1010117421404
TET
QADA’ BAIK
Pengertian Iman
Iman secara harfiah dalam Islam adalah berarti percaya kepada Allah. Dengan
itu orang yang beriman adalah ditakrifkan sebagai orang yang percaya (mukmin).
Siapa yang percaya maka dia dikatakan beriman. Perkataan Iman diambil dari
kata kerja ‘aamana’ – “yukminu’ yang berarti ‘percaya’ atau
‘membenarkan’.Perkataan Iman yang bererti ‘membenarkan’ itu disebutkan dalam
al-Quran, di antaranya dalam surah al-Taubah ayat 62 yang artinya: “Dia
(Muhammad) itu membenarkan (mempercayai) kepada Allah dan membenarkan
kepada para orang yang beriman.”
Takrif Iman menurut istilah syariat Islam ialah seperti diucapkan oleh:
Ali bin Abi Talib r.a. yang artinya: “Iman itu ucapan dengan lidah dan
kepercayaan yang benar dengan hati dan perbuatan dengan anggota.”
Aisyah r.a. berkata: “Iman kepada Allah itu mengakui dengan lisan dan
membenarkan dengan hati dan mengerjakan dengan anggota.”
Iman ialah membenarkan dengan hati, menyatakan dengan lisan, dan melakukan
dengan anggota badan.
Sungguh sulit bisa diterima akal sehat, bila seseorang menyatakan beriman
dengan lidahnya, namun tidak tercermin sedikit pun ruh dan nilai-nilai Islam
dalam kehidupan kesehariannya. Terlebih lagi bila dengan terang-terangan
menyatakan kufur (menolak) terhadap seluruh atau sebagian aturan dan hukum
Allah SWT.
Jadi ketika seorang manusia telah bisa ikhlas membenarkan dengan hati atas apa
yang ia yakini, dan mampu ikhlas menyatakan dengan lisan, dan mampu
mengimplementasikan serta mengamalkan dengan anggota badan dalam setiap
kesehariannya, maka ia bisa dinamakan sebagai “MANUSIA BERIMAN”.
Kata qada berarti ukuran (miqdar), dan taqdir (takdir) yaitu ukuran
sesuatu dan menjadikannya pada ukuran tertentu, atau menciptakan sesuatu
dengan ukurannya yang ditentukan. Sedangkan kata qadha berarti menuntaskan
dan memutuskan sesuatu, yang di dalamnya menyiratkan semacam unsur konvensi.
Terkadang dua kata ini digunakan secara sinonim yang berarti nasib.Maksud dari
takdir Ilahi yaitu bahwa Allah swt. telah menciptakan segala sesuatu serta telah
menetapkan kadar dan ukurannya masing-masing dari segi kuantitas, kualitas,
ruang dan waktu. Dan hal ini dapat teralisasi di dalam rangkaian sebab-
sebab.Sedangkan yang dimaksud qadha Ilahi adalah menyam-paikan sesuatu
kepada tahap kepastian wujudnya, setelah terpenuhinya sebab-sebab dan syarat-
syarat sesuatu itu. Berdasarkan maksud ini, tahap takdir itu lebih dahulu dari
tahap qadha’, karena di dalam takdir terdapat beberapa tahap gradual dan
syarat-syarat yang jauh, tengah dan dekat. Dan takdir ini dapat mengalami
perubahan dengan berubahnya sebagian sebab dan syaratnya.
Kaum mukmin yang meyakini bahwa setiap kejadian tidak bisa lepas dari
kehendak Allah Yang Bijak, dan semua kejadian itu bersumber dari takdir dan
qadha’ Ilahi, ia tidak akan merasa takut menghadapi peristiwa yang menyakitkan.
Ia tidak akan pernah berputus asa. Ketika ia merasa yakin bahwa kejadian-
kejadian itu merupakan bagian dari tatanan alam Ilahi Yang Bijak, pasti akan
terwujud sesuai dengan kemaslahatan dan kebijaksanaan, maka ia akan
menerimanya dengan lapang dada. Karena dengan jalan ini seorang mukmin akan
sampai kepada sifat-sifat yang terpuji seperti: sabar, tawakal, ridha, dan
sebagainya.
Demikian pula hati seorang mukmin tidak akan terkait dan tidak akan tertipu oleh
dunia, dan tidak akan bangga dengan kesenangannya. Ia tidak akan tertimpa
penyakit sombong. Dan ia tidak akan menjadikan nikmat Ilahi sebagai sarana
untuk mencapai status sosial.
“Tidak ada suatu bencana apa pun yang menimpa di muka bumi ini dan tidak pula
pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab lauh mahfuz, sebelum
Kami menciptakannya.Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.
Kami jelaskan yang demikian itu agar kalian tidak berduka cita dari apa yang
lepas dari diri kalian dan supaya kalian jangan terlalu bergembira terhadap apa
yang diberikan-Nya terhadap kalian dan Allah tidak menyukai orang yang
sombong lagi membanggakan diri.” (Qs. Al-Hadid: 22-23).
Sehingga sangat masuk akal jika dengan percaya Qada, manusia akan menemui
kesuksesan, karena ketika dia dalam kondisi di bawah maka ia takkan pernah
putus asa, dan ketika dia di posisi atas, maka ia pun takkan menjadi kufur atau
sombong.
Sebagian dari ajaran Islam, yang setiap waktu dapat digunakan menjadi pedoman
dan ujian dalam menilai hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang sesuai
dengan perkembangan fikiran dan kemajuan.
pikiran primitif
Artinya: yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak
mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagiNya dalam kekuasaan(Nya),
dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-
ukurannya dengan serapi-rapinya. (QS .Al-Furqan ayat 2).
a. Taqdir Mu’allaq
Taqdir mu’allaq adalah taqdir Allah swt yang masih dapat diusahakan kejadianya
oleh manusia.
Sebagai contoh dalam kehidupan ini, kita sering melihat dan mengalami
sunnahtullah,hukum Allah yang berlaku di bumi ini,yaitu hukum sebab akibat yang
bersifat tetap yang merupakan qada dan qadar sesuai kehendak swt.Seperti,
bumi brputar pada porosnya 24 jam sehari;bersama bulan,bumi mengitari bumi
kurang lebih 365 hari setahun; bulan mengitari bumi setahun {356 hari};air kalau
dipanaskan pada suhu 100 celsius akan mendidih,dan kalau didinginkan pada suhu.
Akan menjadi es ;matahari terbit disebelah timur dan teggelam disebelah
barat;dan banyak lagi contoh lainnya,kalau kita mau memikirkannya.
b. Taqdir Mubram
Taqdir mubram ialah taqdir yang pasti terjadi dan tidak dpat dielakkan
kejadiannya.dapat kita beri contoh nasib manusia,lahir, kematian, jodoh dan
rizkinya,terjadinya kiamat.dan sebagainya.
Qada’qadar Allah swt yang berhubungan dengan nasib manusia adalah rasia Allah
swt.hanya Allah swt yang mengetahuinya. Manusia diperintahkan mengetahui
qada’dan qadarnya melalui usaha dan ikhtiar. Kapan manusia lahir, bagaimana
ststusnya sosialnya, bagaimana rizkinya ,siapa anak istrinya,dan kapanya
meninggalnya,adalah rahasia Allah swt.jalan hidup manusia seperti itusdudah
ditetapkan sejak zaman azali yaitu masa sebelum terjadinya sesuatuatau massa
yang tidak bermulaan.tidak seorang pun yang mengetahui hal tersebut. adapun
yang pernah kita dengar peramal yang hebat,ketahuilah wahai saudara ku itu
adalah kebohongan balaka.kalaupun ada orang seperti itu maka amal ibadahnya
tidak akan diterima. Bahkan para tukng ramal pun mendapat azab dengan siksaan
yang pedih karena telah membohongi manusia dengan pura-pura mengetahui
rahasia Allah SWT. Allah swt berFirman:
Istilah Qada bila dimutlakkan, maka memuat makna Qadar dan sebaliknya istilah
Qadar bila dimutlakkan, maka memuat makna Qada, Akan tetapi bila dikatakan
"Qadha-Qadar", maka ada perbedaan di antara keduanya. Hal ini banyak terjadi
dalam bahasa Arab. Satu kata dapat bermakna yang luas ketika sendirian dan
punya makna khusus bila disatukan (dikumpulkan). Sebagai contoh dapat
dikatakan.
"Bila keduanya bersatu maka berbeda dan bila keduanya dipisah maka bersatu"
Maka kata Qada dan Qadar termasuk dalam kondisi seperti ini, artinya bila kata
Qada dipisahkan (dari kata Qadar), maka memuat Qadar dan sebaliknya kata
Qadar bila dipisahkan (dari kata Qada) maka memuat makna Qada. Akan tetapi
ketika dikumpulkan, kata Qada bermakna sesuatu yang ditetapkan Allah pada
mahluk-Nya, baik berupa penciptaan, peniadaan maupun perubahannya.
Sedangkan Qadar bermakna sesuatu yang telah ditentukan Allah sejak zaman
azali. Inilah perbedaan antara kedua istilah tersebut. Maka Qadar ada lebih
dahulu kemudian disusul dengan Qada.
Yakni beriman bahwasanya Allah itu mengetahui apa-apa yang telah terjadi dan
yang akan terjadi; menentukan dan menulisnya dalam lauhul mahfudz ; dan
bahwasanya segala sesuatu yang terjadi, baik maupun buruk, kafir, iman, ta'at,
ma'shiyat, itu telah dikehendaki, ditentukan dan diciptakan-Nya ; dan
bahwasanya Allah itu mencintai keta'atan dan membenci kemashiyatan.
Sedang hamba Allah itu mempunyai kekuasaan, kehendak dan kemampuan memilih
terhadap pekerjaan-pekerjaan yang mengantar mereka pada keta'atan atau
ma'shiyat, akan tetapi semua itu mengikuti kemauan dan kehendak Allah.
Berbeda dengan pendapat golongan Jabariyah yang mengatakan bahwa manusia
terpaksa dengan pekerjaan-pekerjaannya tidak memiliki pilihan dan kemampuan
sebaliknya golongan Qodariyah mengatakan bahwasanya hamba itu memiliki
kemauan yang berdiri sendiri dan bahwasanya dialah yang menciptkan pekerjaan
dirinya, kemauan dan kehendak hamba itu terlepas dari kemauan dan kehendak
Allah.
Allah benar-benar telah membantah kedua pendapat di atas dengan firman-Nya.
"Artinya : Dan kamu tidak bisa berkemauan seperti itu kecuali apabila Allah
menghendakinya". [At-Takwir : 29]
Dengan ayat ini Allah menetapkan adanya kehendak bagi setiap hamba sebagai
banyahan terhadap Jabariyah yang ekstrim, bahkan menjadikannya sesuai dengan
kehendak Allah, hal ini merupakan bantahan atas golongan Qodariyah. Dan
beriman kepada taqdir dapat menimbulkan sikap sabar sewaktu seorang hamba
menghadapi cobaan dan menjauhkannya dari segala perbuatan dosa dan hal-hal
yang tidak terpuji. bahkan dapat mendorong orang tersebut untuk giat bekerja
dan menjauhkan dirinya dari sikap lemah, takut dan malas.
Pada uraian tentang pengertian qadha dan qadar dijelaskan bahwa antara
qadha dan qadar selalu berhubungan erat . Qadha adalah ketentuan, hukum atau
rencana Allah sejak zaman azali. Qadar adalah kenyataan dari ketentuan atau
hukum Allah. Jadi hubungan antara qadha qadar ibarat rencana dan perbuatan.
Qadar atau takdir. Jika ada orang terkena musibah, lalu orang tersebut
mengatakan, ”sudah takdir”, maksudnya qadha dan qadar.
Diriwayatkan bahwa suatu hari Rasulullah SAW didatangi oleh seorang laki-
laki yang berpakaian serba putih , rambutnya sangat hitam. Lelaki itu bertanya
tentang Islam, Iman dan Ihsan. Tentang keimanan Rasulullah menjawab yang
artinya:
Lelaki itu adalah Malaekat Jibril yang sengaja datang untuk memberikan
pelajaran agama kepada umat Nabi Muhammad SAW. Jawaban Rasulullah yang
dibenarkan oleh Malaekat Jibril itu berisi rukun iman. Salah satunya dari rukun
iman itu adalah iman kepada qadha dan qadar. Dengan demikian , bahwa
mempercayai qadha dan qadar itu merupakan hati kita. Kita harus yakin dengan
sepenuh hati bahwa segala sesuatu yang terjadi pada diri kita, baik yang
menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan adalah atas kehendak Allah.
Sebagai orang beriman, kita harus rela menerima segala ketentuan Allah atas
diri kita. Di dalam sebuah hadits qudsi Allah berfirman yang artinya: ” Siapa
yang tidak ridha dengan qadha-Ku dan qadar-Ku dan tidak sabar terhadap
bencana-Ku yang aku timpakan atasnya, maka hendaklah mencari Tuhan selain
Aku. (H.R.Tabrani)
Takdir Allah merupakan iradah (kehendak) Allah. Oleh sebab itu takdir tidak
selalu sesuai dengan keinginan kita. Tatkala takdir atas diri kita sesuai dengan
keinginan kita, hendaklah kita beresyukur karena hal itu merupakan nikmat yang
diberikan Allah kepada kita. Ketika takdir yang kita alami tidak menyenangkan
atau merupakan musibah, maka hendaklah kita terima dengan sabar dan ikhlas.
Kita harus yakin, bahwa di balik musibah itu ada hikmah yang terkadang kita
belum mengetahuinya. Allah Maha Mengetahui atas apa yang diperbuatnya.
Iman kepada qadha dan qadar artinya percaya dan yakin dengan sepenuh
hati bahwa Allah SWT telah menentukan tentang segala sesuatu bagi
makhluknya. Berkaitan dengan qadha dan qadar, Rasulullah SAW bersabda yang
artinya sebagai berikut yang artinya
Dari hadits di atas dapat kita ketahui bahwa nasib manusia telah
ditentukan Allah sejak sebelum ia dilahirkan. Walaupun setiap manusia telah
ditentukan nasibnya, tidak berarti bahwa manusia hanya tinggal diam menunggu
nasib tanpa berusaha dan ikhtiar. Manusia tetap berkewajiban untuk berusaha,
sebab keberhasilan tidak datang dengan sendirinya.
Mendengar jawaban demikian, Khalifah Umar marah, lalu berkata, ” Pukul saja
orang ini dengan cemeti, setelah itu potonglah tangannya! .” Orang-orang yang ada
disitu bertanya, ” Mengapa hukumnya diberatkan seperti itu? ”Khalifah Umar
menjawab, ”Ya, itulah yang setimpal. Ia wajib dipotong tangannya sebab mencuri
dan wajib dipukul karena berdusta atas nama Allah”.
Mengenai hubungan antara qadha dan qadar dengan ikhtiar ini, para ulama
berpendapat, bahwa takdir itu ada dua macam :
1.Takdir mua’llaq: yaitu takdir yang erat kaitannya dengan ikhtiar manusia.
Contoh seorang siswa bercita-cita ingin menjadi insinyur pertanian. Untuk
mencapai cita-citanya itu ia belajar dengan tekun. Akhirnya apa yang ia cita-
citakan menjadi kenyataan. Ia menjadi insinyur pertanian. Dalam hal ini Allah
berfirman:
2.Takdir mubram; yaitu takdir yang terjadi pada diri manusia dan tidak
dapat diusahakan atau tidak dapat di tawar-tawar lagi oleh manusia. Contoh. Ada
orang yang dilahirkan dengan mata sipit , atau dilahirkan dengan kulit hitam
sedangkan ibu dan bapaknya kulit putih dan sebagainya.
Hikmah
Firman Allah:
Artinya:”dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah( datangnya),
dan bila ditimpa oleh kemudratan, maka hanya kepada-Nya lah kamu
meminta pertolongan. ”( QS. An-Nahl ayat 53).
Orang yang tidak beriman kepada qadha dan qadar, apabila memperoleh
keberhasilan, ia menganggap keberhasilan itu adalah semata-mata karena hasil
usahanya sendiri. Ia pun merasa dirinya hebat. Apabila ia mengalami kegagalan, ia
mudah berkeluh kesah dan berputus asa , karena ia menyadari bahwa kegagalan
itu sebenarnya adalah ketentuan Allah.
Sabda Rasulullah: yang artinya” Tidak akan masuk sorga orang yang didalam
hatinya ada sebiji sawi dari sifat kesombongan.” ( HR. Muslim)
Manusia tidak mengetahui takdir apa yang terjadi pada dirinya. Semua orang
tentu menginginkan bernasib baik dan beruntung. Keberuntungan itu tidak datang
begitu saja, tetapi harus diusahakan. Oleh sebab itu, orang yang beriman kepada
qadha dan qadar senantiasa optimis dan giat bekerja untuk meraih kebahagiaan
dan keberhasilan itu.
Firaman Allah:
Artinya : Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu
dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS Al- Qashas ayat 77)
4.Menenangkan jiwa
Artinya : Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang
tenang lagi diridhai-Nya. Maka masuklah kedalam jamaah hamba-hamba-
Ku, dan masuklah kedalam sorga-Ku.( QS. Al-Fajr ayat 27-30)
Apabila seorang hamba dikaruniai sikap qana’ah, maka akan bersinarlah cahaya
kebahagiaan, tetapi apabila sebaliknya (apabila ia tidak memiliki sikap qana’ah),
maka hidupnya akan keruh dan akan bertambah pula kepedihan dan kerugiannya,
disebabkan oleh jiwanya yang tamak dan rakus. Seandainya jiwa itu bersikap
qana’ah, maka sedikitlah musibahnya. Sebab orang yang tamak adalah orang yang
terpenjara dalam keinginan dan sebagai tawanan nafsu syahwat.
Kemudian, bahwa qana’ah itu pun dapat menghimpun bagi pelakunya kemuliaan
diri, menjaga wibawanya dalam pandangan dan hati, serta mengangkatnya dari
tempat-tempat rendah dan hina, sehingga tetaplah kewibawaan, melimpahnya
karamah, kedudukan yang tinggi, tenangnya bathin, selamat dari kehinaan, dan
bebas dari perbudakan hawa nafsu dan keinginan yang rendah. Sehingga ia tidak
mencari muka dan bermuka dua, ia pun tidak melakukan sesuatu kecuali hal itu
dapat memenuhi (menambah) imannya, dan hanya kebenaranlah yang ia junjung.
Kesimpulannya, hal yang dapat memutuskan harapan kepada makhluk dari hati
adalah ridha dengan pembagian Allah Azza wa Jalla (qana’ah). Barangsiapa ridha
dengan hukum dan pembagian Allah, maka tidak akan ada tempat pada hatinya
untuk berharap kepada makhluk.
Di antara kalimat yang indah berkenaan dengan hal ini adalah sya’ir yang
dinisbatkan kepada Amirul Mukminin, ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu:
Qana’ah memberikan manfaat kepadaku berupa kemuliaan adakah kemuliaan yang
lebih mulia dari qana’ah Jadikanlah ia sebagai modal bagi dirimu kemudian
setelahnya, jadikanlah takwa sebagai barang dagangan. Niscaya akan engkau
peroleh keuntungan dan tidak perlu memelas kepada orang yang bakhil Engkau
akan memperoleh kenikmatan dalam Surga dengan kesabaran yang hanya sesaat.
Berkata Imam asy-Syafi’i rahimahullahu: Aku melihat qana’ah sebagai
perbendaharaan kekayaan maka aku pegangi ekor-ekornya Tidak ada orang yang
melihatku di depan pintunya dan tidak ada orang yang melihatku bersungguh-
sungguh dengannya Aku menjadi kaya dengan tanpa dirham dan aku berlalu di
hadapan manusia seperti raja. Tsa’alabi berkata, “Sebaik-baik ucapan yang saya
dengar tentang qana’ah ialah ucapan.
Ibnu Thabathaba al-‘Alawi: Jadilah engkau orang yang qana’ah dengan apa yang
diberikan kepadamu maka engkau telah berhasil melewati kesulitan qana’ah orang
yang hidup berkecukupan Sesungguhnya usaha dalam mencapai angan, nyaris
membinasakan
dan kebinasaan seseorang terletak dalam kemewahan.
Maksud dari cita-cita yang tinggi adalah menganggap kecil apa yang bukan akhir
dari perkara-perkara yang mulia. Sedangkan cita-cita yang rendah, yaitu
sebaliknya dari hal itu, ia lebih mengutamakan sesuatu yang tidak berguna, ridha
dengan kehinaan, dan tidak menggapai perkara-perkara yang mulia. Iman kepada
qadar membawa pelakunya kepada kemauan yang tinggi dan menjauhkan mereka
dari kemalasan, berpangku tangan, dan pasrah kepada takdir.
Karena itu, Anda melihat orang yang beriman kepada qadar -dengan keimanan
yang benar- adalah tinggi cita-citanya, besar jiwanya, mencari kesempurnaan,
dan menjauhi perkara-perkara remeh dan hina. Ia tidak rela kehinaan untuk
dirinya, tidak puas dengan keadaan yang pahit lagi menyakitkan, dan tidak pasrah
terhadap berbagai aib dengan dalih bahwa takdir telah menentukannya. Bahkan
keimanannya mengharuskannya untuk berusaha bang-kit, mengubah keadaan yang
pahit serta menyakitkan kepada yang lebih baik dengan cara-cara yang
disyari’atkan, dan untuk terbebas dari berbagai aib dan kekurangan. (Karena)
berdalih dengan takdir hanyalah dibenarkan pada saat tertimpa musibah, bukan
pada aib-aib (yang dilakukannya)
Iman kepada qada akan membawa kepada keadilan dalam segala keadaan, sebab
manusia dalam kehidupan dunia ini mengalami keadaan bermacam-macam.
Adakalanya diuji dengan kefakiran, adakalanya mendapatkan kekayaan yang
melimpah, adakalanya menikmati kesehatan yang prima, adakalanya diuji dengan
penyakit, adakalanya memperoleh jabatan dan popularitas, dan adakalanya
setelah itu dipecat (dari jabatan), hina, dan kehilangan nama.
Perkara-perkara ini dan sejenisnya memiliki pengaruh dalam jiwa. Kefakiran
dapat membawa kepada kehinaan, kekayaan bisa mengubah akhlak yang baik
menjadi kesombongan, dan perilakunya menjadi semakin buruk.
Sakit bisa mengubah watak, sehingga akhlak menjadi tidak lurus, dan seseorang
tidak mampu tabah bersamanya. Demikian pula kekuasaan dapat mengubah akhlak
dan meng-ingkari sahabat karib, baik karena buruknya tabiat maupun sem-pitnya
dada.
Sebaliknya dari hal itu ialah pemecatan. Adakalanya hal itu dapat
memburukkan akhlak dan menyempitkan dada, baik karena kesedihan yang
mendalam maupun karena kurangnya kesabaran.Begitulah, keadaan-keadaan
tersebut menjadi tidak lurus pada garis keadilan, karena keterbatasan,
kebodohan, kelemahan, dan kekurangan dalam diri hamba tersebut.
Kecuali orang yang beriman kepada qada dengan sebenarnya, maka kenikmatan
tidak membuatnya sombong dan musibah tidak membuatnya berputus asa,
kekuasaan tidak membuatnya congkak, pemecatan tidak menurunkannya dalam
kesedihan, kekayaan tidak membawanya kepada keburukan dan kesombongan, dan
kefakiran pun tidak menurunkannya kepada kehinaan.
Orang-orang yang beriman kepada qada menerima sesuatu yang menggembirakan
dan menyenangkan dengan sikap menerima, bersyukur kepada Allah atasnya, dan
menjadikannya sebagai sarana atas berbagai urusan akhirat dan dunia. Lalu,
dengan melakukan hal tersebut, mereka mendapatkan, berbagai kebaikan dan
keberkahan, yang semakin melipatgandakan kegembiraan mereka. Mereka
menerima hal-hal yang tidak disenangi dengan keridhaan, mencari pahala,
bersabar, menghadapi apa yang dapat mereka hadapi, meringankan apa yang
dapat mereka ringankan, dan dengan kesabaran yang baik terhadap apa yang
harus mereka bersabar terhadapnya. Sehingga mereka, dengan sebab itu, akan
mendapatkan berbagai kebaikan yang besar yang dapat menghilangkan hal-hal
yang tidak disukai, dan digantikan oleh kegembiraan dan harapan yang baik.
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz rahimahullahu berkata, “Aku memasuki waktu pagi,
sedangkan kebahagiaan dan kesusahan sebagai dua kendaraan di depan pintuku,
aku tidak peduli yang manakah di antara keduanya yang aku tunggangi.”
Dengan beriman kepada qadha, banyak hikmah yang amat berharga bagi kita
dalam menjalani kehidupan dunia dan mempersiapkan diri untuk kehidupan
akhirat. Hikmah tersebut antara lain:
Artinya:”dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah( datangnya),
dan bila ditimpa oleh kemudratan, maka hanya kepada-Nya lah kamu meminta
pertolongan. ”( QS. An-Nahl ayat 53).
Artinya : Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari
(kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah
telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka)
bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
(QS Al- Qashas ayat 77)
d) Jiwanya tenang
Orang yang beriman kepada qadha senantiasa mengalami ketenangan jiwa dalam
hidupnya, sebab ia selalu merasa senang dengan apa yang ditentukan Allah
kepadanya. Jika beruntung atau berhasil, ia bersyukur. Jika terkena musibah
atau gagal, ia bersabar dan berusaha lagi.
Artinya :
Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang tenang lagi
diridhai-Nya. Maka masuklah kedalam jamaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah
kedalam sorga-Ku.( QS. Al-Fajr ayat 27-30)
Tanya jawab
Pertanyaan :
Apa perbedaan antara Qadha’ dan Qadhar ?
Jawab :
Ulama berbeda pendapat mengenai perbedaan antara keduanya. Di antara
mereka ada yang mengatakan bahwa qadar adalah taqdir Allah sejak zaman azali,
sedangkan qadha’ adalah hukum Allah mengenai sesuatu ketika sesuatu itu
terjadi . Jika Allah menetapkan terjadinya sesuatu pada waktu yang ditentukan,
maka itulah yang dinamakan qadar. Dan ketika telah datang waktunya terjadinya
sesuatu yang telah ditetapkan sebelumnya itu, maka itulah yang dinamakan
qadha’. Semacam ini banyak sekali kita dapatkan dalam Al-Qur’an, seperti firman
Allah :
Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang semisal. Jadi, qadar adalah ketentuan Allah
mengenai segala sesuatu pada zaman azali, sedangkan qadha’ adalah pelaksanaan
dari qadar itu pada saat terjadinya.
Ada juga ulama yang mengatakan bahwa kedua istilah itu memiliki satu makna
atau satu pengertian. Namun yang kuat adalah jika keduanya disandingkan, maka
keduanya memiliki perbedaan arti seperti bisa kita lihat di atas, dan jika
dipisahkan atau berdiri sendiri, maka kedua istilah itu memiliki satu makna .
Wallahu a’lam.
Pertanyaan :
Bagaimana pengaruh Qadha’ dan Qadar terhadap bertambahnya iman ?
Jawab :
Qadha’ dan Qadar akan membantu seorang muslim dalam mengatasi urusan agama
dan dunianya, karena dia beriman bahwa qudrah Allah ‘Azza wa Jalla di atas
segala qudrah, dan jika Allah Ta’ala menghendaki sesuatu tidak ada yang bisa
menghalanginya. Jika seorang mukmin tidak percaya ini semua, ia akan berusaha
dan mencari sarana untuk kesampaian maksudnya.
Kita semua telah tahu dari sejarah masa lalu dimana kaum muslimin mampu
meraih kemenangan yang luar biasa meskipun jumlah mereka sedikit. Itu semua
karena keimanan mereka dengan janji Allah ‘Azza wa Jalla serta keimanan
mereka dengan qadha’ dan qadar, dan mereka yakin bahwa segala urusan ada di
tangan Allah ‘Azza wa Jalla.
Pertanyaan :
Adakah sesuatu yang buruk dalam qadar Allah ?
Jawab :
Dalam qadar Allah tidak ada sesuatu yang buruk, akan tetapi keburukan itu
terdapat pada yang ditakdirkan. Kita tahu bahwa ada orang yang mendapatkan
musibah dan ada juga yang mendapatkan untung. Musibah merupakan sesuatu
yang buruk, akan tetapi keburukan itu tidaklah perbuatan Allah Ta’ala, yakni
perbuatan dan takdir Allah itu bukan merupakan keburukan. Keburukan ada pada
yang diperbuat oleh-Nya, bukan pada perbuatan-Nya. Allah tidaklah
mentakdirkan keburukan ini melainkan untuk sesuatu kebaikan. Allah Ta’ala
berfirman :
Jadi, musibah ini pada akhirnya merupakan kebaikan. Dengan demikian keburukan
itu tidak disandarkan kepada Tuhan, akan tetapi disandarkan sesuatu yang
diperbuat dan kepada mahluk. Ini bisa diartikan suatu keburukan dari satu sisi
dan merupakan kebaikan di sisi yang lain. Kalau dilihat bencananya yang terjadi,
maka itu suatu keburukan, namun jika dilihat dari akibatnya, maka itu suatu
kebaikan.
“Agar Allah merasakan kepada mereka sebagian dari perbuatan mereka, agar
mereka kembali “.