Anda di halaman 1dari 22

Definisi Fana, Baqa, dan Ittihad, serta Korelasi masing-masing

Secara etimologi, fana berarti hilangnya wujud sesuatu (wujud secara lahiriah). Adapun arti
fana di kalangan sufi dapat didefinisikan dengan:

a.Hilangnya kesadaran pribadi akan dirinya sendiri atau akan sesuatu yang lazim digunakan
pada diri.

b.Hilangnya sifat-sifat buruk (maksiat) lahir batin.

c.Meleburnya dzat hamba ke dalam Dzat Tuhan yang mengakibatkan sifat-sifat kemanusiaan
menghilang dan yang tersisa hanya sifat-sifat ilahiyah.

d.Proses beralihnya kesadaran dari alam inderawi ke alam kejiwaan atau alam batin.

Menurut Mustafa Zahri, yang dimaksud fana adalah lenyapnya inderawi atau kebasyariahan,
yakni sifat sebagai manusia biasa yang suka pada syahwat dan hawa nafsu.[5]

Sebagai implikasi dari fana muncullah baqa, Secara etimologi, baqa berarti kekal. Sedang
menurut para sufi, baqa adalah kekalnya sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat Tuhan dalam diri
manusia. Jadi fana dan baqa datangnya beriringan, sebagaimana perkataan para sufi:

‫ق نُو ُر البَقَا ِء فَيَفنَى َمن لَم يَ ُكن َويَبقَى َمن لَم يُزَك‬
َ ‫اِ َذا اَش َر‬

“Apabila nampak nur kebaqaan, maka fanalah yang tiada dan baqalah yang kekal.”[6]

ِ ‫َمن فَنَي ال ُم َخالَفَا‬


ِ ‫ت بَقِ َي فِي ال ُم َوافَقَا‬
‫ت‬
“Jika seseorang dapat menghilangkan maksiatnya, maka yang akan tinggal adalah
taqwanya.”[7]

Untuk mencapai baqa ini, perlu dilakukan usaha-usaha seperti bertaubat, dzikir,
beribadah, dan menghiasi diri dengan akhlak terpuji.

Dari term-term yang ada dapat disimpulkan bahwa istilah fana di kalangan sufi adalah
bergantinya sifat-sifat tercela dalam dirinya sebagai manusia dan yang tersisa adalah sifat-
sifat terpuji yang menyamai sifat-sifat Tuhan. Dengan memiliki sifat-sifat Tuhan maka dia
dianggap sama dengan Tuhan dan memungkinkan dia berbuat sebagaimana Tuhan. Tuhan
ada dalam dirinya dan dia bersatu dengan Tuhan.

Fana itu sendiri menurut kaum sufi dapat dibagi menjadi tiga tingkatan, sebagaimana
yang ditulis R. A. Nicholas dalam bukunya The Mystics of Islam, yaitu:

1)A moral transformation of the soul through the extinction of all its passions and
desires. (Suatu peralihan moral dari sifat-sifat tercela dengan jalan pengendalian
nafsu-nafsu dan segala keinginannya).

2)A mental abstraction or passing away of the mind from all objects or perception,
thoughts, actions, and feelings through its concentration upon the thought of God.
Here the thought of God signifies contemplation of the divine attributes. (Lenyapnya
kesadaran terhadap segala yang ada di alam sekelilingnya, baik pikiran, perbuatan
dan perasaan lantaran kesadarannya telah terpusat dalam penghayatan pada Tuhan.
Dalam hal ini penghayatannya tertuju pada sifat-sifat Allah).

3)The cessation of all consciouns thought. The highest stage of fana is reached when
even the consciousness of having attained fana disappears. This is what the Sufis call
the passing away of passing away (fana al fana). The mystic is now rapt in
contemplation of the divine essence. (Lenyapnya kesadaran akan keberadaan dirinya.
Puncak tertinggi dari fana ini tercapai ketika kesadaran akan kefanaannya itu sendiri
telah lenyap. Para sufi menyebut keadaan ini sebagai fana terhadap kesadaran akan
kefanaannya. Sang sufi ketika itu terhisap dalam kesadaran serba Tuhan).[8]

Jadi tingkatan fana itu; pertama adalah transformasi moral, kedua adalah penghayatan
kejiwaan , dan ketiga lenyapnya kesadaran akan keberadaan dirinya lantaran terhisap pada
kesadaran serba Tuhan.

Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa pada fana pertama dimulailah proses penghayatan
kejiwaan (kasyaf) dan penyaksian alam gaib, seperti bertemu malaikat dan roh-roh para nabi,
mendengar percakapan mereka dan berdialog dengan makhluk-makhluk gaib. Pada tingkat
kedua, dimulailah penyaksian langsung apa yang mereka yakini sebagai Zat al-Haqq (Tuhan).
Pada tingkat ketiga, yang sering disebut dengan fana al fana atau fana al nafs, terjadilah apa
yang disebut dengan lenyapnya kesadaran akan keberadaan dirinya lantaran telah terhisap
dan luluh dalam kesatuan dengan Tuhannya.

Namun dalam hal ini, Imam Al-Ghazali membatasi bahwa seorang sufi hanya dapat
sampai pada fana tingkat dua, beliau tetap mempertahankan adanya perbedaan yang
fundamental antara hamba yang melihat dengan Tuhan yang dilihatnya. Pendapat ini
bertentangan dengan pemikiran beberapa orang sufi yang menyatakan bahwa tujuan akhir
dari proses penghayatan makrifat itu adalah pencapaian fana tingkat tiga yang cenderung
mengarah pada paham manunggaling kawula Gusti.[9]

Berdasarkan uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa pada umumnya, tujuan utama
dari proses fana dan baqa itu adalah mencapai persatuan secara rohaniah atau batiniah dengan
Tuhan, sehingga yang disadarinya hanya ada Tuhan dalam dirinya (ittihad). Jadi ittihad itu
sendiri adalah suatu tingkatan dimana seorang sufi telah merasa bersatu dengan Tuhannya,
satu tingkatan yang menunjukkan bahwa yang mencintai dan dicintai telah menjadi satu
sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan kata-kata “Hai aku”.
Inilah yang terjadi pada diri Abu Yazid Al-Bisthomi.

Konsep Fana-Ittihad Abu Yazid Al-Bisthomi

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa Abu Yazidlah yang pertama sekali
memperkenalkan faham fana dan baqa dalam tasawuf. Dia senantiasa ingin dekat dengan
Tuhan. Fananya Abu Yazid berarti hilangnya kesadaran terhadap segala sesuatu selain Allah.
Hal ini tergambar pada ucapannya ketika mencari-cari jalan untuk berada di hadirat Allah:

َ َ‫ك ؟ فَق‬
َ ‫ َدع نَف َس‬: ‫ال‬
‫ك‬ ُ ‫يف الطَ ِري‬
َ ‫ق اِلَي‬ ُ ُ‫يت َرب ال ِع َز ِة فِي ال َمنَ ِام فَق‬
َ ‫ يَا ُخ َذا َك‬: ‫لت‬ ُ َ‫َرا‬
‫َو تَ َعال‬

“Aku bermimpi melihat Tuhan. Akupun bertanya: “Tuhanku, apa jalannya untuk
sampai kepadaMu?” Dia menjawab: “Tinggalkan dirimu dan datanglah.”

Dengan fana, Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi ke hadirat Tuhan. Bukti
bahwa dia telah dekat dengan Tuhan dapat dilihat dariSyathahat ( ‫طحات‬ss‫ ش‬, theopathical
stammerings) yang diucapkannya. Syathahat adalah kata-kata penuh khayal, yang tidak dapat
dipegangi dan dikenakan hukum karena orang yang berkata pada waktu itu sedang “mabuk”.
Mabuk karena fananya. [10]Adapun dalam hal ini yang dimaksud syathahat adalah ucapan-
ucapan yang dikeluarkan seorang sufi ketika dia mulai berada di pintu gerbang ittihad.[11]
Ucapan-ucapan demikian belum pernah terdengar dari sufi sebelum Abu Yazid, umpamanya:

ُ‫اَنَا ال اُ ِري ُد ِم َن هللاِ اِال هللا‬

“Yang kukehendaki dari Tuhan hanya Tuhan.”

Selanjutnya dia mengatakan:

“ Pada suatu ketika aku dinaikkan ke hadirat Tuhan dan Ia berkata: “Abu Yazid,
makhlukKu ingin melihat engkau.” Aku menjawab: “KekasihKu, aku tak ingin melihat
mereka, Tetapi jika itu kehendakMu, maka aku tak berdaya untuk menentang kehendakMu.
Hiasilah aku dengan keesaanMu sehingga jika makhlukMu melihat aku, mereka akan
berkata: ”Telah kami lihat Engkau”. Karena yang mereka lihat sebenarnya adalah Engkau
dan saat itu aku tidak berada di sana.”

Di sini ittihad belum tercapai, tapi nyata bahwa Abu Yazid telah dekat benar dengan
Tuhan. Ittihad terjadi sebagaimana telihat dalam ucapannya berikut:

َ َ‫نت اَنَا َواَنَا ا‬


‫نت‬ َ َ‫نت َوا‬ ُ ُ‫ فَق‬.‫ك‬
َ َ‫ فَاَنَا ا‬:‫لت‬ َ ‫ يَااَبَايَ ِزي َد اِنهُم ُكلهُم َخلقِى َغ‬:‫ال‬
َ ‫ير‬ َ َ‫ق‬.

Tuhan berkata: “Semua mereka kecuali engkau adalah makhlukKu.” Akupun berkata:
“Aku adalah Engkau, Engkau adalah aku, dan aku adalah Engkau.”

‫اِنِي اَنَا هللاُ ال اِل ِه اِال اَنَا فَعبُدونِي‬.

“Tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku”

‫ َما اَعظَ ُم َشاءنِي‬,‫ُبحانِي‬


َ ‫س‬,‫ُبحانِي‬
َ ‫س‬.

“Maha Suci Aku, Maha Suci Aku, Maha Besar Aku.”

Di sini Abu Yazid mengucapkan kata “Aku” bukan sebagai gambaran dari diri Abu
Yazid tetapi sebagai gambaran Tuhan karena Abu Yazid telah bersatu dengan Tuhan. Dengan
kata lain dalam ittihad, Abu Yazid berbicara atas nama Tuhan, atau lebih tepat lagi dikatakan
Tuhan “berbicara” melalui lidah Abu Yazid. Jadi dalam hal ini, Abu Yazid tidaklah mengaku
dirinya Tuhan.[12]

Berbagai Respon tentang Ucapan Syathahat Abu Yazid

Adapun menyikapi kontroversi seputar ucapan syathahatnya tersebut, kebanyakan orang


menganggap itu muncul karena disebabkan suatu kondisi psikis yang tidak normal. Al-Thusi
berkata: “Ucapan ganjil (syathahat) adalah ungkapan yang ditafsirkan lidah karena
berlimpahnya intuisi dan dibarengi seruan.”[13] Ucapan ganjil itu (al-syathhu) dalam bahasa
Arab artinya adalah gerakan, dari syathaha-yasythahu yang berarti bergerak. Oleh karena itu,
menurut kaum sufi, ucapan ganjil tersebut bisa dikatakan sebagai gerakan-gerakan rahasia
orang yang dominan intuisinya. Jika intuisi tersebut sedang kuat-kuatnya, maka mereka akan
mengucapkan sesuatu yang dipandang ganjil oleh orang yang mendengarnya.

Al-Thusi menekankan bahwa dalam kondisi trance,seorang sufi sepenuhnya tidak akan
mampu mengendalikan dirinya. Saat itu, dia begitu sulit untuk bisa menanggung apa yang
bergejolak dalam kalbunya sehingga dia pun mengucapkan sesuatu yang sulit dipahami
pendengarnya.[14]

Menurut Louis Massignon yang telah mengkajinya secara mendalam, ucapan syathahat
itu muncul di luar kesadaran sang sufi dengan mengambil bentuk orang pertama (Aku). Hal
ini menunjukkan bahwa sang sufi telah fana dari dirinya sendiri serta kekal dalam Dzat Yang
Maha Benar, sehingga dia berbicara dengan menggunakan kalam Yang Maha Benar dan
bukan ucapannya sendiri.[15] Dalam kondisi normal ini tak mungkin terjadi karena dengan
sendirinya sang sufi akan menolak ucapan tersebut, lebih-lebih lagi sampai mengucapkannya.

Adapun menurut pengamatan W. T. Stace, Ucapan-ucapan ganjil Abu Yazid itu


hanyalah sekedar suatu pengalaman khusus dimana terdapat kesadaran untuk bersatu (unitary
consciousness). Pengalaman mistis yang mana segala yang lahir itu luluh lantak dan dinding-
dinding yang membatasi hal yang tanpa akhir itu runtuh sehingga individualitasnya pun fana
dan terlebur dalam Yang Tanpa Akhir.[16]

Hal yang senada diungkapkan oleh Al-Taftazani dalam bukunya, bahwa ucapan ganjil
tersebut tak lebih sekedar kesadaran psikis Abu Yazid untuk bersatu, bukan dalam artian
akhirnya dia benar-benar bersatu dengan Tuhan. Karena kalau hal ini terjadi tentu sangat
bertentangan dengan aqidah Islam, padahal kata-kata Abu Yazid sendiri pada sebuah
kesempatan mengisyaratkan bahwa dia tidaklah keluar dari garis syara’ : “Kalau kamu lihat
seseorang sanggup melakukan pekerjaan keramat yang besar-besar, walaupun dia sanggup
terbang di udara, maka janganlah kamu tertipu sebelum kamu lihat bagaimana dia mengikuti
perintah syariat dan menjauhi batas-batas yang dilarang syariat.” [17]

Mungkin itulah yang membuat sebagian para sufi bisa memahami ungkapan-ungkapan
ganjil yang diucapkan Abu Yazid. Sufi Sunni, Abdul Qadir Jailani berkata: “Terhadap apa
yang diucapkan seorang sufi, tidak bisa dijatuhkan hukum kecuali terhadap apa yang
diucapkannya dalam keadaan sadar. Sementara yang diucapkannya dalam keadaan tidak
sadar diri, tidak bisa dijatuhkan hukum.”[18]

Sementara menurut sebagian sufi yang lain, orang yang mengucapkan kata-kata
demikian itu bukanlah termasuk sufi yang sempurna. Mereka tidak bisa mengendalikan diri
dan termasuk orang yang tunduk pada intuisi. Tidak bisa dijadikan panutan bagi sufi-sufi
yang lain.

Ibnu Taimiyah yang berkomentar dalam hal ini mengatakan: “ Sebagian sufi yang
berada dalamkondisi trance kadang ada yang terkenal. Terkadang dalam keadaan itu, mereka
berkata: ‘Maha Suci Aku’ atau ‘dalam jubah ini tidak ada apa pun melainkan Allah’ atau
ungkapan lain yang sejenis. Kata-kata yang diucapkan dalam keadaan trance seharusnya
dihapus saja, bukan untuk dituturkan dan bukan pula untuk dilakukan.”[19]

Terlepas dari semua kontroversi di atas yang menyebutkan bahwa Abu Yazid bukanlah
seorang sufi yang sempurna atau tidak, yang jelas dapat disimpulkan bahwa Abu Yazidlah
yang pertama kali memperkenalkan faham fana, baqa, dan ittihad.

Fana, Baqa, dan Ittihad dalam Pandangan Al-Qur’an

Faham fana dan baqa yang ditujukan untuk mencapai ittihad itu menurut pandangan
kaum sufi sejalan dengan konsep liqa al-rabbi(menemui Tuhan). Fana dan baqa merupakan
jalan untuk berjumpa dengan Tuhan.

‫ُشرك ِب ِعبَا َد ِة َربِ ِه اَ َحدًا‬ َ ‫ان يَرجُوا لِقَا َء َربِ ِه فَليَع َمل َع َمال‬
ِ ‫صالِحا َوال ي‬ َ ‫فَ َمن َك‬
“Barangsiapa yang mengharapkan berjumpa dengan Tuhannya maka hendaklah ia
mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam
beribadat padaNya”[20]

Adapun mengenai faham ittihad dapat dipahami dari keadaan Nabi Musa ingin melihat
Allah. Musa berkata: “Ya Tuhan, bagaimana supaya aku sampai kepada-Mu?” Tuhan
berfirman: “Tinggalkanlah dirimu (lenyapkanlah dirimu) baru kamu kemari (bersatu).[21]

Ayat dan riwayat di atas menurut para kaum sufi telah memberikan petunjuk bahwa
Allah SWT telah memberi peluang bagi hambanya untuk bersatu dengan Tuhan secara
rohaniah atau batiniah. Caranya adalah beramal saleh dan beribadat semata-mata karena
Allah, menghilangkan sifat-sifat dan akhlak buruk, meninggalkan dosa dan maksiat, dan
kemudian menghias diri dengan sifat-sifat Allah yang kesemuanya tadi termasuk dalam
konsep fana dan baqa.

Keberadaan konsep fana dan baqa itu sendiri dapat dipahami dari firman Allah berikut:

‫كر ِام‬
َ ‫اال‬
ِ ‫الل َو‬
ِ ‫الج‬ َ ِ‫ويَبقَى َوجهُ َرب‬.
َ ‫ك ذو‬ ٍ َ‫ ُكل َمن َعلَيهَا ف‬.
َ ‫ان‬

“Semua yang ada di dunia ini akan binasa. Yang tetap kekal Dzat Tuhanmu yang
mempunyai kebesaran dan kemuliaan.”[22]

Kesimpulan

Dari pemaparan di atas secara garis besar dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama
tentang definisi fana, baqa, dan ittihad.

 Fana dapat didefinisikan dengan hilangnya sifat-sifat manusia yang tercela yang
dipengaruhi nafsu dan syahwat.
 Baqa adalah implikasi dari fana yaitu munculnya sifat-sifat terpuji yang menyamai
sifat Tuhan pada diri manusia.
 Ittihad adalah suatu tingkatan dimana seorang sufi merasa bersatu dengan Tuhannya,
terjadi setelah sang sufi melalui proses fana dan baqa.

Abu Yazid adalah orang yang pertama kali memperkenalkan konsep fana, baqa, dan
ittihad ini. Setelah melalui proses fana dan baqa, Abu Yazid sampai pada tingkatan ittihad.
Ini dibuktikan dengan keluarnya kata-kata Syathahat dari mulutnya. Tapi menurut para ahli,
Abu Yazid bukanlah benar-benar bersatu dengan Tuhan. Ucapan ini muncul hanyalah
disebabkan oleh kondisi psikis yang labil karena terlalu kuatnya keinginan bersatu dengan
Tuhan. Saking kuatnya keinginan itu, dia tidak dapat lagi membendung sesuatu yang
membebaninya itu sehingga bukanlah suatu hal yang aneh apabila di kemudian hari terlontar
kata-kata yang ganjil dan aneh bagi orang yang mendengar ucapannya itu. Menurut para sufi
moderat, para sufi yang melontarkan kata-kata ganjil tersebut bukanlah termasuk para sufi
yang sempurna.

Terlepas dari semua itu, para sufi tetap mengakui keberadaan faham fana, baqa, dan
ittihad ini. Mereka bahkan menjustifikasikannya dengan menggunakan ayat al-Qur’an Surah
al-Kahfi ayat 110 dan Surah ar-Rahman ayat 26-27, serta riwayat Nabi Musa yang ingin
melihat Tuhan.

Penutup

Akhirnya sampailah makalah ini di penghujungnya. Penulis sadar bahwa makalah ini
sangat jauh untuk dikatakan sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik
dan saran yang membangun, sebagai evaluasi makalah yang akan datang.

Daftar Pustaka

Al-Qur’an Al- Karim dan terjemahnya.

Al-Taftazani, Abu al-Wafa al-Ghanimi. 1985. Sufi dari Zaman ke Zaman. Bandung: Pustaka.

Anwar, Rosihan dan Mukhtar Solihin. 2000. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.

Dhahir, Ihsan Ilahi. 2006. Darah Hitam Tasawuf: Studi Kritis Kesesatan Kaum Sufi. Jakarta:
Darul Falah

Echols, John M dan Hassan Shadily. 2003. An Indonesian-English Dictionary. Jakarta:


Gramedia

Hamka. 1983. Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: Pustaka Panjimas

Jamil, Muhammad. 2007.Cakrawala Tasawuf: Sejarah, Pemikiran, dan Kontekstualitas.


Jakarta: Graha Persada Press.
Nasution, Harun. 1983. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang

Nata, Abuddin. 2006. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Rajawali Press.

Simuh. 1997. Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Syukur, Amin dan Masyaharuddin. 2002. Intelektualisme Tasawuf. Semarang: Pustaka


Pelajar

Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
[1]
1997), hlm. 103

Muhammad Jamil, Cakrawala Tasawuf: Sejarah, Pemikiran, dan Kontekstualitas(Jakarta:


[2]
Graha PersadaPress, 2007), hlm. 101

Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf(Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm.
[3]
132

[4]Cakrawala Tasawuf: Sejarah, Pemikiran, dan Kontekstualitas, hlm. 101

[5] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: Rajawali Press, 2006), hlm. 232.

[6] Akhlak Tasawuf, hlm. 232

[7]Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam(Jakarta: Bulan Bintang, 1983),
hlm.80

[8] Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, hlm. 105

[9] Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, hlm. 106-107

Hamka, Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983),


[10]
hlm. 104

[11] Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, hlm. 83

[12] Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, hlm. 84-86

Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman (Bandung: Pustaka,
[13]
1985), hlm. 116-117

[14] Sufi dari Zaman ke Zaman, hlm. 117

[15] Ibid

[16] Ibid, 118

[17] Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya, hlm. 102


[18] Sufi dari Zaman ke Zaman, hlm. 119

[19] Ibid, 119

[20] Q. S. Al-Kahfi, 18: 110

[21] Akhlak Tasawuf, hlm. 237-238

[22] Q. S. Al-Rahman, 55: 26-27


Makrifat kepada Allah swt. adalah makrifat yang seluhur-luhurnya, bahkan yang semulia-mulianya
sebab makrifat kepada Allah Taala itulah yang merupakan asas atau fundamen berdirinya segala
kehidupan kerohanian. Dari makrifat kepada Allah itulah bercabang makrifat kepada para nabi dan
rasul serta hal-hal yang berhubungan dengannya, mengenai kemaksuman, tugas-tugas dan sifat-
sifatnya serta hajat umat manusia terhadap diutusnya para nabi, juga yang dimasukkan sebagai
persoalan yang erat hubungannya dengan para nabi dan rasul seperti masalah mukjizat, kewalian,
kekeramatan dan kitab-kitab suci yang diturunkan dari langit.

Bahkan dari makrifat kepada Allah Taala itu juga bercabang makrifat dengan alam yang ada di balik
alam semesta ini, seperti malaikat jin dan ruh. Juga dari makrifat kepada Allah itu pulalah timbul
makrifat perihal apa yang akan terjadi setelah kehidupan di dunia ini berakhir, juga mengenai
kehidupan di alam barzakh, kehidupan di alam akhirat yang berupa kebangkitan kembali dari kubur,
hisab (perhitungan amal), pahala, siksa, surga dan neraka.

CARA

Untuk bermakrifat kepada Allah swt. mempunyai dua cara, yaitu:

Pertama: Dengan menggunakan akal pikiran dan memeriksa secara teliti ciptaan Allah Taala
yang berupa benda-benda yang beraneka ragam ini.

Kedua: Dengan mengetahui nama-nama Allah Taala serta sifat-sifat-Nya.

Dengan menggunakan akal pikiran dari satu sudut dan dengan memakrifati nama-nama serta
sifat-sifat Allah dari sudut lain, seseorang akan dapat bermakrifat kepada Tuhan dan ia akan
memperoleh petunjuk ke arah itu.

BERMAKRIFAT LEWAT PIKIRAN

Setiap anggota tentu ada tugasnya, tugas akal ialah merenung, memeriksa, memikirkan dan
mengamati. Jika kekuatan semacam ini menganggur maka hilang pulalah pekerjaan akal, juga
menganggurlah tugasnya yang terpenting dan ini pasti akan diikuti oleh terhentinya kegiatan
hidup. Jika ini sudah terjadi, akan menyebabkan pula adanya kebekuan, kematian dan
kerusakan akal itu sendiri. Agama Islam menghendaki agar akal bergerak dan melepaskan
kekangannya segera bangun dari tidur nyenyaknya kemudian mengajak untuk mengadakan
perenungan dan pemikiran. Pekerjaan yang sedemikian ini termasuk inti peribadatan kepada
Tuhan. Allah Taala berfirman, “Katakanlah! ‘Perhatikanlah olehmu semua apa-apa yang ada
di langit dan bumi." (Q.S. Yunus:101)

Allah Taala berfirman pula, “Katakanlah! ‘Aku hanya hendak mengajarkan kepadamu semua
satu perkara saja yaitu hendaklah kamu semua berdiri di hadapan Allah, dua-dua orang atau
seorang-seorang, kemudian berpikirlah kamu semua (gunakanlah akal pikiranmu)’" (Q.S.
Saba:46)

Barangsiapa yang mengingkari kenikmatan akal dan tidak suka menggunakannya untuk
sesuatu yang semestinya dikerjakan oleh akal, melalaikan ayat-ayat dan bukti-bukti tentang
wujud dan kekuasaan Allah Taala, maka orang semacam itulah yang patut sekali mendapat
cemoohan dan hinaan. Malah Allah Taala sendiri telah mencela sekali orang semacam itu
dengan firman-Nya, “Alangkah banyaknya ayat (tanda kekuasaan Tuhan) di langit dan di
bumi yang mereka lalui, tetapi mereka itu semua membelakanginya saja (tidak
memperhatikannya).” (Q.S. Yusuf:105)

Allah Taala berfirman pula, “Tidaklah datang kepada mereka itu suatu ayat dari beberapa
ayat Allah melainkan mereka itu membelakanginya saja (tidak memperhatikannya).” (Q.S.
Yasin:46)

Menganggurkan akal dari tugas utamanya, akan menurunkan manusia itu sendiri ke suatu
taraf yang lebih rendah dan lebih hina dari taraf binatang. Keadaan seperti itulah yang
merupakan penghalang besar bagi umat yang dahulu untuk langsung menembus kepada
hakikat-hakikat yang ada di dalam diri, jiwa dan alam semesta.

Allah Taala berfirman, “Sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam itu
kebanyakan dari jin dan manusia, yang mempunyai hati, tetapi tidak mengerti dengan
hatinya, mempunyai mata tetapi tidak melihat dengan matanya dan mempunyai telinga tetapi
tidak mendengarkan dengan telinganya. Orang-orang itu seperti binatang ternak bahkan lebih
sesat. Itulah orang-orang yang lalai (dari kebenaran).” (Q.S. Al-A’raf:179)

TAKLID ADALAH PENUTUP AKAL PIKIRAN

Taklid adalah penghalang besar terhadap kemerdekaan akal, kekang utama terhadap
kebebasan berpikir. Oleh sebab itu, Allah Taala memuji sekali orang-orang yang dapat
menjernihkan hakikat sesuatu menyisihkannya dari benda-benda lain, membedakan dan
memurnikan benda-benda itu setelah dibahas, diperiksa, diteliti dan disaring oleh akal
pikirannya, selanjutnya mengambil mana yang dianggap terbaik dan meninggalkan yang lain.
Allah Taala berfirman, “Maka berikanlah berita gembira kepada hamba-hamba-Ku yang
mendengarkan ucapan lalu mengikuti mana-mana yang terbaik dari ucapan itu. Mereka itulah
orang-orung yang memperoleh petunjuk Allah dan mereka itu pulalah arang-orang yang
mempunyai akal pikiran.” (Q.S. Az-Zumar:17-18)

Allah Taala benar-benar mencela dan mengejek serta menyalahkan orang-orang yang suka
mengekor dan mengikuti, yakni ahli taklid yang tidak suka menggunakan akal pikirannya
sendiri. Mereka hanya mengikuti akal orang lain. Mereka betul-betul pasif sebab hanya
mengikuti alam pikiran kuno yang sudah terbiasa dan berlangsung sejak dulu di sekitarnya
sekalipun yang baru itu sebenarnya lebih tepat, lebih cocok lebih sesuai dan lebih dapat
dipertanggungjawabkan karena sejalan dengan petunjuk dari Tuhan. Allah Taala berfirman,
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang diturunkan Allah!’ Mereka lalu
berkata, ‘Tidak, kita hanya mengikuti apa yang telah kita dapati dari ayah-ayah kita,’ padahal
ayah-ayah mereka itu tidak mengerti sedikit pun dan tidak pula mengikuti petunjuk yang
benar.” (Q.S. Al-Baqarah:170)

BIDANG-BIDANG PEMIKIRAN

Agama Islam mengajak seluruh umat manusia supaya berpikir dan menggunakan akal,
dengan anjuran yang demikian hebat. Tetapi yang dikehendaki bukanlah pemikiran secara
tidak terkendalikan lagi kebebasannya. Semua itu dimaksudkan oleh Islam agar dilakukan
dalam batas yang tertentu yang memang merupakan lapangan bagi manusia dan yang dapat
dicapai oleh akal manusia itu. Maka yang dianjurkan oleh Islam untuk dipikirkan ialah dalam
hal ciptaan Allah Taala yakni apa-apa yang ada di langit, di bumi, dalam dirinya sendiri,
dalam masyarakat manusia dan lain-lain. Tidak ada pemikiran yang dilarang, melainkan
memikirkan zat Allah swt., sebab soal yang satu ini pasti di luar kekuatan akal pikiran
manusia.

Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda, “Berpikirlah kamu semua perihal makhluk Allah
(apa-apa yang diciptakan oleh Allah) dan janganlah kamu sekalian berpikir mengenai zat
Allah, sebab sesungguhnya kamu semua sudah tentu tidak dapat mencapai keadaan
hakikatnya.”

Diriwayatkan oleh Abu Naim dalam kitab “Alhilyah" dengan sanad daif tetapi isi dan
maknanya sahih. Alquran sendiri penuh dengan beratus-ratus ayat (bukti dan tanda) yang
mengajak kita semua untuk merenungkan keadaan alam semesta yang terbuka lebar dan luas
di hadapan kita ini, beserta cakrawalanya yang tiada terbatas oleh suatu apa pun karena
sangat besarnya dan tidak ada ujung pangkalnya. Allah Taala berfirman, “Demikianlah Allah
menjelaskan ayat-ayat-Nya kepadamu semua, agar supaya kamu suka berpikir tentang dunia
dan akhirat.” (Q.S. Al-Baqarah:219-220)

Alangkah luas dan lebarnya dunia yang diperintah oleh Islam untuk dipikirkan itu, tetapi
sedemikian luasnya masih belum memadai sedikit pun dari keluasan yang terdapat di dalam
alam akhirat.

TUJUAN PEMIKIRAN
Di antara tujuan utama yang dikehendaki oleh Islam dalam memerintahkan berpikir ialah
untuk membangunkan akal dan menggunakan tugasnya dalam berpikir merenungkan dan
menyelidiki, dengan demikian akan manusia akan sampai kepada petunjuk yang memberikan
penerangan sejelas-jelasnya mengenai peraturan-peraturan kehidupan, sebab-sebab wujud
alam semesta, tabiat-tabiat keadaan dan hakikat-hakikat segala sesuatu benda. Manakala hal-
hal itu sudah terlaksana dengan baik, tentu akan dapat merupakan cahaya terang untuk
menyingkap persoalan siapa yang sebenarnya menjadi maha pencipta dan pembentuk
semuanya itu. Selanjutnya setelah ini diperoleh maka dengan perlahan-lahan akan dicapai
hakikat yang terbesar yaitu bermakrifat kepada Allah Taala. Jadi kemakrifatan kepada Allah
Taala yang sesungguhnya merupakan buah atau natijah daripada akal pikiran yang cerdik dan
bergerak terus, juga sebagai hasil dari usaha pemikiran yang mendalam serta disinari oleh
cahaya yang terang-benderang.

Inilah salah satu perantaraan yang digunakan oleh Alquran untuk memberikan pembuktian
tentang Allah Taala. Alquran telah mendorong akal pikiran manusia dengan mengemukakan
ayat-ayat tentang ilmu alam yang menjelaskan segala isi dalam dunia semesta ini dengan
menggunakan hasil dari pemikiran itu nanti akan terciptalah kemakrifatan kepada Allah
Taala. Kemakrifatan ini terdiri dari hal-hal seperti mengenal kesempurnaan sifat-sifat-Nya,
keagungan hal-ihwal-Nya, kenyataan dari kebesaran dan keluhuran-Nya, bukti kesucian-Nya,
kelengkapan ilmu-Nya, kelangsungan kekuasaan-Nya dan keesaan-Nya dalam hal
menciptakan dan membuat yang baru. Marilah kita semua renungkan baik-baik dalam kalbu
dan pikiran kita makna dan ayat-ayat yang tercantum di bawah ini.

“Katakanlah! ‘Segenap puji adalah bagi Allah dan keselamatan untuk hamba-hamba-Nya
yang dipilih oleh-Nya. Adakah Allah itu yang lebih baik, ataukah yang mereka persekutukan
dengan Allah itu yang lebih baik? Atau siapakah yang menciptakan langit dan bumi dan
menurunkan air hujan dari langit kepadamu semua kemudian Kami (Allah) menumbuhkan
dengan sebab air tadi kebun-kebun yang indah permai. Kamu semua tentu tidak sanggup
menumbuhkan pohonnya. Adakah tuhan di samping Allah? Tetapi mereka itu adalah kaum
yang berpaling dari kebenaran. Atau siapakah yang menjadikan bumi untuk tempaberdiam
dan menjadikan sungai-sungai di tengah-tengahnya, menjadikan gunung-gunung untuk
menjadi pasak dan menjadikan batas antara dua lautan? Adakah tuhan di samping Allah?
Tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui yang sedemikian itu. Atau siapakah yang
memperkenankan permohonan orang yang dipaksa keadaan menderita, apabila memohon
kepada-Nya agar menghilangkan penderitaannya itu dan siapakah yang menjadikan kamu
semua sebagai khalifah di bumi? Adakah tuhan di samping Allah? Sedikit sekali kamu semua
mengingat kepada Allah itu. Atau siapakah yang menunjukkan jalan kepadamu semua dalam
kegelapan di lautan dan di daratan? Dan siapakah yang mengirim angin untuk membawa
berita gembira sebelum datangnya kerahmatan Allah? Adakah tuhan di samping Allah? Maha
Tinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan dengan Allah itu. Atau siapakah yang
memulai menciptakan makhluk, kemudian akan mengulanginya kembali? Dan siapakah yang
memberikan rezeki kepadamu semua dari langit dan bumi? Adakah tuhan di samping Allah?
Katakanlah keterangan (alasan)mu, jika kamu semua memang benar!” (Q.S. An-Naml:59-64)

Pikirkanlah baik-baik, apakah ada suatu keterangan yang lebih jelas dari keterangan yang
tertera di atas itu, adakah suatu argumen yang lebih kuat daripada argumen di atas?

Jika akal masih juga tidak suka tunduk kepada keterangan di atas, tidak suka takluk pada
argumen itu, maka sungguh ia tidak akan tunduk pada keterangan lain dan tidak pula mau
takluk pada hujah mana pun, suatu alamat akal yang sesat dan enggan terhadap petunjuk yang
benar.

Allah Taala berfirman, “Dan barangsiapa yang tidak diberi cahaya oleh Allah, maka orang itu
pun tidak akan memperoleh cahaya apapun.” (Q.S. An-Nur:40)

Seorang penyair berkata: “Hati nurani manusia itu Pasti tidak akan mampu memperoleh
sesuatu apa pun Jika ia tetap menuntut bukti Mengapa waktu siang itu terang benderang.”

BERMAKRIFAT DENGAN MEMAHAMI NAMA-NAMA DAN SIFAT-SIFAT ALLAH

Jalan lain dalam mencapai makrifat kepada Allah swt. ialah memahami nama-nama Allah
Taala yang baik-baik serta sifat-sifat-Nya yang luhur dan tinggi. Jadi nama-nama dan sifat-
sifat itulah yang merupakan perantara yang digunakan oleh Allah Taala agar makhluk-Nya
dapat bermakrifat pada-Nya. Inilah yang dapat dianggap sebagai saluran yang dari situ hati
manusia dapat mengenal Allah Taala secara spontan. Malah itu pulalah yang dapat
menggerakkan cara penemuan yang hakiki dan membuka alam yang amat luas terhadap
kerohanian guna menyaksikan cahaya Allah swt.

Nama-nama itu adalah yang disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya, “Katakanlah, ‘Serulah
Allah atau serulah Rahman. Mana saja nama Tuhan yang kamu semua seru, Dia adalah
mempunyai nama-nama yang baik.’" (Q.S. Al-Isra:110)

Dengan nama-nama itulah yang kita semua diperintah untuk menyerunya. Allah Taala
berfirman, “Bagi Allah adalah nama-nama yang baik, maka serulah dengan menggunakan
nama-nama itu.” (Q.S. Al-A’raf:180)

Adapun jumlah nama-nama Allah yang baik (asmaul husna) itu ada sembilan puluh sembilan
nama. Imam Bukhari, Muslim dan Tirmizi meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah r.a.
bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, “Allah itu mempunyai sembilan puluh sembilan
nama. Barangsiapa menghafalnya ia masuk surga. Sesungguhnya Allah itu Maha Ganjil
(tidak genap) dan cinta sekali pada hal yang ganjil (tidak genap).” (H.R. Ibnu Majah)

Imam Tirmizi memberikan tambahan dalam riwayatnya sebagai berikut, “Sembilan puluh
sembilan nama Allah Taala yaitu:

1. Allah: Lafal yang Maha Mulia yang merupakan nama dari zat Ilahi yang Maha Suci serta
wajib adanya yang berhak memiliki semua macam pujian dan sanjungan. Adapun nama-nama
lain, maka setiap nama itu menunjukkan suatu sifat Tuhan yang tertentu dan oleh sebab itu
bolehlah dianggap sebagai sifat bagi lafal yang Maha Mulia ini (yakni Allah) atau boleh
dijadikan sebagai kata beritanya.
2. Arrahmaan: Maha Pengasih, pemberi kenikmatan yang agung-agung, pengasih di dunia.
3. Arrahiim: Maha Penyayang, pemberi kenikmatan yang pelik-pelik, penyayang di akhirat.
4. Almalik: Maha Merajai, mengatur kerajaan-Nya sesuai dengan kehendak-Nya sendiri.
5. Alqudduus: Maha Suci, tersuci dari segala cela dan kekurangan.
6. Assalaam: Maha Penyelamat, pemberi keamanan dan kesentosaan pada seluruh makhluk-
Nya.
7. Almukmin: Maha Pemelihara keamanan, yakni siapa yang bersalah dari makhluk-Nya itu
benar-benar akan diberi siksa, sedang kepada yang taat akan benar-benar dipenuhi janji-Nya
dengan pahala yang baik.
8. Almuhaimin: Maha Penjaga, memerintah dan melindungi segala sesuatu.
9. Al’aziiz: Maha Mulia, kuasa dan mampu untuk berbuat sekehendak-Nya.
10. Aljabbaar: Maha Perkasa, mencukupi segala kebutuhan, melangsungkan segala perintah-
Nya serta memperbaiki keadaan seluruh hamba-Nya.
11. Almutakabbir: Maha Megah, menyendiri dengan sifat keagungan dan kemegahan-Nya.
12. Alkhaalik: Maha Pencipta, mengadakan seluruh makhluk tanpa asal, juga yang
menakdirkan adanya semua itu.
13. Albaari’: Maha Pembuat, mengadakan sesuatu yang bernyawa yang ada asal mulanya.
14. Almushawwir: Maha Pembentuk, memberikan gambaran atau bentuk pada sesuatu yang
berbeda dengan lainnya. (Jadi Alkhaalik adalah mengadakan sesuatu yang belum ada asal
mulanya atau yang menakdirkan adanya itu. Albaari’ ialah mengeluarkannya dari yang sudah
ada asalnya, sedang Almushawwir ialah yang memberinya bentuk yang sesuai dengan
keadaan dan keperluannya).
15. Alghaffaar: Maha Pengampun, banyak pemberian maaf-Nya dan menutupi dosa-dosa dan
kesalahan.
16. Alqahhaar: Maha Pemaksa, menggenggam segala sesuatu dalam kekuasaan-Nya serta
memaksa segala makhluk menurut kehendak-Nya.
17. Alwahhaab: Maha Pemberi, banyak kenikmatan dan selalu memberi karunia.
18. Arrazzaaq: Maha Pemberi rezeki, membuat berbagai rezeki serta membuat pula sebab-
sebab diperolehnya.
19. Alfattaah: Maha Membukakan, yakni membuka gudang penyimpanan rahmat-Nya untuk
seluruh hamba-Nya.
20. Al’aliim: Maha Mengetahui, yakni mengetahui segala yang maujud ini dan tidak ada satu
benda pun yang tertutup oleh penglihatan-Nya.
21. Alqaabidl: Maha Pencabut, mengambil nyawa atau mempersempit rezeki bagi siapa yang
dikehendaki-Nya.
22. Albaasith: Maha Meluaskan, memudahkan terkumpulnya rezeki bagi siapa yang
diinginkan oleh-Nya.
23. Alkhaafidl: Maha Menjatuhkan, yakni terhadap orang yang selayaknya dijatuhkan karena
akibat kelakuannya sendiri dengan memberinya kehinaan, kerendahan dan siksaan.
24. Arraafi’: Maha Mengangkat, yakni terhadap orang yang selayaknya diangkat
kedudukannya karena usahanya yang giat yaitu yang termasuk golongan kaum yang
bertakwa.
25. Almu’iz: Maha Pemberi kemuliaan, yakni kepada orang yang berpegang teguh pada
agama-Nya dengan memberinya pertolongan dan kemenangan.
26. Almudzil: Maha Pemberi kehinaan, yakni kepada musuh-musuh-Nya dan musuh umat
Islam seluruhnya.
27. Assamii’: Maha Mendengar.
28. Albashiir: Maha Melihat.
29. Alhakam: Maha Menetapkan hukum, sebagai hakim yang memutuskan yang tidak
seorang pun dapat menolak keputusan-Nya, juga tidak seorang pun yang kuasa merintangi
kelangsungan hukum-Nya itu.
30. Al’adl: Maha Adil, serta sangat sempurna dalam keadilan-Nya itu.
31. Allathiif: Maha Halus, yakni mengetahui segala sesuatu yang samar-samar, pelik-pelik
dan kecil-kecil.
32. Alkhabiir: Maha Waspada.
33. Alhaliim: Maha Penghiba, penyantun yang tidak tergesa-gesa melakukan kemarahan dan
tidak pula gegabah memberikan siksaan.
34. Al’azhiim: Maha Agung, yakni mencapai puncak tertinggi dari keagungan karena bersifat
dengan segala macam sifat kebesaran dan kesempurnaan.
35. Alghafuur: Maha Pengampun, banyak pengampunan-Nya kepada hamba-hamba-Nya.
36. Asysyakuur: Maha Pembalas yakni memberikan balasan yang banyak sekali atas amalan
yang kecil dan tidak berarti.
37. Al’aliy: Maha Tinggi, yakni mencapai tingkat yang setinggi-tingginya yang tidak
mungkin digambarkan oleh akal pikiran siapa pun dan tidak dapat dipahami oleh otak yang
bagaimana pun pandainya.
38. Alkabiir: Maha Besar, yang kebesaran-Nya tidak dapat diikuti oleh pancaindera atau pun
akal manusia.
39. Alhafiiz: Maha Pemelihara yakni menjaga segala sesuatu jangan sampai rusak dan
goncang. Juga menjaga segala amal perbuatan hamba-hamba-Nya, sehingga tidak akan disia-
siakan sedikit pun untuk memberikan balasan-Nya.
40. Almuqiit: Maha Pemberi kecukupan, baik yang berupa makanan tubuh atau pun makanan
rohani.
41. Alhasiib: Maha Penjamin, yakni memberikan jaminan kecukupan kepada seluruh hamba-
Nya. Juga dapat diartikan Maha Menghisab amalan hamba-hamba-Nya pada hari kiamat.
42. Aljaliil: Maha Luhur, yang memiliki sifat-sifat keluhuran karena kesempurnaan sifat-
sifat-Nya.
43. Alkariim: Maha Pemurah, mulia hati dan memberi siapa pun tanpa diminta atau sebagai
penggantian dari sesuatu pemberian.
44. Arraqiib: Maha Peneliti, yang mengamat-amati gerak-gerik segala sesuatu dan
mengawasinya.
45. Almujiib: Maha Mengabulkan, yang memenuhi permohonan siapa saja yang berdoa pada-
Nya.
46. Alwaasi’: Maha Luas, yakni bahwa rahmat-Nya itu merata kepada segala yang maujud
dan luas pula ilmu-Nya terhadap segala sesuatu.
47. Alhakiim: Maha Bijaksana yakni memiliki kebijaksanaan yang tertinggi kesempurnaan
ilmu-Nya serta kerapian-Nya dalam membuat segala sesuatu.
48. Alwaduud: Maha Pencinta, yang menginginkan segala kebaikan untuk seluruh hamba-
Nya dan pula berbuat baik pada mereka itu dalam segala hal-ihwal dan keadaan.
49. Almajiid: Maha Mulia, yakni yang mencapai tingkat teratas dalam hal kemuliaan dan
keutamaan.
50. Albaa’its: Maha Membangkitkan, yakni membangkitkan para rasul, membangkitkan
semangat dan kemauan, juga membangkitkan orang-orang yang telah mati dari masing-
masing kuburnya nanti setelah tibanya hari kiamat.
51. Asysyahiid: Maha Menyaksikan atau Maha Mengetahui keadaan semua makhluk.
52. Alhaq: Maha Haq, Maha Benar yang kekal dan tidak akan berubah sedikit pun.
53. Alwakiil: Maha Memelihara penyerahan, yakni memelihara semua urusan hamba-hamba-
Nya dan apa-apa yang menjadi kebutuhan mereka itu.
54. Alqawiy: Maha Kuat, yaitu yang memiliki kekuasaan yang sesempurna-sempurna.
55. Almatiin: Maha Kokoh atau Perkasa, yakni memiliki keperkasaan yang sudah sampai
dipuncaknya.
56. Alwaliy: Maha Melindungi, yakni melindungi serta menertibkan semua kepentingan
makhluk-Nya karena kecintaan-Nya yang sangat pada mereka itu dan pemberian
pertolongan-Nya yang tidak terbatas pada keperluan mereka.
57. Alhamiid: Maha Terpuji, yang memang sudah selayaknya untuk memperoleh pujian dan
sanjungan.
58. Almuhshi: Maha Penghitung, yang tidak satu pun tertutup dari pandangan-Nya dan semua
amalan itu pun diperhitungkan sebagaimana wajarnya.
59. Almubdi’: Maha Memulai, yang melahirkan sesuatu yang asalnya tidak ada dan belum
maujud.
60. Almu’iid: Maha Mengulangi, yakni menumbuhkan kembali setelah lenyapnya atau
setelah rusaknya.
61. Almuhyii: Maha Menghidupkan, yakni memberikan daya kehidupan pada setiap sesuatu
yang berhak hidup.
62. Almumiit: Yang Mematikan, yakni mengambil kehidupan (ruh) dari apa-apa yang hidup,
lalu disebut mati.
63. Alhay: Maha Hidup, kekal pula hidup-Nya itu.
64. Alqayyuum: Maha Berdiri sendiri, baik Dzat-Nya, sifat-Nya, perbuatan-Nya. Juga
membuat berdiri apa-apa yang selain Dia. Dengan-Nya pula berdiri langit dan bumi ini.
65. Alwaajid: Maha kaya, dapat menemukan apa saja yang diinginkan oleh-Nya, maka tidak
membutuhkan pada suatu apa pun karena sifat kaya-Nya yang mutlak.
66. Almaajid: Maha Mulia, (sama dengan nomor 49 yang berbeda hanyalah tulisannya. Ejaan
sebenarnya nomor 49 Almajiid sedangkan nomor 66 ini Almaajid).
67. Alwaahid: Maha Esa.
68. Ashshamad: Maha Dibutuhkan, yakni selalu menjadi tujuan dan harapan orang di waktu
ada hajat keperluannya.
69. Alqaadir: Maha Kuasa.
70. Almuqtadir: Maha Menentukan.
71. Almuqaddim: Maha Mendahulukan, yakni mendahulukan sebagian benda dari yang
lainnya dalam perwujudannya, atau dalam kemuliaan, selisih waktu atau tempatnya.
72. Almu’akhkhir: Maha Mengakhirkan atau Membelakangkan.
73. Alawwal: Maha Pertama, Dahulu sekali dari semua yang maujud.
74. Alaakhir: Maha Penghabisan, Kekal terus setelah habisnya segala sesuatu yang maujud.
75. Azhzhaahir: Maha Nyata, yakni menyatakan dan menampakkan wujud-Nya itu dengan
bukti-bukti dan tanda-tanda ciptaan-Nya.
76. Albaathin: Maha Tersembunyi, tidak dapat dimaklumi zat-Nya sehingga tidak seorang
pun dapat mengenal zat-Nya itu.
77. Alwaalii: Maha Menguasai, menggenggam segala sesuatu dalam kekuasaan-Nya dan
menjadi milik-Nya.
78. Almuta’aalii: Maha Suci, terpelihara dari segala kekurangan dan kerendahan.
79. Albar: Maha Dermawan, banyak kebaikan-Nya dan besar kenikmatan yang dilimpahkan-
Nya.
80. Attawwaab: Maha Penerima tobat, memberikan pertolongan kepada orang-orang yang
bermaksiat untuk melakukan tobat lalu Allah akan menerimanya.
81. Almuntaqim: Maha Penyiksa, kepada orang yang berhak untuk memperoleh siksa-Nya.
82. Al’afuw: Maha Pemaaf, pelebur kesalahan orang yang suka kembali untuk meminta maaf
pada-Nya.
83. Arra-uuf: Maha Pengasih, banyak rahmat dan kasih sayang-Nya.
84. Maalikulmulk: Maha Menguasai kerajaan, maka segala perkara yang berlaku di alam
semesta, langit, bumi dan sekitarnya serta yang dibaliknya alam semesta itu semuanya sesuai
dengan kehendak dan iradat-Nya.
85. Dzuljalaali wal ikraam: Maha Memiliki kebesaran dan kemuliaan. Juga zat yang
mempunyai keutamaan dan kesempurnaan, pemberi karunia dan kenikmatan yang amat
banyak dan melimpah ruah.
86. Almuqsith: Maha Mengadili, yakni memberikan kemenangan pada orang-orang yang
teraniaya dari tindakan orang-orang yang menganiaya dengan keadilan-Nya.
87. Aljaami’: Maha Mengumpulkan, yakni mengumpulkan berbagai hakikat yang telah
bercerai-berai dan juga mengumpulkan seluruh umat manusia pada hari pembalasan.
88. Alghaniy: Maha Kaya, maka tidak membutuhkan apa pun dari yang selain zat-Nya
sendiri, tetapi yang selain-Nya itu amat membutuhkan kepada-Nya.
89. Almughnii: Maha Pemberi kekayaan yakni memberikan kelebihan yang berupa kekayaan
yang berlimpah-limpah kepada siapa saja yang dikehendaki dari golongan hamba-hamba-
Nya.
90. Almaani’: Maha Membela atau Maha Menolak, yaitu membela hamba-hamba-Nya yang
saleh dan menolak sebab-sebab yang menyebabkan kerusakan.
91. Adldlaar: Maha Pemberi bahaya, yakni dengan menurunkan siksa-siksa-Nya kepada
musuh-musuh-Nya.
92. Annaafi’: Maha Pemberi kemanfaatan, yakni merata kebaikan yang dikaruniakan-Nya itu
kepada semua hamba dan negeri.
93. Annuur: Maha Bercahaya yakni menonjolkan zat-Nya sendiri dan menampakkan untuk
yang selain-Nya dengan menunjukkan tanda-tanda kekuasaan-Nya.
94. Alhaadi: Maha Pemberi petunjuk, yaitu memberikan jalan yang benar kepada segala
sesuatu agar langsung adanya dan terjaga kehidupannya.
95. Albadii’: Maha Pencipta yang baru, sehingga tidak ada contoh dan yang menyamai
sebelum keluarnya ciptaan-Nya itu.
96. Albaaqii: Maha Kekal, yakni kekal hidup-Nya untuk selama-lamanya.
97. Alwaarits: Maha Pewaris, yakni kekal setelah musnahnya seluruh makhluk.
98. Arrasyiid: Maha Cendekiawan, yaitu memberi penerangan dan tuntunan pada seluruh
hamba-Nya dan yang segala peraturan-Nya itu berjalan menurut ketentuan yang digariskan
oleh kebijaksanaan dan kecendikiawanan-Nya.
99. Ashshabuur: Maha Penyabar yang tidak tergesa-gesa memberikan siksaan dan tidak pula
cepat-cepat melaksanakan sesuatu sebelum waktunya.

Dalam kitab Addinul Islami disebutkan sebagai berikut: “Nama-nama Allah yang baik-baik
(asmaul husna) yang tercantum dalam Alquran yaitu:

1. Nama-nama yang berhubungan dengan zat Allah Taala, yakni:


a. Alwaahid (Maha Esa)
b. Alahad (Maha Esa)
c. Alhaq (Maha Benar)
d. Alqudduus (Maha Suci)
e. Ashshamad (Maha dibutuhkan)
f. Alghaniy (Maha Kaya)
g. Alawwal (Maha Pertama)
h. Alaakhir (Maha Penghabisan).
i. Alqayyuum (Maha Berdiri Sendiri).

2. Nama-nama yang berhubungan dengan penciptaan, yakni:


a. Alkhaalik (Maha Menciptakan)
b. Albaari’ (Maha Pembuat)
c. Almushawwir (Maha Pembentuk)
d. Albadii’ (Maha Pencipta yang baru)

3. Nama-nama yang berhubungan dengan sifat kecintaan dan kerahmatan, selain dari lafal
Rab (Tuhan), Rahman (Maha Pengasih) dan Rahim (Maha Penyayang), yakni:
a. Arra-uuf (Maha Pengasih)
b. Alwaduud (Maha Pencinta)
C. Allathiif (Maha Halus)
d. Alhaliim (Maha Penghiba)
e. Al’afuw (Maha Pemaaf)
f. Asysyakuur (Maha Pembalas, Pemberi karunia)
g. Almukmin (Maha Pemelihara keamanan)
h. Albaar (Maha Dermawan)
i. Rafi’ud darajat (Maha Tinggi derajat-Nya)
j. Arrazzaaq (Maha Pemberi rezeki)
k. Alwahhaab (Maha Pemberi)
l. Alwaasi’ (Maha luas)

4. Nama-nama yang berhubungan dengan keagungan serta kemuliaan Allah Taala yakni:
a. Al’azhiim (Maha Agung)
b. Al’aziiz (Maha Mulia)
C. Al’aliy (Maha Tinggi)
d. Almuta’aalii (Maha Suci)
e. Alqawiy (Maha Kuat)
f. Alqahhaar (Maha Pemaksa)
g. Aljabbaar (Maha Perkasa)
h. Almutakabbir (Maha Megah)
i. Alkabiir (Maha Besar)
j. Alkariim (Maha Pemurah)
k. Alhamiid (Maha Terpuji)
l. Almajiid (Maha Mulia)
m. Almatiin (Maha Kuat)
n. Azhzhaahir (Maha Nyata)
o. Zuljalaali wal ikraam (Maha Memiliki kebesaran dan kemuliaan)

5. Nama-nama yang berhubungan dengan ilmu Allah Taala, yakni:


a. Al’aliim (Maha Mengetahui)
b. Alhakiim (Maha Bijaksana)
C. Assamii’ (Maha Mendengar)
d. Alkhabiir (Maha Waspada)
e. Albashiir (Maha Melihat)
f. Asysyahid (Maha Menyaksikan)
g. Arraqiib (Maha Meneliti)
h. Albaathin (Maha Tersembunyi)
i. Almuhaimin (Maha Menjaga)

6. Nama-nama yang berhubungan dengan kekuasaan Allah serta caranya mengatur segala
sesuatu, yakni:
a. Alqaadir (Maha Kuasa)
b. Alwakiil (Maha Memelihara penyerahan)
C. Alwaliy (Maha Melindungi)
d. Alhaafizh (Maha Pemelihara)
e. Almalik (Maha Merajai)
f. Almaalik (Maha Memiliki)
g. Alfattaah (Maha Pembuka)
h. Alhasiib (Maha Penjamin)
i. Almuntaqim (Maha Penyiksa)
j. Almuqiit (Maha Pemberi kecukupan)

7. Ada pula nama-nama yang tidak disebutkan dalam nas Alquran tetapi merupakan sifat-sifat
yang erat kaitannya dengan sifat atau perbuatan Allah Taala yang tercantum dalam Alquran,
yakni:
a. Alqaabidl (Maha Pencabut)
b. Albaasith (Maha Meluaskan)
C. Arraafi` (Maha Mengangkat)
d. Almu’iz (Maha Pemberi kemuliaan)
e. Almudzil (Maha Pemberi kehinaan)
f. Almujiib (Maha Mengabulkan)
g. Albaa’its (Maha Membangkitkan)
h. Almuhshii (Maha Penghitung)
i. Almubdi’ (Maha Memulai)
j. Almu’iid(Maha Mengulangi)
k. Almuhyii (Maha Menghidupkan)
l. Almumiit (Maha Mematikan)
m. Maalikulmulk (Maha Menguasai kerajaan)
n. Aljaami’ (Maha Mengumpulkan)
o. Almughnii (Maha Pemberi kekayaan)
p. Almu’thii (Maha Pemberi)
q. Almaani’ (Maha Membela, Maha Menolak)
r. Alhaadii (Maha Pemberi Petunjuk)
s. Albaaqii (Maha Kekal)
t. Alwaarits (Maha Pewaris).

8. Ada pula nama-nama Allah Taala yang diambil dari makna atau pengertian nama-nama
yang terdapat dalam Alquran, yakni:
a. Annuur (Maha Bercahaya)
b. Ashshabuur (Maha Penyabar)
c. Arrasyiid (Maha Cendekiawan)
d. Almuqsith (Maha Mengadili)
e Alwaalii (Maha Menguasai)
f. Aljaliil (Maha Luhur)
g. Al’adl (Maha Adil)
h. Alkhaafidl (Maha Menjatuhkan)
i. Alwaajid (Maha Kaya)
j. Almuqaddim (Maha Mendahulukan)
k. Almu-akhkhir (Maha Mengakhirkan)
l. Adldlaar (Maha Pemberi bahaya)
m. Annaafi’ (Maha Pemberi kemanfaatan)

Dengan nama-nama di atas dirangkaikan pula sifat-sifat:

a. Takallum (Berfirman) dan


b. Iradat (Berkehendak)

ZAT TUHAN DAN KEMUSTAHILAN MENEMUKANNYA

Hakikat dari zat Ketuhanan tidak mungkin dimakrifati oleh akal pikiran dan sudah pasti tidak
akan dapat dicapai betapa keadaan yang sebenarnya atau puncaknya. Sebabnya ialah karena
pikiran manusia tidak dapat menjangkau hal tersebut, karena manusia tidak diberi dan tidak
ditunjuki pula jalan menemukannya atau wasilah mencapainya. Akal manusia bagaimana
cerdik dan pandainya, begitu kuat daya tangkapnya, tetapi tetap terbatas dalam suatu batas
yang tertentu dan malah lemah sekali atau belum dapat memakrifati hakikat berbagai benda
yang dilihatnya sehari-hari. Manusia sampai saat ini masih belum dapat mengetahui secara
benar tentang hakikat jiwa manusia itu sendiri. Bahkan pengetahuan tentang hal jiwa ini
hingga sekarang tetap merupakan penyelidikan yang hangat dalam rangkaian persoalan-
persoalan yang erat hubungannya dengan ilmu pengetahuan filsafat.

Manusia itu pun tidak dapat menguraikan hakikat cahaya atau sinar, padahal cahaya atau
sinar itu sebenarnya adalah benda yang amat terang dan jelas sekali. Juga belum dapat
diketahui hakikat sesuatu benda serta hakikat dari atom yang setiap benda itu pasti tersusun
dari himpunan atom-atom itu, padahal semuanya ini adalah yang terdekat sekali hubungannya
dengan manusia itu sendiri. Maka dari itu sampai saat sekarang ini pun ilmu pengetahuan
modern masih belum mampu menguraikan berbagai hakikat benda yang ada di alam semesta
ini. Ringkasnya kata terakhir masih belum dapat dijelaskan, sebagai tanda bahwa hakikat apa
yang dicari itu belum terpecahkan dengan memuaskan.

Seorang profesor terkenal bernama Kamyl Flamaryon menulis dalam buku “Kekuatan Alam
Yang Belum Dikenal” sebagai berikut: “Kita semua tahu bahwa kita ini berpikir, tetapi
apakah sebenarnya makna berpikir itu? Rasanya tidak ada seorang pun yang dapat menjawab
pertanyaan ini. Kita semua mengerti bahwa kita ini berjalan. Tetapi apakah sebenarnya
pekerjaan otot itu? Pun tidak seorang dapat mengetahui hakikatnya. Saya menyadari bahwa
kehendak saya adalah merupakan suatu kekuatan yang bukan termasuk dalam kebendaan
(materi) dan saya menyadari pula bahwa segala sifat khusus diri saya bukan termasuk
kebendaan juga. Namun demikian, setiap saya berkehendak mengangkat tangan, saya tahu
bahwa kehendak itulah yang menggerakkan benda milikku yakni tangan tadi. Jadi bagaimana
hal itu dapat terjadi secara spontan sekali. Apakah kiranya yang menjadi perantara yang
berada di tengah-tengah antara kekuatan akal dalam menimbulkan suatu hasil yang
mempengaruhi gerakan kebendaan itu? Tentang pertanyaan ini pun belum ada orang yang
dapat memberikan jawaban pada saya. Atau secara mudahnya cobalah katakan pada saya dan
jawablah ini, ‘Bagaimana urat-urat saraf mata itu dapat memindahkan gambar benda sampai
ke dalam akal? Coba jawab pula, ‘Bagaimana akal dapat menerimanya? Lagi pula di mana
letak akal tersebut? Bagaimana tabiat pekerjaan otak itu? Cobalah katakan pada saya, hai
tuan-tuan (yang dimaksudkan ialah orang-orang yang membantah)..... Tetapi, yah.....
cukuplah sudah, cukup..... Mungkin saya dapat bertanya kepada tuan-tuan selama duapuluh
tahun, tetapi saya percaya bahwa orang yang paling cerdas di antara tuan-tuan itu pasti tidak
dapat mengemukakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang serendah-rendahnya.”

Jika demikian kedudukan akal dalam menghadapi persoalan hakikat jiwa, cahaya dan benda,
serta apa yang ada dalam alam semesta ini, baik yang dapat dilihat oleh mata atau pun yang
tidak, maka bagaimana akal dapat memakrifati zat Tuhan Yang Maha Menciptakan semuanya
itu yang bersifat Maha Luhur keadaan-Nya. Bagaimanakah akal yang lemah itu dapat
mencapai zat Tuhan Yang Maha Tinggi itu? Sesungguhnya zat Allah masih jauh lebih besar
dari apa yang dapat dicapai oleh akal atau pun yang dapat dijangkau oleh pemikiran-
pemikiran. Oleh sebab itu alangkah tepatnya firman Allah swt., “Allah tidak akan dapat
dicapai oleh penglihatan-penglihatan dan Dia dapat mencapai penglihatan-penglihatan itu dan
Dia adalah Maha Halus dan Waspada.” (Q.S. Al-An’am:103)

PENGAKUAN KAUM INTELEK MODERN TENTANG WUJUD ALLAH

Pembahasan terakhir dalam bab adalah mengenai dalil akal (bukti rasional) perihal wujud
Allah Taala dengan mengutip berbagai keterangan yang diucapkan oleh para sarjana
kenamaan.

Prof. Harshell, seorang pakar astronomi dari Inggris berkata, “Semakin luas suatu bidang
ilmu pengetahuan, semakin bertambah pula bukti-bukti yang memastikan dan lebih
mengokohkan perihal adanya Zat yang Maha Menciptakan, juga Maha Dahulu yang tidak ada
batas untuk kekuasaan-Nya dan pula tidak akan ada habis-Nya yakni kekal selama-lamanya.
Para pakar geologi, fisika, astronomi dan eksakta saling memperkuat dan bantu-membantu.
Mereka semua memberikan jaminan yang mantap perihal seruan ilmu pengetahuan yakni
seruan pernyataan kemahaagungan Allah yang Maha Esa.”

Dr. Wets seorang pakar kimia bangsa Perancis berkata, “Jika pada suatu ketika aku merasa
bahwa kepercayaanku kepada Allah agak kurang mantap dan agak guncang, maka segeralah
aku menujukan arah perhatianku kepada akademi ilmu pengetahuan agar keimanan itu
kembali kokoh dan kuat sentosa.”

Voltair secara senda gurau berkata, “Mengapa Tuan-tuan masih juga meragukan akan adanya
Allah, padahal andaikata Allah tidak ada, rasanya pasti istriku sendiri akan mengkhianati
diriku dan mungkin aku diculik oleh pelayanku.”

Anda mungkin juga menyukai