JIWA YAN BERCAHAYA

Syekh Ibn Ataillah berkata:

Shua al-basirati yusyhiduka qurbahu minka, wa ain al-basirati tusyhiduka adamaka li-wujudihi, wa haqq al-
basirati yusyhiduka wujudahu la adamaka wa la wujudaka. Kana l-Lahu wa la syaia maahu, wa huwa al-ana
ala ma alaihi kana.

Terjemahan:

Sinar mata-hatimu (basirah) menunjukkan kedekatan-Nya padamu. Sementara pandangan mata-hatimu


menunjukkan bahwa engkau tak ada karena hnaya Dia yang ada. Dan kebenaran dalam mata hatimu
menunjukkan keberadaan-Nya, bukan ketidak-beradaan atau keberadaanmu. Sebab, Tuhan dulu ada pada saat
segala sesuatu tak ada bersama-Nya. Dan sekarang Dia kembali seperti sediakala.

Kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah kali ini memiliki makna yang begitu mendalam. Mari kita urai pelan-pelan baik
dengan pengertian umum atau khusus.

Pengertian umum. Ada dua mata dalam setiap manusia: mata fisik dan mata hati atau mata rohani. Mata fisik
tugasnya ialah mengindera apa yang dalam filasafat Islam disebut dengan al-mahsusat, hal-hal yang bisa
diindera, sensible. Mata fisik memiliki kemampuan melihat benda-benda fisik yang bersifat tak tembus
pandang, opaque, benda-benda yang gelap (al-zulmaniyyah).

Sementara mata hati atau mata rohani memiliki kemampuan melihat makna-makna dan pengertian yang
abstrak, halus, dan bercahaya (al-maani al-lathifah al-nuraniyyah). Tetapi kedua mata ini memiliki kesamaan,
yaitu hanya bisa melihat jika ada kondisi terang, ada cahaya di sekitar. Begitu cahaya redup dan hilang,
kemampun melihat mata fisik dan mata rohani akan hilang pula.

Ketika cahaya muncul pada mata rohani kita, itu pertanda bahwa Kebenaran dan Tuhan mendekat kepada kita.
Sebab, pada momen itulah kita melihat segala hal menjadi lebih terang. Pada momen itulah kita mulai bisa
memahami rahasia-rahasia kehidupan. Dan pada momen itulah kita biasanya mengalami suatu pengalaman
unik yang membuat kita bisa bersikap bijak. Itulah momen pencerahan spiritual Buddhas moment!

Dengan kata lain, saat kita merasakan pencerahan batin, itu pertanda bahwa Tuhan mendekat pada kita.
Momen semacam ini akan membawa kebahagiaan yang mendalam bagi seseorang, seperti pengalaman keluar
dari situasi berdesak-desak ke ruang yang terbuka sehingga kita bisa menghirup kembali udara yang segar.

Tetapi mata batin manusia juga memiliki bagian yang yang sangat vital, yaitu semacam pupil atau biji mata.
Sebagaimana mata fisik kita memiliki pupil (apa yang dalam bahasa Arab disebut dengan al-ain), begitu juga
mata batin kita memiliki pupil, bagian penginderaan dalam mata yang paling vital. Jika mata rohani kita sudah
mendapatkan pencahayaan dari Tuhan, maka biji mata batin kita akan mendapatkan pengetahuan spiritual
berikut ini: pengetahuan bahwa sesungguhnya kita tidak ada, maya, sebab yang ada secara hakiki hanyalah
Tuhan saja.

Pada tahap berikutnya, mata rohani kita yang sudah mengalami pencahayaan itu akan mengalami hakikat atau
kebenaran yang sejati: bahwa hanya Tuhanlah yang Ada. Sementara yang lain, termasuk manusia, tak bisa
disebut dengan kategori apapun, baik ada atau tiada. Sebab yang ada secara sebenar-benarnya hanyalah Dia
saja. Yang lain lebur, dan pudar sama sekali di hadapan wujud Tuhan.

Dengan kata lain, seseorang yang mengalami pencahayaan rohani, akan mengalami perjalanan spiritual dalam
bentuk pengalaman rohani yang meningkat dari satu tangga ke tangga berikutnya. Pada tangga pertama,
seseorang masih menyadari wujud dan keberadaannya. Dia masih merasa sebagai manusia yang punya wujud
terpisah. Tetapi karena cahaya spiritual itu, dia mulai menyadari ada wujud lain yang lebih tinggi, yaitu wujud
ketuhanan.

Pada tangga berikutnya, dia mulai menyadari bahwa dia tidak ada. Sebab yang ada hanyalah Tuhan saja, Wujud
yang Sejati. Lalu, tahap yang paling tinggi ialah lenyapnya kesadaran tentang ada atau tiada. Dia sudah tak bisa
lagi mengatakan bahwa dirinya ada atau tidak ada. Sebab dia hanya mengenal satu wujud saja, yaitu Wujud
Tuhan.

Apakah pengalaman semacam ini ada gunanya dalam kehidupan sehari-hari? Bukankah ini hanyalah omong
kosong kaum sufi untuk menipu diri sendiri saja? Saya mengatakan: Tidak. Pengalaman rohani sangat penting
dalam kehidupan sehari-hari sebab hanya dengan pengalaman seperti inilah seseorang bisa melihat segala hal
dalam kehidupan ini dengan penuh kebijakan.

Seorang yang bersikap bijak dalam hidup sehari-hari adalah orang yang telah mengalami pencahayaan batin.
Tanpa pencahayaan itu, dia akan kehilangan orientasi hidup, kehilangan sense of direction atau arah dan
tujuan hidup yang jelas, dan akhirnya dia akan mengalami kedukaan rohani yang membuat hidupnya sengsara.

Pengertian khusus. Dalam kalangan sufi dikenal tiga tingkat pengetahuan. Ada pengetahuan tingkat pertama
yang disebut ilm al-yaqin. Ada pengetahuan tingkat kedua yang disebut ain al-yaqin. Dan pengetahuan paling
tinggi, yaitu haqq al-yaqin. Ilmu yang pertama adalah pengetahuan tentang adanya Tuhan melalui argumentasi
rasional (burhan). Ilmu yang kedua adalah pengetahuan tentang Tuhan melalui pengalaman langsung (al-kasyf).
Dan ilmu yang ketiga adalah tahap ketika seseorang bisa melihat langsung Kebenaran Tuhan, bukan sekedar
mengalaminya.

Kesemuanya masuk dalam kategori ilmu. Dan setiap ilmu pada dasarnya adalah cahaya yang menerangi rohani
manusia. Cahaya ini ada yang lemah, ada yang kuat, ada yang sangat kuat, tergantung pada jenis pengetahuan
yang dimiliki oleh orang bersangkutan. Makin kuat cahaya yang ada dalam rohaninya, makin mendalam
pengetahuannya tentang Kebenaran Sejati, dan dengan demikian makin bijak pula hidupnya.

Apa yang bisa kita petik dari kebijaksanaan Ibn Ataillah ini ialah satu saja: Kehidupan yang bermakna adalah
kehidupan yang dipandu oleh cahaya kebijakan. Cahaya ini tidak bisa dibeli dari luar, tetapi harus tumbuh
dalam batin dan rohani manusia melalui pengalaman spritual yang terus-menerus diasah dan ditingkatkan
setindak demi setindak.

Cahaya kebijakan inilah yang membuat kehidupan seseorang menjadi kehidupan yang bermakna dan
membahagiakan. Kehidupan yang dalam istilah filosof Yunani Plato disebut a well examined life. Kehidupan
yang diuji dan dihayati dengan sungguh-sungguh. Bukan kehidupan yang dibiarkan berlalu saja tanpa renungan,
tanpa refleksi, dan akhirnya habis, punah, mati.

Kehidupan seperti itulah yang menimbulkan kesengsaraan bagi manusia.[]


HIKAM 43

NGAJI HIKAM #43

Bismillahirrahmanirrahim

Mari kita mulai Ngaji Hikam #43 ini dengan menghadiahkan Fatehah kepada Syekh Ibn Ataillah (qs), kepada
ayah dan guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu saya Nyai Salamah.

Mari kita mulai. Bismillah.

______________________

JANGAN SEKALI-KALI BERPALING DARI TUHAN

Syekh Ibn Ataillah berkata:

La tataadda niyyatu himmatika ila ghairihi, fa al-karimu la tatakhattahu al-amalu. La tarfaanna ila ghairihi
hajatan huwa muriduhu alaika. Fa-kaifa yurfau ila ghairihi ma kana huwa lahu wadlian.

Terjemahan:

Janganlah sekali-kali niatmu melampaui Dia dan berpaling kepada orang lain. Sebab, Tuhan yang murah hati
tak akan membuat kecewa suatu harapan (yang diarahkan kepada-Nya). Janganlah sekali-kali engkau
memanjatkan kepada orang lain suatu harapan yang hanya bisa dipenuhi oleh Tuhan. Bagaimana mungkin
sebuah harapan dipanjatkan kepada orang lain, padahal Dia lah yang menciptakannya?

Mari kita telaah kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah ini dengan dua pengertian: umum dan khusus.

Pengertian umum. Salah satu dimensi penting dalam kehidupan seorang beriman adalah doa atau
memanjatkan suatu harapan kepada Tuhan. Sebagaiamana pernah dijelaskan dengan panjang lebar oleh Syekh
Ibn Ataillah dalam bagian yang terdahulu, doa kita arahkan kepada Tuhan bkan karena semata-mata kita
berharap apa yang menjadi isi doa kita itu terkabulkan. Kita berdoa karena itulah pertanda bahwa kita adalah
seorang hamba. Doa adalah indikasi kedudukan kita sebagai makhluk yang sudah seharusnya mengabdi
kepada Sang Khalik.

Sikap yang tepat dalam kehidupan seorang beriman adalah menghindarkan diri sebisa mungkin untuk
bergantung kepada selain Tuhan. Tempat bergantung yang paling baik adalah Tuhan. Tak ada yang lain.
Dengan menhindarkan diri dari ketergantungan kepada orang lain selain Tuhan kita akan bisa mewujudkan
sebuah sikap yang secara mentah lebih sehat: yaitu mandiri, dan hanya bergantung kepada Tuhan saja. Sebab,
ketergantung kita kepada orang lain akan menciptakan ketergantungan yang mengurangi otonomi kita.

Hidup yang sehat adalah hidup yang otonom: tak bergantung secara berlebihan kepada kebaikan orang lain.
Dalam situasi tertentu, kadang-kadang ketergantungan semacam itu membuat kita merasa menjadi budak bagi
orang lain. Kita menjadi berhutang budi kepada orang lain. Kita merasa tidak nyaman. Kita merasa sungkan.
Dengan melepaskan diri dari ketergantungan kepada orang lain, dan hanya mengarahkan ketergantungan
semata-mata kepada Tuhan saja, kita menjadi merdeka.

Salah satu tujuan pokok menjalani kehidupan mistik/sufi adalah menata sikap hidup yang tepat agar kita menjadi
manusia yang merdeka secara rohani, kejiwaan, tidak menjadi budak kebaikan orang lain yang bisa
melumpuhkan mental kita. Hidup yang membahagiakan bisa kita capai saat kita merasa merdeka dari
ketergantungan kepada orang lain. Perasaan merdeka itulah yang membuat kita tak takut berkata benar kepada
orang lain manakala diperlukan.

Ini bukan berarti bahwa kita tak boleh meminta pertolongan dari orang lain, bahwa kita tak boleh menjalani
kehidupan gotong royong, saling menolong dalam masyarakat. Bukan itu yang dimaksudkan di sini. Kehidupa
tolong menolong tentu sangta baik. Tetapi tergantung pada pertolongan orang lain sehingga menghilangkan
rasa kemerdekaan kita sendiri sebagai manusia, itulah yang harus dihindari. Jangan sampai pertolongan orang
lain menjadi satu-satunya tempat bergantung kita.

Sebagaimana dikatakan oleh Imam Ghazali: al-insan abd al-ikhsan. Manusia bisa menjadi hamba bagi
kebaikan orang lain. Hutang budi yang berlebihan bisa membiat kita secara mental kehilangan harga diri dan
menjadi budak dari orang lain.

Pengertian khusus. Sebagaimana kita ketahui, segala hal selain Tuhan adalah khayalan semata, kenyataan
semu. Jika dalam satu titik dalam kehidupan kita, kita merasakan sutau keadaan yang kurang menyenangkan,
merasakan penderitaan, merasakan suatu hajat atau kebutuhan yang begitu mendesak, maka kita harus bisa
menata sikap secara positif dan menghadapi keadaan itu dengan sikap rela. Bukan mencaci, dan lalu berpaling
dari Tuhan. Sebab, Tuhan dengan kemurahan dan kasih-sayangnya tak akan mengecewakan harapan kita.

Pelajaran yang hendak disampaikan oleh Syekh Ibn Ataillah di sini ialah sederhana saja: jangan berpaling dari
Tuhan, walau Anda berhadapan dengan situasi yang sulit. Hanya dengan sikap semacam inilah kita bisa terus
bersikap positif, optimis dan tetap berharap.

Sebab harapanlah yang akan membuat manusia terus terapung di permukaan, tidak tenggelam.

HIKAM 44

NGAJI HIKAM #44

Bismillahirrahmanirrahim

Mari kita mulai Ngaji Hikam #44 ini dengan menghadiahkan Fatehah kepada Syekh Ibn Ataillah (qs), kepada
ayah dan guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu saya Nyai Salamah.

Mari kita mulai. Bismillah.


______________________

JANGAN MENGORBANKAN KEMERDEKAAN KITA DENGAN MENGHAMBA KEPADA SELAIN TUHAN

Syekh Ibn Ataillah berkata:

Man la yasthiu an yarfaa hajatan an nafsihi, fa-kaifa yastathiu an yakuna laha an ghairihi rafian?

Terjemahan:

Bagaimana mungkin seseorang yang tak mampu memenuhi kebutuhannya sendiri, bisa memenuhi kebutuhan
orang lain?
Pengertian umum. Hanya Tuhan saja yang bisa memenuhi kebutuhan manusia. Tentu saja, ini bukan berarti
bahwa manusia tidak bisa menolong orang lain untuk memenuhu kebutuhannya. Manusia jelas bisa saling
membantu yang lain untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Tetapi, hanya Tuhanlah sandaran terakhir
yang bisa ditumpui harapan jika manusia sedang membuthkan sesuatu.

Oleh karena itu, sebaiknya manusia tidak bergantung kepada orang lain, sebab ketergantungan semacam itu,
seperti telah kita bahas dalam bagian sebelumnya, menjadikan manusia kehilangan otonomi dan kemerdekaan.
Tujuan akhir dalam beragama adalah membuat manusia tidak bergantung kepada siapapun kecuali pada Tuhan
itu sendiri. Dari sinilah akan lahir situasi kejiwaan yang merdeka yang menjadi ciri khas orang-orang beriman.

Salah satu cara untuk menghancurkan mental ketergantungan pada diri kita ialah dengan mengikuti
pemahaman yang diajarkan oleh Syekh Ibn Ataillah di sini: Bagaimana mungkin kita bergantung kepada
manusia lain sementara dia sendiri juga bergantung kepada orang lain? Bagaimana kita disandera oleh hutang
budi kepada orang lain sementara yang bersangkutan boleh jadi juga tersandera oleh hutang yang sama
kepada orang lain lagi? Begitulah seterusnya.

Dengan menyadari fakta seperti ini, kita akan pelan-pelan bisa membebaskan diri dari situasi ketergantungan
dan penghambaan kepada orang lain. Memusatkan ketergantungan hanya kepada Tuhan saja akan
menghancurkan mata-rantai ketergantungan kita kepada yang selain Tuhan.

Tidak seperti yang dikatakan oleh para filsuf eksistensialis Barat seperti Friedrich Nietzsche atau Jean-Paul
Sartre, beriman kepada Tuhan bukanlah untuk membuat manusia menjadi bermental budak dan menghamba
kepada Tuhan.

Penghambaan kepada Tuhan hanyalah strategi mental dan spiritual agar kita terbebas dari ketergantungan
kepada manusia lain. Percaya kepada Tuhan bukanlah untuk membenamkan dan meremehkan eksistensi
manusia. Sebaliknya, kepercayaan itu untuk memuliakan eksistensi dan wujud manusia dengan cara
membebaskannya dari ketergantungan kepada orang lain.

Tergantung kepada orang lain menciptakan kondisi jiwa yang kurang sehat. Sementar percaya dan bergantung
kepada Tuhan, jika dihayati secara tepat, bukan secara fatalistis, bisa melahirkan kondisi kejiwaan yang
merdeka. Faith in God creates freedom and autonomy.

Hal ini nampak paradoks dalam penglihatan yang sekilas, tetapi jika kita hayati dengan sebenar-benar
penghayatan sebenarnya tidak sama sekali.

Pengertian khusus. Seorang bijak berkata: man itamada ala ghairil-Lahi fa-huwa fi ghururin, li-anna al-ghurura
ma layadumu, wa la-yadumu syaiun siwahu. Sesiapa yang bergantung kepada selain Dia, yakni Tuhan, maka
dia telah terjatuh kepada sebuah tipuan dan delusi. Sebab apa yang disebut tipuan dan delusi adalah sesuatu
yang tak akan bertahan lama. Sementara itu, tak ada sesuatu yang abadi selain Dia.

Sebagaimana telah saya katakan pada bagian terdahulu, salah satu ajaran penting dalam laku mistik atau
tasawwuf adalah mengajari kita untuk mencapai situasi merdeka, tak tergantung kepada apapun selain kepada
Tuhan yang memang layak menjadi sandaran gantungan.

Ketergantungan kepada orang lain bisa mengecewakan kita, bisa menjadi sumber penderitaan, bisa menjadi
sebab kedukaan. Jika kita ini meraih kebahagiaan dalam hidup, salah satu jalan yang sangat penting untuk kita
tempuh adalah bagaimana memutuskan ketergantungan ini. Dengan memutus tali dependency itu,
ketergantungan itu, kita akan mengalami kemerdekaan mental.
Boleh saja kita secara fisik tergantung kepada orang lain, misalnya kita bekerja kepada orang lain itu dan
tergantung padanya untuk memperoleh gaji bulanan kita. Tetapi ketergantungan lahiriah itu hanyalah
ketergantungan semu belaka. Asalkan kita bisa membebaskan rohani dan jiwa kita dari ketergantungan itu, kita
akan tetap bisa menjaga kemerdeakaan kita secar rohaniah, walau secara fisik kita tampak tergantung kepada
orang lain.

Sebab manusia itu dinilai karena rohaninya, bukan karena penampakan luarnya, penampakan jasadnya.

Pelajaran yang bisa kita petik dari sini ialah: kemerdekaan itu sangat berharga bagi manusia. Jangan sampai
kita korbankan itu untuk alasan apapun. Manusia hanya layak menjadi hamba bagi Tuhan saja, bukan hamba
bagi orang lain.[]

HIKAM 45

NGAJI HIKAM #45


Mari kita mulai Ngaji Hikam #45 ini dengan menghadiahkan Fatehah kepada Syekh Ibn Ataillah (qs), kepada
ayah dan sekaligus guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu saya Nyai Salamah.
Mari kita mulai. Bismillah.
______________________

PRASANGKA BAIK ADALAH SUMBER KEBAHAGIAAN

Syekh Ibn Ataillah berkata:

In lam tuhsin dzannaka bihi li-ajli washfihi fa-hassin dzannaka bihi li-ajli muamalatihi maaka. Fa-hal awwadaka
illa husnan? Wa-hal asda ilaika illa minanan?

Terjemahan:

Jika engkau tak mampu berbaik sangka kepada Tuhan karena sifat yang intrinsic ada pada-Nya, maka berbaik
sangkalah kepada-Nya karena perlakukan baik-Nya terhadapmu. Bukankah Dia terus-terusan berbuat baik
kepadamu? Bukankah Dia memberimu nikmat yang berlimpah?

Mari kita pahami kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah ini dengan dua pengertian: umum dan khusus.

Pengertian umum. Sikap yang sehat terhadap hidup adalah berbaik sangka; berbaik sangka kepada kehidupan
kita, kepada orang-orang disekitar kita, kepada lingkungan kita, dan terlebih lagi berbaik sangka kepada sumber
kehidupan itu sendiri, yaitu Tuhan.

Dalam masa-masa sulit kadang kita memiliki prasangka buruk kepada kehidupan kita sendiri, kepada Tuhan.
Prasangka buruk tak akan mengubah situasi sulit yang sedang kita hadapi. Tetapi prasangka baik sekurang-
kurangnya memberikan tenaga psikologis yang positif pada diri kita. Prasangka positif membuat kita terus
berjalan, terus mencoba, tanpa patah semangat.

Dalam sebuah hadis qudsi yang terkenal, Tuhan berfirman: Aku (Tuhan) mengikuti prasangka hamba-Ku
terhadap-Ku. Ana inda dzanni abdi bi. Jika seorang hamba memikiki prasangka baik kepada kehidupannya, dia
akan memiliki sikap positif. Sebaliknya, jika dia memiliki prasangka negatif terhadap kehidupannya, dia akan
hanya menciptakan kesulitan bagi dirinya sendiri. Sebab, dari sikap negatif itu dia akan membiarkan dirinya
terjebak dalam pesimisme, dalam perasaan patah harapan.
Jika kita tak bisa berbaik sangka kepada Tuhan karena sifat-sifat-Nya sebagai Tuhan yang Maha Baik dan
Dermawan, sekurang-kurangnya kita berbaik sangka kepada-Nya karena kebaikan-kebaikan yang telah Dia
limpahkan-Nya kepada kita setiap hari, setiap saat. Sekurang-kurangnya kita bersyukur bahwa Dia masih terus
melimpahi kita dengan kebaika-kebaikan dalam hidup ini, baik besar atau kecil.

Berprasangka baik kepada Tuhan bisa kita lakukan dengan rasa syukur kepada nikmat-nikmat kecil yang terus
berhamburan dalam hidup kita setiap hari . Nikmat kecil itu bisa berupa momen-momen berbahagia bersama
teman dan sahabat yang baik hati, bersama anak dan isteri. Nikmat itu bisa berupa kemampuan kita menikmati
makan siang yang menyenangkan bersama kawan yang lama tak pernah kita jumpai.

Nikmat-nikmat kecil selalu bermunculan dalam hidup kita, setiap hari, bahkan setiap jam. Kita seringkali
menganggap itu semua sebagai hal yang alamiah, seolah-olah bukan hal yang istimewa. Ketidak-mampuan kita
untuk mensyukuri nikmat-nikmat kecil itu membuat kita kehilangan momen yang membahagiakan. Sebab
mensyukuri nikmat adalah sumber kebahagiaan. Mensyukuri nikmat membuat kita terus memiliki prasangka baik
kepada kehidupan kita, kepada Tuhan, walau dalam masa-masa yang sulit sekalipun.

Pengertian khusus. Ada dua maqam manusia dalam hal kemampauan berprsangka baik dan bersyukur ini. Ada
orang-orang umum (awamm) dan orang-orang khusus (khawass). Orang-orang umum biasanya bersyukur dan
berprasangka baik kepada Tuhan karena nikmat-nikmat yang dilimpahkan oleh Tuhan kepadanya. Sementara
orang-orang khawass mensyukuri dan berprasangka baik kepada Tuhan karena mereka melihat sifat-sifat
jamal atau keindahan Tuhan dalam momen apapun.

Baik dalam situasi menderita atau bahagia, mereka hanya melihat aspek jamal atau keindahan Tuhan. Mereka
ini, baik dalam masa sulit atau mudah, memiliki sikap yang sama: bahagia. Karena mereka tahu bahwa segala
sesuatu, baik yang menyulitkan atau menggemberikan dalam hidup mereka, bersumber dari sumber yang sama,
yaitu Tuhan yang Maha Baik dan Indah.

Pelajaran yang bisa kita petik dari sini ialah: pentingnya kita menjaga sikap yang stabil dalam hidup. Baik dalam
situasi yang sulit maupun gampang, seseorang selayaknya berusaha untuk bersikap sama: tenang,
berprasangka baik, tidak membiarkan dirinya tenggelam dan dikuasai oleh kedukaan.

Seorang yang menjalani laku mistik atau tasawwuf adalah orang yang melakukan kontrol atas perasaan
kesedihan dan kegembiraan, dan tak membiarkan dirinya diombang-ambingkan oleh perasaan itu. Kemampuan
untuk melakukan kontrol diri itu adalah salah satu sumber ketenangan batin dan kebahagiaan rohani.[]

HIKAM 46

NGAJI HIKAM #46

Bismillahirrahmanirrahim

Mari kita mulai Ngaji Hikam #46 ini dengan menghadiahkan Fatehah kepada Syekh Ibn Ataillah (qs), kepada
ayah dan guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu saya Nyai Salamah.

Mari kita mulai. Bismillah.


_____________________

IMAN BERARTI MEMILIKI PANDANGAN JAUH KE DEPAN

Syekh Ibn Ataillah berkata:


Al-ajabu kullu al-ajabi min-man yahrabu min-ma la-infikaka lahu anhu, wa yathlubu ma la baqaa lahu maahu.
Fa-innaha la tama al-absharu, wa lakin tama al-qulub al-lati fi al-shuduri.

Terjemahan:

Sungguh amat mengherankan orang-orang yang lari dari Tuhan yang tak mungkin ia lekang daripada-Nya,
sementara pada saat yang sama sibuk mencari sesuatu yang tak dia tak akan abadi bersamanya.
Sesungguhnya yang buta bukanlah mata, tetapi hati yang ada di dada.

Mari kita pahami kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah ini dengan dua pengertian: umum dan khusus.

Pengertian umum. Manusia kerap memiliki perangai yang aneh. Dia kerap lebih mementingkan kepuasan jangka
pendek, ketimbang kepuasan jangka pendek. Dia lebih menyukai hal-hal yang mendatangkan keuntungan yang
cepat, ketimbang hal-hal yang mendatangkan keuntungan jangka panjang. Pada manusia selalu ada kelemahan
intrinsik: yaitu penglihatan jangka pendek, short-sightedness.

Kecenderungan ini yang oleh Syekh Ibn Ataillah disebut sebagai kebutaan hati. Gejala kebutaan ini terlihat pada
kecenderungan kita untuk memburu hal-hal yang tak abadi, seraya mengabaikan Tuhan, sumber keabadian.

Ciri khas orang beriman, salah satunya, ialah kemampuan untuk menunda kepuasan jangka pendek, pada masa
sekarang, demi meraih kepuasan di masa depan yang lebih bejangka panjang. Dia mampu melihat sesuatu
yang jauh di depan, ketimbang terpenjara dalam kemasa-kinian. Masa kini adalah tubuh kita, sementara masa
depan adalah roh dan jiwa kita. Seseorang yang lebih mementingkan kepentingan tubuh, ia cenderunga melihat
hal-hal di masa kini. Dia tak mampu melihat masa depan yang jauh.

Sementara mereka yang peduli dengan rohani dan jiwanya, mampu melihat kepentingan-kepentingan yang
besar di masa depan yang panjang. Seorang beriman ialah dia yang peduli kepada rohani dan jiwanya, tidak
terpenjara semata-mata oleh tubuh kemasa-kiniannya. Wa la al-akhiratu khairun laka min al-ula, demikian
disebutkan dalam Quran. Dan akhirat (masa depan) lebih baik dari dunia (masa kini).

Dengan kata lain, ciri khas seorang beriman adalah kemampaun menunda kepuasan jangka pendek demi
meraih kepuasan yang lebih besar di masa depan. Inilah terjemahan praktis dari iman kepada sesuatu yang
gaib, alias Tuhan. Beriman kepada sesuatu yang gaib maknanya ialah seseorang mampu melepaskan diri dari
penjara dunia materi yang tak abadi, seraya mengikatkan diri pada sesuatu yang abadi, yaitu Tuhan.
Materialisme bertentangan dengan iman kepada sesuatu yang gaib, berlawanan dengan etos seorang
beragama.

Pengertian khusus. Syekh Abu al-Hasan al-Syadzili, pendiri tarekat Syadziliyyah (tarekat yang diikuti oleh Syekh
Ibn Ataillah), berkata: Ada tiga bentuk kebutaan hati. Yang pertama ialah membiarkan tubugh kita melakukan
maksiat atau pembangkangan terhadap Tuhan. Yang kedua ialah berharap terlalu banyak kepada sesuatu selain
Tuhan. Dan ketiga: berpura-pura tampak taat kepada Tuhan di hadapan manusia (al-tasannu bi-thaati l-Lah).

Dengan kata lain, kebutaan hati adalah sikap kita mengabaikan Tuhan Yang Abadi dan membiarkan diri terjebak
dalam jeratan hal-hal yang tak abadi.

Ini bukan berarti bahwa kita tak boleh memberikan perhatian kepada kehidupan di dunia ini. Sama sekali tidak.
Yang dimaksudkan oleh Syekh Ibn Ataillah di sini bukan larangan untuk melakukan ikhtiar duniawi, atau
melaksanakan tugas-tugas duniawi untuk menegakkan kehidupan pribadi dan keluarga kita. Yang dimaksudkan
ialah: meskipun kita terjun dalam kehidupan duniawi, tetapi kita tidak tenggelam di sana, hingga kita melupakan
sesuatu yang abadi.
Pengertian yang bisa kita petik di sini ialah: manusia boleh saja sibuk dalam aktivitas duniawi, tetapi tetap tak
boleh lengah, lupa pada sesuatu yang lebih penting, yaitu kehidupan kelak di akhirat. Seorang yang menghayati
semangat laku mistik atau tasawwuf mampu mengatasi penjara waktu kini sehingga bisa melihat hal-hal yang
jauh di masa depan.

Seorang sufi ialah dia yang memiliki pemandangan yang jauh ke depan, bukan orang dengan penglihatan
jangka pendek, penglihatan yang serba instan, mendadak, ad hoc.

HIKAM 47

NGAJI HIKAM #47

Bismillahirrahmanirrahim

Mari kita mulai Ngaji Hikam #47 ini dengan menghadiahkan Fatehah kepada Syekh Ibn Ataillah (qs), kepada
ayah dan guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu saya Nyai Salamah.

Mari kita mulai. Bismillah.


______________________

MANUSIA TAK HIDUP HANYA DARI SEPOTONG ROTI

Syekh Ibn Ataillah berkata:

La tarhal min kaunin ila kaunin, fa-takuna ka-himar al-raha yasiru, wa-l-ladzi irtahala ilaihi huwa-l-ladzi irtahala
anhu, wa-lakin irhal min al-akwani ila al-mukawwini, wa-anna ila rabbika al-muntaha.

Wa-ndzur ila qaulihi shalla-l-Lahu alaihi wa sallam: fa-man kanat hijratuhu ila-l-Lahi wa rasulihi fahijratuhu ila-l-
Lahi wa rasulih. Wa man kanat hijratuhu ila dunya yushibuha aw imraatin yatazawwajuha, fa-hijratuhu ila ma
hajara ilaihi. Fa-fham qawlahu alaihi al-shalatu wa al-salam: fa-hijratuhu ila ma hajara ilaihi, wa-taammal hadza
al-amra in-kunta dza fahmin, wassalam.

Terjemahan:

Janganlah engkau pergi untuk meninggalkan sesuatu di dunia ini (kawn) untuk menggapai sesuatu yang lain,
sehingga engkau akan mirip keledai penggiling gandum yang berputar-putar. Sesuatu yang engkau tuju
sejatinya adalah sesuatu yang engkau tinggalkan juga pada saat yang sama. Melainkan, tinggalkan segala
sesuatu untuk menggapai Tuhan yang mengadakan segala sesuatu itu. Sebab, segalanya akan kembali kepada
Tuhanmu.

Simaklah apa yang disabdakan oleh Nabi Muhammad (saw): Barangsiapa berhijrah untuk Tuhan dan rasul-Nya,
maka hijrahnya akan mencapai Tuhan dan rasul-Nya pula. Sebaliknya, sesiapa yang berhijrah untuk tujuan
duniawi atau untuk mempersunting seorang perempuan, maka hirahnya akan mencapai sebatas apa yang ia
tuju itu. Camkan sabda Nabi (as) itu: Hijrahnya akan mencapai sebatas apa yang ia tuju itu. Pikirkanlah hal ini,
jika engkau benar-benar memiliki kemampuan memahami. Wassalam.

Mari kita pahami kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah ini dengan dua pengertian: umum dan khusus.

Pengertian umum. Dalam kehidupan seorang beriman, konsep hijrah memiliki pengertian yang penting. Seorang
yang beriman pada dasarnya telah melakukan suatu hijrah spiritual. Hijrah ialah pindah dari suatu tempat ke
tempat yang lain. Hijrah adalah meninggalkan sesuatu yang lama menuju kepada sesuatu yang baru. Seorang
yang beriman melakukan hijrah, sebab ia masuk kepada suatu kehidupan baru, kehidupa n yang berpusat pada
Tuhan, meninggalkan kehidupan lama yang berpusat pada materi, pada hal-hal yang kasat mata.

Pada bagian ini, Syekh Ibn Ataillah mengajarkan kepada kita pengertian hijrah yang lain. Hijrah yang
sesugguhnya bagi seorang beriman bukanlah pindah dari obyek dunia yang satu menuju obyek yang lain.
Sebab, jika kita yang kita lakukan, kita hanya melakukan hijrah palsu.

Sebab, berapapun banyaknya jumlah hijrah yang kita lakukan, selama kita masih berputar-putar pada obyek-
obyek yang duniawi, kita hanya berpusing-pusing di sana. Kita hanya seperti keledai penggiling gandum yan
berputar-putar mengitari alat penggiling. Ia kelihatan bergerak, tetapi hanya di tempat. Tidak bergeser ke mana-
mana.

Jika kita benar-benar ingin melakukan hijrah yang sungguhan, maka hijrahlah, tinggalkanlah dunia, untuk
kemudian berpaling dan memusatkan diri pada Tuhan saja. Hanya dengan demikian kita bisa keluar dari
lingkaran setan. Selama kita terjebak dalam kehiduapn material saja, kita akan berpusing-pusing di sana,
terpenjara oleh pusarannya, dan akhirnya kita akan menemui jalan buntu.

Seseorang yang menjadikan kehidupan material sebagai satu-satunya tujuan dalam hidupnya, ia berlaku seperti
sebuah keledai yang berputar-putar mengelilingi poros penggiling. Dia terjebak dalam sebuah lingkaran setan
yang tak ada ujung pangkalnya. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri adalah kelaur dari lingkaran itu
dan mencari orientasi yang lebih besar, lebih luas, lebih hakiki, yaitu orientasi yang berpusat pada Tuhan.

Jika kita membatasi wawasan hidup kita pada objek-objek material sahaja, seraya mengabaikan kehidupan
rohaniah, kita sudah pasti akan menemui jalan buntu. Untuk sementara mungkin hal-hal yang bersifa duniawi
bisa memberikan kepuasan sesaat kepada kita. Tetapi dalam jangka panjang, kita akan mengalami disorientasi,
kehilangan arah, kebingungan, dan akhirnya kita akan mengalami kesensaraan rohani.

Sebuah peradaban yang hanya terserap dalam tujuan-tujuan materialistis, dan mengabaikan aspek-aspek
rohaniah, sudah tentu akan menjumpai jalan buntu. Peradaban material tentu saja penting, tetapi ia hanya
diperlukan hingga tingkat tertentu saja. Pada akhirnya, sebuah peradaban memerlukan wawasan yang
melampaui hal-hal yang non-material. Ia memerlukan wawasan rohani.

Pengertian khusus. Kata Syekh Ibn Ajibah: Seseorang yang hijrah dari objek duniawi yang satu menuju ke objek
yang lain, dia pada dasarnya hanyalah melakukan hijrah dari al-siwa, sesuatu yang selain Tuhan, menuju
kepada al-siwa atau sesuatu selain Tuhan yang lain. Dia tak benar-benar melakukan hijrah.
Hijrah yang sesungguhnya ia al-hijratu ila-l-Lah, hijrah menuju Tuhan.

Apa yang dikatakan oleh Syekh Ibn Ataillah ini jangan kita bayangkan sebagai sebuah ajaran yang elitis yang
hanya relevan untuk para orang-orang yang ingin menjalani kehidupan sufi saja. Jika Anda memiliki persepsi
semacam ini, Anda jelas salah. Ajaran ini bukanlah semata-mata ajaran sufisme, tetapi ajaran yang relavan
dalam kehidupan sehari-hari kita.

Ajaran tentang hijrah menuju Tuhan bukan sesuatu yang sulit dijangkau dalam praktek sehari-hari. Ini ajaran
yang sebenarnya sangat praktis. Inti kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah ini sebetulnya hendak mengajari kita satu
hal sederhana dalam hidup: apapun yang kita lakukan dalam hidup ini, apapun profesi yang kita kerjakan untuk
mendukung kehidupan duniawi kita, tak seharusnya kita membiarkan diri terserap pada apa yang kita kerjakan
itu, seolah-oleh hidup kita hanya untuk mengejar tujuan-tujuan yang semata-mata material dan bendawi.

Bila kita melakukan itu, kita bukan berhijrah kepada Tuhan, tetapi berhijrah kepada obejk-objek duniawi. Dengan
membiarkan diri kita terserap sepenuhnya dalam hal-hal yang sifatnya duniawi, wawasan kehidupan kita akan
menjadi sempit. Pada satu titik kita pasti akan mengalami jalan buntu. Tanda-tanda kebuntuan itu terlihat saat
kita mengalami kegundahan rohani, ketidak-nyamanan batin, merasa ada sesuatu yang kurang meskipun
kelimpahan material telah kita capai.

Pelajaran yang bisa kita petik dari sini: Manusia tidak hidup hanya dengan sepotong roti saja, melainkan dari
firman kebenaran. Manusia tidak hanya hidup dengan dunia saja, melainkan hanya dengan akhiratlah kehidupan
dia menjadi abadi dan sejati. Dan hanya kehidupan yang abadi yang mendatangkan kebahagiaan pada
manusia.

Sebab manusia diciptakan dalam citra Tuhan. Dalam diri manusia ada unsur ketuhanan yang merindukan
keabadian. Dunia tak menjanjikan keabadian, seberapa besarpun kenikmatan yang kita peroleh dari sana.
Kepuasan duniawi ada batas yang tak bisa terlampaui. Pada saat batas itu sudah tercapai, kita butuh sesuatu
yang lain di luar yang bendawi, yang duniawi. Kita butuh yang ukhrawi, yang abadi.

HIKAM 48

NGAJI HIKAM #48


Bismillahirrahmanirrahim
Mari kita mulai Ngaji Hikam #48 ini dengan menghadiahkan Fatehah kepada Syekh Ibn Ataillah (qs), kepada
ayah dan sekaligus guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu saya Nyai Salamah.
Mari kita mulai. Bismillah.
_____________________

PERSAHABATAN SPIRITUAL

Syekh Ibn Ataillah berkata:

La tashab man la yunhidluka haluhu, wa la yadulluka ala-l-Lahi maqaluhu.

Terjemahan:

Janganlah engkau berkawan dengan seseorang yang tindakan-tindakannya tak membuatmu menjadi giat dan
trengginas (untuk mendekat kepada Tuhan), dan ucapan-ucapannya pun tak menunjukkanmu kepada-Nya.

Mari kita pahami kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah ini dengan dua pengertian: umum dan khusus.

Pengertian umum. Pada bagian ini, Syekh Ibn Ataillah ingin mengulas pengaruh-pengaruh yang bisa timbul
karena sebuah persahabatan. Sebab manusia memiliki kecenderungan yang unik: dia kadang-kadang tak bisa
sepenuhnya merdeka dari pengaruh-pengaruh dari sekitarnya. Lingkungan memainkan peran yang sangat
penting dalam mendorong manusia untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

Lingkungan persahabatan bisa mendorong seseorang untuk mudah menjalani kehidupan rohaniah, atau
menjebaknya dalam kehidupan yang sepenuhnya terserap oleh hal-hal yang duniawi.
Ada orang-orang tertentu yang kehadirannya di tengah-tengah suatu komunitas membuat orang-orang yang ada
di sekitarnya merasakan energi spiritual yang begitu kuat, sehingga mereka terdorong untuk menjalani
kehidupan rohaniah yang intensif. Sementara itu ada jenis orang-orang tertentu yang kehadirannya justru
membuat orang lain merasakan kegelapan rohaniah, kegalauan batin, keresahan mental.

Ada orang-orang tertentu yang memiliki daya rohaniah yang begitu kuat, karena cahaya yang ada dalam jiwa
dan rohaninya, sehingga begitu kita mendekat kepadanya, kita merasakan pengaruh spiritual yang timbul dari
dirinya. Pengaruh spiritual itu membuat kita menjadi trengginas atau giat beribadah kepada Tuhan, menjalani
kehidupan spiritual yang khusyuk.

Ada orang-orang yang perkataannya mendorong kita untuk terus melakukan refleksi, merenung, berpikir dengan
mendalam mengenai Tuhan dan Kebenaran Sejati mengenai kehidupan. Orang-orang semacam inilah yang
layak dijadikan sahabat, sekaligus guru spiritual untuk memandu perjalanan spiritual kita menuju Tuhan.

Sementara orang-orang yang memiliki kualitas-kualitas sebaliknya, tak layak menjadi sahabat kita. Orang-orang
yang kehadirannya membuat kita justru mengalami keresahan spiritual, menebarkan pengaruh-pengaruh
negatif secara rohaniah, sudah seharusnya dijauhi. Jika kita ingin melakukan perjalanan spiritual menuju Tuhan,
kita membutuhkan fellow traveler, rekan seperjalanan yang memiliki gelombang rohani yang kurang lebih
sama dengan kita, sehingga dengan demikian perjalanan kita menjadi lebih ringan.

Ini sama saja dengan keadaan yang dihadapi oleh seorang ilmuwan dalam bidang apapun. Seorang ilmuwan
butuh komunitas dan lingkungan akademis yang kondusif, yang bisa memberikan stimulasi intelektual bagi
dirinya. Tanpa kehadiran lingkungan yang stimulatif semacam ini, seorang ilmuwan bisa mengalami keputus-
asaan, frustrasi. Sebab kerja ilmiah adalah kerja yang jauh dari keramaian, kerja dalam ruang sepi yang bisa
sangat membosankan. Tanpa kehadiran sahabat-sahabat yang bisa memantik ide-ide yang kreatif, seorang
ilmuwan akan mengalami kesulitas besar.

Demikian pula, kehidupan spiritual sebagai seorang sufi bisa sangat sepi, jauh dari keramaian masyarakat.
Kehadiran seorang sahabat yang tepat, sahabat yang memiliki gelombang rohani yang cocok, akan
memudahkan perjalanan spiritual kita.
Pengertian khusus. Dalam dunia sufi ada apa yang disebut dengan suhbah, yaitu pertemanan spiritual. Aspek
ini memainkan peran yang sangat penting dalam kehidupan spiritual seorang sufi. Bilsa seorang sufi
mendapatkan suhbah yang tepat, ia akan mendapatkan kemudahan besar dalam kehidupan spiritualnya.

Seorang sufi tak bisa menjalani kehidupan spiritual yang sukses tanpa kehadiran seorang guru. Man la syaikha
lahu fa-syaikhuhu syaithan, demikian dikatakan dalam sebuah kebijaksaan sufi. Sesiapa yang melakukan
perjalanan rohani tanpa bimbingan seorang guru, maka ia rentan akan terjerembab dalam bimbingan kekuatan
roh jahat yang disimbolkan dengan figue syetan atau iblis.

Ada empat syarat yang harus terpenuhi dalam guru sufi atau mursyid. Yang pertama: ilmu rohani yang benar
dan tepat (ilmun sahihun). Kedua: intuisi rohaniah yang tajam (dzauqun sharihun). Ketiga: focus yang terarah
kepada Tuhan saja (himmah aliyah); dan keempat: memiliki perangai dan prilaku moral-etis yang bisa benar dan
bisa diandalkan (halatun mardliyyah).

Pelajaran penting yang bisa kita petik dari sini ialah: kita harus bisa menciptakan lingkungan persahabatan yang
kuat agar tujuan kita untuk menjalani kehidupan rohani bisa berhasil. Ciptakanlah lingkungan yang berisi fellow
traveler, teman-teman seperjalanan yang bisa berbagi pengalaman-pengalaman spiritual dengan kita. Teman-
teman yang tepat dapat mempercepat perjalanan kita untuk mencapai Tuhan.

HIKAM 49

NGAJI HIKAM #49

Bismillahirrahmanirrahim

Mari kita mulai Ngaji Hikam #49 ini dengan menghadiahkan Fatehah kepada Syekh Ibn Ataillah (qs), kepada
ayah dan guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu saya Nyai Salamah.
Mari kita mulai. Bismillah.

Catatan: Mohon maaf kepada semua teman yang mengikuti Ngaji HIkam, selama seminggu ini saya memiliki
acara penuh, sehingga tak bisa menunggui pengajian ini setiap malam. Insyaallah minggu depan saya sudah
balik lagi.
_____________________

KRITIK TASAWWUF ATAS ULAMA SYARIAT

Syekh Ibn Ataillah berkata:

Rubbama kunta musian fa-araka al-ihsana minka shuhbatuka ila man huwa aswau halan minka.

Terjemahan:

Boleh jadi engkau adalah orang yang jahat, tetapi pertemananmu dengan orang yang lebih jahat darimu
membuatmu merasa lebih baik (dari orang lain yang engkau jadikan sahabat itu).
Mari kita pahami kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah ini dengan dua pengertian: umum dan khusus.

Pengertian umum. Dalam bagian lalu, kita sudah diberikan pelajaran oleh Sykeh Ibn Ataillah untuk membangun
persahabatan dengan sikap yang sangat hati-hati. Kita harus mempertimbangkan benar apakah seseorang
yang akan kita jadikan sahabat ini bisa menjadi fellow traveller, kawan seperjalanan spiritual menuju Tuhan,
atau justru malah mengganggu perjalanan itu.

Pada bagian ini, Syekh Ibn Ataillah menambahkan suatu pengertian lain yang masih berkaitan dengan
pengertian sebelumnya. Pengertian ini sangat subtil, lembut, karena menyangkut perasaan hati kita saat
bersahabat dengan orang yang kualitas moralnya lebih jelek dari kita.

Seseorang akan feeling good about him/herself, merasa nyaman dan senang jika bersahabat dengan orang
lain yang kualitas orang itu berada di bawah kita. Jika kita berteman dengan orang-orang yang lebih pintar dari
kita, mungkin kita akan merasa minder dan tak percaya diri. Tetapi berteman dengan orang-orang yang tingkat
kepintarannya lebih rendah dari kita, bisa menimbuilkan efek kenyaman pada diri kita.

Kita bisa saja merasa lebih pintar dari mereka itu, walau kepintaran kita sebetulnya tidak benar-benar tinggi
derajatnya. Hanya karena kita berteman dengan orang yang lebih bodoh, kita yang sebetulnya bodoh tampak
agak sedikit pintar atau kurang bodoh. Dan itu menyenangkan. Tetapi ini kenyamanan yang palsu, sebab
perasaan ini dibangun atas landasan yang keropos.
Lagi pula, kenyaman semacam ini tak mendorong kita untuk berbuat lebih. Saat kita berkawan dengan orang-
orang yang bodoh, kita merasa lebih pintar dari mereka, dan itu menjadikan kita kehilangan dorongan untuk
blelajar lebih keras.

Hal yang sama juga terjadi dalam kehidupan spiritual: jika kita bersahabat dengan orang-orang yang lebih buruk
maqam spiritualnya daripada kita, kita akan merasakan ihsan, kebaikan yang lebih tinggi dari orang-orang itu.
Padahal kualitas moral kita sebetulnya buruk. Kita menjadi buta akan kekurangan kita sendiri. Kita menjadi
nyaman, complacent, atas kekurangan-kekurangan kita sendiri dan tak mau melakukan koreksi diri.

Pengertian khusus. Seorang wali besar dari Persia Sahl ibn Abdillah al-Tustari (w. 896 M [semoga keridaan
Tuhan tercurah padanya]) berkata: Hendaklah engkau hati-hati agar tak bersahabat dengan tiga kelompok
manusia ini. Yang pertama: orang-orang yang sombong, sewenang-wenang dan lupa diri (al-jababirah al-
ghafilin). Kedua: para pembaca Quran yang culas dan suka menipu (al-qurra al-mudahinin). Ketiga: para
pengikut tasawwuf yang bodoh.
Syekh Zarruq, seorang wali dari Libya yang hidup pada abad ke-17 (makamnya pernah disatroni dan dibongkar
oleh kalangan salafi-wahabi pada 2012 [semoga Tuhan mengampuni mereka!]), menambahkan keterangan lebih
lanjut: Engkau juga harus berhati-hari saat berkawan dengan para ulama zahir (ulama yang hanya menguasai
ilmu syariat), sebab umumnya mereka dikuasai oleh hawa nafsu.

Syekh Ibn Ajibah berkata: Duduk bersanding dengan para ulama zahir itu jauh lebih buruk daripada duduk di
samping tujuh puluh orang awam, dan miskin dan bodoh, sebab mereka punya kecenderungan untuk hanya
mengetahui aspek lahiriah dari agama, dari syariat. Mereka juga cenderung melihat orang-orang lain yang tak
sepakat dengan mereka sebagai pihak yang salah dan sesat (khati aw dlall). Mereka berusaha keras untuk
menyangkal pandangan lawan-lawan mereka, dengan anggapan bahwa dengan begitu mereka menegakkan
kebenaran. Padahal pada hakekatnya mereka sedang menipu diri sendiri dan orang lain (yaghusy-syun).

Pelajaran yang bisa kita petik dari sini ialah: janganlah bersahabat dengan orang-orang yang levelnya di bawah
kita agar kita tak merasa diri lebih baik dan dengan demikian tak ada dorongan untuk maju.

Ini bukan berarti kita harus menjauhi orang-orang bodoh. Ini bukan berarti kita harus bersikap sombong dengan
manjauhi orang-orang yang tarafnya ada di bawah kita. Maksud anjuran Syekh Ibn Ataillah ini adalah agar kita
menghindarkan pengaruh burul. Kita boleh saja bersahabat dengan orang-orang yang bodoh asal itu tak
menimbulkan perasaan complacence atau nyaman-diri sehingga kita tak terdorong untuk memperbaiki diri.

HIKAM 50

NGAJI HIKAM #50

Bismillahirrahmanirrahim

Mari kita mulai Ngaji Hikam #50 ini dengan menghadiahkan Fatehah kepada Syekh Ibn Ataillah (qs), kepada
ayah dan guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu saya Nyai Salamah.

Mari kita mulai. Bismillah.


_____________________

DONT JUGDE A BOOK BY ITS COVER


Syekh Ibn Ataillah berkata:

Ma qalla amalun baraza min qalbin zahidin, wa-ma katsura amalun baraza min qalbin raghibin.
Terjemahannya:

Pekerjaan yang lahir dari hati yang zuhud (jauh dari pamrih duniawi) tak akan sedikit nilainya. Sementara
pekerjaan yang lahir dari hati yang penuh dengan pamrih duniawi, tak akan pernah memiliki nilai berarti.

Mari kita pahami kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah ini dengan dua pengertian: umum dan khusus.

Pengertian umum. Ada dua jenis pekerjaan: pekerjaan yang dilakukan dengan tanpa pamrih apapun kecuali
untuk Tuhan. Inilah pekerjaan seorang yang zahid, orang yang menjauhi pamrih duniawi; dan pekerjaan yang
dilakukan dengan pamrih duniawi.
Pekerjaan yang dilakukan semata-mata untuk Tuhan, walau tampak hanya sedikit, memiliki nilai yang jauh
melebihi pekerjaan yang dilakukan dengan pamrih duniawi. Walau pun pekerjaan yang terakhir ini tampak
mengagumkan dari segi penampilan fisik.
Dengan pengertian semacam ini, kita tak boleh terkecoh dalam menilai dan memandang sebuah pekerjaan.
Sebab nilai pekerjaan bukan ditentukan oleh faade atau penampilan luar. Nilai pekerjaan ditentukan oleh
sesuatu yang terhalang dari penglihatan mata publik, yaitu oleh niat yang ada di hati dan ruang batin seseorang.

Boleh jadi kita melihat pekerjaan yang secara penampakan lahir mengagumkan karena seolah-olah dilakukan
untuk membesarkan agama dan asma Tuhan, karena yang melakukannya adalah orang-orang yang memiliki
reputasi besar dalam agama, karena pekerjaan bersangkutan memuat simbol-simbol keagamaan yang sangat
kental, dsb. Tetapi jika niat pekerjaan itu tidak tepat, misalnya hanya untuk mengerek tinggi-tinggi ego kelompok,
pamer kekuatan, ia tak memiliki nilai apapun di hadapan Tuhan.

Sebaliknya, boleh jadi kita menyaksikan sebuah pekerjaan yang seolah-olah tak memiliki nilai agama sama
sekali, sebab bungkusnya sama sekali tak memuat label agama dan Tuhan, sebab yang melakukannya juga tak
dikenal sebagai tokoh-tokoh agama. Tetapi karena dilakukan dengan niat yang benar, tepat, semata-mata demi
Tuhan, semata-mata dengan niat dan hati yang jujur, tanpa pamrih yang neko-neko, pekerjaan yang
kelihatannya non-agama itu memiliki nilai yang lebih besar di mata Tuhan.

Dengan semangat dan pemahaman seperti ini, seorang beriman yang menjalani laku tasawwuf tak mudah
terpukau dan tertipu oleh penampilan lahir. Seseorang yang kesadaran dan mata rohaninya hidup dan tajam
bisa melihat sesuatu melampaui penampakan lahir. Dia tak akam tergoda untuk menilai sebuah tindakan karena
merek, label, dan sampulnya saja.

Terhadap hal-hal yang ada di dunia ini, seorang sufi memang memiliki etos atau semangat relativis, dalam
pengertian semua hal selain Tuhan di dunia ini ia pandang tak memiliki nilai yang mutlak. Hanya Tuhan saja
yang merupakan kenyataan yang sesungguhnya, kasunyatan sejati. Jika sebuah pekerjaan tidak ditambatkan
pada Tuhan, maka ia hanya sebuah simulacra, sebuah bayang-bayang semu. Pekerjaan yang benar-benar
memiliki nilai dari sudut kehidupan rohani (bukan di mata publik) adalah pekerjaan yang ditujukan semata-mata
untuk Yang Maha Mutlak.

Dengan sikap semacam ini, seorang sufi bisa terhindar dari rasa gumunan, kagetan, mudah silau oleh
gemerlap dan kecemerlangan penampilan lahir dari suatu tindakan. Dalam filosofi Jawa kita kenal kebijaksanaan
sederhana yang bunyinya: aja gumun. Filosofi ini bisa kita terjemahkan dalam bahasa yang populer sekarang:
Jangan mudah tertipu oleh sampul luar. Dont judge a book by its cover! Jangan menilai buku dari sampulnya.
Sebab belum tentu yang ada di luar mewakili seluruh kenyataan. Selalu ada kenyataan di balik kenyataan.

Pengertian khusus. Yang disebut zuhud menurut ilmu tasawwuf (mistik Islam) ialah: sikap hati yang dingin dalam
berhadapan dengan obyek-obyek selain Tuhan (burudat al-qalb min al-syai). Zuhud adalah sikap hati yang
stoic, tak tergerak oleh apapun yang sifatnya material. Seorang zahid adalah seseorang yang hatinya hanya
menghadap dan tertarik pada hal-hal yang sifatnya rohaniah, hal-hal yang tak tampak oleh mata, yang gaib.
Sebab, salah satu sifat orang beriman, seperti berkali-kali ditegaskan dalam Quran, adalah yuminun bi al-
ghaibi, mengimani sesuatu yang immaterial, tak kasat mata.

Menurut Syekh Ibn Ajibah dalam Iqadz al-Himam, syarah atas Kitab Hikam, pertanda seorang yang memiliki
sikap zuhud ialah berikut ini: bagi orang semacam ini, emas dan pasir tak memiliki nilai yang berbeda.
Keduanya, bagi orang yang zahid, adalah obyek duniawi semata. Dia bukanlah kasunyatan yang sejati,
haqiqah, kenyataan yang sesungguhnya. Orang-orang yang zahid memiliki sikap yang dalam filosofi Jawa
diungkapkan dengan istilah ini: ora kedonyan. Tidak terikat batinnya dengan dunia.

Pelajaran yang bisa kita ambil dari sini ialah: Jangan mudah menilai sesuatu berdasarkan penampakan luar.
Biasakan diri untuk bersikap relativistik terhadap hal-hal yang duniawi. Seorang beriman yang mata batinnya
hidup dan awas selalu hanya melihat sesuatu yang ada di balik penampakan lahir. Dan karena itu ia tak mudah
terkecoh
HIKAM 51

Anda mungkin juga menyukai