Anda di halaman 1dari 20

Defrino Gionaldo

1010117421404
TET

QADA’ BAIK

Pengertian Iman

Iman secara harfiah dalam Islam adalah berarti percaya kepada Allah. Dengan
itu orang yang beriman adalah ditakrifkan sebagai orang yang percaya (mukmin).
Siapa yang percaya maka dia dikatakan beriman. Perkataan Iman diambil dari
kata kerja ‘aamana’ – “yukminu’ yang berarti ‘percaya’ atau
‘membenarkan’.Perkataan Iman yang bererti ‘membenarkan’ itu disebutkan dalam
al-Quran, di antaranya dalam surah al-Taubah ayat 62 yang artinya: “Dia
(Muhammad) itu membenarkan (mempercayai) kepada Allah dan membenarkan
kepada para orang yang beriman.”

Takrif Iman menurut istilah syariat Islam ialah seperti diucapkan oleh:

Ali bin Abi Talib r.a. yang artinya: “Iman itu ucapan dengan lidah dan
kepercayaan yang benar dengan hati dan perbuatan dengan anggota.”

Aisyah r.a. berkata: “Iman kepada Allah itu mengakui dengan lisan dan
membenarkan dengan hati dan mengerjakan dengan anggota.”

Imam al-Ghazali menguraikan makna Iman seperti berikut: “Pengakuan dengan


lidah (lisan) membenarkan pengakuan itu dengan hati dan mengamalkannya dengan
rukun-rukun (anggota-anggota).”

Kesimpulannya dapat dinyatakan bahawa Iman ialah keyakinan yang dibenarkan


oleh hati, diucapkan dengan mulut (lidah) dan dibuktikan dengan amalan.
Ringkasnya orang yang beriman ialah orang yang percaya, mengaku dan beramal.
Tanpa tiga syarat ini, seseorang itu belumlah dikatakan beriman yang sempurna.
Ketiadaan satu sahaja dari yang tiga itu, sudah lainlah nama yang Islam berikan
pada seseorang itu, iaitu fasik, munafik atau kafir.

Iman ialah membenarkan dengan hati, menyatakan dengan lisan, dan melakukan
dengan anggota badan.

Konsekuensi dari keimanan adalah keikhlasan setiap mukmin untuk ber-Islam


(patuh dan taat) terhadap semua aturan dan hukum Allah SWT, baik dalam
kaitan hablum minallah maupun hablum minannaas, termasuk dalam urusan pribadi
dan keluarga serta dalam kaitannya dengan kehidupan bermasyarakat dan
bernegara.

Sungguh sulit bisa diterima akal sehat, bila seseorang menyatakan beriman
dengan lidahnya, namun tidak tercermin sedikit pun ruh dan nilai-nilai Islam
dalam kehidupan kesehariannya. Terlebih lagi bila dengan terang-terangan
menyatakan kufur (menolak) terhadap seluruh atau sebagian aturan dan hukum
Allah SWT.

Jadi ketika seorang manusia telah bisa ikhlas membenarkan dengan hati atas apa
yang ia yakini, dan mampu ikhlas menyatakan dengan lisan, dan mampu
mengimplementasikan serta mengamalkan dengan anggota badan dalam setiap
kesehariannya, maka ia bisa dinamakan sebagai “MANUSIA BERIMAN”.

Kata qada berarti ukuran (miqdar), dan taqdir (takdir) yaitu ukuran
sesuatu dan menjadikannya pada ukuran tertentu, atau menciptakan sesuatu
dengan ukurannya yang ditentukan. Sedangkan kata qadha berarti menuntaskan
dan memutuskan sesuatu, yang di dalamnya menyiratkan semacam unsur konvensi.
Terkadang dua kata ini digunakan secara sinonim yang berarti nasib.Maksud dari
takdir Ilahi yaitu bahwa Allah swt. telah menciptakan segala sesuatu serta telah
menetapkan kadar dan ukurannya masing-masing dari segi kuantitas, kualitas,
ruang dan waktu. Dan hal ini dapat teralisasi di dalam rangkaian sebab-
sebab.Sedangkan yang dimaksud qadha Ilahi adalah menyam-paikan sesuatu
kepada tahap kepastian wujudnya, setelah terpenuhinya sebab-sebab dan syarat-
syarat sesuatu itu. Berdasarkan maksud ini, tahap takdir itu lebih dahulu dari
tahap qadha’, karena di dalam takdir terdapat beberapa tahap gradual dan
syarat-syarat yang jauh, tengah dan dekat. Dan takdir ini dapat mengalami
perubahan dengan berubahnya sebagian sebab dan syaratnya.

Kaum mukmin yang meyakini bahwa setiap kejadian tidak bisa lepas dari
kehendak Allah Yang Bijak, dan semua kejadian itu bersumber dari takdir dan
qadha’ Ilahi, ia tidak akan merasa takut menghadapi peristiwa yang menyakitkan.
Ia tidak akan pernah berputus asa. Ketika ia merasa yakin bahwa kejadian-
kejadian itu merupakan bagian dari tatanan alam Ilahi Yang Bijak, pasti akan
terwujud sesuai dengan kemaslahatan dan kebijaksanaan, maka ia akan
menerimanya dengan lapang dada. Karena dengan jalan ini seorang mukmin akan
sampai kepada sifat-sifat yang terpuji seperti: sabar, tawakal, ridha, dan
sebagainya.

Demikian pula hati seorang mukmin tidak akan terkait dan tidak akan tertipu oleh
dunia, dan tidak akan bangga dengan kesenangannya. Ia tidak akan tertimpa
penyakit sombong. Dan ia tidak akan menjadikan nikmat Ilahi sebagai sarana
untuk mencapai status sosial.

Allah swt. menyinggung manfaat-manfaat besar ini melalui ayat-Nya:

“Tidak ada suatu bencana apa pun yang menimpa di muka bumi ini dan tidak pula
pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab lauh mahfuz, sebelum
Kami menciptakannya.Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.
Kami jelaskan yang demikian itu agar kalian tidak berduka cita dari apa yang
lepas dari diri kalian dan supaya kalian jangan terlalu bergembira terhadap apa
yang diberikan-Nya terhadap kalian dan Allah tidak menyukai orang yang
sombong lagi membanggakan diri.” (Qs. Al-Hadid: 22-23).

Sehingga sangat masuk akal jika dengan percaya Qada, manusia akan menemui
kesuksesan, karena ketika dia dalam kondisi di bawah maka ia takkan pernah
putus asa, dan ketika dia di posisi atas, maka ia pun takkan menjadi kufur atau
sombong.

Sebagian dari ajaran Islam, yang setiap waktu dapat digunakan menjadi pedoman
dan ujian dalam menilai hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang sesuai
dengan perkembangan fikiran dan kemajuan.

Pemikiran tentang Qada

pikiran primitif

Sejak zaman dahulu, kepercayaan manusia kepada takdir selalu


menyertai kepercayaan kepada sesembahannya. Sebelum adanya agama-agama
ber-Kitab Suci, sebelum lahirnya agama-agama besar yang dipercapai oleh
berbagai bangsa beradab pada zaman dahulu, manusia dalam kebodohannya yang
primitif mempercapai dan menyembah berbagai macam Tuhan dan roh. Mengapa ?
Karena mereka percaya bahwa semua sesembahan itu menentukan urusan
mereka, dapat merintangi sebagian dari keinginan mereka, dapat memaksakan
sesuatu yang tidak mereka inginkan, dan mencampuri apa yang mereka inginkan
dan yang tidak mereka inginkan.
Manusia tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa sejak dahulu kala
kemerdekaan mereka terbatas, dan tidak selalu dapat memperoleh apa yang
diinginkan. Mereka merasa perlu menjinakkan kekuatan-kekuatan yang
mengelilinginya, yang dianggap dapat memberi dan mencegah. Caranya adakalanya
dengan memberikan sesaji atau kurban, atau dengan upacara-uapacara
keagamaan, pembacaan mantra-mantra dan lain sebagainya.
Manusia mengharapkan hujan turun, tetapi hujan tidak turun. Mereka
ke luar memburuk, kadang-kadang mendapat hasil banyak, tetapi kadang-kadang
amat sedikit, bahkan adakalanya tak seekor buruan pun berhasil ditangkap.
Dengan pengalamannya itu, mereka menyadari bahwa sesungguhnya mereka tidak
berdaya kemauan suatu kekuatan yang menentukan nasibnya, beruntung atau
malang. Akhirnya mereka menyadari bahwa kemauan mereka sendiri bukan satu-
satunya kekuatan yang dapat memenuhi keinginan mereka, atau dapat menangkal
apa yang mereka takuti.
Itulah qadar atau takdir dalam pengertiannya yang amat sederhana,
pada dahulukala.
Tetapi, dalam fikiran manusia primitif, takdir tidak terbayang sebagai
suatu aturan tertentu yang telah ditetapkan untuk mengurus kelangsungan hidup
alam semesta. Atau sebagai langkah tertentu yang telah diletakkan untuk
mengarahkan kehidupan manusia. Karena itu, memahami soal takdir tidak akan
mudah sebelum manusia dapat memahami lebih dahulu fenomena-fenomena alam
semesta aturan-aturan dan hukum yang berkaitan dengannya.
Pengertian takdir pada manusia primitif ialah, mereka membayangkan
adanya suatu kekuasaan luar biasa yang menentukan kesenangan dan kekuasaan
hidupnya. Yaitu kekuasaan yang berbuat semuanya terhadap manusia, dan tidak
menyukai atau tidak menyukai sesuatu.
Barangkali manusia primitif merasa bahwa Tuhan-Tuhan dan roh-roh
yang mereka sembah gemar mempercayakan dan menakut-nakuti. Atau para
Tuhan dan roh senang menghina manusia dan membanggakan kekuatannya.
Sedangkan manusia sendiri, dalam pada itu, tidak mengerti apa sesungguhnya
yang diinginkan dan yang tidak diinginkan oleh tuhan-tuhan atau roh-roh yang
mereka sembah. Manusia hanya mengerti bahwa sesembah mereka ingin dipuji-
puja, dirayu dan disenang-senangkan mau memberi sesuatu yang diinginkan
manusia.
Setelah manusia mengenal sedikit tatanan alam wujud, diikuti
pengertian mereka mengenai takdir yang meningkat, sosok takdir yang semulanya
kacau menjadi agak jelas. Manusia mulai mengartikan takdir dengan pengaturan
dan pengurusan alam. Pada tahap lebih lanjut mereka mulai memasukkan ke dalam
kekuasaan takdir semua yang berada di bumi dan di langit, termasuk manusia
sendiri. Bahkan, tuhan-tuhan dan roh-roh sesembahanlah yang pertama-tama
mereka masukkan ke dalam kekuasaan takdir sebelum diri mereka sendiri.

Dikalangan Ummat Muslim

Setelah dakwah Islam menyebar ke mana-mana, kaum Muslimin bangkit


memberikan sumbangan besar sekali dalam pembahasan masalah qadha dan qadar.
Mereka membahas masalah tersebut dari berbagai segi yang berlainan. Turut
ambil bagian dalam pembahasan itu para pemuka agama dan para ahli tafsir,
tokoh-tokoh politik dan pemerintahan (kekhalifahan), para ilmuwan dan filosofi,
serta tokoh-tokoh lainnya yang biasa berdiskusi dengan para pemuka ahlul kitab,
atau para pemuka dari agama lain. Di semua pelosok negeri Islam, kaum Muslimin
bercampurgaul dengan para pemeluk agama lain.
Setiap dari kaum Muslimin mengemukakan pendapat tentang masalah
qadha dan qadar (takdir), mereka senantiasa menyebut nash sebagai dasar
argumentasinya, atau setelah pendapat itu diuji dan dikoreksi lebih dulu. Secara
garis besar, pendapat-pendapat mengenai masalah tersebut dapat kita bagi
menjadi tiga aliran, yang tentangnya para ahli ilmu Kalam (teologi Islam) berbeda
pendapat mengenai sejumlah masalah besar. Tiga aliran itu ialah : 1) Kelompok
ekstrem yang memastikan segala-segalanya serba takdir; 2) Kelompok ekstrem
yang mengingkari adanya takdir; dan 3) Kelompok moderat yang berijtihad
mengadakan persesuaian antara kedua kelompok tersebut.
Ketiga kelompok itu bernama : 1) Kelompok Jabriyyah; 2) Kelompok
Qadriyyah. Penggunaan nama ini karena mereka berpendapat bahwa manusia
bebas menentukan dirinya sendiri. Jadi, nama “Qadriyyah” menyimpang dari
makna yang lazim dimengerti pada penamaan itu sendiri. 3) Kelompok moderat,
yaitu kaum ahlus sunnah yang bersikap tengah-tengah, antara aliran Jabriyyah
dan Qadriyyah.

Pengertian Qada dan Qadar

Pengertian Qadha dan Qadar Menurut bahasa  Qadha memiliki beberapa


pengertian yaitu: hukum, ketetapan,pemerintah, kehendak, pemberitahuan,
penciptaan. Menurut istilah Islam, yang dimaksud dengan qadha adalah ketetapan
Allah sejak zaman Azali sesuai dengan iradah-Nya tentang segala sesuatu yang
berkenan dengan makhluk. Sedangkan Qadar arti qadar menurut bahasa adalah:
kepastian, peraturan, ukuran. Adapun menurut Islam qadar perwujudan atau
kenyataan ketetapan Allah terhadap semua makhluk dalam kadar dan berbentuk
tertentu sesuai dengan iradah-Nya. Firman Allah:

Artinya: yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak
mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagiNya dalam kekuasaan(Nya),
dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-
ukurannya dengan serapi-rapinya. (QS .Al-Furqan ayat 2).

Untuk memperjelas pengertian qadha dan qadar, berikut ini dikemkakan


contoh. Saat ini Abdurofi melanjutkan pelajarannya di SMK. Sebelum Abdurofi
lahir, bahkan sejak zaman azali Allah telah menetapkan, bahwa seorang anak
bernama Abdurofi akan melanjutkan pelajarannya di SMK. Ketetapan Allah di
Zaman Azali disebut Qadha. Kenyataan bahwa saat terjadinya disebut qadar
atau takdir. Dengan kata lain bahwa qadar adalah perwujudan dari qadha. Jadi,
kalau kita melihat qada’menurut bahasa artinya Ketetapan. Qada’artinya
ketatapan Allah swt kepada setiap mahluk-Nya yang bersifat Azali.Azali Artinya
ketetapan itu sudah ada sebelumnya keberadaan atau kelahiran mahluk.
Sedangkan Qadar artinya menurut bahasa berarti ukuran.Qadar artinya terjadi
penciptaan sesuai dengan ukuran atau timbangan yang telah ditentuan
sebelumnya. Qaqda’ Qadar dalam keseharian sering kita sebut dengan takdir.
2. Dalil kebenaran adanya Qada dan Qadar
Takdir terbagi menjadi dua bagian,yakninya:

a. Taqdir Mu’allaq

Taqdir mu’allaq adalah taqdir Allah swt yang masih dapat diusahakan kejadianya
oleh manusia.
Sebagai contoh dalam kehidupan ini, kita sering melihat dan mengalami
sunnahtullah,hukum Allah yang berlaku di bumi ini,yaitu hukum sebab akibat yang
bersifat tetap yang merupakan qada dan qadar sesuai kehendak swt.Seperti,
bumi brputar pada porosnya 24 jam sehari;bersama bulan,bumi mengitari bumi
kurang lebih 365 hari setahun; bulan mengitari bumi setahun {356 hari};air kalau
dipanaskan pada suhu 100 celsius akan mendidih,dan kalau didinginkan pada suhu.
Akan menjadi es ;matahari terbit disebelah timur dan teggelam disebelah
barat;dan banyak lagi contoh lainnya,kalau kita mau memikirkannya.

b. Taqdir Mubram
Taqdir mubram ialah taqdir yang pasti terjadi dan tidak dpat dielakkan
kejadiannya.dapat kita beri contoh nasib manusia,lahir, kematian, jodoh dan
rizkinya,terjadinya kiamat.dan sebagainya.
Qada’qadar Allah swt yang berhubungan dengan nasib manusia adalah rasia Allah
swt.hanya Allah swt yang mengetahuinya. Manusia diperintahkan mengetahui
qada’dan qadarnya melalui usaha dan ikhtiar. Kapan manusia lahir, bagaimana
ststusnya sosialnya, bagaimana rizkinya ,siapa anak istrinya,dan kapanya
meninggalnya,adalah rahasia Allah swt.jalan hidup manusia seperti itusdudah
ditetapkan sejak zaman azali yaitu masa sebelum terjadinya sesuatuatau massa
yang tidak bermulaan.tidak seorang pun yang mengetahui hal tersebut. adapun
yang pernah kita dengar peramal yang hebat,ketahuilah wahai saudara ku itu
adalah kebohongan balaka.kalaupun ada orang seperti itu maka amal ibadahnya
tidak akan diterima. Bahkan para tukng ramal pun mendapat azab dengan siksaan
yang pedih karena telah membohongi manusia dengan pura-pura mengetahui
rahasia Allah SWT. Allah swt berFirman:

Artiya:”setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu


sendiri,semuanya telah tertulis dalam kitab {lauh mahfuz} sebelum kami
mewujudkannya.sungguh yang demikian itu mudah bagi Allah.” {Q.S.Al-hadid,}

Ayat diatas menjelaskan bahwa manusia seelum diciptakan ,ALLAH SWT


teriebih dahulu telah menentukan ketetapan-ketetapanNya bagi manusia yang
ditulis dilauh mahfuz
. Dengan menyakini qada dan qadarnya, lantas apakah kita hgarus pasrah begitu
saja?Toh, semua nasib manusia dan perbuatan manusia telah datentukan oleh
ALLAH SWT. Tapi siapakah yang mentaqdirkan manusia iti?,siapa yang tau bahwa
kita-kita manjadi petani, pedagang ,atau bahkan penjahat,siapa jodoh
kita.bagaimana rezki kita,dan lain sebagainya?siapa yang tau kalau kita jadi
petani,pedagang ataukan pejabat? Tidak ada seorang pun yang tau!untuk itu
alangkah naifnya kalau kit pasrah begitu saja. Pasrah berarti mernunggu
taqdir,sedangkan taq1dir itu tidak kita ketahui, oleh sebab itu,sikap hidup ialah
mencari taqdir.artinya berusaha dernga sekuat tenaga melalui berbagai cara
yang ditunjukan Allah SWT.untuk menentukan nasib kita sendiri.iyalah yang
disebut dengan ikhtiar.
Allah SWT berfirman:

Artinya:“…….sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum


sebelum mereka mengubah keadaan mereka sendiri .dan apabila Allah
menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tidak dapat yang menolaknya
dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia,:”{Q.S.Ar-RA’DU,13:11).

Hubungan antara Qadha dan Qadar

Istilah Qada bila dimutlakkan, maka memuat makna Qadar dan sebaliknya istilah
Qadar bila dimutlakkan, maka memuat makna Qada, Akan tetapi bila dikatakan
"Qadha-Qadar", maka ada perbedaan di antara keduanya. Hal ini banyak terjadi
dalam bahasa Arab. Satu kata dapat bermakna yang luas ketika sendirian dan
punya makna khusus bila disatukan (dikumpulkan). Sebagai contoh dapat
dikatakan.
"Bila keduanya bersatu maka berbeda dan bila keduanya dipisah maka bersatu"
Maka kata Qada dan Qadar termasuk dalam kondisi seperti ini, artinya bila kata
Qada dipisahkan (dari kata Qadar), maka memuat Qadar dan sebaliknya kata
Qadar bila dipisahkan (dari kata Qada) maka memuat makna Qada. Akan tetapi
ketika dikumpulkan, kata Qada bermakna sesuatu yang ditetapkan Allah pada
mahluk-Nya, baik berupa penciptaan, peniadaan maupun perubahannya.
Sedangkan Qadar bermakna sesuatu yang telah ditentukan Allah sejak zaman
azali. Inilah perbedaan antara kedua istilah tersebut. Maka Qadar ada lebih
dahulu kemudian disusul dengan Qada.
Yakni beriman bahwasanya Allah itu mengetahui apa-apa yang telah terjadi dan
yang akan terjadi; menentukan dan menulisnya dalam lauhul mahfudz ; dan
bahwasanya segala sesuatu yang terjadi, baik maupun buruk, kafir, iman, ta'at,
ma'shiyat, itu telah dikehendaki, ditentukan dan diciptakan-Nya ; dan
bahwasanya Allah itu mencintai keta'atan dan membenci kemashiyatan.
Sedang hamba Allah itu mempunyai kekuasaan, kehendak dan kemampuan memilih
terhadap pekerjaan-pekerjaan yang mengantar mereka pada keta'atan atau
ma'shiyat, akan tetapi semua itu mengikuti kemauan dan kehendak Allah.
Berbeda dengan pendapat golongan Jabariyah yang mengatakan bahwa manusia
terpaksa dengan pekerjaan-pekerjaannya tidak memiliki pilihan dan kemampuan
sebaliknya golongan Qodariyah mengatakan bahwasanya hamba itu memiliki
kemauan yang berdiri sendiri dan bahwasanya dialah yang menciptkan pekerjaan
dirinya, kemauan dan kehendak hamba itu terlepas dari kemauan dan kehendak
Allah.
Allah benar-benar telah membantah kedua pendapat di atas dengan firman-Nya.
"Artinya : Dan kamu tidak bisa berkemauan seperti itu kecuali apabila Allah
menghendakinya". [At-Takwir : 29]
Dengan ayat ini Allah menetapkan adanya kehendak bagi setiap hamba sebagai
banyahan terhadap Jabariyah yang ekstrim, bahkan menjadikannya sesuai dengan
kehendak Allah, hal ini merupakan bantahan atas golongan Qodariyah. Dan
beriman kepada taqdir dapat menimbulkan sikap sabar sewaktu seorang hamba
menghadapi cobaan dan menjauhkannya dari segala perbuatan dosa dan hal-hal
yang tidak terpuji. bahkan dapat mendorong orang tersebut untuk giat bekerja
dan menjauhkan dirinya dari sikap lemah, takut dan malas.

Pada uraian tentang pengertian qadha dan qadar dijelaskan bahwa antara
qadha dan qadar selalu berhubungan erat . Qadha adalah ketentuan, hukum atau
rencana Allah sejak zaman azali. Qadar adalah kenyataan dari ketentuan atau
hukum Allah. Jadi hubungan antara qadha qadar ibarat rencana dan perbuatan.

Perbuatan Allah berupa qadar-Nya selalu sesuai dengan ketentuan-Nya. Di


dalam surat Al-Hijr ayat 21 Allah berfirman, yang artinya sebagai berikut:

Artinya ” Dan tidak sesuatupun melainkan disisi kami-lah khazanahnya; dan


Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu.”

Orang kadang-kadang menggunakan istilah qadha dan qadar dengan satu


istilah, yaitu

Qadar atau takdir. Jika ada orang terkena musibah, lalu orang tersebut
mengatakan, ”sudah takdir”, maksudnya qadha dan qadar.
Diriwayatkan bahwa suatu hari Rasulullah SAW didatangi oleh seorang laki-
laki yang berpakaian serba putih , rambutnya sangat hitam. Lelaki itu bertanya
tentang Islam, Iman dan Ihsan. Tentang keimanan Rasulullah menjawab yang
artinya:

Hendaklah engkau beriman kepada Allah, malaekat-malaekat-Nya, kitab-


kitab-Nya,rasul-rasulnya, hari akhir dan beriman pula kepada qadar(takdir) yang
baik ataupun yang buruk. Lelaki tersebut berkata” Tuan benar”. (H.R. Muslim)

Lelaki itu adalah Malaekat Jibril yang sengaja datang untuk memberikan
pelajaran agama kepada umat Nabi Muhammad SAW. Jawaban Rasulullah yang
dibenarkan oleh Malaekat Jibril itu berisi rukun iman. Salah satunya dari rukun
iman itu adalah iman kepada qadha dan qadar. Dengan demikian , bahwa
mempercayai qadha dan qadar itu merupakan hati kita. Kita harus yakin dengan
sepenuh hati bahwa segala sesuatu yang terjadi pada diri kita, baik yang
menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan adalah atas kehendak Allah.

Sebagai orang beriman, kita harus rela menerima segala ketentuan Allah atas
diri kita. Di dalam sebuah hadits qudsi Allah berfirman yang artinya: ” Siapa
yang tidak ridha dengan qadha-Ku dan qadar-Ku dan tidak sabar terhadap
bencana-Ku yang aku timpakan atasnya, maka hendaklah mencari Tuhan selain
Aku. (H.R.Tabrani)

Takdir Allah merupakan iradah (kehendak) Allah. Oleh sebab itu takdir tidak
selalu sesuai dengan keinginan kita. Tatkala takdir atas diri kita sesuai dengan
keinginan kita, hendaklah kita beresyukur karena hal itu merupakan nikmat yang
diberikan Allah kepada kita. Ketika takdir yang kita alami tidak menyenangkan
atau merupakan musibah, maka hendaklah kita terima dengan sabar dan ikhlas.
Kita harus yakin, bahwa di balik musibah itu ada hikmah yang terkadang kita
belum mengetahuinya. Allah Maha Mengetahui atas apa yang diperbuatnya.

Hubungan Qada dan qadar dengan ikhtiar

Iman kepada qadha dan qadar artinya percaya dan yakin dengan sepenuh
hati bahwa Allah SWT telah menentukan tentang segala sesuatu bagi
makhluknya. Berkaitan dengan qadha dan qadar, Rasulullah SAW bersabda yang
artinya sebagai berikut yang artinya

”Sesungguhnya seseorang itu diciptakan dalam perut ibunya selama 40 hari


dalam bentuk nuthfah, 40 hari menjadi segumpal darah, 40 hari menjadi
segumpal daging, kemudian Allah mengutus malaekat untuk meniupkan ruh ke
dalamnya dan menuliskan empat ketentuan, yaitu tentang rezekinya, ajalnya,
amal perbuatannya, dan (jalan hidupny) sengsara atau bahagia.” (HR.Bukhari dan
Muslim dari Abdullah bin Mas’ud).

Dari hadits di atas dapat kita ketahui bahwa nasib manusia telah
ditentukan Allah sejak sebelum ia dilahirkan. Walaupun setiap manusia telah
ditentukan nasibnya, tidak berarti bahwa manusia hanya tinggal diam menunggu
nasib tanpa berusaha dan ikhtiar. Manusia tetap berkewajiban untuk berusaha,
sebab keberhasilan tidak datang dengan sendirinya.

Janganlah sekali-kali menjadikan takdir itu sebagai alasan untuk malas


berusaha dan berbuat kejahatan. Pernah terjadi pada zaman Khalifah Umar bin
Khattab, seorang pencuri tertangkap dan dibawa kehadapan Khalifah Umar. ”
Mengapa engkau mencuri?” tanya Khalifah. Pencuri itu menjawab, ” Memang Allah
sudah mentakdirkan saya menjadi pencuri.”

Mendengar jawaban demikian, Khalifah Umar marah, lalu berkata, ” Pukul saja
orang ini dengan cemeti, setelah itu potonglah tangannya! .” Orang-orang yang ada
disitu bertanya, ” Mengapa hukumnya diberatkan seperti itu? ”Khalifah Umar
menjawab, ”Ya, itulah yang setimpal. Ia wajib dipotong tangannya sebab mencuri
dan wajib dipukul karena berdusta atas nama Allah”.

Mengenai adanya kewajiban berikhtiar , ditegaskan dalam sebuah kisah. Pada


zaman nabi Muhammad SAW pernah terjadi bahwa seorang Arab Badui datang
menghadap nabi. Orang itu datang dengan menunggang kuda. Setelah sampai, ia
turun dari kudanya dan langsung menghadap nabi, tanpa terlebih dahulu mengikat
kudanya. Nabi menegur orang itu, ” Kenapa kuda itu tidak engkau ikat? .” Orang
Arab Badui itu menjawab, ”Biarlah, saya bertawakkal kepada Allah” . Nabi pun
bersabda, ”Ikatlah kudamu, setelah itu bertawakkalah kepada Allah” .

Dari kisah tersebut jelaslah bahwa walaupun Allah telah menentukan


segala sesuatu, namun manusia tetap berkewajiban untuk berikhtiar. Kita tidak
mengetahui apa-apa yang akan terjadi pada diri kita, oleh sebab itu kita harus
berikhtiar. Jika ingin pandai, hendaklah belajar dengan tekun. Jika ingin kaya,
bekerjalah dengan rajin setelah itu berdo’a. Dengan berdo’a kita kembalikan
segala urusan kepada Allah kita kepada Allah SWT. Dengan demikian apapun yang
terjadi kita dapat menerimanya dengan ridha dan ikhlas.

Mengenai hubungan antara qadha dan qadar dengan ikhtiar ini, para ulama
berpendapat, bahwa takdir itu ada dua macam :

1.Takdir mua’llaq: yaitu takdir yang erat kaitannya dengan ikhtiar manusia.
Contoh seorang siswa bercita-cita ingin menjadi insinyur pertanian. Untuk
mencapai cita-citanya itu ia belajar dengan tekun. Akhirnya apa yang ia cita-
citakan menjadi kenyataan. Ia menjadi insinyur pertanian. Dalam hal ini Allah
berfirman:

Artinya: Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran,


di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.
Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka
merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah
menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat
menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia . ( Q.S Ar-
Ra’d ayat 11)

2.Takdir mubram; yaitu takdir yang terjadi pada diri manusia dan tidak
dapat diusahakan atau tidak dapat di tawar-tawar lagi oleh manusia. Contoh. Ada
orang yang dilahirkan dengan mata sipit , atau dilahirkan dengan kulit hitam
sedangkan ibu dan bapaknya kulit putih dan sebagainya.

Hikmah

1.Melatih diri untuk banyak bersyukur dan bersabar

Orang yang beriman kepada qadha dan qadar, apabila mendapat


keberuntungan, maka ia akan bersyukur, karena keberuntungan itu merupakan
nikmat Allah yang harus disyukuri. Sebaliknya apabila terkena musibah maka ia
akan sabar, karena hal tersebut merupakan ujian

Firman Allah:

Artinya:”dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah( datangnya),
dan bila ditimpa oleh kemudratan, maka hanya kepada-Nya lah kamu
meminta pertolongan. ”( QS. An-Nahl ayat 53).

2.Menjauhkan diri dari sifat sombong dan putus asa

Orang yang tidak beriman kepada qadha dan qadar, apabila memperoleh
keberhasilan, ia menganggap keberhasilan itu adalah semata-mata karena hasil
usahanya sendiri. Ia pun merasa dirinya hebat. Apabila ia mengalami kegagalan, ia
mudah berkeluh kesah dan berputus asa , karena ia menyadari bahwa kegagalan
itu sebenarnya adalah ketentuan Allah.

Firman Allah SWT:


Artinya: Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan
saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya
tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir. (QS.Yusuf
ayat 87)

Sabda Rasulullah: yang artinya” Tidak akan masuk sorga orang yang didalam
hatinya ada sebiji sawi dari sifat kesombongan.” ( HR. Muslim)

3.Memupuk sifat optimis dan giat bekerja

Manusia tidak mengetahui takdir apa yang terjadi pada dirinya. Semua orang
tentu menginginkan bernasib baik dan beruntung. Keberuntungan itu tidak datang
begitu saja, tetapi harus diusahakan. Oleh sebab itu, orang yang beriman kepada
qadha dan qadar senantiasa optimis dan giat bekerja untuk meraih kebahagiaan
dan keberhasilan itu.

Firaman Allah:

Artinya : Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu
dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS Al- Qashas ayat 77)

4.Menenangkan jiwa

Orang yang beriman kepada qadha dan qadar senangtiasa mengalami


ketenangan jiwa dalam hidupnya, sebab ia selalu merasa senang dengan apa yang
ditentukan Allah kepadanya. Jika beruntung atau berhasil, ia bersyukur. Jika
terkena musibah atau gagal, ia bersabar dan berusaha lagi

Artinya : Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang
tenang lagi diridhai-Nya. Maka masuklah kedalam jamaah hamba-hamba-
Ku, dan masuklah kedalam sorga-Ku.( QS. Al-Fajr ayat 27-30)

Ciri-ciri dari beriman kepada qadha

a. Qana’ah Dan Kemuliaan Diri.

Seseorang yang beriman kepada qadar mengetahui bahwa rizkinya telah


tertuliskan, dan bahwa ia tidak akan meninggal sebelum ia menerima sepenuhnya,
juga bahwa rizki itu tidak akan dicapai oleh semangatnya orang yang sangat
berhasrat dan tidak dapat dicegah oleh kedengkian orang yang dengki. Ia pun
mengetahui bahwa seorang makhluk sebesar apa pun usahanya dalam memperoleh
ataupun mencegahnya dari dirinya, maka ia tidak akan mampu, kecuali apa yang
telah Allah tetapkan baginya.
Dari sini muncullah qana’ah terhadap apa yang telah diberikan, kemuliaan diri dan
baiknya usaha, serta membebaskan diri dari penghambaan kepada makhluk dan
mengharap pemberian mereka.
Hal tersebut tidak berarti bahwa jiwanya tidak berhasrat pada kemuliaan, tetapi
yang dimaksudkan dengan qana’ah ialah, qana’ah pada hal-hal keduniaan setelah ia
menempuh usaha, jauh dari kebakhilan, kerakusan, dan dari mengorbankan rasa
malunya.

Apabila seorang hamba dikaruniai sikap qana’ah, maka akan bersinarlah cahaya
kebahagiaan, tetapi apabila sebaliknya (apabila ia tidak memiliki sikap qana’ah),
maka hidupnya akan keruh dan akan bertambah pula kepedihan dan kerugiannya,
disebabkan oleh jiwanya yang tamak dan rakus. Seandainya jiwa itu bersikap
qana’ah, maka sedikitlah musibahnya. Sebab orang yang tamak adalah orang yang
terpenjara dalam keinginan dan sebagai tawanan nafsu syahwat.
Kemudian, bahwa qana’ah itu pun dapat menghimpun bagi pelakunya kemuliaan
diri, menjaga wibawanya dalam pandangan dan hati, serta mengangkatnya dari
tempat-tempat rendah dan hina, sehingga tetaplah kewibawaan, melimpahnya
karamah, kedudukan yang tinggi, tenangnya bathin, selamat dari kehinaan, dan
bebas dari perbudakan hawa nafsu dan keinginan yang rendah. Sehingga ia tidak
mencari muka dan bermuka dua, ia pun tidak melakukan sesuatu kecuali hal itu
dapat memenuhi (menambah) imannya, dan hanya kebenaranlah yang ia junjung.
Kesimpulannya, hal yang dapat memutuskan harapan kepada makhluk dari hati
adalah ridha dengan pembagian Allah Azza wa Jalla (qana’ah). Barangsiapa ridha
dengan hukum dan pembagian Allah, maka tidak akan ada tempat pada hatinya
untuk berharap kepada makhluk.

Di antara kalimat yang indah berkenaan dengan hal ini adalah sya’ir yang
dinisbatkan kepada Amirul Mukminin, ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu:
Qana’ah memberikan manfaat kepadaku berupa kemuliaan adakah kemuliaan yang
lebih mulia dari qana’ah Jadikanlah ia sebagai modal bagi dirimu kemudian
setelahnya, jadikanlah takwa sebagai barang dagangan. Niscaya akan engkau
peroleh keuntungan dan tidak perlu memelas kepada orang yang bakhil Engkau
akan memperoleh kenikmatan dalam Surga dengan kesabaran yang hanya sesaat.
Berkata Imam asy-Syafi’i rahimahullahu: Aku melihat qana’ah sebagai
perbendaharaan kekayaan maka aku pegangi ekor-ekornya Tidak ada orang yang
melihatku di depan pintunya dan tidak ada orang yang melihatku bersungguh-
sungguh dengannya Aku menjadi kaya dengan tanpa dirham dan aku berlalu di
hadapan manusia seperti raja. Tsa’alabi berkata, “Sebaik-baik ucapan yang saya
dengar tentang qana’ah ialah ucapan.

Ibnu Thabathaba al-‘Alawi: Jadilah engkau orang yang qana’ah dengan apa yang
diberikan kepadamu maka engkau telah berhasil melewati kesulitan qana’ah orang
yang hidup berkecukupan Sesungguhnya usaha dalam mencapai angan, nyaris
membinasakan
dan kebinasaan seseorang terletak dalam kemewahan.

b. Cita-Cita Yang Tinggi.

Maksud dari cita-cita yang tinggi adalah menganggap kecil apa yang bukan akhir
dari perkara-perkara yang mulia. Sedangkan cita-cita yang rendah, yaitu
sebaliknya dari hal itu, ia lebih mengutamakan sesuatu yang tidak berguna, ridha
dengan kehinaan, dan tidak menggapai perkara-perkara yang mulia. Iman kepada
qadar membawa pelakunya kepada kemauan yang tinggi dan menjauhkan mereka
dari kemalasan, berpangku tangan, dan pasrah kepada takdir.
Karena itu, Anda melihat orang yang beriman kepada qadar -dengan keimanan
yang benar- adalah tinggi cita-citanya, besar jiwanya, mencari kesempurnaan,
dan menjauhi perkara-perkara remeh dan hina. Ia tidak rela kehinaan untuk
dirinya, tidak puas dengan keadaan yang pahit lagi menyakitkan, dan tidak pasrah
terhadap berbagai aib dengan dalih bahwa takdir telah menentukannya. Bahkan
keimanannya mengharuskannya untuk berusaha bang-kit, mengubah keadaan yang
pahit serta menyakitkan kepada yang lebih baik dengan cara-cara yang
disyari’atkan, dan untuk terbebas dari berbagai aib dan kekurangan. (Karena)
berdalih dengan takdir hanyalah dibenarkan pada saat tertimpa musibah, bukan
pada aib-aib (yang dilakukannya)

c. Bertekad Dan Bersungguh-Sungguh Dalam Berbagai Hal.

Orang yang beriman kepada qada, ia akan bersungguh-sungguh dalam berbagai


urusannya, memanfaatkan peluang yang datang kepadanya, dan sangat
menginginkan segala kebaikan, baik akhirat maupun dunia. Sebab, iman kepada
qada mendorong kepada hal itu, dan sama sekali tidak mendorong kepada
kemalasan dan sedikit beramal.
Bahkan, keimanan ini memiliki pengaruh yang besar dalam mendorong para tokoh
untuk melakukan pekerjaan besar, yang mereka menduga sebelumnya bahwa
kemampuan mereka dan berbagai faktor yang mereka miliki pada saat itu tidak
cukup untuk menggapainya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Artinya ; …Bersungguh-sungguhlah terhadap apa yang bermanfaat bagimu, minta
tolonglah kepada Allah, dan janganlah bersikap lemah! Jika sesuatu menimpamu,
janganlah mengatakan, 'Seandainya aku melakukan, niscaya akan demikian dan
demikian.' Tetapi katakanlah, 'Ini takdir Allah, dan apa yang dikehendaki-Nya
pasti terjadi.

d. Bersikap Adil, Baik Pada Saat Senang Maupun Susah.

Iman kepada qada akan membawa kepada keadilan dalam segala keadaan, sebab
manusia dalam kehidupan dunia ini mengalami keadaan bermacam-macam.
Adakalanya diuji dengan kefakiran, adakalanya mendapatkan kekayaan yang
melimpah, adakalanya menikmati kesehatan yang prima, adakalanya diuji dengan
penyakit, adakalanya memperoleh jabatan dan popularitas, dan adakalanya
setelah itu dipecat (dari jabatan), hina, dan kehilangan nama.
Perkara-perkara ini dan sejenisnya memiliki pengaruh dalam jiwa. Kefakiran
dapat membawa kepada kehinaan, kekayaan bisa mengubah akhlak yang baik
menjadi kesombongan, dan perilakunya menjadi semakin buruk.
Sakit bisa mengubah watak, sehingga akhlak menjadi tidak lurus, dan seseorang
tidak mampu tabah bersamanya. Demikian pula kekuasaan dapat mengubah akhlak
dan meng-ingkari sahabat karib, baik karena buruknya tabiat maupun sem-pitnya
dada.

Sebaliknya dari hal itu ialah pemecatan. Adakalanya hal itu dapat
memburukkan akhlak dan menyempitkan dada, baik karena kesedihan yang
mendalam maupun karena kurangnya kesabaran.Begitulah, keadaan-keadaan
tersebut menjadi tidak lurus pada garis keadilan, karena keterbatasan,
kebodohan, kelemahan, dan kekurangan dalam diri hamba tersebut.
Kecuali orang yang beriman kepada qada dengan sebenarnya, maka kenikmatan
tidak membuatnya sombong dan musibah tidak membuatnya berputus asa,
kekuasaan tidak membuatnya congkak, pemecatan tidak menurunkannya dalam
kesedihan, kekayaan tidak membawanya kepada keburukan dan kesombongan, dan
kefakiran pun tidak menurunkannya kepada kehinaan.
Orang-orang yang beriman kepada qada menerima sesuatu yang menggembirakan
dan menyenangkan dengan sikap menerima, bersyukur kepada Allah atasnya, dan
menjadikannya sebagai sarana atas berbagai urusan akhirat dan dunia. Lalu,
dengan melakukan hal tersebut, mereka mendapatkan, berbagai kebaikan dan
keberkahan, yang semakin melipatgandakan kegembiraan mereka. Mereka
menerima hal-hal yang tidak disenangi dengan keridhaan, mencari pahala,
bersabar, menghadapi apa yang dapat mereka hadapi, meringankan apa yang
dapat mereka ringankan, dan dengan kesabaran yang baik terhadap apa yang
harus mereka bersabar terhadapnya. Sehingga mereka, dengan sebab itu, akan
mendapatkan berbagai kebaikan yang besar yang dapat menghilangkan hal-hal
yang tidak disukai, dan digantikan oleh kegembiraan dan harapan yang baik.
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz rahimahullahu berkata, “Aku memasuki waktu pagi,
sedangkan kebahagiaan dan kesusahan sebagai dua kendaraan di depan pintuku,
aku tidak peduli yang manakah di antara keduanya yang aku tunggangi.”

e. Selamat Dari Kedengkian Dan Penentangan.

Iman kepada qada dapat menyembuhkan banyak penyakit yang menjangkiti


masyarakat, di mana penyakit itu telah menanamkan kedengkian di antara
mereka, misalnya hasad yang hina. Orang yang beriman kepada qadar tidak
dengki kepada manusia atas karunia yang Allah berikan kepada mereka, karena
keimanan-nya bahwa Allah-lah yang memberi dan menentukan rizki mereka. Dia
memberikan dan menghalangi dari siapa yang dikehendaki-Nya, sebagai ujian.
Apabila dia dengki kepada selainnya, berarti dia me-nentang ketentuan Allah.
Jika seseorang beriman kepada qadar, maka dia akan selamat dari kedengkian,
selamat dari penentangan terhadap hukum-hukum Allah yang bersifat syar’i
(syari’at) dan ketentuan-ketentuan-Nya yang bersifat kauni (sunnatullah), serta
menyerahkan segala urusannya kepada Allah semata.

Tanda-tanda orang yang Beriman kepada Qada

Dengan beriman kepada qadha, banyak hikmah yang amat berharga bagi kita
dalam menjalani kehidupan dunia dan mempersiapkan diri untuk kehidupan
akhirat. Hikmah tersebut antara lain:

a) banyak bersyukur dan bersabar

Orang yang beriman kepada qadha, apabila mendapat keberuntungan, maka ia


akan bersyukur, karena keberuntungan itu merupakan nikmat Allah yang harus
disyukuri. Sebaliknya apabila terkena musibah maka ia akan sabar, karena hal
tersebut merupakan ujian
Firman Allah:

Artinya:”dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah( datangnya),
dan bila ditimpa oleh kemudratan, maka hanya kepada-Nya lah kamu meminta
pertolongan. ”( QS. An-Nahl ayat 53).

b) Menjauhkan diri dari sifat sombong dan putus asa

Orang yang tidak beriman kepada qadha, apabila memperoleh keberhasilan, ia


menganggap keberhasilan itu adalah semata-mata karena hasil usahanya sendiri.
Ia pun merasa dirinya hebat. Apabila ia mengalami kegagalan, ia mudah berkeluh
kesah dan berputus asa , karena ia menyadari bahwa kegagalan itu sebenarnya
adalah ketentuan Allah.

Firman Allah SWT:


Artinya: Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan
saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada
berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir. (QS.Yusuf ayat 87)
Sabda Rasulullah: yang artinya” Tidak akan masuk sorga orang yang didalam
hatinya ada sebiji sawi dari sifat kesombongan.”( HR. Muslim)

c) Bersifat optimis dan giat bekerja


Manusia tidak mengetahui takdir apa yang terjadi pada dirinya. Semua orang
tentu menginginkan bernasib baik dan beruntung. Keberuntungan itu tidak datang
begitu saja, tetapi harus diusahakan. Oleh sebab itu, orang yang beriman kepada
qadha dan qadar senantiasa optimis dan giat bekerja untuk meraih kebahagiaan
dan keberhasilan itu.
Firaman Allah:

Artinya : Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari
(kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah
telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka)
bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
(QS Al- Qashas ayat 77)

d) Jiwanya tenang

Orang yang beriman kepada qadha senantiasa mengalami ketenangan jiwa dalam
hidupnya, sebab ia selalu merasa senang dengan apa yang ditentukan Allah
kepadanya. Jika beruntung atau berhasil, ia bersyukur. Jika terkena musibah
atau gagal, ia bersabar dan berusaha lagi.

Artinya :
Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang tenang lagi
diridhai-Nya. Maka masuklah kedalam jamaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah
kedalam sorga-Ku.( QS. Al-Fajr ayat 27-30)
Tanya jawab

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan :
Apa perbedaan antara Qadha’ dan Qadhar ?

Jawab :
Ulama berbeda pendapat mengenai perbedaan antara keduanya. Di antara
mereka ada yang mengatakan bahwa qadar adalah taqdir Allah sejak zaman azali,
sedangkan qadha’ adalah hukum Allah mengenai sesuatu ketika sesuatu itu
terjadi . Jika Allah menetapkan terjadinya sesuatu pada waktu yang ditentukan,
maka itulah yang dinamakan qadar. Dan ketika telah datang waktunya terjadinya
sesuatu yang telah ditetapkan sebelumnya itu, maka itulah yang dinamakan
qadha’. Semacam ini banyak sekali kita dapatkan dalam Al-Qur’an, seperti firman
Allah :

“Artinya : Telah diputuskan perkara yang kamu berdua menanyakannya


kepadaku”. .

Juga Allah berfirman :

“Artinya : Dan Allah melaksanakan hukum dengan adil”.

Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang semisal. Jadi, qadar adalah ketentuan Allah
mengenai segala sesuatu pada zaman azali, sedangkan qadha’ adalah pelaksanaan
dari qadar itu pada saat terjadinya.

Ada juga ulama yang mengatakan bahwa kedua istilah itu memiliki satu makna
atau satu pengertian. Namun yang kuat adalah jika keduanya disandingkan, maka
keduanya memiliki perbedaan arti seperti bisa kita lihat di atas, dan jika
dipisahkan atau berdiri sendiri, maka kedua istilah itu memiliki satu makna .
Wallahu a’lam.

Pertanyaan :
Bagaimana pengaruh Qadha’ dan Qadar terhadap bertambahnya iman ?

Jawab :
Qadha’ dan Qadar akan membantu seorang muslim dalam mengatasi urusan agama
dan dunianya, karena dia beriman bahwa qudrah Allah ‘Azza wa Jalla di atas
segala qudrah, dan jika Allah Ta’ala menghendaki sesuatu tidak ada yang bisa
menghalanginya. Jika seorang mukmin tidak percaya ini semua, ia akan berusaha
dan mencari sarana untuk kesampaian maksudnya.

Kita semua telah tahu dari sejarah masa lalu dimana kaum muslimin mampu
meraih kemenangan yang luar biasa meskipun jumlah mereka sedikit. Itu semua
karena keimanan mereka dengan janji Allah ‘Azza wa Jalla serta keimanan
mereka dengan qadha’ dan qadar, dan mereka yakin bahwa segala urusan ada di
tangan Allah ‘Azza wa Jalla.

Pertanyaan :
Adakah sesuatu yang buruk dalam qadar Allah ?

Jawab :
Dalam qadar Allah tidak ada sesuatu yang buruk, akan tetapi keburukan itu
terdapat pada yang ditakdirkan. Kita tahu bahwa ada orang yang mendapatkan
musibah dan ada juga yang mendapatkan untung. Musibah merupakan sesuatu
yang buruk, akan tetapi keburukan itu tidaklah perbuatan Allah Ta’ala, yakni
perbuatan dan takdir Allah itu bukan merupakan keburukan. Keburukan ada pada
yang diperbuat oleh-Nya, bukan pada perbuatan-Nya. Allah tidaklah
mentakdirkan keburukan ini melainkan untuk sesuatu kebaikan. Allah Ta’ala
berfirman :

“Artinya : Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan ulah


tangan manusia”.

Ini merupakan penjelasan penyebab kerusakan di muka bumi. Adapun mengenai


hikmahnya seperti difirmankan oleh-Nya :

“Artinya : Supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari perbuatan


mereka agar mereka kembali “. .

Jadi, musibah ini pada akhirnya merupakan kebaikan. Dengan demikian keburukan
itu tidak disandarkan kepada Tuhan, akan tetapi disandarkan sesuatu yang
diperbuat dan kepada mahluk. Ini bisa diartikan suatu keburukan dari satu sisi
dan merupakan kebaikan di sisi yang lain. Kalau dilihat bencananya yang terjadi,
maka itu suatu keburukan, namun jika dilihat dari akibatnya, maka itu suatu
kebaikan.

“Agar Allah merasakan kepada mereka sebagian dari perbuatan mereka, agar
mereka kembali “.

Anda mungkin juga menyukai