Anda di halaman 1dari 16

NGAJI HIKAM #1

Oleh Ulil Abshar-Abdalla


Bismillaahirrohmaanirrohiim
USAHA PENTING, TETAPI BUKAN SEGALA-GALANYA
Syekh Ibn Atailllah berkata: Min ‘alamat al-i’timad ‘ala al-‘amal, nuqshan al-raja’ ‘inda wujud al-zalal.
Terjemahan: Tanda seseorang bergantung pada amal dan karyanya adalah bahwa dia akan
cenderung pesimis, kurang harapan manakala dia mengalami kegagalan atau terpeleset.
Ini kebijaksanaan yang mendalam. Bisa dipahami dalam pengertian “khusus” menurut para ahli
mistik/tasawwuf. Atau dipahami secara awam.
Pengertian awam. Saya akan mulai dengan pemahaman yang awam dulu. Pemahaman orang-
orang biasa. Seorang yang beriman seharusnya memiliki kesadaran bahwa ia bisa mencapai
sesuatu bukan semata-mata karena pekerjaannya.
Kita berusaha, lalu berhasil. Kita bekerja, lalu sukses. Kita berdagang, lalu untung. Kita belajar, lalu
menjadi orang pintar. Dan seterusnya. Semua hasil itu jangan semata-mata kita pandang sebagai
melulu berkat usaha dan pekerjaan kita.
Kita harus menyisakan sedikit “ruang” bahwa keberhasilan kita ini jangan-jangan tidak seluruhnya
karena faktor usaha kita, tetapi juga karena ada fakor X yang kita tidak tahu. Kehidupan manusia
adalah sangat kompleks. Kita tidak bisa mengontrol seluruh faktor yang berpengaruh dalam
tindakan sosial kita.
Ada faktor-faktor yang luput dari perhitungan dan kontrol kita. Faktor ini bisa membuat usaha kita
sukses, bisa juga membuatnya gagal. Sebagai seorang beriman, kita percaya bahwa hanya Tuhan
yang berkuasa atas faktor-faktor “misterius” semacam ini. Kalau Anda ateispun, Anda tetap bisa
memahami logic di balik kata-kata bijak Ibn Ataillah ini.
Manfaat dari sikap semacam ini adalah: Anda tidak langsung pesimis dan putus asa saat gagal
mencapai suatu hasil. Jika Anda berpikir bahwa usaha Anda adalah satu-satunya faktor penentu,
saat Anda gagal, Anda boleh jadi akan “ngenes” dan sedih: Saya sudah bekerja keras, kenapa tetap
gagal?
Ajaran ini mau memberi tahu kita agar kita rendah hati.
Pengertian khusus/mistik. Ada tiga jenis pekerjaan atau amal: amal syariat, amal thariqat, dan amal
haqiqat.
Amal syariat adalah ketika Anda menyembah Tuhan sesuai dengan peraturan dan hukum agama.
Amal thariqat adalah kesadaran bahwa saat Anda menyembah Tuhan, Anda tidak sekedar
menyembah. Melainkan Anda sedang “on the journey”, sedang dalam petualangan dan perjalanan
menuju Tuhan. Amal haqiqat adalah pengalaman spiritual yang disebut dengan “syuhud” atau
“vision”.
Apa itu syuhud? Yakni: pengalaman mistik/spiritual yang hanya bisa dialami oleh seseorang yang
sungguh-sungguh menjalani dua amal sebelumnya. Dalam pengalaman itu, Anda merasa seolah-
olah berjumpa, menyaksikan (vision) Tuhan. Tentu bukan penyaksian dengan indera lahir.
Melainkan dengan indera batin.
Jangan sekali-kali Anda mengira bahwa amal syariat dan thariqat bisa langsung, secara otomatis,
membawa Anda kepada pengalaman haqiqat. Amal syariat dan thariqat adalah jalan atau wasilah
menuju ke sana. Anda harus melalui jalan itu. Tetapi Anda sampai ke puncak haqiqat atau tidak, itu
bukan sepenuhnya ditentukan oleh usaha kita sendiri, melainkan karena kemurahan (fadl) Tuhan.
Seorang yang bijak pernah berkata: Ketika seseorang telah sampai pada hakikat Islam, dia tak
mampu berhenti berusaha/ beramal baik. Ketika seseorang memahami hakikat iman, dia tak akan
mampu beramal/bekerja tanpa disertai Tuhan. Ketika seseorang sampai kepada hakikat ihsan
(kebaikan), dia tak mampu berpaling kepada selain Tuhan.
Apa pelajaran yang dapat kita peroleh dari kebijaksanaan Ibn Ataillah ini?
Pertama, kita diajarkan agar tidak merasa paling alim sendiri, saleh sendiri, Islami sendiri, karena
amalan kita. Sombong dan tinggi hati bukanlah perangai orang beriman.
Kedua, kita juga diajarkan untuk rendah hati, jangan merasa sok bahwa usaha kita menentukan
segala-galanya. Sebab perasaan sombong semacam itulah yang akan menjerembabkan kita
kepada perasaan mudah putus asa, patah hati, pesimis.
Orang beriman harus optimis terus, tak peduli keadaan apapun yang sedang mengerubuti kita!
__________________________
KESIMPULAN NGAJI HIKAM #1
Alhamdulillah, kok ini saya ngaji Hikam, daerah Bekasi (Jatiagung) langsung hujan. Padahal sudah
berhari-hari ndak hujan, hehehe... Berkah, berkah...
Seperti saya janjikan, saya akan duduk menunggui komentar dan melayani pertanyaan selama
sejam. Jadi, ngaji Hikam akan berlangsung setiap malam, Senin-Jumat, mulai jam 8-9. Setelah itu
akan saya tutup dengan kesimpulan.
Kesimpulan ngaji malam ini:
1. Banyak hal dan vaiabel dalam kehidupan ini yang tak sepenuhnya bisa kita kontrol. Jadi, jangan
sampai kita mengira bahwa jika kita sudah berbuat, sesuai dengan "prosedur" yang ada, maka hasil
pasti menyusul.
2. Amal kita bukanlah penjamin kita akan mendapatkan keselamatan di mata Tuhan. Amal penting.
Tetapi yang lebih penting lagi adalah kemurahan dan rahmat Tuhan.
3. Ajaran Syekh Ibn Ataillah yang pertama ini hendak mengajari kita untuk "rendah hati". Ini adalah
"the ethics of humility" yang sangat ditekankan dalam dunia tawawwuf atau tarekat.
Sekian. Sampai ketemu besok malam, para "santri" tersayang...
Mari kita tutup ngaji pertama ini dengan hamdalah.
Wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh

NGAJI HIKAM #2
Bismillahirrahmanirrahim
Mari, sebelum ngaji kita mulai, kita hadiahkan Al-Fatihah kepada pengarang Kitab Hikam Syekh
Ataillah, kepada ayah dan guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan kepada ibu saya Nyai Salamah.
Mari kita mulai Ngaji Hikam untuk seri kedua.
---------------------
MANUSIA KAMAR ATAU MANUSIA SOSIAL
Ibn Ataillah berkata:
Iradatuka al-tajrid ma’a iqamatillahi iyyaka fil asbab min al-syahwah al-khafiyyah. Wa iradatuka al-
asbab ma’a iqamatillahi iyyaka fi al-tajrid inhitat ‘an al-himmah al-‘aliyyah.
Terjemahannya: Kehendakmu untuk tajrid (mengisolir diri, tidak melakukan usaha), sementara
Tuhan menempatkanmu pada maqam seorang yang harus berusaha, itu adalah sebentuk syahwat
atau kesenangan nafsu yang tersembunyi.
Sebaliknya, kehendakmu untuk ikut-ikutan berusaha, padahal Tuhan memberimu maqam sebagai
orang yang seharusnya tajrid, itu adalah sebentuk kemerosotan kelas.
Kebijaksanaan Ibn Ataillah ini bisa dipahami secara awam, bisa juga secara khusus.
Pengertian awam. Manusia pada dasarnya ada dua jenis; ada manusia kamar, ada manusia sosial.
Manusia kamar ialah manusia yang maqam atau posisi ontologisnya adalah sebagai pemikir,
sebagai pengolah dan produsen ide-ide, sebagai pertapa yang menjaga kesucian diri. Manusia
seperti ini bertugas seperti, istilah Arif Budiman dulu, “cendekiawan yang berumah di angin”.
Orang yang maqamnya seperti ini, tak akan memiliki “passion” atau kesenangan untuk terlibat
dalam kehidupan sosial. Orang seperti ini oleh kalangan sufi disebut sebagai orang bermaqam
tajrid.
Sebaliknya, ada orang yang maqamnya adalah “manusia sosial”. Tugas manusia seperti ini adalah
hidup di tengah gebalau kehidupan sosial yang ramai, penuh dengan gelora perjuangan. Dia tak
cocok untuk kehidupan kontemplatif seperti yang dijalani oleh manusia jenis pertama.
Ibn Ataillah mempunyai istilah khusus untuk manusia jenis kedua ini. Yaitu, manusia-sebab,
“men/women of causes”. Yakni: manusia yang tugasnya adalah berurusan dengan usaha yang
melibatkan hukum sebab-akibat. Orang-orang ini harus bekerja, ikhtiar untuk “mamayu hayuning
bawana”, jika mau memakai istilah dalam filsafat Jawa. Yaitu: memperindah dunia.
Hannah Arendt, filsuf Yahudi itu, punya istilah yang agak-agak mirip. Ada dua jenis kehidupan,
menurut dia -- vita activa dan vita contemplativa. Yang pertama adalah kehidupan aktif: bekerja.
Yang kedua adalah kehidupan kontemplatif: merenung, berpikir, meditasi, menyepi.
Masing-masing orang harus hidup sesuai dengan maqamnya. Orang yang mestinya bekerja tetapi
menjalani kehidupan kontemplatif, dia sebetulnya tidak menjalani kehidupan yang mulia. Dia hanya
mengikuti hawa nafsunya sendiri. Cuma, ini hawa nafsu yang lembut, tersembunyi. Bukan hawa
nafsu yang terang-terangan seperti menghendaki kemewahan material.
Sebaliknya dia yang mestinya ada di maqam “manusia kamar”, tetapi ikut-ikutan terjun ke dalam
“vita activa”, dia mengalami kemerosotan kelas.
Pengertian khusus/mistik. Ini adalah pembahasan dalam ilmu tasawwuf atau mistik yang sangat
pelik. Seseorang yang masuk dalam kehidupan sufi, menikmati ketenangan batin di sana, biasanya
menghadapi dilema ini: Apakah saya boleh tinggal dalam ketengangan batin ini, menjadi “manusia
kamar” yang asyik; ataukah saya tetap harus bergaul dengan masyarakat, bekerja bersama
mereka?
Jawaban kaum sufi: Masing-masing orang punya maqamnya sendiri-sendiri. Ada orang yang
maqamnya adalah tajrid, menjadi manusia kontemptalif-spiritualis; ada manusia-sebab yang hidup di
tengah-tengah masyarakat.
Suatu hari, ada seseorang yang hendak menjalani kehidupan meditatif, menjadi sufi, lalu
mendatangi sufi besar Mesir asal Murcia, Spanyol, Abu al-Abbas al-Mursi (w. 1287 M). Sebelum
sempat dia mengatakan maksud kedatangannya, Syekh Mursi sudah mendahuluinya dengan
sebuah pembicaraan yang isinya berikut ini.
Beberapa hari sebelumnya, kata Syekh Mursi, ada seorang ahli ilmu-ilmu lahir (ilmu syariat) datang
kepadaku. Dia sudah sedikit mencicipi ilmu batin, lalu memutuskan untuk meninggalkan
pekerjaannya sebagai guru ilmu-ilmu lahir. Lalu aku berkata kepadanya: Bukan begitu caranya.
Tetaplah kamu dalam posisi yang telah diberikan Tuhan kepadamu. Pengalaman mistik yang kami
miliki akan bisa kamu capai dengan jalan yang kamu tempuh sekarang ini.
Apa pelajaran yang bisa kita petik dari kebijaksanaan Ibn Ataillah ini? Ialah bahwa masing-masing
orang memiliki kelasnya masing-masing. Orang Hindu punya istilah dharma. Masing-masing orang
punya dharma sendiri-sendiri. Orang harus hidup sesuai dengan dharma, maqam, dan kelas-
kelasnya. Jangan menyalahi kodrat, kata orang-orang.
Setiap orang tahu, dalam hatinya yang terdalam, ada di maqam mana dia. Orang tak boleh iri
kepada maqam orang lain. Masing-masing orang, seperti dikatakan wali besar Syekh Abu al-Abbas
al-Mursi itu, akan mencapai pengalaman kebahagiaan dan ketenangan batin melalui jalan dan
maqam yang diberikan oleh Tuhan kepadanya.
Dengan kata lain, kebahagiaan bisa kita peroleh jika kita hidup sesuai dengan “the real self”, hakikat
diri kita masing-masing. You are going to be happy when you become who you are.[]
NGAJI HIKAM #3

Oleh Ulil Abshar-Abdalla

Bismillahirrahmanirrahim

Sebelum mulai ngaji Hikam, mari kita hadiahkan al-Fatehah kepada pengarang Hikam
Syekh Ibn Ataillah, kepada ayah dan guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu saya Nyai
Salamah.
Mari kita mulai ngaji Hikam seri yang ketiga.
----------------------------

BISAKAH KITA MENEMBUS TEMBOK TAKDIR?


Syekh Ibn Ataillah berkata:

‫ار األ ْقدَ ار‬


َ ‫اله َم ِم الَ َت ْخ ِر ُق أسْ َو‬
ِ ‫َس َو ِاب ُق‬

Sawabiq al-himam la takhriqu aswar al-aqdar.

Terjemahannya: Kehendak kuatmu yang sudah engkau tetapkan lebih dahulu, tak akan
bisa melubangkan atau menembus tembok-tembok kepastian (taqdir) yang sudah
ditentukan Tuhan.

Kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah ini bisa dipahami secara awam, bisa juga secara
khusus/mistik.
Pengertian awam. Masalah takdir, kita tahu, adalah masalah yang pelik. Bertahun-tahun
saya (baca: UAA) bergulat dengan konsep ini, mencoba memahaminya. Baru sekarang,
mulai agak terang sedikit pada saya apa pengertian takdir itu.

Orang modern biasanya mengidap semacam “sindrom mental” yang ingin saya sebut
sebagai “promethean syndrome”. Promethues adalah tokoh dalam dongeng Yunani yang
menggambarkan sosok yang percaya pada kemampuan diri sendiri, kehendak bebas, untuk
mengubah sesuatu.

Dengan perkembangan sains dan teknologi yang luar biasa dahsyat, manusia merasa bisa
melakukan apa saja. Dia merasa dirinya sebagai “the creator of his/her own destiny”. Dia
bisa menjadi pencipta takdir dan nasibnya sendiri.

Pengertian modern yang promethean semacam ini tidak seluruhnya salah. Tetapi agama
punya perspektif yang berbeda. Mari kita dengarkan perspektif “tradisional” agama seperti
diungkap dengan indah dalam aforisme (kata mutiara) Ibn Athaillah ini. Kata dia: Ketetapan
hatimu untuk mengubah sesuatu tetap tak akan bisa mengubah takdir.

Pernyataan ini seolah-olah berbau fatalistis, menyerah kepada takdir, ketetapan Tuhan.
Benarkah? Saya mengatakan tidak. Percaya kepada takdir tidak menafikan pentingnya
dimensi usaha pada manusia. Sebagai subyek yang bisa bertindak, manusia tentu harus
memiliki kehendak untuk berbuat dan mengubah sesuatu.
Tetapi usaha seseorang biasanya bertabrakan dengan, kalau memakai bahasa sekarang,
“externalities”, kondisi-kondisi di luar yang tak sepenuhnya ada di dalam kontrol kita.
Contoh terbaik: Pemerintah kita berusaha keras untuk mencapai pertumbuhan ekonomi
yang tinggi agar tercipta lapangan kerja bagi rakyat. Ini namanya ikhtiar.
Tetapi ada kondisi eksternal, seperti situasi ekonomi global, yang tak sepenuhnya ada pada
kontrol pemerintah. Keadaan domestik memang relatif bisa dikontrol oleh pemerintah; tetapi
situasi global, jelas tidak. Sebab, itu masuk dalam kawasan “externalities”, kondisi luaran.
Itulah, kira-kira, takdir.

Sekeras apapun kita berusaha, tetap ada kondisi luaran, atau kondisi yang “given”, terberi,
sudah ada sejak awal, yang tidak bisa kita kendalikan sepenuhnya. Karena itu, Anda harus
rendah hati, realistis, tidak bertindak membabi-buta, super-optimist. Kita harus optimis,
tetapi tetap dalam kerangka “precautious optimism.” Optimisme yang hati-hati. Bukan
optimisme yang kebablasan.

Pengertian khusus/mistik. Pengertian mistik dari kebijaksanaan Ibn Ataillah ini justru
berbeda dengan pengertian awam di atas. Apa yang dimaksudkan dengan pernyataan Ibn
Ataillah ini ialah bahwa kehendak seorang yang telah sampai kepada maqam ma’rifat
(memahami inti wujud/ketuhanan) akan bersesuaian dan beriringan dengan kehendak
Tuhan.

Kehendak sang wali, katakan saja begitu, tidak bisa mendahului kehendak Tuhan,
melainkan berjalan seiring dengan yang terakhir itu.

Dengan bahasa yang sederhana: seseorang yang sudah sampai kepada inti realitas,
memahami makna wujud di dunia ini, dia akan mengerti gerak-gerik alam, tanda-tanda
zaman. Dan dia bisa menyeiringkan kehendak dirinya dengan kehendak alam itu. Tidak
mendahuluinya, dan tidak teledor, keteter karena terlambat mengejarnya.
Maulana al-‘Arabi, guru dari guru sufi Maroko yang mengarang komentar atas al-Hikam,
yaitu Ibn ‘Ajibah (w. 1808 M), berkata: Jika seseorang yang telah mencapai maqam fana’
(lebur) dalam nama-nama diri Tuhan memiliki kehendak yang kuat terhadap sesuatu, maka
sesuatu itu akan terjadi. Sementara orang yang telah mencapai fana’ (lebur) dalam dzat
atau diri Tuhan, sebelum ia menghendaki sesuatu, sesuatu itu sudah langsung ada. Orang
Jawa bilang: “weruh sakdurunge winarah”, tahu sebelum tahu.

Dengan bahasa yang sederhana, seorang yang arif, bijak, mencapai pengetahuan tentang
inti wujud dan ketuhanan, ia bisa mengubah sesuatu dengan kehendaknya. Ia bisa
menggerakkan benda-benda di sekelilingnya, seolah-olah benda itu adalah “hamba” yang
bisa ia kendalikan dengan kehendaknya sendiri.
Tetapi itu semua terjadi karena kehendak Tuhan, bukan kehendak dia. Kehendak sang arif
itu tidak berjalan sendiri, melampaui kehendak Tuhan, melainkan berjalan seiring.

Dalam sebuah hadis disebutkan: “Jika Aku (Tuhan) telah menjadikan seorang hamba
menjadi kekasihKu, maka Aku akan menjadi telinga, mata, tangan dan pendukungnya;
apapun yang ia minta, Aku akan memberikan kepadanya.”

Apa pelajaran yang bisa kita petik dari kebijaksanaan Ibn Ataillah ini?
Seorang hamba harus berusaha sekeras mungkin untuk bisa mencapai maqam ma’rifat,
mengetahui hukum dan inti sesuatu. Orang yang mencapai tahap pengertian ini, akan bisa
mengerti kehendak Tuhan, dan kemudian akan berjalan seiring dengannya.

Dalam bahasa sains, jika Anda mengerti hukum alam, maka Anda sama saja dengan
mengerti kehendak Tuhan. Anda bisa bekerja seiring dan berbarengan dengan kehendak
Tuhan itu.
Anda bisa mengubah sesuatu, bukan dalam kerangka melawan takdir, tetapi justru
memanfaatkan takdir untuk kemaslahatan Anda sendiri.

Kalau mau, Anda bisa mengatakan (seperti kata-kata sahabat Umar): Melawan takdir
dengan takdir!
_______________

KESIMPULAN NGAJI HIKAM #3

Kesimpulan ngaji Hikam seri ketiga malam ini adalah:


1. Manusia diwajibkan untuk berikhtiar dalam batas-batas kemampuan dia. Ikhtiar artinya
adalah usaha kita untuk menciptakan "takdir" kita sendiri. Sebut saja ini "takdir kecil".

2. Tetapi, usaha kita tetap tak bisa melanggar "takdir besar" yang sudah dikehendaki oleh
Tuhan untuk kita. Contoh sederhana: Kita bisa berikhtiar dengan belajar sekeras mungkin
agar naik kelas, meraih titel, dan seterusnya. Itulah yang disebut takdir kecil.
Tetapi usaha atau takdir kecil itu tak bisa melanggar takdir besar yang ditentukan oleh
Tuhan untuk kita. Misalnya, kemampuan IQ kita. Ada orang yang memiliki IQ 110 atau 120,
atau bahkan 130. Orang itu bisa belajar, berikhtiar sekeras mungkin. Tetapi usaha dia tetap
akhirnya dibatasi oleh takdir besar, yaitu ukuran IQ yang ada pada dia sejak lahir.
Semua orang membawa ukuran atau takdir masing-masing sejak lahir. Takdir ini tidak
menafikan ikhtiar manusia. Manusia tetap harus ikhtiar. Tetapi ikhtiar dia dibatasi oleh
kondisi-kondisi yang sudah ada sejak dia lahir. Kondisi itu biasanya susah diubah, karena
sudah bawaan dari "sono-nya".

3. Pengetahuan tentang takdir ini jika dipahami dengan tepat bukan membawa kita pada
sikap nrimo atau menyerah. Tetapi justru sikap realistis. Kita berusaha, tetapi usaha kita
ada batasnya. Tugas kita adalah mengetahui batas-batas kita itu, dan memaksimalkan
usaha kita dalam batas-batas yang ada. Sesudah mentok batas, ya sudah, kita berhenti.
Tidak "kemrungsung" (gelisah dan ingin lebih) yang membuat diri kita bisa mengalami
depresi. Tetapi kita berhenti sesudah kita berusaha maksimal.

4. Seorang yang mencapai ma'rifat atau pengetahuan tentang realitas atau kenyataan yang
sejati, bisa membuat kehendak dirinya seiring dengan kehendak Tuhan. Orang yang seperti
ini biasanya bisa membaca tanda-tanda zama; seolah-olah dia mampu membaca takdir
Tuhan. Dalam bahasa populer: dia "weruh sak durunge winarah", tahu sebelum tahu.

Sekian Ngaji Hikam #3 malam ini. Sampai ketemu di Ngaji Hikam #4 besok malam.

Mari kita tutup ngaji malam ini dengan hamdalah.


Wassalamu alaikum!

NGAJI HIKAM #4

Oleh Ulil Abshar-Abdalla

Bismillahirrahmanirrahim.

Malam ini, saya ada acara sampai pukul 11 malam. Tetapi Ngaji Hikam tetap berlangsung seperti
biasa. Saya ingin ngaji ini tetap berlangsung tanpa jeda setiap hari, walaupun saya ada acara atau
kesibukan lain.
Bedanya dengan malam-malam biasa, saya akan merespon komentar dan pertanyaan para "santri"
setelah saya balik di rumah nanti malam. Silahkan ajukan komentar dan pertanyaan seperti biasa.
Saya akan usahakan untuk menjawab semuanya.

Mohon maklum.
Mari kita mulai Ngaji Hikam dengan membaca Fatehah untuk Syekh Ataillah, untuk ayah dan
sekaligus guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu saya Nyai Salamah.
Bismillah...
---------------------

SUMELEHLAH, JANGAN KEMRUNGSUNG!


Syekh Ibn Ataillah berkata:

. ‫ َفمَا َقا َم ِبه غَ ْيرُك عَ ْنك ال َتقُو ُم ِبه أ ْنتَ لِ َن ْفسِ ك‬، ‫أرحْ َن ْفسَ كَ من ال َّت ْد ِبير‬
ِ

Arih nafsaka min al-tadbir. Fa-ma qama bihi ghairuka ‘anka la taqum bihi anta li-nafsika.

Terjemahannya: Buatlah dirimu santai dan istirahat, tak dirisaukan oleh urusan tadbir
(bekerja/berusaha). Sebab apa yang sudah dikerjakan oleh orang lain, tak ada gunanya engkau
mengerjakannya sendiri untuk dirimu.

Ungkapan Ibn Ataillah mengandung kebijaksanaan hidup yang luar biasa dan mendalam, tetapi juga
bisa disalah-pahami. Kita bisa memahami ungkapan ini dengan cara awam dan cara khusus.

Pengertian awam. Dalam bagian ini, kita berhadapan dengan masalah tadbir.
Tadbir adalah lawan dari tajrid. Jika tajrid artinya membuat diri Anda sepenuhnya mengabdi untuk
kehidupan kontemplatif, beribadah kepada Tuhan, maka tadbir adalah kehidupan yang penuh
dengan kerja kerja, dan kerja. Tadbir adalah Anda berusaha dengan mengikuti hukum sebab-akibat.

Apa yang diungkapkan oleh Ibn Ataillah di sini semacam nasihat untuk orang-orang yang masuk
dalam kategori manusia-sebab; manusia yang bekerja dengan menuruti hukum sebab akibat;
manusia yang melakukan ikhtiar untuk melakukan perubahan dalam dunia ini.

Mayoritas manusia ada pada maqam ini. Nasihat Ibn Ataillah: Ketika Anda sibuk melakukan usaha,
bekerja keras untuk meraih atau mengubah sesuatu, maka sekali-kali Anda perlu istirahat sebentar.
Buatlah semacam jeda untuk dirimu sendiri. Semacam “sabbatical leave”. Ada saat-saat tertentu
seseorang perlu melupakan segala pekerjaan dan memberikan istirahat kepada jiwa dan pikirannya.
Pada saat Anda berada dalam “pause mode” atau istirahat semacam itu, jangan berpikir apapun.
Lupakan segala bentuk tadbir atau usaha. Sebab, jika seluruh hidup Anda dihabiskan untuk
memikirkan urusan tadbir, Anda bisa mengalami stres dan tekanan batin.

Sesekali, di tengah-tengah kesibukan usaha Anda, “arih nafsaka” – buatlah dirimu santai, rileks.
Pada momen istirahat seperti itu, filosofi yang harus Anda pegang adalah berikut ini: fa-ma qama
bihi ghairuka ‘anka la taqum bihi anta li-nafsika.

Anda tak bisa menyelesaikan segala soal dalam hidup ini sendirian. Kerapkali masalah dalam
kehidupan ini, baik personal atau sosial, sangat kompleks. Satu orang saja, sendirian, tak akan bisa
memecahkannya. Pemecahan harus dilakukan secara gotong-royong. Jika Anda tak bisa
melakukan sesuatu untuk mengubah keadaan, maka katakan pada diri Anda: Barangkali ada orang
lain yang lebih kompeten dari saya, dan bisa memecahkan masalah ini.

Jangan sekali-kali Anda merasa bahwa Anda bisa mmemborong sendirian seluruh pemecahan
masalah tanpa melibatkan orang lain, sehingga akhirnya Anda sendiri kerepotan dan mengalami
tekanan mental. Ringankan diri Anda. Katakan pada diri Anda bahwa apa yang bisa dikerjakan oleh
orang lain dengan lebih baik, serahkan saja pada mereka. Belum tentu Anda, bila “ngotot”
mengerjakannya sendiri, akan bisa melakukannya lebih baik.
Pengertian khusus/mistik. Di kalangan kaum sufi, dikenal tiga jenis tadbir atau usaha. Ada tadbir
yang tercela (madzmum), yang diharuskan (mathlub), dan yang dibolehkan (mubah).

Tadbir yang tercela adalah usaha yang disertai dengan sikap ngoyo, ngotot, dan kadang-kadang
malah “nggege mangsa”, mendahului waktunya. Ini adalah tadbir yang dibarengi dengan sikap
kemrungsung, ingin segera melihat hasil. Sikap semacam ini hanya membuat Anda berada dalam
tekanan mental. Sama sekali tidak sehat. Selain kurang sopan atau adab terhadap Tuhan.

Ahmad ibn Masruq (w. 910 M), seorang tokoh sufi Baghdad, berkata: man taraka al-tadbir fa-huwa fi
rahah. Barangsiapa meninggalkan tadbir, usaha, dia akan tenang, tidak mengalami tekanan. Yang
dimaksud dengan tadbir yang harus ditinggalkan ini tentunya adalah tadbir yang dibarengi dengan
sikap kemrungung semacam itu, sehingga menimbulkan tekanan batin.

Tadbir yang diperinthakan (matlub) ialah usaha yang berkaitan dengan kewajiban kita sebagai
hamba Tuhan. Kita, misalnya, wajib terlibat dalam tadbir atau usaha untuk melakukan perintah-
perintah Tuhan, seperti ibadah wajib. Tadbir semacam ini tak bisa dihindarkan.

Adapun tadbir yang diperbolehkan adalah tadbir dalam bidang duniawi. Anda butuh menafkahi
keluarga Anda, dan karena itu harus melakukan usaha/ikhtiar. Itulah tadbir yang di-mubahkan,
diperbolehkan.
Apa pelajaran dari kebijaksanaan Ibn Ataillah ini? Ini mengajarkan kepada kita suatu sikap yang
oleh orang Jawa disebut dengan “sumeleh”. Sumeleh berasal dari kata “seleh” yang artinya
“meletakkan”. Pada saat disibukkan dengan tadbir/usaha yang membuat diri Anda mengalami
tekanan batin, Anda kadang perlu “sumeleh”: meletakkan beban dan menyerahkan semuanya
kepada Tuhan.

Sikap sumeleh ini bisa dianggap fatalistik, menyerah pada “fatum”, nasib. Padahal tidak. Sikap
membuang jauh-jauh tadbir, sumeleh, hanyalah cara kita menyehatkan diri dengan
mengistirahatkan jiwa kita dari beban-beban mental yang kurang perlu. Ini adalah semacam cara
kita me-manage mental kita saja.[]

NGAJI HIKAM #5
Oleh Ulil Abshar-Abdalla

Bismillahirrahmanirrahim...

Mari kita mulai Ngaji Hikam malam ini dengan menghadiahkam Fatehah kepada Syekh Ibn Ataillah
(semoga ruhnya disucikan Tuhan), kepada ayah dan guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu saya
Nyai Salamah.
Yang memiliki syarah Hikam karya Syekh Ibn Ajibah, Iqadzul Himam, yang kita kaji malam ini ada di
hal. 39 (edisi Dar al-Maarif, Kairo).

Mari kita mulai ngaji Hikam. Bismillah...


--------------------

ELING LAN WASPADA

Syekh Ibn Ataillah berkata:


ِ
َ‫َاس البَصِ ْيرَ ِة ِم ْنك‬ ُ ‫ضمِنَ َلكَ َو َت ْقصِ يرُكَ ِف ْيمَا‬
ِ ‫طلِبَ ِم ْنكَ دَ ل ْي ٌل عَ لى ا ْنطِ م‬ ُ ‫ اِجْ ِتهَا ُدكَ ِف ْيمَا‬.

Ijtihaduka fi-ma dumina laka wa taqshiruka fi-ma tuliba minka dalilun ‘ala intimas al-bashirati minka.

Terjemahannya: Manakala engkau bekerja keras untuk meraih hal-hal yang sudah dijaminkan
untukmu, sementara engkau teledor untuk mengerjakan hal-hal yang merupakan keharusan
bagimu, maka itu adalah pertanda engkau kehilangan mata batin.

Ungkapan Ibn Ataillah ini memiliki dua pengertian: awam dan khusus.

Pengertian awam. Secara awam, ungkapan ini pada hakikatnya mengajarkan kepada kita
pentingnya mempertajam mata batin. Dalam filosofi Jawa, ada istilah yang khas: eling lan waspada;
ingat dan waspada. Manusia harus selalu waspada, agar tak tergelincir mengerjakan hal-hal yang
kurang perlu, seraya mengabaikan perkara yang lebih “urgent”.

Dalam Buddhisme Zen, dikenal ajaran tentang “mindfulness”, kondisi selalu sadar dan awas, tidak
lengah. Manusia adalah makhluk yang berkesadaran. Sadar artinya adalah sadar mengenai
sesuatu. Sadar adalah kegiatan mental yang berasal dari dalam diri manusia, dan mengarah keluar.
Orang yang sadar berarti menyadari segala sesuatu yang ada di lingkungannya.

Seorang yang sadar kecil kemungkinannya untuk terpeleset. Seseorang yang terpeleset biasasanya
karena dia lengah, tidak memperhatikan situasi di sekelilingnya. Sesuatu yang menyelamatkan
manusia dari keterpelesetan adalah sikap waspada, awas, mindfulness. Sementara sikap yang
membuat seseorang mudah jatuh adalah lalai, alpa, forgetfulness.

Saat seseorang sadar, tidak lengah, dia tahu mana yang perlu dilakukan, mana yang tidak. Dia
mengerti skala prioritas. Dia mengerti mana yang mendesak, mana yang tidak. Dia akan
memberikan perhatian yang lebih pada hal-hal yang mendesak dan penting. Hal-hal yang tidak
perlu, tak akan mendapatkan perhatian terlalu besar darinya.

Seseorang yang sadar juga tahu mana hal yang mempunyai manfaat dalam jangka panjang, mana
yang hanya memberikan rasa gratifikasi atau kepuasan dalam jangka pendek. Dia memberikan
perhatian yang yang besar pada yang pertama, dan tak terlalu terkecoh dengan hal yang kedua.
Orang yang sadar biasanya memiliki pandangan jauh ke depan, bukan pandangan yang pendek,
short sighted.
Itulah kira-kira makna dari ungkapan bijak Syekh Ibn Ataillah tadi. Jika engkau sibuk mengurus
perkara yang gampang, karena sudah pasti dengan mudah bisa kau peroleh, dan mengabaikan hal
yang lebih penting dan bernilai, tetapi harus kau perjuangkan dengan susah payah, maka itu
pertanda kau lengah atas skala prioritas. Artinya: engkau lebih memilih “comfort zone,” daerah yang
nyaman. Engkau takut merambah hal baru, karena masih asing dan penuh resiko.

Pengertian khusus/mistik. Manusia memiliki dua mata: mata lahir, dan mata batin. Mata lahir, dalam
bahasa Arab, disebut basar. Mata batin disebut basirah. Mata lahir hanya mampu mengindera hal-
hal yang kasat-mata (al-mahsusat). Mata batin mampu melihat hal-hal yang halus, lembut, subtil.

Jika Tuhan menghendaki hambanya menjadi orang yang baik, maka Dia akan menyibukkan mata
lahirnya untuk berbakti kepadaNya, dengan cara memanfaatkan indera mata untuk melihat hal-hal
yang berguna dan memperkaya batin. Sekaligus Dia akan menyibukkan mata batinnya untuk
mencintaiNya.

Sebaliknya, jika Tuhan hendak merendahkan derajat seseorang, Dia akan menyibukkan mata
lahirnya untuk menghamba pada hal-hal yang melulu bersifat material, permukaan, superfisial. Dia
juga akan menyibukkan mata batinnya untuk mencintai hal-hal seperti itu. Baik mata lahir dan
batinnya terperangkap pada hal-hal yang fisik dan material.
Orang kafir ialah dia yang mata batinnya telah terhapus sama sekali sehingga kehilangan
kemampuan untuk melihat dan mencerap hal-hal yang rohani. Dia terpenjara pada yang materi. Dia
tak mampu “menyeberang” dari yang materi kepada yang gaib dan non-materi. Materialisme adalah
sebentuk kekufuran dan pertanda matinya mata batin.

Orang yang beriman harus bisa melamapaui yang materi itu. Sebab ciri orang beriman adalah
percaya pada yang gaib, yang non-materi.

Pelajaran yang bisa kita ambil dari kebijaksanaan ini jelas: Manusia harus eling lan waspada. Sadar
dan ingat terhadap hal yang bersifat inti dan sejati; waspada terhadap barang-barang yang hanya
indah dan gemerlap di permukaan tetapi keropos di dalam.[]

→→→→→→→→→

KESIMPULAN NGAJI HIKAM #5

1. Manusia harus mengetahui prioritas dalam hidupnya -- Mana yang harus didahulukan, maka yang
harus dikemudiankan; mana yang akan memperkaya kehidupan batin dan akhiratnya; mana yang
malah akan memperkeruhnya; mana yang yang akan membuatnya ingat pada tujuan hidup yang
utama, mana yang justru akan membuatnya lalai.

Mengerti prioritas ini adalah pertanda bahwa mata batin kita awas, tidak buta. Orang yang tak tahu
tujuan hidupnya, yang tak mengerti mana yang urgent dan mana yang tidak, ialah orang yang mata
batinnya sedang mengalami kebutaan. Orang semacam ini akan mengalami kondisi lalai dan alpa.

2. Orientasi kehidupan orang beriman haruslah diarahkan kepada kehidupan yang abadi, yaitu
kehidupan di akhirat kelak. Sebab inilah kehidupan yang akan menjamin kebahagiaan yang sejati.
Inilah kehidupan yang masuk dalam kategori "ma tuliba" dalam bahasa Syekh Ibn Ataillah tadi.
Yakni kehidupan yang seharusnya menjadi tujuan kita.

Sementara kehidupan di dunia suah dijamin (ma dumina) oleh Tuhan. Dengan caranya sendiri-
sendiri, orang pasti diberikan penghidupan/rizki oleh Tuhan. Ada yang melimpah, ada yang
sederhana. Tetapi jalan penghidupan selalu tersedia bagi manusia. Tak usah khawatir. Karena itu,
kita tak perlu terlalu risau dengan kehidupan di dunia ini.

3. Ajaran Ibn Ataillah ini bukan berarti mengajak kita, baik yang beriman atau tidak, agar bersikap
fatalistik, nerima saja. Bukan. Yang mau diajarkan oleh beliau adalah: Janganlah menghabiskan
seluruh fokus kehidupanmu pada kehidupan yang sekarang. Berpikirlah jangka panjang. Berpikirlah
mengenai kehidupan yang abadi. Bersikaplah santai pada dunia ini, supaya kita tak mengalami
tekanan batin.

Sekian, Sampai ketemu di Ngaji Hikam #6 hari Senin mendatang. Mari kita tutup ngaji ini dengan
bacaan hamdalah.

Wassalam.

NGAJI HIKAM #6
Bismillahirtahmanirrahim
Mari kita mulai ngaji Hikam malam ini dengan membaca Fatehah untuk Syekg Ibn Ataillah (qs),
untuk ayah dan guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu saya Nyai Salamah.
Mari kita mulai ngaji Hikam seri ke-6. Bismillah...
--------------------------------
KEHENDAK KECIL, KEHENDAK BESAR
Syekh Ibn Ataillah berkata:
‫الو ْقت الَّذى‬
َ ‫ َوفِى‬، ‫تختا ُرهُ لِن ْفسِ ك‬ ْ ‫ فهُو ضَ مِن لكَ اإلجَ ا َب َة فيْما‬. ‫جبًا لِ َيْأسِ ك‬
ْ ‫ ال فيْما‬، َ‫يـختا ُرهُ لك‬ َ ‫َأ‬
ِ َ‫ال ي ُكنْ ت ُّخر أ َم ِد العَ طا ِء معَ اإللح‬
ِ ‫اح فى ال ُّدعَ ا ِء مُو‬
َّ
‫ت الذى ُت ِري ُد‬ِ ‫الو ْق‬
َ ‫ ي ُِري ُد ال فى‬.
La yakun ta’akh-khuru amadil ‘atha’i ma’a al-ilhahi fi al-du’ai mujiban li ya’sika, fahuwa damina laka
al-ijabata fi-ma yakhtaru laka, la fi-ma takhtaru li-nafsika, wa fil-waqti al-ladzi yuridu la fil waqti al-
ladzi turid.
Terjemahannya:
Janganlah terlambatnya “peparing gusti” atau pemberian Tuhan, sementara engkau sudah berdoa
begitu lama, membuatmu putus asa. Sebab, Tuhan pasti mengabulkan permintaanmu dengan cara
yang Dia pilih, bukan dengan cara yang engkau pilih. Dia akan mengabulkan permintaan itu pada
waktu yang Dia kehendaki, bukan menurut waktu yang engkau kehendaki.
Ungkapan bijak Syekh Ibn Ataillah ini memiliki dua pengertian: awam dan khusus.
Pengertian awam. Bagian ini membahas situasi kejiwaan yang biasa mendera orang-orang beriman.
Dalam keadaan yang ekstrim, situasi ini bahkan bisa membawa seseorang kepada agnostisisme,
tak percaya pada Tuhan lagi. Ada dua situasi di sini: situasi yang sederhana; dan situasi yang akut.
Situasi yang sederhana seperti digambarkan oleh Ibn Ataillah di sini: Engkau berdoa, meminta, dan
meminta, dan meminta, tetapi permintaanmu belum juga terwujud. Situasi ini lalu menimbulkan
pertanyaan pada kita: Jika Tuhan Maha Mendengar, Maha Mengetahui, kenapa permintaanku tak
didengar dan diketahuiNya?
Situasi yang lebih serius dihadapi oleh satu-dua komunitas orang-orang beriman yang menghadapi
“kejahatan” yang ekstrim, seperti, misalnya, keadaan yang pernah dihadapi orang-orang Yahudi
dalam kamp pembantaian Auschwitz. Pada saat jutaan orang-orang Yahudi menghadapi ancaman
terminasi, genosida, penghancuran secara total, orang-orang Yahdi bisa bertanya: Di manakah
Tuhan? Kenapa, pada momen itu, Tuhan tidak “turun tangan”?
Situasi yang kurang lebih sama kita jumpai di Aceh waktu terjadi Tsunami pada 2004 dulu. Hampir
dua ratus ribu rakyat Aceh menjadi korban tsunami yang teramat dahsyat itu. Orang-orang,
menghadapi pemandangan yang mengerikan itu, bisa juga bertanya: di manakah Tuhan? Kenapa
Dia diam menghadapi “kekejaman alam” seperti ini?
Dan seterusnya.
Pertanyaan-pertanyaan dari pihak manusia seperti itu sah-sah saja. Dan Tuhan pun tak melarang
kita mengajukannya. Tetapi, di sini, Ibn Ataillah mengajarkan suatu kebijaksanaan sebagai seorang
beriman. Sikap yang diajarkan olehnya adalah sikap rendah hati. Kehidupan yang maha luas ini
penuh dengan misteri yang belum seluruhnya dapat kita pahami.
Jika kita meminta Tuhan dan belum terkabul, kita mesti mengatakan kepada diri kita: Jangan-jangan
Tuhan mengabulkan doaku dengan cara yang lain; bukan dengan cara yang aku kehendaki. Dia
lebih tahu hal yang terbaik buat diri saya.
Sikap semacam ini menghindarkan kita untuk berpikir negatif, pikiran yang justru membuat kita
sendiri mengalami kelelahan mental. Sikap loba, terlalu buru-buru ingin melihat hasil dari doa kita,
kata Ibn ‘Ajibah (penulis komentar atas Kitab Hikam), bisa membuatmu lelah dan sengsara: wa-la
tahris, fa-inna al-hirsa ta’abun wa madzallatun. ‫ وال تحرص فإن الحرص تعب ومذلة‬.
Pengertian khusus/mistik. Manakala engkau harus meminta kepada Tuhan, maka jadikanlah
permintaanmu itu sebagai bagian dari ibadahmu kepadaNya, bukan permintaan sebagai
permintaan. Sebab, berdoa dan meminta Tuhan adalah salah satu ekspresi menyembah Sang
Pencipta.
Kita meminta kepada Tuhan bukan karena kita menghendaki ada hasil yang akan datang dari sana;
kita meminta bukan karena tujuan “utilitarian” itu. Kita meminta karena memang seorang hamba
sudah seharusnya mengajukan permintaan (talab).
Syekh Abdul Aziz al-Mahdawi (semoga kerelaan Tuhan tetap atasnya) berkata: Barangsiapa berdoa
dan mengatur-atur Tuhan dengan cara apa permintaannya itu harus dipenuhi, doanya mungkin saja
dikabulkan. Tetapi doanya dikabulkan sebagai bentuk “pemanjaan” (istidraj) dari Tuhan kepadanya.
Tuhan berkata kepada malaikatnya: Kabulkan saja doanya, karena Aku tak suka mendengar
permintaannya lagi.
Pelajaran apa yang bisa kita petik dari ajaran Ibn Ataillah ini?
Sederhana: Kerendah-hatian. Janganlah kita mengeluh atau merasa terdampar putus asa karena
“kehendak kecil” kita sebagai manusia tidak berjalan seiringan dengan “kehendak besar’ Tuhan.
Alam kadang punya logic-nya sendiri. Pengetahuan kita tentang kompleksitas hidup sangat terbatas.
Ada hal-hal yang kerap di luar pengetahuan kita.
Saat kenyataan bekerja tidak sesuai dengan keinginan kita, sikap terbaik yang harus kita ambil
adalah: Boleh jadi keinginan saya tidak tepat; boleh jadi ada hal yang tak saya ketahui.
Dengan sikap seperti ini, kita tidak menderita keterdamparan dan keputus-asaan. Sikap positif
adalah cara hidup yang paling baik. Sehat secara mental, menggembirakan dalam hidup.[]

NGAJI HIKAM #7

Oleh Ulil Abshar-Abdalla

Bismillahirrahmanirrahim

Malam ini saya sedang ada acara. Jadi tak bisa menunggui komentar teman-teman semua seperti
biasa. Silahkan ajukan pertanyaan dan komentar seperti biasanya, dan saya akan mencoba
menjawabnya satu demi satu saat sudah pulang di rumah nanti malam.
Mari kita mulai Ngaji Hikam seri ke-7 ini dengan menghadiahkan Fatehah kepada Syekh Ibn
Ataillah (qs), kepada ayah dan guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu saya Nyai Salamah.
Mari kita mulai. Bismillah...

--------------------

OPTIMISME TERHADAP KENYATAAN HIDUP

Syekh Ibn Ataillah berkata:

. ‫ريرتِك‬ ِ ُ‫وإخمادًا لن‬


َ ‫ور َس‬ ِ َ‫ لِئالَّ ي ُكونَ ٰذلك قَ ْدحًا فى ب‬، ‫وإن ت َعيَّن زَمانُه‬
ْ ‫صيرتِك‬ ِ ُ‫اليُ َش ّككنَّك فى ال َو ْعد عَد ُم وق‬
ْ ، ‫وع ال َموعُود‬

La yusyakkikannaka fi al-wa’di ‘adam wuqu’ al-mau’ud, wa-in ta’ayyana zamanuhu, li-alla


yakuna dzalika qadhan fi bashiratika, wa ikhmadan li-nuri sariratika.

Terjemahannya: Janganlah janji Tuhan yang tak terwujud membuatmu meragukan akan
janjiNya, meski—taruhlah-- janji itu diberikan “timing” atau waktu yang jelas. Hal itu agar tak
merusak kejernihan batinmu, dan memadamkan cahaya rohmu.

Ajaran Ibn Ataillah ini memiliki dua pengertian: awam dan khusus.

Pengertian awam. Pada bagian terdahulu kita berbicara mengenai doa yang tampak tak pernah
atau lama tak terkabulkan. Keadaan itu bisa membuat seorang beriman merasa putus asa,
terdampar secara mental. Bagian ini masih merupakan kelanjutan dari bagian sebelumnya.
Intinya, sekali lagi, kita diajak oleh Ibn Ataillah untuk membiasakan diri melihat hidup secara
optimis, walau ia berjalan tak sesuai dengan “kehendak kecil” kita sebagai manusia.

Manakala Tuhan menjanjikan sesuatu, misalnya melalui Kitab Suci atau perantaraan yang lain,
dan janji itu ternyata tak terpenuhi, bagaimana sikap kita? Apakah kita harus mengatakan bahwa
Tuhan ingkar janji? Haruskah kita marah, kecewa, dan bahkan mencerca Tuhan? Atau, jika Anda
seorang ateis atau agnostik: Haruskah Anda mencela kenyataan dan meneriakkan kekecewaan,
“Dunia tak adil!”?

Dalam Quran, Tuhan menjanjikan kemenangan kepada hamba-hambaNya yang beriman dan
berbuat kebaikan di bumi. Ini bisa dibaca di QS 24: 55. Kenapa, mungkin kita sebagai umat
Islam bertanya, kita sekarang justru terpuruk sebagai umat? Kenapa dunia Islam terbelakang?
Manakah janji Tuhan akan memberikan kemenangan kepada umat Islam?

Dan seterusnya.
Janji Tuhan yang tak terwujud, atau belum terwujud, janganlah membuat kita meragukan
janjiNya. Jika Anda telah bekerja sesuai dengan hukum-hukum yang berlaku, sesuai dengan tip-
tip kesuksesan yang diwedarkan oleh para juru motivator, janganlah putus asa terlebih dahulu.

Keputus-asaan semacam itu hanyalah akan membuat mata batin Anda menjadi pudar dan padam.
Anda akan kehilangan ketajaman untuk melihat peluang lagi. Anda, dengan sikap yang negatif
seperti itu, tak akan memiliki “tenaga psikologis” dan semangat untuk berbuat lagi, mencoba
lagi, mengulangi lagi. Barangkali ada hal yang salah dalam proses Anda bekerja sebelumnya.

Jika umat Islam saat ini terdampar di pinggiran sejarah, padahal Tuhan menjanjikan dalam Kitab
SuciNya bahwa Ia akan menolong mereka, janganlah hal itu membuat mereka patah-harapan,
atau meragukan janji Tuhan.
Seorang beriman haruslah memiliki pandangan yang optimis tentang sejarah. Dalam pandangan
yang seperti itu, keputus-asaan tak masuk dalam kamus seorang beriman.

Manfaat sikap positif semacam ini, kita tahu, adalah memberikan kita suatu tenaga mental untuk
terus mencoba kembali. Janji Tuhan dalam bentuk hukum alam –barangsiapa bekerja keras, ia
akan menuai hasil—akan pasti terwujud. Tetapi ia terwujud bukan dalam cara yang kita
kehendaki. Kadang-kadang, ia terwujud secara tak terduga-duga, dalam bentuk yang tak pernah
muncul dalam rencana awal.

Life is full of surprises. Hidup kerap berisi kejutan-kejutan di tikungan. Dan saya yakin, Anda
sering mengalami hal semacam ini dalam hidup. Banyak hal yang kita rencanakan secara matang
dari awal, dan kita bekerja keras, seraya berdoa, untuk meraih itu. Tetapi, pada ujungnya,
rencana itu tak terwujud. Di tikungan hidup, yang muncul justru hal lain. Hal-hal semacam ini
kerap-terjadi dalam hidup manusia. Itu mengkonfirmasi kebijaksanaan Ibn Ataillah ini.

Pengertian khusus/mistik. Ibn ‘Ajibah, pengarang syarah/komentar al-Hikam, memberikan


ajaran yang sangat penting bagi orang-orang yang sedang menjalani “suluk” atau perjalanan
spiritual, di bawah bimbingan spiritual seorang guru (mursyid).

Ajaran itu ialah: fandzur ahsan al-ta’wilat wa-l-tamis ahsan al-makharij. Jika engkau berhadapan
dengan sebuah janji Tuhan, entah dikatakan lewat wahyu, ilham para wali, atau jalan-jalan yang
lain, lalu janji itu tak segera atau malahan tak terwujud sama sekali, maka carilah “ta’wil”
(pemahaman). Carilah cara bagaimana Anda mengerti kenapa sesuatu terjadi seperti itu, dan
tidak dengan cara yang lain.

Selalu Ada jalan untuk mengerti kenapa sesuatu terjadi tidak seperti yang dijanjikan. Carilah
jalan untuk mengerti, untuk men-takwil. Itulah ajaran dari pengarang komentar atas Kitab Hikam
itu. Dengan pengertian seperti itu, seorang murid tarekat bisa menghindarkan pikiran dan
sangkaan buruk mengenai Tuhan atau gurunya.

Apa pelajaran yang bisa kita peroleh dari ajaran Syekh Ibn Ataillah ini? Kita, di sini, diajarkan
untuk memahami kenyataan hidup yang tak sesuai dengan “hukum realitas” atau janji Tuhan
dengan cara tertentu sehingga kita tak memiliki prasangka buruk. Sebab prasangka buruk
hanyalah mendatangkan “negative thinking”, pikiran yang kotor dan situasi kejiwaan yang tak
sehat.[]

Ngaji Hikam #8
Bismillahirrahmanirrahim
Mari kita mulai Ngaji Hikam Seri ke-8 ini dengan menghadiahkan Fatehah kepada Syekh Ibn
Ataillah, kepada ayah dan guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu saya Nyai Salamah.
Bismillah...
----------------------
PENDERITAAN MEMPERDALAM PENGERTIAN KITA TENTANG MAKNA HIDUP
Syekh Ibn Ataillah berkata:
‫ أىم تعلم إن التعرف هو مورده‬.‫ فإنه ما فتحها لك إال وهو يريد أن يتعرف إليك‬. ‫إذا فتح لك وجهة من التعرف فال تبال معها ان قل عملك‬
‫ واألعمال أنت مهديها إليه ؟ و اين ما تهديه إليه مما هو مورده عليك ؟‬، ‫عليك‬
Idza fataha laka wijhatan min al-ta’arrufi fala tubali ma’aha in qalla ‘amaluka. Fi innahu ma fatahaha
laka illa wahuwa yuridu an yata’arrafa ilaika. Alam ta’lam anna al-ta’arrufa huwa muriduhu ‘alaika,
wa al-a’malu anta muhdiha ilaihi? Wa aina ma tuhdihi ilaihi min-ma huwa muriduhu ‘alika?
Terjemahannya:
“Jika Dia (Tuhan Yang Maha Benar) ingin membuka diri (melalui penderitaan yang menimpamu)
untuk engkau kenal, maka (bergembiralah, bersuka citalah; dan) jangan bersedih hanya gara-gara
amal dan pekerjaanmu yang berkurang (karena penderitaan itu).
Sebab, Dia tak akan membuka diri seperti itu kecuali memang agar engkau bisa mengenalNya lebih
dekat. Apakah engkau tidak tahu bahwa perkenalan itu adalah sesuatu yang Dia anugerahkankan
pada dirimu, sementara amal-amalmu adalah sesuatu yang engkau persembahkan kepadaNya?
Bagaimana mungkin engkau akan membandingkan persembahanmu dengan anugerahNya?”
Kebijaksanaan Sykeh Ibn Ataillah kali ini akan berbicara mengenai pengalaman penderitaan –
sesuatu yang sering kita alami dalam kehidupan sehari-hari sebagai manusia. Saya akan mencoba
menjelaskan kebijaksanaan yang mendalam ini dengan dua pengertian. Pengertian awam dan
pengertian khusus.
Pengertian awam. Hal yang tak terhindarkan dalam hidup manusia adalah penderitaan fisik, entah
berupa penyakit, kemiskinan, atau penderitaan-penderitaan lain yang membuat kita tidak nyaman.
Pengalaman ini kerap membuat seseorang merasa putus harapan, atau bahkan menyalahkan dan
mengutuk Tuhan.
Apalagi jika penderitaan itu mencapai level yang ekstrim.
Dalam bagian yang lalu, kita diajarkan untuk bersikap positif manakala doa dan permintaan kita tak
segera dikabulkan Tuhan. Menghadapi situasi semacam itu, kita diharuskan berbaik sangka.
Barangkali Tuhan punya rencana lain.
Bagian ini masih merupakan kelanjutan dari bagian sebelumnya. Jika bagian sebelumnya berbicara
mengenai permintaan dan doa, bab ini berbicara mengenai cobaan yang kadang kita derita dalam
hidup.
Sebagai orang beriman, kita diajak oleh Ibn Ataillah agar bersikap sama menghadapi cobaan ini.
Yaitu berbaik sangka. Menurut Ibn Ataillah, cobaan dan penderitaan dalam hidup adalah cara Tuhan
ingin mengenalkan diriNya kepada kita. Penderitaan adalah sarana Tuhan mau menjadikan diriNya
lebih dekat kepada kita.
Sakit, kemiskinan, penderitaan adalah “wijhat min al-ta’arruf”, cara Tuhan menyingkap diri agar kita
kenali secara lebih dekat lagi.
Bagaimana ini bisa dijelaskan?
Jika kehidupan kita berjalan mulus saja seperti berkendara di jalan tol yang bebas hambatan, tak
ada gangguan, tak ada soal, tak ada tantangan – maka kehidupan seperti itu memang tampak
menyenangkan. Tetapi benarkah kehidupan yang tanpa gelombang dan ombak layak kita jalani?
Bukankah kehidupan seperti itu malah membosankan karena tak mengenal petualangan?
Kita bisa menikmati hidup justru karena ada gelombang cobaan yang berhasil kita atasi. Saat kita
berhasil mengatasi sebuah masalah, kita merasa bahwa plong, lega. Kita merasa diri kita secara
kejiwaan makin matang, makin dewasa, makin bijaksana. Jadi, penderitaan, jika disikapi secara
positif, membuat pengertian dan pemahaman kita tentang makna hidup lebih dalam.
Jika engkau tahu makna hidupmu, maka artinya engkau makin dekat dengan Tuhanmu. Sebab,
para sufi mengatakan, man ‘arafa nafsahu fa qad ‘arafa rabbahu. Barangsiapa tahu siapa jati
dirinya, siapa “the real self”-nya, maka dia telah mengenali Tuhan. Siapa yang tak tahu jati dirinya,
tak memahami tujuan hidupnya, ia sama saja tak kenal Tuhan.
Penderitaan kerap membuat kita makin matang secara kejiwaan; membuat kita makin dekat dengan
Tuhan. Jadi, penderitaan adalah uluran tangan dari Tuhan untuk berkenalan dengan Dia. Sambutlah
uluran tangan itu dengan penuh suka-cita. Jangan mengeluh dan sedih saat menderita. Itulah jalan
menuju kematangan jiwamu. Itulah jalan engkau mengenali sumber hidupmu.
Pengertian khusus/mistik. Penderitaan memang tampak di permukaan seperti cerminan dari sifat
keperkasaan Tuhan. Tuhan dengan sifat Jalal atau keagungan dan keperkasaanNya,
menampakkan diri dalam bentuk kesakitan dan cobaan yang diderita oleh manusia.
Tetapi, jika kita hayati lebih dalam, cobaan bukan saja mencerminkan sifat Jalal Tuhan, tetapi juga
sifat Jamal atau keindahanNya. Kata Syekh Ibn ‘Ajibah, cobaan manusia (disebut al-ta’arrufat al-
qahriyyah), “zahiruha jalalun wa batinuha jamalun”. Cobaan kelihatannya menakutkan kita, tetapi
sejatinya ia cerminan dari keindahan Tuhan.
Para sufi melihat penderitaan sebagai pengalaman tentang keindahan Tuhan. Saat kita sakit, kita
mengalami keindahan Tuhan karena dengan sakit itu kita bisa makin intens dan mendalam
hubungan kita dengan Tuhan. Saat kita sakit, hubungan cinta kita dengan Tuhan makin diperkuat.
Karena itu, jangan mengeluh karena sakit, misalnya, telah membuatmu kehilangan kesempatan
untuk melaksanakan ibadah fisik. Misalnya, saat sakit kita tak mampu melaksanakan sembahyang
atau puasa seperti biasa. Jika anda sakit, jangan merasa “ngenes”, “nelangsa” atau sedih karena
kehilangan salat dan puasa. Sebab nilai sakit yang dicobakan Tuhan kepadamu lebih tinggi
daripada ibadah fisik.
Bagaimana bisa demikian? Ibn Ataillah memberikan penjelasan yang sangat menarik. Saat engkau
sakit, Tuhanlah yang pro-aktif mendekatimu, mengenalmu. Saat engkau beribadah (seperti salat
dan puasa), engkau lah yang pro-aktif pe-de-ka-te (istilah anak muda sekarang) terhadap Tuhan.
Mana yang lebih baik? Tuhan yang pro-aktif mendekati kamu? Ataukah kamu yang pro-aktif
mendekati Tuhan? Tentu yang pertama yang jauh lebih berkualitas. Karena itu, sambutlah
penderitaan dengan sikap optimisme, kegembiraan, sebab Tuhan sedang mendekatimu, sedang
ingin mengenalmu.
Apa pelajaran yang bisa kita ambil dari ajaran Syekh Ibn Ataillah ini? Saya terus terang kagum
dengan tafsir penderitaan semacam ini. Inilah salah satu keindahan dunia sufi. Dunia sufi mampu
memberikan tafsiran yang sangat optimistik terhadap momen-momen yang menyakitkan dalam
hidupan manusia seperti sakit dan kemiskinan. Penderitaan tak harus dikutuk dan disesali.
Penderitaan dihayati dan dimaknai sebagai sarana yang mendekatkan kita pada Tuhan.
Jadi, terserah pada anda. Anda mau menghayati sakit dengan sikap negatif, mengeluh, memprotes,
tetapi toh tak mengubah keadaan juga? Ataukah anda mau bersikap yang justru secara radikal
berbeda: sakit adalah pengalaman indah yang membuat kita lebih memahami makna dan tujuan
hidup?[]

Anda mungkin juga menyukai