Jalaluddin Rakhmat
Di tangan saya ada sebuah buku mu-takhir tidak terlalu mutakhir. Saya membelinya di Canbera, pada tahun
1994. Judulnya, “Beyond Psychology. Saya segera terpengaruh betul oleh buku ini. Dan saya ingin membagi
Setelah mengkritik beberapa aliran psikologi dan kekurangan-kekurangan berbagai aliran itu, buku ini memberi
kita sebuah resep yang mengatur hidup kita dengan sesuatu yang berada di luar psikologi. Saya mau
Sudah lama orang berpendapat bahwa pikiran bisa menentukan perilaku kita. You don’t think what you are,
you are what you think. Anda tidak berpikir siapa Anda. Tapi Anda bergantung pada apa yang Anda pikirkan
tentang diri Anda. If you think you are foolish, you will befoolish. Kalau Anda berpikir bahwa Anda bodoh, Anda
pasti bodoh. Kalau Anda berpikir bahwa Anda tidak disukai orang banyak, Anda pasti tidak disukai orang
banyak. Kalau Anda berpikir bahwa Anda seorang pecundang, Anda akan betul-betul menjadi scorang
pecundang. Itu sudah lama diketahui oleh para psikolog, dan mereka menyebutnya sebagai konsep diri.
Dengan demikian, kalau Anda berpikir bahwa Anda ‘ tidak disukai oleh orang banyak dan yang Anda lakukan
selalu gagal saja, maka insya Allah semua itu akan terwujud dalam kenyataan. Anda akan tidak mampu,
gagal, dan tidak disukai orang. Ini sudah lama dibicarakan dalam psikologi. Yang menakjubkan dari buku ini
adalah bahwa kita bukan saja bisa menentukan perilaku kita dengan pikiran kita, tetapi kita juga bisa
menciptakan berbagai peristiwa di alam sekitar kita dengan pikiran kita, dan itu merupakan sesuatu
Sekali lagi, kita bisa menciptakan berbagai macam peristiwa di sekitar kita dengan pikiran kita. Menurut buku
ini (menurut saya ujung dari buku ini sangat sufistik), ada beberapa prinsip. Pertama, kita adalah teman
Pencipta, Co-Creafor. We are co-Creators. Kita adalah pencipta kejadian di alam semesta ini bersama
Tuhan. Kedua, ini sangat mistikal dan relijius, kita bekerjasama dengan Tuhan untuk menciptakan berbagai
peristiwa yang kita kehendaki. Kita tidak boleh berpikir bahwa Tuhan adalah Zat yang sangat jauh dari kita,
tapi kita harus memikirkan diri kita sebagai manifestasi Tuhan: God as me, Tuhan sebagai aku.
Dalam tasawuf, ada paham yang kita kenal dengan wahdat al-wujzid, kehendak seseorang itu bersatu dengan
kehendak Tuhan, sehingga pada tingkat tertentu dalam pengalaman ruhani yang sangat tinggi, yakni paling
ujung dari seluruh perjalanan sufi, manusia tidak lagi bisa membedakan mana dirinya dan mana Tuhan.
Kekuatan yang berbeda itu disebut quwwat al-tamyiz, kekuatan untuk membeda-bedakan. Konon, kekuatan
yang membedakan itu adalah kekuatan akal. Pada ujung perjalan itu kekuatan akal kita tidak berfungsi lagi.
Karena itu tidak bisa kita bedakan antara Khalik dan makhluk, antara Tuhan dan aku. Pada tingkat itu, zikir
kita berubah menjadi La ilaha illa Ana. Tiada Tuhan kecuali Aku.
Dalam perjalanan tasawuf, zikir menunjukkan maqam-maqam kita. Zikir yang elementer ialah “Ia ilaha
illallah atau “la ilaha illa Huwa.” Tidak ada Tuhan kecuali Dia. Kita menyebut Tuhan sebagai Orang Ketiga
Tunggal. Dalam bahasa Arab, itu disebut dhamir gha’ib. Dalam zikir ini, Tuhan itu gaib, jauh dari kita. Ketika
sudah lebih dekat, zikir itu menjadi ” la ilaha illa Anta”: Tidak ada Tuhan kecuali Engkau. Zikir para nabi
digambarkan dalam Al-Quran, ” la ilaha illa Anta. Misalnya terdapat dalam ayat, “Subhanaka la ilaha illa Anta
inni kuntu min alzhalimin. Jadi, tidak ada Tuhan kecuali Engkau. Sekarang Tuhan sudah lebih akrab. Karena,
Tuhan hadir di hadapan kita, bukan lagi dhamir gha’ib, tapi dhamir mukhathab, orang yang kita ajak bicara.
Karena itu, para mufasir mengatakan bahwa surah Al-Fatihah menggambarkan perjalanan ruhani kita. Pada
tahap-tahap awal, Tuhan masih agak jauh dari kita, sehingga kita menceritakan Tuhan dalam tiga ayat
pertarna Al-Fatihah sebagai “Zat Yang Dibicarakan,” sebagai Dia. Begitu kita sudah mulai berdoa dan
memohon kepada Allah, kita menjadi lebih akrab. Dhamir-nya berubah dari Huwa menjadi Anta. Iyyaka
na’budu wa iyyaka nasta’in. Kepada-Mu aku menyembah, dan kepada-Mu aku memohon pertolongan. Dengan
Lalu, kalau kita sudah dekat sekali dengan Allah Swt., maka kita seperti yang digambarkan oleh Ibn Arabi.
Kalau kita adalah cahaya-cahaya lilin kecil, dan sumber cahayanya adalah matahari, maka cahaya lilin-lilin itu
hilang. Yang ada adalah cahaya matahari saja. Lenyaplah cahaya lilin itu, sehingga kita tidak bisa lagi
Pembicaraan kita tentang masalah ini sebetulnya sedang membawa kita membicarakan wahdat al-
wujud. Ketika seorang sufj berada pada satu situasi ketika Tuhan tidak lagi bisa dibedakan darinya, dan dia
dari Tuhan, maka pada saat itu ia telah sampai pada satu kesadaran di mana zikirnya adalah “la ilaha illa
Ana”. Tidak ada Tuhan kecuali Aku. Itulah zikirnya Imam Ali bin Abi Thalib. Dalam Ihya Ulum Al-Din juz
pertama, Al-Ghazali menceritakan zikir para sahabat. Ada zikir Abu Bakar, ada zikir Aisyah, dan ada zikir
“La ilaha illa Ana. Kita tidak akan memperpanjang masalah ini. Namun begitu, ia ada hubungannya
dengan beyondpsychology.
Menurut buku ini, yang menciptakan alam semesta adalah Tuhan. Tapi Tuhan menciptakan berbagai peristiwa
di alam semesta ini melalui kita. Jadi, God as me; God as you; God as us. Karena, semua ini
adalah tajalliyat Allah Swt., dan Tuhan memanifestasikan Diri-Nya di alam semesta ini, termasuk Tuhan juga
memanifestasikan Diri-Nya dalam diri kita. Kita adalah ungkapan Tuhan di alam semesta.
Dengan begitu, kita ikut menciptakan peristiwa di alam semesta. Bukan perilaku kita saja yang kita bentuk,
tapi juga kejadian-kejadian di alam semesta ini. Kita menjadi co-Creators. Kita menjadi mitra Pencipta di alam
semesta ini. Melalui apa kita bisa menciptakan berbagai kejadian di alam semesta ini? Melalui pikiran. Tuhan
Tidak Biasa dengan Tuhan). Buku ini berisi “percakapan” penulisnya dengan Tuhan. Mula-mula saya
menganggap ini omong kosong saja. Tapi ketika saya membaca beberapa bagian, benar juga. Misalnya, orang
“Kalau Engkau benar-benar ada, mengapa Engkau tidak menampakkan diri?” Tuhan menjawab, “Aku sedang
menampakkan diri.” Ia bertanya, “Mana? Saya tidak melihatMu.” Tuhan menjawab, “Aku menampakkan diri di
seluruh alam semesta ini. Dalam dirimu juga Aku menampakkan diri-Ku.” “Mengapa Engkau tidak
menampakkan diri secara tersendiri agar saya tahu bahwa Engkau benar-benar Tuhan tanyanya lagi. Tuhan
kembali menjawab, “Sekiranya Aku menampakan diri dalam wujud yang lain, kamu akan meragukan diri-Ku,
sebagaimana kamu juga meragukan diri-Ku ketika Aku menampakkan diri dalam dirimu.”
Buku ini panjang. “Dialognya” dengan Tuhan menyangkut masalah-masalah kehidupan, termasuk soal bisnis.
Misalnya, penulisnya bertanya, “Tuhan, mengapa aku terus menerus rugi?” Lalu Tuhan memberikan penjelasan
kepadanya. Penjelasan itu betul-betul very divine, sangat menuhan. Ketika orang itu bertanya tentang seks,
masalah yang sering diributkan orang modem sekarang ini, Tuhan pun memberikan jawaban dengan sangat
Kembali ke persoalan tadi. Tuhan menciptakan berbagai kejadian di alam semesta ini melalui pikiran kita,
sehingga realitas yang ada di sekitar kita dibentuk oleh pikiran kita. Oleh karenanya, sebetulnya kita
Kita bisa menentukan berbagai peristiwa dengan pikiran kita. Ada beberapa percobaan yang saya lakukan, dan
itu terjadi -sampai saya bingung juga. Bedanya dengan buku Beyond Psychology ialah bahwa saya lebih
mewujudkan kejadian itu bukan pada kekuatan pikiran kita, tetapi pada kemampuan kita untuk
menggabungkan diri kita dengan Allah Swt. lewat pikiran-pikiran kita. Itulah yang dalam sebuah hadis qudsi
diungkap dengan, “Ana ‘inda zhanni ‘abdi bi (Aku sesuai dengan perkiraan hamba-Ku tentangKu). Jadi, apa
yang dilakukan Allah kepada seorang hamba sesuai dengan dugaannya kepadaNya.
Kalau hadis tadi kita terjemahkan lewat perspektif buku Beyond Psychology ini, maka Tuhan menciptakan
berbagai peristiwa di alam semesta ini melalui pikiran-pikiran, dugaan-dugaan kita, atau apa yang tersirat
dalam benak kita. Salah satu akhlak Islam adalah husnuzhan kepada Allah Swt., berbaik sangka kepada-Nya.
Dalam buku ini, husnuzhan disebut dengan positive thinking, berpikir positif. Sedangkan su ‘uzhan disebut
negative thinking. Apa yang kita pikirkan akan terjadi, seperti kegagalan, kerusakan, dan kecelakaan, bisa saja
akan terjadi. Kalau kita berpikir bahwa cuaca sangat jelek untuk kesehatan, maka kita akan sakit ketika
berada dalam cuaca itu. Mungkin Anda pernah merasakan suatu kejadian yang kata orang Sunda disebut “nete
semplek nincak semplak.” Mau keluar rumah, tejepit pintu. Mau minum, air yang diambilnya tumpah. Mau
berangkat naik mobil, mobilnya mogok. Dan itu terjadi secara beruntun.
Menurut buku ini, sebetulnya yang harus kita perbaiki adalah pikiran kita yang negatif. Begitu juga saat Anda
menghadapi berbagai manusia. Bila Anda berpikir negatif tentang setiap orang, maka insya Allah Anda akan
dibenci oleh setiap orang. Kalau seorang murid memandang negatif sekolahnya, misalnya dengan memandang
bahwa sistem sekolahnya jelek, guru-gurunya jelek, maka ia tidak akan belajar dengan baik juga. Ia akan
menjadi produk yang jelek, sebab ia memulai belajarnya dengan pandangan yang negatif. Begitu pun kita.
Di buku ini terdapat beberapa tehnik berpikir negatif. Katanya, kita bisa mencobanya satu minggu. Tapi kata
penulisnya, tidak ada orang yang tahan melakukan tehnik-tehtiik itu lebih dari satu minggu. Dengan satu
minggu saja, berbagai peristiwa yang jelek terjadi pada orang yang melakukannya. Alam sekitar dibuat kacau
Dalam buku ini juga terdapat tehnik-tehnik berpikir positif. Di antaranya ada yang disebut
dengan declaration: kita menyatakan apa yang kita inginkan dalam pikiran kita. Misalnya, kita bangun pagi
hari. Lalu kita berpikir bahwa hari ini adalah hari yang paling berbahagia dan produktif bagi kita. Maka, insya
Allah hari itu menjadi hari yang paling berbahagia dan produktif Tapi dalam buku ini disebutkan bahwa kita
jangan dulu berpikir tentang semua hari, namun berpikirlah tentang satu hari dulu, untuk kemudian diulangi
Saya kemudian menerjemahkan tehnik itu dalam sebuah doa, “Allahummaj’al awwalayawmina hadza shalahan
wa awsathahu najahan wa akhirahufalahan (Ya Allah, jadikanlah awal hari kami ini kebaikan, pertengahannya
keberuntungan, dan akhirnya kebahagiaan).” Bacalah doa ini dengan seluruh pikiran kita, dengan seluruh
konsentrasi kita. Tuhan akan menciptakan berbagai peristiwa lewat pikiran kita.
Dalam sebuah ayat Al-Quran disebutkan bahwa Allah akan menyiksa orang-orang zalim lewat tangan-tangan
orang Mukmin. Saya teringat seorang ulama besar Hizbullah, Sayyid Husein Fadhlullah, saat berjumpa dengan
saya, mengatakan. “Kita semua harus menjadi tangan-tangan Tuhan untuk membalas orang-orang zalim.”
Sebab itu, oleh orang-orang zalim, Husein Fadhlullah disebut sebagai teroris. Padahal, hal itu ia lakukan
karena ia memahami bahwa Tuhan menyiksa orang-orang zalim lewat orang-orang Mukmin. God as us; God as
Pesan moral dari pembicaraan ini sederhana saja, yaitu kita mesti membiasakan berpikir
positif (husnuzhan) kepada Allah Swt. Kalau kita terapkan dalam kegiatan belajar mengajar, misalnya Anda
berangkat dari rumah dengan pikiran bahwa murid-murid agaknya tidak akan paham penjelasan saya, atau
tidak suka kepada saya, maka insya Allah, what you think about will come true (apa yang Anda pikirkan akan
benar-benar terjadi).
Sebetulnya hanya ada dua pilihan buat kita dalam memandang hidup ini: husnuzhan atau su’uzhan kepada
Allah Swt. Kalau kita berpikir bahwa anak kita sudah tidak bisa diperbaiki lagi, maka insya Allah anak itu tidak
akan bisa baik. Karena, kita adalah co-Creators. Kita menciptakan berbagai peristiwa di alam semesta ini
dengan pikiran kita. Tetapi, pikiran itu harus disadari betul. Karena itu, di sini judulnya adalah the potential
conscious thinking, potensi berpikir sadar. Kita sering juga berpikir tetapi tidak sadar apa yang kita pikirkan,
Sebab itu, jangan biarkan orang-orang di sekitar kita mempengaruhi kita dengan pikiran-pikiran negatif,
karena dengan begitu kita akan menciptakan peristiwa-peristiwa negatif pula. Kalau kita terpengaruh oleh
pikiran-pikiran negatif orang lain, kita sendiri yang akan menuai panen yang tidak menguntungkan. Kalau ada
orang yang mempunyai pandangan negatif, maka jangan terima pandangannya. Biarkan dia membangun
realitas negatif yang ia kehendaki. Kita tidak perlu ikut-ikutan membuat realitas negatif. Melainkan,
bayangkanlah pikiran-pikiran positif, sebab itu akan menjadi kenyataan, it will happen. Dengan berpikir positif