Anda di halaman 1dari 3

PSEUDO-TUHAN

Oleh H. Brilly Y. Will. El-Rasheed, S.Pd. (bit.ly/biografibrillyelrasheed)


Mahasiswa S2 PAI UNISDA Angkatan 2022; Penyusun Lebih dari 25 Naskah Master Mushaf yang
masing-masing diterbitkan hampir 100.000 eksemplar, dan Hampir 116 Buku Keislaman

Sifat Tuhan sejatinya sudah final, kitalah yang belum final dalam mengenal Tuhan. Dia ada
sebelum ada segala selain-Nya. Dia menciptakan selain-Nya agar selain-Nya mengenal-Nya.
Celakanya, kita yang diciptakan-Nya mengenal-Nya secara keliru. Ujungnya, kita merasa
menghamba kepada-Nya padahal kita sedang menyembah sesuatu yang kita klaim sebagai Dia
yang sebenarnya buah dari kekeliruan kita mengenal sifat-sifat-Nya. Ringkasnya, bukan
menyembah Allah tapi menyembah Pseudo-Allah, bukan Allah yang sebenarnya. Kita meyakini
Allah begini, ternyata Allah tidak begitu, berarti itu bukan Allah.

Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib membuat statemen yang sangat brilian,
‫َم ْن َز َع َم أ ّن إ َل َه َنا َم ْحد ُْو ٌد َف َق ْد َج ِه َل ا ْل َخالِ َق ا ْل َم ْع ُب ْو َد‬
“Barangsiapa berkeyakinan bahwa Tuhan kita (Allah) memiliki bentuk dan ukuran maka ia tidak
mengetahui hakekat Sang Pencipta Yang (Wajib) Disembah.” [Hilyah Al-Auliya` 1/73 dalam
biografi ‘Ali bin Abi Thalib] Artinya salah sasaran. Maunya/maksudnya menyembah Allah ternyata
yang disembah bukan Allah. Rugi!

Analoginya, kita bermaksud kirim bingkisan untuk seseorang yang kita cintai, kita jelaskan kepada
kurir ciri-ciri orang yang kita maksud tapi ciri-ciri tersebut salah. Begitu kurir dalam perjalanan
sudah barang tentu salah orang. Betapa malunya. Belum lagi kalau bingkisan yang kita kira
disukainya ternyata tidak disukainya. Sama halnya dengan orang yang mengaku bermimpi
berjumpa Rasulullah lebih-lebih mengecup tangan wangi Beliau, padahal kitab Syama`il-nya
Al-Imam At-Tirmidzi saja belum pernah disentuhnya, lalu siapa sosok yang ditemuinya dalam
mimpi?

Kecelakaan dalam mengenali Tuhan yang hakiki tersebab kekeliruan alur logis kita memahami
hadits, “Aku sesuai prasangka hamba-Ku kepada-Ku.” Sementara itu nenek moyang (aslaf) kita
dulu sudah menyuguhkan nalar yang aksiomatis,
‫كل ما خطر ببالك فالله بخلاف ذلك‬
"Apa saja yang melintas dalam pikiranmu, Allah tidak seperti pikiranmu (tentang-Nya).”
Maknanya, bila ‘aqidah kita tentang-Nya benar, Allah memang begitu. Bila kita gagal paham
tentang-Nya, maka apa saja yang kita prasangkakan tentang-Nya pun otomatis salah. Bukan Allah
yang selalu berbeda dari pikiran kita, kita sendiri salah salah pikir tentang-Nya.

Dalam bahasa Al-Hafizh Abu Ja’far Ahmad bin Salamah Ath-Thahawi Al-Hanafi (w. 321 H) yang
sangat ringkas,
‫لا تبلغه الأوهام ولا تدركه الأفهام‬
“Allah tidak bisa dijangkau oleh imajinasi-imajinasi dan tidak bisa dijangkau nalar pikiran.”

Dalam teorema yang lebih rumit, Al-Imam Ibnu Abi Zaid Al-Qairawani Al-Maliki dalam Risalah
beliau, bahasanya begini,
‫ ولا يتفكرون في ماهية ذاته‬،‫ ولا يحيط بأمره المتفكرون يعتبر المتفكرون بآياته‬،‫لا يبلغ كنه صفته الواصفون‬
“Para pemuji Allah, pujiannya tidak akan sampai kepada hakikat sifat-Nya dan para pemikir tidak
akan bisa mengetahui eksistensi-Nya. Para pemikir hanya dapat mengambil pelajaran dari
ayat-ayat-Nya, namun tidak dapat merenungkan hakikat diri-Nya.”

Tutur para Salaf memang memiliki potensi besar disalahpahami generasi khalaf apalagi kita yang
sudah masuk Society 5.0 yang sangat disruptif. Richard Dawkins dalam The God Delusion (London:
Bantam Press, 2006) mendeklarasikan bahwa Tuhan tidak ada dan kepercayaan tentang Tuhan
sama halnya kebiasaan anak-anak yang merasa memiliki teman imajiner. Pernah terjadi
keterpelantingan nalar salah satu imam Jaringan Islam Liberal (JIL, yang kini melebur ke dalam
banyak komunitas), “Kita itu bukan sedang menyembah Tuhan, tapi kita menyembah pikiran kita
tentang Tuhan.” Kurang lebih demikian ujarannya.

Kenapa termasuk sesat pikir? Karena tidak bisa melihat distingsi apa itu ‘keyakinan tentang
Tuhan’ dan apa itu ‘Tuhan yang harus diyakini’. Al-Imam Ibnu ‘Atha`illah As-Sakandari
memaparkan sebuah hikmah yang dipelintir ‘grup sebelah’ sebagai tidak meyakini perjumpaan
dengan Allah Azh-Zhahir di Akhirat,
‫الى العل ِم بِ ِه َوالا َّ ف ََج َّل َربُّ َنا اَ ْن َيتـَّ ِص َل بِ ِه شَ ىءٌ او َتتـَّ ِص َل ُه َو بِشى ٍء ٭‬ ِ
َ ‫٭ ُو ُصولُ َك ا َلى الله ُوصولُ َك‬
“Wushul(sampai)mu kepada Allah itu sampaimu kepada ilmu terhadap Allah, kalau tidak begitu,
sungguh Tuhan itu Mahaagung sehingga mustahil sesuatu bertemu (bersambung) dengan Allah
atau Allah itu bertemu (bersambung) dengan sesuatu.” [Al-Hikam] Akibat memaknai hikmah ini
dengan tradisi bahasa sosial bukan tradisi bahasa Islam, jadilah hairan (bingung), hingga terlontar
ucapan, “Kita hanya menyembah pikiran tentang Tuhan, bukan menyembah Tuhan.”

Duduk perkara ini mesti kita renungkan cermat-cermat agar kita tidak menyembah pseudo-Allah
namun merasa sudah menyembah Allah Al-Jawwad. Kita tidak usah menepuk dada sebagai Ahli
Tauhid hanya karena tidak melarung kepala kerbau di pantai selatan, tidak menundukkan kepada
kepada arca Yesus, tidak semedi di pohon keramat. Kita meyakini Allah begini ternyata Allah tidak
begitu itu sudah termasuk syirik, karena kita berarti menyembah pseudo-Allah, bukan Allah yang
sebenarnya.

Jika demikian, maka jangan sekali-kali mengaku sudah wushul kepada Allah Al-Qarib, apalagi
mendaku sudah mencapai maqam Laila yang masyhur dengan syi’ir (namun ini bukan gubahan
Laila ataupun Qais Al-Majnun),
‫انا من اهوى ومن اهوى انا * نحن روحان حللنا بدنا * فإذا ابصرتنى ابصرته * فإذا أبصرته ابصرتنا‬
“Aku orang yang mencinta dan Dia yang mencinta adalah Aku * Kami dua ruh yang melebur dalam
satu tubuh * Bila kau memandangku, kau memandang-Nya * Bila kau memandang-Nya, kau
memandang Kami.” [Diwan Al-Husain bin Manshur Al-Hallaj]

Dari sini kita menjadi sangat mafhum mengapa Al-Imam Fakhurrazi bertele-tele konsen
membahas dimensi teologis tafsir Surah Al-Fatihah dalam Mafatih Al-Ghaib-nya hingga
memakan space 1 jilid sendiri. Kita juga menjadi maklum mengapa amat sangat banyak ulama yang
menorehkan tinta emas untuk menyusun matan maupun nazham dalam fan ilmu ‘aqidah yang
sekaligus menegasi banyak afkar (pemikiran) tentang Tuhan. Semuanya dalam rangka agar umat
tidak salah Tuhan, merasa menyembah Allah, ternyata yang disembah adalah pseudo-Allah.

Allah Al-Jamil mengingatkan,


َ ‫ُون فِ ٓى َأ ْس َٰٓمِئ ِهۦ ۚ َس ُي ْج َز ْو َن َما كَانُو۟ا َي ْع َم ُل‬
‫ون‬ َ ‫َو لِلَّ ِه ٱ ْلَأ ْس َمٓا ُء ٱ ْل ُح ْس َن ٰى فَٱ ْد ُعو ُه بِ َها ۖ َو َذ ُرو۟ا ٱلَّ ِذ َين ُي ْل ِحد‬
“Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul
husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut)
nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka
kerjakan.” [Qs. Al-A’raf (7): 180] Diterangkan oleh Syaikh Muhammad Nawawi bin ‘Umar bahwa
Nama Allah adalah tauqifiyyah (paten) dari Al-Qur`an dan As-Sunnah bukan istilah atau buah dari
pemikiran. Bentuk ilhad dalam hal nama Allah adalah berupa memberi nama kepada Allah tanpa
izin-Nya atau memaknai nama Allah yang sudah ada dengan makna yang keliru. [Tafsir Marah
Labid]

Jadi, jangan jauh-jauh membahas kenapa Al-Imam Abu Hanifah tidak meyakini disyari’atkannya
‘aqiqah, kenapa Al-Imam Al-Mawardi menyelisihi Madzhab Syafi’iyyah yang meyakini bolehnya
muslim menikahi wanita ahlul-Kitab, kenapa Al-Imam Al-Ghazali menyarankan dzikir ala
Thariqah Naqsyabandiyyah dalam Khulashah At-Tashanif fi At-Tashawwuf padahal beliau lahir
ratusan tahun sebelum As-Sayyid Muhammad bin Muhammad Al-Bukhari An-Naqsyabandi.
Matangkan dulu teologis kita! Kenali Allah dengan benar dulu! Soal amaliyah, Allah yang atur,
begitu manthuq kalam Shahib Al-Hikam,
‫ َأ َل ْم َت ْع َل ْم اَ َّن التَّ َع ُّّر َف ُه َو ُم ْو ِر ُد ُه‬.‫اِذَا َف َت َح َل َك و ِْج َه ًة ِم َن التَّ َع ُّر ِف فَلاَ تُ َب ِال َم َع َها اِ ْن َق َّل َع َم ُل َك َف ِانَّ ُه َما َف َت َح َل َك اِلا َّ َو ُه َو ُي ِر ْي ُد َأ ْن َي َت َع َّر َف اِ َل ْي َك‬
‫ َواَ ْي َن َما تُ ْه ِد ْي ِه اِ َل ْي ِه ِم َّما ُه َو ُم ْو ِر ُد ُه َع َل ْي َك‬.‫َع َل ْي َك َوَا ْلَأ ْع َمالُ اَن َْت ُم ْه ِد ْي َها اِ َل ْي ِه‬
“Ketika Dia membukakan bagimu (suatu) Wajah Pengenalan, maka jangan engkau sandingkan
(hadirnya) pengenalan itu dengan sedikitnya amal-amalmu; karena sesungguhnya Dia tidak
membukakan pengenalan itu bagimu kecuali (bahwa) Dia semata-mata menginginkan untuk
memperkenalkan (Diri-Nya) kepadamu. Apakah engkau tidak tahu bahwa pengenalan (makrifat)
itu adalah pemberian Nya kepadamu, sedangkan segala amalmu itu hadiahmu kepada Nya ? Di
manakah nilai hadiahmu kepada-Nya dibanding dengan pemberian-Nya kepadamu?”

SUDAH MASUK BUKU EXOTIC LIFE STYLE

Anda mungkin juga menyukai