Anda di halaman 1dari 10

Jñānasiddhânta

Jurnal Prodi Teologi Hindu STAHN Mpu Kuturan Singaraja

Estetika dan Religi Penggunaan Rerajahan


pada Masyarakat Bali
Oleh
I Made Gami Sandi Untara(1) & I Wayan Titra Gunawijaya(2)
(1)(2)
STAH Negeri Mpu Kuturan Singaraja
(1)
gamisandi@gmail.com, (2)wayantitragunawijaya@gmail.com

ABSTRACT
Rerajahan is Balinese Hindu culture as a local product of the genus of
Balinese Hindus. Hindus in Bali firmly believe that this rerajahan contains magic.
The magical powers that can be generated by the rerajahan are used for sacred
purposes, namely for things related to Hinduism which are called "Panca Yadnya".
in addition, rerajahan is also a very inspirational work of traditional art, and has
become a source of ideas for some Balinese artists in creating individual works. The
very expressive form of rerajahan with a variety of motifs which are stylized from
natural and fictional forms, is a work of art that is attractive and has high aesthetic
value, integrated with spiritual values. Balinese people consider rerajahan as a
religious, magical and mystical art object. In rerajahan, between religious values
and aesthetic values are present as one unit. Therefore, it is fitting that rerajahan be
called one of the single manifestations of art with religion. This research uses a
qualitative approach, in which the data in this study are collected through literature
studies related to the essence of Rerajahan, collecting libraries including books
related to Rerajahan. The data that has been collected is then reduced to determine
the appropriate data for analysis using the hermeneutic method

Keywords: rerajahan, religion, aesthetics


suci, dan gambar simbolis, yang dibuat
I. PENDAHULUAN oleh orang ahli dalam sastra agama
Rerajahan merupakan salah satu (pendeta) dan ahli ilmu sihir (dukun),
seni Religius bagi masyarakat Bali juga yang sekaligus memiliki kemampuan
tidak lepas dari konsep-konsep tersebut, dalam olah seni
terutama konsep rwa Bhineda. Dari Rerajahan pada hakekatnya
konsep itu dikenal dua jenis Rerajahan, merupakan kebudayaan Bali Hindu
yakni Rerajahan pengiwa (ilmu kiri/ sebagai suatu produk lokal geneus dari
negatif) dan Rerajahan penengen (ilmu umat Hindu suku Bali. Umat hindu di
kanan/positif) (Jaman S., 1999: 9). Bali sangat yakin bahwa
Rerajahan merupakan suatu suratan atau Rerajahantersebut mengandung magis.
tulisan dan tanda-tanda berupa gambar Kekuatan magis yang dapat ditimbulkan
yang dipakai sebagai jimat penolak bala oleh Rerajahan tersebut ada yang
atau membuat penyakit (Putra, 1987:43). digunakan untuk tujuan yang suci yaitu
Secara spiritual, Rerajahan berfungsi untuk hal-hal yang berhubungan agama
sebagai sarana ritual, penolak bala, ilmu Hindu yang disebut dengan “Panca
sihir, dan kekuatan pelindung diri. Yadnya”, ada juga yang digunakan
Sementara itu secara visual, Rerajahan untuk tujuan yang bertentangan dengan
adalah sebuah karya seni gambar atau dharma, biasanya disebut ilmu aliran kiri
lukis yang bersifat simbolis-magis (pengiwa), dan ilmu ini biasanya
(sakral). Wujud Rerajahan merupakan dikalahkan oleh (penengen) ilmu aliran
gabungan dari mantra-mantra, huruf kanan (Kardji, 2000; 9).

41
Jñānasiddhânta
Jurnal Prodi Teologi Hindu STAHN Mpu Kuturan Singaraja

Dalam sistem ritual Hindu kemudian direduksi untuk menentukan


banyak dikenal simbol-simbol yang data yang sesuai untuk dianalisis
disebut dengan yantra, dari yantra inilah menggunakan metode hermeneutika.
menimbulkan berbagai kekuatan magis Melalui metode hermeneutika ini data
yang Religius. Antara Rerajahan, tantra yang telah dikumpulkan kemudian
dan mantra memiliki suatu keterpaduan dianalisis melalui tahapan hermeneutika
yang sangat erat. Rerajahanakan tidak sehingga hasil analisis data diharapkan
ada artinya kalau tidak dipasupati dan merupakan data yang benar-benar
digerakkan oleh tenaga dalam yang objektif. Hasil analisis kritis terhadap
didorong oleh suatu keyakinan yang data disajikan dalam bentuk deskriptif-
dalam pula, maka Rerajahantersebut naratif.
akan menjadi gambar yang kosong dan
hanya mengandung estetika saja. III. PEMBAHASAN
Rerajahan yang ada di Bali 3.1 Rerajahan dalam konteks Religi
banyak sekali macam dan ragamnya, Dalam kaitan dengan Religi,
dari bentuk-bentuk yang sederhana Rerajahan merupakan simbol-simbol
sampai pada bentuk-bentuk yang rumit. yang bersifat mistis dan gaib. Sementara
Kalau kita kaji secara lebih mendalam dalam konteks seni rupa, Rerajahan
Rerajahanyang berupa titik saja sudah merupakan karya seni dengan goresan-
mengandung makna atau fungsi yang goresan ekspresif dan kaya akan variasi
cukup luas dan tidak lepas dari kekuatan bentuk yang aneh dan artistik.
atau kesaktian gaib. Pada jenis dan Penggabungan dari kedua unsur tersebut
bentuk Rerajahanyang ada, unsur-unsur menghasikan karya seni yang bersifat
seni rupa sangat memegang peranan magis, dengan fungsi utama sebagai
yang sangat penting sebagai simbol- sarana ritual. Hal demikian cukup wajar,
simbol seperti misalnya garis, bentuk, karena seni memang berpotensi memiliki
warna dan komposisi. Tujuan Utama fungsi seperti itu. Seperti dijelaskan
dari Rerajahanadalah bukan sebagai berikut:
penghias (estetika) belaka melainkan “Fungsi seni bila dipandang dari
untuk kepentingan Religius magis dan segi kegunaannya terbagi menjadi tujuh
spiritual (Jaman, 1999:20). yaitu: (1) memanggil kekuatan gaib, (2)
menjemput roh-roh baik, (3) menjemput
II. METODE PENELITIAN roh utuk hadir di tempat pemujaan, (4)
Penelitian ini menggunakan peringatan pada nenek moyang, (5)
pendekatan kualitatif, yang mana perlengkapan upacara sehubungan
termasuk dalam pendekatan kualitatif dengan saat-saat tertentu dalam putaran
filsafat kepustakaan. Rerajahan sebagai waktu (6) perlengkapan upacara denagn
kearifan juga aliran kepercayaan tingkat-tingkat hidup manusia, (7)
masyarakat Hindu Bali menjadi objek perwujudan daripada dorongan untuk
material dalam penelitian ini, yang mengungkapkan keindahan semesta”
kemudian dianalisis menggunakan (Sedyawati, 1981:51).
metode khas filsafat khususnya filsafat Keeratan hubungan seni dengan
ketuhanan sebagai objek formal. Data Religi dalam masyarakat Hindu Bali,
dalam kajian ini dikumpulkan melalui salah satunya termanifestasikan lewat
studi kepustakaan terkait inti dari bentuk Rerajahan. Rerajahan
Rerajahan, mengumpulkan pustaka- merupakan gabungan antara huruf-huruf
pustaka termasuk buku-buku terkait sakral (modre) dengan gambar-gambar
Rerajahan. Data yang telah dikumpulkan simbolis yang dihidupkan oleh kekuatan

42
Jñānasiddhânta
Jurnal Prodi Teologi Hindu STAHN Mpu Kuturan Singaraja

doa atau mantra, sehingga menimbulkan keduanya dibenturkan (tidak harmonis)


kekuatan magis (Windya, 2019). maka malapetaka akan terjadi.
Tentang hal itu, Wiana Motif-motif yang dilukiskan
meyebutkan, hurup (aksara) sakral yang dalam Rerajahan sangat bervariasi dan
dikenal dengan Aksara Modre, masing-masing mempunyai nilai
bermanfaat untuk menuliskan hal-hal simbolis berbeda. Demikian juga
yang bersifat magis, seperti tentang material yang digunakan sangat
kadyatmikan, Kelepasan, dan Japa bervariasi, seperti lempengan logam
Mantra. Aksara modre ada tiga macam (emas atau perak), kain kapan, daun
yaitu Aksara Lokanatha, Aksara Pati kelapa, daun lontar, kertas, dan
atau Panten dan Wijaksara. Aksara sebagainya. Gambar yang lazim
sakral ini dalam penggunaannya sering dilukiskan dalam Rerajahan, misalnya
dipadukan dengan gambar-gambar sakral dewa-dewi, raksasa, tapak dara,
yang disebut dengan Rerajahan. Oleh manusia, senjata nawa sanga, bunga
karena itu, bagi umat Hindu di Bali, (padma atau teratai), huruf
Rerajahan diyakini mengandung kekuata (Ongkara/Dasaksara), deformasi
magis. Kekuatan magis yang binatang atau manusia, bangunan suci,
ditimbulkan oleh Rerajahan itu ada yang dan benda-benda langit (Jaman, 1999).
digunakan untuk tujuan suci dan ada Dari beragam gambar dan huruf itu, pada
juga yang digunakan untuk tujuan yang dasarnya Rerajahan dapat dibagi
bertentangan dengan dharma (Wiana, menjadi tiga jenis yaitu: Rerajahan
1999:iii). berupa tulisan (kaligrafi Bali) yang
Agar Rerajahan menimbulkan merupakan kata-kata mengandung
kekuatan magis harus dipadukan dengan makna, sering disebut dengan mantra;
Mantra, Tantra, Yadnya dan Yoga. Rerajahan berupa gambar-gambar hayali
Rerajahan tidak akan memiliki kekuatan dari bentuk manusia, binatang,
gaib apapun jika tidak digerakkan oleh kombinasi bentuk manusia dengan
tenaga “dalam” atau tenaga bathin. binatang, dan tetumbuhan; dan
Tenaga tersebut timbul atau dihidupkan Rerajahan kombinasi dari bentuk
dari kekuatan tantra, mantra, yadnya dan gambar dengan tulisan indah, yakni
yoga, yang didasari oleh suatu keyakinan gambar merupakan wujudnya sedangkan
yang mendalam. tulisannya adalah isi atau kekuatan
Menurut Pandita Mpu Siwa- (Sudana, 2009:149).
Budha Dhaksa Dharmita (2005:43), Rerajahan memiliki beragam
bahwa masing-masing Rerajahan fungsi sesuai dengan tujuan yang
mempunyai fungsi yang berbeda, diinginkan dari sugesti Rerajahan itu.
sehingga dikenal jenis Rerajahan putih Misalnya, Rerajahan canting mas yang
dan Rerajahan selem (hitam). Rerajahan dibuat dalam kepingan emas serta
putih digunakan untuk melindungi diri dibungkus dengan kain putih, berfungsi
dan Rerajahan selem biasanya untuk untuk keteguhan dan penarik simpati;
menyakiti orang. Kedua entitas itu Rerajahan Siwer Mas juga ditulis dalam
(Rerajahan putih dan selem), merupakan kepingan emas atau perak, lalu
salah satu terjemahan dari konsep rwa dibungkus dengan kain putih,
bhineda, yakni pertemuan atau bermanfaat sebagai penangkal ilmu sihir
harmonisasi dua entitas berbeda yang seperti desti, teluh, tranjana (Kariarta,
melahirkan energi dan kedinamisan 2020). Sementara itu, Titib (2001: 481-
dalam hidup. Namun sebaliknya, apabila 483), mengidetifikasi fungsi Rerajahan
Bali menjadi beberapa kelompok, yakni:

43
Jñānasiddhânta
Jurnal Prodi Teologi Hindu STAHN Mpu Kuturan Singaraja

untuk mendapatkan kekuatan dan upacara (panca yadnya), yang kapasitas


perlindungan dari para Dewata, untuk penggunaanya sangat berbeda pada tiap
menyucirikan diri, untuk mendapat jenis yadnya (Sudana, 2009:150) Pada
simpati (pematuh), mencegah secara upacara pitra yadnya/ngaben
gaib hal-hal yang tak diinginkan, (pembakaran jenasah) misalnya,
menyerang balik pihak musuh, dan Rerajahan digunakan sebagai simbol
memeroleh kekuatan gaib. orang yang meninggal (diupacarai). Pada
Selama ini persepsi orang tentang saat itu Rerajahan dibuat di atas kayu
Rerajahan selalu dikaitkan dengan hal- cendana disebut pererai dan pada
hal yang negatif. Hal ini sangatlah wajar selembar kain yang disebut kajang,
karena sebagian besar figur yang kekasang, dan racadana. Bentuk yang
digambarkan pada Rerajahan sangat digambarkan berupa manusia, dilengkapi
aneh, angker, dan menyeramkan. dengan tulisan dari aksara Bali sebagai
Persepsi tersebut sangat wajar, karena penjelasannya. Pembuatan Rerajahan
orang yang bergelut dengan Rerajahan kajang disesuaikan dengan warga
lazimnya adalah orang “pintar” atau (soroh) orang yang meninggal.
dukun yang berperan ganda disebut Rerajahan Kajang merupakan
Balian Ngiwa-Nengen, yaitu menyakiti simbolisasi dari kendaraan roh yang
dan juga mengobati (Heriyanti, 2020). dipakai menuju alam nirwana.
Kemampuan seperti itulah yang sering Sementara itu, Kasang atau kekasang
dialamatkan pada para dukun atau adalah gambar Rerajahan yang ditulis di
“balian” dalam memanfaatkan atas kain putih persegi empat dalam
Rerajahan. bentuk senjata nawa sanga, sebagai
Sebagai jimat, Rerajahan simbol dari tempat duduk Bhatara Nawa
dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, Sanga. Sebelum digunakan, kekasang
baik untuk keselamatan maupun untuk dimantrai oleh seorang pendeta. Isi atau
mensugesti sesuatu, seperti penglaris, maksud mantra tersebut adalah
pesugihan dan sebagainya. Gambar memohon keselamatan dan karunia dari
Rerajahan untuk keperluan itu biasanya Dewata Nawa Sanga (Gunawijaya,
digoreskan pada lempengan tembaga 2020).
atau benda lainnya dibungkus dengan Selain itu, Rerajahan juga
kain kapan, kemudian diberikan mantra- difungsikan dalam pembuatan banten
mantra dengan sesajen secukupnya. (sesajen). Untuk kepentingan itu,
Sarana tersebut biasanya ditanam atau Rerajahan dilukiskan dalam berbagai
ditempatkan pada suatu tempat, dan ada bentuk, seperti garuda, padma, cakra,
juga yang selalu dibawa dengan dewa-dewi, atau senjata nawa sanga
menyisipkannya pada pakaian. yang dibuat secara utuh. Biasanya
Penempatan tersebut disesuaikan dengan Rerajahan itu diterapkan pada paso
fungsi atau sugesti yang diinginkan dari (tempayan), ngiyu (anyaman tempat
benda tersebut. Jadi tidak heran jika sesaji), bungkak (kelapa muda), sangku,
persepsi orang tentang Rerajahan lebih dan sebagainya. Sebuah ngiyu yang
banyak mengarah pada hal yang bersifat dilukisi Rerajahan burung garuda dan
negatif, walaupun esensi dari Rerajahan diisi beberapa elemen sesajen,
sebenarnya berkaitan dengan hal-hal keseluruhannya disebut Banten Pengesor
positif atau sarana suci pada ritual Surya. Sesajen ini dipakai di dalam
keagamaan (Sudana, 2009:150). semua ritual, asalkan memakai banten
Dalam pelaksanaan ritual, unsur “Catur” (sesajen untuk empat penjuru
Rerajahan dimanfatkan pada lima jenis mata angin). Garuda adalah kendaraan

44
Jñānasiddhânta
Jurnal Prodi Teologi Hindu STAHN Mpu Kuturan Singaraja

Dewa Wisnu sebagai lambang pengantar yang satu dengan yang lainnya tidak
sesajen tersebut kehadapan Tuhan menjadi keharusan. Realitasnya tidak
(Ginarsa, 1979:44). Di samping itu demikian dalam gejala kebudayaan,
banyak Rerajahan senjata nawa sanga justru keduanya sering tampak berkaitan
dilukiskan pada kain putih untuk secara bersamaan terutama pada upacara
kepentingan berbagai ritual keagamaan. keagamaan. Tidak ada ritual atau
Dalam hal ini, eksistensi Rerajahan upacara keagamaan yang tidak
selalu terjaga karena ada kaitannya dilaksanakan dalam bentuk simbol-
dengan kegiatan ritual keagamaan yang simbol ekspresif kehindahan
secara kontinu atau eksidental masih (Kebayantini, 2013:199).
dilakukan oleh masyarakat Bali. Konsepsi ide bentuk Rerajahan
merupakan suatu gagasan pemikiran
3.2 Estetika dalam Rerajahan dalam merancang timbulnya bermacam-
Di dalam agama Hindu terdapat macam bentuk Rerajahan yang nantinya
banyak elemen estetis (seni) yang dapat dipakai untuk kepentingan
berhubungan dengan kegiatan agama. hidupnya baik jasmani maupun rohani.
Nilai-nilai estetis dalam ajaran agama Agama Hindu dan Rerajahan
Hindu tampak pada karya sastra kawi mempunyai landasan yang sama yaitu
wiku Mpu Prapanca dalam kakawin sama- sama berlandaskan pada rasa.
Arjuna wiwaha. Menurut Read (2006: Oleh karena itu unsur Rerajahan selalu
297), bahwa ketika agama berbicara larut dalam upakara keagamaan maka
tentang masalah unsur-unsur ritualnya, nilai estetis bentuk disini adalah sangat
maka di situ tampak erat berkaitan tinggi dan menciptakan simbol-simbol
dengan seni. Seni dalam ritual agama suci dalam setiap upacara yadnya.
akan mendorong kesadaran Religiusitas.
Sebaliknya, pengalaman ritual agama 3.3 Fungsi Rerajahan pada
dapat membangkitkan pengalaman masyarakat Hindu Bali
estetis yang akan menghasilkan karya- a) Rerajahan sebagai Sarana
karya seni yang bersifat Religius. Bentuk Penolak Bala
Rerajahan secara umum adalah Bentuk Relegi yang tertua adalah
merupakan bentuk dewa-dewa, wong- berdasarkan keyakinan manusia akan
wongan/wayang, raksasa, binatang, kekuatan gaib dalam hal-hal yang luar
senjata, pepohonan dan aksara. Bentuk biasa dan yang menjadi sebab timbulnya
tersebut merupakan stilirisasi dari gejala-gejala yang tak dapat dilakukan
manusia berdasarkan imaginasi/kekuatan oleh manusia biasa (Kuntjaraningrat,
daya khayal yang merupakan bayang- 1980:60). Demikian juga halnya tentang
bayang dalam hidupnya dikala keberadaan Rerajahan dalam
mendekatkan diri kepada Tuhan Yang kebudayaan Bali yang dipergunakan
Maha Esa. Imaginasi tersebut kemudian sebagai penolak bala. Menurut Jaman
di gambarkan kedalam bentuk-bentuk (1999:24-38), ada beberapa jenis
simbol yang memiliki nilai Rerajahanyang digunakan sebagai
keindahan/estestika (Sutarwiyasa, penolak bala antara lain:
2014:186). a) Rehing Pacul :Rerajahanjenis ini
Menurut Kebayantini (2013), dirajah pada cangkul/tambah,
bahwa seni (kehindahan) dan agama tenggala dan lain-lainnya (semua
merupakan dua hal yang memiliki alat-alat pertanian). Tujuan utama
wilayah dan cara pemahaman yang dari Rerajahan tersebut adalah
berbeda adalah benar, artinya relevansi

45
Jñānasiddhânta
Jurnal Prodi Teologi Hindu STAHN Mpu Kuturan Singaraja

menolak panas angker di sawah dan (natah). Sanggar yang berisi


tegalan. Rerajahan tersebut perlu dibuatkan
b) Rerajahan Siwa Mimi :Dalam sesajen setiap hari. Sesajen yang
kehidupan sehari-hari banyak dimaksud adalah nasi kepel,
dijumpai bermacam-macam dagingnya bawang jahe dan
penyakit hantu/desti (sarwa garamnya garam hitam (tasik ireng).
merana), umumnya di daerah Fungsinya adalah sebagai penolak
pedesaan yang taraf pemikirannya jika terjadi gering gerubug,
masih terbelakang. Masih banyak tetempur leak wisesa, butha sakti,
dijumpai sifat rasa iri hati terhadap wisya mandi.
orang yang dianggap sudah mampu. f) Rerajahan Sang Hyang Gana Sari :
Maka untuk menjalankan rasa irinya fungsinya adalah sebagai pengasih
dipakailah ilmu hitam, supaya orang sarwa tetempur dan gerubug
tersebut bisa sakit/supaya rumah seluiring durjana, muang butha
tangganya kacau. Maka untuk dewa. Maksudnya adalah sebagai
menghindari hal tersebut dipakailah penolak dari semua jenis black
Rerajahan Siwa Mimi yang magic (leak) dan kalau ada
berkepala lima. Rerajahan tersebut kematian berturut-turut tanpa
dikelilingi dengan senjata seperti diketahui penyebabnya juga bisa
cakra, gada, naga pasa, dupa, keris, sebagai penolak butha dewa.
padma (catur dala), tri sula, dan Sarananya adalah kain kasa putih.
binatang naga pasa. Pemakaiannya adalah seperti
c) Rerajahan Kala Raja / Rajastra / memasang bendera dengan
Kala Mertiu : fungsinya adalah memakai tiang yang agak panjang.
sebagai penolak gering dan butha g) RerajahanTumbal : fungsinya
kala, penolak dari segala sesuatu adalah sebagai penolak karang yang
yang bersifat membahayakan sangat angker. Sarananya adalah
(mayanin), penolak sarwa wesya pelepah kelapa (papah nyuh).
dan sarwa baya (nyengkalen). Tempatnya adalah ditancapkan
Adapun sarana yang dipakai adalah dipekarangan yang angker tersebut.
kertas, setelah itu barulah dirajah
dan aksaranya memakai aksara b) Rerajahan sebagai Sarana
Dasa Bayu. Kekebalan
d) Rerajahan Tumbal Tungguh : Rerajahan kekebalan sangat
Fungsinya adalah sebagai penolak banyak terdapat di dalam lontar Nawa
kalau ada orang mempunyai niat Kenda dan banyak pula diulas pada
jahat/tidak baik. Dengan adanya bukunya C. Hooykaas yang berjudul :
Rerajahan tumbal tangguh maka “Tovenarij of Bali Magiche
niat jahat bisa hilang. Sarana adalah Tekeningen”. Berdasarkan kedua sumber
kertas dan tempatnya diatas pintu tersebut, jenis-jenis Rerajahan untuk
masuk (ring luur kori). sarana kekebalan yaitu:
e) Rerajahan Butha Maya : fungsinya a) Rerajahan Sang Hyang Ganda Pati
adalah sebagai penjaga rumah :Rerajahanini fungsinya adalah
(pengijeng karang perumahan). sebagai penyelamat jiwa (pengemit
Sarananya adalah tembaga. jiwa/atma raksa).
Rerajahanini tempatnya pada b) Rerajahan Sang Hyang Aji Kretek
sanggar beratap ijuk kemudian :Rerajahanini fungsinya adalah
ditancapkan pada halaman rumah untuk jimat (anggen jimat).

46
Jñānasiddhânta
Jurnal Prodi Teologi Hindu STAHN Mpu Kuturan Singaraja

Maksudnya adalah bisa dipakai hilang (pengeraksa jiwa).


sebagai alat kekebalan didalam Sarananya bebas.
peperangan, jadi wasiat dari Rerajahanyang memakai sarana sedah
Rerajahanadalah kebal (teguh) temu rose (sirih yang seratnya sama):
terhadap segala macam senjata. fungsinya adalah penjaga jiwa waktu
c) Rerajahan Sang Hyang Raja malam hari dan waktu bepergian. Cara
Pemalah Maha Wisesa : Fungsinya penggunaannya adalah sirih yang sudah
adalah sebagai kekebalan dirajah dikunyah kemudian
(keteguhan). disemburkan.
d) Rerajahan Sang Hyang Puja Musti :
Fungsinya adalah sebagai pengemit c) Rerajahan sebagai Sarana White
jiwa. Sarananya dirajah pada emas, Magic (Penengen)
selaka dan tembaga. Cara Yang dimaksud dengan
penggunaanya dipakai sebagai ikat Rerajahan white magic adalah kekuatan
pinggang (sabuk). gaib ilmu putih yang biasa disebut aliran
e) Rerajahan Sang Hyang Rama kanan (penengen). Fungsinya adalah
Wijaya : Fungsinya adalah untuk untuk kebaikan dan kebenaran. Jadi
kekebalan dalam peperangan (tan white magic adalah merupakan
kenen baya ring payudan), kebalikan dari black magic. Hal ini
maksudnya adalah apabila terbukti bahwa di dunia tidak terlepas
Rerajahanini dipakai dalam dari rwa bineda (baik buruk, laki
peperangan maka segala bahaya perempuan, siang malam dan kebaikan
akan dapat dihindari, sarananya kejahatan akan selalu berdampingan).
bebas. Dengan demikian kiranya pengiwa dan
f) Rerajahan Sang Hyang Mandi penengen tersebut selalu ada diseluruh
Raksa : Fungsinya adalah pelosok penjuru dunia, yaitu dimanapun
bahwasanya musuh kita yang ada kehidupan serta manusia-manusia itu
curang ingin membahayakan di mengenal baik dan buruk, jahat dan tidak
waktu tidur, jadi untuk mengatasi jahat (Kardji, 2000 : 37).
masalah ini dipakailah Menurut Koentjaraningrat (1980
Rerajahanpenjaga jiwa (pengemit : 62-63), bahwa manusia primitive atau
jiwa) pada waktu tidur. manusia jaman kuno itu pada umumnya
g) Rerajahan Sang Hyang Wisnu yakin akan ada suatu zat halus yang
Murti kalih Cakra Sudarsana : memberi kekuatan hidup dan gerak
fungsinya adalah sebagai penjaga kepada banyak hal didalam alam semesta
jiwa (pengemit jiwa/raga), ini. Zat halus yang disebut zielestof itu
maksudnya supaya tubuh tetap terutama ada dalam beberapa bagian
kebal. Sarananya bebas. tubuh manusia, binatang dan tumbuh-
h) Rerajahan Sang Hyang Ayu : tumbuhan. Kalau dikaitkan dengan
fungsinya adalah untuk kekebalan keberadaan Rerajahan dalam kehidupan
(keteguhan) diwaktu perang. Jika masyarakat di Bali maka hal tersebut
memakai Rerajahan ini bisa banyak kita jumpa pada jenis dan bentuk
mengakibatkan musuh menjadi Rerajahanyang dipakai sebagai sarana
lemah dan kalah. Sarananya bebas. white magic seperti misalnya sebagai
i) Rerajahan Sang Hyang Acintya : berikut :
Funginya adalah supaya badan tetap a) Rerajahan Sang Hyang Karana :
selamat dan segala rintangan akan fungsi dari Rerajahanini adalah
sebagai penerang (mencegah agar

47
Jñānasiddhânta
Jurnal Prodi Teologi Hindu STAHN Mpu Kuturan Singaraja

hujan tidak turun). Penerangan musuh dalam keadaan buta dan tuli
dilakukan dengan jalan melakukan maka niat jahat akan menjadi
doa atau berdoa kehadapan Tuhan hilang dan musuh dengan mudah
Yang Maha Esa. dapat dikalahkan.
b) Rerajahan Sang Hyang Resi Purwa Rerajahan Tatulak Tangguh : Fungsinya
Mandawa : fungsi dari Rerajahanini adalah sebagai penolak tujuh teluh
adalah pemunah dari guna-guna. tranggana maksudnya adalah sebagai
Guna-guna adalah niat jahat/tidak pemunah desti/leak yang amat sakti.
baik terhadap orang lain, misalnya Sarana yang dipakai untuk adalah
dari tidak suka menjadi suka, dari peripih selaka.
benci menjadi sayang dan yang
lainnya. Maka untuk mengatasi hal- d) Rerajahan sebagai Sarana Black
hal yang demikian dibuatlah penolak Magic (Pengiwa)
untuk mengalahkan guna-guna Yang dimaksud dengan black
tersebut. Sarananya adalah bebas, magic adalah ilmu hitam yang
sedangkan penempatannya dihulu mempunyai kekuatan gaib dan biasa
tempat tidur (ring damping mesare). disebut dengan aliran kiri atau kiwa.
c) Rerajahan Sang Hyang Taya Suksma Kalau diterjemahkan secara harfiah kata
Maya : fungsinya dipergunakan “kiwa” (alus) kebot/kedel (kasar), berarti
untuk menolak atau menyembuhkan “kiri” dalam bahasa Indonesia. Akan
penyakit keras yang tak bisa tetapi dalam hubungan kebudayaan dan
disembuhkan dengan segala macam kepercayaan orang Bali, mengandung
obat-obatan (penolak gering tan makna yang sangat luas (Kardji,
kenen tinamban). 2000.17). Fungsinya untuk kejahatan
d) Rerajahan Sang Hyang Meneng : sebagai lawan dari kebaikan yang selalu
dapat dipergunakan pada waktu bertentangan dengan kehidupan sehari-
menjalankan tugas perang. hari di masyarakat. Meskipun
Fungsinya adalah supaya tidak demikianRerajahanini masih banyak
dilihat oleh semua musuh (tan orang yang memaanfaatkarmya. (Kardji,
mawas dening satru kabeh). 2000:58), menyatakan bahwa ilmu
Sarananya adalah bebas. pengiwa terdiri dari berbagai sarana
e) Rerajahan Brare ini sejenis pengeleakan yaitu :
Rerajahanyang biasa dipakai penjaga a) Pengasren : adalah cabang ilmu
bumi (pengeraksa rat/jagat) dan bisa pengiwa yang mampu membuat
dipakai sebagai penolak mala, desti pemakainya lebih cantik.
dan leak. Sarananya adalah buah b) Pengeger : tujuannya agar
bungsil merajah brare. Tempatnya pemakainya laris pada waktu
ditanam di tanah, kalau dipakai berjualan atau melakukan kegiatan
penolak desti dan leak, ditanam di ekonomi.
bawah tempat tidur orang yang sakit. c) Pengasih-asih : tujuannya membuat
Rerajahanini perlu disiram dengan orang yang diminati cepat jatuh
air setiap hari. cinta. Pengasih-asih dilakukan
f) Rerajahan Sang Hyang Uta Tuli : dengan sarana guna-guna. Orang
Fungsinya adalah untuk dipakai Bali mengenal beberapa jenis guna-
dalam peperangan terhadap orang- guna yaitu :guna lilit, guna tungtung
orang yang berniat jahat. tangis dan guna jaran guyang.
Rerajahanini menyebabkan musuh d) Penangkep : tujuannya membuat
menjadi buta dan tuli. Oleh karena orang tunduk.

48
Jñānasiddhânta
Jurnal Prodi Teologi Hindu STAHN Mpu Kuturan Singaraja

Disamping hal tersebut diatas mengandung magis. Kekuatan magis


masih banyak cabang ilmu pengiwa yang yang dapat ditimbulkan oleh rerajahan
lain seperti :pengeleakan, pepasangan, tersebut ada yang digunakan untuk
sesawangan, cetik (Kardji, 2000, 60-68). tujuan yang suci yaitu untuk hal-hal
Menurut C. Hooykaas (1980-57-80), yang berhubungan agama Hindu yang
terdapat beberapa Rerajahan yang disebut dengan “Panca Yadnya”,ada
dipakai sebagai sarana dalam black juga yang digunakan untuk tujuan yang
magic: bertentangan dengan dharma, biasanya
a) Rerajahan Paingkup Agung disebut ilmu aliran kiri (pengiwa), dan
:Rerajahanini adalah sejenis ilmu ini biasanya dikalahkan oleh
pematuh yang dipakai sebagai (penengen) ilmu aliran kanan.
pengasih-asih. Maksudnya adalah Di samping itu, rerajahan juga
kalau ingin menghendaki sesuatu merupakan sebuah karya seni rupa
terhadap orang lain yang semestinya tradisional yang sangat inspiratif, dan
tidak dikasi, karena pengaruh magic menjadi sumber ide bagi sebagian
dari Rerajahanitu pasti akan seniman Bali dalam menciptakan karya-
diberikan. Jadi disini menyebabkan karya individu. Bentuk rerajahan yang
tingkah laku seseorang menjadi sangat ekspresif dengan variasi motif
terbalik, dimana semula niatnya jahat yang distilisasi dari bentuk-bentuk alami
menjadi baik, benci menjadi dan bentuk khayali itu, merupakan karya
kasih/cinta dan senang jika memang seni yang menarik dan bernilai estetika
itu yang dikehendaki. tinggi, terpadu dengan nilai-nilai
b) Rerajahan Sang Hyang Maya Tan spiritual. yang religius, magis, dan
Katon : fungsinya bisa digunakan mistis. Pada rerajahan, antara nilai religi
untuk maya-maya (bisa tidak dengan nilai estetik hadir menjadi satu
kelihatan dan bisa kelihatan). kesatuan. Oleh karena itu, layak kiranya
Rerajahanini biasanya dipakai untuk jika rerajahan disebut sebagai salah satu
melengkapi manifestasi manunggalnya estestika
teluh/pedestrian/pengeleakan. dengan religi.
c) Rerajahan Pasewakan : sarananya
adalah sedah semu rose (daun sirih DAFTARA PUSTAKA
yang uratnya sama atau simetris dan Dibia, I.W.(2006). Nilai-nilai Estetika
ujungnya ketemu). Fungsinya adalah Hindu dalam Kesenian Bali” dalam
agar pembicaraan pada waktu Estetika Hindu dalam
upacara peminangan seorang gadis Pembangunan. Denpasar : PT.
(ngeluku) bisa berjalan dengan Mabhakti.
lancer. Caranya sirih yang sudah Djelantik, A.A.M. (1999). Estetika
dirajah dikunyah atau dimakan Sebuah Pengantar. Bandung:
(dikinang) didepan orang yang diajak Masyarakat Seni Pertunjukan
berbicara atau didepan acara Indonesia.
peminangan. Dharmita, P. M. S.-B. D. (2005).
Meditasi Adhiyatmika. Surabaya:
IV. KESIMPULAN Paramita
Rerajahan merupakan Gunawijaya, I. W. T., & Putra, A. A.
kebudayaan Bali Hindu sebagai suatu (2020). Makna Filosofis Upacara
produk lokal geneus dari umat Hindu Metatah dalam Lontar Eka
suku Bali. Umat hindu di Bali sangat
Prathama. Vidya Darśan: Jurnal
yakin bahwa rerajahan tersebut
Mahasiswa Filsafat Hindu, 1(1).

49
Jñānasiddhânta
Jurnal Prodi Teologi Hindu STAHN Mpu Kuturan Singaraja

Heriyanti, K. (2020). Keutamaan Api


Sebagai Simbol Dewa Agni Dalam
Aktivitas Ritual Keagamaan Umat
Hindu. Jñānasiddhânta: Jurnal
Teologi Hindu, 2(1).
Jaman S., I. G. (1999). Fungsi dan
Manfaat Rerajahan dalam
Kehidupan. Surabaya: Paramita.
Kariarta, I. W. (2020). Paradigma
Materialisme Dialektis di Era
Milenial. Sanjiwani: Jurnal
Filsafat, 11(1), 71-81.
Karja, I. W. (2003). “Seni Abstrak dan
Budaya Tradisional”dalam Rupa;
Jurnal Ilmiah Seni Rupa Vol. 2 No.
1. Denpasar: STSI Denpasar
Kardji, I. W. (2000). Ilmu Hitam dari
Bali. Denpasar : Bali Madia Adhi
Karsa.
Kebayantini, N.L.N. (2013).
Komodifikasi Upacara Ngaben di
Bali. Surabaya: Paramita.
Koentjaraningrat.(1980). Kebudayaan
Mentalitas dan Pembangunan.
Jakarta : Gramedia
Putra, N. A.A. (1987). “Konsep Rwa
Bhineda Pada Masyarakat Hindu
Dharma di Bali; kontinuitas dan
Perubahannya”. Yogyakarta:, UGM
Sedyawati, E.(1981).Pertumbuhan Seni
Pertunjukan. Jakarta: Sinar Harapan
Sedyawati, E. (1992). “Seni: Mula
Jadinya di Masa Lalu”. Yogyakarta:
Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan
Seni Edisi Khusus Okteber.
Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta.
Windya, I. M. (2019). Konsep Teologi
Hindu dalam
Tattwajñāna. Jñānasiddhânta:
Jurnal Teologi Hindu, 1(1).

50

Anda mungkin juga menyukai