Anda di halaman 1dari 2

Takabur Semestinya Hilang dengan Takbir

Jamaah shalat Jumat yang dirahmati Allah


Waktu akan terus bergulir tanpa dapat dihentikan, meski hanya sepersekian detik. Dan perlahan namun
pasti, kita akan dibawa dalam pergerakan waktu sampai maut yang memisahkan. Karenanya, pada
kesempatan hari Jumat ini mari kita manfaatkan dengan baik yakni menjalankan perintah dan menjauhi yang
dilarang.
Hal itulah yang disebut dengan takwa. Dengan demikian, takwa menjadi bagian yang harus terus
ditingkatkan dari waktu ke watu, dan kesempatan hadir di majlis Jumat ini marilah kita gunakan untuk
introspeksi diri.
Jamaah Jumat yang Berbahagia
Kita masih berada di bulan Syawal. Dan di antara kalimat yang paling mencolok dan berkumandang di mana-
mana begitu Ramadhan berakhir adalah takbir. Takbir secara bahasa berasal dari kata kabbara-yukabbiru
yang berarti membesarkan atau mengagungkan. Siapa yang diagungkan? Tentu saja Dzat Yang
Mahabesar, Allah Subhanallah Wa Ta’ala (SWT).
Tentunya kita masih ingat bahwa takbir betul-betul mewarnai peralihan masa dari Ramadhan
menuju Syawal. Umat Islam di berbagai tempat menghidupkan malam hari raya dengan takbir. Sejak malam
hingga pagi hari, sejumlah masjid dan mushala memnuhi kegiatan dengan takbir.
Dalam shalat id pun kita dianjurkan menambah takbir 7 kali usai takbiratul ihram dan 5 kali saat memasuki
rakaat kedua. Para khatib Idul Fitri disunahkan memulai khutbah pertama dengan takbir 9 kali dan 7 kali
pada khutbah kedua. Sementara dzikir yang paling dianjurkan bagi jamaah dalam momen-momen tersebut
adalah melafalkan takbir.
Jamaah yang Dirahmati Allah
Takbir tentu lebih dari sekadar ucapan dan kata-kata. Di balik anjuran menggemakan takbir ada perintah
untuk menganggap setara, kecil, rendah apa pun yang ada di alam fana ini karena yang Mahabesar
hanya Allah. Dialah penguasa jagat raya ini.
Tak ada satu urusan atau keberadaan pun yang luput dari genggaman-Nya. Ini pula makna dari rabbul
‘alamin. Allah bukan saja Tuhan bagi manusia melainkan Tuhan bagi seluruh eksistensi selain diri-Nya,
termasuk hewan, tumbuhan, jin, malaikat, planet-planet, atmosfer, bumi, langit, surga, neraka, dan lain
sebagainya.
Konsekuensi dari keyakinan semacam itu adalah timbulnya sikap rendah hati. Mengecilkan segalanya, tak
terkecuali kekayaan dan jabatan, untuk semata-mata mengagungkan-Nya. Sikap ini sangat sulit dilakukan
karena musuh terberatnya bukan saja setan, melainkan juga nafsu diri sendiri.
Orang mungkin saja terbebas dari keraguan mengimani keberadaan Allah seyakin-yakinnya tapi belum tentu
ia berhasil membesarkan-Nya seagung-agungnya. Orang bisa saja sangat alim, rajin ibadah, mengklaim
membela agama, namun apakah ia sudah benar-benar bersih dari menganggap lebih rendah orang lain,
menganggap diri sendiri lebih selamat dari yang lain?
Hadirin Rahimakumullah
Kita tahu, iblis terjerumus bukan karena ia ingkar atas keberadaan Allah. Iblis tidak ateis. Mungkin soal ini
keimanan, iblis melebihi manusia biasa. Iblis terhempas ke neraka dan menjadi makhluk terkutuk selamanya
sebab menolak menghormati Nabi Adam lantaran takabur. Hal ini sebagaimana terekam dalam surat Al-
Baqarah ayat 34 sebagai berikut:

‫س ُجدُوا ِِل َد َم َفس ََجدُوا ِإ اَّل ِإ ْبلِيسَ َأب َٰى وَ اسْ تَ ْكبَرَ وَ َكانَ ِمنَ ا ْل َكا ِف ِرين‬
ْ ‫وَ ِإ ْذ قُ ْلنَا لِ ْلم َََلئِ َك ِة ا‬
Artinya: Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: ‘Sujudlah kamu kepada Adam,’ maka
sujudlah mereka kecuali iblis; ia enggan dan takabur/sombong dan adalah ia termasuk golongan makhluk
yang kafir.
Takabur atau kesombongan telah menggelapkan iblis untuk mengakui Adam sebagai makhluk Allah yang
juga harus dihormati. Ketika Allah mengeluarkan perintah sujud penghormatan tersebut lalu iblis
menyambutnya dengan penolakan, maka saat itulah iblis sedang mengingkari kebesaran Allah.
Iblis membesarkan diri di hadapan Dzat Yang Mahabesar. Ia hanya melihat kepada siapa ia hormat tapi tidak
mempertimbangkan dari siapa perintah hormat itu keluar.
Jamaah Rahimakumullah
Apa yang diperbuat iblis, bisa juga menimpa kita meski dalam skala dan konteks yang berbeda. Allah,
misalnya, telah memerintahkan kita memuliakan manusia (QS Al-Isra: 70) dan tidak merusak lingkungan (QS
Al-A’raf: 56). Saat kita berperilaku sebaliknya, maka sejatinya kita sedang meneladani jejak iblis yang
durhaka.
Kita hanya percaya akan keberadaan Allah tapi “tidak percaya” akan kebesaran dan kekuasan-Nya. Atau
mungkin percaya namun berhenti di mulut atau dalam kadar angan-angan belaka. Buah dari takbir adalah
mengecilkan diri sendiri untuk semata membesarkan Allah. Dampak lazim dari suasana batin ini adalah tidak
menganggap remeh hal-hal di luar dirinya karena menyadari bahwa semua ini tak lain adalah
hamba Allah rabbul ‘alamin.
Jamaah yang Dimuliakan Allah
Rasulullah pernah menegur sahabat yang mempermainkan anak burung hingga induknya merasa terganggu.
Sikap mengasihi binatang seperti ini hanya bisa dilakukan ketika seseorang tak lagi sibuk membandingkan
dirinya dengan binatang, tapi memandang lebih dalam: siapa yang menciptakan binatang. Itu pula yang
menjadi alasan mengapa Nabi begitu pemaaf dan murah hati terhadap orang-orang kafir yang pernah
memusuhi, bahkan berupaya membunuh beliau; dan kisah-kisah teladan lainnya.
Jamaah yang Berbahagia
Takbir Idul Fitri yang pernah dikumandangkan di awal Syawal seyogianya mengantarkan kita pada
introspeksi diri tentang sejauh mana membesarkan Allah, sejauh mana pula mengenal Dia.
Sebuah takbir yang melunakkan hati kita untuk senantiasa berbuat baik kepada siapa saja atau apa saja.
Dengan demikian, semoga takbir kita tidak hanya menggaung ke angkasa tapi juga membumi dalam wujud
cinta kepada sesama. Wallahu a’lam.

‫َات وَ ال ِذِّ ْك ِر ا ْل َح ِكي ِْم‬


ِ ‫آن ْال َك ِري ِْم وَ َن َف َعنِ ْي وَ ِإياا ُك ْم ِبمَا ِف ْي ِه ِمنَ ْاِلي‬
ِ ْ‫هللا لِ ْي وَ لَ ُك ْم ِفي ا ْلقُر‬
ُ َ‫بَارَ ك‬
‫َظ ْي َم‬ِ ‫هللا الع‬ َ ‫ وَ َأقُوْ ُل َقوْ ِلي َه َذا َفأسْ تَ ْغ ِف ُر‬،‫س ِميْعُ ْال َع ِل ْي ُم‬ ‫وَ تَ َقبا َل ِم ِِّني وَ ِم ْن ُك ْم ِت ََلوَ تَهُ ِإناهُ هُوَ ال ا‬
‫ِإناهُ ُهوَ ال َغفُوْ ُر ال ار ِح ْيم‬

Anda mungkin juga menyukai