Anda di halaman 1dari 3

AHLUL ASBAB DAN AHLUT TAJRID: REFLEKSI KULTUR “HIJRAH”

Muhammad Iqbal Fakhrul Firdaus*


Kita terkadang membaca testimoni tentang kondisi para “sobat hijrah” yang mengalami
ketidakseimbangan dalam kehidupan duniawinya, terutama dalam bidang ekonomi. Mereka
meninggalkan pekerjaan yang menurut mereka adalah bagian dari “institusi riba”, namun
kemudian mereka enggan melunasi utang kepada bank dengan alasan riba, sampai terjebak utang
hingga menzalimi atau merepotkan diri sendiri, keluarga, tetangga, maupun sahabat, sehingga
menciptakan relasi sosial yang kurang baik dan silaturahmi terganggu. Tentu, tidak semua “sobat
hijrah” terpuruk, sebab faktanya, ada yang biasa-biasa saja, bahkan kondisi ekonominya jauh
membaik.
Bagi Penulis, setiap tafsir atau pendapat yang kita yakini benar selalu memiliki
konsekuensi. Konsekuensi itu sedikit banyak dipengaruhi oleh raison d’etre dari pilihan kita atas
tafsir yang kita yakini. Mereka yang hengkang begitu saja dari pekerjaannya hanya berbekal
keyakinan bahwa Tuhan pasti akan memberi rezeki. Secara keilmuan, keyakinan tersebut tidak
salah, tetapi keyakinan bahwa Tuhan yang memberi rezeki sebenarnya merupakan azas
pengetahuan teologis atau berkaitan dengan tauhid. Ketika azas ini hendak diterapkan dalam
kehidupan duniawi, maka seseorang akan membutuhkan syariat dan jalan, yang dalam
pengertian umum disebut tarekat. Secara umum, kita mengetahui bahwa Tuhan tidak serta merta
menjatuhkan uang dari langit begitu saja, sebab kebanyakan dari kita masih berada dalam
maqam ahlul asbab. Menurut Penulis, ada sedikit kekeliruan pemahaman ketika menjalankan
kredo “memasrahkan rezeki kepada Tuhan”.
Syaikh Ibn ‘Athaillah as-Sakandari dalam kitabnya yang masyhur, al-Hikam, tepatnya
dalam hikmah kedua menyatakan bahwa manusia dibagi menjadi dua kondisi: ahlul asbab dan
ahlut tajrid. Sebagian besar dari kita adalah ahlul asbab, dalam arti kita berada dalam dimensi
kausalitas dan oleh Tuhan, kita “dipinjami” daya untuk menciptakan atau menempuh sebab
untuk mendapatkan rezeki dalam pengertian luas. Misalnya, untuk memperoleh rezeki ilmu dan
harta, seseorang harus menempuh sebab-sebab, seperti tekun belajar, bersekolah, mengikuti
ujian, dan melakukan penelitian atau tugas-tugas akademis lainnya. Melalui pengetahuan yang
didapat, kita berusaha menciptakan peluang untuk mendapat saluran rezeki yang telah disiapkan
Tuhan sampai apa yang diharapkan tercapai, tentu dengan keyakinan bahwa hanya Tuhan yang
menentukan hasilnya. Artinya, kita berusaha keras, lalu bertawakal. Seperti dalam al-Quran,
“apabila kamu telah bertekad dan berusaha keras, maka bertawakallah kepada Allah,” (QS. Al
‘Imran: 159). Tawakal muncul setelah ikhtiar keras, dan perlu diingat juga bahwa secara kodrati,
ada syarat dan ketentuan yang berlaku dalam setiap ikhtiar manusia.
Berbeda halnya dengan ahlut tajrid. Ahlut tajrid dapat dikatakan sebagai kelompok yang
lebih sedikit, sebab berkaitan dengan rahasia keikhasan dalam menjalankan laku rohani yang
lebih “khusus”. Bagi ahlut tajrid, sumber rezeki mereka sebagian besar tetaplah sebab, namun
sebab itu didatangkan oleh Tuhan tak selalu melalui upaya keras mereka sendiri. Secara teoretis,
tingkat tawakal mereka adalah tingkatan para arifin, yakni orang-orang yang mengenal Tuhan
melalui Tuhan itu sendiri, serta berjalan bersama dan di dalam Tuhan. Berbeda dengan ahlul
asbab seperti kebanyakan kita yang harus berusaha menciptakan atau memikirkan sebab, ahlut
tajrid menindaklanjuti sebab dengan amal atau ikhtiar. Dengan kata lain, mereka bertawakal
lebih dahulu, kemudian berusaha sesuai syariat dan hakikat dari pelaksanaan usaha itu.
Namun, tawakal lebih dahulu ini bukan dalam pengertian umum. Kita bisa bertanya, di
manakah letak tawakal-lebih-dahulu itu? Apakah ia berada dalam akal pikiran, dalam sifat kita,
dalam hawa nafsu, dalam rasa kita, dalam ruh atau sirr kita, atau di mana?
Singkat kata, orang yang ditempatkan oleh Tuhan dalam kelompok ahlut tajrid adalah
mereka yang benar-benar sudah mengenal diri mereka sendiri, yang berarti telah mengenal
Tuhannya sesuai dengan yang Dia kehendaki dan perkenalkan dalam firman-Nya maupun dalam
ciptaan-Nya, bukan menurut pikiran atau pemahaman kognitif kita sendiri. Kalau diri telah
mengenal Sang Pencipta, maka diri akan menyaksikan af’al atau perbuatan Tuhan dalam seluruh
sisi kehidupan, dan oleh sebab itu, ketika dia melakukan sesuatu berdasarkan apa yang termaktub
dalam dirinya, dia akan tawakal sejak dini dengan mengatakan ”ya” dan “sami’na wa atha’na”
di awal. Kepatuhan jenis ini bukan pada sisi lahiriah, bukan pula pada sisi pikiran atau daya
kognitif dan mental, melainkan kepatuhan pada sisi rohaniah atau sirri (rahasia insani) yang
membutuhkan kejernihan hati, ketika hawa nafsu, egoisme, sifat insani, beserta daya inderawi
telah sepenuhnya mengenal dirinya sendiri dan tunduk pada kehendak zat ilahi.
Kalau kita masih berada di ranah kausalitas, tentu akan berantakan jika melompat ke laku
ahlut tajrid yang membutuhkan lebih banyak syarat dan ketentuan khusus, serta berkaitan
dengan laku rohani yang lebih intensif. Oleh karena itu, “hijrah” sebagaimana penafsiran yang
diyakini oleh “sobat hijrah” itu bukan suatu persoalan serta tidak menimbulkan dampak
psikologis dan sosiologis yang parah jika (dan hanya jika) kita tahu diri dan benar-benar paham
tentang kedudukan kita sebagai hamba dan manusia, yakni manusia yang masih butuh sebab,
pertimbangan rasional, intelektual, sosial, kultural, dan ikhtiar lahiriah lain yang penuh
kesungguhan, tentu dalam batas hukum yang kita yakini atau sepakati.
Maka, belum tibakah bagi kita untuk lebih ngopeni ati, agar kita mengenal diri untuk bisa
hidup dalam kedamaian dan kepasrahan yang berada dalam titik keseimbangan dunia-akhirat?
Bukankah sebaik-baik urusan adalah yang seimbang atau pertengahan?
* Mahasiswa S1 Psikologi, Fakultas Pendidikan Psikologi, Universitas Negeri Malang. Dapat
dihubungi di nomor WhatsApp 085231975696.

Anda mungkin juga menyukai