Anda di halaman 1dari 6

Khutbah Jumat: Takbir Menggema,

Takabur (Seharusnya) Sirna)

Di antara kalimat yang paling mencolok dan berkumandang di


mana-mana begitu Ramadhan berakhir adalah takbir. Takbir
secara bahasa berasal dari kata kabbara-yukabbiru yang berarti
membesarkan atau mengagungkan. Siapa yang diagungkan? Tentu
saja Dzat Yang Mahabesar, Allah subhanallah wata’ala.
Takbir betul-betul mewarnai peralihan masa dari Ramadhan
menuju Syawal. Umat Islam di berbagai tempat menghidupkan
malam hari raya dengan takbir. Ruas jalan di banyak daerah juga
dipenuhi pawai takbir. Dalam shalat id pun kita dianjurkan
menambah takbir tujuh kali usai takbiratul ihram dan lima kali
saat memasuki rakaat kedua. Para khatib Idul Fitri disunnahkan
memulai khutbah pertama dengan takbir sembilan kali dan tujuh
kali pada khutbah kedua. Sementara dzikir yang paling dianjurkan
bagi jamaah dalam momen-momen tersebut adalah melafalkan
takbir.
Jamaah shalat jum’at hafidhakumullah,

1
Takbir tentu lebih dari sekadar ucapan dan kata-kata. Di balik
anjuran menggemakan takbir ada perintah untuk menganggap
setara, kecil, rendah apa pun yang ada di alam fana ini karena
yang Mahabesar hanya Allah. Dialah penguasa jagat raya ini. Tak
ada satu urusan atau keberadaan pun yang luput dari genggaman-
Nya. Ini pula makna dari rabbul ‘alamin. Allah bukan saja Tuhan
bagi manusia melainkan Tuhan bagi seluruh eksistensi selain diri-
Nya, termasuk hewan, tumbuhan, jin, malaikat, planet-planet,
atmosfer, bumi, langit, surga, neraka, dan lain sebagainya.
Konsekuensi dari keyakinan semacam itu adalah timbulnya sikap
rendah hati. Mengecilkan segalanya, tak terkecuali kekayaan dan
jabatan, untuk semata-mata mengagungkan-Nya. Sikap ini sangat
sulit dilakukan karena musuh terberatnya bukan saja setan,
melainkan juga nafsu diri sendiri. Orang mungkin saja terbebas
dari keraguan mengimani keberadaan Allah seyakin-yakinnya tapi
belum tentu ia berhasil membesarkan-Nya seagung-agungnya.
Orang bisa saja sangat alim, rajin ibadah, mengklaim membela
agama, namun apakah ia sudah benar-benar bersih dari
menganggap lebih rendah orang lain–menganggap diri sendiri
lebih selamat dari yang lain?
Kita tahu, Iblis terjerumus bukan karena ia ingkar atas
keberadaan Allah. Iblis tidak ateis. Mungkin soal ini keimanan
Iblis melebihi manusia biasa. Iblis terhempas ke neraka dan
menjadi makhluk terkutuk selamanya sebab menolak menghormati
Nabi Adam lantaran takabur. Sebagaimana terekam dalam Surat
al-Baqarah ayat 34:
َ‫يس أَبَ ٰى َوا ْستَ ْكبَ َر َو َكانَ ِمنَ ْال َكافِ ِرين‬
َ ِ‫َوإِ ْذ قُ ْلنَا لِ ْل َماَل ئِ َك ِة ا ْس ُجدُوا آِل َد َم فَ َس َجدُوا إِاَّل إِ ْبل‬
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para
malaikat: ‘Sujudlah kamu kepada Adam,’ maka sujudlah mereka
kecuali Iblis; ia enggan dan takabur/sombong dan adalah ia
termasuk golongan makhluk yang kafir”.
2
Takabur atau kesombongan telah menggelapkan Iblis untuk
mengakui Adam sebagai makhluk Allah yang juga harus dihormati.
Ketika Allah mengeluarkan perintah sujud penghormatan tersebut
lalu Iblis menyambutnya dengan penolakan, maka saat itulah Iblis
sedang mengingkari Kebesaran Allah. Iblis membesarkan diri di
hadapan Dzat Yang Mahabesar. Ia hanya melihat kepada siapa ia
hormat tapi tidak mempertimbangkan dari siapa perintah hormat
itu keluar. Di ayat lain, Allah berfirman, “walaqad karramnâ banî
âdam (dan sungguh telah kami muliakan Bani Adam [manusia]).”
Dalam hadits Qudsi Rasulullah pernah menyampaikan:

“Kemahabesaran adalah selendang-Ku dan Kemahagungan adalah


sarung-Ku. Siapa saja yang menandingi-Ku Aku masukkan dia ke
dalam neraka”.
Jamaah shalat jumat hadâkumullah,
Apa yang diperbuat Iblis bisa juga menimpa kita meski dalam
skala dan konteks yang berbeda. Allah, misalnya, telah
memerintahkan kita memuliakan manusia (QS al-Isra: 70) dan
tidak merusak lingkungan (QS al-A’raf: 56). Saat kita berlaku
sebaliknya maka sejatinya kita sedang meneladani jejak Iblis yang
durhaka. Kita hanya percaya akan keberadaan Allah tapi “tidak
percaya” akan kebesaran dan kekuasan-Nya. Atau mungkin
percaya namun berhenti di mulut atau dalam kadar angan-angan
belaka.
3
Buah dari takbir adalah mengecilkan diri sendiri untuk semata
membesarkan Allah. Dampak lazim dari suasana batin ini adalah
tidak menganggap remeh hal-hal di luar dirinya karena menyadari
bahwa semua ini tak lain adalah hamba Allah rabbul ‘alamin.
Rasulullah pernah menegur sahabat yang mempermainkan anak
burung hingga induknya merasa terganggu. Sikap mengasihi
binatang seperti ini hanya bisa dilakukan ketika seseorang tak
lagi sibuk membandingkan dirinya dengan binatang tapi
memandang lebih dalam: siapa yang menciptakan binatang. Itu
pula yang menjadi alasan mengapa Nabi begitu pemaaf dan murah
hati terhadap orang-orang kafir yang pernah memusuhi, bahkan
berupaya membunuh beliau; dan kisah-kisah teladan lainnya.
Jamaah shalat jumat hafidhakumullah,
Takbir Idul Fitri seyogianya mengantarkan kita pada introspeksi
diri tentang sejauh mana kita membesarkan Allah, sejauh mana
pula kita mengenal-Nya. Sebuah takbir yang melunakkan hati kita
untuk senanriasa berbuat baik kepada siapa saja atau apa saja.
Memandang orang lain dengan kacamata kasih sayang. Berhenti
menghinakan pihak lain. Dan menolak perbuatan merusak di
lingkungan kita.
Di Indonesia kita beruntung memiliki tradisi halal bihalal yang
menjadi momen penguatan hubungan baik sesama manusia.
Setelah tak hanya digembleng untuk memenuhi hak-hak Allah
selama Ramadhan tapi juga menuntaskan berbagai persoalan hak-
hak manusia (haq adami) dengan saling bermaaf-maafan. Dengan
demikian semoga takbir kita tidak hanya menggaung ke angkasa
tapi juga membumi dalam wujud cinta kepada sesama. Wallahu
a’lam.

4
KHUTBAH KEDUA

5
6

Anda mungkin juga menyukai