Anda di halaman 1dari 11

MEMECAH GELOMBANG

Setelah artikel “Switch INI” yang cukup menghentakkan kesadaran kita terhadap TUHAN
dengan tanpa tedeng aling-aling, bahwa ALLAH ternyata SANGAT DEKAT, INI, dan
DISINI, maka mau tidak mau kita harus pula melangkah kebagian berikutnya, yaitu
bagaimana agar kita bisa memecah gelombang kebingungan umat tentang TUHAN yang
telah dirasakan sejak seribu tahun yang lalu sampai dengan sekarang ini. Dengan
harapan agar gelombang kebingungan yang telah begitu dahsyat melanda umat Islam
selama ini bisa dipecah menjadi riak-riak kecil yang lebih disebabkan hanya oleh
ketidakmengertian kolektif kita saja lagi, daripada keadaan sebelumnya yang nyaris
kepada kebuntuan total kita dalam memahami INI, ALLAH.

Gelombang raksasa kebingungan umat ini apalagi kalau bukan akibat dari drama yang
dirangkai oleh pendahulu-pendahulu kita yang katanya ahli tentang kema’rifatan disatu
pihak dan ahli tentang anti-kema’rifatan dipihak lainnya. Penggolongan seperti ini
sebenarnya kurang tepat, karena pihak yang anti-kemakrifatan pun sebenarnya mereka
berma’rifat juga. Tapi penggolongan ini hanyalah untuk memudahkan kita saja untuk
memandangnya. Karena pada kenyataannya memang ada dua kutub yang berbeda
dalam memahami masalah-masalah ketuhanan ini di dalam agama Islam.

Pihak pertama, ahli kema’rifatan, diwakili oleh beberapa nama yang sangat kondang,
diantaranya adalah: Bayazid Al Bustami, Zun Nun, Ibnu Arabi, Al Hallaj,  Ibnu Al-Faradh,
At-Tusturi, Syech Siti Jenar, to say the least. Belum lagi kalau dimasukkan ahli-ahli
ma’rifat yang kemudian dikelompokkan pula sebagai ahli tarekat yang garis pewarisan
ilmunya bisa dibagi menjadi 40-an kelompok, misalnya As Syadzali, Abdul Qadir Al
Jailani, Syech Naqsabandi, dan sebagainya. Sedangkan pihak kedua, yaitu kelompok
yang anti dengan kelompok orang-orang kema’rifatan diwakili oleh sangat banyak
orang. Anggap sajalah orang-orang yang dulunya melakukan pemasungan-
pemasungang bahkan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap masyarakat
umum sebagai tonggak pendiri pemahaman kema’rifatan diatas masuk ke dalam
kelompok ini.

Pertentangan antara dua kutub ketuhanan ini disebabkan oleh ungkapan-ungkapan sang
ahli-hali ma’rifat itu yang konon kabarnya aneh-aneh menurut ahli anti-makrifat.
Misalnya saja ada ungkapan-ungkapan:

Maha Suci yang menampakkan sifat kemanusiaannya,


Kami rahasiakan sifat ketuhanannya yang cemerlang,
Kemudian Ia menampakkan diri pada mahluknya,
Dalam bentuk orang yang sedang makan dan minum,
Hingga mahluknya dapat menentukannya, seperti
jarak antara kedipan mata dengan kedipan yang lain.
Siapakah dia ? Dialah Rabbu Al-Arbab
yang tergambar dalam seluruh bentuk pada
hamba-Nya, Fulan. (Al Hallaj)

Tidaklah aku shalat kepada selainku,


dan tidaklah shalatku kepada selainku
ketika menunaikan dalam setiap raka'atku.( Ibnu Al-Faradh)

Akulah yang dicintai dan yang mencintai,


tidak ada selainnya.( At-Tusturi)

Dan ungkapan-ungkapan umum lainnya yang lebih angker, yaitu:

Yang ADA adalah AKU, Laa ilaha illa ANA…!.


Yang Maha Suci adalah AKU, Subhani…!.
Akulah Sang Kebenaran Tertinggi, ANA AL HAQ…!.

Akibat dari ungkapan-ungkapan beliau-beliau seperti di atas itu, maka menurut sejarah
yang sampai kepada kita, telah menimbulkan tuduhan-tuduhan yang membahana
bahwa Beliau, misalnya Al Hallaj dan Syech Siti Jenar, telah tersesat. Kesesatan mereka
adalah karena pihak penentang Beliau mencoba menyimpulkan ungkapan-ungkapan
mereka tersebut sebagai pengakuan sebagai Tuhan, atau bersatunya mereka dengan
Tuhan. Lalu kemudian, lahirlah berbagai konsep yang coba dilekatkan pula kepada
pemahaman-pemahaman yang sejenis dengan itu, misalnya:

HULUL,
AL ITTIHAD,
EMANASI,
WIHDATUL WUJUD,
MANUNGGALING KAWOLU LAN GUSTI (MKG).

Dimana dari beberapa bahan bacaan yang saya dapatkan, sebenarnya semua konsep-
konsep seperti ini muaranya adalah:

Adanya DUA yang (INGIN atau DENGAN SENDIRINYA) menjadi SATU…!!!.

Caranya dua menjadi satu ini, bisa macam-macam, diantaranya yang sangat populer
adalah:

Dimana salah satu dari yang dua, biasanya yang satu pertama adalah manusia, ingin bersatu
atau merasa bersatu dengan Satu yang kedua, yaitu Tuhan. Hal ini terjadi karena mereka
tidak dapat lagi membedakan mana yang Tuhan, dan mana yang diri mereka sendiri.
Suasana dua menjadi satu ini mirip sekali dengan bersatunya merica dan jagung menjadi
bentuk baru, perkedel jagung. Akan tapi yang merasa bersatu itu tetap hanya persepsi
manusianya itu sendiri.

Suasana seperti ini sangat mudah terjadi pada siapa pun yang berhasil mengolah
kesadarannya baik dengan cara pengolahan alunan gerak nafas, maupun pengolahan
aliran fikiran. Beragamakah atau tidak beragamakah seseorang itu, maka suasana
seperti ini lumrah sekali terjadi. Misalnya, seseorang yang mencoba membiarkan
fikirannya melayang sampai ke batas yang tidak ada lagi persepsi yang bisa
mewakilinya, biasanya dia akan dapat mencapai kesadaran bahwa ternyata dirinya
sudah tidak ada lagi, yang ada adalah fikiran atau yang mengamati fikiran itu sendiri.
Begitu juga bagi orang yang mahir dalam menyadari pergerakan keluar masuk nafasnya
akan mengalami hal yang sama.

Bahkan pada orang yang sudah sampai pada tahapan kemahiran atau kesadaran seperti
ini, Tuhan pun sepertinya sudah tidak ada lagi. Karena dirinya sendiri sudah menjadi
Tuhan itu sendiri. Sehingga ungkapan-ungakapan “Bersatu dengan Tuhan,
Manunggaling Kawulo lan Gusti” dan ungkapan-ungkapan-ungkapan sejenis lainnya
sangatlah jamak kita dengar. Hampir dalam setiap agama dan praktek kebatinan biasa
pun ungkapan seperti ini bisa kita jumpai. Sehingga sampai-sampai seseorang merasa
bahwa dia sudah tidak perlu lagi beragama, bersyareat, dan beribadah. Bagaimana mau
beribadah, wong dirinya sendiri sudah merasa menjadi Tuhan. Masak Tuhan
menyembah dirinya sendiri, kata mereka.

Atau…, dua menjadi satu itu bisa pula dengan kesadaran dimana Satu yang utama, yaitu
Tuhan, menyusup atau beremanasi kepada satu yang lainnya. Sehingga manusia yang
dianggap kesusupan Tuhan itu dianggap sebagai Tuhan pula. Konsep ketuhanan Yesus
bagi umat Nasrani bisa dimasukan ke dalam kategori ini, sehingga Yesus pun kemudian
dipuja sebagai Tuhan itu sendiri. Hasilnya adalah bahwa seseorang akan menghormati
orang lain ataupun benda-benda yang dianggapnya sebagai kesusupan Tuhan itu sama
dengan penghormatannya kepada Tuhan itu sendiri.

Konsep tentang dua ingin menjadi satu, atau bersatunya dua yang berbeda menjadi
satu, atau Yang Satu menyusup ke yang satu lainnya, ini sudah berumur sangat panjang
sekali. Hampir sepanjang umur peradaban manusia sendiri. Makanya ungkapan-
ungkapan berikut ini sangatlah dihindari orang, karena ungkapan ini dianggap orang
sebagai ungkapan spiritualis sesat:

Ana Al Haq (Akulah Kebenaran Tertinggi), atau


Laa ilaha illa Ana (Tiada Tuhan Selain Aku), atau
Subhani (Maha Suci Aku), atau
Aku lah Allah, atau
Yang ada adalah Aku (misalnya Syech Siti Jenar), Allah tidak ada, atau
Yang ada adalah Allah, sedangkan Aku (Syech Siti Jenar) tidak ada, dsb.

Ungkapan-ungkapan seperti ini memang sangat membingungkan dan mengagetkan


masyarakat umum yang jumlahnya jauh lebih banyak dari orang-orang yang dianggap
aneh dan sesat oleh kebanyakan orang itu. Sehingga begitu mendapatkan ungkapan-
ungkapan seperti itu baik dalam tulisan ataupun dalam ungkapan dari seseorang, maka
cap sesat ataupun cap pengikut aliran konsep MKG ataupun konsep penyatuan hamba
dengan Tuhan lainnya dengan cepat melekat pada seseorang itu.

Begitu juga saat saya mengungkapkan kalimat-kalimat tersebut di atas dalam artikel
“Switch INI”, lalu ada pula yang sudah mereka-reka dan mulai berancang-ancang untuk
melekatkan label yang sama dengan konsep MKG. Beberapa orang malah mengirimi
saya e-mail melalui JAPRI saya yang intinya adalah : inikan MKG…!.

Apalagi ada pula beberapa masukan atau ungkapan yang katanya datang dari orang-
orang yang jelas-jelas tidak mendapatkan tempat di masyarakat umum, misalnya:

Dari tokoh JIL:


> Aku masih ingat omongan tokoh JIL .. suatu pagi aku dicerahkan ..
> aku melihat ALLAH ada dimana-mana .. ALLAH ada di setiap Mahluk ..
> ternyata semua itu adalah ALLAH ..

Dari tokoh Spiritual tertentu:


> Dan omongan tokoh spiritual .. ALLAH itulah unsur yang membentuk
> .. semua yang terdiri dari unsur berarti terkandung ALLAH ..
> ALAM yang terdiri dari semua unsur itulah ALLAH
> .. karena semua bagian dari Alam .. maka semua adalah ALLAH ..

> Karena kita sudah sadar adalah ALLAH , bagian dari Tuhan Yang Maha Esa
> .. Tuhan yang Maha Esa yang tanpa simbol, tanpa nama
> .. tidak lagi perlu perantara untuk berhubungan
> .. tidak perlu lagi agama
> .. tidak perlu lagi syareat ..

Sehingga bertambah-tambahlah kekhawatiran orang, bahwa jangan-jangan arah dari


artikel Switch INI … juga sama dengan Wihdatul Wujud, jangan-jangan ini juga…MKG,
dsb.

Ada apa sebenarnya yang terjadi, dan darimana awal munculnya gelombang raksasa
yang membuntukan usaha-usaha pendekatan diri kita dengan Tuhan semesta alam ini,
Allah, yang sudah berbilang tahun lamanya …?

Untuk menjawab pertanyaan yang usianya sudah seumur peradaban manusia ini
sungguh tidak mudah, terutama kalau kita hanya sebatas menggunakan file logika-
logika yang ada di dalam otak kita. Akan tetapi kalaulah kita mau beberapa saat berada
dalam posisi sebagi seorang “PENG-IQRAA, PENAFAKUR”, maka letak awal
permasalahan dan kerancuannya akan dengan mudah kita kenali. Dan jalan
keluarnyapun akan terpampang dengan sangat jelasnya. Mari kita coba kalau tidak
percaya.

Langkah pertama…, marilah kita coba untuk menemukan tentang kira-kira ada nggak
ya…, ayat Al Qur’an dan Al Hadist yang memfasilitasi untuk bisa munculnya konsep-
konsep diatas, terutama kalau kita salah-salah dalam mengambil posisi kesadaran kita
dalam memahami maksud dari ayat dan hadist tersebut.

“…dan bukanlah engkau yang membunuh mereka, tetapi Allahlah yang membunuh
mereka. Dan tiadalah engkau yang melempar ketika engkau melempar, melainkan
Allah-lah yang melempar …”, (Al Anfal 17)”.

Coba kita perhatikan dengan seksama ayat diatas secara perlahan sekali. Perlahan
sekali. Jangan pakai pikiran, tapi pakailah “kesadaran atau keimanan”. Dengan
berandai-andai, kita masuk ke zaman Rasullah. Ketika kita melihat Rasulullah
menebaskan pedang kepada musuh dalam perang “Uhud” lalu kita bertanya kepada
Beliau: “Ya Rasulullah, siapakah yang membunuh si Fulan tadi ya Rasulullah….??”.

Atau ketika kita melihat Rasulullah melemparkan anak panah Beliau kepada musuh
dalam perang “Badar” lalu kita bertanya kepada Beliau: “Ya Rasulullah, siapakah yang
melemparkan anak panah kepada si Fulan tadi ya Rasulullah…??. Kira-kira jawaban
Rasulullah bagaimana ya…???.

Berdasarkan ayat tadi diatas, maka saya sangat-sangat yakin bahwa Rasulullah akan
menjawab: “Yang sebenarnya, Allah lah yang membunuh si Fulan itu. Yang sebenar-
benarnya, Allah lah yang melempar panah itu”. Kalau tidak begini jawaban Beliau, maka
berani nggak kita untuk mengatakan bahwa ayat Al Qur’an diatas berarti salah. Lalu
berani nggak kita untuk menghapus saja ayat tersebut diatas…?.

Begitu juga al Hadist:

“…Apabila Aku mencintai hambaku, maka Aku merupakan pendengarannya yang ia


pergunakan untuk mendengar, Aku merupakan penglihatan yang ia pergunakan untuk
melihat, Aku merupakan tangan yang ia pergunakan untuk menyerang dan Aku
merupakan kaki yang ia pergunakan untuk berjalan. Seandainya ia memohon kepada-
Ku, niscaya Aku akan mengabulkannya, seandainya ia berlindung kepada-Ku,
niscaya Aku akan melindunginya. ( HR Bukhari)

Andaikan kita bertanya kepada Rasulullah saat Beliau SEDANG mendengarkan dan
melihat sesuatu, atau SEDANG menyerang dan berjalan: “Ya Rasulullah, siapa yang
sedang mendengar dan melihat ini sebenarnya ya Rasulullah, siapa yang sedang
menyerang dan berjalan ini sebenarnya ya Rasulullah…?”.

Lalu…, karena Beliau adalah seorang kekasih Allah, seorang yang dicintai Allah, maka
kira-kira jawaban Beliau itu bagaimana ya…?, dan dimana POSISI kesadaran Beliau saat
menjawab pertanyaan itu…?.

Per definisi Al Hadist diatas, maka Rasulullah haruslah menjawab, bahwa sebenarnya
Allah lah yang sedang mendengar dan melihat sesuatu itu, bahwa yang sebenarnya
Allah lah yang sedang menyerang dan berjalan tersebut. Kalau tidak begitu, maka
berarti Al Hadist tersebut gugur sudah, lalu beranikah kita menghapus Al Hadist
tersebut…?.
Lalu bagaimana pula dengan ayat berikut ini saat kita membacanya, atau
menyampaikannya kepada seseorang:

“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka
sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (Thaha 14)

Bagaimana kira-kira posisi kesadaran Rasulullah ataupun kesadaran kita saat Beliau
atau kita harus membacakan atau menyampaikan ayat 14 surat Thaha ini kepada
khalayak ramai. Salah-salah posisinya, malah Rasulullah ataupun kita sendiri yang
sedang mengaku jadi Tuhan, sedang menyeru untuk disembah orang. Astagfirullahal
‘adhiem.

Coba :

… Ana Allah,
laa ilaha illa Ana…,
fa’budni…, lidzikri…,

dimana kesemuanya bermuara kepada Aku, Ana ...!.

Lalu bagaimana pula posisi kesadaran kita saat kita melakukan sesuatu, pada saat kita
pula sudah mengetahui ayat-ayat Al Qur’an berikut: “ …Kullu man 'alaihaa faanin, wa
yabqa wajhu rabbika ..., (Al-Rahman:26-27); dan Kullu syai’in haa likun illa wajhahu …,
(Al-Qasas: 88.)”.

Inilah, paling tidak, beberapa saja diantara ayat Al Qur’an dan Al Hadist yang perlu kita
amati untuk mengurai benang kusut tentang bagaimana pengertian konsep-konsep MGK
diatas kalau dibandingkan dengan konsep FANA menurut Al Qur’an dan Al Hadist.

Langkah berikutnya adalah, untuk mengamati kira-kira apakah penyebab munculnya


gelombang dahsyat yang menyebabkan kebuntuan umat Islam (khususnya) dalam
mendekatkan diri kepada Tuhan. Penyebab yang paling sederhana bisa digolongkan
menjadi tiga bagian saja, yaitu:

Pertama, ketidaksamaan tempat berpijak diantara orang-orang yang berbicara


tentang sebuah suasana atau kesadaran dengan orang-orang yang hanya berbicara
tentang huruf-huruf, kalimat-kalimat dan dalil-dalil.

Kedua, tidak dapatnya kita membedakan mana ungkapan-ungkapan seseorang


yang berupa wejangan dan mana yang berupa ungkapan-ungkapan
pengakuannya.

Ketiga, memang ada kemungkinan yang sangat besar pula bahwa posisi kesadaran
orang-orang yang mengungkapkan “kalimat-kalimat berat” seperti diatas masih
berada pada posisi “kesadaran ambang”. Kesadaran yang BELUM LOLOS
menjadi sebuah kesadaran FANA yang diinginkan oleh Al Qur’an.

Nah…, sekarang marilah kita kuliti ketiga penyebab diatas agak sekupas dua kupas,
sehingga nantinya kita bisa mengaambil manfaatnya dalam kehidupan kita. Saya sendiri
juga insya Allah sedang belajar dalam hal ini. Mari…!.

Penyebab pertama, yaitu ketidaksamaan tempat berpijak saat memahami sebuah ayat
Al Qur’an atau Al Hadits.
Adanya perbedaan demi perbedaan dalam memahami dan menafsirkan sebuah ayat Al
Qur’an ataupun Al Hadist adalah sesuatu yang sangat NISCAYA saja sebenarnya.
Makanya di dalam Islam kemudian muncul pula berbagai kitab tafsir yang mana diantara
tafsir yang satu mungkin berbeda sangat signifikan dengan tafsir yang lainnya.

Belum lagi kalau dimasukkan pula pengaruh SUASANA, atau KEADAAN yang mengikuti
suatu ayat atau Al Hadist, maka tafsir dan uraian seseorang yang berhasil mengecap
sebuah suasana kejiwaan atas sebuah ayat Al Qur’an dan Al Hadist tersebut akan
membuka lebar pintu bagi sebuah perbedaan bagi orang perorangan, apalagi dengan
orang-orang yang belum mendapatkan suasana demi suasana atas ayat tersebut.

Dan perbedaan-perbedaan seperti ini tidak akan pernah berhenti selama kita masih
bernafas. Fitrah saja perbedaan yang seperti ini. Karena semuanya sangat tergantung
kepada seberapa jauh KEPAHAMAN muncul di dalam diri kita saat kita membaca
sebuah ayat. Kepahaman seorang profesor pastilah sangat berbeda dengan kepahaman
seorang anak TK. Padahal tidak semua orang bisa menjadi seorang profesor, dan tidak
semua orang pula yang mau tetap bertahan menjadi seorang anak TK. Tetap ada lebih
dan kurangnya.

Kekeliruan umum yang terjadi adalah bahwa saat kita menyampaikan suatu ayat atau al
hadist yang dasarnya hanyalah dari pemahaman kita saja, baik berdasarkan bacaan
maupun hasil sekolah atau kuliah kita selama ini, kita lalu ingin pula agar orang lain itu
mau ikut dan setuju dengan pemahaman yang kita sampaikan. Kalau mereka menolak,
tidak setuju, atau berbeda pemahaman dengan kita, maka kita lalu marah-marah
kepada orang yang tidak setuju dan tidak mau ikut dengan pemahaman kita itu. Atau
sebaliknya kalau orang lain itu malah manut-manut saja dengan apa-apa yang kita
sampaikan, baik dia mengerti ataupun tidak, maka kita lalu bisa merasa bangga dan
menganggap mereka itu sebagai teman kita, kelompok kita.

Masalahnya pun akan bertambah besar tatkala pemahaman yang kita sampaikan itu
hanya sekelas pemahaman seorang sastrawan dan ahli sejarah saja tentang ayat Al
Qur’an dan Al Hadist tersebut. Apalagi kalau muatan yang disampaikan itu hanyalah
muatan pemahaman seorang anak SD terhadap seorang doktor atau profesor. Bakalan
rame..!. Rame sekali dan lucu malah.

Jadi penyebab kebuntuan pemahaman agama yang berdasarkan atas beda tempat
berpijak ini sangatlah biasa. Jadi kita tidak usahlah memperdebatkannya sedikitpun. Kita
tinggal tentukan dimana posisi pemahaman kita masing-masing akan kita tempatkan,
lalu kita lengketkan kesadaran kita (binding) dengan posisi itu, dan kemudian kita
nikmati saja senang ataupun susahnya posisi pemahaman kita itu.

Dan pada semua posisi pemahaman itu ada resikonya yang akan kita pikul masing-
masing. Enak atau tidak enak…, harus kita ambil masing-masing kita. Dan selalu saja
terbuka pintu atau peluang-peluang untuk mengambil resiko yang lebih baik ataupun
yang lebih jelek. Terbuka sekali...!.

Cuma masalahnya adalah, siapa sih yang mau kecebur untuk mengambil resiko yang
jelek, tidak enak, tersiksa dan resiko-resiko menyakitkan lainnya, sementara di depan
kita telah yang menganga lebar pintu-pintu agar kita bisa mendapatkan resiko enak,
nikmat, dan membahagiakan di setiap tarikan nafas kita…??!.

Penyebab kedua, yaitu tidak dapatnya kita membedakan mana ungkapan-ungkapan


seseorang yang berupa wejangan dan mana ungkapan-ungkapan yang berupa
pengakuannya.
Kadang-kadang, atau terlalu sering malah, kita ini rancu atau tidak dapat membedakan
antara mana ungkapan seseorang yang berupa wejangan atau pengajaran dan mana
ungkapan yang berupa pengakuan atau klaim atas dirinya sendiri. Saat seseorang
menyampaikan wejangan atau menyampaikan pengajarannya, tapi malah kita anggap
orang tersebut sedang mengucapkan klaim atau pengakuannya sendiri. Begitu juga
sebaliknya, saat dia menyampaikan klaim atau pengakuan atas kelebihan dirinya
sendiri, eee…malah kita anggap dia itu sedang menyampaikan wejangan ataupun
pengajarannya kepada kita.

Kekeliruan-kekeliruan seperti ini bisa fatal akibatnya. Misalnya adalah, dalam sebuah
wejangan atau pengajaran, ada seseorang yang datang terlambat atau ada orang yang
tidak memahaminya dan mungkin pula dia munafik yang ikutan mendengarkan atau
membaca wejangan dan afirmasi-afirmasi berikut:

Setelah kita menyadari Sang INI, ALLAH, DISINI, DEKAT, QARIB, lalu kita, tinggal diam
saja. Kita tinggal menunggu Sang INI, Allah, mengajari kita langkah demi langkah
tentang hal-hal yang tidak atau belum kita pahami, mari…:

Biarkanlah Sang INI, ALLAH, MENGAKU kepada kita:

INI adalah AKU…!.


AKU…!. AKU…!. ANA…!, ANA…!
Yang ADA adalah AKU, Laa ilaha illa ANA…!.
Yang Maha Suci adalah AKU, Subhani…!.
Yang Maha Besar adalah AKU, ANA akbaru ‘ala kulli syaiin…!!.

Biarkanlah Sang INI, ALLAH, mengenalkan DIRINYA sendiri selangkah demi selangkah
kepada kita:

Ini AKU…!. Ini AKU…!. TUHAN…!.


Saat kalian datang kepada-Ku sejengkal, AKU akan menyambutmu sedepa,
Saat kalian memangil-manggil ku dengan berjalan, AKU akan
menyambutmu sambil berlari.
AKU lebih cepat menyambut panggilan-panggilan dan do’a-do’a mu itu dari
yang kau kira.

Nah…, bagi kita yang tidak dapat memahami bahwa ungkapan-ungkapan ini adalah
wejangan atau pengajaran guru pembimbing kita untuk mengajak kita menyadari dan
“membaca” pengajaran-pengajaran Tuhan, maka kemudian kita lalu bereaksi dan keluar
dengan kesimpulan kita sendiri: “Laaa…, ini kan Manunggaling Kawolu lan Gusti
(MKG)…, inikan sama dengan HULUL…, inikan ITTIHAD…, dan perkiraan-
perkiraan kita lainnya…”.

Tuduhan-tuduhan seperti ini terjadi lebih sering disebabkan oleh karena kita tidak punya
file sedikitpun di dalam otak kita tentang afirmasi-afirmasi seperti diatas. Sehingga kita
lalu dengan gagah berani membuat kesimpulan sendiri sesuai dengan file seadanya
yang tersedia di dalam otak kita.

Padahal bagi kita yang sudah paham, maka kita tinggal mengikuti saja afirmasi-afirmasi
guru pembimbing kita itu untuk kemudian masuk dari satu kesadaran ke kesadaran
berikutnya. Karena memang saat itu kita tengah diajak langkah demi langkah untuk
menaikkan kesadaran kita kepada Dzat Yang Maha Hidup, Yang Maha Merespons, maka
afirmasi-afirmasi tersebut PASTI akan membawa pengaruh kejiwaan yang sangat besar
bagi kita. Dahsyat sekali malah. Karena saat itu jiwa kita tengah disadarkan terhadap
Dzat Yang Memang Maha Dahsyat.

Akan tetapi, kalau tidak ada pengaruhnya atau bekasnya sama sekali pada jiwa kita,
pada dada kita, saat kita menyebut kalimat, misalnya, Allahu Akbar, maka dapat
dikatakan pada saat itu jiwa kita tengah mati, dada kita telah membatu. Itu saja kok
keterangan tentang wejangan…. Kok repot …!.

Ungkapan-ungkapan seperti diatas barulah akan menjadi masalah besar saat mana tiba-
tiba seseorang berdiri di hadapan khalayak ramai dan berseru dengan gagah berani,
ataupun tiba-tiba menulis:

INI adalah AKU…!.


AKU…!. AKU…!. ANA…!, ANA…!
Yang ADA adalah AKU, Laa ilaha illa ANA…!.
Yang Maha Suci adalah AKU, Subhani…!.
Yang Maha Besar adalah AKU, ANA akbaru ‘ala kulli syaiin…!!.

Tanpa ba-bi-bu, orang tersebut kemudian berseru ataupun menulis:

Ini AKU…!. Ini AKU…!. TUHAN …!.


Saat kalian datang kepada-Ku sejengkal, AKU akan menyambutmu sedepa,
Saat kalian memangil-manggil ku dengan berjalan, AKU akan menyambutmu sambil
berlari.
AKU lebih cepat menyambut panggilan-panggilan dan do’a-do’a mu itu dari yang kau
kira.

Dalam hal ini, penyebabnya hanya ada dua kemungkinan, yaitu orang ini adalah gila
dan ngelindur, atau orang ini tengah berada dalam suasana “kesadaran ambang”
yang memang sangat sering terjadi pada orang-orang yang mencoba berspiritual tapi
dengan objek fikir yang nggak jelas. Hal ini akan dikupas dalam sub-bab penyebab
ketiga berikut dibawah ini.

Penyebab ketiga, orang yang berada dalam posisi “Kesadaran Ambang” dalam berspiritual.

Pada saat kita berada di posisi kesadaran ambang ini dalam berspiritual, kita memang
lebih sering melahirkan ungkapan yang aneh-aneh, mengejutkan, dan bahkan
kadangkala tidak terkontrol. Karena dalam proses perjalanan laku spiritual yang banyak
beredar ditengah-tengah masyarakat, orang-orang mencoba memperjalankan
kesadarannya dengan sengaja ataupun tidak kepada sesuatu yang ada di dalam dirinya
ataupun yang ada di luar dirinya sendiri. Bahkan kita bisa pula mencoba membiarkan
pikiran kita berkelana sendiri kesana kemari sampai akhirnya fikiran itu berhenti dengan
sendirinya karena memang tidak ada lagi file-file fikiran yang bisa kita dikeluarkan dari
memori fikiran kita.

Proses perubahan kesadaran demi kesadaran ini, dampaknya memang sangat kuat,
terutama kepada fisik kita. Tempo-tempo kita bisa dibawa kepada wilayah kegelapan
yang amat sangat dan mencekam. Tidak ada apa-apanya disitu. Tempo-tempo kita juga
bisa terhempas kepada suasana kebingungan yang amat sangat, karena diri kita juga
bisa nggak ada sama sekali. Tempo-tempo kita juga bisa merasakan sedih yang amat
sangat, sehinga kita maunya menangis terus. Tempo-tempo juga kita bisa tidak dapat
lagi membedakan mana yang diri kita dan mana yang Tuhan. Kita seperti orang yang
mabok. Yang dalam istilah orang-orang spiritual disebut sebagai suasana EKSTASIS,
atau sedang FANA secara spiritual.

Makanya dalam suasana seperti ini orang bisa saja menjadi patuh sekali dan merasa
dekat sekali dengan Tuhan, sehingga dia malah tidak bisa ngapa-ngapain. Atau malah
bisa pula menjadi sangat jauh sekali dengan Tuhan. Wong dia sendiri sudah merasa
bersatu dengan Tuhan, bahkan dia telah merasa menjadi Tuhan itu sendiri. Sebab yang
dia dapatkan adalah sebuah suasana yang nggak ada apa-apanya. Kosong melompong,
nggak ada apa-apanya. Dia lalu menyadari bahwa yang adalah hanyalah dirinya sendiri
yang mengamati kesemuanya itu.
Sehingga dia lalu mengaku dan berucap ANA Al HAQ, Laa ilaha illa ANA, Subhani,
dsb. Aku semuanya….!.

Kita bisa juga seperti ini…?!. Bisa…!. Bisa sekali malah. Setiap orang bisa berada dalam
kesadaran seperti ini.

Lalu kalau begitu buat apa spiritualitas itu sebenarnya. Kalau hanya akan membuat kita
sombong seperti ini…??.

Yaaa…, hal seperti inilah yang menyebabkan orang-orang kemudian takut untuk masuk
kepada kelompok-kelompok spiritual yang banyak macamnya di tengah-tengah
masyarakat kita ini. Referensinya ya begitulah…, kalau tidak Al Hallaj, Syech Siti Jenar,
atau Ibnu Arabi yang memang telah disamakan dan dicap orang pula sebagai manusia-
manusia sesat, atau dengan paranormal-paranormal yang banyak nggak benarnya juga
menurut kepatutan umum.

Padahal kalau kita mau membuka kesadaran sedikit saja, tentang mana bisa kita bisa
tahu dan yakin akan suasana atau posisi kesadaran seseorang pada suatu saat
tertentu…, mungkin kita akan bisa berhati besar dalam setiap perbedaan yang ada.
Misalnya siapa yang tahu…, bahwa barangkali saja saat Al Hallaj, Syech Siti Jenar, atau
Ibnu Arabi mengungkapkan kalimat-kalimat diatas sebenarnya beliau-beliau itu tengah
mewejang dan memberikan pengajaran kepada pengikut-pengikut beliau, dan saat
mewejang itu kebetulan didengarkan pula oleh orang munafik yang membenci beliau,
sehingga fitnah untuk beliau-beliau itupun muncul dengan dahsyatnya.

Atau siapa pula yang bisa tahu dengan pasti bahwa saat itu beliau-beliau itu memang
tengah berada dalam kesadaran ambang, atau bahkan tidak percaya kepada Tuhan,
sehingga ungkapan-ungkapan nyeleneh begitu tidak bisa beliau tahan untuk tidak keluar
dari mulut beliau…???. Siapa yang tahu pasti…???!. Berani benar kita ini menyalah-
nyalahkan orang….!. Kualat nanti baru tahu…, he he he..!.

Sehingga dari ketakutan-ketakutan kita terhadap cerita tertulis atau dongengan dari
mulut ke mulut tentang sepak terjang orang-orang yang dianggap sebagai para
spiritualis itu. Akhirnya kita lebih banyak menjalankan agama dan kepercayaan kita
hanya sebatas kepatuhan saja atas larangan dan suruhan yang diwajibkan oleh syariat
agama kepada kita. Walau untuk itu kita harus kehilangan rasa dzauq, atau rasa
keindahan dan kenikmatan dalam beragama itu. Kita memang beragama, tapi menapaki
hari-hari kita dengan rohani yang KERING. Kelihatan kok ketegangan wajah kita dalam
beragam itu…!. Nggak bisa ditutup-tutupi dengan senyuman semanis apapun.

Kalau begitu, bagaimana sih konsep FANA yang dihendaki oleh Al Qur’an agar supaya
posisi kesadaran kita saat membaca ayat-ayat Al Qur’an dan al hadist diatas berada
pada posisi yang tepat…?.

Sementara referensi kita tentang FANA itu lebih banyak kepada keadaan orang yang
asyik masyuk dengan Tuhan, ekstasis, bahkan pingsan, dan sebagainya, seperti yang
dialami oleh para ahli spiritual, tasawuf, tarekat, dan kebatinan lainnya. Sehingga FANA
model begitulah yang dicari-cari orang saat seseorang tersebut mulai perjalanan
spiritualnya.

Saya sendiri juga termasuk didalamnya sekitar 5-6 tahun yang lalu, sebelum ataupun
setelah saya mengenal patrap ini diawal-awal, dalam pencarian spiritual saya. Rame,
riuh rendah, srudak sini sruduk sana. Dan akhirnya dengan cara yang sungguh sangat
sederhana, saya kemudian “diletakkan” ALLAH di tempat yang sangat sederhana pula
dalam memahami FANA ini menurut Al Qur’an. Sehingga berspiritual saya pun,
alhamdulillah, juga menjadi sangat sederhana. Dan kesederhanaan itu pulalah yang
saya coba sharing-kan dengan teman-teman di dunia maya Dzikrullah ini.

FANA MENURUT AL QUR’AN…

Pertama-tama, janganlah kita memandang bahwa Al Qur’an itu merupakan sebuah


konsep yang sulit, yang diwariskan Rasulullah buat kita. Tidak mungkinlah Rasulullah
meninggalkan beban berat buat kita, yang sulit untuk kita pahami dan lakukan.

Cobalah kita lihat kembali ayat-ayat Al Qur’an dan Al Hadist dibawah ini. Lalu bukalah
kesadaran kita untuk sebuah pengertian yang sederhana…:

“…dan bukanlah engkau yang membunuh mereka, tetapi Allahlah yang


membunuh mereka. Dan tiadalah engkau yang melempar ketika engkau
melempar, melainkan Allah-lah yang melempar …”, (Al Anfal 17).

“…Apabila Aku mencintai hambaku, maka Aku merupakan pendengarannya yang


ia pergunakan untuk mendengar, Aku merupakan penglihatan yang ia
pergunakan untuk melihat, Aku merupakan tangan yang ia pergunakan untuk
menyerang dan Aku merupakan kaki yang ia pergunakan untuk berjalan.
Seandainya ia memohon kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkannya,
seandainya ia berlindung kepada-Ku, niscaya Aku akan melindunginya. ( HR
Bukhari)

“…Kullu man 'alaihaa faanin, wa yabqa wajhu rabbika ..., (Al-Rahman:26-27);


dan Kullu syai’in haa likun illa wajhahu…, (Al-Qasas: 88.)”.

“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku,
maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (Thaha 14)

Tidakkah ayat-ayat dan hadist tersebut diatas mengisyaratkan agar kita ini tidak
menjadi sombong dan angkuh…?. Dan ketidaksombongan dan ketidakangkuhan itu
hanya dan hanya dapat diwujudkan kalau kita tidak pernah mengakui bahwa semua
yang bisa kita lakukan ternyata hanyalah Rahmat Tuhan saja buat kita. Bahwa melihat
kita, mendengar kita, bergerak kita, semuanya adalah Fasilitas Tuhan yang diberikan-
Nya buat kita tanpa batas yang harus kita manfaatkan untuk kemaslahatan umat
manusia belaka.

Yaa…, ternyata FANA menurut Al Qur’an hanyalah bagaimana caranya agar


kita bisa memposisikan diri kita sebagai HAMBA TUHAN yang bersandar
kepada TUHAN, dan menyadari pula bahwa kita memakai segala fasilitas
TUHAN dalam menjalankan tugas-tugas kita yang juga dari TUHAN untuk
memberikan rahmat pula bagi lingkungan di sekitar kita.

Subhanallah, ternyata FANA menurut Al Qur’an itu, paling tidak sebatas apa yang saya
pahami, hanyalah agar kita mau memposisikan diri kita dengan SENGAJA sebagai
HAMBA TUHAN…..!. Dan…, hamba Tuhan hanya akan Menghadap dan Menyembah
LURUS kepada AKU TUHAN, bukan kepada Sifat-Nya, bukan kepada Kekuasaan-Nya,
bukan pula kepada Kekuataan-Nya, apalagi kepada ciptaan-Nya, nggak…, nggak boleh
melenceng dari Wajah Tuhan.

Dan yang tahu wajah Tuhan hanyalah Tuhan Sendiri, maka bermohonlah dengan
sengaja agar Tuhan menunjukkan dan menuntun kita selangkah demi selangkah
menghadap LURUS ke Wajah-Nya. Janganlah kita sendiri yang mencari-carinya. Nanti
rumit dan ruwet.

Dan Hamba Tuhan yang paling tepat posisinya di hadapan Tuhan, adalah Muhammad
Saw. Begitu juga Isa As, Musa As, dan Nabi-nabi As yang lainnya. Dan tugas kita
hanyalah minta pertolongan kepada Allah agar posisi kita juga berdekatan (walaupun
masih jauh) dengan posisi Beliau-Beliau itu.

Demikianlah uraian saya untuk sedikit mengurai dan memecah gelombang kebuntuan
kita tentang kedekatan kita dengan Tuhan hanya gara-gara ada sejarah Al Hallaj, Ibnu
Arabi, Syech Siti Jenar, dan lain-lainnya yang dianggap sebagian orang menyimpang
dari pakem yang diajarkan oleh Rasulullah. Entahlah…!.

Wallahu a’lam
 
Deka
Jl. Kabel 16, Cilegon,
07 September 2005

Anda mungkin juga menyukai