Anda di halaman 1dari 162

Tabuh Tak Tabu

1
2
Tabuh Tak Tabu
Editor:
Rizka Nur Laily Muallifa
Satya Adhi

3
Tabuh Tak Tabu
Hak Cipta© tiap penulis

Kurator
Hanputro Widyono
Indah Darmastuti
Na’imatur Rofiqoh
Rizka Nur Laily Muallifa
Satya Adhi

Editor
Rizka Nur Laily Muallifa
Satya Adhi

Perancang Sampul dan Penata Letak


Na’imatur Rofiqoh

Cetakan 1: Agustus 2018

Diterbitkan oleh
International Gamelan Festival 2018

Ilustrasi sampul: Dancer and Gamelan Orchestra


oleh Isaac Israels (1865-1934), diunduh dari www.christies.com

4
Daftar Isi

Pengantar: Enggan Tertuduh 7

Cerita Pendek
Mencari Parmin - Udiarti | 11
Perempuan Penabuh Gender - Impian Nopitasari | 18
Gong di Balik Bulan - Adi Putra Purnomo | 26
Bakri dan Telinganya - Nisa’Ul’Afifah | 34
Gending Gendeng Gong - Yuditeha | 40
Ngaliman Si Pengrawit - Angelina Enny | 46

Puisi
Juru Demung - Rizki Amir | 53
Kenong yang Berlari - Rizki Amir | 54
Gamelan, Gendhing Masa Lalu - Seruni Unie | 55
Laras Mengadeg - Eko Setyawan | 57
Gara-gara Cahaya - Silvia Haryati | 59
Membaca Karawitan - Budhi Setyawan | 60
Pujakesuma - Dhani Lahire Awan | 62
Gamelan Digul - Rizki Andika | 64
5
Esai
Tetabuhan Selapan Dina Sepisan - Ichwan Prasetyo | 67
Nang Ning Nung Gung: Gamelan dan Kesakralan Seni
Tradisional - Erliyani Manik | 74
Gong Tanpa Gending - Tika Istiyanti K | 85
Hiphop, K-pop, dan Gamelan di Era Digital - Iswan Heri | 90
Jarak Tak Terukur Lewat Gulungan Pita - Yessita Dewi | 96
Sekaten, Gender, dan Orang Desa - Puitri Hati Ningsih | 104
Gamelan dan Kehadiran - Udji Kayang Aditya S. | 109
Menjadi Pengrawit - Esthi Nimita | 114
Gamelan Ki Pembayun - Rommi Mardian Rakhmawan | 119

Reportase
Gamelan Meriwayat Kuasa - Satya Adhi | 125
Jiwa Sehalus Gending Gamelan - Dian Erviana | 136
Pasinaon Omah Kendeng Astuti Parengkuh | 146

Penutup: Gamelan, Sastra, Bhinneka 153


Para Penulis 157

6
Pengantar
Enggan Tertuduh
Jelang Agustus, titik-titik strategis di ragam jalanan Solo merupa
etalase. Selain persiapan menuju perayaan ulang tahun negara, iklan-
iklan produk rokok pula kecantikan menabrak mata. Kita dapati media
publikasi ragam ukuran mengabarkan Solo sebagai “kota rumahnya
gamelan”—kita meragu pengiklan sempat melakukan diskusi serius
soal gramatika “kota rumahnya” dengan Balai Bahasa Jawa Tengah.
Ragam publikasi bermaksud mengantar khalayak yang melintas pada
pintu sebuah helatan akbar.
Bukan hanya konon, pada 9 sampai 16 Agustus, gamelan
dipentaskan di berbagai tempat di Solo. Menyebut di antaranya,
Institut Seni Indonesia (ISI) Solo, sepanjang jalan Slamet Riyadi,
dan Balai Soedjatmoko. Helatan berjuluk agung International
Gamelan Festival (IGF) enggan tertuduh hanya sebatas penghadiran
seperangkat gamelan ke haribaan publik internasional. Beragam
divisi dibentuk. Divisi Sastra salah satunya.
Kehadiran ragam divisi bermaksud menghadirkan citra festival
yang tak sekadar haus antusiasme khalayak penonton sebagai objek
pasif, pindah dari satu tempat ke tempat lain sebagai penonton dan
pendengar menyaksikan gamelan ditabuh. Maka, panitia bertekad
menggelar diskusi-diskusi melibatkan khalayak. Ada pelibatan
khalayak secara fisik dan intelektual. Begitulah mula kehadiran Divisi
Sastra.
Bekerjasama dengan Komunitas Sastra Pawon dan Bentara
Muda Solo, buku Tabuh Tak Tabu jadi proyek paling masyhur
dalam kerja Divisi Sastra IGF. Sebagai mula, kami membikin janji

7
pertemuan untuk sinau nulis hal ihwal gamelan. Sinau bertempat di
Balai Soedjatmoko dan dihadiri sekira 20 peserta dari beragam latar
belakang. Sedikit sahaja yang punya pengetahuan mumpuni perkara
gamelan, lebih banyak yang datang berbekal kebingungan. Sinau
bermaksud menghadirkan gamelan dalam pikiran dan raga para
peserta. Pascangobrol, kami semua menulis. Hasil menulis di tempat
itu sempat kami obrolkan. Masukan berbalut makian tak jarang turut
dalam obrolan mendiskusikan hasil tulisan. Tapi kami senang!
Ajakan sinau dibarengi undangan terbuka mengajak siapa saja
turut mengirim tulisan bertema gamelan. Tenggat 29 Juli 2018. Ada
52 tulisan yang masuk ke surel tepat di hari terakhir pengumpulan.
Sampai tulisan ini dibuat, surel kami masih menerima kiriman
beberapa tulisan lagi. Tapi 52 tulisan yang terdiri dari cerpen,
puisi, esai, reportase, dan biografi itulah yang kami putuskan musti
menghadapi sidang. Tim kurator yang terdiri dari Indah Darmastuti,
Na’imatur Rofiqoh, Satya Adhi, Hanputro Widyono, dan Rizka Nur
Laily Muallifa menghadapi tulisan-tulisan berkawan martabak telur
dan biskuit gandum.
Di ruangan dingin Balai Soedjatmoko, satu per satu tulisan kami
baca untuk kemudian diperdebatkan. Sebagai tim, kami tak selalu
sependapat. Kami sering berdebat memperkarakan ide, bahasa, dan
hal-hal kecil lain dalam sebuah tulisan. Untuk itulah proses kurasi
mengharuskan kami semua bertemu di satu tempat. Hampir tengah
malam, tim kurator bermufakat memilih 26 tulisan: 6 cerpen, 8 puisi,
9 esai, dan 3 reportase.
Tabuh Tak Tabu akhirnya ialah kebahagiaan bagi para penulis,
Divisi Sastra IGF sekaligus tim kurator, dan semoga bagi orang-
orang yang membaca hasil kerja kecil kami. Tsah!

Solo, 3 Agustus 2018


Kurator
8
CERITA PENDEK

9
10
Mencari Parmin
Udiarti

N joto membalik-balik lembar demi lembar. Sampai


halaman terakhir. Bahkan indeks ia jelajahi satu per
satu. Tak ketemu juga. Sampul depan dan belakang ia tatap
terus menerus. Tak ketemu!
“Di mana si brengsek itu meletakan namanya, sih?” Njoto
mengumpat, sesekali meludah. Ia tutup buku itu. Tak berguna.
“Orang bodoh ini kenapa tidak menulis apapun tentang
dirinya? Goblok.” Njoto mengoceh lagi. Ia banting buku.
Pergi.
Langkahnya kini santai. Setengah menyerah. Rokok
di kantung celana ia ambil, sebatang ia hidupkan. Dihisap,
dikebulkan, ke langit, tanpa batas ia memandang langit siang itu
begitu busuk. Jakarta sungguh busuk, gemingnya. Hari Sabtu,
ini jadwalnya bercinta dengan Mariana. Ia sudah siapkan satu
puisi untuk Mariana baca di depannya. Sebelum bercinta. Puisi
Hendrik Marsman yang telah ia terjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia, masuk ke dalam saku kemeja. Oleh-oleh untuk
Mariana, Pelacur Kekasih.
11
Di atas motor yang melaju menyusur hal-hal yang tidak romantis
di jalanan Ibu Kota, dengan rokok di bibir dan sesekali menggantung
di celah jemari. Njoto terkenang suara itu lagi. Klenengan biadab!
Suara gamelan yang muak di telinganya. Asu benar! Ia mengumpat
dalam hati. Jauh-jauh ia menumpang hidup di Jakarta, minggat
dari Surakarta hanya untuk meninggalkan suara-suara gamelan itu,
tapi nada-nada pelog slendro sudah menggantung di sisi gendang
telinganya. Menyayat-nyayat sampai malam tiba. Sampai hening
menemukan tubuhnya gemetar di ranjang sendirian. Sialan, ia
teringat Sri.
“Modar sajalah si Sri itu. Mengacau saja kerjaannya.” Gumam
Njoto.
Di Surakarta, Njoto adalah seorang yang rajin mengintip
kamar ganti penari Wayang Orang Sriwedari. Ada satu perempuan
memabukkan baginya. Sri namanya, Sri Maria kepanjangannya.
Punya masa lalu busuk tentang orang tuanya. Terobsesi dengan
gamelan Jawa yang hanya akan merdu ketika dimainkan bersamaan.
Ayahnya abdi dalem keraton. Berteman dekat dengan seseorang
bernama Pontjopengrawit, ia legenda dalam dunia gamelan Jawa,
ayah Sri tidak, hanya laki-laki abdi dalem keraton biasa.
Njoto dan Sri berpacaran, setelah kemban Sri berhasil diplorotkan
di dalam kamar mandi Sriwedari yang sempit dan gelap. Dikenyot
buah dada itu dan Njoto mulai gila. Tapi Sri tak mau menyerah, ia
menantang kekasihnya. Ayah Sri hilang setelah '65, tentu saja. Ayah
Sri yang mengikuti jejak Sang Legenda Pontjopengrawit, berjuang
menentang kolonialisme dan harus diasingkan di Tanah Merah
Digul. Berhasil membantu Sang Legenda membuat seperangkat
alat gamelan dari perkakas-perkakas dapur di pengasingan. Lalu
dikembalikan lagi di sisi keluarga masing-masing. Tapi mengikuti jejak
Pontjopengrawit adalah sebuah pilihan hidup yang berani sekaligus

12
bunuh diri. Turut serta dalam partai politik kiri, siapa lagi jika bukan
PKI, membuat mereka didepak dari keraton. Dipenjara, dan entah
diperlakukan bagaimana. Sri gamang, kisah Pontjopengrawit tertulis
di buku sejarah, tapi ayahnya tidak. Sedang barangkali, tepat di tahun
ayahnya menghilang, Sri lahir ditinggal mati ibunya.
Njoto trenyuh, sedih, punya cita-cita untuk menemukan nama
ayah Sri di buku sejarah gamelan di Indonesia, seperti tantangan Sri
untuknya. Tapi tak ketemu! Dia mondar-mandir di Radya Pustaka
Solo dan perpustakaan daerah. Tak ketemu juga! Ia marah. Sri Maria
tak mau ketemu Njoto lagi, ia baru mau ketemu jika sejarah ayahnya
yang bernama Parmin ini diketemukan dalam buku sejarah gamelan
di Indonesia. Njoto yang malang.
Njoto tinggal di daerah Kemlayan yang sialnya di situlah
ada tempat yang sering digunakan untuk latihan karawitan.
Telinganya mengingat desah mungil dari bibir Sri. Dan candu itu
makin membunuhnya. Orang-orang yang tak mengerti tentang
gamelan, mendengar suaranya di malam hari akan merasa takut,
merinding dan menghubungkannya dengan klenik, mistis, atau lebih
parahnya, santet. Tapi Njoto tidak, mendengar suara gamelan berarti
membangkitkan berahi seksualnya, ingin bercinta, ingin menuntaskan
hasrat kemanusiaannya. Tapi dengan Sri, sialnya Sri tak mau lagi.
Njoto pun minggat ke Jakarta, melamar sebagai wartawan harian di
salah satu media massa Ibukota. Bolak balik mencari berita, yang ia
dapat melulu politik simpang siur. Ia bosan.
Lantas bertemu dengan Mariana bergaun biru di rumah makan
cina. Berkenalan mereka, jatuh cinta Njoto pada tubuhnya, bergumul
mereka di kasur indekos Mariana. Dan Njoto, agar terlihat keren,
menyuruh Mariana membaca puisi sebelum mereka bercinta. Sungguh
surga baginya. Tapi sial selalu merenggut kesunyian bercintanya
yang agung. Ia dipindahkan untuk meliput berita-berita budaya,

13
harus bolak-balik ke TMII dan mendengar suara menyebalkan yang
sungguh ia kutuk sedari dulu. Macam Sri mengikuti dan mengingatkan
janjinya sampai mati.
Mendadak ia ingin jadi pengikut Pontjopengrawit saja.
Memusuhi Belanda dan jadi gundik komunis di Indonesia. Ditangkap
lalu dibunuh, ia akan menulis dulu hari-harinya sebelum peluru
melubangi kepalanya. Tak perlu ia ketemu Sri dan ketakutan pada
bunyi gamelan Jawa.
Ia selalu bangkit pada siang-siangnya di tengah luang mencari
berita. Ke perpustakaan mana pun di Jakarta. Mengobrak abrik segala
buku tentang gamelan. Tentu masih untuk mencari nama Parmin. Tak
pernah ketemu, hanya nama Pontjopengrawit yang disebut dengan
perjuangannya yang akhirnya dibunuh militer Orba, beruntung
seperangkat gamelan buatannya yang ditinggal di Digul diboyong
semua ke Archive of the School of Music di Australia sana. Sebuah
kebanggaan bangsa Indonesia. Sayang, penciptanya dibunuh bangsa
sendiri. Ya maklum-maklum saja, toh sejarah diciptakan pula bukan
untuk mencatat kebenaran, tapi untuk kepentingan masa depan suatu
kelompok.
Njoto tak habis pikir kenapa mantan kekasihnya, si Sri itu, begitu
yakin ayahnya akan tertulis di buku sejarah, membawa gamelan dan
namanya dipuja-puja. Nyatanya tidak, tak ditemukan satu pun arsip
tentang Parmin. Sri bercerita, Parmin bertugas memegang kendali
pada kempul. Sambil menutup mata saja Parmin bisa membunyikan
kempulnya dengan benar. Lalu Njoto nyaris tersedak ketika ia tahu
bagaimana cara memainkan alat musik kempul. Dipukul sesekali
namun dinamis pada jalur nadanya, mleset sekali jadi rancu! Tapi,
dengan cara macam itu, memang pemegang kempul selalu bisa
memainkannya dengan cara menutup mata. Karena yang dibutuhkan
adalah kepekaan telinga untuk mengikuti susunan nada. Mata tak

14
perlu repot melongok-longok pada kertas nada. Apa menariknya?
Tapi seandainya, pemain kempul tak ada, kumpulan instrumen
lainnya tak bisa didengar lengkap. Tetap rancu! Ahh tidak tahu!
Njoto mengumpat lagi. Perjalanannya menuju Mariana terasa lebih
jauh. Ditambah kepalanya pusing mendengar suara gamelan. Njoto
berhenti sebentar di tepi jalan. Ia mengambil kertas yang bertuliskan
puisi Hendrik Marsman oleh-oleh untuk Mariana. Ia baca sebentar.

Pelayaran
Kapal sepi dan hitam
Berlayar di malam larut
Lintas gelap, hebat dan geram
Menyongsong maut, maut

“Barangkali Parmin dan Pontjopengrawit merasakan apa yang


ditulis Marsman. Gila benar, mau-maunya menyongsong maut.”
Katanya setelah membaca satu bait.

Aku jauh di lambung, mengerang


Kelu dan ngeri dan sepi
Dan kutangisi daratan cerah
Yang tenggelam di kaki langit
Dan kutangisi daratan gelap
Yang timbul di kaki langit

“Juga mereka berdua tengah menangisi negara ini. Malang


kalian berdua. Bahkan embel-embel abdi dalem keraton saja tak
bisa melindungi nyawa kalian. Semua eks tapol Digul diciduk dan
dijebloskan ke penjara dengan tuduhan masih setia pada komunis. Ya
ya.” Njoto bersungut, melipat kertas itu dan memasukan kembali ke

15
dalam saku kemeja. Melaju lagi menuju Mariana.
“Ahh kenapa aku bisa gila begini.” Njoto makin kesal.
Ia teringat bagaimana Sri bercerita tentang keadaan jiwa Parmin
ketika dipenjara di Digul. Sebal, takut, marah dan sedih menyatu.
Tak tahu harus dilimpahkan ke siapa. Sedang istri tercintanya masih
di Sala, mengandung buah hati darinya. Tapi Sri tak pernah tahu
bagaimana keadaan jiwa Parmin ketika diboyong oleh pemberantas
PKI di tahun '65. Mungkin Parmin sudah siap. Tapi mungkin juga
tak terima, ia adalah seniman, ia punya tugas. Tugas seniman adalah
menyusun apa yang sudah ada dari Tuhan untuk jadi sesuatu hal
yang indah dan dapat dinikmati manusia. Jadilah nada-nada yang
mengalun dari gamelan terutama kempul yang ia kendalikan.
Njoto akhirnya sampai di indekos Mariana. Ia benahi kemeja
lengan pendeknya. Warna biru tua juga kali ini. Rokoknya ia ambil,
merokok dululah ia sebelum menemui Mariana di dalam kamar. Satu
batang selesai. Anjing, umpatnya. Suara gamelan, kali ini ia hafal.
Ini adalah nada-nada yang mengiringi Tari Gambyong. Sialnya
suara itu berasal dari kamar yang ia kenali. Kamar Mariana, yang di
depan pintunya ada sebuah tempelan kertas bertuliskan “Mampus
kau dikoyak-koyak sepi!”. Salah satu kalimat dari puisi Chairil
Anwar kesukaan Njoto. Tak berani ia mendekat ke pintu itu. Takut
menerima kenyataan bahwa suara gamelan itu memang berasal dari
kamar Pelacur Kekasihnya.
Njoto mengambil rokok lagi, yang kedua, merokok dengan
kepanikan. Matanya berputar-putar mengintai sekitar. Berjaga
adakah yang aneh dalam pemandangan sekitar kamar Mariana. Tak
ada, hanya ada pot bunga sedap malam kesukaan Mariana. Ia harus
tahu apa yang ada di dalam kamar itu. Ia harus memaksakan diri
untuk mengetuk pintu. Pintu diketuk. Dua kali, tiga kali, empat kali.
Tak ada yang beranjak. Suara gamelan masih terdengar dari kamar

16
Mariana. Njoto makin panik. Ia berusaha tenang. Ia sadar, pintu
kamar itu tidak dikunci di hari Sabtu. Agar Njoto selalu bisa masuk
tanpa menunggu. Aneh juga kenapa ia harus mengetuk dulu sore itu.
Dibuka pintu kamar itu. Tak bergerak. Njoto jadi patung.
Gending Pareanom masih mengalun dari dalam kamar. Mariana
dilihatnya. Pulas, lengkap dengan gaun biru tua. Dengan gincu
merah merona tebal kesukaannya, sebentar kemudian kejantanannya
naik. Melihat bagian bawah gaun Mariana yang tersingkap dan paha
putih terpancar di sana. Tapi kemudian ia lunglai. Sosok lain di
samping Mariana, sedang berbisik di telinga Pelacur Kekasihnya itu.
Njoto menahan nafas. Gending hampir menuju pada bagian mundur
beksan, terakhir. Njoto pun ingin mundur, tapi sosok di depannya
membuatnya jadi patung. Sihir.
Perempuan, gaun cokelat tua dan rambut bergelung. Berbisik
pada Mariana.
“Tidurlah. Ini akan jadi malam yang indah dan tak perlu kau
bacakan puisi. Kau dengar saja gending dari gamelan ini. Tugasmu
sudah cukup, aku akan membawa Njoto kembali.” Kata gadis itu.
Njoto diam. Tak berani berargumen. Tak berani menyuruh membaca
puisi. Tak berani mengumpat pada suara gamelan. Setelah ia lihat, Sri
tengah memegang gagang pisau buah milik Mariana, sedang ujung
yang lain menancap lembut di dada Mariana. Gending Pareanom yang
sebenarnya membahagiakan itu selesai dan berubah jadi malapetaka.
“Waktumu telah habis Njoto. Kau tak bisa menemukan sejarah
ayahku dengan tepat waktu.”[]

17
Perempuan
Penabuh Gender
Impian Nopitasari

H apsari
Aku masih menatap gambar perempuan di lembaran
majalah yang kubaca. Kutebak dia dipotret tanpa izin kalau
melihat dari ekspresinya. Perempuan bersanggul dan berkebaya
hitam, tatapan matanya tegas, membuat yang melihatnya
merasa segan.
“Simbah cantik ya, Bu?” kataku sambi meraba wajah
simbah di kertas.
“Dan galak. Hahaha,”
“Galak? Kok bisa?”
“Tanyakan sama bapakmu, atau semua pengrawit yang
pernah main bareng bapakmu, pasti semua pernah minimal
punya pengalaman dipukul dengan tabuh gender,” jelas ibuku.
Aku semakin ingin tahu tentang simbah putri. Entahlah
aku tidak paham dengan orangtuaku yang memisahkanku
18
dengan kehidupan seniman, dengan kehidupan pengrawit,
seperti sengaja dijauhkan olehku. Ibu memilih berpisah dengan
bapak, aku ikut ibu. Bapak masih setia menemani simbah nggender
kemana-mana.
“Jadi seniman itu berat,” selalu itu yang dikatakan oleh ibu. Ibu
sendiri sebenarnya dulu adalah seorang sinden. Sinden yang selalu
mengiringi pentas dalang-dalang terkenal, bersama bapak yang
pemain rebab, dan tentu saja bersama simbah, penggender perempuan
tertua dalam rombongan itu.
“Kurang bakti apa aku sama bapakmu? Ternyata masih juga
aku dikecewakan,” kalau ibu sudah begitu aku tidak berani bertanya-
tanya lagi soal bapak, soal simbah, soal kenapa aku tidak boleh
bersinggungan dengan dunia mereka. Aku tidak ingin melihat ibu
menangis.
Walau begitu aku tetap saja penasaran. Aku sering melihat video
simbah di youtube, memainkan gender dengan rangin, meresap di
hati, tanpa cacat. Begitupun dengan rebab yang dimainkan bapak,
selalu membuat hatiku ngilu, belum kalau ibu sudah mulai nyinden.
Seperti hari ini, ketika aku ketahuan ibu mengunduh dan melihat
video mereka. Terlalu terlambat diriku untuk menyembunyikan
apa yang baru saja kulakukan, tidak ada yang bisa kulakukan selain
pasrah.
Ibu melihatku sebentar dan pergi lagi, tidak berapa lama dia
kembali lagi ke kamarku. Membawa majalah yang berisi liputan
tentang simbah. Tentu saja ini reaksi yang di luar dugaanku, ibu tidak
marah, ia malah memberiku majalah yang belum pernah aku lihat
sebelumnya.
“Jadi sebenarnya, simbahmu itu....”
***

19
Harsiwi
“Isih kelingan bali, ta?” Tegur Bapak, bahkan sebelum aku
melewati pintu rumah. Pulang? Aku pun masih bingung dengan
teguran bapak itu. Apa aku masih ingat pulang?
Pulang? Sejak kapan aku menganggap masuk ke rumah ini sama
artinya dengan pulang? Di sini aku tidak pernah merasakan “pulang”.
Aku ke sini hanya menyampaikan pesan dari Paklik dan Bulik, orang
yang selama ini kuminta jatah makannya, kudengar nasihatnya.
Untuk apa pulang kalau tidak pernah dianggap.
“Eh ana Siwi. Ngapa Wi?”
Mbakyu Harsiti. Seperti biasa, dia selalu menyebalkan. Memang
begitu tabiat si anak emas.
“Dudu urusanmu,” jawabku ketus, memang bukan urusannya.
Dia pun kembali ke aktivitasnya semula. Setiap hari seperti itu,
menabuh gender. Aku selalu sebal ketika dia sudah melakukan itu.
Kenapa bapak dan ibu lebih memperhatikan Mbakyu Harsiti.
“Bu, aku pengin main gender kaya Mbakyu Harsiti,” ujarku begitu
saja, aku ingin main gender seperti Mbakyu Harsiti. Ibu menyambut
ujaranku dengan pandangan heran.
“Kowe? Nggender? Ora salah? Lha wong yen ana wayangan
wae kowe turu kok,” sudah kuduga, pasti ibu meragukanku karena
melihatku selalu tidur ketika ada pentas wayang semalam suntuk.
Anak yang tukang tidur ingin main gender? Jangan mimpi.
“Beri aku kesempatan untuk membuktikannya, Bu, aku pasti
bisa.” Entahlah, diragukan oleh ibu membuatku semakin tertantang.
Bapak ikut bicara, “Ya sudah, kamu minta ajar mbakyumu, ya.”
Mbakyu Harsiti memperlihatkan wajah tidak setuju. Aku paham,
aku tidak akan meminta ajar darinya. Aku hanya ingin mengamatinya
setiap hari. Aku bilang ke bapak dan ibu, setiap hari aku akan melihat
Mbakyu Harsiti latihan dan ikut bapak ibu pentas. Mereka setuju.

20
Memang benar, selama berhari-hari aku hanya memperhatikan
Mbakyu Harsiti. Aku teringat dengan kisah Palguna-Palgunadi
yang kemarin dipentaskan. Rasanya aku seperti Ekalaya yang belajar
sendiri, tanpa harus diajari langsung oleh Resi Drona, dan aku bisa
membuktikannya ketika Mbakyu Harsiti memberikan tabuh gender
padaku.
Bapak, ibu, dan Mbakyu Harsiti terbengong ketika kedua
tangan kanan dan kiriku dengan luwes menabuh gender, memainkan
Gending Cucur Bawuk, Gending Patalon sebelum acara wayang kulit
dimulai.
“Ah kalau cuma nggenderi cucur bawuk semua juga bisa,
coba nggenderi grimingan wayang atau ada-ada? Baru aku akui
kemampuanmu,” Bapak masih meragukanku.
Jadi walau sudah bisa nggender, aku belum dipercaya untuk
mengiringi pementasan wayang. Hingga suatu saat ketika ada
pementasan, mbakyu yang biasanya nggenderi mendadak sakit
perut dan tidak ada yang menggantikannya menabuh gender. Aku
memintanya mundur dan mohon diri menggantikannya. Dia tentu
saja tidak percaya. Pengrawit lainnya pun memandangku dengan
tatapan khawatir. Aku balas menatap mereka dengan tatapan penuh
percaya diri.
Malam itu puncaknya, aku diakui untuk bisa mengiringi
pementasan wayang, ketika aku bisa mengiringi Gending Kabor,
gending pembuka setiap adegan dalam lakon pementasan wayang.
***

Hastuinanti
“Oh jadi simbah dulu pertama main gender karena jengkel
merasa dibedakan gitu ya, Bu?” dia bertanya dengan sorot mata
penuh ingin tahu. Gadis kecilku yang sekarang sudah dewasa.

21
“Ya, begitulah, ia memang perempuan keras kepala,” kataku.
Aku pikir keras kepala itu menurun ke cucu perempuannya ini.
Sudah tak kurang usahaku menjauhkan dia dari dunia pengrawit,
toh pada akhirnya dia penasaran juga. Dia akan mencari dan terus
mencari. Pada akhirnya aku menyerah, membiarkan dia mengetahui
asal-usulnya.
“Kenapa simbah ngotot ingin menjadi penggender, Bu? Bukankah
masih banyak instrumen gamelan yang bisa beliau mainkan?”
Semua orang yang belum mengetahui dunia karawitan pasti
bertanya seperti itu. Aku pun menjelaskan pada putriku bahwa
menjadi penggender adalah sarana pengakuan simbah putri terhadap
keluarga yang tidak terlalu memperhatikannya. Mbah Putri tinggal
dengan paklik dan buliknya, yang walaupun seniman, tidak pernah
mengajarinya memainkan alat musik gamelan. Simbah putri sering
tertidur jika diajak paklik dan buliknya main di pementasan wayang,
hingga hari itu ketika dia pulang ke rumah dan ingin bilang main
gender.
Tentu saja gender bukan instrumen gamelan yang bisa dimainkan
semua pengrawit. Seorang penabuh gender pastilah bisa memainkan
instrumen gamelan lainnya, tapi belum tentu yang lain bisa menabuh
gender. Penabuh gender harus selalu siap di depan gendernya sampai
pertunjukan wayang tancep kayon atau usai. Ia harus bisa menahan
hajat ke belakang.
“Memang tidak bisa ditinggal sebentar, Bu?” Tanyanya menyela.
“Kalau Pak Dalang lagi sulukan, bagaimana?” Aku bertanya
balik. Tentu saja semakin membuatnya bingung.
Kalau kata temanku seorang penggender lelaki, dia lebih memilih
menggunakan sarung ketika tidak pentas di keraton, agar kalau ingin
buang air kecil bisa ia wadahi di dalam botol kosong yang ia siapkan
sebelumnya. Dia buang ke kolong panggung. Bisa dipastikan paginya

22
yang bertugas membongkar panggung akan misuh-misuh. Hapsari
tertawa terpingkal-pingkal mendengar ceritaku.
“Seperti halnya kendang yang dijuluki pamurba irama atau
pemimpin irama, gender itu pamangku gending, Ndhuk. Penggender
harus hafal vokal, balungan gending. Bisa juga dikatakan sebagai
“pasangan” dalang. Dengan keistimewaan yang dimiliki oleh gender
atau penabuhnya, kau pasti paham kenapa simbah putri memilih
menjadi penggender. Gender itu istimewa. Menjadi penggender,
apalagi perempuan, tentu menjadi kebanggaan tersendiri bagi
simbahmu.”
Ia masih memandang gambar perempuan sepuh itu. Perempuan
yang sangat dicintai oleh seorang Hapsoro, pemain rebab yang tak
kalah moncer dari penabuh gender sepuh itu. Pemain rebab yang
kutinggalkan karena ia lebih memilih mengabdi kepada ibunya.
“Kalau rebab sendiri julukannya apa, Bu? Bapak pemain rebab,
kan?”
Aku tidak langsung menjawab pertanyaannya, semacam ada
ngilu yang tiba-tiba terasa lagi.
“Rebab itu pamangku lagu, Ndhuk. Bisa dikatakan ia adalah
pasangan sinden,” tenggorokanku tercekat ketika mengatakan itu.
Ya, dulu, tidak hanya pasangan dalam karawitan, kami memang
benar-benar pernah menjadi suami-istri, seperti rebab dan sinden.
Aku melihat butiran bening jatuh dari mata Hapsari. Maafkan
kami, Ndhuk.
***

Harsiwi
Sejak aku bisa mengiringi Gending Kabor saat itu, aku semakin
dipercaya untuk mengiringi pementasan wayang. Bahkan genderanku
lebih bagus daripada genderannya Mbakyu Harsiti. Banyak yang

23
bilang ini karena aku ketiban pulung, semacam karamah kalau
untuk para wali. Sampai suatu saat ada seorang dalang yang ingin
memperistriku, dan aku menerimanya.
Aku semakin sering mengikuti suamiku pentas. Kepopuleran
kami memang sudah banyak yang memperbincangkan. Kami benar-
benar menjadi sosok idola. Tidak hanya terbatas julukan dalam
karawitan kalau gender itu pasangannya dalang. Kami memang
benar-benar menjadi pasangan yang sesungguhnya. Hingga anak-
anak kami lahir dan beranjak besar, aku masih setia menabuh gender
dalam setiap pementasannya.
Tapi ternyata kesetiaanku tidak cukup untuk membuatnya
bertahan denganku. Ia memilih pergi dengan seorang sinden
kesayangannya. Orang boleh bilang hal seperti ini biasa dalam dunia
seni tradisi. Tapi aku, Harsiwi, memilih menolaknya. Jika memang
ia sudah tidak setia, aku pun memilih pergi. Tidak ada cerita lagi
penggender Harsiwi mengiringi sang dalang suaminya.
Dari tujuh anakku, hanya satu yang setia menemaniku ke mana-
mana. Ia adalah Hapsoro, paling suka bermain rebab. Gesekan
rebabnya yang menyayat hati berhasil memikat hati sinden yang
sedang moncer saat itu, Hastuinanti. Aku merestui pernikahan
mereka, asalkan Hapsoro tetap menemaniku.
Aku tidak suka ketika banyak dalang menggoda Hastuinanti,
semacam teringat masa laluku sendiri. Aku tidak ingin pentas kalau
Hastuinanti yang menjadi sinden. Hal ini sering membuat ribut
rumah tangga mereka. Aku memberi pilihan pada Hapsoro, memilih
ibunya atau memilih istri yang sewaktu-waktu bisa meninggalkannya.
Hapsoro tidak bisa menentukan pilihan. Hastuinanti yang memilih
pergi, dengan anak perempuannya yang waktu itu masih bayi, cucuku
sendiri.
Hastuinanti, sebenarnya dia adalah perempuan yang baik. Tapi

24
memintanya pulang, sungguh bukan sikap seorang Harsiwi.
***

Hapsari
Aku tidak bisa menyalahkan semuanya. Barangkali memang
begini lakon yang harus kami alami. Seperti gender yang hanya
bisa ditabuh orang tertentu, begitu juga dengan hati. Tidak semua
bisa meluluhkan hati simbah putri, bahkan dengan gesekan rebab
bapak dan lengkingan suara ibu. Mereka tidak bisa menjadi tabuh
bagi gendernya simbah. Mereka tidak bisa, tapi aku ingin mencoba.
Mungkin aku yang akan menjadi penabuh gender bagi hatinya simbah,
menyajikan gending-gending indah di sisa hidupnya. Semoga saja.[]

25
Gong
di Balik Bulan
Adi Putra Purnomo

“A
semua ini.”
ku harus pergi, aku sudah muak dengan

“Jangan! Kau hanya akan membuat kecewa orang


banyak.”
“Tidak! Aku harus pergi, aku sudah bosan dengan semua.”
“Pikirkan perasaan orang tuamu, pikirkan kebahagiaan
mereka, pikirkan perasaan orang-orang yang kamu
tinggalkan.”
“Aku bosan! Tidak ada bagusnya, tidak membanggakan
sama sekali!”
Parmin tetap bersikeras akan kemauannya. Kata-kata
Sular tak menyentuh perasaannya sama sekali. Malam itu angin
berembus dingin melewati sela-sela leher di bawah telinga,
daun dan ranting bergoyang mesra sambil mendesah di bawah
terang sinar bulan purnama. Bulan malam ini memang sangat
terang. Keadaan sekitar terlihat jelas meski tanpa tintir yang
26
menyala. Tanggal lima belas mangsa ketiga dalam penanggalan jawa,
langit cerah dihiasi hamparan bintang. Di sela rimbunan daun pohon
trembesi, anak burung kutilang meringkuk kedinginan dalam pelukan
induknya. Di wajah induk burung, tersirat kasih sayang bercampur
rasa takut kehilangan. Barangkali angin malam serupa ancaman bagi
jiwa anaknya.
Parmin melihat kuning cerah bulan purnama kala rebah di
atas lincak. Melamun ia. Sinar kuning mengantar kehangatan bagi
kedinginan musim kemarau. Bulan malam itu merupa lingkaran
seutuhnya. Tak bisa tidak, Parmin ingat wujud gong yang sering
dimainkannya.
Sudah sejak lama Parmin ingin berhenti menjadi pemain
gamelan. Ia hanya berperan sebagai pemain gong. Ia membenci
gamelan, terutama gong. Gong telah merenggut kehangatan
hidupnya. Musabab gong, ia tak merasai kasih sayang seorang ayah.
Sedari awal, menjadi pemain gong memang bukan keinginan Parmin.
Ayahnya dulu pemain gong di kelompok karawitan desa. Kini, ia
mewarisinya. Menurutnya, menjadi pemain gong itu membosankan
dan tidak membanggakan sama sekali. Gong hanya pelengkap dalam
sebuah pertunjukan. Bagaimana tidak, gong hanya dimainkan dua
kali dalam satu gending. Sebagai pembuka dan penutup. Selebihnya
hanya diam memperhatikan permainan para wiyaga lain. Pemain
gong tidak pernah diperhatikan oleh penonton. Ia jelas-jelas tidak
menarik perhatian laiknya pemain kendang atau siter yang terlihat
sangat piawai.
Terlebih Parmin punya alasan lain mengapa ia sentimentil
terhadap gamelan, dan terutama gong. Masa kecil Parmin sangat
jauh dari kasih sayang ayahnya. Ayah Parmin jarang di rumah.
Hari-harinya ialah berkeliling mementaskan karawitan dari satu
desa ke desa lain, bahkan sampai keluar kota. Kalaupun sedang di

27
rumah, ayahnya lebih memuliakan gong daripada anaknya. Pernah
suatu ketika Parmin kecil menduduki gong yang tergeletak di lantai,
seketika ayah mendorongnya sampai terguling dan menangis. Sejak
itu kebenciannya terhadap gong muncul.
***
Alunan gending mengalir masuk ke dalam rongga telinga.
Cengkok-cengkok yang mendayu merdu membuai penonton yang
mulai memenuhi pelataran pendopo yang terletak di pusat desa. Angin
berembus membelai daun dan ranting yang sedang bermesraan.
Suasana semakin terasa sakral ketika para wiyaga mulai hanyut dalam
permainan. Tangan kuat mereka bergerak seolah tanpa kendali.
Dalam kelindan irama, mereka bukan lagi diri mereka. Hanyut dalam
irama serta buai suara gending yang dimainkan. Hari ini adalah
latihan terakhir sebelum pentas esok hari. Pentas rutin dilakukan
setiap tahun saat musim panen mangsa ketiga, bersama serangkaian
upacara adat untuk memberi hormat serta syukur terhadap Tuhan
yang menciptakan alam.
Gending terakhir sebagai penutup latihan hari ini sedang
dimainkan. Parmin melamun di sela menunggu jatah permainan.
Dalam lamunannya ia membayangkan rencana untuk melarikan diri.
Tentu tanpa seorang pun mengetahuinya. Tekadnya kokoh tak dapat
digugat ombak kebimbangan. Jantungnya berdegup kencang. Malam
ini, ia berencana melarikan diri beserta gong paling besar yang ia
mainkan. Rencana yang disusun sudah matang. Tinggal menunggu
waktu latihan selesai. Saat malam tiba, ketika orang-orang sudah
terlelap dengan mimpi indah di gubuk masing-masing, ia akan pergi
bersama gong tersebut.
Parmin tetap memperhatikan alunan gending dengan seksama,
ia tak ingin orang di sekitarnya curiga. Tetap fokus pada permainan,
menguasai diri agar terlihat biasa, dan sabar menunggu waktu sesuai

28
rencana. Semua orang di sekitar tak berprasangka kepadanya, kecuali
Sular, seorang lelaki yang duduk di sudut luar teras pendopo. Diam-
diam Sular memperhatikan tingkah laku Parmin. Sular satu-satunya
orang yang mengetahui perihal masalah Parmin, ia sahabat Parmin
sejak mereka masih senang menangkap ikan di sungai dan mencari
belalang di ladang. Sular curiga bahwa Parmin memiliki rencana
yang disembunyikan erat-erat.
Malam tiba. Angin berembus dingin. Desah daun dan ranting
yang saling bermesraan membuat para lelaki lebih memilih mendekap
istri dan anak-anak mereka dalam balutan jarik yang hangat. Cahaya
kuning emas remang-remang menyorotkan seberkas bayangan
manusia dalam gelap. Bayangan itu nampak bergerak pelan sekali.
Meski dilewati oleh sesosok bayangan, anak ayam pun tetap terlelap
tanpa gangguan dalam pelukan sang induk.
Cahaya kuning emas rembulan terhalang oleh rimbunan daun
dan ranting pohon-pohon johar menciptakan bagian gelap yang
samar-samar. Dalam kegelapan yang samar, Parmin mengendap.
Menjaga langkah supaya tak merupa suara. Parmin melewati jalan
desa menuju gudang penyimpanan gamelan. Langkahnya cepat
seperti tak menyentuh tanah memasuki pelataran pendopo. Burung
hantu bersiulan. Kelelawar beterbangan di atas pendopo yang hanya
bercahayakan lampu remang. Bulan purnama menyorotkan cahaya
kuning keemasan membuat suasana menjadi mencekam. Ragu sempat
melintas menghampiri Parmin. Saat ia melangkahkan kaki memasuki
emperan. Namun tekadnya meluluhkan keraguan itu. Segera ia ambil
gong yang besar, lalu membalutkan kain mori padanya. Gong berbalut
kain mori itu ia gendong di balik punggung. Secepat mungkin Parmin
melangkahkan kaki meninggalkan desa.
Beban di balik punggungnya mulai terasa berat, tapi ia tetap
harus bertahan. Ia hampir sampai batas terluar desa. Ia melambatkan

29
langkah, terlihat sosok orang berdiri di bawah gapura batas desa.
Wajahnya tertutup bayangan gapura sebab sorot cahaya purnama.
Parmin lambatkan langkahnya.
“Jangan halangi aku, Lar! Tekadku sudah bulat. Persetan dengan
segala omong kosong mereka nanti.” Sosok di balik gapura batas desa
itulah si Sular, sahabatnya sedari kanak-kanak.
“Aku tidak menghalangimu. Tapi pikirkan kembali orang-orang
desa, terutama kedua orang tuamu, mereka akan kecewa.”
“Persetan! Aku sudah bosan.”
“Kenapa kamu membawa gong itu?”
“Alat ini tidak berarti. Apa gunanya, cuma alat tambahan.”
“Kau egois, Min!”
“Persetan!”
Parmin berlari mengambil jalan melewati pematang sawah.
Langkah kakinya semakin cepat meninggalkan Sular. Toh Sular tidak
mengejarnya. Meski mungkin setelah ini persahabatan keduanya akan
lebur. Parmin tidak peduli. Gambaran dalam hatinya hanya kesal
dan muak terhadap gong yang dibawanya. Kini, ia sudah sampai di
balik bukit yang terletak di sebelah barat desa. Ada sebuah gubuk
kecil yang terbuat dari gedhek tanpa pintu. Di depan gubuk terdapat
lincak panjang dengan beberapa daun kering yang dihantarkan angin.
Gubuk itu diterangi tintir yang bercahaya redup. Di tengah sawah,
di balik bukit yang sepi. Siapakah penghuni gubuk ini, batin Parmin.
“Kulo nuwun…”
Terlihat sosok lelaki tua sedang memandang tintir yang menyala
redup. Keriput di wajahnya terlihat sama-samar dalam keremangan.
Pakaiannya berwarna hitam sudah luluh, terlihat compang-camping
di bagian dada.
“Iya, Nang. Ada apa? Siapa kamu? Kenapa kamu sampai di
sini?”

30
Mata lelaki tua itu bercahaya memantulkan api tintir. Seperti
permata hitam yang mengkilat, seakan menyiratkan keindahan serta
kebijaksanaan dalam diri lelaki tua itu.
“Saya Parmin, Mbah. Saya sedang dalam perjalanan, dan mau
menumpang istirahat sampai fajar tiba.”
“Silakan, Nak. Tapi ya cuma begini ini keadaannya.”
“Tidak mengapa, Mbah. Saya hanya butuh tempat merebahkan
badan.” Parmin menurunkan beban di punggung. Melepaskan gong
dari kain yang menutupinya. Gong itu ia sandarkan di dekat lincak
tempatnya hendak merebah.
“Kenapa kamu membawa gong, Nang? Apa kamu seorang
wiyaga?” Tanya lelaki tua itu tiba-tiba. Parmin yang hampir sampai
pada alam tidur sontak membuka matanya.
“Benar, Mbah. Tadinya saya seorang wiyaga, tapi sekarang
tidak lagi. Saya sudah berhenti. Gong ini akan kuhilangkan. Karena
aku membencinya”
“Kenapa kamu berhenti dari pekerjaan mulia, Nang? Kenapa
kamu membenci benda yang tidak berdosa itu?”
“Aku muak! Aku hanya pemain gong. Bermain hanya dua kali
dalam satu gending. Aku tidak menarik perhatian penonton. Lagi
pula aku membenci gong ini mbah. Benda ini telah merenggut kasih
sayang ayahku. Karena benda busuk ini masa kecilku dingin. Tak
bergairah.”
“Hmmm.” Wajah lelaki tua itu masih saja menatap tintir yang
menyala redup.
“Tahukan kamu apa sebenarnya gong itu, Nang?”
“Apa maksudmu, Mbah?”
“Gong itu apa, Nang?”
“Gong ya gong, Mbah. Hanya sebongkah alat pelengkap
pertunjukan karawitan. Apa lagi?”

31
“Kamu tidak memahaminya, Nang. Gong itu lebih dari sebuah
benda.”
“Apa maksudmu, Mbah?”
“Gong itu besar, Nang. Perlambang keagungan Tuhan. Kamu
beruntung dapat memainkannya. Artinya kamu dekat dengan
keagungan Tuhan. Kalau kamu menganggap gong itu tidak
membanggakan karena hanya bermain dua kali dalam satu gending,
coba bayangkan apa yang bakal terjadi kalau gong itu tidak dipukul
dalam sebuah pentas? Kalau gong tidak dibunyikan, maka gending
tidak dapat dimainkan. Gending juga tidak dapat diakhiri kalau tidak
ada bunyi gong. Gong adalah mula. Gong adalah akhir. Perlambang
kelahiran dan kematian manusia. Bila gending sendiri kehidupan.
Maka gong itulah kelahiran, dan kemudian kematian. Pertanda
keseimbangan. Semua orang yang dilahirkan juga akan mati. Kalau
kamu memukul gong di tengah gending, berarti melawan kehendak
Tuhan. Membunuh yang belum waktunya mati. Sungguh mulia kamu
bisa menjadi pemukulnya, Nang. Kamu berada di dekat keagungan
Tuhan. Keagungan Tuhan.”
Kalimat panjang lelaki tua menghantar Parmin pada alam tidur.
Ia dan lelaki tua itu tak tahu sampai di manakah kalimat yang masih
didengar Parmin sebelum terlelap. Angin menyisir kulit legamnya.
Rerumput mendesah di antara bait lagu kesedihan. Menyayat hati
setiap yang mampu mendengar bisikannya. Api tintir kian meredup.
Lantas mati.
***
Matahari mulai meninggi, memulai pekerjaannya mengawasi
setiap hamparan permukaan bumi. Anak-anak burung kutilang
bersiul riang, bertengger di ranting pohon yang kering, menyanyikan
lagu keindahan. Angin kering yang dingin berembus membelai
leher setiap orang yang sudah memadati pelataran pendopo.

32
Saling surup terdengar lirih dari mulut mereka. Suara gumremeng
memenuhi pelataran pendopo, tumpang tindih suara mereka seperti
bunyi sekelompok lebah yang siap menyerang. Di dalam pendopo,
sekelompok orang terduduk dalam kebingungan. Raut wajah yang
tegang terpancar di wajah setiap orang. Gong paling besar hilang,
Parmin juga menghilang. Acara tidak dapat dimulai, setiap orang
membicarakan prasangka. Sular terdiam, termenung dalam ingatan
kejadian semalam.
Duuuuuunnggggg………………
Tiba-tiba terdengar suara dahsyat menggema ke segala sudut
desa memecah keriuhan. Semua mata berpaling ke segala arah
mencari asal bunyi. Mata mereka segera mengarah ke atas bukit
sebelah barat desa. Terlihat benda seperti bulan yang bersinar di pagi
hari. Cahayanya kuning keemasan memantulkan cahaya matahari.
Bentuknya lingkaran sempurna. Di sebelahnya terlihat Parmin
memegang pemukul gong.
Suara gending mengalir ke rongga telinga. Cengkok-cengkok
mendayu merdu mengejutkan penonton yang memenuhi pelataran
pendopo. Di dalam pendopo terlihat para wiyaga sudah menempatkan
diri memainkan gending. Acara dimulai.[]

33
Bakri
dan Telinganya
Nisa’Ul’Afifah

B eberapa niniak mamak berseteru kecil di pojok rumah


gadang. Malam itu dingin menyelinap tanpa permisi ke
sela kaki. Papan kayu menjadi penjalar gigil telapak. Empat
datuak berbusana hitam menyantap lompong sagu di meja. Di
hadapan mereka, jendela sibuk mengikuti denyut angin.
“Datuak ingin kau ambil hati Datuak yang lain,” ujar
datuak Bahar pada Bakri.
“Ndak mengerti ambo, Datuak, maksudnya bagaimana?”
“Datuak di sini hendak mengajukan kau jadi pemuka adat,
banyak keuntungannya. Jangan sampai urang rantau yang baru
datang yang ambil posisi. Ndak suka, ambo.”
“Apa yang harus ambo lakukan, Datuak?”
“Barajalah talempong. Zaman sudah agak berubah, adat
mulai dinomorduakan.”
“Ondeh, awak labiah sanang disuruah baburu sajo,
Datuak.”1 keluh Bakri.
1. Alamak, saya lebih senang disuruh berburu saja

34
Bakri bingung, agaknya syarat menjadi datuak bukanlah
seperti itu. Yang ia tahu, datuak haruslah berlaku bijaksana, menjadi
panutan bagi kemenakan, paham adat dan keputusannya sangat
dipertimbangkan. Bakri berpikir panjang, apakah talempong masih
menjadi simbol adat atau kebesaran Raja Minang.
“Cubolah caliak urang batalempong pacik.”2
“Mengapa ndak pakai talempong goyang saja?”
“Halah kau ini, banyak ndak mengertinya, ya.”
Sontak terdengar suara talempong bergema. Nadanya indah
dan berani. Nampak penyanyi mengiringi talempong itu. Mereka
bergandengan dalam penyajian hiburan kali ini. Anehnya, yang dapat
mendengarkan talempong itu hanya Bakri, sebab datuak-datuak ini
tak mengajukan komentar apapun. Ia bingung.
***
Suasana sore ini cerah, layaknya sumringah para anjing yang
siap menyantap kelompok babi. Bakri mengelus badan anjingnya. Ia
edarkan pandang pada sekitar, ditemukanlah Zuhri, karib di pematang
sawah dulu. Zuhri tak berubah, masih selalu mengalungkan suliang di
lehernya.
“Sudah lama tak bersua, Zuh.”
“Hoiii, Bakri calon datuak. Aman-aman saja kan kau?” Tanya
Zuhri.
“Dari mana kau tahu awak hendak jadi datuak?”
“Datuak Bahar bilang ingin awak mengajarkan kau talempong
Pacik.”
“Awak cukup bingung, Zuh. Talempong pacik dan talempong
goyang itu perbedaannya apa. Toh, talempong goyang lebih diminati
daripaFda talempong pacik.”
“Apa kau tak merasa talempong goyang memiliki banyak nada.

2. Cobalah lihat orang dengan telempong pacik

35
Cara memainkannya saja sudah berbeda. Talempong pacik digenggam
di satu tangan, tangan lainnya memegang pemukul. Sedangkan
talempong goyang tidak perlu kita pegang talempong-nya kan?”
“Awak lah tau soal itu, Zuh. Yang awak herankan mereka berdua
kan jelas sama-sama musik tradisional. Mengapa datuak minta awak
hanya belajar talempong pacik sajo”
“Ondeh mandeh. Ndak usahlah kau jadi datuak kalau ndak tahu
apa-apa. Urang Minang zaman kini banyak yang ndak tahu.”
“Musik talempong goyang itu kan musik hibrid bagi masyarakat
Minangkabau.”
“Apo tu hibrid? Tanya Bakri sambil melihat beberapa kedatangan
yang ingin berburu juga.
“Perkawinan silang dua budaya yang berbeda. Intinya budaya
talempong awak sudah dikawinkan lagi dengan budaya Eropa dan
Amerika.”
“Waaah, canggih juga itu, Zuh. Apa tidak ada yang kontra
dengan hal ini?”
“Ya dulunya tetap ada, tapi kini kayaknya sudah bisa menerima.”
Obrolan terputus, pemburu lainnya sudah berteriak, "Pintehlah
diateh!"3 Mereka berlarian. Anjing-anjing lahap memakan babi hasil
terkaman. Suasana riuh oleh teriakan para pemburu dan penonton di
lapangan. Berburu ialah hobi para pria Minangkabau. Tujuannya tak
lain ialah memberikan makan para anjing yang berjasa banyak bagi
mereka.
Di tengah riuh kegiatan berburu, Bakri mendengar suara
talempong lagi. Ia berkeliling lapangan mencari sumber suara. Tidak
ada. Ia kembangkan kupingnya yang kumal, tetap susah mencari nada
talempong melaui angin. Ia tadahkan wajahnya ke langit. Langit tak
acuh sebab terhirup dalam balut mesra awan gemawan. Bakri jadi

3. Sudah dihambat di atas

36
tak punya hasrat berburu. Ia kesal. Ini kali kedua ia mendengar suara
talempong tanpa wujud.
Maka Bakri lekas membawa anjingnya pulang. Meninggalkan
riuh lapangan. Ia ingin istirahat saja. Itu tentu hanya bisa ia lakukan
setelah ia menuruti omongan istrinya. Sebab menyentuh anjing dan
babi, ia musti menyucikan tubuhnya dengan tanah. Begitu istrinya
bicara tiap ia pulang dari kegiatan berburu.
“Uda, apo Uda lupa, besok awak harus ke bukit melihat nikahan
kemenakan.”
“Iyo Uda ingat. Siapkan sajo amplop untuknyo.”
Di pernikahan kemenakannya itulah, saluang menjadi
primadona. Banyak juga pemuka adat yang hadir hari itu. Mempelai
dan anak daro bertukar senyum tanpa putus-putus. Pemain talempong
goyang bersiap memainkan aksinya bersama penyanyi cantik dengan
suntiag kecilnya.
“Penyanyi itu menyanyikan lagu pop,” gumam Bakri. Ia mulai
mengerti ucapan Zuhri. Benar saja, talempong goyang memiliki banyak
nada. Pasti musik pop telah berperan menjadi babak baru dalam
hibridasi talempong goyang, bisa dibilang para pemain talempong
goyang telah mengambil musik pop sebagai acuan estetika musiknya.
“Teori untuk belajar talempong sajo baru awak paham. Alangkah
cueknyo awak pada budaya sendiri.” Bakri merunduk lalu menatap
rendang yang ada di piringnya. Ia malu. Suara talempong kembali
terdengar oleh Bakri. Padahal talempong goyang telah dihentikan.
Suaranya terdengar makin jelas sampai memekakkan telinga Bakri.
Ia menutup rapat telinga dengan kedua telapaknya. Istrinya menatap
Bakri dengan kebingungan yang sangat. Bakri mengerang, telinganya
sakit, seperti diburu volume tinggi yang berusaha memecahkan
genderang kecil itu. Ia harus bertemu salah satu niniak mamak untuk
meminta solusi. Demikian ia membatin.

37
Bersama istrinya, Bakri bergegas ke rumah gadang kaum
mereka, mencari siapa saja niniak mamak yang bisa diminta petitih
dan petitah. Nahas, rumah kosong. Suara talempong masih saja
memekakkan telinganya, badan Bakri semakin lemas. Ia terduduk
lunglai di pelataran rumah. Ia lepaskan satu tangan yang sebelumnya
membungkam telinga. Darah segar mengucur dari lubang telinga.
***
Dalam tidurnya, Bakri memimpikan dirinya lihai bermain
talempong pacik. Ia memakai taluak balango, pertanda sedang tampil di
muka umum. Lengannya luwes, telinganya bersinergi dengan musik-
musik pengiring talempong pacik. Semua penonton menunjukkan
mata khusyuk. Di antara mereka ada sang istri yang tak henti-henti
mengurai senyum. Namun, ada satu datuak yang menatapnya tajam.
Bakri takut.
Sedangkan permainan talempong pacik-nya tidak dapat
dihentikan. Para penonton mulai menatap heran pada Bakri. Acara
usai, tapi tangan Bakri tak dapat dilepaskan dari talempong pacik. Ia
sangat lelah. Datuak yang tajam pandangannya masih di sana. Tapi
tatapannya agak reda. Bakri bermaksud mendekatinya. Namun
kakinya kelu.
***
Bakri terdiam. Ia menatap talempong yang ada di pojok rumah
gadang. Ia sentuh benda kuningan itu. Ia raba, ia elus lalu ia coba ketuk
untuk mendengar suara yang dihasilkan. Hati dan pikirannya masih
terus bertanya, mengapa ia terus berhalusinasi tentang talempong.
Kesadaran yang tak mungkin ia hindari adalah ketidaktahuannya
tentang budaya sendiri. Budaya Minangkabau.
“Bakri, kamarilah duduak disiko, ado ubi abuih4”
“Iyo, Datuak”

4. Kesinilah, duduk disini, ada ubi rebus

38
“Baa kok tamanuang bana tu”5
“Ndak papa datuak, awak hanya heran sajo. Mengapa kok sering
terpikir tentang talempong itu. Awak juga ingin mengundurkan diri
jadi datuak.”
Datuak Bahri tersenyum, mengelus punggung Bakri. Datuak
santap ubi rebus dan teh panas. Bakri heran, entah apa arti senyum
datuak ini. Kemudian datuak memegang telinga Bakri pelan-pelan.
Bakri makin bingung.[]

5. Kenapa kok termenung sekali

39
Gending
Gendeng Gong
Yuditeha

S enja yang menjingga di ufuk barat itu seakan


menyertaiku ketika aku melintas gapura masuk desa
Condong Raos6. Temaram warna jingga sesekali menerpa
wajahku di atas laju sepeda motor di area persawahannya.
Sebelum hari benar-benar tenggelam dalam malam, aku
telah sampai di depan rumah Pak Lurah. Rumahnya sangat
besar. Tapi aku heran karena letak rumah yang agak jauh
dari permukiman warga. Terkesan menyendiri. Ketika aku
mengetuk pintu, Pak Lurah sendiri yang hadir di balik pintu.
“Saya Wanggi, Pak. Yang tempo hari mengabari
hendak melakukan kunjungan ke desa ini,” kataku sembari
mengulurkan tangan. Menyalaminya.
Kesan yang kupunya saat mendengar suaranya di telepon
dulu dan saat bertatap muka kali ini, ternyata tidak berbeda.
Menyenangkan dan ramah. Karenanya aku langsung bisa
6. Lebih ke rasa

40
merasakan nyaman meski kakiku baru saja masuk ke rumah dan
bertemu dengan beliau. Sebelumnya aku sudah menyampaikan
kepada Pak Lurah tentang tujuanku pergi ke desa ini. Aku ingin
melakukan penelitian perihal gamelan yang dihasilkan warga desa
Condong Raos. Sebuah desa yang kabarnya sebagian besar warganya
penghasil gamelan. Realitas yang lain, gamelan buatan desa ini
terkenal sampai ke mancanegara, bahkan omset ekspor tiap bulannya
sering mengagumkan. Proposal skripsiku mengambil tema fenomena
gamelan di sebuah desa. Pilihanku jatuh pada Desa Condong Raos.
Kedua dosen pembimbingku telah menyetujuinya.
Setelah berbincang sejenak dengan Pak Lurah perihal
rencanaku ke depan, istri Pak Lurah muncul di hadapan kami. Beliau
hendak menunjukkan kamar yang bisa kusinggahi selama melakukan
penelitian. Salah satu kamar yang ada di rumah Pak Lurah. Usai
menunjukkan kamar, mereka mempersilakan aku untuk bebersih diri
lalu istirahat. Aku menurutinya. Setelah mandi dan ganti baju, aku
santai di kamar sembari mengeluarkan bawaan untuk kutata. Di luar,
malam telah jatuh dalam kesunyiannya. Pada situasi seperti ini, selirih
apapun sebuah suara pastilah bisa tertangkap telinga. Jangankan
dengkur, napas saat tidur pun bisa terdengar.
Aku membaca salah satu buku yang kubawa sebagai dalih
menuju lelap. Kekhusyukanku membaca agak lingsir kala kudengar
tabuhan gong. Suara itu terasa sangat menggema. Aku menerka, asal
suara gong itu tak jauh dengan letak kamarku. Suara mereda. Lalu
ada lagi. Gong itu berbunyi dengan jeda waktu dan dengan tingkat
keras tabuhan yang hampir sama. Tabuhan itu cukup keras dan suara
yang dihasilkan membuat bising di pintu telinga. Sontak kututup
kedua telinga.
Tabuhan gong itu seperti tak mau berhenti. Malah membayang-
bayangi masa kantukku. Jalan keluarnya, kututup telingaku dengan

41
bantal. Entah berapa lama kemudian aku berhasil tidur. Esok pagi di
meja makan, kutanyakan perihal suara gong itu kepada Pak Lurah.
Sebelum menjawab, beliau sempat melihat ke arah istrinya. Mereka
sempat saling pandang.
"Oh, itu Gending,” jawab Pak Lurah.
Jawaban itu membingungkanku. “Gending apa ya, pak? Lantas
mengapa hanya gong saja yang ditabuh? Terlebih mengapa waktu
tengah malam?” Pertanyaanku beruntun.
“Bukan itu maksud saya. Gending itu nama anak saya. Dia
memang suka menabuh gong hampir tiap malam.”
Di rimba kebingungan, pertanyaan-pertanyaan lanjutan
gemericik. Dasar apa yang membuat anak Pak Lurah menabuh gong
hampir setiap malam. Tidakkah ada tetangga yang terganggu dengan
itu. Oh, sangat mungkin Pak Lurah sengaja membangun rumah agak
berjauhan dari permukiman warga sebab suara gong yang ditabuh
anak perempuannya itu. Aku mencari-cari jawab atas setiap ricik
pertanyaan yang timbul dari diriku.
“Maaf, Nak Wanggi. Gending, anak kami itu sakit dan memang
punya kebiasaan seperti itu. Karenanya, kami tinggal agak jauh dari
warga, agar tidak mengganggu,” jelas Pak Lurah. Seperti dugaanku.
“Kalau Nak Wanggi terganggu, bisa kami antar pindah ke rumah
satunya. Kami punya rumah di permukiman sana. Kepindahan kami
ke sini ialah karena Gending,” sambung Pak Lurah.
“Oh, tidak, Pak. Saya tidak terganggu. Hanya penasaran saja.
Makanya saya tanyakan ke Bapak,” dalihku.
Hari pertama melakukan penelitian ke rumah-rumah warga,
tidak ada masalah yang berarti. Kebutuhan data berhasil kuperoleh
hampir tanpa aral. Aku kembali ke rumah Pak Lurah ketika sore
hampir matang. Sampai di rumah, entah kenapa aku penasaran
dengan Gending, anak Pak Lurah yang katanya sakit itu. Diam-diam

42
aku mengintip jendela kamarnya. Aku berhasil melihatnya sekilas.
Gending seorang perempuan yang mungkin seumuranku. Dari
garis wajahnya, sebenarnya gadis itu mempunyai paras yang manis.
Kulitnya bersih. Rambut panjangnya hitam legam. Tapi wajahnya
nampak layu. Aku lekas kembali ke kamarku. Takut kegiatanku
mengintip ketahuan orang lain.
Pada saat makan malam bersama dengan Pak Lurah dan istrinya,
aku beranikan bertanya perihal Gending.
“Dia memang tidak punya teman. Ya, siapa juga yang mau
berteman dengan Gending dengan kondisinya yang demikian? Bagi
Gending sendiri, bertemu dengan orang mungkin akan memancing
traumanya. Sebelum suka mengasingkan diri, teman-temannya sering
memanggilnya Gending gendeng.”
Mendengar cerita dari Pak Lurah dan istrinya, aku kasihan. Suatu
hari aku meminta izin. “Bolehkan saya menemui Gending, Pak?” Pak
Lurah dan istrinya mempersilakan. Sejak saat itu, waktu penelitianku
terbagi dengan hal ihwal Gending. Tentu saja pada awalnya Gending
tidak mau menerimaku. Ia marah-marah setiap kali melihatku.
Aku terus mencoba mendekati. Hingga suatu hari ia mulai melihat
kesungguhan niatku bermaksud mendekatinya. Tahu pintu terbuka,
aku memanfaatkannya. Aku membuka percakapan dengan hal ihwal
gamelan. Ia nampak sangat tertarik. Ketika aku merasa kami sudah
larut dalam keakraban, aku memberanikan diri bertanya kepadanya
perihal kebiasaan menabuh gong yang hampir tiap malam ia lakukan.
“Gong ini kekasihku. Aku mencintainya. Aku ingin menikah
dengan dia,” jawab Gending waktu itu. Jawaban membuatku ingin
tertawa kerasa andai saja bisa. Syukur aku bisa menahan hasrat
tertawa itu. Sehingga tak perlu kulihat ia kecewa oleh ulahku. Maka
kuurungkan, aku berupaya kuat menahan tawa. Di lain waktu aku jadi
memikirkan hal itu, apakah perasaan orang gila bisa bekerja. Apakah

43
orang gila tahu ketika ada orang lain yang tidak menghargainya. Ah,
aku bingung.
“Jika sudah menikah dengan gong, aku ingin punya anak yang
banyak banget,” kata Gending di kesempatan yang lain. Ah, semakin
aneh saja. Mana bisa, punya anak.
“Mengapa?” Tanyaku yang kupikir sama gilanya.
“Semua anak-anakku akan kuajari gamelan,” jawabnya sembari
senyum-senyum.
Saking asyiknya setiap kali bertemu dengan Gending, aku
sering lupa waktu. Tiba-tiba saja hari sudah sore dan aku sadar telah
melewatkan jadwal penelitianku. Karena hal itu, sampai mendekati
jadwal pulang aku merasa belum mendapatkan data yang lengkap.
Gending tak mau kutinggal. Selain tak tega meninggalkannya,
ternyata aku juga menikmati setiap kebersamaanku dengan Gending.
Tapi suatu hari aku terpaksa meminta izin padanya untuk melengkapi
kebutuhan data. Musabab itulah, Gending teriak-teriak. Sepertinya
dia marah padaku. Salah satu bagian percakapan pada saat dia marah-
marah itu masih jelas kuingat.
“Semua membuat tetapi tidak pernah mau belajar,” katanya.
“Maksudnya?” Tanyaku karena tak tahu apa artinya.
“Orang-orang di sini tidak ada yang nabuh gamelan.”
“Aku tidak mengerti.”
“Gamelan hanya dianggap dolanan. Desa ini tak pantas dinamai
Condong Raos. Pantasnya dinamai Condong Bubrah7 saja.”
Aku menggeleng, sembari sedikit senyum.
“Wong sing tuku, wong sing sinau. Wong-wong kene goblok
kabeh.”8
Waktu itu aku termenung cukup lama memikirkan perkataan
Gending. Setelah jeda, entah kenapa aku justru merasa tidak butuh
7. Lebih ke rusak
8. Orang yang beli, orang yang belajar. Orang-orang di sini bodoh semua.

44
lagi mencari tambahan data. Barangkali apa yang dikatakan Gending
sudah cukup sebagai data tambahan. Tapi buru-buru aku tersadar.
Apakah keterangan dari orang gila bisa dipercaya. Apakah keterangan
dari wong gendeng bisa dipakai sebagai sumber data untuk penelitian
ilmiah.[]

45
Ngaliman
Si Pengrawit
Angelina Enny

N galiman memacu kakinya lebih cepat lagi. Kepalanya


merunduk serendah mungkin. Jauh di bawah pucuk-
pucuk pohon teh yang biasa disianginya. Telapaknya tak hirau
pada perih cerucup yang diinjaknya. Ia harus lari sepesat
mungkin. Untung malam ini bulan terang, pikirnya. Karena
itu matanya nyalang mencermati kelak-kelok jalur pemisah
kebun. Derap sepatu yang mengejar di belakangnya seperti
sepeleton kuda yang mengikuti kirab keraton.
Sesuatu menusuk telapak kirinya. Ia mengaduh tertahan
sambil jatuh terduduk. Sepotong beling bekas botol. Sial,
katanya dalam hati. Ini pasti kerjaan Patus Ponti, mandor kebun
yang sering membawa ciu saat bertugas. Ponti mandor yang
kejam dan beringas saat mabuk. Ia bisa menampar petani yang
menentangnya bahkan atau tiba-tiba ngamuk memecahkan
botol. Tidak ada yang berani melaporkan kelakuannya.
Risikonya justru bisa balik diadukan. Bulan lalu, seorang
46
pemetik teh perempuan melaporkan tindakan pelecehan yang
dilakukan Ponti. Esok harinya si pemetik tidak boleh bekerja lagi
dengan alasan selain memetik teh, ia juga dengan sengaja memetik
berahi dari pekerja lain.
Ngaliman merebahkan diri ke rerimbunan teh. Ia mencabut
pecahan dari telapak kaki sambil menggigit ujung bibirnya. Sejurus
kemudian aroma darah kental menguar di udara bercampur dengan
embusan angin malam. Ngaliman mencabut beberapa daun di
dekatnya, mencampurkannya dengan saburan tanah lalu menekannya
pada luka di kakinya.
Ia memetakan kebun teh itu dalam pikirannya. Seharusnya
sekarang ia berada di tanah garapan Edi Wowor. Jika ia belok ke kiri
di depan, tidak sampai 500 meter ia akan sampai di jalan raya. Tengah
malam seperti ini tidak akan ada tumpangan ke arah kota, maka ia
harus masuk ke hutan cemara dan menyusuri lereng Lawu. Mendadak
kantuk menyerangnya. Ia menggelengkan kepala beberapa kali untuk
mengusir kantuk. Matanya terpejam sebentar. Mungkin pasukan
itu sedang kebingungan menentukan prakiraan ke mana Ngaliman
berlari. Barangkali tak apa ia mengangut. Toh pasukan itu pasti
kecapaian. Mengejar Ngaliman sejak tadi.
Siang tadi, Ngaliman dan beberapa kawannya berkumpul di
depan kantor perkebunan. Mereka berteriak menuntut penggantian
lebih atas pengusiran lahan. Perkebunan Nusantara ingin memperluas
lahan 3000 hektar itu dengan tanah Perhutanan Nusantara sebab
memang letaknya tepat bersebelahan.
Rakyat yang telah turun-temurun setia menggarap lahan diminta
untuk pindah dengan iming-iming penggantian tanah pekerjaan.
Tetapi tanah itu puluhan kilometer dari rumah mereka, dan tanah
uruk yang berada di lereng gunung tentulah lebih sulit digarap serta
memerlukan waktu yang lebih lama supaya agak siap digarap.

47
Ngaliman bersama beberapa kawannya yang tergabung dalam
Barisan Tani memprotes aturan sepihak itu. Setelah asar mereka
mendatangi kantor Perkebunan Nusantara dan meminta penggantian
lokasi tanah yang lebih dekat. Kepala Perkebunan sudah menyetujui
adanya diskusi lanjutan. Tetapi Karsono, seorang petani dari kampung
tetangga yang hari itu ikut berorasi di depan Kantor Perkebunan
Nusantara terlalu bersemangat berkata-kata. Ia mengambil batu
di sekitar kantor dan menimpuk seorang pegawai perkebunan.
Terjadilah saling tegang antar kedua pihak.
Ternyata Perkebunan Nusantara sudah menyiapkan bala
bantuan berupa beberapa petugas sehingga dalam sekejap para petani
yang berorasi langsung kocar-kacir. Enam orang ditanggap termasuk
Karsono, dan saat diinterogasi ia menuding Ngaliman mengajak
mereka. Ngaliman yang saat itu langsung pulang ke rumah, dijemput
kembali oleh tiga orang petugas.
Petugas itu mendesak, tanpa memberikannya waktu untuk
mandi dan berganti baju. Ngaliman hanya sempat menuliskan pesan
dengan terburu-buru, yang diselipkannya ke sebuah buku. Ia berharap
Marni, anak perempuannya menemukan pesan itu sebab Ngaliman
tahu Marni suka dan sering membuka buku bersampul merah itu.
Waktu Marni remaja dulu, Ngaliman sering menceritakan isi buku
itu. Sementara Marni melihat ilustrasi di dalamnya. Buku itu bukan
buku anak-anak, tapi tidak ada buku lain di rumah mereka untuk
mengenyangkan minat Marni pada kata. Sepertinya ia sangat tertarik
pada tokoh perempuan di dalam buku itu. Barangkali karena ia tak
pernah mengenal ibunya maka ia menganggap buku itulah ibunya.
“Daripada Bapak ngurusi tani, mending bapak karawitan lagi,”
kata Marni suatu ketika. Tapi sejak kembali dari Digul, ia tak ingin
lagi menabuh. Dulu ia adalah pengrawit yang cukup dipandang
untuk memeriahkan acara susuhunan. Ia juga sering mengumpulkan

48
beberapa pemuda sekitar untuk diajari gamelan. Tapi entah mengapa,
hal itu malah meresahkan Pemerintah Belanda. Ngaliman lantas
dibuang ke tanah asing.
Di Tanah Merah, ia mencoba meneruskan cita-citanya. Ngaliman
mengajak beberapa kawan untuk membuat gamelan sederhana. Ia
mengerahkan akal untuk melewati hari dengan cara menyenangkan.
Mereka mengumpulkan rantang-rantang rangsum tak terpakai
(biasanya karena rompes) untuk disusun terbalik menjadi bonang.
Empat belas rantang untuk laras pelog bernada tujuh dengan suara-
suara tengah, sedangkan dua belas rantang untuk laras slendro yang
beroktaf tinggi.
Mereka menyusun bilah-bilah bambu yang dilubangi dan diikat
kawat untuk dijadikan gambang. Bekas kaleng susu diratakan dan
diikat pada kayu-kayu sisa dari pintu-pintu tua menjadi saron. Belanga
dipakai sebagai gong dengan tongkat penabuh berbebat gombal
dan kendang dibuat dari sisa kulit kelinci hasil buruan. Kekurangan
menyebabkan mereka berpikir kreatif. Setiap akhir pekan, para
tahanan berkumpul di aula, sekadar menonton atau belajar menjadi
pengrawit dari Ngaliman. Hal itu berlangsung bertahun-tahun sampai
ia dibebaskan karena dianggap bersikap kooperatif. Hak kebebasan
itu membuat ia senang sekaligus sedih. Ia merasa sedih berpisah dari
kawan-kawannya di Digul. Juga dari Panglipurlara dan Sembahati-
sepasang bonang yang dibuatnya bersama mereka. Maka ia meminta
izin membawa Panglipurlara bersamanya. Sementara Sembahati
ditinggalkannya di Tanah Merah itu. Supaya teman-temannya tetap
terhibur.
Tapi kekecewaan begitu setia mengikutinya. Di satu tahun,
Pemerintah Belanda begitu merasa terancam pada kawan-kawan
Digul-nya sehingga mengirim mereka ke benua bawah. Mereka
melarung samudra bersama Sembahati. Entah sampai kapan karena

49
Ngaliman tak pernah mendengar lagi berita tentang kawan-kawannya
itu. Sejak itu Ngaliman berhenti mengajar gamelan, meski ia memiliki
murid yang cukup cakap dan setia, salah satunya Nursyamsi yang
kelak menjadi anak mantunya. Seolah duka menyerah untuk dihibur.
Ngaliman menyimpan rapat-rapat Panglipurlara bersama cerita di
dalamnya. Ia memusatkan perhatiannya pada kebun teh, berdiam
dalam kekecewaan akan seni, sampai datang ia merasa harus bangkit
lagi, meski kali ini ia memperjuangkan hal yang berbeda.
Semoga kamu bisa menemukannya, Ndhuk, doa Ngaliman dalam
hati. Dalam hatinya ia tidak tahu apakah harapannya kali ini akan
berbuah kecewa lagi. Perlahan air matanya mengalir, tidak juga
karena sakit yang makin dirasakan di telapak kirinya, tapi untuk
semua ingatan yang mendadak bermunculan di malam itu. Momen-
momennya sebagai pengrawit, menikmati gending pentatonik yang
membelai indra pendengarannya. Senyum para kawan dan murid-
muridnya, saat mereka pertama kali berhasil menabuh nada. Sejenak
ia mendengarkan semilir angin yang menyuarakan kenong, bonang
dan saron. Ia menggelengkan kepalanya lagi, kali ini tidak untuk
mengusir kantuk, tapi untuk meyakinkan dirinya bahwa benar itu
suara merdu gamelan yang diterbangkan angin di antara harum
pucuk-pucuk daun teh siap petik, dan di bawah gemintang yang
menemani bulan mengangkasa.
Sebelum ia benar-benar menyerahkan kantuknya, Ngaliman
tersenyum pada langit. Ia berteriak pada langit.
“Selamanya aku pengrawit!”
Dari kejauhan, titik-titik kuning cahaya senter berbalik arah
mendekatinya.[]

50
PUISI

51
52
Juru Demung
Rizki Amir

dua puluh satu kuda jadi rangka pada lagu-lagu yang beku. dan
di dengung terakhir juru demung, aku tahu, tak akan ada lagi
yang bertanya. sebab perjalanan semakin tak terduga. tapi magrib
telah raib, dan kita saksikan baginda menjelma saka di setiap gatra
asmaradana.

hanya sisa nyala-bara renjana dan telapak tangan. lalu gerhana


terbuka, mengirimkan serentetan

dada pada pepohonan. bila esok hari pada peta


ada api yang menyala, laki-laki itu tidak akan
kembali, karena ia tak percaya diri lagi.

2018

53
Kenong
yang Berlari
Rizki Amir

nong. dengan sebuah pentungan, kupapras aturan. ngrumat


kuningan jadi kenangan. menyiasati hati dan tatapan. tapi
pergunjingan terus mendesak. di utara, katamu, palagan itu
disengkelitkan. dengan pangkon di dada, kurapal huruf-huruf jawa.
tapi dari tiap bebunyian, ada lingkaran yang hilang.
ji. langgam berhamburan. kesuburan seperti baru saja dilepaskan. o,
jagad dewa batara, aku serupa gamelan dalam keheningan. berderet-
deret cerita kesatria perkasa jatuh dan bersahutan.
nem. kulanggar batas-batas gatra agar tak ada lagi dadu yang
semakin pendiam. gelungan beruraian. setengah depa setelah lagu
kedua, kencana datang tiba-tiba.

2018

54
Gamelan,
Gendhing Masa Lalu
Seruni Unie

1.
Pernah kutaruh rasa benci pada seperangkat gamelan itu, ibu.
Lantaran selalu mengalun suaramu, menyembah kelangenan.
Bonang, siter, kenong pula gendang adalah saksi pongah. Saat
kehadiranmu melengkapi kegenitan para wiyaga yang tak kenal
lelah.
Dulu, di jauh remajaku. Segala cibir kuterima, semenjak sinden kau
pilih sebagai jalan cerita.
Pernah kusimpan dendam itu, ibu. Di saku rok abu-abu. Dan
memusuhimu diam-diam, setiap pulang tanggapan. Lalu mengharap
segala terhenti. Menyetop amarah bapak juga desir angin sengak.
Masa itu, aku baru 17. Saat ego trengginas
Sedang usiamu 40, dengan emosi belum teduh
Sementara waktu berdenyut semena-mena
Tak menyisakan bahagia apalagi mesra di antara kita
Gamelan terus dibunyikan, mengiringi pertengkaran demi
pertengkaran

55
2.
Sepurane, ibu. Sekarang aku tahu, nggerongmu serupa wasilah.
Agar anak-anakmu tumbuh mamah. Tak melolong lapar, meski
langkahmu sendiri sempoyongan. Menahan tatapan caci, melawan
sindiran keji
Sepurane, ibu. Bila sempat kudurhakai titi laras bawamu

Solo, 29 Juli 2018

56
Laras Mengadeg
Eko Setyawan

/Ji/
Suara kendang membuka pertunjukan di selasar gunung.
Dua ketuk dan sebuah kepakan terlintas di puncaknya.
“Segalanya dimulai jika tak pernah diakhiri.”

/Ro/
Kita mendaki dengan suara kenong yang mulai meninggi.
Aku berjalan ke arah langit menaiki anak tangga
dan kau pergi ke arah sebaliknya.
“Naik adalah perjalanan menuju abadi.
Jangan pernah turun, jika kau tak ingin segalanya selesai.”
Rebab menyusul.
Mendaki ketinggian dengan menghadapi gesekan yang menyakitkan.

/Lu/
Kita berlari cepat.
Secepat ketukan saron yang membangkitkan kehidupan.
“Apakah segala hal di dunia ini akan bertahan?”

57
Aku memilih diam di antara kethuk kempyang yang hanya sesekali
mengikuti.

/Pat/
Patutkah kita berdiam diri di tengah keriuhan ini?
Bonang tak akan membiarkan kita kesepian.
Ia mengajarkan kita
: bahwa kebaikan tak ubahnya seperti pertunjukan.

/Ma/
Kita bergetar hebat.
Serupa slenthem yang mengatur irama.
Jika saja keliru.
Kita sama-sama tidak pernah tahu.

/Nem/
Tangan kita bergandengan.
Menganyun serupa gender.
Segalanya terlampau tiba-tiba dan tak pernah kita ketahui mulanya.

/Pi/
Gong adalah akhir.
Tujuh ketukan dan kutukan yang menghinggapi diri kita.
Kelak, kau akan berdiri dan mendengar yang mana?

Pati, 2018

58
Gara-gara Cahaya
Silvia Haryati

Saron adalah fiksimini,


Mencengangkan dalam sekali temu.
Hijau dalam ingatan, selalu.
Tersembahkan untuk mata-mata pencinta musik dan teater.
Duduk manis memeluk lutut, penasaran.
Lampu dimatikan,
Pemain meraba, memukul bilah, harus sesuai nada.
Namun, cahaya putih merusaknya.
Tamat.

59
Membaca Karawitan
Budhi Setyawan

adalah gending-gending dari getar gamelan yang


disentuh penabuh, seperti ada yang bergantian
tumbuh, membelah ruang menjadi bermacam jalan
bagi petualang. yang dipukul tetaplah timbul, yang
dipetik menyusun rintik. yang digesek tidaklah
sobek, yang ditiup mendebarkan hidup. seperangkat
nada dari tembang seperti pohon-pohon kembang
di taman saling bergerak mengisi kisi-kisi derap yang
acap rapat dan kadang bergoyang merentang luang.

adalah denting-denting dari pernyataan sekaligus


pertanyaan, yang bergerak pada bentang kedatangan
dan kepergian, lalu diam-diam bermukim dalam
kenangan. Kata-kata bergerak pada ambang tafsiran,
antara yang diucapkan dan ditahan di dalam badan.
kapan dan di mana, semacam awalan atau pembuka,
kesederhanaan tentang apa-apa yang menjadi tujuan
keingintahuan atau ihwal di luar lapis perkiraan.
apakah napas hanya ada saat ini dan di sini, atau
barangkali kekal dan meliputi.
60
adalah keping-keping dari ingatan yang berjalan,
menyeruak lalu menelusur hingga segala lekuk dan
ceruk detak kegaiban. seperti mencari keberadaan
diri di antara kelindan kabar yang menggugah
keharuan berdenyar. demikian, perlahan meraba-raba
pegangan untuk bersandar pada galih angan yang
menegak ke langit begitu wingit. dan ternyata
bermacam variasi bunyi yang menguar itu begitu
disiplin bermain-main cuma untuk mengantarkan
sekelumit sunyi.

Jakarta, 29 Juli 2018

61
Pujakesuma
Dhani Lahire Awan

Aku mengelesot sekenanya


Di putih lantai setelah ibu mengibaskan kain batiknya
Malam itu mataku terpaku pada selembar peta
Pulau besar dengan nama Sumatera
“Benar aku keturunan Sumatera, bu?” tanyaku
Ibu mengangguk sembari menebar gemerlap bintang
Menyala terang pada sudut-sudut ruang
Bagai suluh yang tak ingin padam menuntun hidupku
“Solok nak... Solok... itu kota kelahiran Ayahmu”
“Sumatera Barat pulaunya,” ibu merangkai kata
Telingaku menangkap tajam barisan kata ibu
Mataku mengeja abjad-abjad pada peta yang terjalin menjadi kota
Seruling dalam figura itu adalah saluang
Terbuat dari bambu talang
Hanya memiliki empat lubang
Cerita ibu seakan ingin menguak misteri yang terpajang
Nenekmu membuat lemang dengan talang
Datukmu lebih memilih membuatnya menjadi saluang
Meskipun ayahmu memanggul senjata

62
Tapi ia tak lupa akar budayanya
“Nada saluang Solok paling sedih, Nak,” ibu merapat padaku
“Sebagai pengingat kampuang nan jauh di mato,” sambung Ibu
Aku mengambang tenang kala ibu menatapku dalam
Mata ibu bercahaya, menjelma hangat membalut malam
Aku benar separuh orang minang , tak sekadar suka rendang
“Kau nak...kau adalah pujakesuma, putra Jawa keturunan Sumatera”
Di tingkah renyai hujan di malam yang kian matang
Sudut mataku menangkap ibu menjelma bunga wangi tak terkira

Semarang, Februari 2018

63
Gamelan Digul
Rizki Andika

pada kaleng bekas dan potongan besi


kau percayakan jiwa-jiwa tiap nada

pada tangan tawanan di digul atas


kau ajarkan mereka menghapus resah

pada langit siang dan malam di papua


kau persembahkan segala nyanyian

pada semangat pejuang yang tertawan


kau kabarkan doa-doa anak cucu

pada tubuhku yang kosong ini


kau nyanyikan aku nada merdeka

Karawang, Juli 2018

64
ESAI

65
66
Tetabuhan
Selapan Dina Sepisan
Ichwan Prasetyo

G amelan tak asing di telinga saya. Gamelan tak asing bagi


jiwa saya. Di mana pun mendengar bunyi gamelan, saya
langsung bisa menikmati. Gamelan telah menjadi bagian hidup saya.
Sayangnya, saya tak bisa menabuh satu pun ricikan gamelan.
Saya tak punya kemampuan paling dasar untuk membunyikan
gamelan, entah itu bonang, saron, demung, gong, kendang, apalagi
yang sekelas rebab. Nada pentatonis gamelan sama sekali tak saya
pahami. Saya hanya paham aneka ricikan gamelan. Saya paham
bentuk seperti ini disebut demung, bentuk seperti itu disebut saron,
bentuk yang itu adalah bonang, dan lain sebagainya.
Jangan minta saya menabuh aneka ricikan gamelan itu. Saya
sama sekali tak bisa, apalagi kalau harus menabuh dalam sebuah
komposisi pelog atau slendro dalam sebuah grup pengrawit yang
lengkap dengan ricikan gamelan masing-masing. Saya buta musik
gamelan. Saya nul puthul dalam hal tata musik gamelan.
Saya hanya penikmat gamelan. Itu pun penikmat yang tidak
67
konsisten. Dalam hidup saya, tidak ada waktu khusus untuk menikmati
gamelan. Yang saya rasakan hanya itu tadi, saya begitu gampang
menikmati suara gamelan. Saya begitu “otomatis” menikmati alunan
gending-gending.
Semua itu memang tak bisa dipisahkan dari perjalanan hidup
saya. Saya lahir di keluarga yang memang akrab dengan tradisi dan
budaya Jawa. Bapak saya seorang guru yang sangat musikal. Ibu saya
seorang ibu rumah tangga dan wirausaha yang musikal pula.
Dari sisi pendidikan formal keguruan dan pendidikan, bapak
saya adalah guru pelajaran Bahasa Indonesia, tapi beliau selalu
mendapat sampiran tugas mengajar seni musik sebagai bagian dari
pelajaran Seni dan Budaya.
Di kehidupan sehari-hari, sejak muda—ini saya ketahui dari
cerita ibu saya—bapak saya memang musikal, khususnya musik
tradisional Jawa: gamelan. Dusun tempat saya lahir dan tumbuh
mendewasa, tempat bapak dan ibu saya membangun rumah tangga, di
kaki Gunung Merapi di wilayah kabupaten Sleman, Daerah Istimewa
Yogyakarta, adalah dusun yang sangat lekat dengan gamelan.
Saya ingat ketika masih kecil, setiap hari saya melihat wujud
gamelan di dusun. Gamelan itu ada di rumah kepala desa, di rumah
kepala dusun, dan di rumah seorang tokoh dusun. Beberapa perangkat
gamelan itu ditabuh selapan dina sepisan (35 hari sekali) dalam sebuah
parade latihan bersama nabuh gamelan yang diikuti warga dusun
tersebut.
Jamak kala saya masih kecil, bila bermain selalu menjelajah
wilayah dusun yang terdiri atas dua rukun tetangga itu. Rumah
kepala desa sebagian menjadi ruang publik, karena saat itu sebagian
lahan pekarangan difungsikan menjadi lapangan bola voli. Hampir
tiap sore lapangan jadi tempat berkumpul kaum muda dan dewasa.
Kalau tak main voli, ya, sekadar berkumpul dan mengobrol. Kami

68
sebagai anak-anak ikut berkumpul sambil bermain.
Rumah kepala desa yang cukup besar itu sebagian jadi tempat
menata ricikan gamelan lengkap. Gamelan itu tiap selapan dina sepisan
ditabuh dalam sebuah parade latihan yang diikuti kaum dewasa warga
dusun, laki-laki maupun perempuan, termasuk kaum lanjut usia.
Saya lupa bagaimana sistem pembagian jatah untuk nabuh
gamelan kala itu. Yang jelas, seingat saya, memang ada sebagian
besar warga yang datang hanya untuk mad-madan, menikmati alunan
suara gamelan yang ditabuh oleh sesama para tetangga mereka.
Biasanya tetabuhan gamelan itu berlangsung sejak selepas isya
sampai jelang dini hari. Saya ingat betul, karena meskipun rumah
orang tua saya agak jauh dari rumah kepala desa, alunan suara
gamelan yang ditabuh pada malam hari itu terdengar dari rumah
orang tua saya.
Di rumah kepala dusun yang agak jauh ke selatan dari rumah
kepala desa, ada jadwal khusus nabuh gamelan juga. Jamaknya,
seingat saya, yang nabuh gamelan di rumah kepala dusun adalah
kaum muda, laki-laki maupun perempuan. Kalau tak salah ingat,
jadwalnya juga selapan dina sepisan.
Tetabuhan gamelan di rumah kepala dusun ini tak begitu
terdengar dari rumah orang tua saya karena memang terlampau
jauh. Di dua rumah inilah kala saya kanak-kanak dan jamak bermain
bersama kawan-kawan sedusun, selalu menemui ricikan gamelan.
Saya ingat betul, di sela-sela kelelahan bermain, kami sering mampir
di dua rumah ini dan biasanya dibebaskan masuk ke ruang besar di
bagian depan rumah tempat ricikan gamelan ditata.
Tak jarang kami iseng-iseng menabuh ricikan gamelan itu, tanpa
aturan dan irama tentu saja. Itulah pengalaman yang paling saya
ingat sampai hari ini, pengalaman menyentuh gamelan dan menabuh
gamelan, walau tanpa tata tabuh dan tata irama yang seharusnya.

69
Saya masih ingat ada satu ricikan gamelan lagi di rumah salah
seorang tokoh dusun tempat lahir saya itu. Saya tidak ingat apakah
saya punya pengalaman khusus mengenali gamelan di rumah yang itu.
Seingat saya, rumah tokoh dusun – yang kemudian jadi salah seorang
pemrakarsa pemberdayaan dusun saya menjadi desa wisata, sehingga
kini terkenal menjadi desa wisata mandiri di kabupaten Sleman – itu
memang tak seterbuka rumah kepala desa dan kepala dusun. Mungkin
saya tak sempat intensif bergaul dengan gamelan di rumah itu.
Di tengah dusun seperti itulah bapak dan ibu saya hidup dan
melahirkan anak-anak mereka. Bapak dan ibu saya sangat akrab
dengan gamelan. Bapak pemain kendang yang andal, ibu sering ikut
latihan nyinden. Mereka berdua juga sering terlibat dalam pentas-
pentas ketoprak. Baik sebagai pemain atau pengrawit.
Dalam keseharian, mereka juga menunjukkan kelekatan dengan
gamelan. Tiap lepas zuhur hingga sore, bapak sering menyetel siaran
Uyon-uyon Manasuka yang disiarkan beberapa radio di Jogja yang
frekuensinya tertangkap. Pada malam hari, bapak sering menyetel
siaran wayang kulit semalam suntuk.
Bapak juga mahir nembang Jawa, terutama Pocung, Gambuh,
Sinom, Dhandhanggula. Ibu sangat musikal pula. Mahir uyon-uyon.
Khusus ibu saya—katanya—pernah menjadi penyanyi band kala
masa sekolah di salah satu SMK di Jogja. Musikalitas ibu saya lebih
mayoritas ke musik-musik kontemporer.
Dari situlah jiwa masa kecil saya menjadi sangat akrab dengan
gamelan. Itu tampaknya membekas kuat di benak saya. Semacam
lukisan permanen dalam jiwa dan benak sehingga setiap saat saya
mendengar alunan gamelan —yang kini saya tak bisa membedakan
itu gamelan slendro atau pelog— seperti otomatis “pulang,” otomatis
jiwa saya “gathuk” dengan alunan gamelan itu.
Dalam konteks eksistensi gamelan, saya meyakini orang-orang

70
seperti saya ini penting. Saya dan orang-orang yang setipe dengan
saya adalah audiens gamelan. Dalam konteks eksistensi alat musik
dan musik itu sendiri —gamelan dan gending— saya dan orang-
orang yang setipe dengan saya adalah tempat hidup gamelan.
Ketika masa awal saya menekuni profesi jurnalis dan sering
meliput isu-isu seni dan kebudayaan, pendapa Taman Budaya Jawa
Tengah dan Pendapa SMKN 8 Solo adalah tempat saya menautkan
lukisan permanen musikalitas gamelan dalam jiwa. Satu tempat lagi
adalah Pendapa Ageng Pura Mangkunegaran.
Di tiga tempat-tempat itulah saya sering menyentuh ricikan
gamelan yang tertata. Dalam acara-acara yang saya liput di tiga
tempat itu, saya menyempatkan berada di sana beberapa puluh menit
menikmati tabuhan gamelan. Entah itu mengiringi tarian, menyambut
tamu, festival dalang bocah, pentas ketoprak, dan lain sebagainya.
Masa-masa saya jauh dari gamelan adalah ketika saya menjalani
studi di universitas negeri di pinggir Bengawan Solo. Masa itu, boleh
dikatakan saya terputus dengan gamelan. Di asrama mahasiswa yang
saya tinggali, tak ada benda-benda yang bisa menautkan diri saya
dengan gamelan. Saya kembali tertaut dengan gamelan, ya, ketika
awal menekuni profesi jurnalis sampai sekarang.
Ketika saya membaca berita yang ditulis reporter media tempat
saya menjadi buruh ihwal rencana pergelaran International Gamelan
Festival (IGF) di Solo pada 9-16 Agustus 2018, ada rasa bangga,
“mongkog,” yang menyeruak dari benak saya. Di forum rapat
redaksi, saya menyarankan agar acara ini diberitakan dengan intensif
dan kebetulan panitia acara memang menjalin kerja sama formal
dengan media tempat saya menjadi buruh itu.
Dalam pemaknaan saya, IGF harus menyediakan ruang bagi
orang-orang seperti saya, yang punya pertautan jiwa dengan gamelan
tapi nul puthul dalam hal menabuh gamelan. Orang-orang seperti

71
saya harus disediakan tempat, ruang, dan waktu untuk menikmati
tetabuhan gamelan di sepanjang acara IGF.
Katanya ada sejumlah kelompok gamelan dari luar negeri yang
akan tampil di IGF. Ini tentu sebuah hiburan langka bagi orang-orang
seperti saya. Melihat orang mancanegara menabuh gamelan tentu jadi
sesuatu yang sangat menarik. Bisa jadi, puluhan kelompok gamelan
lokal yang juga akan tampil di IGF akan menampilkan komposisi
gamelan yang kontemporer atau yang sakral magis tradisional.
IGF harus membumi. Jangan hanya menjadi milik kaum elite
yang memahami gamelan dalam konteks akademis, pertunjukan, atau
lainnya yang malah mengabaikan orang-orang seperti saya—yang
saya yakini jumlahnya pada era kini pasti sangat banyak.
Dengan format IGF yang membumi, baik di sisi pergelaran,
workshop, diskusi, seminar, dan lainnya, saya yakin IGF akan bisa
jadi momentum untuk menguatkan eksistensi gamelan di dunia,
khususnya di rumahnya sendiri di Solo, sekaligus mengenalkan musik
dan alat musik tradisional ini kepada generasi muda era kini.
Kali terakhir saya mampir di rumah kepala dusun – kini
sebutannya tentu mantan (almarhum) karena ada kepala dusun baru
yang lebih muda – di dusun tempat saya lahir, adalah pada lebaran
Juni lalu. Rumah itu selalu jadi salah satu rumah yang saya kunjungi
saat silaturahmi lebaran karena pemilik rumah itu termasuk tetua
dusun saya.
Di sana saya melihat ricikan gamelan, bukan ricikan gamelan
ketika saya masih kecil, yang kini difungsikan sebagai salah satu
atraksi wisata. Seperti saya sebut di muka, kini dusun tempat lahir
saya itu menjadi desa wisata mandiri yang terkenal dengan sebutan
Dewi Peri, Desa Wisata Pentingsari.
Anda bisa menjelajahi Dewi Peri ini dengan bantuan mesin
pencari di Internet: Google. Di dusun tempat lahir saya itu, kini

72
ricikan gamelan disediakan bagi rombongan wisatawan yang ingin
belajar menabuh gamelan. Fasilitator belajar nabuh gamelan itu
adalah para pemuda dusun yang mahir mengelola dusun itu menjadi
desa wisata.
Gamelan masih lestari di dusun tempat lahir saya dengan
penyesuaian eksistensi selaras zaman sekarang. Saya ingat pernah
berdiskusi dengan I Wayan Sadra (almarhum) dan Prof. Rahayu
Supanggah tentang gamelan. Dua orang ini saya posisikan sebagai
ilmuwan gamelan yang punya otoritas tinggi untuk membicarakan
gamelan secara kebudayaan, akademis, maupun praksis. Wayan Sadra
berangkat dari gamelan Bali tapi juga memahami gamelan Jawa.
Menurut mereka berdua, gamelan adalah genre musik yang
eksistensinya seperti samudra. Bisa menerima dan masuk ke dalam
musik apa pun untuk berkomposisi bersama. Saya lalu ingat album
bergenre rok berjudul Laskar milik Gong 2000 yang pekat dengan
nuansa ritmis gamelan Bali.
Saya membuktikan bahwa gamelan—dengan sebutan sosiologis
sebagai musik tradisional—bisa saya nikmati sebagaimana saya
menikmati musik modern genre metal ala Metallica, Megadeth,
Down for Life, God Bless, Edane, Power Metal, dan sejenisnya.
Musik adalah bahasa universal. Gamelan sebagai bagian dari bahasa
musik telah membuktikan unversalitas itu.[]

73
Nang Ning
Nung Gung:
Gamelan dan Kesakralan Seni Tradisional
Erliyani Manik

Seni tanpa Ilmu Kebijaksanaan adalah nihil


[St. Thomas Aquinas]

“G amelan kaca di pendopo itu dapat bercerita lebih


banyak daripadaku. Mereka sedang mainkan
lagu kesukaan kami bertiga. Itu lebih tepat dikatakan bukan
lagu, bukan melodi, hanya nada dan bunyi. Begitu lunak dan
begitu lembut, bertingkah dan menggetar campur aduk tanpa
tujuan, membubung, tetapi betapa mengharukan, betapa
mengharukan indahnya! Tidak, tidak itu bukan bunyi-bunyian
dari gelas, atau kuningan, atau kayu yang membubung di sana
itu; itu adalah suara yang keluar dari jiwa manusia, yang bicara
pada kami itu, sebentar mengeluh-ngeluh, kemudian meratap
dan kadang saja tertawa. Dan jiwaku sendiri melayang bersama
dengan gemercik perak yang suci itu ke atas, ke langit biru, ke
74
mega kapas, ke bintang-gemintang gemerlap, bunyi-bunyi bas yang
dalam membubung ke langit, dan bunyi-bunyian itu membawa
aku menelusuri lembah-lembah dan lurah-lurah gelap dan dalam,
melewati hutan-hutan yang lengang, menerobosi belantara yang tak
tertembusi! Sedang jiwaku gemetar dan meriut ketakutan, kesakitan
dan dukacita!” Demikan tulis Kartini dalam suratnya kepada Estelle
Zeehandelaar sahabatnya. Dikutip dari novel Pramudya Ananta
Toer, Panggil Aku Kartini Saja.
Gamelan bagi Kartini adalah suara yang keluar dari jiwa
manusia. Kartini adalah penikmat gamelan, yang menikmati dengan
rasa (roso), hingga mampu memaknai alunan gamelan dan gending
sebagai ekspresi kegundahan jiwanya kala itu.

Gamelan dalam Waktu


Belum ada data autentik yang menjelaskan kapan terciptanya
alat musik ini. Tetapi, gamelan diperkirakan lahir atau dibawa
oleh peradaban Hindu dan Buddha di Indonesia. Walaupun pada
perkembangannya ada perbedaan dengan musik asli India, tetap
ada beberapa ciri yang masih melekat. Salah satunya adalah cara
"menyanyikan" lagunya. Penyanyi pria biasa disebut wiraswara dan
penyanyi wanita disebut waranggana. Namun lebih umum penyanyi
dalam gamelan dikenal sebagai pesinden yang biasanya perempuan.
Dalam sebuah cerita, alat musik gamelan yang pertama kali
diciptakan adalah gong, yang digunakan untuk memanggil paraw atau
orang. Setelah itu, gong digunanakan untuk menyampaikan pesan
khusus. Sang Hyang Guru kembali menciptakan beberapa peralatan
lain seperti dua gong, sampai akhirnya terbentuklah seperangkat
gamelan.
Pada zaman Majapahit, alat musik gamelan mengalami
perkembangan yang sangat baik hingga mencapai bentuk seperti

75
sekarang ini dan tersebar di beberapa daerah seperti Bali, Jawa, dan
Sunda. Hingga saat ini pun, gending Majapahit masih dikenal baik
oleh masyarakat.
Bukti autentik yang pertama tentang keberadaan gamelan
ditemukan di Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Pada
reliefnya terlihat beberapa peralatan seperti suling bambu, lonceng,
gendang dalam berbagai ukuran, kecapi, alat musik berdawai yang
digesek dan dipetik, termasuk sedikit gambaran tentang elemen alat
musik logam. Perkembangan selanjutnya, gamelan dipakai untuk
mengiringi pagelaran wayang dan tarian. Sampai akhirnya berdiri
sebagai musik sendiri dan dilengkapi dengan suara para sinden.
Gamelan yang berkembang di Jawa Tengah sedikit berbeda
dengan gamelan Bali ataupun gamelan Sunda. Gamelan Jawa memiliki
nada yang lebih lembut apabila dibandingkan dengan gamelan Bali
yang dinamis dan rancak. Sementara gamelan Sunda lebih mendayu-
dayu, didominasi suara seruling. Perbedaan itu adalah akibat dari
pengungkapan terhadap pandangan hidup dan karakter wilayah yang
mempengaruhi auditif masing-masing suku.
Misalnya orang Jawa, selalu mengutamakan olah rasa (rahsa/
roso) dalam setiap ritual kehidupan, terlebih dalam berkesenian.
Rasa ini berlapis-lapis, dari mulai lapis terluar yaitu bodily sensation
(sensasi tubuh), yaitu rasa melalui panca indera, lalu rasa lewat
emotion (perasaan) seperti marah, sedih, bahagia, dan lain-lain. Lalu
masuk lagi pada lapis terdalam yaitu passion (kersa/kerso). Yang
paling terdalam adalah sebuah titik conciousness (kesadaran) pada
Sang Pencipta, disebut sebagai cipta/cipto. (Benamou, Rasa: Affect
and Intuition in Javanese Musical Aesthetics, h. 44).
Memelihara keselarasan kehidupan jasmani dan rohani, serta
keselarasan dalam berbicara dan bertindak, menjadi bagian dari olah
rasa. Wujud paling nyata dalam musik gamelan adalah tarikan tali

76
rebab yang sedang, panduan keseimbangan bunyi kenong, saron,
gendang dan gambang serta suara gong pada setiap penutup irama.
Sebagai seni musik, gamelan adalah bagian dari kultur
masyarakat sejak kemunculannya hingga masa modern kini.
Setelah Hindu dan Buddha sebagi origin alat musik ini, saat Islam
mengkulturasi budaya Jawa, gamelan diolah secara ontologis menjadi
sebuah kesenian simbolis, dengan menggunakan simbol-simbol islam
yang merepresentasikan jiwa dan pemujaan kepada Sang Ilahi yang
bersifat sakral.

Seni adalah Sakral


Pada peradaban tradisional dan agama yang autentik, kesakralan
amat terpelihara. Semua hakikat semesta bersifat ilahiah. Artinya,
adanya seni sakral berperan sebagai jantung peradaban seni tradisional
dan agama-agama. Maka, tanpa ada peradaban tersebut, tidak akan
terasa sensibilitas yang sakral termasuk pada sense manusiawinya.
Diketahui bahwa seni suci dalam masyarakat adalah yang
bersumber langsung dari kehidupan jantung agama dan spiritualitas
itu sendiri. Di antaranya yang utama ialah wahyu suci dan karamah
para manusia suci dan manifestasinya (seperti musik, ukiran, tarian,
arsitektur, dan lain-lain) berperan dalam memfungsikan suasana
batin dan spiritualitas bagi segenap manusia. Di antaranya untuk
menciptakan suatu lingkungan di mana Tuhan selalu diingat (sadar)
di manapun dan kapan pun ia berada (eling).
Menurut tradisi agama dengan mode spiritualitas gnostik-nya,
intelektualitas dan spiritualitas tidak dapat dipisahkan. Ia mendasari
diri pada suatu ilmu pengetahuan yang bukan merupakan rasionalisasi
ataupun empirisisme, melainkan sebuah scientia sacra yang hanya
dapat dicapai berdasarkan cara-cara yang disediakan oleh tradisi.
Misalnya olah rasa lewat penyucian lahir dan batin.

77
Analoginya, selama kehidupan intelektual-spiritual berlangsung,
kejayaan seni akan terus terwujudkan, namun ketika intelektualitas
spiritualnya hilang, maka mutu seni mengalami kehancuran. Seperti
di dunia modern ini, realitas spiritualitas dan intelektualitas yang
memberikan daya hidupnya itu telah diabaikan. Maka, seni pun
menjadi cacat dan bobrok tidak lagi bernilai dan berperan dalam
kecerdasan tingkat jiwa-spritual.
Kebenaran ini ditegaskan oleh perennialis Frithjof Schuon, bahwa
“jika seni kehilangan sifat tradisionalnya dan menjadi manusiawi,
individual, dan oleh karena itu berubah-ubah, ini menjadi pertanda
pasti dan penyebab dari kemerosotan intelektual” (F Schuon, Mencari
Titik Temu Agama-Agama, h. 114).
Dengan demikian, alam tradisi menjadi wahana penyediaan
kesakralan, karena jantungnya adalah sains sakral (hikmah-
pengetahuan suci), sehingga dengan kesucian tersebut alam
lingkungannya mencerminkan tatanan ilahiah universal.
Dapat dipastikan bahwa, takkan dapat terasa kesakralan
dalam dunia modern, karena memang dunia modern anti terhadap
kesakralan, oleh karenanya hanya dalam peradaban tradisional
seni sakral dapat terwujudkan. Keterhubungan itu sangatlah kuat
relasinya dengan peran yang ontologis, sebagaimana ungkap Titus
Buckhardt, “sacred art is normally protected by its traditional rules…”
(Titus Buckhardt, Perennial Values, h. 5).
Seni sakral selalu berada dalam perlindungan alam tradisi
yang ekspresinya juga menampilkan seni tradisional sebagai laku
kehidupan sehingga menjadi abadi (perennial). Dengan demikian,
seni sakral menjadi inti dari peradaban seni tradisional dan religiusitas
yang memanifestasikan beragam bentuk seni, sebagaimana seni suci
dalam agama.
Fungsi seni sakral adalah untuk menyelamatkan dan

78
membebaskan, terdapat di dalamnya penyampaian pesan yang
mentransformasikan dan menyelamatkan manusia. Seni suci memiliki
kehadiran yang dapat merasuki manusia dan menolong membawanya
kepada singgahsana ilahi yang melampaui realitas keberadaan bumi.
Seni ini juga mengembalikan manusia secara eksistensial pada
kesadaran dan keberadaan spiritualnya.

Intepretasi Simbol pada Seni


Keberadaan seni suci yang tersimpan dalam setiap peradaban
tradisional dapatlah terasakan apabila kehidupan tradisional-spiritual
secara universal teraplikasikan sehingga mengatmosfirkan getaran
suci pada jiwa, seperti penyingkapan seorang seniman tradisional
terhadap Buddha yang menampilkan patung Buddha suci, begitu juga
dalam Kristen dengan ikon patung gereja. Atau sebuah inteprestasi
gamelan menurut ajaran jawa kuno yang ada dalam berbagai serat
dalam redaksi yang berbeda.
Irama gamelan disimbolkan nada suara instrumen gamelan
Jawa yang dinamakan kempul atau kenong, bonang dan gong yang
menimbulkan bunyi; nang-ning-nung-neng-gung.
Nang artinya wenang atau tenang. seseorang berusaha
untuk sadar diri dengan rutin melakukan tirakat, semadi, maladi
hening, atau mesu raga, jiwa dan akal budi. Ini adalah tahap untuk
membangkitkan kesadaran batin dan mematikan kesadaran jasadnya
sebagai upaya dalam menangkap dan menyelaraskan diri dengan
frekuensi “gelombang” Tuhan.
“Ning” artinya “wening” atau “hening,” adalah tahap seseorang
berusaha mengheningkan (meniadakan) daya cipta (akal budi) agar
menyambung dengan daya rahsa sejati (suksma sejati, jiwa) yang
menjadi sumber cahaya yang suci.
“Nung” artinya “kesinungan.” Maka bagi siapapun yang sudah

79
melakukan “nang” lalu berhasil menciptakan “ning,” maka akan
kesinungan (terpilih dan pinilih) untuk mendapatkan anugerah agung
dari Tuhan Yang Maha Suci. Dalam “nung” yang sejati, akan datang
cahaya Yang Maha Suci melalui rahsa yang ditangkap oleh roh atau
suksma sejati seseorang, lalu diteruskan kepada jiwa untuk diolah
oleh jasad menjadi manifestasi perilaku utama (laku utomo).
“Neng” artinya “heneng.” Secara bahasa, “heneng” itu berarti
ketenangan, tidak sama dengan maksud dari “nang.” Heneng di
sini juga berarti puncak dari tawakkal ing nrimo (berserah diri),
kemerdekaan dan kebebasan diri seseorang.
“Gung” artinya “agung” atau “keagungan” atau “kemuliaan.”
Ini adalah puncak dari perjalanan, karena pribadi yang telah meng-
heneng-kan dirinya adalah sosok pemenang yang agung. Itu terjadi
setelah ia bisa melepaskan segala ego dan ikatan materi duniawi
melalui empat tahapan sebelumnya (“nang,” “ning,” “nung,”
“neng”). Akhir perjalanan ini, seseorang harus hidup mulia dengan
memberikan manfaat untuk seluruh makhluk dan semesta.
Filosofi simbol bunyi gamelan ini berangkat dari tradisi ritual
agama sebelumnya, baik Hindu, Buddha, hingga Islam, yang
mengalami peleburan dan penyatuan. Bahwa setiap seni sakral
adalah seni tradisional, namun tidak semua seni tradisional adalah
sakral. Seni suci yang adalah jantung dari seni tradisional memiliki
fungsi sakramental yakni kebenaran dan kehadiran, yang juga
mengekspresikan seni tradisional dan religius yang berangkat dari
prinsip-prinsip asal originnya.
Seni sakral adalah seni yang menjadi pusat peradaban tiap
tradisi dan agama, karenanya adalah suci, pengetahuannya juga suci
hadir langsung dari Sang Suci – wahyu Ilahiah melalui keterpaduan
intelektual-intuitif dengan realisasi spiritual dan inisasi praktik
ritual kesucian; dengan manifestasi kesucian, seni ini memberikan

80
getaran spiritualitas yang menghadirkan gelombang kebenaran,
kehadiran kesempurnaan, kebaikan, dan keindahan sebagaimana
prinsip-prinsip tatanan universal yang terpelihara pada alam tradisi
dan agama-agama autentik. Maka, lapisan berikutnya dari seni sakral
ini memanifestasikan seni tradisional sebagai penjaga khazanah seni
sakral yang menjadi laku hidup masyarakat tradisional dan religius.

Seni Tradisional
Sebagaimana telah disinggung, bahwa kosmologis tradisional
berlandaskan sumber prinsipal-universal yang merefleksikan tatanan
kebenaran, kehadiran, dan keindahan serta kesempurnaan dengan
berbagai unsur dan aplikasi di dalamnya yang abadi. Kosmologinya
yang berhierarki menegaskan tingkatan dari pusat spirit, jiwa-
psikologis-mental, dan terakhir, material-fisikal-sensorial.
Kehadiran seni tradisional bukanlah “abstrak” dari apa yang
dimaksud oleh mental modern dengan slogannya “art for art’s
sake.” Peradaban tradisional tidak pernah memiliki museum bahkan
sekadar program untuk memproduksikan kegiatan seni itu sendiri.
Seni tradisional bisa dikatakan berdasarkan idea terhadap seni untuk
peradaban manusia, sebagaimana sejatinya manusia itu adalah
cerminan Ilahi (teomorphis), maka sejatinya pula seni tradisional
dipersembahkan demi atau untuk Tuhan. Keindahan dan kegunaan
objek dalam seni tradisional difungsikan demi kehidupan peradaban
manusia tradisional, sehingga menjadikannya subur, bukan malah
merusakkannya.
Dalam peradaban tradisional, seni tidak berbeda dengan
kerajinan tangan, teknik, hingga perindustriannya, karena semua
manusia tradisional adalah “seniman,” baik dia yang ahli atau yang
tidak dalam seni. Seni adalah kehidupan, dan kehidupan adalah seni
itu sendiri yang merupakan ranah spiritualitas dan kesadaran batin

81
yang dibutuhkan oleh masyarakatnya.
Seni tradisional yang hidup dalam dunia tradisional dan religius
yang diberlakukan oleh masyarakat tradisional, sadar selalu terikat
dan terhubung dengan prinsip-prinsip tradisi yang mengkspresikan
keindahan dan kemegahan seni sebagai akses bagi masyarakat kepada
Pusat Kehidupan Yang Indah. Sebagaimana ungkap Hossein Nasr,
keindahan adalah cahaya yang memancar dari mahkota kesucian, dan
itu adalah esensi alam langit. Keindahan, dalam kenyatannya adalah
kemegahan realitas itu sendiri.

Seni Modern Seni Profan


Salah satu karakter modernisme ialah upayanya untuk
menghapuskan jejak-jejak kesucian dalam kehidupan manusia.
Dengan karakter demikian, maka konsekuensi ekspresi yang muncul
dari dunia modern adalah pola kebudayaan profan-sekular, dan
seninya pun menjadi seni profan-sekuler. Pada seni inilah terjadi
mulanya pemisahan dari kesucian di Barat sejak Renaisans.
Gelombang modernisme yang rasionalistik-humanistik-
materialistik dengan menonjolkan ke-aku-an manusia
(antroposentrisme) ini mengakibatkan pergeseran makna seni dengan
membatasi pada perwujudan seni humanis sehingga terorientasi
kepada ranah psikologis.
Kebanyakan seniman modern lebih mendasarkan diri pada
individualisme dan subjektivisme sehingga memengaruhi jiwa
manusia lainnya. Secara berangsur, hakikat sejati seni tidak lagi
dirasakan – yang asalinya berhubungan dengan alam spiritual, yakni
alam kesucian ilahi. Efeknya, seni menjadi jauh dari nilai kehidupan.
Perubahan dan pergeseran makna seni asli kepada bentuk-
bentuk seni profan di dunia modern itu telah memberikan dampak
kritis, sehingga pola kehidupan modern sudah semakin “gila” dan

82
“berbahaya,” tidak berlandaskan pada prinsip-prinsip yang paten
universal, malah prinsip-prinsip itu dihancurkannya. Seni visual,
musik, dan kesusastraan, telah tereduksi pada pemuasan nafsu-
sensual belaka. Media televisi telah menghancurkan media seni
visual awal (alam syahadah-imajinal). Seni musik telah menjadi
seni pergerakan dan pemberontakkan dari paham-paham ideologi
tertentu. Seni kesusastraan menampilkan bentuk-bentuk seni baru
kepada seni novel yang menjadi komoditi pasar. Beberapa seni profan
yang telah muncul di dunia modern itu juga bukanlah berarti tanpa
kritik oleh para seniman pada masanya yang turut melibatkan diri
dalam penjagaan seni-seni dalam hubungannya pada domain tradisi
intelektualitas-spiritualitas-religiusitas.
Seni profan adalah seni sakral yang juga merupakan bukti zaman
yang mengarahkan kepada kesadaran manusia, bahwa manusia
modern yang profan itu telah “jatuh” atau “menurun.” Kesucian pada
mulanya telah diterima manusia asalinya dalam pengetahuan, karena
pengetahuan itu mulanya adalah suci. Namun, karena manusia yang
secara eksistensial memiliki kebebasan memilih, baik menggunakan
pengetahuan—Inteleksi—pada dirinya sebagai fitrah itu atau
mengingkarinya, konsekuensi dari ingkar anugerah fitrah itu adalah
apa yang disebut desakralisasi.
Jiwa yang mulanya suci menjadi jiwa yang berubah hingga
terjatuh pada kenistaan-kutukan. Maka, untuk menghindari hal
tersebut, mestilah dikenali diri sejati pada diri manusia itu sendiri,
untuk selanjutnya dari pengenalan itu menjadi perjalanan mengarah
kepada alam asalinya (fitrah).
Bagaimana dengan seni gamelan? Masihkan gamelan menjadi
seni tradional yang sakral seperti filosofi bunyinya? Atau mampu
melesatkan jiwa pada level kesadaran yang indah seperti Kartini
memaknai alunan gamelan? Atau sudah pada level gradasi

83
terendah, yaitu semata memuaskan raga inderawi tanpa makna yang
memperkaya jiwa dan kesadaran?
Relevansi seni dan pengembangan ajaran hikmah perennial
adalah keniscayaan bangkitnya alam tradisi yang selama ini
dipandang sebelah mata oleh kalangan modern. Dengan demikian,
seni apapun termasuk gamelan dan filsafat perennial menjadi pilar
utama dalam menghadapi buruknya gelombang modernisme dari
berbagai aspeknya, terutama yang terjadi dalam kemelut pemikiran,
pendidikan dan keagamaan.
Perlu upaya seperti eksplorasi bagi para seniman dan ahli
yang bersumber dari kalangan filsuf perennialisme-tradisional di
tiap ruang gerak, panggung budaya, dan panggung intelektual,
sehingga secara realistis mampu mengutuhkan dan melestarikan
paradigma perennialisme tiap peradaban agama dan tradisi yang lebih
harmonis. Serta terciptanya atmosfer intelektual kegiatan seni dari
berbagai agama yang secara bersamaan turut meresponss dengan
upaya mengarahkan, mengkritisi, dan melawan pemikiran yang anti
spiritual-agama atau sakralitas-transendental-metafisikal. Paradigma
tradisi perennial berusaha mengembalikan hakikat seni secara
fungsional-spiritual sehingga mampu mengatasi persoalan hidup,
khususnya di dunia modern.[]

Referensi
Marc Benamou, Rasa: Affect and Intuition in Javanese Musical Aesthetics, Oxford University
Press, 2010.
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and The Sacred. Suny Press, 1989.
________ Spiritualitas dan Seni Islam. Penerjemah, Sutejo, Bandung: Mizan, 1993.
Frithjof Schuon, Islam dan Filsafat Perennial, Penerjemah, Rahmani Astuti, Bandung: Mizan,
1993.
_________, Mencari Titik Temu Agama-Agama, Penerjemah, Safroedin Bahar. Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2003.
Titus Buckhardt, The Art of Islam: Language and Meaning, Bloomington: World Wisdom, 2009.
Titus Buckhardt, “Perennial Values in Islamic Art,” dalam www.studiesincomparativereligion.
com , Vol 1, No, 3, diunduh pada Juli 2018.

84
Gong
Tanpa Gending
Tika Istiyanti K

D eru bunyi-bunyian memenuhi panggung. Mereka


berasal dari lempengan besi tipis yang ditabuh, di
liuk-liukan, dan digesek menggunakan alat penggesek rebab
(pengaradan). Seperangkat gong ditarik, diseret tak beraturan
di atas panggung. Repertoar karya ditutup dengan telur-telur
yang dilemparkan ke arah panel baja panas berbentuk kanvas
sehingga mengeluarkan suara pecahan dan desis dari isi telur.
Aneka bunyi dari ritmis sampai noise memenuhi panggung
pada pementasan komposisi musik eksperimental Daily karya I
Wayan Sadra. Pementasan dalam rangkaian acara Art Summit
Indonesia keempat di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), 13
September 2004 tersebut mementaskan tiga karya musik I
Wayan Sadra. Di antaranya, Beringin Kurung, Otot Kawat
Balung Besi, dan Daily.
Pada dua di antara tiga karya komponis berdarah Bali
tersebut, seperangkat gong dimainkan dengan cara yang unik.
85
Seperangkat gong tak lagi digantung dan ditabuh menggunakan
tabuh gong, melainkan ditarik dan diseret seperti dalam karya Daily,
dan dipukul menggunakan tangan telanjang dalam karya Otot Kawat
Balung Besi. Pada kedua karyanya, gong diletakkan secara bebas,
gong tak lagi digantungkan seperti pada umumnya, dan dibunyikan
tanpa tabuh. Hanya ada tali pengait gong yang digunakan untuk
menarik gong pada karya Daily.
Seperangkat gong yang biasanya ditabuh dengan khidmat,
ditabuh untuk memberikan nuansa seleh, oleh Sadra seolah
dibebastugaskan dari fungsinya sebagai penanda seleh dalam sebuah
gending. Instrumen yang oleh masyarakat budaya kesenian Jawa
diagungkan dan bahkan memiliki nilai kesakralan mutlak ini berani
ditembus dan ditarik keluar, lepas dari beban kulturnya, diolah
menjadi sebuah karya eksperimental. Kreasi musik ekperimental
karya Sadra tentu bukan serta merta dibuat tanpa dasar pengetahuan
estetis. Sadra telah melalui berbagai proses berpikir dalam memaknai
musik sebagai bunyi estetis. Baginya, bunyi atau suara adalah esensi
musikal (Sadra, 2005: 80). Melalui proses demitosisasi budaya, Sadra
menembus batas kultural yang terkandung dalam instrumen gong.
Demitosisasi adalah penolakan terhadap perlakuan gong yang masih
mempertimbangkan kerangka pikir mitos9.
Penciptaan karya melalui demitosisasi terhadap nilai kultur dari
instrumen gong yang dilakukan oleh Sadra, menimbulkan respons pro
dan kontra. Meski demikian, karya-karya Sadra tersebut tetap kokoh
sebagai hasil karya yang kaya akan nilai intelektual karena dibangun
oleh konsep-konsep dasar keilmuan yang baru dan logis. Seperti pada
karya Daily yang garap musiknya terinspirasi dari telor mantenan.
Telor tidak lagi dipecah di atas batu, melainkan di atas sebuah panel
9. Bambang Sunarto dalam esai berjudul Etika dan Pertimbangan I Wayan Sadra dalam
Penciptaan Karya Seni.

86
baja panas yang berbentuk kanvas.
Perubahan dan transformasi tersebut dilakukan atas dasar
dorongan untuk tetap mengaktualisasikan gagasan awal menurut
tool, space, time atau desa, kala, dan patra10. Konsep kala dan patra
merupakan penyesuaian diri sesuai dengan tempat dan waktu kita
berada, menciptakan karya seni sesuai dengan waktu (zaman) dan
tempat (ruang berkreasi yang tanpa batas). Sedangkan dalam karya
Otot Kawat Balung Besi, terkonsep untuk “mewujudkan sebuah
gugatan terhadap romantisme gong dan mistifikasi yang dibangun
oleh kaum kuat (raja, penguasa, pejabat, saudagar bahkan calo)”11.
Oleh karenanya, gong dimainkan dengan cara dipangku dan diletakan
di lantai, lalu dimainkan dengan cara ditabuh menggunakan tangan
kosong (tanpa alat tabuh).
Melalui kedua karya tersebut, gong diberi makna baru oleh
Sadra. Makna yang kuat berdasar konsep-konsep pemikirannya.
Sadra tidak serta merta mendobrak batasan kultural yang telah ada
tanpa dasar pemikiran dan konsep. Hal tersebut yang pada akhirnya
mengokohkan dan mampu menjadi pendukung terhadap konsep
karyanya. Gong yang diletakan di lantai, diseret, dan dibunyikan
dengan tangan kosong, menjadi sarat akan makna, kental akan
unsur estetis bunyi, dan dapat dipertanggungjawabkan melalui dasar
pemikiran yang terkonsep.

Pergeseran Makna
Lepas dari karya Sadra, pergeseran makna dan fungsi dari
instrumen gong telah marak terjadi dalam budaya masyarakat, hanya
saja belum banyak yang menyadari. Gong kini kerap digunakan
sebagai sarana simbolis pada acara-acara peringatan dan peresmian
serta pembukaan acara. Gaungnya tak lagi bermakna sakral sebagai
10. Sinopsis karya Daily pada pamflet Art Summit Indonesia 4 (2004).
11. Sinopsis karya Otot Kawat Balung Besi pada pamflet Art Summit Indonesia 4 (2004).

87
penanda seleh, namun lebih berfungsi sebagai penanda dimulainya
suatu acara. Pada gending-gending Jawa, gong ditabuh sebagai
pemberi rasa seleh. Gong gedhe ditabuh di akhir gending penanda
akhir dari repertoar dan menimbulkan kesan khidmat. Sementara
pada budaya pemukulan gong di acara-acara resmi masyarakat bahkan
resmi kenegaraan, gong ditabuh dan diikuti riuh tepuk tangan hadirin.
Entah sejak kapan budaya tabuh gong ini bermula, namun pergeseran
fungsi gong ini seolah berusaha menghadirkan secuil nuansa budaya
Nusantara yang dimiliki Indonesia pada setiap acara tersebut. Acara
pembukaan acara atau peresmian yang biasanya menggunakan
pemotongan pita, kini dirasa lebih afdal jika menggunakan tabuhan
gong.
Bahkan, pada perayaan tahun baru 2018 lalu, euforia pergantian
tahun baru di kota Solo yang biasanya ramai akan gemuruh suara
kembang api dan terompet, harus kalah oleh bunyi tabuhan gong.
Walikota Solo F.X. Hadi Rudyatmo mengeluarkan kebijakan
larangan menyalakan kembang api dan digantikan dengan pemukulan
gong. Menurutnya, gong dihadirkan sebagai wujud pelestarian
gong sebagai benda dengan nilai sejarah tinggi. Munculnya budaya
pemukulan gong dianggap sebagai upaya pelestarian benda budaya,
menghadirkan instrumen khas Nusantara pada setiap acara besar.
Gong tak lagi wajib muncul bersama perangkat gamelan. Gong
kini hadir lebih independen bersama makna simbolisnya yang telah
menembus batas kulturalnya. Gong dapat muncul sebagai instrumen
utama dalam repertoar karya musik seperti dalam karya-karya
Sadra. Gong juga muncul sebagai fungsi simbolis ke-nusantara-an
dalam beberapa pembukaan dan atau peresmian acara. Seperangkat
gong ditarik dari beban kulturnya, keluar dan lahir kembali bersama
makna-makna barunya.
Ki Hajar Dewantara pernah berusaha mementaskan musik

88
gamelan dengan mengemas dalam sajian ke-eropa-an, dengan
mendandani penabuh menggunakan jas agar tampak eksklusif.
I Wayan Sadra lebih memilih menarik seperangkat gong keluar
dari beban kulturnya melalui proses berpikir kreatif dan konsep
demitosisasi, mewujudkannya dalam bentuk komposisi musik.
Dan kini, di tengah zaman yang semakin modern, gong berusaha
dihadirkan dalam berbagai acara sebagai simbol ke-nusantara-an
dengan dalih pelestarian benda sejarah.[]

89
Hiphop, K-pop, dan
Gamelan di Era Digital
Iswan Heri

S emasa hidup, kakek saya selalu tidur dengan suara


gamelan menempel di telinganya. Jangan bayangkan
kakek saya menempelkan telinganya di seperangkat gamelan
yang ditabuh sepanjang malam. Bukan itu yang saya maksud.
Menjelang tidur, kakek akan menyalakan radio tuanya, memilih
stasiun favorit, dan mendengarkan siaran wayang kulit yang
diiringi bunyi gamelan hingga fajar tiba.
Telinga kecil saya akan mendengar saat siaran wayang
kulit mulai diputar di radio dan dalam beberapa menit saja saya
sudah berada di alam mimpi. Sampai saat ini, saya tidak pernah
tahu dan belum pernah bertanya apa yang diimpikan kakek
dalam tidurnya yang selalu bersanding dengan bebunyian
gamelan itu.
Beranjak remaja, saya mulai mengenal gamelan, bahkan
memainkan beberapa instrumennya saat mengikuti pelajaran
muatan lokal Karawitan di bangku SMP. Kalau tidak salah,
90
saya pernah memainkan saron, bonang, kenong, dan kempul. Setelah
lulus SMP, mata pelajaran muatan lokal Karawitan tak pernah saya
jumpai lagi.
Bukan berarti SMU saya tidak memiliki seperangkat gamelan.
Saya pernah mengintip gudang sekolah yang tak pernah saya masuki.
Ada seperangkat gamelan tertata rapi di sana. Alat gamelan itu
diselimuti debu dan nyaris tidak ada tanda-tanda pernah dijamah
orang dalam waktu yang lama. Di SMU, saya lebih sibuk mampir ke
laboratorium kimia dan bahasa Inggris. Mungkin para pengajar saya
dulu berpendapat bahwa pelajaran Kimia dan Bahasa Inggris lebih
menjamin hidup saya kelak dibanding Karawitan. Mungkin.

Hiphop dan Gamelan


Ingatan saya soal gamelan justru menuntun saya pada musik
hiphop, khususnya lagi hiphop lokal. Hiphop adalah musik yang
penuh eksperimen dalam kelahirannya. Tak jarang berbagai
aransemen asing dalam musik hiphop terdengar.
Hiphop meracuni Indonesia di awal tahun ‘90-an. Munculnya
film Gejolak Kawula Muda turut menjadi penyebar panji-panji hiphop
di tanah air. Breakdance atau tari kejang menjadi identitas baru kaum
muda perkotaan seperti Jakarta dan Bandung. Grup hiphop baru terus
tumbuh dan kian segar. Album Pesta Rap menjadi salah satu prasasti
laik dengar dan bukti lahirnya generasi hiphop awal di Indonesia.
Sekalipun tidak sepopuler musik pop, hiphop masih terus
bertahan dan berkembang sampai sekarang. Hari ini, siapa yang tak
kenal lagu Jogja Istimewa karya Jogja Hiphop Foundation (JHF)?
Mengawinkan irama gamelan dengan perpaduan rap berbahasa Jawa
dan Indonesia, lagu ini menjadi himne yang paling sering diputar di
berbagai perhelatan di kota Jogja.
JHF lahir pada tahun 2003. Kolaborasi dengan berbagai musisi

91
dan kelompok hiphop di daerah Jogja pada album Poetry Battle
semakin memopulerkan genre hiphop berbahasa Jawa, khususnya
di kota Jogja. Kehadiran album Poetry Battle 1 dan Poetry Battle 2
pada tahun 2007 dan 2008 menjadi salah satu titik kebangkitan genre
hiphop berbahasa daerah.
JHF juga sering dikenal dengan nama Ki Jarot; akronim dari
Kill The Dj, Jahanam, dan Rotra. Ketiganya telah dikenal lama dalam
skena hiphop di Jogja sebelum melebur dalam bendera JHF. Dalam
album Poetry Battle 1, ada salah satu lagu yang cukup menarik dan
dinyanyikan oleh Rotra, yang beranggotakan Anto a.k.a Ki Ageng
Gantazz dan Lukman a.k.a Radjapati.
Lagu berjudul Ngelmu Pring tersebut terinspirasi dari puisi
Sindhunata dengan judul yang sama.

Ngelmu Pring

Pring reketeg gunung gamping ambrol.


Ati kudu teteg ja nganti uripmu kagol.
Pring reketeg gunung gamping ambrol.
Uripa sing jejeg nek ra eling jebol.

(Ilmu Bambu
Bambu gemeretak, gunung gamping runtuh.
Hati harus teguh, jangan sampai hidupmu kecewa.
Bambu gemeretak, gunung gamping runtuh.
Hiduplah yang lurus, kalau tidak mengingat (prinsip) maka akan
hancur.)

Alunan suara seruling dengan latar suara gemericik air membuka


lagu ini. Ki Ageng Gantazz dan Radjapati kemudian secara bersamaan

92
melantunkan bait pembuka berbahasa Jawa seperti tertulis di atas,
diiringi bunyi kenong yang ritmis dan efek suara dari synthesizer.
Bebunyian gamelan yang teratur berpadu secara harmonis dengan
efek suara digital melalui jari lincah Disc Jockey (DJ). Menurut saya,
Ngelmu Pring adalah salah satu lagu hiphop lokal yang ramah di
telinga tanpa pernah kehilangan makna.
Selain memadukan suara gamelan, Rotra adalah grup hiphop
yang gemar bereksplorasi menggunakan bahasa Jawa dalam setiap
karyanya. Penyampaian yang sederhana dan diksi yang bernas
membuat musik Rotra cukup mudah diterima masyarakat.
Lagu yang menjabarkan tentang falsafah bambu ini juga
dibawakan dalam konser JHF yang bertajuk Newyorkarto: Orang Jawa
Ngerap di New York pada 27-28 April 2012, di Graha Bhakti Budaya,
Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Beberapa artis turut berkolaborasi
dalam konser ini, seperti Iwa K., Soimah, Butet Kartaredjasa,
serta Djaduk Ferianto. Melalui konser ini pula gaung JHF semakin
menggema di ibukota.
Melalui hiphop, JHF berupaya mengenalkan gamelan dan
bahasa Jawa kepada generasi milenial Indonesia serta masyarakat
dunia. Dengan berbekal kreativitas, gamelan sanggup hadir secara
segar sebagai bentuk budaya populer.

K-pop sebagai Idola Baru


Hiphop bukanlah satu-satunya produk budaya populer yang
digandrungi generasi muda yang sering disebut generasi milenial
pada hari ini. Dalam satu dekade terakhir, korean pop (k-pop) tampil
dominan dalam menyihir kawula muda. K-pop semakin populer
karena ia tidak hanya hadir dalam bentuk musik, tetapi juga film dan
drama serial.
Hari ini, Barat tidak lagi menjadi pusat konsumsi budaya populer

93
di Indonesia maupun berbagai wilayah di Asia lainnya. Musik dari
Amerika dan film Hollywood masih menjadi idola, tapi tidak tampak
dominan lagi.
Ariel Heryanto dalam Identitas dan Kenikmatan (2015)
memetakan ciri khas para penggemar k-pop yang kebanyakan
perempuan, yaitu: berasal dari kelas menengah, pendidikan perguruan
tinggi, daya beli menengah untuk hiburan, dan kiblat transnasional
dalam konsumsi dan gaya hidup. Dalam risetnya, Heryanto melihat
bahwa penggemar muda k-pop mempunyai hasrat yang lebih kuat
untuk mengungkapkan sentimen kolektif secara terbuka, baik lokal
maupun transnasional.
"Secara khusus, bentuk yang paling khas dari tindakan para
penggemar K-pop di awal abad ini meliputi lomba menyanyi (dalam
bahasa Korea), cover dance, yakni tarian yang meniru para idola mereka
(termasuk pakaian, potongan rambut, koreografi kelompok musik
idola hingga rinci), atau flash mob, yakni penampilan pertunjukan tari
dadakan di pusat perbelanjaan" (Heryanto: 2015).
Penggemar k-pop di Indonesia dan di mana pun tampaknya bukan
hanya menjadi konsumen, tetapi juga menjadi agen kebudayaan baru.
Mereka tidak hanya sebatas mendengarkan musik dari artis idolanya,
namun juga menduplikasi penampilan bahkan gerakan (tarian) dari
idolanya tersebut. Hal seperti ini belum pernah ada sebelumnya di
Indonesia, bahkan mungkin di belahan lain dunia manapun.
Kemenangan hiphop dan k-pop pada hari ini tidak bisa
dilepaskan dari peran media digital yang semakin marak. Berbekal
komposisi musik yang unik, lirik yang cerdas, kemampuan koreografi
yang prima, serta sajian visual yang rapi, budaya populer menelusup
dan menyihir masyarakat melalui smartphone hingga kawasan paling
terpencil sekalipun.
Di tengah naiknya popularitas budaya populer tadi, kita pantas

94
bertanya, di mana posisi budaya lokal seperti gamelan pada hari ini?
Saat ini gamelan tidak lagi menjadi hiburan satu-satunya
bagi masyarakat sebagaimana yang dipertunjukkan di Soos
Mangkunegaran (kini Monumen Pers Nasional) pada tahun 1935.
Perkembangan zaman dan kemajuan teknologi mendorong manusia
untuk mencari dan menemukan berbagai bentuk hiburan dalam
wujud yang lebih segar dan unik.
Agenda International Gamelan Festival (IGF) yang dihelat
pada 9-16 Agustus 2018, rasanya mempunyai makna penting sebagai
pengingat akan keberadaan seni tradisi dan kebudayaan yang pernah
berjaya di zamannya. Belajar dari hiphop dan k-pop, rasanya penting
juga untuk dilakukan rejuvenasi gamelan dalam rangka mendekatkan
posisinya dengan generasi milenial.
Eksperimentasi musikal gamelan seperti yang dilakukan JHF
serta strategi branding dan promosi yang dilakukan k-pop rasanya
menjadi sesuatu yang layak dikaji lebih rinci dan mendalam.
Optimalisasi media sosial untuk mendekatkan gamelan ke khalayak
harus dilakukan segera.
Yang tidak kalah penting adalah upaya pendokumentasian
karya gamelan itu sendiri, baik berupa audio visual maupun tulisan.
Informasi yang tepat, mendalam, serta mudah diakses mengenai
sejarah dan falsafah gamelan akan mendorong kecintaan pada seni
budaya ini, terutama bagi kelompok yang kurang familiar dengan
gamelan seperti generasi milenial. Sehingga suatu hari nanti, gamelan
tidak lagi menjadi sesuatu yang asing bagi telinga generasi milenial
seperti saya. Gamelan menjadi irama yang melekat di telinga,
bahkan pengantar menuju mimpi yang indah di penghujung malam.
Semoga.[]

95
Jarak Tak Terukur
Lewat Gulungan Pita
Yessita Dewi

S ebuah toko bercat hijau di perempatan Ngapeman,


Solo, itu masih menggeliat. Tak dipungkiri, keberadaan
toko sejenis sudah mulai langka. Namanya Toko Harapan
Musik. Di sanalah lapak harapan akan musik tak lekang waktu
dalam wujud analog atau pita kaset. Siang itu, seorang bapak
kisaran usia 60-an mencari kaset gending Kebo Giro. Tak lama,
kaset yang masih mulus itu ada di tangan si bapak.
Mengamati tumpukan kaset-kaset yang dipajang, saya
seperti memasuki lorong waktu pada masa perburuan kaset
penyanyi favorit yang ngehit pada era jaya pita analog. Tak
terkecuali kaset-kaset berisi sandiwara berseri, ketoprak, dan
tentu saja gending-gending Nusantara.
Di suatu Minggu siang, saya mengobrol dengan seorang
teman tentang gamelan. Di atas rumput itu, saya menyimak
dengan sesekali bertanya seputar berubahnya zaman dan
sakralnya seperangkat gamelan. Revolusi bentuk sebuah sajian
96
musik terjadi sekitar tahun 1930-an, di mana teknologi mulai
berkembang. Pemerintah Hindia Belanda sangat yakin dan tahu,
negeri yang mereka kuasai memiliki banyak hal cantik dan unik tak
terkecuali musik.
Bisakah mereka bayangkan, dari ujung pulau Sumatera hingga
Maluku saja, begitu banyak jenis musik etnik yang hanya bisa
dinikmati di tempat tersebut. Musik endemik. Para pengelana yang
setia membawa salah satu alat musik yang ia kuasai jadi pengecualian.
Gamelan adalah salah satu yang sering mereka dengar serta melekat
dengan masyarakat.
Tak setiap saat rakyat kecil pada masa kerajaan bisa mendengarkan
syahdunya suara gamelan. Berbeda dengan raja dan keluarganya,
setiap saat seperangkat gamelan beserta niyaga siap siaga. Cara
menikmatinya pun mungkin lebih hikmat dan khusyuk. Ada ritual
khusus sebelum mengrawit. Musik itu begitu agung di lingkungan
keraton. Suara yang mengalun akan sangat “sunyi” dan mistis. Dari
seorang empu melebur, mencetak, menempa, hingga membabar,
adalah ritual rumit yang menghasilkan setiap nada berbeda. Sebuah
ritual mencari nada agung. Untuk itulah tak semua perangkat komplet
bisa dimiliki oleh rakyat biasa ketika itu.

Gamelan dalam Siaran


Siaran radio yang pertama di Indonesia adalah Bataviase Radio
Vereniging (BRV) di Batavia, yang resminya didirikan pada tanggal
16 Juni 1925, jadi lima tahun setelah di Amerika Serikat, tiga tahun
setelah di Inggris dan Uni Soviet. Sementara di kota Solo ada Solossche
Radio Vereniging (SRV). Mengapa radio? Karena dari benda inilah
berbagai hal dapat menjangkau semua lapisan masyarakat, seperti
berita dan musik. Tentu saja gamelan ada di dalamnya. Pemerintah
Hindia Belanda pada masa itu pun memiliki studio radio yang dapat

97
menampung seperangkat gamelan untuk dimainkan, disiarkan.
Seperti menabrak hal yang sakral ketika di istana raja,
seperangkat gamelan yang siap dimainkan akan melewati ritual para
penggamel, menyalakan dupa. Letak dan tata posisi setiap alat adalah
perlambang kosmologi manusia dan alam. Gamelan adalah musik
langit. Sakral. Sang Raja dan para punggawa dan keluarga bangsawan
pun menikmati dengan kekhusyukan tak beda seperti ketika mendoa.
Tetapi bagi Pemerintah Hindia Belanda, gamelan adalah musik tradisi
yang layak untuk ia nikmati pula. Layak untuk dipersembahkan pada
Ratu Belanda.
Pada tahun 1936, K. G. P. A. A. Mangkunegara VII mendapat
undangan dari Ratu Wilhelmina untuk menghadiri pernikahan Putri
Juliana dari Belanda dengan Pangeran Bernhard dari Lippe Biestefeld,
seorang bangsawan Jerman, pada tanggal 7 Januari 1937 di Den Haag.
Untuk menghormati undangan istimewa dan merupakan sebuah
kebanggan tersendiri, beliau bermaksud memberikan kado istimewa
yang tidak mudah dilupakan dan berbeda dari negara lain. Kado itu
berupa pentas tari Sari Tunggal dari Keraton Yogyakarta. Penarinya
tak lain adalah putrinya sendiri, yaitu G. R. Ay. Siti Noeroel Kamaril
Ngasarati Koesoemawardhani, atau Gusti Nurul. Ide yang cemerlang
Mangkunegara VII itu adalah pementasan tari yang diiringi musik
hidup dari gamelan Kyai Kanyut Mesem, yang pada saat bersamaan
dimainkan di Pendapa Pura Mangkunegaran Solo, disiarkan langsung
melalui stasiun radio SRV ke negeri Belanda. Salah satu bentuk
modernisasi tradisi pada masa itu.
Di Istana Noordeinde, 200 pasang mata menikmati magisnya
tari Sari Tunggal yang menyatu dengan iringan gamelan yang sudah
direkam dengan baik dan utuh oleh perusahaan Philips. Respons
yang sangat luar biasa panjang berkumandang. Menurut mereka, ada
tiga hal yang membuat persembahan itu mempesona. Salah satunya

98
adalah suara nada gamelan yang menggema agung memenuhi ruang
istana. Yang kedua dan ketiga adalah busana serta penarinya.
Orang Belanda yang bertugas di Hindia Belanda tentu tidak asing
dengan gamelan. Tetapi mereka yang belum pernah mengunjungi
koloni Hindia, gamelan adalah musik yang mengandung aura mistis.
Disiarkannya musik gamelan dari radio yang langsung
dimainkan di studio, sempat menjadi acara yang paling ditunggu
bagi masyarakat. Meski radio termasuk barang mewah dan sempat
dipungut pajak bagi pemiliknya, ada jam-jam tertentu saat satu kotak
bersuara itu dikelilingi oleh beberapa orang yang lenggut-lenggut.
Nglaras. Musik tradisi tak lagi harus “kemraton” dan menjadi hak
milik Raja. Setiap saat masyarakat yang ingin menikmati gamelan
bisa menunggu jam-jam siaran yang telah ditentukan oleh stasiun
radio.
Tentu saja tak semua stasiun radio itu mampu menyiapkan
seperangkat gamelan beserta niyaga di dalam sebuah ruangan
akustik yang tentu saja membutuhkan ruang yang luas. Lagi-lagi
perkembangan teknologi lah yang semakin mempermudah manusia.
Pada tahun 1926, Alexander Graham Bell, dari rasa penasarannya
memiliki minat untuk membuat kembali suara vokal yang timbul
secara wajar, menemukan piringan hitam.
Menurut artikel yang saya temukan di penemu.co, pada awalnya
piringan hitam dibuat dari bahan kaca, karet, dan plastik, namun yang
paling terkenal adalah piringan hitam yang terbuat dari shellac, yaitu
bahan kapas yang digunakan untuk membuat kertas manila. Karena
mudah rusak, akhirnya piringan hitam dibuat menggunakan bahan
yang lebih awet, yaitu plastik vinyl, sejenis dengan plastik polimer.
Ada beberapa alat yang digunakan untuk memutar piringan hitam,
salah satunya fonograf. Masa kejayaan piringan hitam ini bertahan
hingga tahun 1960-an.

99
Pada tahun 1956, berdiri pula industri rekaman di kota
Solo, Lokananta. Kemudian di tahun 1959, Lokananta akhirnya
memperoleh izin menjual piringan hitam produksinya ke masyarakat
luas. Lokananta lebih banyak memproduksi rekaman lagu-lagu
tradisional dari berbagai daerah seperti gamelan, klenengan Solo dan
Yogyakarta, serta gending Bali. Dapat dibayangkan tenaga yang
dibutuhkan untuk memindahkan seperangkat gamelan yang berat ke
tempat yang jauh. Bahkan, ketika raja berkunjung ke suatu tempat,
tak semua alat musik itu diangkut.
Seiring berkembangnya zaman, seperangkat itu berubah bentuk
menjadi plastik polimer. Ringan, tipis, dan dapat dinikmati siapa
pun, asal memiliki alat pemutarnya, fonograf atau gramofon. Sekali
lagi, meski sudah dapat dinikmati dengan mudah, tak semua dapat
memiliki alat pemutar yang memiliki corong itu. Lumayan berat dan
besar bentuknya.
Zaman pun terus berjalan menemukan era dan masanya. Sekitar
tahun 1963, muncul compact cassette atau tape yang merupakan media
penyimpan data yang umumnya berupa lagu. Kita mengenalnya
dengan nama kaset pita. Gulungan pita yang tipis berada dalam satu
kotak kecil dengan dua kumparan yang memutarnya. Kaset berupa
pita magnetik yang mampu merekam data dengan format suara. Dari
tahun 1970 sampai 1990-an, kaset merupakan salah satu format media
yang paling umum digunakan dalam industri musik. Dalam masa
yang sering disebut golden age, yaitu tahun 1980-an, kaset berjaya.
Berbeda dengan piringan hitam yang hanya mampu menyimpan dua
lagu, kaset mampu menyimpan delapan sampai sepuluh lagu dalam
durasi sekitar 60 menit. Ada juga kaset dengan pita yang lebih tipis
dan panjang, mampu menyimpan hingga 18 lagu dalam durasi sekitar
90 menit.
Musik gamelan yang sarat ritual dan suasana tintrim pendapa

100
istana itu melebur menjadi milik siapa saja yang dapat membeli
kaset berisi gending-gending. Teknologi acap kali menjadi pelebur
batas yang tinggi. Rakyat tak lagi harus menunggu malam purnama
atau jumenengan untuk dapat menikmati gamelan semalam suntuk.
Masyarakat tak lagi bersusah-susah mengingat jadwal siaran
klenengan di stasiun radio kesayangan. Cukup beli kaset dengan
gending yang mereka ingini. Dengan pemutar kaset yang berisi
baterai delapan biji yang kadang dijemur ketika siang, yang bisa
ditenteng ke ladang ataupun dangau guna menemani hari terik ketika
beristirahat di gubuk pinggir sawah. Para petani bisa bekerja dan
berkegiatan sehari-hari ditemani gending. Para simbah putri dan
kakung dapat bersantai duduk di teras sambil menikmati tembakau
dengan tempolong di sisinya, sambil lenggut-lenggut mengingat masa
muda nan jaya. Sanggar-sanggar tari yang dipenuhi anak-anak belajar
menari itu pun mengandalkan kaset-kaset gamelan untuk mengiringi
Beksan. Kadang satu jenis tari punya beberapa kaset jenis yang sama
untuk berjaga-jaga, siapa tahu kaset yang dipakai nglokor karena
terlalu rajin berbunyi. Mau diulang berapa puluh kali pun tidak akan
membuat pegal para niyaga.
Stasiun-stasiun radio menjadi lebih mudah mengoleksi kaset-
kaset gamelan yang diputar. Berkembang menjadi kaset-kaset wayang
kulit yang direkam langsung ketika Ki Dalang sedang melakukan
pertunjukan semalam suntuk. Hasil rekam itu menjadi siaran tunda
yang tentu saja tak lekang dinikmati. Masih sarat makna dan tak hilang
agungnya. Pita kaset ini benar-benar memanjang dan menyebar
sejauh-jauhnya. Para diaspora yang harus menjalani pendidikan di
luar negeri tak jarang selalu membawa kaset gamelan. Obat kangen,
katanya. Jangankan yang di luar negeri. Dulu, ketika sempat tinggal
di Sumatera Selatan, menjadi hal yang menyejukkan ketika di sebuah
rumah menemukan gending Jawa diputar. Para perantau dari Jawa itu

101
tak lupa menyelipkan kaset-kaset gamelan untuk dibawa serta. Siang
hari ketika terik, mengalunlah gamelan nan syahdu. Pun sama ketika
perantau Sunda rindu akan kampung halamannya, gamelan Sunda
dengan lengkingan seruling itu seperti membawa kita pada hamparan
tanah subur nan damai. Betapa pita kaset itu membuat tak berjarak
pada tanah kelahiran. Melintas batas.
Di Kalimantan Selatan, ternyata bapak mertua saya memiliki
kaset dan VCD gamelan. Gending-gending itu akan menemani
ketika sendiri selepas berkegiatan. Dan setiap pulang ke Purworejo
dan bermalam di Solo, toko kaset bercat hijau di ujung Ngapeman
itu menjadi salah satu tujuan utama. Apalagi kalau bukan untuk
membawa pulang kaset-kaset atau keping CD gamelan Jawa dan
campursari Gunung Kidul milik mendiang Pak Manthous.
Saya menjadi ingat, ketika mendiang ayah saya bertugas di
pelosok daerah hingga Indonesia Timur dan Papua, ibu selalu
meminta oleh-oleh kaset-kaset daerah di mana ayah saya bertugas.
Benda bernama kaset ini menjadi alat praktis untuk memviralkan
musik-musik tradisi pada masa itu.
Seperti tulisan seorang etnomusikolog dan pengajar di ISI Solo,
Aris Setiawan, (Solopos, 28 Juli 2018), gamelan melintas batas hingga
ke luar angkasa. Indonesia mewakilkan karya musik gamelan Jawa
berjudul gending Puspawarna, yang menjadi urutan kedua setelah
karya komposisi musik ciptaan Johann Sebastian Bach, Bradenburg
Concerto no. 2 in F. Dan tentunya gending yang mengangkasa pada 5
September 1977 itu bukan berupa seperangkat gamelan, tetapi sudah
dalam bentuk rekaman.
Mudahnya akses setiap orang menikmati gamelan di era
YouTube dan diska lepas adalah salah satu bukti kuat bahwa gamelan
Nusantara tidak berjalan di tempat, atau dibawa pergi oleh para ahli
yang menjadi pengajar di luar negeri. Gamelan Nusantara semakin

102
beragam dan kekinian. Gamelan itu tidak membosankan, tidak
membuat nglangut, tetapi alunan menenangkan dan menyembuhkan
rumpun rindu pada tanah ibu.
Musik tradisi masih ada. Kalau menurut saya, sih, tidak ada
kekhawatiran bahwa ia akan ditinggalkan, cemas segera dilupakan.
Tidak. Sesuatu yang tumbuh dari hati dan jiwa, lahir di suatu tempat
para empu menempa, tetap akan kembali pulang meski sekadar
menengok dengan wujud yang lebih baru. Selamat bertemu dan
mendayu seru di tempat kelahiranmu, wahai gending-gending
syahdu.[]

103
Sekaten, Gender,
dan Orang Desa
Puitri Hati Ningsih

G amelan Sekaten akan ditabuh setiap bulan Maulud di


halaman Masjid Agung Solo. Diawali dengan prosesi
pengusungan gemelan Kyai Guntur Sari dan Kyai Guntur
Madu oleh para sentono abdi dalem menuju masjid. Saron,
bonang, beduk, demung, dan gamelan balungan lain diusung
ke bangsal kidul dan lor masjid.
Selama bulan Maulud, gamelan Sekaten akan ditabuh
bergantian, berselang-seling antara Guntur Sari dan Guntur
Madu. Bila azan berkumandang dari menara masjid, suara
gamelan pun akan berhenti sampai waktu salat selesai. Suara
gamelan yang magis akan terdengar membahana dan merajai
udara. Gamelan khas Sekaten ciptaan Sunan Bonang itu
terdengar sampai jauh ke desa-desa. Dan kabar itu akan
diteruskan para petani hingga melewati gunung dan lembah
untuk mengabarkan kedatangan bulan Maulud, bulan kelahiran
Kanjeng Rasul. Suara gamelan itu menarik hati orang-orang
104
hingga mereka krasan tinggal di dalam masjid. Sambil menikmati
wedang ronde dan nasi liwet. Pelan-pelan, Sunan pun bisa
mengajarkan syahadat dan salat dalam masjid. Jika kabar di zaman
sekarang menjadi viral melalui media, berita keislaman zaman dulu
akan viral lewat gamelan Sekaten.

Gender yang Tak Dibawa


Dalam gamelan Sekaten, gender memang tidak disertakan,
karena gamelan Sekaten adalah gamelan pengumpul massa dan
membutuhkan gending-gending keras dan bersamangat dengan
energi dan daya tertentu. Meski demikan, gender memiliki daya dan
pesona tersendiri, dan mempunyai kisah pelik tersendiri. Ia menjadi
gamelan penting dalam gending gamelan. Walau tiap orang dan
pencipta gending bisa mempunyai imajinasi yang berbeda, gender
memiliki karakter yang membuat suasana jadi lebih romantik.
Terutama bila ditabuh pada malam hari. Akan membawa suasana
lebih khidmat, khusyuk, tapi tetap bisa santai sambil mengikuti kata
hati dan angin malam yang berembus. Di lobi hotel sering terdengar
suara gender ditabuh, membuat ruang tunggu jadi lebih nyaman.
Menurut Lumbini Tri Hasta, salah satu putra dari penabuh
gender legendaris, Sumiyati alias Drigul atau Bu Pringgo, seorang
seniman gamelan yang tinggal di Mojosongo, Surakarta, gender yang
berperan sebagai melodi itu akan dimainkan pada iringan gending
tertentu yang lebih khusus. Misalnya gending Gadung Melati dan
gending Beksan Bedaya Ketawang sebagai persembahan tari dalam
acara jumenengan Kanjeng Sinuhun Paku Buwana di Kasunanan
Surakarta.
Gender ini cukup unik. Bagi salah seorang pelaku penabuh
gamelan, Dicky, mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta,
gender bisa bermain sendiri dan orang yang piawai menabuh gender

105
akan mudah belajar instrumen gamelan lain seperti demung atau
bonang, sebagai musik di tengah suasana ataupun sebagai musik latar.
Gamelan pun tidak sekadar didengar gendingnya, tapi juga bisa
dipelajari karakter, nada, dan makna terdalam dari peran masing
masing gamelan. Ia punya kisah tersendiri. Misal, gong yang hanya
ditabuh satu kali ketika suara gamelan berhenti. Seolah gong adalah
mesih on dan off nya gending. Ia bisa dimaknai sebagai malaikat
pemegang sangkakala. Masyarakat bebas menafsirkan fungsi gamelan
itu dengan bangunan imajinasinya. Tapi gong akan ditabuh berkali-
kali dalam gamelan Sekaten karena harus terus ditabuh hingga bulan
Maulud habis. Pembagian fungsi gamelan gender, gamelan balungan,
rebab, siter yang dipetik, mengajarkan harmoni yang tak bisa sama,
dan masing-masing tak boleh saling mendahului atau bosan dan ingin
bertukar peran. Gamelan mengajarkan keikhlasan yang terpelihara.
Wali Sanga dan Sunan Bonang mempunyai strategi pendekatan yang
lembut untuk menarik hati orang-orang untuk datang dan terus
datang dengan menciptakan gamelan Sekaten. Tiap tahun mereka
akan merindukan kedatangannya.
Orang-orang bertambah banyak yang datang, sebab di halaman
masjid, hadir penjual telur amal (telur asin), sirih, tembakau –
dengan sunduk kembang kantil dan melati – dicontong daun pisang.
Dibeli sebagai tanda mata, oleh-oleh untuk nenek yang makan
sirih. Ada juga jenang gula kelapa, sebagai pemaknaan kelapa yang
mempunyai banyak manfaat bagi kehidupan. Para pedagang memang
diperbolehkan berjualan, tapi yang dijual ditentukan oleh sunan.
Tidak sembarang barang boleh digelar di depan masjid. Semua yang
dijual harus memiliki makna dakwah dan kebaikan. Telur amal agar
kita banyak menyebar kebaikan dan tak putus beramal. Celengan
tanah agar kita rajin menabung terutama untuk celengan akhirat, lalu
pecut atau cemeti agar kita selalu ingat pada Allah, dan bersemangat

106
untuk berbuat baik dan tidak lengah. Sayang, benda-benda penuh
simbol itu kini hadir seolah tanpa makna. Orang-orang hanya
memaknai benda-benda itu sebagai benda seni yang tua nan indah,
peristiwa yang perlu dihadiri dengan kekaguman orang-orang masa
depan dengan perangkat lengkap modernnya.

Sekaten dan Orang Desa


Orang-orang desa pada zaman dulu tak punya jalur penghubung
dengan kota atau keraton. Sekaten adalah gamelan ajaib yang membuat
orang berjalan jauh menuju alun-alun keraton. Keraton adalah pusat
seni, hiburan, ilmu pengetahuan, dan budaya tempat berkumpul para
priayi.
Orang desa selalu merendah dalam pidatonya. Mereka selalu
mengatakan, kami piyayi dusun, cedak karo watu adoh karo ratu.
Artinya, kami ini orang desa, jauh dari ratu dan dekat dengan
batu. Jauh dari ilmu, terutama ilmu adab dan unggah-ungguh yang
banyak diajarkan di keraton, dan hanya bergelut dengan kehidupan
kasar seperti petani dan pekerja lainnya. Inilah yang membuat para
pengunjung Sekaten yang ingin menikmati gamelan dianggap orang-
orang desa yang jauh dari keraton.
Ketika saya menonton Sekaten, seorang kawan yang tinggal di
Kauman, dan hanya beberapa langkah saja jaraknya dengan masjid
Agung berkomentar, “Kaya wong ndesa wae, Nde, nonton Sekaten!”
Tentu saya tak mempedulikan ucapannya. Sejak lahir ia sudah
bisa mendengar gamelan Sekaten dari kamarnya. Bisa jadi ia ingin
mencari suasana lain. Tapi kemudian ia berujar, “bila sudah larut
malam, dan semua suara lain sudah berhenti, gamelan Sekaten ini
terdengar indah dan syahdu.”
Gamelan Sekaten memang harus didengar dengan kepekaan
mendalam. Jika semua kesibukan sudah mengendap dan keriuhan

107
pedagang telah usai, rasa akan terbuka. Sekaten bisa dinikmati dengan
kerumunan ataupun dengan kesendirian. Bagi jiwa dan rasa yang
telah terbuka kepekaannya, keramaian itu tidak mengganggu. Selalu
ada sepi di tengah kebisingan bunyi, karena keramaian dan keriuhan
itu dibutuhkan Sunan Bonang dan Wali Sanga untuk bersama-sama
mangkat ke surga.[]

108
Gamelan
dan Kehadiran
Udji Kayang Aditya Supriyanto

S elasa. Letih kerja dibasuh sastra. Salah satu ruang di


kompleks Bentara Budaya Jakarta masih sepi. Hanya
ada Ni Made Purnama Sari, Norman Erikson Pasaribu, dan
satu orang lagi yang tak seterkenal mereka berdua. Saat itu
pukul 18.30, yang mestinya waktu acara #SajakSelasa: Potret
Sosok dalam Sajak dimulai. Tapi tidak, Purnama dan Norman
masih asyik berbincang, sembari menunggu orang-orang
satu per satu datang. Ruang masih suwung, sebelum nantinya
diramaikan tabuhan gamelan di depan. Sekian instrumen
gamelan siap dimainkan, sekalipun formasinya aneh: gong,
kenong, kendang, saron, gambang, dan bonang penerus –
tanpa bonang barung, yang lazim jadi instrumen pemuka.
Kursi-kursi mulai terisi setara jamaah salat Subuh: tak
sampai tiga baris. Purnama berdiri, berbicara lewat mikrofon
tanda acara #SajakSelasa dibuka. Beberapa penabuh gamelan,
laki-laki dan perempuan, sudah lebih dulu bersiap di tempat
109
masing-masing. Purnama mempersilakan, mereka mulai menabuh.
Gending apakah? Entah. Pada menit kedua, empat orang, juga laki-
laki dan perempuan, maju ke depan pelan-pelan. Mudah ditebak,
mereka akan menembang. Paling belakang, penembang perempuan,
sepertinya sulit duduk di sela-sela formasi gamelan, lantaran bertubuh
besar dan, dengan demikian, berbokong besar: butuh ruang lebih
luang. Rasanya baru sejenak duduk, ia lalu berdiri.
Penembang perempuan itu menghampiri mikrofon. Gamelan
tak berhenti ditabuh. “Dalam Doaku, Sapardi Djoko Damono,” kata
penembang itu. Dengan lirih dan pelan-pelan, penembang perempuan
itu kemudian membacakan puisi di telepon genggamnya: dalam doaku
subuh ini kau menjelma langit yang semalaman tak memejamkan mata,
yang meluas bening siap menerima cahaya pertama, yang melengkung
hening karena akan menerima suara-suara. Puisi Sapardi itu lirih.
Sayang, gending gagal lirih lantaran ruang terlalu kecil untuk tidak
menggemakan bising. Puisi beriringan gamelan toh tetap ditampilkan
serta-merta.
Gamelan mengantar puisi Sapardi pada alih wahana. Kata-
kata yang sebelumnya dinikmati dengan mata diperdengarkan
untuk telinga. Presentasi visual rasanya kurang ditonjolkan,
kecuali penembang perempuan yang membacakan puisi kebetulan
berhijab. Citra Islami sederhana itu barangkali dianggap cocok
untuk mengantarkan puisi Dalam Doaku. “Mengalihwahanakan
berarti mengubah,” tulis Sapardi di Alih Wahana (2018), “dan
mengubah berarti menghasilkan sesuatu yang berbeda dari yang ada
sebelumnya.” Doa universal Sapardi tiba-tiba menjadi Islami. Sapardi
memang menyebut subuh dan magrib, tapi keduanya sekadar penanda
waktu, sebagaimana “sore ini” dan “malamku.” Hijab mengarahkan
pemirsa mencerna subuh dan magrib sebagai Islami belaka.
Gamelan sudah tampil bersama puisi, dan kemungkinan bukan

110
yang pertama kali terjadi. Apakah puisi menjelma tembang, ataukah
gamelan yang dijelmakan puisi? Hari ini, yang kita sadari pasti,
gamelan mulai dapat terhubung dan akur pada banyak hal. Dahulu,
gamelan karib dengan tembang semata. Mungkin karena kekariban
itu, nenek di masa mudanya adalah penembang, dan adiknya penabuh
gamelan. Kekariban suara terjadi bersama tembang, dan kekariban
visual kerap mewujud pagelaran wayang. Tapi, itu dulu. Presentasi
visual kini lebih sering hadir dan ternikmati bukan di depan layar,
tapi dalam layar.
Film, presentasi visual dalam layar paling ambisius, juga
berkarib gamelan. Film Garin Nugroho, Setan Jawa (2016), adalah
pembuktian kekariban itu. Film sebenarnya bisu, dan konon film
bisu pertama yang dibikin Garin. Namun, bisu disangkal gamelan,
biangnya adalah Rahayu Supanggah. Kehadiran gamelan pada Setan
Jawa menyangkal kebisuan sekaligus memberi tempat bagi film itu
di Holland Festival 2017. Setan Jawa yang disebut “Indonesian Faust
in silent film with live music” itu memenuhi kebutuhan festival akan
musik Indonesia dalam film. “With Setan Jawa, a silent dance film in
black and white and accompanied by live gamelan music, he goes one step
further.” Di film, gamelan berarti kemajuan.
Pada pembacaan puisi Sapardi, gamelan masih mungkin
berinteraksi timbal balik dengan penembang perempuan tadi. Di Setan
Jawa, interaksi itu mustahil. Sebagai film, Setan Jawa memiliki durasi,
tempo, dan klimaks yang pasti, tidak dapat diimprovisasi. Gamelan,
dengan begitu, melayani film sebagai semata-mata pengiring.
Gamelan terasa sekadar memberikan nada-nada pemantik rasa yang
film butuhkan, alih-alih berbareng menciptakan rasa lewat percakapan
musikal, dan mengantarkannya ke pemirsa. Hal itu sebetulnya wajar,
karena film dan gamelan menjalani proses penciptaan yang berbeda.
Film lebih dulu dibikin sebagai bisu, dan gamelan baru menyusulkan

111
suara pada saat pementasan, atau paling cepat pada sesi latihan.
Percakapan itu butuh ruang dan waktu yang menyatu.
Mengapa Garin membuat film bisu untuk kemudian dipentaskan
dengan iringan gamelan, ketimbang memasukkan langsung alunan
gamelan dalam filmnya? Barangkali, Garin ingin gamelan benar-
benar dihadirkan. Gamelan kini tak selalu wujud. Seorang laki-laki di
warung makan, dalam rolasan, mungkin saja mendengarkan alunan
gamelan tanpa ada bonang, saron, gong, dan lain-lain di hadapannya.
Gamelan dapat mengalun dari benda gepeng persegi panjang yang
sehari-hari kita sebut telepon seluler. Gamelan telah disarikan
menjadi suara, tak mesti wujud. Kehadiran gamelan tidak sama
dengan penampakkan bonang, saron, penabuh, juga penembang.
Reduksi penghadiran gamelan lantas dimanfaatkan oleh sekian
musisi Indonesia. Kita akan lekas bertemu gamelan usai lirik ini
dinyanyikan: macarin kamu/ nggak jauh beda/ dengan main ludruk/
pake nanya silsilah/ golongan darah/ ningrat atau umum/ biar ortumu
seneng/ pakdemu seneng/ budemu seneng/ embahmu juga seneng/ ku
ikut aja/ cengar-cengir/ mirip kebo di sawah. Jamrud menyelipkan
gamelan di lagu Ningrat (2000), yang terhimpun di album berjudul
sama. Gamelan mungkin turut andil dalam capaian album itu secara
komersial, yang terjual dua juta kopi dan menjadi salah satu album
rok Indonesia terlaris sepanjang masa. Di zaman itu, menyisipkan
gamelan dalam lagu rok masih aneh dan tak lazim.
Di masa kemudian, pilihan menyelipkan gamelan di lagu “cadas”
menular ke grup musik power metal asal Solo, Lord Symphony. Down
to Holyland (2014) adalah judul lagu yang tersisipi gamelan. Di lagu
bertempo kencang itu, gamelan berkejaran dengan distorsi gitar dan
gebukan drum double-pedal. Baik judul maupun lirik lagu berbahasa
Inggris, bahkan penggarapan album diurusi label rekaman asal Jerman,
Semax Record. Konon, itu demi menembus pasar internasional dan

112
mengantarkan Lord Symphony naik haji ke Wacken Open Air, gelaran
musik metal terbesar di dunia. Sayang, belum sempat naik haji, Down
for Life mendahului.
Down for Life, juga dari Solo, berkesempatan berangkat ke
Wacken Open Air usai memenangi kompetisi Wacken Metal Battle
Indonesia 2018. Pada babak final, mereka tampil berbaju batik
lusuh, riasan coreng-moreng, dan mengawali penampilan dengan
iringan gamelan. Penampilan terkonsep mungkin jadi pertimbangan
juri memenangkan mereka, dan di antara konsep apik itu, terselip
kehadiran gamelan. Di musik, gamelan membawa kejayaan. Kita
jelas sangsi set lengkap gamelan akan terlihat di pentas musik metal.
Jangan bayangkan Jamrud, Lord Symphony, dan Down for Life
tampil bersama para penabuh gamelan. Di zaman ini, kita telah
berjumpa teknologi berjuluk sampling. Kehadiran gamelan kini cukup
di telinga-telinga kita, tak selalu menampilkan lempeng-lempeng
logam di luar sana.[]

113
Menjadi Pengrawit
Esthi Nimita

“Mula ingaran pathetan, pinantheng panthenging ati....


pramila gending yen bubrah, gugur sembahe mring Gusti, batal
wisesaning shalat, tanpa guna olah gending....“

(Maka disebut pathetan, karena dirasakan ke lubuk hati...


apabila penyajian gending gagal, maka gagal dan batal sembah
yang dilakukan kepada-Nya, tiada guna memainkan gending.)

C oba perhatikan para pengrawit di keraton saat


memainkan gamelan sakral di malam-malam hening
pada ritual-ritual penting. Seringkali mereka menabuh dengan
menunduk takzim dan mata terpejam. Terpejamnya mata ini
menandakan mereka sedang menghayati gending yang mereka
mainkan atau justru sedang mengantuk? Sulit dikatakan.
Namun tidak seorang pengrawit pun yang lupa membunyikan
alat musik yang sedang ditabuhnya. Pemain gong, contohnya.
Saat sedang tidak menabuh, matanya terpejam sambil
kepalanya menangguk-angguk seperti sedang tertidur. Namun
114
di saat yang tepat, ia akan terbangun sebentar dan menabuh gong,
lalu kembali menutup matanya.
Para pengrawit ini kerap menabuh gamelan sebagai pengiring
sebuah pertunjukan seni tari, wayang orang, atau wayang kulit.
Sepertinya mudah berprofesi sebagai pengrawit jika melihat polah
tingkah mereka saat menabuh gamelan, namun sebetulnya semuanya
tidak sederhana seperti yang terlihat.
Di Jawa, pengrawit sering disebut sebagai niyaga atau yogo.
Yogo berasal dari kata “wiyoga” yang berarti semedi atau meditasi.
Bila niyaga sedang menabuh gamelan, ia akan berkonsentrasi penuh
untuk memberi ruh terhadap gending yang sedang ia mainkan.
Perilaku seolah-olah tidur tadi, sebetulnya menunjukkan bahwa
mereka sedang berada di tahap meditasi atau semadi. Bila rusak
tabuhannya maka gagal sembahnya kepada Yang Maha Kuasa.
Pengrawit yang sudah mumpuni dalam menguasai panggung
seni pertunjukkan tradisional akan dapat menata musik atau membuat
notasi gending. Pada zaman dahulu, pembuat notasi gending adalah
orang yang terpilih di keraton. Tidak sembarang orang dapat
melakukan tugas ini. Dan gelar yang didapatnya adalah abdi dalem
Lurah Panewu Niyaga. Ia adalah orang yang tahu persis seluk-
beluk gamelan yang ada di keraton dan penggunaannya, karena tiap
gamelan memiliki fungsi yang berbeda-beda. Misalnya, gamelan
untuk mengiringi tari Bedaya, berbeda dengan gamelan untuk
upacara Grebeg Mauludan, dan sebagainya.
Penguasaan atas gending-gending untuk mengiringi
pertunjukkan juga tidak mudah, karena tiap gending memiliki
patokan khusus. Misalnya gending Megamendhung laras pelog pathet
nem, hanya diperdengarkan untuk mengiringi jejeran putri dalam
wayang gedhog. Gamelan slendro hanya dimainkan untuk mengiringi
wayang kulit. Sedang gamelan pelog hanya diperdengarkan buat

115
mengiringi wayang gedhog, dan sebagainya.
Belum lagi untuk menyesuaikan gending dengan jenis
tariannya. Misalnya, iringan gamelan untuk tarian Golek, biasanya
akan lebih lincah iramanya, lebih ramai karena mengikuti gerakan
patah-patah, genit, dan riang dari penarinya. Tari Serimpi akan
diikuti gamelan yang bersifat lebih meditatif, rendah, meredam dan
tenang. Sedangkan tari Bedaya selalu diikuti instrumen berbentuk
seperti buah pisang bernama kemanak, yang jika dimainkan akan
menimbulkan suasana magis. Tari-tarian seperti Serimpi dan Bedaya
biasanya sudah memiliki patokan yang lebih ketat untuk gending
pengiringnya, sedangkan tarian yang ada dalam wayang wong
misalnya, menggunakan iringan gending dengan macapat yang
disesuaikan dengan kisah yang digelar.
Pembagian ini akan disesuaikan lagi dengan suasana keseluruhan
dari tarian yang diiringinya. Terutama karena musik adalah alat yang
dapat menciptakan suasana. Sang penata musik akan dengan cermat
menghayati adegan demi adegan, atau jenis tarian yang akan diiringi.
Adegan konflik dalam wayang wong, misalnya, akan membutuhkan
iringan musik keras atau teriakan pemusik yang saling bersahut-
sahutan. Di antaranya memberi tekanan terhadap gerakan sehingga
membuat gerakan, misalnya perang, menjadi semakin hidup. Tentu
saja semua ini membutuhkan penguasaan yang paripurna dari seorang
pengrawit unggulan. Bisa dibayangkan betapa sulitnya menjadi
seorang pengrawit. Tidak sesederhana apa yang kita lihat selama ini
di dunia panggung seni tradisional.
Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa gending selalu
menuntun ke arah rasa kewiramaan atau ritmis yang meliputi; runtut
(sesuai), patut (layak), titi (teliti), pratitis (tepat), tetep (tidak berubah-
rubah). Kemudian tatag artinya (tidak gentar), antep (berbobot),
mantep (mantap atau yakin).

116
Selain itu, ada pula rasa keindahan atau estetis yang meliputi rasa;
alus (halus), suci, lebet (dalam), santosa (sentosa), jejer (patokan).
Serta gadhah prabawa (berwibawa), mandiri (berdikari), budi pekerti
(menuntun ke arah berbudi yang halus), dan raos gesang bebrayan
(hidup dengan lingkungan orang lain). Betapa besar tanggung jawab
para pengrawit untuk memenuhi tuntunan dari Bapak Pendidikan
Nasional kita tersebut.
Selain itu, seseorang harus memiliki pengendalian diri yang kuat
dalam bermain gamelan, karena tanpa pengendalian diri, ketenangan
saat menabuh tidak akan tercipta. Mereka juga harus bisa menahan
ego untuk menonjolkan diri, karena gamelan merupakan alat musik
yang menekankan kebersamaan dan keharmonisan seluruh anggota
tim. Bagi seorang pengrawit, gamelan adalah salah satu elemen saja,
seperti juga tarian, pendapa tempat berlangsungnya tari, dan berbagai
elemen lain yang menyatu dalam suatu rangkaian sebagai simbolisasi
jagat alit dalam jagat ageng semesta ini.
Memang di sinilah tanggung jawab seorang seniman seni
tradisional. Seorang seniman seni tradisional biasanya mengembalikan
segala sesuatu, baik niat berkesenian maupun apapun yang dihasilkan,
ke asalnya, yaitu Tuhan, ke dunia spiritual. Bukan melakukan segala
sesuatu demi ke-aku-annya atau egonya. Dengan kata lain, mereka
melakukan segala sesuatu atas pengabdiannya ke junjungannya.
Para pengrawit dahulu melakukan ini sebagai pengabdian kepada
raja yang dipercaya sebagai wakil Tuhan di dunia. Karena seniman
tradisional percaya bahwa semua darma yang dilakukan hanyalah
sebuah pengabdian terhadap Sang Tunggal, yang diwakilkan oleh
raja atau sultan, bukan untuk unjuk kemampuan diri atau pembuktian
diri.
Melalui pengabdian yang tulus, perwujudan dari kerendahan
hati dan persembahan seorang kawula terhadap gustinya, maka musik

117
yang dihasilkan tidak sekadar sensible consolation atau penghiburan
inderawi; seni sebagai hiburan dan kesenangan inderawi yang hanya
berfungsi memuaskan kebutuhan pada saat itu. Namun seni bagi
mereka mampu mengaduk jiwa dan emosi, bahkan meningkat sampai
ke derajat ruh atau mampu menggetarkan rasa. Musik adalah getaran
yang berasal dari dimensi spiritual, di mana seluruh eksistensi telah
muncul dari kekosongan dan keheningan. Tak heran jika bunyi yang
dihasilkan kemudian adalah sesuatu yang melampaui dirinya (supra
individual).
Proses berkesenian melalui pengabdian yang demikian
merupakan sebuah perjalanan yang tidak mudah. Butuh latihan
keras dalam menempa dan mengendapkan diri untuk dapat mengolah
kepekaan terhadap rasa dari berbagai dimensi. Mulai dari rasa
permukaan atau ketubuhan, hingga semakin masuk ke dalam jiwa dan
kemudian ruh, menjadi rasa atau kesadaran ilahiah.
Di dunia modern, banyak seniman yang sudah semakin
tercerabut dari rasa-nya akibat semakin renggangnya hubungan
yang dimilikinya dengan Sang Pencipta, dengan Diri Sejatinya. Tak
heran jika Jayabaya dahulu pernah mengurai nubuat bahwa “di Jawa;
wong Jawa dadi ilang Jawane.” Mungkin diakibatkan karena semakin
berkurangnya kepekaan kita di bidang ini.
Selain itu, perjalanan yang dilalui seorang pengrawit sejati
tidak hanya perjalanan fisik yang bersifat linear belaka, namun juga
perjalanan jiwa dan rohani yang bertingkat-tingkat serta multidimensi.
Sehingga sembah yang mewujud dalam penyajian gending dapat
tetap dirasakan hingga ke lubuk hati, serta mampu menghadirkan
rasa, seperti yang dikatakan J. Gonda dalam buku Sankrit in Indonesia,
menjadi jembatan yang dapat membantu manusia – dalam hal ini para
penikmat gending – dalam menjangkau Tuhannya.[]

118
Gamelan
Ki Pembayun
Rommi Mardian Rakhmawan

J awa Barat yang punya banyak warisan kesenian dan


alat musik tradisional, yang merupakan perangkat dari
berbagai jenis kesenian-kesenian yang ada, tengah mengalami
pergeseran minat masyarakat terhadap pengetahuan alat-
alat musik yang ada di Jawa Barat. Alat-alat musik modern
(Barat) dan alat-alat musik tradisional yang secara teknik
permainannya lebih kekinian juga maju, mendapat posisi
strategis di masyarakat.
Dampaknya, beberapa alat musik tradisional dianggap
usang dan kemudian ditinggalkan. Hanya kalangan masyarakat
yang bergelut di bidang kesenian saja yang mengetahui dan
mempelajari alat-alat musik yang dianggap usang tersebut.
Padahal, alat-alat musik tersebut mempunyai nilai yang
hakiki dalam keberadaannya. Esai ini menguak permasalahan
eksistensi gamelan Ki Pembayun dan solusi agar gamelan
tersebut dapat dikenal oleh masyarakat. Gamelan Ki Pembayun
merupakan gamelan yang diciptakan oleh Raden Machjar
119
Angga Koesoemadinata, seorang tokoh karawitan Sunda, 49 tahun
yang lalu. Keberadaan gamelan ini dalam khazanah kesenian Sunda
mempunyai posisi penting, bahkan mempunyai potensi untuk
merekontruksi kesenian-kesenian lama dan menciptakan kesenian-
kesenian yang baru. Namun, selama 49 tahun usia gamelan tersebut,
baru setahun ini keberadaanya diketahui. Ki Pembayun menghilang
dari tempat tinggalnya di salah satu ruang Gedung Sate yang saat ini
menjadi kantor Gubernur Jawa Barat. Tanpa diketahui secara pasti
waktu kehilangannya, gamelan ini hilang tanpa meninggalkan jejak.
Gamelan Ki Pembayun merupakan perangkat gamelan Sunda
yang dijuluki “Si Sulung” atau dalam bahasa Sunda “Si Cikal.”
Penamaan tersebut didasari oleh terciptanya gamelan Sunda yang
memiliki 17 nada untuk pertama kalinya. Perangkat gamelan ini
dinilai sangat istimewa di kalangan masyarakat yang bergelut di
bidang kesenian. Namanya pun tetap melegenda.
Tapi hal tersebut tidak terjadi pada masyarakat secara umum.
Pasalnya, gamelan tersebut tidak diketahui keberadaanya selama
48 tahun. Wajar jika masyarakat Sunda saat ini banyak yang tidak
mengetahui perangkat gamelan tersebut. Dikutip dari sebuah artikel
nasional Kompas pada tahun 2012, seorang penulis, Rukmana H.S.,
yang pernah mencoba menelusuri keberadaanya, menggungkapkan
kekaguman akan kehebatan gamelan Ki Pembayun yang bisa
mengiringi lagu-lagu dari mana pun, baik lagu-lagu dalam laras
diatonis maupun lagu-lagu dalam dalam laras pelog, salendro, atau
laras lagu lainnya.
Gamelan Ki Pembayun memiliki keistimewaan dan kekhasan
tersendiri karena terdiri atas 17 nada dalam bentuk bilah maupun
penclon. Susunan nada-nadanya pun, selain terdiri dari nada-nada
pokok, juga terdiri atas nada-nada sisipan (miring). Oleh karena itu,
jumlah instrumennya lebih banyak.

120
Selain keistimewaan dan kekhasan yang terlihat dari fisiknya,
gamelan Ki Pembayun mempunyai ciri khas lain, yakni terbuat dari
perunggu seberat kurang lebih satu ton. Selain itu, jumlah penclon
bonang dan rincik-nya terdiri dari 36 penclon. Jumlah bilah saron
1, saron 2, peking, demung, dan selentemnya terdiri dari 18 bilah.
Sejumlah 20 penclon kenong, 20 penclon kempul, dua gong besar, dua
gender, masing-masing memiliki 52 bilah, serta dua ketuk kempyang.
Sungguh jumlah yang sangat fantastis untuk sebuah perangkat
gamelan yang dibuat pada zaman dahulu.
Rd. Machjar sebagai etnomusikolog Sunda yang lahir pada
tahun 1902, berhasil mencapai tingkat tertinggi dalam dedikasi
penelitiannya terhadap khazanah kesenian Sunda, khusunya dalam
hal frekuensi laras pelog dan salendro yang hingga kini masih belum
ada gantinya. Semasa hidupnya, Rd. Machjar selalu berada di
lingkungan kesenian Sunda dan mempunyai beberapa guru dalam
masing-masing jenis kesenian Sunda. Ia belajar rebab pada Pak Etjen,
lalu belajar gamelan kepada Pak Idi, dan belajar vokal tembang
pada Pak Oetje. Pengetahuannya di bidang musik, baik musik etnis
ataupun musik Barat, terus bertambah lewat pelajaran musik Barat
yang didasari ilmu sains dan ilmu fisika ketika menjadi murid di
sekolah guru Kweekschool, dan kemudian melanjutkan ke Hogere
Kwekschool. Sejak saat itu ia sering melakukan penelitian-penelitian
terhadap frekuensi gamelan yang ada di Sumedang dan Bandung.
Pada tahun 1923, ketika masih menduduki bangku sekolah, karyanya
yang dinamakan Serat Kanayagan tercipta. Karyanya itu merupakan
tangga nada Sunda ‘’da, mi, na, ti, la” yang sampai saat ini menjadi
dasar pengajaran karawitan Sunda.
Semangat luar biasa Rd. Machjar dalam meneliti musik-musik
Sunda akhirnya mendapat kesempatan besar pada tahun 1927-1929.
Kala itu, Rd. Machjar bertemu dengan seorang etnomusikolog

121
Belanda, Jaap Kunts. Saat itu Jaap Kunts sedang melakukan penelitian
terhadap musik-musik di Indonesia khususnya gamelan di pulau
Jawa. Muhamad Sabar, putra dari Rd. Machjar mengungkapkan,
Rd. Machjar memahami lebih dalam konsep getaran suara serta
cara mengukurnya, dengan instrumen yang menyangkut konversi
matematikanya ke skala musik dengan menggunakan nilai logaritma,
konsep interval cents dari John Ellis (1884) dan Hombostel (1920),
serta musik rule dan reiner.
Ki Pembayun merupakan puncak hasil penelitiannya yang
sangat panjang. Kurang lebih setengah dekade lamanya, Rd. Machjar
mendedikasikan hidupnya untuk musik Sunda. Pada tahun 1971,
Ki Pembayun rencanya akan dibawa untuk mengiringi Sendratari
Ramayana di Surabaya. Namun, Rd. Machjar sangat kecewa karena
pada saat itu, Ki Pembayun tidak jadi dibawa dengan alasan tidak
cukupnya ruang dan membutuhkan lebih banyak pemain untuk
menabuhnya.
Pada tahun itu pula menjadi puncak kekecewaan Rd. Machjar
selama hidupnya menggeluti bidang kesenian. Ia pernah menduduki
jabatan penting di Jawa Barat, hingga pada 17 agustus 1969 menerima
penghargaan Anugrah Seni dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,
sebagai ahli dan penyusun teori Karawitan Sunda. Menurut putranya,
Muhamad Sabar, penghargaan masyarakat terhadap karya ayahnya
itu sangat membuat ayahnya kecewa. Pasalnya, Rd. Machjar tidak
menilai perhargaan itu dalam bentuk jabatan tetapi dalam bentuk
apresiasi masyarakat. Tidak heran jika dari pernikahannya dengan
Saminah, seorang lulusan pertama sekolah guru wanita Van Deventer
di Salatiga, Jawa Tengah, Rd. Machjar malah menyekolahkan anak-
anaknya di bidang ilmu alam. Mereka semua berhasil, baik di bidang
geologi, vulkanologi ilmu kimia, maupun ilmu-ilmu lainnya.[]

122
REPORTASE

123
124
Gamelan
Meriwayat Kuasa
Satya Adhi

Sayup-sayup, terdengar kuasa raja dan Tuhan


dari lantunan gamelan

M uhammad Bin Abdullah Bin Abdul Muttalib tak


pernah menabuh gamelan. Ia tidak pernah tahu apa
itu demung, bonang, saron, gender, atau gong. Tak sekalipun
Tuhan memerintahkan Muhammad untuk menabuh logam-
logam itu. Dalam 114 surah yang dibisikkan Tuhan kepada
Muhammad, gamelan tak pernah disebutkan, tak pernah
diperintahkan Tuhan untuk dimainkan manusia.
Meski demikian, di tanah Mataram – sebuah wilayah
subur di tepi bengawan, terpisah 8000 km lebih dari Mekah–
kelahiran Muhammad dirayakan dengan tabuhan gamelan.
Sungguh ajaib. Lahirnya sang utusan terakhir Tuhan tidak
dirayakan dengan suara genderang perang pasukan gajah atau
lantunan musik gambus Arab, tapi nada-nada pelog gamelan
perunggu.
125
Gamelan-gamelan itu disiapkan di bangsal Pradangga, pelataran
Masjid Agung Surakarta, pada sebuah siang usai sembahyang Jumat
di tahun 2017. Yang paling besar bernama Kyai Guntur Madu, dibuat
pada masa Pakubuwono IV sekitar tahun 1700-1800-an Masehi.
Sedangkan yang lebih kecil tapi tetap besar untuk ukuran gamelan,
adalah Kyai Guntur Sari, peninggalan kerajaan Demak tahun 1566
Saka (sekitar 1644 Masehi). Keduanya sudah di-jamasi, dimandikan
dengan ritual khusus.
Ribuan orang memadati perayaan. Mereka menyebut perayaan
itu Sekaten; konon, berasal dari kata “syahadatain” atau dua kalimat
syahadat. Kyai Guntur Madu di bangsal selatan, Kyai Guntur Sari
di bangsal utara. Dua kyai menjadi saksi kuasa ketuhanan dan
kenabian, dimainkan secara bergantian selama tujuh hari berturut-
turut oleh penabuh yang sama. Para pemain hanya berhenti ketika
waktu sembahyang tiba. Gending Ladrang Rambu pelog nem akan
dimainkan sebagai pembuka, menyusul kemudian Ladrang Rangkung
pelog nem dan Ladrang Barang Miring pelog barang. Ketiganya wajib
diperdengarkan setiap tahun saat perayaan Sekaten. Setelahnya, para
penabuh bebas memilih gending.
Tabuhan bonang barung memulai permainan. Si penabuh
sampai harus duduk agak berjinjit untuk meraih bonang terjauh,
saking besarnya ukuran 14 bonang yang dimainkan. Sekian pukulan
memainkan nada-nada Ladrang Rambu pelog nem. Di belakangnya,
logam-logam perunggu mengikuti alunan gending; dua set demung,
empat set sarong barung, dua set saron penerus, satu set kempyang,
dan dua buah gong. Sebuah beduk juga ikut ditabuh.
Di depan beduk, seorang lelaki paruh baya khusyuk memainkan
demung Kyai Guntur Sari. Tahun itu jadi tahun ke-20 dia memainkan
gamelan Sekaten. Mulanya dia cuma dipasrahi menabuh saron
barung, instrumen kecil, tak terlalu terdengar jika salah menabuh.

126
Tapi sekarang, demung jadi instrumen kesukaannya. Balung-balung
demung sudah mendarah daging-menggusi gigi dalam tubuhnya.
Si penabuh demung belajar ngrawit gamelan sejak SMA.
Permainannya bertambah baik dari tahun ke tahun. Suatu hari di tahun
1998, ia diajak ngrawit di keraton Kasunanan Surakarta. Bangsawan
keraton terpikat. Dia dianggap layak jadi abdi dalem pengrawit di
keraton turunan Mataram itu. Raja memberinya gelar dan nama:
Bupati Anom Dibyagunadipura.
Selama dua tahun, Dibyagunadipura magang, belajar tata cara
ngrawit di keraton kasunanan. Setiap Senin, Rabu, Kamis, dan Sabtu,
ia dan abdi dalem pengrawit yang lain akan menabuh gamelan dalam
sebuah permainan pasowanan. Setiap Selasa Kliwon, gamelan keraton
juga wajib dimainkan. Para abdi dalem itu akan bermain, tak peduli
ada yang menonton atau tidak, ada yang mendengarkan atau tidak.
Hampir 20 tahun jadi abdi dalem, satu tahun empat bulan yang
lalu Dibyagunadipura berhenti bermain di keraton. Lelaki 43 tahun
itu tak lagi bermain di sana sejak kalangan keraton ribut berebut
kuasa.
Tapi Dibyagunadipura tak pernah berhenti bermain gamelan.
Di luar keraton, ia tetap fasih menabuh demung, meski tanpa nama
pemberian dan gelar dari kasunanan. Di luar, namanya bukan lagi
Bupati Anom Dibyagunadipura. Namanya adalah Joko Daryanto
alias Joko Menggung, bapak satu anak yang juga pengrawit di orkes
gamelan kelurahan Joyosuran. Ia adalah pengajar di program studi
Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Sebelas Maret (UNS),
calon doktor seni karawitan, juga penggemar berat Iwan Fals.
“Saya hafal semua lagunya. Kalau ada tes masuk OI [Orang
Indonesia], saya pasti keterima.”
***
“Seratus dua ribu rupiah per bulan dan uang transportasi dua

127
ribu rupiah per hari.” Segitu bayaran Joko selama jadi abdi dalem.
Mau bagaimana lagi? Joko kadung terpikat pada gamelan. “Gamelan
itu cermin kehidupan orang Jawa. Saya mempelajari banyak hal dari
gamelan,” kisahnya sebelum berlatih gamelan di kantor kelurahan
Joyosuran, akhir Juli 2018.
Padahal, alat-alat musik yang ditabuh Joko adalah instrumen
orkestra Jawa bernilai ratusan juta rupiah, yang sejak pembuatannya
saja sudah menguras tenaga banyak manusia.
Sebuah bengkel di desa Wirun, kecamatan Mojolaban,
kabupaten Sukoharjo, menegaskan hal ini. Di sana, yang tercium
pertama kali bukan aroma rupiah. Yang tercium pertama kali adalah
aroma pembakaran. Butir-butir api berhamburan tak karuan dari
sebuah lubang. Diameternya 200 senti, dalamnya 30 senti. Sembilan
pekerja lelaki berdiri di sekitarnya. Lusuh, kotor oleh noda-noda
pembakaran. Semuanya memusatkan tubuh ke bongkahan logam
berbentuk lingkaran di tengah lubang.
Sebuah gong Bali berbahan perunggu.
Sembilan pekerja mengerjakan gong berukuran sekira 60 senti
sejak pukul delapan pagi. Seorang pekerja membolak-balik gong di
lubang pembakaran. Bunyi “nguung” dari mesin di bawah lubang
terdengar, lalu api akan menari lebih hebat. Dua pekerja bertugas
mengangkat gong dari lubang pembakaran ke tempat penempaan. Lalu
sisa pekerja akan memutar gong sambil ditempa. Dibakar, diangkut,
ditempa. Dibakar, diangkut, ditempa lagi. Begitu seterusnya sampai
bentuk gong sempurna.
Selarik cahaya matahari masih menembus atap asbes ketika
Supoyo masuk ke ruang pembakaran. “Lha kae juragane,” bisik seorang
pekerja. Supoyo berjalan sangat perlahan, agak membungkuk, lalu
terlihat mengomeli para pekerjanya. Ia tidak puas dengan gong Bali
buatan mereka – sembilan orang yang bekerja sejak pukul delapan

128
pagi hingga dua siang.
Tak cukup mengomel, palu kayu yang beratnya sekitar dua
kiloram diambil dan digenggam dengan kedua tangan. Supoyo, empu
gamelan berusia 72 tahun, menempa sendiri gong yang sedang dibuat.
Cuma sekali putaran. Lalu ia keluar dari ruangan yang makin sumuk
itu.
Berbeda dengan Joko Daryanto, kisah bengkel gamelan
Supoyo adalah kisah pendidikan, pengusiran, selain tentunya
mata pencaharian. Sejak kelas empat SD, Supoyo belajar membuat
gamelan dari bapaknya, empu Resawiguno. Resawiguno mendidik
Supoyo dengan keras. Dua tahun pertama, ia cuma belajar nyolok
(memegangi lempengan logam yang ditempa), dua tahun berikutnya
belajar ngarap (memindahkan calon gamelan dari tempat pembakaran
ke tempat penempaan), lalu berlatih malu (menempa); malu tepong
selama tiga tahun, malu pengapit selama dua tahun, malu tengah
selama tiga tahun, serta malu pengarep selama lebih dari tiga tahun.
Baru kemudian menjadi panji, perajin yang mampu membentuk
gamelan. Selesailah pendidikan bertahun-tahun lamanya untuk
menguasai teknik pembuatan gamelan dari awal hingga rampung.
“Di Wirun ada tiga yang bisa [menguasai pembuatan gamelan
dari awal hingga akhir]. Sarmin, Atmo, terus saya,” aku Supoyo.
Sarmin dan Atmo dulu juga anak buah Resawiguno. Kini tinggal
Supoyo yang masih diberi hidup.
Hasil didikan keras membuat Supoyo jadi perajin gamelan yang
tangguh. Tahun 1983, ia menghimpun pekerja untuk mendirikan
bengkel sendiri. Waktu itu bengkelnya masih satu atap dengan
milik Resawiguno. Beberapa tahun punya pekerja sendiri, seorang
pelanggan memintanya membuat gong. “Wah, kok jauh sekali
buatannya [lebih bagus dibanding buatan Resawiguno]. Ya sudah,
buat lagi sepuluh,” kata Supoyo menirukan pelanggan bersejarahnya

129
itu. Satu gong dihargai 650.000 rupiah, untung kotor untuk sepuluh
gong berarti 6,5 juta rupiah. Pada masanya, duit segitu sudah bisa
dipakai buat beli mobil Honda Civic bekas. Kalau sekarang, satu set
gamelan lengkap berbahan perunggu dibanderol Supoyo seharga 500
juta rupiah!
Resawiguno tak terima bengkel anaknya lebih laris daripada
bengkelnya. Bapak dan anak itu cekcok. Akhirnya Supoyo diusir dari
rumah, meninggalkan bapak sekaligus pendidik yang mengajarinya
membuat gamelan. “Terus saya ngontrak di pinggir jalan sini,”
kisahnya, sambil menunjuk arah jalan Lettu Rm. Hartono, jalan utama
di Wirun tempat kantor Kepala Desan Wirun dan Polsek Mojolaban
berdiri di pinggirnya. Dia mengontrak di tepi jalan itu, mendirikan
bangunan bengkel dari bambu. “Kalau sore pasti kebakaran [karena
bengkelnya dari bambu dan pendek]. Ya udah, setiap sore pasti
nyemprot [memadamkan api] terus.”
Wirun terletak jauh dari pusat kekuasaan Mataram, tapi aroma
pembakaran gamelan Supoyo tercium sampai ke sana. Tahun 1992,
Supoyo mendapat pesanan dari kalangan keraton. Bukan keraton
kasunanan, namun keraton Kasultanan Yogyakarta. Supoyo diminta
mengerjakan duplikat gamelan Sekaten untuk keraton Yogyakarta –
satu set gamelan perunggu yang ditempa khusus untuk merayakan hari
lahir Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muttalib. Sepuluh pekerja
dikerahkan untuk membuat gamelan-gamelan raksasa selama tiga
bulan. “Satu hari cuma dapat dua bilah demung. Padahal tiga orang
yang mengerjakan.” Supoyo tidak ingat nama gamelan duplikat yang
dipesan keraton kasultanan. Seingatnya, pesanan itu adalah salah satu
pesanan paling berat yang pernah ia kerjakan.
Membuat satu set gamelan berarti termasuk membuat gong
besar 90 senti, gong khusus yang wajib di-selameti (diadakan ritual
selametan). “Itu ajaran dari orang tua saya. Nyembelih ayam jago,

130
lalu tumpengan.” Pernah suatu kali Supoyo ngeyel. Begitu dibuat,
dibakar dan ditempa, gong malah patah. Supoyo masih ngeyel. Kedua
kalinya membuat, pencu – bagian tengah yang menonjol – gong
malah luruh. “Sejak itu, kalau mau bikin gong 90 senti, pasti saya
selametan.” Entah ritual semacam itu punya daya atau tidak. Yang
pasti, kini, setelah lebih separuh abad menjadi pembuat gamelan,
bengkel Supoyo adalah salah satu yang paling ternama di Wirun.
Siang mulai reda, sore merambat naik. Dua ekor anjing dan
beberapa ekor burung di sangkar masih menemani para pekerja. Suara
dentuman palu terdengar lebih keras dari suara para binatang. Aroma
pembakaran tetap terkurung di ruangan yang terletak di belakang
bengkel. Selain itu semua, yang tersisa adalah rumah tempat Supoyo
dan keluarganya menghidupi hidup.
***
Pukul tujuh duapuluh-satu menit,
raja keluar dari Balai Prabayasa,
dihormati alunan
Gendhing Sri Kraton, indah,
menghanyutkan, enak didengar.
Irama ajeg terpadu,
longgar kencang beruntun.
Bersamaan wiletan membelit,
permainan serempak, giat, dan lembut.
Seluruh suara dapat dirasakan.

Raden Hangabehi Purbadipura menulis baris-baris kalimat itu


pada tahun 1913. Tercantum dalam Serat Sri Karongron yang terbit di
Surakarta. Menggambarkan betapa musik punya posisi tidak remeh
di lingkungan istana. Jauh sebelum itu, sejak abad 11, musik sudah
menjadi bagian penting dalam kehidupan keraton-keraton Jawa.

131
Dalam disertasinya yang telah diterjemahkan dan diterbitkan,
Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musik di Jawa (2003),
Sumarsam tidak hanya melaporkan hasil penelitian, tapi juga berkisah
soal posisi gamelan di keraton. “Hampir semua anggota istana dari
tingkatan jenjang manapun – pendeta, pangeran, putri istana, dayang-
dayang – harus belajar memainkan musik, menyanyi, menari, atau
mendeklamasikan puisi. Pangeran yang ideal dinilai tidak hanya dari
tampan mukanya dan kecerdasannya, tetapi juga dari ketrampilannya
dalam seni dan musik,” tulis Sumarsam mengutip karya P.J.
Zoetmulder, Kalangwan: A Survey of Old Javanese Literature.
Gamelan di keraton Jawa itu sakral, sederajat dengan senjata
dan benda-benda suci pemujaan. Maka mereka bakal ditempatkan
dekat dengan pusat kekuasaan raja. Para raja Jawa percaya, dengan
meletakkan benda-benda keramat semacam itu di istana, wibawa
kerajaan akan memancar. Kekuasaan pun akan berumur panjang.
Kuasa raja Jawa diatur oleh sebuah ikatan yang disebut kawula-
gusti. Ikatan saling menghormati dan bertanggungjawab. Suatu
kepercayaan yang menganggap bahwa semua peristiwa yang terjadi
sudah ditakdirkan oleh Tuhan; kuasa Tuhan di atas kuasa raja.
Termasuk posisi masing-masing manusia dalam hidup. Ikatan kawula-
gusti, kemudian mewajibkan gusti (penguasa) menjaga kesejahteraan
dan melindungi kawula (rakyat)-nya.
Seni musik dan pertunjukan Jawa juga hidup dalam pertalian
semacam ini. Dulu, para seniman keraton seperti Joko Daryanto
memiliki hubungan dekat dengan rajanya. Para abdi dalem adalah
pengajar tata hidup kerajaan sekaligus teman bertukar pikiran bagi
kalangan bangsawan tinggi.
Namun, tidak semua seniman keraton adalah abdi dalem. Suatu
waktu pada 1970-an, seorang seniman perempuan dicari-cari oleh
utusan raja. Namanya Sumiyati alias Drigul. Perempuan termaksud

132
tinggal di daerah Kandangsapi, Solo. Dia diundang untuk bermain di
keraton kasunanan.
Drigul spesialis penabuh gender. Selain suka memainkan
gamelan, dia suka uang. “Sing penting kui duit…,” ujarnya berkali-
kali ketika menceritakan silsilah hidupnya. Sayang, bermain di
keraton tidak lantas membuatnya kaya materi. Dia tidak menerima
bayaran saat ngrawit gender di hadapan rajanya. “Wong, sinambi
kalaning nganggur [orang, mengisi kesibukan di kala nganggur].”
Drigul tidak berstatus sebagai abdi dalem kerajaan. Dia hanya
dipanggil ketika raja ingin mendengarkan tetabuhan gamelan, atau
saat acara-acara tertentu yang mengharuskan gamelan ditabuh. Biasa
berlatih pada malam Jumat di bangsal Pengrawit keraton kasunanan.
Meski bolak-balik keraton, Drigul tidak pernah menabuh
gamelan Sekaten. Gender, instrumen favorit Drigul, tidak ada dalam
satu set Kyai Guntur Sari ataupun Kyai Guntur Madu. Walaupun,
ia mengaku, bisa memainkan semua instrumen gamelan. “Liyane
gampang. Sambi turu isa” [yang lain mudah, bisa main sambil tidur].
Tak jelas kapan bakatnya terasah. “Bab ajar, latih, niku awit njero
weteng kula pun latian [soal belajar, latihan, itu sejak dalam kandungan
aku sudah latihan gamelan]." Maklum. Keluarganya adalah keluarga
seniman. Bapaknya dalang. Adiknya dalang. Suaminya juga dalang.
Setelah tak lagi dipanggil ke keraton tahun 2000-an, Drigul pun
ikut bersama dalang, menabuh gender untuk Ki Manteb “oye”
Soedharsono. Sekarang usianya sudah lebih dari 70 tahun.
“Sing penting kui duit,” kata Drigul sekali lagi.
“Yang terpenting itu niat,” Joko Daryanto menegaskan.
Kalau niat tidak kuat, Joko mungkin tidak akan sanggup menjadi
abdi dalem keraton selama hampir 20 tahun. Kalau niat tidak kuat,
bagaimana bisa ia menabuh gamelan Sekaten tujuh hari berturut-
turut, melawan hasrat jenuh dan letih. Baginya, yang terpenting

133
dari gamelan bukan duit. Sumber duit utamanya, ya, mengajar
sebagai dosen. Karena tugas mengajar inilah, Joko akan meminta
para mahasiswa datang ke Masjid Agung jika hari-hari Sekaten
berlangsung. Biasanya hari Jumat siang, saat permainan dijeda cukup
panjang sebelum hingga sesudah sembahyang Jumat. Joko akan
mengajar di sana, didengarkan gamelan-gamelan perunggu raksasa
saksi kuasa ketuhanan, kenabian.
Sebenarnya belum ada bukti sejarah yang cukup autentik untuk
membuktikan asal-usul Sekaten dan gamelannya. Cerita-cerita tentang
Sekaten terbatas pada sumber oral. Hal itu pun sudah cukup membuat
orang-orang tanah Mataram percaya, bahwa menabuh gamelan
Sekaten di Masjid Agung adalah ide Sunan Kalijaga – beberapa ada
yang menyebutkan Sunan Bonang – untuk mendakwahkan Islam di
tanah Jawa.
Yang jelas, pengaruh Islam dalam musik di Jawa adalah fakta
historis. Pedagang-pedagang muslim timur tengah yang menganut
Sufisme adalah penyebabnya. Ini karena musik memiliki fungsi
penting dalam ritual tarekat Sufi. Musik tidak hanya dianggap
mempunyai kekuasaan mistik untuk menarik emosi yang paling
dalam, tetapi juga, kalau dipadukan dengan kata-kata simbolik dan
gerakan-gerakan tertentu, dapat menguasai hasrat manusia. Musik,
mistik ketuhanan, dan kuasa kerajaan, tergambar dalam nukilan Serat
Babad Nitik yang dikutip Sumarsam dalam disertasinya berikut ini:

Lagi, pada Kamis malam


abdi istana berjaga-jaga.
Para Kaum berdhikir dan bermain terbang.
Para Demang bermain panahan.
Para Ngabehi berada di pendhapa.
Para putra Mangkunegara dan tumenggung

134
disaji makanan,
nasi, ikan, dan sekali waktu, minuman.
Tengah malam semuanya disaji makanan.

Serat itu ditulis antara tahun 1780-1791 Masehi. Memberikan


kesaksian pada acara Jumungahan, peribadatan Jumat di istana
Mangkunegaran, Surakarta. Islam yang membaur di Jawa waktu
itu adalah Islam yang membolehkan “…disaji makanan, nasi,
ikan, dan sekali waktu, minuman” saat sebuah upacara peribadatan
berlangsung.
Orang-orang masa sekarang sulit membayangkan sebuah
upacara peribadatan berlangsung diselingi “minuman.” Joko
misalnya, menabuh gamelan Sekaten selama tujuh hari saja sudah
lelah pikir dan tenaga, apalagi diselingi minum arak. Para penabuh
bisa teler kepayahan.
Dalam tujuh hari tetabuhan Sekaten, hari ketiga dan keempat
jadi yang paling berat. Jenuh bukan main. “Tapi kalau sudah bisa
melewati hari itu, akan terasa senang,” aku Joko. Hari keenam jadi
hari paling ringan. “Biasanya gending yang dimainkan juga gending-
gending yang bergembira, karena besok kan sudah hari terakhir.” Di
hari penutup, para penabuh akan berganti busana. Beskap putih akan
diganti dengan beskap berwarna hitam. Deretan kancingnya masih
terjahit di tengah, bukan disingkap di samping. Haram memakai jarit
bermotif parang. Joko dan penabuh lainnya merayakan kemenangan,
menabuh gending-gending kegembiraan.
Kemudian adalah suwuk dan seluruh gending Sekaten rampung.
Kyai Guntur Sari dan Kyai Guntur Madu diarak, dikembalikan ke
dalam keraton. Logam-logam perunggu berkilau melintasi alun-alun
utara. Dipulangkan ke dalam istana raja yang tak lagi punya kuasa.[]

135
Jiwa Sehalus
Gending Gamelan
Dian Erviana

“Gamelan dapat digunakan untuk mendidik rasa keindahan


seseorang. Orang yang biasa berkecimpung di dunia karawitan,
rasa kesetiakawananya tumbuh, tegur sapa halus, tingkah laku
sopan, semua itu karena jiwa seseorang menjadi sehalus gending-
gending.”

S anggar Mardhi Budoyo Sidahayu di kelurahan


Kalisegoro, kecamatan Gunungpati, Semarang, penuh
sesak oleh anak-anak yang ingin “bermain” gamelan, Sabtu,
9 Februari 2018 lalu. Di luar ruangan, sepatu mereka berjejer
rapi. Pagi itu, pelatih belum datang. Sembari menunggu,
anak-anak belajar nabuh12, bercengkrama dengan kawannya,
membaca, menggambar, atau menulis.
Saat pelatih datang, anak-anak berhamburan untuk
bersalaman dengannya. Pembelajaran pun dimulai. Pertarungan
jiwa dan kekompakan mulai menemukan medannya.
12. Membunyikan gamelan

136
Wisnu Aji Wicaksono, seorang pegiat seni gamelan yang
menjadi pelatih seni gamelan di Sekolah Dasar Negeri
(SDN) Kalisegoro membiasakan anak-anak untuk disiplin.
“Agar anak itu tidak jakjakan13, agar dilihat juga enak.... Disiplin,
peduli lingkungan. Untuk tidak melewati gamelan kan itu juga ada
sopan santunnya,” cerita Wisnu saat membahas kerapian anak. Anak-
anak pun tidak keberatan dengan peraturan demikian. Elfrida Akila
Delia, siswa kelas empat SD ini misalnya, selalu menaruh barang-
barangnya di sanggar dengan rapi. “Naruh tas harus rapi. Naruh
sepatu harus rapi, ndak boleh makan kalau pas main,” ungkapnya.
Setelah salim anak–anak mulai menata diri, duduk pada
tempatnya masing-masing. Suara–suara gending mulai terhubung,
alunan musik gamelan menyeruak seantero ruangan, semua instrumen
tuntas ditabuh para pemainnya. Sampai pada menit kesepuluh
permainan, seorang penabuh kenong, Dinda Kartika Sari, terdiam
sejenak. Ia mendengarkan alunan musik gamelan dengan saksama.
Kepalanya menggeleng. Sesekali, matanya melirik ke kanan dan ke
kiri melihat kawannya. Adakalanya ia merunduk menelaah angka-
angka notasi di buku catatannya yang terbuka.
Dinda sedang mencari kesalahan yang dia lakukan untuk kembali
menggending mengikuti irama dengan benar. Wahyu Hastanto, guru
bahasa Jawa SMPN 30 Semarang yang turut melatih anak-anak di
sanggar bercerita, “kadang [mereka berhenti] ketika musik berjalan
untuk menyesuaikan temannya. Dalam artian, ketika mereka tahu
salah, langsung diperbaiki. Jarang sekali saya tanya siapa yang
salah,” tutur Wahyu yang kala itu tengah sibuk menjaga dua putrinya
bermain gending-gending gamelan di sanggar seusai pembelajaran,
18 Maret 2018 lalu. Saat anak-anak mengakui kesalahannya, Wahyu
meyakini, anak sedang menjadikan dirinya dapat dipercaya. Dinda

13. Tidak bisa diam

137
dan Naifa Zahra Cantika misalnya, mereka bergantian memukul
kenong. Pergantian dimulai tiap satu permainan usai, sesuai intruksi,
dan tidak boleh ada yang curang bergantian lebih dari satu kali
permainan.

Jawa Nggone Rasa


Tidak ada kondektur yang mengecek sudah benar atau belum
dalam permainan seni gamelan. Semua menitikberatkan pada audio.
Para pemain harus dapat merasakan satu sama lain karena mereka
terhubung. Gamelan bukan pentas musik satu orang saja. Setiap
pemain perlu sadar diri.
Hari itu, pelatih dan peserta didik sepakat untuk menambah
jam latihan bermain gamelan, sebab sudah mendekati waktu lomba.
Minggu pagi mereka habiskan dengan memainkan lagu Gugur
Gunung yang jadi gending wajib lomba. Pada saat sedang bermain,
Muhammad Sabar Lintang, siswa kelas empat SD, sedang memainkan
gong. Lintang menabuh sambil bernyanyi mengikuti irama. Ia
bermain dengan melihat kawannya, Novan Saka Agata, yang berada
tepat di depannya sebagai pemain kempul. Di akhir permainan,
Wahyu mengingatkan Lintang. “Jika suwuk,14 jangan langsung
membunyikan gong….”
Saat ditemui di kediamannya di kelurahan Kalisegoro, Wisnu
mengajak berdiskusi mengenai sikap toleransi anak pada saat
permainan gamelan. Wisnu beranggapan, toleransi dapat tumbuh
dalam permainan gamelan. “Anak kan biasanya tidak mau mengenal
siapa-siapa. Contoh tadi, Sasa. Bonang barung itu kalau misalkan
buka tidak ditampani oleh gong kan, juga hambar. Di sini melatih
anak mendengarkan satu sama lain,” ujarnya. “Misal, saya bermain
demung. Harus bisa mendengarkan saron penerus, kenong, gong.

14. Mau berhenti atau pelan

138
Jadi kalau kebanteren, volume kekerasen, itu salah.”
Kuncinya adalah saling menunggu. Sasa, siswa kelas tiga
SD, Minggu itu bertugas mengrawit instrumen bonang barung. Ia
melakukannya dengan meregangkan kedua tangannya ketika bermain
bonang. Hal itu dilakukan agar semua perunggu di depannya ia
kuasai. Ia fokuskan pandangan pada perunggu, kemudian ia tabuh
sesuai notasi: nem-ma-ma-ro-ma, sebagai ajak-ajak untuk bermain.
Setelah itu, ia merunduk sebentar. Menunggu sampai gendang
berbunyi, gong suwukan, dan teman-temannya sudah siap memegang
instrumen. Barulah gending dimulai.
Permainan sudah setengah perjalanan, Wahyu memutuskan
untuk menjeda permainan. Suasana sanggar tiba-tiba menjadi riuh
ketika anak-anak bercanda dengan Wahyu di sela kelelahan menghafal
notasi dan nabuh gending. Wahyu merasa perlu ada kedekatan
emosional antara pelatih dan anak-anak. “Kita mengajarkan disiplin.
Pertama, saya pribadi harus dekat dengan anak. Selintas, saya ngajak
gojek15. Anak-anak masih ada yang telat, kita ajarkan pelan-pelan.
Dalam artian ketika kita langsung tegur, ‘Kamu gini-gini,’ nanti anak
akan menjauh takut pasti,” papar Wahyu.
Hubungan persahabatan yang baik antara pegiat seni gamelan
bisa menjadi jembatan untuk perbaikan diri anak di masa mendatang.
Djohan16, pada Jurnal Pembangunan Pendidikan Fondasi dan Aplikasi
(2009) menceritakan bahwa konseptual pendidikan seni musik dapat
memberikan bekal pengalaman pada peserta didik untuk membentuk
interaksi, komunikasi, keadilan, kesetaraan, keharmonisan, dan
keindahan dalam keberagaman karakteristik individu (pemain) dan
keberagaman bentuk alat musik yang terlibat dalam sebuah performan
musik.”
15. Bercanda
16. Desyandri. 2014. Peran Seni Musik dalam Pendidikan Multikultural. Jurnal Pembangunan
Pendidikan Fondasi dan Aplikasi Vol 2 No.1 Hal 1-15.

139
Setiap permainan dilaksanakan, anak-anak bersungguh-sungguh
melakukannya. Walaupun, sesekali mereka merengek kepada pelatih
untuk berganti materi. Mereka merasa bosan. Tapi, pelatih tetap
mendisplinkan anak untuk terus berlatih hingga melampaui kriteria
yang telah pelatih buat sebelumnya.
Pada akhirnya permainan gamelan dengan materi yang sama
tetap dilaksanakan. Kesungguhan anak-anak masih tampak ketika
mereka membiasakan diri bermain rapi. Mereka memerhatikan
posisi tubuh pada saat akan menabuh. Tabuh mereka taruh di tengah
perunggu. Ketika akan menabuh, mereka mengambil tabuhnya
sendiri-sendiri secara hati-hati. Mereka menabuh dengan posisi tabuh
dimiringkan. Setelah semua usai, mereka taruh kembali tabuh di
tempatnya.

Berawal dari Disiplin


Bermain gamelan dan menghasilkan karya gamelan juga sebagai
wujud ikhtiar memperhalus budi seseorang. Jarmani, pada Jurnal
Inovasi meyakininya. Ia pernah berucap, “musik selalu mengandung
keindahan dan merupakan hasil daya cipta yang bersumber pada
ketinggian budi dari daya cipta yang bersumber pada ketinggian
budi dari jiwa yang mengeluarkan musik itu sehingga musik selalu
dijadikan tolak ukur dari tinggi rendahnya nilai-nilai dan karakter
suatu bangsa.”17
Bagi Wahyu, gamelan adalah peninggalan nenek moyang dan
dalam memainkannya tidak boleh serampangan. “Dari tata krama,
sebetulnya nabuh gamelan tidak saksake, bahkan orang yang sudah
profesional, melihat tabuhannya saja sudah bisa melihat apakah orang
itu karakternya kasar karakternya halus. Sudah tahu. Kemudian yang
kedua saya kasih tahu kepada anak, gamelan itu peninggalan leluhur
17. Jarmani. 2016. Konstrutivistik Dalam Pembelajaran Seni Gamelan Berbasis Garap Musik
Kreatif. Jurnal Inovasi No. XVIII. Surabaya: Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.

140
atau nenek moyang. Otomatis duduk saja tidak boleh saksake,” tutur
Wahyu.
Berulangkali Wahyu menggembor-gemborkan agar anak-anak
tidak lupa untuk melakukan mithet18. “Saya katakan ketika memberi
tahu kepada anak-anak tentang mithet. Ketika teknik sudah terpegang,
mau dikasih model apapun, misalnya strukturnya lancaran, mau
dikasih model apapun itu mudah. Karena yang paling sulit itu teknik.
Misal lancaran gugur gunung sudah lancar, kalau tekniknya sudah
benar, tinggal dikasih notasi aja,” tuturnya.
Setelah satu permainan lagu gugur gunung selesai, Wahyu
duduk di depan anak-anak. Ia hendak mengajarkan kepada anak-
anak bagaimana cara melakukan mithet. Semua memperhatikan
dengan saksama, tak terkecuali Elfrida. Tatkala Wahyu selesai
memberi arahan mithet, ia langsung mempraktikannya ketika
permainan dimulai. Dalam bermain demung ia mempraktikan
mithet sesuai ajaran Wahyu. Elfrida memegang tabuhnya, matanya
fokus ke perunggu, sesekali ia melihat kawannya dan tersenyum.
Adakalanya ia melihat ke pelatih dengan tatapan malu-malu takut.
Ia menyingkupkan tangannya, dengan hati-hati nabuh sesuai notasi.
Tangan kanan Elfrida nabuh sedangkan tangan kirinya mithet dengan
cara memegangi perungu agar suaranya tidak mengaung dan dapat
mengubah rasa dari bunyi yang dihasilkan. Permainan usai, hari itu
anak-anak belajar banyak, terutama teknik mithet.
Minggu-minggu itu para bocah sedang menyiapkan diri
untuk perlombaan. Wahyu mulai memikirkan tuntutan lomba yang
mengharuskan lahirnya gagasan-gagasan baru. “Kalau lomba nanti
kreativitasnya ada. Misal nanti dibuat garap ada suara satu–suara
dua, nanti kan sudah lain,” ungkap Wahyu di sanggar ketika selesai
permainan.

18. Teknik dalam permainan gamelan

141
Pada saat wawancara santai dengan Wisnu sambil meminum teh
hangat di kediamannya, Wisnu bercerita bahwa tiap anak memiliki
perannya masing-masing. Wisnu menjelaskan, tiap anak tidak
boleh bergantung pada orang lain untuk menuntaskan tugasnya.
“Ya kendang pemimpin, nggih bonang selaras, ya bonang barung
Sasa kemarin yang buka, nggih bonang penerus sebagai pelengkap
penghiasnya,” jelas Wisnu.
Tentang rasa ingin tahu pada diri anak, Wisnu merefleksi
penugasannya minggu lalu kepada anak-anak. Wisnu telah memberi
tugas jauh-jauh hari kepada anak-anak. Hingga satu minggu
berlalu, Wisnu menanyakan kembali hasil dari penugasan. Kala itu
Wisnu masih ingat, anak-anak membuka kembali catatan. Mereka
mendeklarasikan hasil temuanya mengenai tugas rumah yang
diberikan oleh Wisnu pada hari sebelumnya. Mereka mencari hal baru
yang belum mereka kenali lebih jauh dan luas. Wisnu bercerita, ia
seringkali mencoba memancing kehausan ilmu pengetahuan pada diri
anak dengan melontarkan pertanyaan sebagai pemancing. “Ini nanti
belajarnya suwuk. Suwuk itu apa? Tapi kan kalau lebih ke teorinya
mesti ndak paham, jadi cuma saya kasih perantara-perantara,”
ungkapnya.
Pagi hari pada saat pertemuan pertama kali antara Wahyu dengan
anak didiknya pada tahun 2018, Wahyu bercerita kepada mereka
tentang sebuah kisah; di Belanda sejak tahun 2012, dihitung sudah
ada 152 gamelan. Suriname yang memiliki penduduk Jawa terbanyak
di Belanda, menghadirkan pembicara untuk kongres Bahasa Jawa
pada tahun 2016. Dalam menyampaikan pendapat di forum dari awal
sampai akhir, pembicara tanpa putus menggunakan bahasa Jawa
tanpa muncul satu kata pun menggunakan bahasa Inggris.
“Sekarang anak-anak harus berpikir, mengapa Reog Ponorogo
itu diklaim. Apakah itu salah negara yang melakukan klaim? Anak-

142
anak protes tidak?” Tanya Wahyu.
Kemudian anak – anak menjawab, “Protes, Pak!”
Wahyu mengerutkan dahi, “Lah kenapa kok protes?”
Anak –anak menjawab, “Lah itu kan milik saya….”
Pelatih menimpali, “Lah kalau milik kalian, bisa menggunakan
ndak?”
Anak –anak sontak menjawab, “ndak bisa, Pak….”
Wahyu menggelengkan kepala dan berkata, “nah, sama seperti
gamelan. Nanti kalau anak-anak kecil, dewasa, remaja, tidak bisa,
yang mau menggunakan siapa? Ini orang-orang luar negeri saja sudah
belajar. Kalau digunakan orang luar negeri? Nanti kalau ditanya, oh,
kamu punya gamelan ya? Kok tidak bisa memakai? Berarti kamu
bohong.”
Anak-anak menggangguk, berpikir mendengar kisah dari
Wahyu.
Semenjak itu anak–anak mulai bersemangat untuk melestarikan
budaya. Novan, misalnya. Pemain kempul ini mulai mencintai
gamelan. Saat ditanya di waktu istirahat mengenai alasan
kecintaannya terhadap gamelan, Novan menjawab sambil tertawa,
“seru!” Ia menambahkan alasan singkat sambil memegang kendang
dan sesekali membunyikannya, “bisa mengenal budaya.” Wujud
kecintaan terus dipupuk oleh pelatih kepada anak-anak. Terlihat
pada akhir pertemuan pembelajaran, anak-anak dibiasakan bersama-
sama bernyanyi lagu Jawa. Terkadang Suwe Ora Jamu ataupun Gugur
Gunung.
Kebaikan mencintai budaya, ungkap Sunarya pada Jurnal
Pendidikan Karakter (2012), ialah tindakan yang dapat memperbaiki
masa depan. “Pendidikan seni berkarakter budaya adiluhung
merupakan estafet ilmu yang berkelanjutan. Artinya, tidak berhenti
pada satu generasi, namun terus berkembang dari masa lalu, kini, dan

143
masa depan.”19
Permainan seni gamelan tidak akan terjadi jika anak-anak tidak
kompak. Tiap jiwa dibekali sikap tanggung jawab pada instrumennya
masing-masing. Wahyu yang pada saat itu memakai baju merah,
duduk santai sambil melihat anaknya berlarian di dalam sanggar,
berbagi cerita betapa hasrat untuk kompak sangat diperlukan dalam
permainan agar tercipta seni yang indah. “Sebetulnya, berhubungan
dengan rasa, saya harus bersama-sama, karena banyak diutarakan,
Jawa nggone rasa. Contoh, saat anak bermain gamelan, satu tidak
bertanggung jawab, salah, sudah terlepas dari tanggung jawab, ‘saya
sebenarnya mau nabuh satu tapi ternyata dua.’ Kemudian yang kedua
berhubungan dengan nada mengganggu irama, tidak teratur, itu akan
mengganggu irama lain. Itu satu persatu akan bubrah sehingga satu
kesatuan ini akan mandeg apa gimana. Pada dasarnya, berhubungan
dengan rasa,” ungkap Wahyu.
Sri Sultan Hamengkubuwono X dalam buku Kearifan Lingkungan
dalam Perspektif Budaya Jawa (2008) mengatakan, “dalam filosofi
‘Hamemayu Hayuning Buwana’ itu terkandung di di dalamnnya
kewajiban Tri Satya Brata. Pertama rahayuning buwana kapurba
waskitaning manungsa (kesejahteraan dunia tergantung manusia yang
memiliki ketajaman rasa) yang menunjuk pada harmoni hubungan
antara manusia dengan alam, baik dalam lingkup dunia sebagai
kewajiban ‘Hamengku Bumi’, maupun lingkup yang lebih luas dalam
seluruh alam semesta (universe) sebagai kewajiban; Hamengku
Buwana’”20.
Bermain gamelan bagi Wahyu sejatinya dapat mencerminkan
sifat gotong–royong yang dimiliki masyarakat. Tidak hanya terlihat
19. Sunarya, KI. 2012. Pendidikan Tinggi Seni Berkarakter Budaya Adilihung Estafet Generasi
Kreatif yang Berkelanjutan. Jurnal Pendidikan Karakter Tahun II No.2. Yogyakarta: Universitas
Negeri Yogyakarta.
20. Sudarno & Anshoriy. 2008. Kearifan Lingkungan dalam Perspektif Budaya Jawa. Yayasan
Obor Indonesia: Jakarta.

144
pada permainan gendingnya saja, lirik-lirik lagu yang dibawakan pun
dapat memperlihatkan manusia senantiasa hidup dalam kerukunan.
“Biasanya, orang yang membuat lirik tembang pun berhubungan
dengan kehidupan sehari-hari. Contohnya yang mau dilombakan
ini, Gugur Gunung, yang mengajarkan arti gotong royong: ayo ayo
kanca, ngayahi karnaying praja, kene kene kene, gugur gunung tandang
gawe. Ayo kanca-kanca ngayahi pekerjaan itu di desa. Dasar-dasarnya
itu. Jadi sebetulnya orang yang sudah kenal gamelan, contoh main
rebab, orang yang kasar suaranya juga kasar. Orang yang halus maka
suaranya halus,” tutup Wahyu.[]

145
Pasinaon
Omah Kendeng
Astuti Parengkuh

Suwe ora jamu


Jamu temu ireng
Suwe ora ketemu
Ketemu pisan ning Omah Kendeng

Suwe ora jamu


Jamu temu ireng
Ayo padha bersatu
Lestarekna gunung Kendeng

L agu yang berasal dari Jawa Tengah dan D.I.


Yogyakarta tersebut mengalir dengan lembut dari bibir
anak-anak yang tergabung dalam Pasinaon Omah Kendeng,
sebuah komunitas yang mengajari anak untuk belajar macapat
dan gamelan bersama pasangan Endah Fitriana dan Anang
Christian. Anak-anak Sedulur Sikep masih memegang teguh
146
budaya turun temurun dari nenek moyang mereka, Samin Surosentiko.
Awam menyebutnya orang Samin. Sedangkan menurut penuturan
Gunarti, anak dari sesepuh orang Samin, Mbah Wargono, arti kata
Samin itu sendiri adalah ‘sami,’ dalam bahasa Indonesia artinya
‘sama.’ Omah Kendeng berarti sumber kehidupan.
Lagu Suwe Ora Jamu bersama lagu lainnya seperti Serayu,
Turi-Turi Putih, dan Swara Suling, terus mengalun diiringi demung,
saron, bonang, kendang, kethuk kenong, dan gong. Ada sedikit
nada sumbang dari suara gamelan tersebut. Suara yang keluar
dari ketukan, pukulannya, tidak sesempurna gamelan yang biasa
terdengar. Rancakan gamelan yang sudah tua itu rusak. Gamelan tua
telah ringkih.
Bermula dari siang itu, Jumat, 13 Juli 2018, ketika matahari
hendak menuju puncak tengah hari, sekumpulan orang muda
yang tergabung dalam komunitas Prasetya Adi Pertiwi, komunitas
yang lahir usai pelatihan budaya di Candi Sukuh pada akhir tahun
2017 bersama jejaringnya, komunitas Guyub Bocah, tiba di Omah
Kendeng, Sukolilo, Pati. Mereka diterima dengan baik oleh Sriyono,
yang akrab dipanggil Mbah Sriyono, sesepuh yang menjaga Omah
Kendeng, yang dibangun sejak tahun 2008, dilatarbelakangi oleh
gerakan murni Sukolilo untuk menolak pabrik semen Gresik.
Omah Kendeng dulu difungsikan sebagai rumah untuk berkumpul
bagi para aktivis, budayawan, dan seniman yang mengusung nilai-
nilai kemanusiaan. Omah Kendeng didirikan di atas tanah dengan
bangunan joglo yang dominan berbahan kayu jati minus semen. Pada
sisi bangunan tampak berderet kendi-kendi air. Kendi dalam falsafah
Sedulur Sikep adalah lambang atau pengejawantahan dari kata tanah
air.
Mbah Sriyono kemudian bercerita bahwa dari awal dirinya turut
menapak jejak perjuangan Sedulur Sikep dalam mempertahankan

147
tanah airnya dari upaya pendirian pabrik semen. Meski mengaku
bukan orang Sikep, keturunan Samin Suronsentiko, tetapi Mbah
Sriyono bercerita jika dia berbesanan dengan Sedulur Sikep. “Karena
dilatarbelakangi jika saya dan anak laki-laki saya turut berjuang,
menjadi aktivis tolak semen, sehingga kami bisa diterima di Sedulur
Sikep,” ujar Mbah Sriyono. Tak lama kemudian datanglah dua
perempuan membawa termos nasi dan sesajian sayur dan lauk, lalu
rombongan dipersilakan untuk makan sore itu. Lalu perjalanan akan
dilanjutkan menuju rumah Gunarti yang berada tidak jauh dari sana,
hanya sekitar satu kilometer dari Omah Kendeng.
Sore itu tibalah rombongan pada sebuah rumah yang berhalaman
serta rumah-rumah lainnya dalam satu pagar. Halaman depan dan
samping dipenuhi oleh gabah-gabah yang sedang dijemur usai panen.
Saking padatnya, tidak ada celah untuk berjalan. Maka rombongan
menapak alas kakinya pada gabah-gabah, menuju rumah Kamsri,
masih kerabat Gunarti, untuk ikut sinau bareng, belajar bersama
Gunarti dan Heni, putrinya. Dengan media papan tulis hitam, Gunarti
menyurat dengan sebatang kapur deretan kata dan aksara Jawa yang
menyertainya.

Tambah akeh
Tambah rukun
Tambah seneng
Tambah ora gampang

Tulisan berbahasa Jawa tersebut diikuti dengan aksara Jawa


di sampingnya. Lalu di bawah deretan kata, ada angka-angka
dalam bentuk “tambah-tambahan” (penjumlahan), “sudo-sudonan”
(pengurangan), dan pembagian. Sejumlah 50-an anak itu tidak hanya
belajar bahasa, tetapi juga matematika. Ada yang menarik dari proses

148
belajar bersama anak-anak Sedulur Sikep ini, yakni pelajaran yang
diberikan oleh Gunarti adalah implementatif dan pragmatis. Apa yang
diajarkan adalah apa yang ada di dunia nyata, fakta-fakta individual
dan konkret. Pasinaon yang diberikan langsung kepada keadaan,
kasunyatan (realitas) mereka. Bukan sekadar belajar membaca: Ini
Budi, Ini Ibu Budi. Dan perlu dicatat bahwa ke-50 anak-anak itu tidak
mengenyam pendidikan formal.
Tidak ada anak-anak keturunan Samin Surosentiko yang
bersekolah di sekolah formal. Gunarti pernah bersekolah hingga kelas
2 Sekolah Dasar. Tetapi setelah bapaknya tahu kalau keturunan Samin
Surosentiko tidak ada yang bersekolah, maka dia berhenti. Namun
demikian, Gunarti mengajarkan anak-anak untuk tidak membenci
sekolah formal. Orang-orang Samin sejak dini telah mempersiapkan
anak-anak mereka untuk menjadi petani. “Wis ana sing dadi pegawai,
karyawan, guru, lan sakpiturute. Anak-anak kita persiapkan untuk
menjadi petani. Wis ana bagiane dhewe-dhewe [sudah ada yang menjadi
pegawai, karyawan, guru, dan lain-lain. Anak-anak kami persiapkan
untuk jadi petani. Sudah ada pembagiannya sendiri-sendiri], ” ujar
Gunarti.
Gunarti mengingatkan agar anak-anak yang lebih besar bisa
mengajari adik-adiknya. Yang selesai mengerjakan tugas bergantian
mengajari yang belum. Secara tidak langsung Gunarti telah
mengamalkan metode belajar yang oleh orang moderen disebut
tutor sebaya. Menurut Gunarti, awalnya aksara Jawa dirasa susah,
tetapi kalau sudah kenal maka akan lebih mudah. “Saiki tak wenehi
PR sing mengko digarap ana ing mondokane dhewe-dhewe [sekarang
saya beri PR yang nanti dikerjakan di rumah masing-masing].” Usai
menunggu beberapa anak selesai menulis, lalu Gunarti menunjuk
beberapa nama, salah satunya Anya, untuk menembang Gambuh
yang sudah diubah syairnya Gesange Tani Utun.

149
Anak-anak antusias menembang. Tembang Gambuh sendiri
merupakan salah satu tembang macapat dengan watak rumaket (dekat
sekali), kulina (biasa), untuk menerjemahkan pitutur (pelajaran) yang
mudah karena menggunakan bahasa Jawa ngoko.
Selesai sinau bareng, anak-anak keluar dari mondokan Kamsri
untuk berkenalan satu per satu dengan rombongan dari Prasetya
Adi Pertiwi dan Guyub Bocah. Seperti tradisi yang diajarkan oleh
para orangtua mereka, untuk memperkenalkan diri dengan berjabat
tangan seraya menyebutkan namanya, “Pun tepangaken, kula
pengaran Tia, njenengan sinten? [perkenalan, nama saya Tia, kamu
siapa?]” Begitulah cara mereka memperkenalkan diri. Semua dengan
bahasa yang sama dengan menyebut pengaran, dari kata “aran” atau
“jeneng,” nama lain dalam bahasa Jawa yang berarti “nama.”

Macapat dan Gamelan


Usai berkenalan satu per satu, anak-anak itu berjalan kaki
menuju Omah Kendeng. Sebagian anak-anak menumpang mobil jip
milik Anang Christian. Sementara Endah Fitriana sang istri tidak bisa
mengajar sore itu karena sedang mengikuti pelatihan di luar kota,
tugas dari kantornya, Dinas Komunikasi dan Informatika Grobogan.
Sementara Anang adalah seorang guru Fisika SMP Negeri 2 Geyer
Grobogan. Jumat sore dan Senin sore adalah rutinitas anak-anak
Sedulur Sikep untuk belajar gamelan.
Tak berapa lama, setelah menyusuri rumah-rumah dan sungai
dengan pepohonan jati yang dedaunannya berguguran karena musim
kemarau, anak-anak itu sampai di Omah Kendeng. Sebelum memulai
latihan, mereka membentuk formasi duduk di anak-anak tangga
Omah Kendeng, bersiap untuk direkam. Fuad Zakiyah bersama
Fahmi dari Prasetya Adi Pertiwi yang akan memainkan alat musik
tradisional dari bambu, juga tengah bersiap mengikuti sinau bareng

150
dengan anak-anak Kendeng.
Anang Christian menyampaikan sinau gamelan sore itu tanpa
kehadiran Endah Fitriana, yang kerap dipanggil oleh anak-anak dengan
sebutan “bude.” Anang juga mengabarkan jika seperangkat gamelan
baru akan datang pada akhir Juli. Gamelan tersebut adalah hibah dari
Cipta Media Ekspresi, sebuah lembaga yang mendukung para pegiat
perempuan dalam usaha-usaha pelestarian budaya, meningkatkan
akses berkesenian, mengangkat harkat kemanusiaan, utamanya bagi
kaum marjinal di sekitarnya. Endah Fitriana mengajukan hibah itu
untuk mendukung generasi penembang macapat demi kelangsungan
budaya dan seni pada komunitas Sedulur Sikep.
Gunarti yang berbicara sebelum anak-anak mulai menabuh
gamelan memberi nasihat, bahwa jika perangkat gamelan baru sudah
datang, maka gamelan lama jangan dilupakan, tetapi tetap dilestarikan.
“Anane awake dewe bisa, merga saka gamelan sing wis lawas iki. Dadi
aja diilangna, tetep kudu dilestarekna [kita bisa bermusik karena
gamelan yang lama. Maka yang lama jangan dihilangkan, tetap
dijaga],” tutur Gunarti.
Tak berapa lama mengalunlah tembang Suwe Ora Jamu, Serayu,
Turi-Turi Putih, Swara Suling, dan Holopis Kuntul Baris. Anak-anak
itu pada angkatan pertama mereka belajar macapatan dan gamelan,
tersebutlah nama-nama seperti Ningrum, Bagus, Agung, Anom,
Anggi, Kartini, Niken, Kris, Anik, Dewi, Tia, Ajeng, Eki, Arti, Gian,
Yuli dan Anggit. Ada 17 anak yang terus menerus belajar mengasah
diri agar mumpuni bermain gamelan.

Turi-turi putih ditandur ning pinggir sumur


Turi-turi putih ditandur ning pinggir sumur
Jeleret tiba nyemplung ke kembang kembange apa
Mbok kira mbok kira mbok kira kembange apa

151
Kembang kembang mlathi kembang mlathi dironce ronce
Kembang kembang mlathi kembang mlathi dironce ronce
........

Sekira satu jam selanjutnya, giliran Fuad Zakiyah dan Fahmi


memainkan alat musik saluang, alat musik tradisional khas
Minangkabau, Sumatera Barat. Saluang termasuk golongan alat
musik suling, tetapi lebih sederhana pembuatannya dengan hanya
cukup melubangi talang (bambu tipis) dengan empat lubang. Tak
hanya memainkan saluang, Fuad juga memperdengarkan alat musik
semprong khas suku Sasak, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Anak-
anak Sedulur Sikep memperhatikan dengan takjub permainan Fuad
dan Fahmi. Ada satu dua anak yang melontarkan pertanyaan dan
dijawab oleh Fuad. Mereka sangat antusias hingga sesi berakhir.
Perjumpaan dengan anak-anak Sedulur Sikep yang bermain
gamelan telah berakhir sore itu. Beberapa sesi belajar dengan Gunarti
masih berlanjut saat hari beranjak malam hingga keesokan hari.
Di grup WhatsApp komunitas Prasetya Adi Pertiwi, di hari
Jumat berikutnya, Anang Christian mengirimkan foto-foto anak-
anak yang sedang bermain gamelan. “Siaran langsung,” demikian
judulnya. Jumat, 27 Juli 2018, kembali Anang mengirim foto anak-
anak yang bermain gamelan, bukan di dalam Omah Kendeng, tetapi
di pelatarannya yang berlatar belakang hutan. Kali ini foto-foto
tersebut dia beri judul “Latihan persiapan 17-an.” Tak hanya foto
latihan menabuh gamelan saja, tetapi juga gambar anak-anak yang
sedang menghormat bendera merah putih.[]

152
Penutup
Gamelan, Sastra,
Bhinneka
Kebesaran sebuah bangsa diukur dari sejauh mana bangsa
tersebut sadar akan potensi seluruh elemen penyusunnya. Kesadaran
itu seyogyanya tercermin, salah satunya, dalam ingatan dan
penghargaan pada ekspresi budaya bangsa. Ekspresi seni (tari, rupa
musik tradisional dan lainnya) seharusnya bisa dimaknai sebagai batu
pondasi dari imajinasi kebangsaan kita.
Di satu sisi, wujud ekspresi seni musik (seperti gamelan)
mempunyai posisi, fungsi, dan pemaknaan yang lekat dengan
kebutuhan akan estetika, etika, identifikasi, dan sifat komunal.
Seturut pemikiran musikolog Shin Nakagawa, eksistensi gamelan
dapat dilihat dari kedudukannya sebagai teks dan konteks di dalam
masyarakat. Gamelan bukan hanya sebuah ekspresi bunyi (teks)
yang menghibur, tapi juga sebuah ruang pembacaan yang lebih kritis
tentang identitas, tradisi, modernitas, dan sejarah musik itu sendiri
(konteks) dalam masyarakatnya.
Gamelan adalah kiprah peradaban nusantara. Sebagai dokumen
ekspresi kultural, gamelan menyampaikan sumber pengetahuan
tentang kebudayaan. Ia adalah suatu potensi ekspresi dari suatu
kelompok masyarakat yang telah mencapai kualitas intelektualitas etis
dan estetis. Ia menyediakan refleksi simbolik aspek sejarah, filsafat,
politik, estetika hingga religiusitas. Simbol-simboli di dalamnya
menyediakan kiblat dan menguraikan hakikat peradaban berupa
struktur logika kearifan lokal yang kontekstual terhadap perubahan
dan keragaman. Ia tak hanya romantisme imaji dan narasi, namun
153
basis logika yang membuka ruang pemaknaan.
Gamelan bisa menjadi sarana artikulasi ide dan pemikiran. Ia bisa
hadir pada peta sejarah yang lebih luas. Pun berperan positif untuk
menciptakan paradigma zaman ketika ia mampu merepresentasikan
kondisi aktual dan faktual masyarakat. Potensinya menjadikannya
senjata ampuh yang mampu menarik khalayak lebih luas untuk
terlibat, termasuk dalam membentuk identitas.
Kini gamelan mengatasi dimensi politik kebangsaan-kenegaraan.
Buktinya, gamelan berbunyi di seluruh daerah di nusantara, bahkan ke
negara-negara di Benua Eropa dan Amerika. Gamelan bisa dimaknai
sebagai ikon diplomasi budaya dan ekspor kultural bangsa Indonesia.
Namun selama ini perkembangan dan pandangan tentang gamelan
tidak dapat dilepaskan dari semangat zaman yang memberinya
makna. Dalam sejarah perkembangannya, gamelan ditempatkan
dalam aneka “bingkai” (frame) dan “pembingkaian” (framing) yang
di dalamnya konsep, bentuk, prinsip, definisi, dan ekspresinya dibatasi
baik melalui bingkai antropologis, sosiologis, ekonomis maupun
kultural. Menurut Yasraf A. Piliang, “pembingkaian” adalah proses
pembentangan “horizon” atau “dunia kemungkinan” (possible worlds)
sekaligus penutupannya, dalam konteks sosiologis, antropologis,
politik, ekonomi, dan budaya.
Modernitas mendekonstruksi cara pandang seperti ini dengan
meletakkan musik (gamelan) dalam sebuah medan transkultural,
menekankan kaitan antara “struktur suara musik” dan “struktur
kebudayaan” di mana musik itu hidup dan berkembang. Gamelan
berada dalam ruang yang memungkinkannya bertemu, bersilangan,
bersimbiosis, berdialog, bercampur dengan unsur lain yang beragam,
membuka aneka “ruang kemungkinan” dan pandangan baru tentang
gamelan itu sendiri.
Dalam horizon yang tak terbatas tersebut, orang dapat

154
menemukan potensi pemahaman tentang gamelan yang tak
terbayangkan, tak terpikirkan, dan tak terimajinasikan sebelumnya.
Karena, mengadopsi pemikiran Timbul Haryono, khazanah budaya
gamelan memiliki kemanfaatan ideologi, edukasi dan ekonomi.
Kemanfaatan ideologis berfungsi untuk membangun rasa kebanggaan
budaya yang pada akhirnya mengarah ke kebanggan nasional
sebagai bangsa. Fungsi edukatif dalam kekayaan budaya bangsa ini
akan mendidik bangsa itu sendiri dalam berbagai aspek kehidupan,
sedangkan dalam fungsi ekonomis, diharapkan seni pertunjukan
dapat dimanfaatkan untuk kepentingan perkembangan ekonomi
dalam konteks pariwisata. Dengannya, elan vital yang terdapat dalam
setiap aspek budaya gamelan dapat berkontribusi pada identitas
regional dan transregional. Gamelan dapat menjadi sarana mencari
hubungan antara struktur suara musik di satu pihak, serta masyarakat
dan budaya di pihak lain, termasuk dengan sastra.
Sastra memang tidak hanya menjadi karya seni, estetika dan
nilai-nilai moral/kreatif. Sastra tidak hanya menunjuk pada nilai-
nilai universal yang intrinsik dan abadi, tetapi dalam konteksnya bisa
dipahami sebagai sebuah praktik kebudayaan yang menunjuk pada
seluruh peta relasi sosial.
Pemahaman ini bisa ditunjuk pada hasil cerapan para penulis
buku ini terhadap gamelan, karena spirit budaya dalam gamelan
menunjuk pada nilai-nilai tertentu yang aplikatif dan mempersatukan.
Dari fungsi sosialnya, ia dapat menciptakan kedamaian serta wahana
menuju rekonsiliasi, sekaligus merupakan kesadaran paling efektif
untuk mencairkan kebekuan, kekakuan yang lahir dari suasana penuh
ketegangan dan konflik sosial, politik serta etnik sebagai akibat
kekurangpahaman terhadap kebhinnekaan dalam konteks Indonesia.
Buku ini, mengadopsi pemikiran Stuart Hall, menjadi salah satu
praktik penting sebagai ruang pembacaan yang lebih kritis untuk

155
memproduksi kebudayaan sebagai sebuah “pengalaman berbagi”.
Dengannya kita bisa memahami bahwa gamelan sebagai bagian dari
tradisi pada dasarnya adalah sebuah mental facts yang dalam wujud
penciptaannya merupakan aktivitas sistemik yang sejajar dengan
kristalisasi, baik dalam bentuk transfer knowledge maupun transfer
values.
Terlebih saat dinamika sosial dan budaya kini mewujud dalam
bentuk ketegangan dan friksi, sektarian, disorientasi serta disidentitas
yang meminggirkan nilai-nilai solidaritas sosial, kekeluargaan, dan
keramahan, apa yang dilakukan melalui buku ini menjadi media yang
relevan untuk mengidentifikasi berbagai problem nasion, khususnya
dalam bidang kebudayaan. Dalam buku ini gamelan memperoleh
posisi unik dalam konteks kehidupan berbangsa: bukan sekadar alat
untuk berinteraksi, bekerja sama dan mengidentifikasi diri. Juga tidak
sekadar memiliki fungsi secara politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Ia berpotensi menjadi semacam “mekanisme referensial” terhadap
proses belajar memahami dan keterbukaan sekaligus introspeksi
kemanusiaan. Kemampuan semacam itulah yang nantinya akan
mampu membangun sebuah masyarakat multikultural dengan daya
cipta, tuntunan laju dan arah peradaban manusia yang lebih baik.

Purnawan Andra
Bekerja di Direktorat Sejarah
Dirjen Kebudayaan Kemendikbud

156
Para Penulis
Udiarti, lahir di Gunung Kidul, besar di Karanganyar, saat ini
tengah menumpang hidup di Jakarta.
Impian Nopitasari. Sinau bersama di Komunitas Sastra
Pawon. Banyak menulis fiksi dalam bahasa Jawa. Kumpulan cerita
cekaknya, Kembang Pasren terbit September 2017 oleh penerbit
Garudhawaca. Saat ini sedang mempersiapkan buku keduanya,
kumpulan wacan bocah, cerita anak berbahasa Jawa.
Adi Putra Purnomo. Senang dengan buku, fotografi, gunung,
dan sepakbola.
Nisa’Ul’ Afifah. Kerap disapa Icak. Lahir di Padang tahun
1997. Hidup nomaden. Bebebrapa tulisannya pernah dimuat di Koran
Singgalang dan Padang Ekspress.
Yuditeha. Karya-karyanya antara lain: Novel Komodo Inside
(Grasindo, 2014). Kumcer Balada Bidadari (Penerbit Buku Kompas,
2016). Buku Puisi Hujan Menembus Kaca (Kekata, 2017). Buku Puisi
Air Mata Mata Hati (Kekata, 2017). Kumcer Kematian Seekor Anjing
pun Tak Ada yang Sebiadab Kematiannya (Basabasi, 2017). Kumcer
Kotak Kecil untuk Shi (Stiletto, 2017). Kumcer Cara Jitu Menjadi
Munafik (Stiletto, 2018).
Angelina Enny. Lahir dan besar di Lampung Utara. Lulusan
157
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Nokturnal Melankolia ialah
bukunya yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama pada 2017 silam.
Rizki Amir. Lahir dan tinggal di Sidoarjo, Jawa Timur.
Belajar sastra di Universitas Negeri Surabaya. Bergiat di Komunitas
Rabo Sore. Buku puisinya adalah Rahasia Pasar (2017). Tahun 2017
mengikuti Ubud Writers and Readers Festival. Selain menulis, sebagian
waktunya juga digunakan untuk berdagang.
Seruni Unie. Tukang sapu yang menyukai puisi.
Eko Setyawan. Lahir dan menetap di Karanganyar, Jawa
Tengah. Kuliah di Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP Universitas
Sebelas Maret. Buku kumpulan puisinya berjudul Merindukan
Kepulangan (2017). Bergiat di Komunitas Kamar Kata Karanganyar.
Silvia Haryati. Asli Perempuan. Mahasiswa semester akhir di
UM. Tempat tinggal di Lembaga Tinggi Pesantren Luhur Malang.
Budhi Setyawan atau ’Buset’ dilahirkan di Purworejo, Jawa
Tengah pada 9 Agustus 1969. Beberapa puisinya dimuat di sejumlah
media massa dan antologi bersama. Buku puisi terbarunya Sajak
Sajak Sunyi (2017).
Dhani Lahire Awan. Sering terjerumus saat membeli buku
karena lebih tertarik pada desain sampul buku daripada isinya.
Rizki Andika. Lahir dan tinggal di Karawang. Belajar
menulis di Rumah Seni Lunar. Berkegiatan di Perpustakaan Jalanan
Karawang dan menjadi mahasiswa di Universitas Singaperbangsa
Karawang. Salah satu penulis dalam antologi puisi: The First Drop of
Rain (Banjarbaru’s Literary Festival, 2017), Anggrainim, Tugu dan
Rindu (Temu Penyair Nusantara di Pematangsiantar, 2018), Kunanti
di Kampar Kiri (Hari Puisi Indonesia, Riau 2018).
Ichwan Prasetyo. Lahir di kaki Gunung Merapi di kawasan
Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnalis Harian
158
Umum Solopos.
Tika Istiyanti Kusumastuti. Lahir dan besar di Samarinda.
Alumni Etnomusikologi ISI Surakarta. Senang bermain music,
membaca, dan menulis apa saja.
Erliyani Manik. Aktivis sosial budaya, dosen di Universitas
Paramadina.
Iswan Heri. Penggemar buku dan music indie. Bergiat di
Komunitas Blogger Kompasiana Solo (Komposono) dan Klub Buku
Yogyakarta (KBY).
Yessita Dewi. Kesibukan saat ini menulis cerpen, aktif di
Buletin Sastra Pawon Solo. Sinetron yang pernah ditulis bersama
teman-teman di BSP di antaranya adalah Entong Abunawas dari
Betawi, De I tem, Mamat Anak Pasar Jangkrik , Jiung dan si Pandir
dari Betawi, Dunia Udah Kebalik, FTV. Hingga kini masih menulis
skenario untuk FTV bersama Rumah Pena Jakarta.
Puitri Hati Ningsih. Menulis esai dan puisi. Tinggal di Solo.
Udji Kayang Aditya Supriyanto. Buruh kata-kata, tinggal di
Jakarta. Bekas penabuh kenong dan bonang penerus.
Esthi Nimita. Penikmat Seni Tradisional.
Rommi Mardian Rakhmawan. Mahasiswa ISBI Bandung.
SatyaAdhi. Penonton film gratisan, pembeli buku diskonan.
Tulisan-tulisannya bisa dibaca di pjalankaki.blogspot.com. Alamat
maya: adhii.satya@gmail.com.
Dian Erviana. Lulusan dari Jurusan Kurikulum dan Teknologi
Pendidikan Universitas Negeri Semarang. Termasuk bagian keluarga
dari Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BP2M) Unnes. Gadis
asal Batang, Jawa Tengah.
Astuti Parengkuh. Penulis dan jurnalis. Tinggal di Solo.

159
160
161
162

Anda mungkin juga menyukai