Anda di halaman 1dari 9

KESADARAN SEJATI

From: "Herly" <herly@dk.co.id>


Subject: Tanya dan Mohon Bimbingan

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Senang sekali milis Dzikrullah ini aktif kembali dengan tanya jawabnya yang
dapat menambah pengetahuan, dan semoga Allah SWT menambahkan kita ilmu
dan memberikan kita faham yang benar ... Aamiin ....

Sebelumnya saya ucapkan terima kasih atas artikel-artikel Bapak Ustadz Abu
Sangkan yang menurut saya sangat baik sekali, banyak pelajaran yang dapat
dipetik, dan dalam 3 tahun ini saya mencoba membaca kembali berulang-ulang
artikel Bapak tersebut. Sekali lagi terima kasih. Saya mohon dapat diberikan
pengertian dan bimbingan mengenai perjalanan spiritual saya yang selama ini
naik turun selama beberapa tahun ini.

Banyak referensi yang saya peroleh mengenai Diri Sejati (Kesadaran Ruh) yang
dalam artikel Bapak Abu Sangkan disebut Bashirah. Tapi sampai saat ini saya
sadar Diri Sejati hanya sebatas kesadaran fisik (otak), tidak lebih !!! Mungkin
karena dari "kecil" sampai sekarang saya selalu didominasi oleh kesadaran fisik
(otak) dalam menghadapi berbagai persoalan. Semakin banyak pengetahuan
yang saya dapat, semakin banyak pula perputaran otak yang terjadi untuk
menelaahnya, walaupun otak sadar bahwa kesadaran yang lebih tinggi (ruh)
lebih pandai dalam segala hal, tetapi otak tetap saja mendominasi. Dalam
beberapa tahap kadang-kadang otak bisa dikalahkan oleh kesadaran lebih tinggi.
Tapi hal itu tidaklah secara permanen, karena itu saya mengatakan perjalanan
spiritual saya maju mundur tanpa kemajuan yang berarti.

Namun dalam beberapa tahun yang lalu saya pernah merasakan suatu
kenikmatan ibadah, rasa rindu dan cinta kepada Allah, dan juga rasa ridha atas
aturan dan ketentuan Allah yang mana hal tersebut membuat saya ingin sekali
bertemu dengan-Nya (seperti yang dirasakan Saudaraku Yusdeka dan yang
lainnya berdasarkan kesaksian mereka yang saya baca). Perasaan itu pernah
saya rasakan dua kali selama hidup saya, dan sewaktu proses itu terjadi saya
mengalami beberapa pengalaman spiritual diantaranya sebelum saya jatuh saya
sudah tahu akan jatuh.

Tetapi hal ini baru saya sadari sekarang bahwa itu mungkin adalah kesadaran
sejati (mohon koreksi apabila saya salah), yang mana saya merasakan hal itu
telah hilang dalam diri saya.

Saya ingin menanyakan :

1. Kenapa hal itu tidak bisa saya rasakan kembali setelah kesadaran fisik
(otak) saya mengerti bahwa ada suatu kesadaran yang lebih tinggi.

2. Kenapa semakin saya berusaha mencapai kesadaran itu, semakin saya


merasa kesulitan untuk meraihnya, Apakah dikarenakan dalam berdzikir,
ibadah saya menjadi tidak ikhlas karena adanya keinginan mencapai
kesadaran tersebut ?

3. Apakah salah bila saya ada keinginan untuk mencapai kesadaran


tersebut agar dapat merasakan ihsan ?

4. Karena menurut saya dengan adanya keinginan mencapai kesadaran


ini, sedikit banyak mempengaruhi nilai keikhlasan ibadah saya walaupun
hal tersebut baik (mohon koreksi apabila pendapat saya salah).
Pendapat ini muncul setelah saya mengkaji rasa manisnya ibadah, cinta,
rindu, ridha kepada Allah yang saya rasakan beberapa tahun yang lalu
timbul dikarenakan ikhlas tanpa adanya keinginan akan sesuatu.

5. Seandainya salah, bagaimana caranya agar saya dapat menghilangkan


keinginan saya untuk mencapai kesadaran itu, sehingga ibadah bisa
menjadi lebih ikhlas ? Karena dengan adanya ilmu pengetahuan tentang
kesadaran ini semakin saya kesulitan untuk menghilangkannya.

Dalam artikel Bapak Yusdeka mengatakan : Nafs yang tidak tenang,


yang ammarah, dan yang lawwamah, akan ditempatkan di tempat yang
lain yang bukan syurga. Dimana itu....?, nggak tahu saya. Menurut Al
Qur'an itu namanya neraka...!.

Dapatkah Bapak memberikan Surah apa yang mengatakan bahwa Nafs


yang lawwamah ditempatkan di neraka ? Bukankah jiwa yang lawwamah
itu jiwa yang menyesali kesalahan- kesalahannya / jiwa yang tidak
kepada keburukan (mohon koreksi).

Bukankah sebelum mencapai jiwa yang mutmainah seseorang akan


melewati proses jiwa lawwamah ?

6. Benarkah kesadaran terdiri dari 3 tingkatan : Kesadaran fisik, Kesadaran


jiwa dan Kesadaran ruh. Karena ada yang mengatakan bahwa sebelum
mencapai kesadaran ruh harus melalui proses kesadaran jiwa terlebih
dahulu, karena kesadaran ruh terlalu tinggi tegangannya untuk
kesadaran fisik.

7. Saya mendapat referensi di internet yang mengatakan :

Ilmu hikmah adalah sebuah ilmu kebatinan dengan metode zikir


dan doa, adakalanya juga dengan mantra berbahasa Arab atau
campuran tetapi tidak bertentangan dengan akidah dan syari'at
Islam, ditujukan untuk urusan duniawi seperti kekebalan,
pangkat, karir, perjodohan, pengasihan dan lain-lain.

Menurut Bapak apakah dibenarkan dalam Islam kita mempelajari ilmu


hikmah seperti yang diuraikan di atas ?

Mohon Bapak dapat memberikan penjelasan mengenai kata-kata Al


Hikmah dalam Al-Qur'an seperti dalam 2:129, 2:151, 2:231, 2:269, 3:48,
3:79, 3:81, 3:164, 4:54, 4:113, 5:110, 12:22, 21:74, 21:79, 26:83, 28:14,
38:20 62:2.

Salah satunya dalam Surat Al-Anbiyaa' ayat 79 (21:79), yang berbunyi :

maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman


tentang hukum ; dan kepada masing-masing mereka telah Kami
berikan hikmah dan ilmu dan telah Kami tundukkan gunung-
gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud.
Dan kamilah yang melakukannya.

8. Benarkah ilmu hikmah itu ilmu dunia, dan ilmu tasawuf itu ilmu akhirat ?

9. Bagaimanakah mempelajari suatu ilmu sampai ke hakikatnya ?


 
Demikianlah semoga Bapak dapat memberikan penjelasan dan bimbingannya,
karena saya tidak mempunyai guru yang dapat memberikan jawaban-jawaban
yang saya perlukan, karena sekarang ini banyak paranormal tapi bukan guru ....:)
Sekali lagi mohon bimbingannya dan mohon izin dan ridha Bapak agar saya
dapat mempraktekkan patrap di rumah saya. Dan kalau bisa mohon dikhabarkan
kalau seandainya akan diadakan Patrap di kota Palembang.

Sebelum dan sesudahnya saya ucapkan banyak terima kasih dan mohon maaf
apabila ada kata-kata yang kurang berkenan dan kepada Allah saya mohon
ampun.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Herly

Assalamu'alaikum wr.wb.

Sahabatku Herly, pertanyaan dan kegalauan Anda, sungguh sangat mewakili apa-apa
yang saya hadapi juga, yang dihadapi juga oleh hampir sebagian besar umat
manusia. Tak peduli apapun agama ataupun alirannya, tak peduli wali-kah atau
orang biasa-kah dia, bahkan Nabi-nabi besar pun galau melihat diri dan umat
Beliau. Memang dari zaman ke zaman manusia telah berusaha untuk mencari siapa
dirinya, dan untuk apa mereka ada di dunia ini. Oleh karena itu lahirlah berbagai
pendapat tentang siapa diri, siapa diri sejati, siapa roh suci, dan lain-lain sebagainya.
Semuanya tentu saja berdasarkan pengalaman-pengalaman empiris dari sang
penggagasnya. Masalahnya adalah sebuah pengalaman empiris kalau kita coba untuk
dibahasakan dengan bahasa lisan, maka akan terjadi pemangkasan makna yang
sangat signifikan, apalagi kalau hanya dibahasakan dengan bahasa tulisan, mungkin
informasi yang tersisa hanya sekitar + 10 % saja. Lalu hanya dalam sisa pengertian
yang 10 % inilah kita barangkali bisa mulai saling meraba-raba kesana-sini, yang
bisa kita saling diskusikan. Bisa saja kita bertemu buku ini, buku itu, atau bisa juga
dengan uraian-uraian yang katanya kalau tidak sulit maka itu dinilai kurang bagus.
Semakin sulit untuk dimengerti, maka biasanya orang akan menilai buku atau teori
itu bagus. Begitulah pencarian kita selama ini, sehingga kita sering “ter-cover” untuk
melihat yang sederhana.
 
Kalau kita kembali melihat ayat Al Qur'an tentang penciptaan manusia, maka
sebenarnya hanya ada DUA eksistensi yang ada pada setiap manusia itu, yaitu ada
DIRI (NAFS) yang berasal dari saripati tanah disatu pihak, dan ada entitas yang
bukan dari sari pati tanah yang dipanggil dengan mesra oleh Tuhan sebagai RUH-KU
dipihak lainnya. Ya...., hanya ada dua, DIRI (NAFS) dan MIN-RUHI. Kemudian
dengan pengertian yang hanya sekitar 10 % saja, atau bahkan mendekati nol, saya
memberanikan diri untuk sedikit “bersedekah kata” di milis yang saya cintai ini.
 
SIAPA SAYA......???
 
Yusdeka itu nama saya. Jadi Yusdeka itu bukan saya, tapi sebagai TANDA ADA
SAYA.
 
Yaaa..., pada Yusdeka itu ada saya.
Kemanapun Yusdeka pergi ehhhh...., disitu ada saya.
Dulu, sekarang, dan yang akan datang ehhh..., ternyata juga ada saya.
Ngapain pun Yusdeka...., disitu ada saya.
Saya menulis lewat tangan Yusdeka.....
 
Oooo..., ternyata saya yang menggerakkan tangan Yusdeka untuk menulis. Tangan
Yusdeka hanya benda yang diam saja. Karena ada saya, maka tangan Yusdeka
seakan-akan bisa bergerak untuk menulis. Karena di kantor ada saya, maka tangan
Yusdeka bisa menulis di kantor. Di rumah juga ada saya, sehingga tangan Yusdeka
juga bisa menulis di rumah...!!. Heii..., di Bandung pun ada saya, sehingga tangan
Yusdeka pun bisa menulis di Bandung...!!.
 
Oooo..., ternyata saya juga melihat lewat mata Yusdeka. Saya yang mengalirkan
rasa melihat pada mata Yusdeka sehingga Yusdeka seperti bisa melihat. Kemana
pun Yusdeka pergi, saya bisa melihat lewat mata Yusdeka. Bahkan saat mata
Yusdeka ditutup pun saya masih bisa melihat, saya melihat GELAP, dan saya TAHU
itu gelap. Karena sayalah yang melihat itu. Mata saya hanyalah benda mati yang
seakan-akan bisa melihat karena saya melaluinya dengan melihat saya.
 
Oooo..., ternyata saya juga mendengar lewat telinga Yusdeka. Saya yang
mengalirkan rasa mendengar pada telinga Yusdeka sehingga Yusdeka seperti bisa
mendengar. Kemana pun Yusdeka pergi, saya bisa mendengar lewat telinga Yusdeka.
Bahkan saat telinga Yusdeka ditutup pun saya masih bisa mendengar, saya
mendengar SENYAP, dan saya TAHU itu senyap. Karena sayalah yang mendengar itu.
Telinga saya hanyalah benda mati yang seakan-akan bisa mendengar karena saya
melaluinya dengan mendengar saya.
 
Oooo..., ternyata saya juga tahu lewat otak Yusdeka. Saya “tahu” apa-apa yang
difikirkan oleh otak Yusdeka. Saat otak Yusdeka dialiri rasa mikirin yang baik-baik,
saya tahu itu. Saat otak Yusdeka dialiri mikirin yang tidak baik, saya juga tahu
itu. Bahkan saat otak Yusdeka tidak dialiri mikirin apapun saya juga tahu. Karena
sayalah yang tahu itu. Otak saya hanyalah benda mati yang seakan-akan bisa
berfikir karena saya melaluinya dengan berfikir saya.
 
Ooooo..., ternyata saya juga tahu saat dada saya dilanda berbagai rasa. Saya tahu
persis saat dada saya dilanda rasa marah, saat dada saya dibekap rasa benci, saat
dada saya dibuai rasa cinta, saat dada saya dilanda rasa sedih, saat dada saya
menuai rasa apa saja. Saya tahu persis. Karena sayalah yang ”tahu” itu. Dada saya
hanyalah benda mati yang seakan-akan bisa merasa karena saya melewatinya
dengan merasa saya.
 
Ahaa...., ternyata saya berada "DIATAS" semua itu.

Yaaa....., posisi saya diatas bergeraknya Yusdeka, saya ada diatas melihatnya
Yusdeka, saya ada diatas mendengarnya Yusdeka, saya ada diatas otaknya Yusdeka,
saya ada diatas rasanya Yusdeka, saya ada diatas “tahu”-nya Yusdeka. Karena saya
adalah Yang Bergerak, saya adalah Yang Melihat, saya adalah Yang
Mendengar, karena saya adalah Yang Tahu (Bashirah).
 
"Balil Insanu 'ala nafsihi Bashirah.... Pada manusia itu, diatas dirinya (nafs)
ada bashirah (yang tahu)"
 
Sedangkan Yusdeka adalah TANDA ADA SAYA,
Bergeraknya Yusdeka kemana pun adalah TANDA ADA SAYA,
Melihatnya Yusdeka adalah TANDA ADA SAYA,
Tahunya Yusdeka adalah TANDA ADA SAYA.
 
Bahkan diatas DIRI saya (NAFS) yang HAKIKI, yaitu substansi yang universal,
yang tidak dibatasi oleh sekat-sekat tubuh Yusdeka, otak Yusdeka, maupun rasa
Yusdeka, yang Luas Tak terhingga, yang meliputi segala sesuatu, yang
muthmainnah (tenang, tenteran), juga ada saya.....!!!!.
 
Yaaa..., keluasan diri saya itu, keuniversalan diri saya itu, juga adalah TANDA ADA
SAYA.
 
Oopppsss...
Jebakannya ternyata ada disini....!!!!
Halus sekali..., munculnya nyaris tak mudah untuk menyadarinya.
 
Apa jebakannya ?????

Bersambung

DEKA

KESADARAN SEJATI (Lanjutan 1)

Jebakannya adalah:

 Karena saya bisa mencapai posisi asli diri saya (Nafs), yaitu substansi yang
universal (nafsul muthmainah), yang luas tak terhingga, yang meliputi segala
sesuatu, maka saya merasa bahwa dimana-mana YANG ADA tetap ada saya.
Akan tetapi pada saat yang sama saya juga BISA MENYADARI ADANYA
SUBSTANSI LAIN, sebut saja DIA. Yaaa..., “saya” juga merasa ada “Dia”. Akan
tetapi antara saya dan Dia TIDAK terpisahkan. Sayangnya saya masih merasa
bahwa saya TETAP ada. Sehingga saya merasa menjadi DIA. dan Dia menjadi
saya. "Dia adalah Saya, dan Saya adalah DIA.....Tatwam Asi"....!!!. Atau
saya merasa bahwa "Saya bersatu dengan DIA...yang nantinya akan
memunculkan konsep “hulul, emanasi, wihdatul wujud".
Dua berpadu menjadi satu, akan tetapi saya masih tetap ada, saya BELUM
LOLOS.

 Karena saya yang melihat, saya yang mendengar, saya yang tahu, saya yang
merasa, saya yang berfikir..., maka saya seperti merasa tidak ada apa-apa lagi
selain saya. Hanya ada saya.....!!!.. Akan tetapi pada saat mengaku hanya ada
saya ini, kalau saya masih berada di WILAYAH AMBANG (NYARIS LOLOS) maka
yang muncul adalah pengakuan: Saya adalah Kebenaran ... (ANA AL
HAQ)....!!!. Maha suci saya.... (SUBHANI)...!!!.

Naaaahhh..., kalau sudah berada pada posisi ini, agar tidak tersiksa lagi,
maka saya harus CEPAT-CEPAT mencari TEMPAT KEMBALI saya, tapi tempat
kembali itu harus yang COCOK dan yang SEBENARNYA.
 
Dari KEUNIVERSALAN ini, atau dari TATWAM ASI ini, atau dari NAFSUL
MUTHMAINNAH inilah perjalanan SAYA yang sebenarnya baru DIMULAI untuk
MENUJU KE TEMPAT KEMBALI YANG SEBENARNYA.
 
Saya Yang KEMBALI PULANG...!!!
 
Untuk kembali pulang, maka saya butuh PETA yang akan membawa saya pulang ke
tempat asal saya. Peta itu harus pula diwariskan oleh "saya" yang pernah pulang ke
tempat asal "saya" yang sebenarnya. “Saya” yang pernah pulang itu diwakili oleh
“saya” yang melihat, mendengar, dan tahu lewat Nafs Muhammad (saw). Karena
Muhammad memang sudah mencapai posisi “saya” yang diatas DIRI, “saya” yang
UNIVERSAL, Muthmainnah. Muhammad tidak lagi berada dalam batas-batas fikiran,
batas-batas melihat, batas-batas mendengar, batas-batas tahu yang hanya sebatas
OTAK dan PERSEPSI Beliau.
Yaa..., Beliau telah LOLOS dan berada pada posisi “saya” yang universal. “Saya”
yang bekasnya ada pada diri Muhammad berada diatas dan meliputi alam semesta.
Oleh karena itu Beliau disebut juga disebut sebagai rahmat bagi alam semesta itu
sendiri.
 
Proses lolosnya Beliau menjadi “saya” yang universal ini sebenarnya juga adalah
sebuah PETA, CARA, METODA, atau cara meracik laku untuk bisa menjadi universal
yang perlu ditiru oleh umat manusia. Saat Beliau berada di Gua Hira' yang berada
diketinggian (diatas) kota Mekkah, maka Beliau "melihat keluasan" alam semesta.
Semakin lama Beliau melihat keluasan itu, maka hampir secara otomatis persepsi
keterbatasan dengan atribut ketubuhan Beliau juga menjadi menyusut dan
berubah menjadi persepsi alam semesta yang sangat luas tak terhingga. Berada
pada posisi ketinggian inipun ditiru pula oleh wali-wali penyebar Islam pada zaman
Wali Songo di wilayah Jawa. Hampir semua wali-wali itu membuat markas untuk
kontemplasi transenden beliau-beliau itu di daerah "pegunungan".
 
Saat bermeditasi secara transenden di Gua Hira' itu, Mekkah dan umat manusia yang
berada di didalamnya seperti berada dalam liputan Beliau. Beliau bisa merasakan
posisi "saya" umatnya yang saat itu masih sangat kuat berada pada persepsi
ketubuhan mereka. Beliau bisa melihat dan menyadari bahwa saya yang luas
universal ini, oleh hampir seluruh umat Beliau pada saat itu dan pada zaman-
zaman berikutnya akan "DIBATASI" menjadi hanya menjadi saya Abu Lahab, saya
Abu Jahal, dan saya-saya lainnya, sehingga saya lalu menjadi kecil, terbatas, dan
sempit sekali.
 
Keterpisahan akibat mempersempit “saya” ini adalah ibarat lautan luas yang
kemudian airnya dipisahkan atau dibatasi dengan sebuah ember, lalu sang air yang
berada pada pembatas satu ember itu tak mampu lagi menyadari adanya eksistensi
lautan luas yang sebenarnya, yang berada diluar batas-batas ember itu.

Yaaa.…..ember itulah yang "memisahkan" antara lautan dengan air yang ada


diember. Akibatnya air itu hanya merasa bahwa yang air itu adalah sebatas yang ada
di dalam ember. Lalu air yang ada diember itu mengaku-ngaku : “Heiii... sayalah
air..., sayalah air...”, tanpa si air bisa keluar dari batas-batas ember tadi. Pada
manusia, ember itu sangat kuat dan sulit sekali untuk dibuang. Karena ember itu
sekaligus juga adalah nikmat, dan rahmat dari Tuhan. Karena pengakuan itulah yang
diberikan oleh Tuhan HANYA kepada MANUSIA, tidak kepada ciptaan-Nya yang lain,
tidak juga kepada malaikat sekali pun. Keterpisahan seperti inilah yang dirasakan
oleh manusia yang tahunya, yang melihatnya, yang “saya”-nya tertutup oleh hijab
dirinya, hijab otaknya, hijab persepsinya sendiri.
 
Yaaa..., akan tetapi Muhammad Saw berhasil mengetahui bahwa “saya” adalah yang
luas tak terhingga ini. Akan tetapi oleh umat beliau kemudian dikotak-kotakkan
menjadi “saya” yang HANYA terbatas oleh atribut-atribut ketubuhan dan persepsi
otak masing-masing orang. Lalu kotak-kotak ketubuhan dan persepsi itulah yang
mengaku dan bersaya-saya. Saya adalah Abu Lahab, Saya adalah Abu Jahal, Saya
adalah Hindun, saya Umar, saya adalah Ali, dsb. Apapun yang tidak sesuai dengan
saya, maka saya akan lawan dan habisi saya-saya lainnya itu......!
 
Saat di Gua Hira' itu, Muhammad Saw berhasil LOLOS dari "kotak" ketubuhan
Muhammad. Beliau mampu menempatkan “saya”-nya di posisi jiwa (diri)
muthmainnah (jiwa yang tenang). Dan saat itulah Beliau "bertemu" dengan jiwa
universal lainnya yaitu malaikat JIBRIL, dimana Jibril ini sudah berhasil
mengembalikan “saya”-nya ke posisi yang sebenarnya.
 
Lalu Jibril memberitahu Muhammad untuk tidak berlama-lama bingung dan
merenung dalam posisi Jiwa Universal itu. Karena Jiwa Universal itu dapat
merasakan kepedihan, kegalauan, dan penderitaan jiwa-jiwa lainnya yang berada
dibawahnya. Bahkan Jiwa Universal ini juga dapat merasakan kebahagian, nikmat,
dan rahmat yang dirasakan oleh jiwa-jiwa universal lainnya. Kemudian Muhammad
saw di perintahkan oleh Jibril untuk membaca (Iqraa') Jalan Kembali bagi “saya”
Muhammad ke rumah yang SEBENARNYA. Dan Beliau akhirnya tahu rumah yang
sebenarnya untuk tempat kembali “saya”-nya agar nantinya tidak merasakan
jebakan seperti yang telah diuraikan sebelumnya diatas.

Dimana rumah Beliau ????

Dan rumah tempat kembali itu adalah Allah, dan lalu “saya” Muhammad kembali
kepada Allah:
 
"Inna lillahi wa inna ilaihi rajiunn....
saya adalah dari Allah, milik Allah, dan kepada-Nya saya kembali....".

Deerrr....!
 
Dan karakteristik (ciri-ciri) rumah tempat kembalinya saya Beliau itu adalah:
 
"Laisa kamistlihi syai'un...
tidak sama dan tidak serupa dengan apapun...!!".

Deeerrr...!!
 
Lalu setiap saat “saya” Beliau (atau diringkas saja menjadi Beliau) mengembalikan
ke tempat yang hakiki apapun yang Beliau lihat, yang Beliau rasakan, yang Beliau
dengar, yang Beliau ketahui, dan yang Beliau kerjakan. Semuanya Beliau
KEMBALIKAN ke tempat yang Sesungguhnya, yaitu Allah. Dan Beliau selalu
diberitahu dan diingatkan dari waktu kewaktu bahwa: "Tiadalah yang diucapkannya
itu, menurut kemahuan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu
yang diwahyukan kepadanya." (53:3-4). Beliau selalu mengembalikan kepada
Allah..., selalu...!!!
 
Yaaaa..., hanya sesederhana ini sajalah INTI dari Ajaran Muhammad SAW
yang HAKIKINYA. Sama saja seperti ajaran yang di bawa oleh Musa, Yesus (Isa),
dan nabi-nabi serta rasul-rasul lainnya. Bahkan INTI ajaran Budha dan Hindu-pun
mengarahkan agar umatnya juga seperti diatas.
 
Dari posisi Puncak inilah Muhammad Saw kemudian BERHASIL mendapatkan potret
tentang:
 
 Bagaimana ciri-ciri manusia yang tidak berhasil mengembalikan setiap
atribut dan pencapaian “saya” kepada pemiliknya, yaitu Allah. Artinya...,
“saya” itu hanya tersekat dan terkotak-kotak dalam persepsi ketubuhan
setiap manusia, dan bagaimana akibat yang dirasakan oleh manusia yang
tersekat itu sehingga umat berikutnya bisa mengambil pelajaran.

 Bagaimana ciri-ciri manusia yang tidak berhasil menemukan karakterisitik


RUMAH tempat pengembalian atribut “saya” itu, yaitu Allah, sebagai YANG
TIDAK SAMA DENGAN APAPUN. Dimana ketidakberhasilan inilah nantinya
yang akan melahirkan banyak agama-agama dan aliran-aliran, berikut dengan
segala problema dan akibatnya, agar umat berikutnya bisa mengambil
pelajaran.

 Begitupun sebaliknya. Bagaimana ciri-ciri manusia yang BERHASIL


mengembalikan segala atribut saya kepada Allah, dan berhasil pula
menemukan karakteristik Allah yang sebenarnya, yaitu YANG TIDAK SAMA
DENGAN APAPUN, berikut dengan segala akibatnya, sehingga umat
berikutnya bisa mengambil pelajaran.

 Setelah tahu ciri-cirinya, maka potret berikutnya yang berhasil Beliau


dapatkan adalah bagaimana JALAN, METODA, atau CARA MERACIK, agar
manusia-manusia BISA mendapatkan ciri-ciri yang sesuai dengan ciri-ciri
potret orang-orang yang BERHASIL mengembalikan segala atribut saya
kepada Allah, dan berhasil pula menemukan karakteristik Allah yang
sebenarnya. Tentu saja jalan, metoda, atau cara meracik segala usaha ini
memuat perintah dan larangan yang perlu dipatuhi oleh si manusia agar
berhasil pula mencapai posisi seperti yang dicapai oleh Muhammad Saw.

POTRET UTUH yang memuat setiap ciri-ciri, jalan, metoda, berikut dengan akibat-
akibatnya ini, yang kemudian disalin kedalam bentuk bahasa tertulisnya dalam
bahasa Arab, lalu disebut sebagai Al Qur'an. Dan oleh sebab itu Al Qur'an ini
disebut juga sebagai PETA yang sanggup mengarahkan manusia untuk dapat pula
PULANG ketempat Asalnya yang sebenarnya yang bekarakterisitik "Laisa kamistlihi
syai'un", yaitu Allah.
 
Awal Keterpisahan

Pada awalnya Al Qur'an ini - karena didapatkan oleh MANUSIA UNIVERSAL, yaitu
Muhammad Saw, yang juga berisikan POTRET UNIVERSAL - ditujukan untuk semua
umat manusia. Hal ini dibuktikan oleh sejarah bahwa selama Beliau hidup, tidak ada
umat yang berada dalam wilayah kekuasan Beliau yang tidak merasakan
manfaatnya. Umat-umat yang tidak menjalankan "syariat" Islam-pun merasakan
keuniversalan muatan Al Qur'an itu.
 
Akan tetapi, manusia-manusia sesudah Beliau, yang seharusnya juga berada di
SUASANA DIRI YANG UNIVERSAL (muthmainnah, tenang) seperti Muhammmad Saw
dan menyampaikan keuniversalan Al Qur'an, malah GAGAL menyampaikan pesan Al
Qur'an itu sendiri. Penerus-penerus Beliau gagal menyampaikan pesan bahwa Al
Qur'an itu adalah PETA untuk semua manusia. Karena banyak dari penerus-penerus
beliau yang GAGAL untuk mencapai posisi DIRI UNIVERSAL. Bagaimana bisa
menyampaikan SUASANA UNIVERSAL kalau penyampainya sendiri tidak berada
dalam POSISI DIRI YANG UNIVERSAL pula.

Tidak..., tidak akan bisa..........!!!!.

Duh..., kasihan sekali Rasulullah Muhammad Saw. Usaha dan karya besar Beliau
selama + 25 tahun tidak ada yang bisa meneruskannya dengan komitmen yang
tinggi sehingga keindahan Islam seperti terpisah dari kenyataan hidup umat Islam
sehari-hari. Kesempurnaan dan ketinggian Islam seperti hanya jadi mimpi-mimpi
indah yang menina bobokan kita.
 
Sanggupkah kita meneruskan perjuangan Rasulullah itu...???,
Sungguh itu semua tergantung kepada kita sendiri, dan yang terpenting diatas
semua itu adalah RAHMAT dan BIMBINGAN dari ALLAH. Tiada lain hanya inilah yang
bisa kita lakukan. Oleh sebab itu maka mari kita mohonkan RAHMAT dan HIDAYAH
ALLAH itu, sekarang juga, saat ini juga...

Ya Allah, mohon ampuni kami semua ya Allah,


Ya Allah, mohon ampuni orang tua kami semua ya Allah,
Ya Allah, mohon ampuni istri saya, (suami saya), anak-anak saya ya Allah,
Ya Allah tuntunlah kami semua ya Allah,
Ya Allah tugas kami sangat berat ya Allah,
Mohon kekuatan-Mu ya Allah,
Mohon ridho-Mu ya Allah,
Jangan Engkau sesatkan kami ya Allah, sampai generasi-generasi sesudah
kami, anak-anak dan cucu-cucu kami,
Ya Allah jadikanlah kami sebagai awal kelurusan dari ajaran-Mu yang murni,

Ya Allah jangan bosan-bosan ya Allah menasihati saya ya Allah,


Allahumma dzakkirni min huma nasiitu wa 'allimni min huma jahiltu,
Ya Allah jangan Engkau jemu mengingatkan saya kalau saya lupa ya Allah,
Ya Allah kasih tahu ya Allah, 'allimni, 'allimni kalau saya ini bodoh ya Allah,
Ya Allah Allahumma dzakkirni min huma nasiitu wa 'allimni min huma jahiltu,
Ya Rahman, Ya Rahim, Ya Rahman, Ya Rahim, ...

Diam...., sunyi..., tidak ada kata-kata lagi..., .........................!!!!!!!!

Mudah-mudahan dalam uraian diatas, esensi pertanyaan Pak Herly bisa terwakili
jawabannya, paling tidak sebatas apa-apa yang saya ketahui.
 
Sedangkan jawaban pertanyaan tentang ilmu hikmah, menurut saya, adalah bahwa
itu hanyalah sebagian kecil saja dari ilmu-ilmu Allah yang diberikan buat manusia.
Tapi kalau dalam menghadap Allah kita tujuannya adalah untuk mendapatkan ilmu
hikmah atau ilmu apapun namanya, maka insya Allah akan diberikan Allah. Akan
tetapi di dalam ilmu-ilmu itu pulalah adanya HIJAB (cover) untuk meneruskan
perjalanan kita selanjutnya. Akan tetapi kalau kita selalu mewakilkan diri kita kepada
Allah, maka terserah Allah, kita mau diberi Nya apa…..kita ikhlas menerimanya.
 
Bagi saya tidak adalah dikotomi antara ilmu hikmah, ilmu tasawuf, ilmu syariat, dan
sebagainya. Pada dasarnya semua hanyalah hasil pencapaian seseorang yang
mencoba dekat dengan Tuhan atau sesuatu yang dia pentingkan banget, dan
merasakan kedekatan itu, lalu dia coba sampaikan kepada orang lain sesuai dengan
apa-apa yang dia dapat.
 
Demikian Mas Herly, semoga bermanfaat.

Wassalam

DEKA
 

Anda mungkin juga menyukai