Anda di halaman 1dari 10

BIOGRAFI SARTONO

Mengikuti sayembara mencipta himne guru dari secarik koran di bis. Selama 24 tahun tetap setia menjadi guru
honorer di SMP swasta. Penghargannya kebanyakan piagam saja.
Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku
Sbagai prasasti trimakasihku tuk pengabdianmu
Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa
Siapa yang tak kenal lagu ini lirik himne guru berjudul Pahlawan Tanpa Tanda Jasa, ini sangat sering terdengar
di telinga kita. Masih terngiang betapa di era 1980-an, lagu ini sangat sering dinyanyikan di sekolah-sekolah.
Sebab setiap upacara bendera pada hari Senin, lagu ini selalu dinyanyikan.
Istilah “pahlawan tanpa tanda jasa” bahkan kemudian menjadi ikon yang disematkan kepada para guru. Siapa
sangka bila “sang pahlawan” yang tanpa tanda jasa itu sejatinya dialami si pencipta lagu tersebut. Ya, Sartono,
pencipta lagu yang juga guru itu di masa senjanya hidup dalam kesederhanaan. Laki- laki asal Madiun yang
genap berusia 72 tahun, 29 Mei ini, tinggal rumah sederhana di Jalan Halmahera 98, Madiun.Sejak ia mengajar
musik di SMP Purna Karya Bhakti Madiun pada 1978, hingga “pensiun” pada 2002 lalu, Sartono tetap
menyandang guru honorer. Ia tak punya gaji pensiunan, karena statusnya bukan guru Pegawai Negeri Sipil
(PNS).
Kawan-kawan sesama guru sempat membantu mengajukan dia menjadi PNS. “Katanya sih sering diajukan nama
saya, tetapi sampai saya pensiun dari tugas sebagai guru, PNS untuk saya kok tidak datang juga,” kata
Sartono.Sartono memang minder dengan latar belakang pendidikannya yang tak tamat SMA. Ia mengajar di
SMP Purna Karya Bhakti, yang belakangan lebih dikenal sebagai SMP Kristen Santo Bernadus, berbekal
bakatnya di bidang musik. Sartono yang beragama Islam itu melamar di Santo Bernadus berbekal sertifikat
pengalaman kerja di Lokananta, perusahan pembuat piringan hitam di Solo, Jawa Tengah.Hidup serba dalam
kesempitan, tak membuat Sartono meratapi nasib. Ia merasa terhibur, dengan kebersamaan dengan Damiyati,
BA, 59 tahun, isterinya yang guru PNS. Damiyati dinikahi Sartono pada 1971. Dari pernikahan mereka belum
jua dikaruniai anak. Sehingga mereka mengasuh dua orang keponakan. Damiyati yang juga guru, juga seniman
biasa manggung bersama Ketoprak Siswo Budoyo Tulungagung, di masa mudanya.Kehidupan sehari-harinya
kini hanya dari pensiun istrinya yang tak lebih dari dari Rp 1 juta. Sartono sendiri kala masih aktif mengajar,
gajinya pada akhir pengabdiannya sebagai guru seni musik cuma Rp 60.000 per bulan. “Gaji saya sangat rendah,
bahkan mungkin paling rendah diantara guru-guru lainnya,” katanya mengenang masa lalunya.
Kala masih kuat, Sartono menambal periuk dapurnya dengan mengajar musik. Sepekan sekali, Sartono yang
pandai bermain piano, gitar, dan saksofon, ini rutin mengajar kulintang di Perhutani Nganjuk, sekira 60
kilometer dari rumahnya di Madiun.
BERMULA DARI LOKANANTA
Jalan menjadi guru berawal dari kegemarannya bermain musik. Putra sulung dari lima bersaudara ini sebenarnya
lahir dari keluarga cukup berada. Maklum, ayahnya R. Soepadi adalah Camat Lorog, Pacitan. Sartono kecil
memang suka bermain musik secara otodidak. Namun, hidup nyaman tak bisa dirasakan berlama-lama. Ketika ia
berusia 7 tahun, Jepang menduduki Indonesia. Ayahnya pun tak lagi menjabat camat.
Sartono, bersama empat adiknya, Sartini, Sartinah, Sarwono dan Sarsanti, tak bisa mengenyam pendidikan
tinggi. Ia sendiri putus sekolah kala kelas dua di SMA Negeri 3 Surabaya.
Ia kemudian bekerja di Lokananta, perusahaan rekaman dan produsen piringan hitam. “Saya Lupa tahun berapa
itu, tapi saya hanya bekerja selama dua tahun saja,” kata Sartono, yang mengaku sudah susah mengingat tahun.
Selepas kerja di Lokananta, Sartono bergabung dengan grup musik keroncong milik TNI AU di Madiun. Ia
bersama kelompok musik tentara itu pernah penghibur tentara di Irian. “Di sana selama tiga bulan,” jelasnya.
DARI SECARIK KORAN
Ihwal penciptaan lagu himne guru itu boleh dibilang tak sengaja. Ketika itu, tahun 1980, Sartono tengah naik bis
menuju Perhutani Nganjuk, untuk mengajar kulintang. Di perjalanan, secara tidak sengaja ia membaca di secarik
koran, mengenai sayembara penciptaan lagu himne guru yang diselenggarakan Depdiknas. Hadiahnya besar
untuk saat itu, Rp 750.000. Waktu yang tersisa dua pekan, untuk merampungkan lagu.
Sartono yang tak bisa membaca not balok ini, mulai tenggelam dalam kerja keras mengarang lagu saban harinya.
“Saya mencermati betul seperti apa sebenarnya guru itu,” jelas Sartono sambil memulai membuat lagu itu.
Waktu sudah mepet, lagu belum juga jadi. Sartono pusing bukan kepalang. Syairnya masih amburadul. Pada hari
pertama Hari Raya Idul Fitri, Sartono tidak keluar rumah. Ia bahkan tak turut beranjang sana mengantar istri dan
dua keponakannya silaturrahmi ke orangtua dan sanak famili. “Saat itu kesempatan bagi saya untuk membuat
lagu dan syair secara serius,” katanya. “Waktu itu saya merasa begitu lancar membuat lagu dan menulis
syairnya.”
Awalnya, lirik yang ia ciptakan kepanjangan. Padahal, durasi lagu tak lebih dari empat menit. Sartono pun
berkali- kali mengkajinya untuk mengetahui mana yang harus dibuang. “Karena panjang sekali, maka saya harus
membuang beberapa syairnya,” jelas Sartono. Hingga muncullah istilah “pahlawan tanpa tanda jasa.”
“Guru itu juga pahlawan. Tetapi selepas mereka berbakti tak satu pun ada tanda jasa menempel pada mereka,
seperti yang ada pada polisi atau tentara,” katanya.
Persoalan tak begitu saja beres. Lagu ada, Sartono kebingungan mengirimnya ke panitia lomba di Jakarta. Sebab
ia tidak punya uang untuk biaya pengiriman via pos. “Akhirnya saya menjual jas untuk biaya pos,” katanya.
Sartono menang. “Hadiahnya berupa cek. Sesampainya di Madiun saya tukarkan dengan sepeda motor di salah
satu dealer,” kata Sartono.
PENGHARGAAN MINIM
Lagunya melambung, Sartono tidak. Sang pencipta tetap saja menggeluti dunia mengajar sebagai guru honorer
hingga “pensiun.” Kalaulah ada penghargaan selain hadiah mencipta lagu, “cuma” beberapa lembar piagam
ucapan terimakasih. Nampak piagam berpigura dari Gubernur Jawa Timur Imam Utomo yang diberikan pada
2005. Pak Gubernur juga memberikan bantuan Rp 600.000, plus sebuah keyboard.
Piagam lainnya diberikan Menteri Pendidikan Nasional Yahya Muhaimin pada 2000. Kemudian piagam dari
Menteri Pendidikan Nasional Bambang Soedibyo pada 2005, plus bantuan uang. “Isinya enam ratus ribu
rupiah,” kata Sartono.
Tahun 2006 lalu, giliran Walikota Madiun yang dalam sepanjang sejarah baru kali ini memberikan perhatian
kepadanya. “Pak Walikota menghadiahi saya sepeda motor Garuda,” kata Sartono seraya menunjuk sepeda
motor pemberian Walikota Madiun.
Meski minim perhatian, Sartono tetaplah bangga, lagunya menjadi himne para guru. Pekerjaan yang dilakoninya
selama 24 tahun. Pengabdian yang tak pendek bagi seorang pahlawan tanpa tanda jasa

Biografi W.R. Soepratman

Wage Rudolf Supratman (9 Maret[1] 1903, Jatinegara, Jakarta – 17 Agustus 1938, Surabaya) adalah pengarang
lagu kebangsaan Indonesia, “Indonesia Raya”. Ayahnya bernama Senen, sersan di Batalyon VIII. Saudara
Soepratman berjumlah enam, laki satu, lainnya perempuan. Salah satunya bernama Roekijem. Pada tahun 1914,
Soepratman ikut Roekijem ke Makassar. Di sana ia disekolahkan dan dibiayai oleh suami Roekijem yang
bernama Willem van Eldik.
Soepratman lalu belajar bahasa Belanda di sekolah malam selama 3 tahun, kemudian melanjutkannya ke
Normaalschool di Makassar sampai selesai. Ketika berumur 20 tahun, lalu dijadikan guru di Sekolah Angka 2.
Dua tahun selanjutnya ia mendapat ijazah Klein Ambtenaar.
Beberapa waktu lamanya ia bekerja pada sebuah perusahaan dagang. Dari Ujungpandang, ia pindah ke Bandung
dan bekerja sebagai wartawan. Pekerjaan itu tetap dilakukannya sewaktu sudah tinggal di Jakarta. Dalam pada
itu ia mulai tertarik kepada pergerakan nasional dan banyak bergaul dengan tokoh-tokoh pergerakan. Rasa tidak
senang terhadap penjajahan Belanda mulai tumbuh dan akhirnya dituangkan dalam buku Perawan Desa. Buku
itu disita dan dilarang beredar oleh pemerintah Belanda.
Soepratman dipindahkan ke kota Singkang. Di situ tidak lama lalu minta berhenti dan pulang ke Makassar lagi.
Roekijem, sendiri sangat gemar akan sandiwara dan musik. Banyak karangannya yang dipertunjukkan di mes
militer. Selain itu Roekijem juga senang bermain biola, kegemarannya ini yang membuat Soepratman juga
senang main musik dan membaca-baca buku musik
W.R. Soepratman tidak beristri serta tidak mempunyai anak angkat.
Sewaktu tinggal di Makassar, Soepratman memperoleh pelajaran musik dari kakak iparnya yaitu Willem van
Eldik, sehingga pandai bermain biola dan kemudian bisa menggubah lagu. Ketika tinggal di Jakarta, pada suatu
kali ia membaca sebuah karangan dalam majalah Timbul. Penulis karangan itu menantang ahli-ahli musik
Indonesia untuk menciptakan lagu kebangsaan.
Soepratman tertantang, lalu mulai menggubah lagu. Pada tahun 1924 lahirlah lagu Indonesia Raya.
Pada bulan Oktober 1928 di Jakarta dilangsungkan Kongres Pemuda II. Kongres itu melahirkan Sumpah
Pemuda. Pada malam penutupan kongres, tanggal 28 Oktober 1928, Soepratman memperdengarkan lagu
ciptaannya secara instrumental di depan peserta umum (secara intrumental dengan biola atas saran Soegondo
berkaitan dengan kodisi dan situasi pada waktu itu, lihat Sugondo Djojopuspito). Pada saat itulah untuk pertama
kalinya lagu Indonesia Raya dikumandangkan di depan umum. Semua yang hadir terpukau mendengarnya.
Dengan cepat lagu itu terkenal di kalangan pergerakan nasional. Apabila partai-partai politik mengadakan
kongres, maka lagu Indonesia Raya selalu dinyanyikan. Lagu itu merupakan perwujudan rasa persatuan dan
kehendak untuk merdeka.
Sesudah Indonesia merdeka, lagu Indonesia Raya dijadikan lagu kebangsaan, lambang persatuan bangsa. Tetapi,
pencipta lagu itu, Wage Roedolf Soepratman, tidak sempat menikmati hidup dalam suasana kemerdekaan.
Akibat menciptakan lagu Indonesia Raya, ia selalu diburu oleh polisi Hindia Belanda, sampai jatuh sakit di
Surabaya. Karena lagu ciptaannya yang terakhir “Matahari Terbit” pada awal Agustus 1938, ia ditangkap ketika
menyiarkan lagu tersebut bersama pandu-pandu di NIROM jalan Embong Malang – Surabaya dan ditahan di
penjara Kalisosok-Surabaya. Ia meninggal pada tanggal 17 Agustus 1938 karena sakit.
Naskah asli lagu Indonesia Raya
Hari kelahiran Soepratman, 9 Maret, oleh Megawati saat menjadi presiden RI, diresmikan sebagai Hari Musik
Nasional. Namun tanggal kelahiran ini sebenarnya masih diperdebatkan, karena ada pendapat yang menyatakan
Soepratman dilahirkan pada tanggal 19 Maret 1903 di Dukuh Trembelang, Desa Somongari, Kecamatan
Kaligesing, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Pendapat ini – selain didukung keluarga Soepratman –
dikuatkan keputusan Pengadilan Negeri Purworejo pada 29 Maret 2007.

BIOGRAFI ISMAIL MARZUKI

Komponis pejuang dan maestro musik legendaris ini dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh Presiden RI,
dalam rangkaian Hari Pahlawan 10 November 2004 di Istana Negara. Dia dikenal sebagai pejuang dan tokoh
seniman pencipta lagu bernuansa perjuangan yang dapat mendorong semangat membela kemerdekaan.
Ismail Marzuki kelahiran kampung Kwitang, Jakarta Pusat, pada tahun 1914 ini menciptakan sekitar 250 lagu.
Karya-karyanya sampai hari ini masih sering terdengar, antara lain Juwita Malam, Sepasang Mata Bola,
Selendang Sutera, Sabda Alam, dan Indonesia Pusaka.
Pada tahun 1931, Maing– sapaan akrab Ismail Marzuki– memulai menciptakan lagu “O Sarinah” yang
menggambarkan suatu kondisi kehidupan bangsa yang tertindas. Lagu-lagu ciptaannya antara lain Rayuan Pulau
Kelapa yang dicipta tahun 1944, Gugur Bunga (1945), Halo-Halo Bandung (1946), Selendang Sutera (1946),
Sepasang Mata Bola (1946), dan Melati di Tapal Batas (1947).
Komponis pelopor yang wafat 25 Mei 1958, ini telah melahirkan lagu-lagu kepahlawanan, yang menggugah jiwa
nasionalisme. Maestro musik ini menyandang predikat komponis pejuang legendaris Indonesia.
Sejak tahun 1930-an hingga 1950-an, dia menciptakan sekitar dua ratus lima puluh lagu dengan berbagai tema
dan jenis aliran musik yang memesona. Hingga saat ini, lagu-lagu karyanya yang abadi masih dikenang dan
terus berkumandang di masyarakat. Dalam dunia seni musik Indonesia, kehadiran putra Betawi ini mewarnai
sejarah dan dinamika pasang surutnya musik Indonesia.
Sebagai komponis, dia dikenal produktif dan pandai melahirkan karya-karya yang mendapatkan apresiasi tinggi
dari masyarakat. Dalam bermusik, dia mempunyai kebebasan berekspresi, leluasa bergerak dari satu jenis aliran
musik ke jenis aliran musik yang lain. Ia juga punya kemampuan menangkap inspirasi lagunya dengan beragam
tema.Keterpesonaan Ismail Marzuki pada sisi-sisi romantisme masa perjuangan melahirkan lagu-lagu bertema
cinta dan perjuangan. Meski lagu-lagu karyanya tampak sederhana, syairnya sangat kuat, melodius, dan punya
nilai keabadian.
Lagu-lagunya hingga sekarang masih tetap hidup dan disukai tua dan muda seperti Sepasang Mata Bola,
Selendang Sutra, Melati di Tapal Batas, Aryati, Jangan Ditanya ke Mana Aku Pergi, Payung Fantasi, Sabda
Alam, Kopral Jono, dan Sersan Mayorku.
Gelar pahlawan nasional dianugerahkan kepadanya bersama lima putra terbaik bangsa lainnya, yakni Maskoen
Soemadiredja, Andi Mappanyukki, Raja Ali Haji, KH. Achmad Ri’fai, dan Gatot Mangkoepradja. Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahkan dalam rangkaian peringatan Hari Pahlawan 10 November, di
Istana Negara Rabu (10/11/2004).
Ismail Marzuki memang seorang komponis besar yang sampai saat ini boleh jadi belum ada yang dapat
menggantikannya. Karena itu, memang sudah layak diberikan penghormatan padanya sebagai pahlawan
nasional.
Karya-karya Ismail Marzuki memang kaya, baik soal melodi maupun liriknya. Ia pun mencipta lagu dengan
bermacam warna, salah satunya keroncong, di antaranya Bandung Selatan di Waktu Malam dan Selamat Datang
Pahlawan Muda.

BIOGRAFI
CORNEL SIMANJUNTAK

Cornel Simanjuntak (Pematangsiantar, Sumatera Utara, 1921 – Yogyakarta, 15 September 1946) adalah seorang
pencipta lagu-lagu heroik dan patriotik Indonesia. Ia dianggap sebagai tokoh yang membawa bibit unggul
perkembangan musik Indonesia.Cornel Simanjuntak yang beragama Katolik dilahirkan di Pematang Siantar
tahun 1921 dari keluarga pensiunan Polri. Cornel tamatan HIS St. Fransiscus Medan, 1937, HIK Xaverius
College Muntilan 1942.
Kemudian, jadi guru di Magelang beberapa bulan. Pindah ke Jakarta, jadi guru SD Van Lith. Tetapi karena bakat
seninya lebih garang, ia beralih profesi ke Kantor Kebudayaan Jepang, Keimin Bunka Shidosho. Di sanalah ia
menciptakan lagu propaganda Jepang antara lain: Menanam Kapas, Bikin Kapal, Menabung — yang paling
populer di antaranya berjudul Hancurkanlah Musuh Kita. Guru musiknya adalah Pater J. Schouten dan Ray serta
juga mendiang Sudjasmin.
Cornel memiliki sejumlah pengalaman perang. Di tahun 1945-1946, ia mengarahkan moncong senjatanya
kepada tentara Gurkha/Inggris. Malang, dalam sebuah pertempuran di daerah Senen – Tangsi Penggorengan
Jakarta, pahanya tertembak. Dirawat di RSUP. Belum sembuh benar, ia diselundupkan ke Karawang karena
Gurkha melakukan pembersihan.
Dari Karawang ia dikirim ke Yogyakarta. Di kota inilah kemudian lahir lagu-lagu yang heroik dan patriotik.
Antara lain: Tanah Tumpah Darah, Maju Tak Gentar, Pada Pahlawan, Teguh Kukuh Berlapis Baja, Indonesia
Tetap Merdeka.
Peluru di paha Cornel konon tetap bersarang ketika penyakit kronis TBC menyerangnya — dan langsung
menumbangkannya ke liang lahad. Ia meninggal pada tanggal 15 September 1946 di Sanatorium Pakem, Yogya,
dalam status perjaka. Ia dimakamkan di Pemakaman Kerkop Yogyakarta.
Menjelang maut Cornel masih sempat mengangkat telepon untuk menyampaikan pesan-entah kepada siapa,
entah pesan apa-tapi ia keburuh jatuh, dan mata serta mulutnya menjadi kaku. Menurut rekannya sesama
pejuang, Karkono Kamajaya, menjelang ajal ia masih sempat menulis lagu bernama Bali Putra Indonesia. Lagu
yang ditulis dengan gamelan itu belum selesai.
Pemindahan Cornel ke Taman Makam Pahlawan sebenarnya sudah diusulkan sejak September 1978. Hampir
saja merepotkan, karena beberapa instansi meminta data-data berupa bintang jasa yang ada.
Ternyata Cornel tidak sebiji pun mengantongi persyaratan itu. Ia hanya mewariskan tanda kehormatan Piagam
Satya Lencana Kebudayaan yang dianugerahkan tahun 1961 oleh Pemerintah Indonesia. Letkol Suharsono S.,
Dan Dim 0734 Yogya, menganggap Satya Lencana itu setingkat dengan Bintang Gerilya atau bintang-gemintang
lainnya. Jadi bisa dipakai sebagai tiket masuk Mahkam Pahlawan, asal ada izin keluarga.
Usul yang didalangi para seniman yang tergabung dalam ‘Sasana Vocalia Yogya’ pimpinan Suyudono Hr
tersebut, akhirnya jadi lancar ketika KSAD Jenderal Widodo memberikan persetujuannya.
Dari Kerkop, kerangka sempat diinapkan di Art Gallery Senisono di samping Gedung Agung. Maklumlah
gedung mi dlanggap pusat kesenian Yogya. Selama itu lagu-lagu mendiang berkumandang terus-menerus
dibawakan oleh sejumlah bocah dari Paduan Suara Bocah Bocah Sasana Vokalia. Serentetan tembakan salvo
mendampingi prosesi ketika sisa-sisa tubuh Cornel Simanjuntak dalam liang lahad yang lebih terhormat di
Taman Makam Pahlawan Semaki di kota yang sama. Hari itu, 10 Nopember 1978, Yogya mengenang kembali
komponis pejuang itu.
“Gugur sebagai seniman dan prajurit tanah air,” demikian kalimat di batu nisan Cornel Simanjuntak.

BIOGRAFI IBU SUD

Saridjah Niung (lahir di Sukabumi, Jawa Barat pada 26 Maret 1908 – meninggal tahun 1993 pada usia 85 tahun;
lebih dikenal sebagai Saridjah Niung Bintang Soedibjo setelah menikah dan lebih dikenal dengan nama Ibu
Soed) adalah seorang pemusik, guru musik, pencipta lagu anak-anak, penyiar radio, dramawan dan seniman
batik Indonesia. Lagu-lagu yang diciptakan Ibu Soed sangat terkenal di kalangan pendidikan Taman Kanak-
kanak Indonesia
Kemahiran Saridjah di bidang musik, terutama bermain biola, sebagian besar dipelajari dari ayah angkatnya,
Prof. Dr. Mr. J.F. Kramer, seorang pensiunan Wakil Ketua Hoogerechtshof (Kejaksaan Tinggi) di Jakarta pada
masa itu, yang selanjutnya menetap di Sukabumi dan mengangkatnya sebagai anak. J.F. Kramer adalah seorang
indo-Belanda beribukan keturunan Jawa ningrat, latar belakang inilah yang membuat Saridjah dididik untuk
menjadi patriotis dan mencintai bangsanya.
Saridjah lahir sebagai putri bungsu dari dua belas orang bersaudara. Ayah kandung Saridjah adalah Mohamad
Niung, seorang pelaut asal Bugis yang menetap lama di Sukabumi kemudian menjadi pengawal J.F. Kramer.
Selepas mempelajari seni suara, seni musik dan belajar menggesek biola hingga mahir dari ayah angkatnya,
Saridjah melanjutkan sekolahnya di Hoogere Kweek School (HKS) Bandung untuk memperdalam ilmunya di
bidang seni suara dan musik. Setelah tamat, ia kemudian mengajar di Hollandsch-Inlandsche School (HIS). Dari
sinilah titik tolak dasar Saridjah untuk mulai mengarang lagu. Pada tahun 1927, ia menjadi Istri R. Bintang
Soedibjo, dan ia pun kemudian dikenal dengan panggilan Ibu Soed, singkatan dari Soedibjo.
Ibu Soed dikenal sebagai tokoh musik tiga zaman (Belanda, Jepang, Indonesia). Kariernya di bidang musik
bahkan sudah dimulai jauh sebelum kemerdekaan Indonesia. Suaranya pertama kali disiarkan dari radio NIROM
Jakarta periode 1927-1928.
Setelah menamatkan pendidikan di HKS Bandung, Ibu Soed kemudian menjadi guru musik di HIS Petojo, HIS
Jalan Kartini, dan HIS Arjuna yang masih menggunakan Bahasa Belanda (1925-1941). Ia prihatin melihat anak-
anak Indonesia yang tampak kurang gembira saat itu. Hal ini membuat Ibu Soed berpikir untuk menyenangkan
mereka dengan bernyanyi lagu ceria. Didorong rasa patriotisnya, Ibu Soed ingin mengajar mereka untuk
menyanyi dalam Bahasa Indonesia. Dari sinilah Ibu Soed mulai menciptakan lagu-lagu yang bersifat ceria dan
patriotik untuk anak-anak Indonesia.
Selain mencipta lagu Ibu Soed juga pernah menulis naskah sandiwara dan mementaskannya. Operette Balet
Kanak-kanak Sumi di Gedung Kesenian Jakarta di tahun 1955 bersama Nani Loebis Gondosapoetro sebagai
penata tari dan RAJ Soedjasmin sebagai penata musiknya.
Saat aktif sebagai anggota organisasi Indonesia Muda tahun 1926, Ibu Soed juga membentuk grup Tonil Amatir
yang dipentaskan untuk menggalang dana untuk acara penginapan mahasiswa Club Indonesia. Aktivitasnya tidak
hanya menonjol sebagai guru dan aktivis organisasi pemuda, tetapi juga berperan dalam berbagai siaran radio
sebagai pengasuh siaran anak-anak (1927-1962).
Oleh karena reputasinya yang aktif dalam pergerakan Nasional saat itu, pada tahun 1945 Ibu Soed pernah
menjadi sasaran aksi penggeledahan oleh pasukan Belanda. Rumah Ibu Soed di Jalan Maluku No. 36 Jakarta saat
itu sudah dikepung oleh pasukan Belanda, namun tetangga Ibu Soed yang seorang Belanda meyakinkan mereka
bahwa mereka salah sasaran, karena profesi Ibu Soed hanyalah pencipta lagu dan suaminya hanyalah pedagang.
Walaupun selamat dari penggeledahan tersebut, Ibu Soed dan seorang pembantu tetap harus bersusah payah
membuang pemancar radio gelap ke dalam sumur.
Ibu Soed juga dikenal piawai dalam seni batik. Atas karya dan pengabdiannya, Ia menerima penghargaan Satya
Lencana Kebudayaan dari pemerintah Indonesia dan MURI.
Ibu Soed menikah dengan R. Bintang Soedibjo, seorang pengusaha pada tahun 1927. Pada tahun 1954, R.
Bintang Soedibjo tertimpa musibah kecelakaan pesawat BOAC di Singapura. Di usia tuanya, Ibu Soed hidup
ditemani cucu dan cicitnya. Ia bertekad untuk tetap mencipta lagu dan membatik tanpa memedulikan usia.
Meskipun bukan pengusaha batik, Ia ingin tetap menghargai nilai seni di balik budaya nasional tersebut. Di hari
tuanya ia juga masih gemar berolah raga jalan kaki setiap pagi sekitar tiga kilometer. Ibu Soed tutup usia pada
tahun 1993, di usia 85 tahun
Sebagai pemusik yang mahir memainkan biola, Ibu Soed turut mengiringi lagu Indonesia Raya bersama W.R.
Supratman saat lagu itu pertama kali dikumandangkan dalam acara Sumpah Pemuda di Gedung Pemuda, tanggal
28 Oktober 1928. Lagu-lagu patriotik yang diciptakannya diilhami peristiwa yang terjadi dalam acara bersejarah
tersebut. Di tahun-tahun perjuangan, Ibu Soed juga bersahabat dengan Cornel Simanjuntak, Ismail Marzuki,
Kusbini, dan tokoh-tokoh nasionalis lain.
Banyak lagu Ibu Soed yang menjadi lagu populer abadi, beberapa antara lain: Hai Becak, Burung Kutilang, dan
Kupu-kupu. Ketika genting rumah sewaannya di Jalan Kramat, Jakarta, bocor, ia membuat lagu Tik Tik Bunyi
Hujan. Lagu wajib nasional yang dia ciptakan adalah Berkibarlah Benderaku dan Tanah Airku. Lagu-lagunya
yang lain banyak yang juga telah menjadi populer, a.l. Nenek Moyang, Lagu Gembira, Kereta Apiku, Lagu
Bermain, Menanam Jagung, Pergi Belajar, Himne Kemerdekaan, dll.
Lagu-lagu Ibu Soed, menurut Pak Kasur, salah seorang rekannya yang juga tokoh pencipta lagu anak-anak,
selalu mempunyai semangat patriotisme yang tinggi. Sebagai contoh, patriotisme terdengar sangat kental dalam
lagu Berkibarlah Benderaku. Lagu itu diciptakan Ibu Soed setelah melihat kegigihan Jusuf Ronodipuro, seorang
pimpinan kantor RRI menjelang Agresi Militer Belanda I pada tahun 1947, dimana Jusuf menolak untuk
menurunkan Bendera Merah Putih yang berkibar di kantor RRI, walaupun dalam ancaman senjata api pasukan
Belanda
Ibu Soed selalu menciptakan lagu khusus untuk anak-anak. Ia memperkirakan telah menciptakan lebih dari 200
lagu, walau hanya separuh yang bisa terselamatkan dan bertahan sampai sekarang. Jauh sebelum meninggal, Ibu
Soed sempat mengungkapkan perasaannya yang menyayangkan bahwa lagu anak-anak sekarang telah menjadi
serba komersil.
Menciptakan 480 lagu anak-anak Indonesia, a.l. Burung Kutilang, Naik Delman, Lihat Kebunku, Kupu-Kupu,
Naik-Naik ke Puncak Gunung, Desaku, Hai Becak, Berkibarlah Benderaku, Bendera Merah Putih dan Tanah
Airku

BIOGRAFI KUSBINI

Seluruh pelosok negeri nusantara pernah mendengar dan menyanyikan lirik indah sebuah lagu, Bagimu
Negeri, yang diciptakan oleh Kusbini. Dia berhasil menciptakan lagu fenomenal yang tetap
dikumandangkan hingga saat ini karena lagunya sanggup membangkitkan semangat nasionalisme dan
cinta tanah air Indonesia. Boleh dikatakan, ia termasuk salah satu pejuang kemerdekaan yang berjuang
lewat karya dan lagu.
Seniman kelahiran 1 Januari 1910 di Desa Kemlagi, Mojokerto, Jawa Timur ini, memulai kariernya bersama
Jong Indisce Stryken Tokkel Orkest (Jitso), sebuah kumpulan musik keroncong di Surabaya. Merasa belum puas
dengan pengetahuan musik yang didapatnya secara otodidak, Kusbini mengikuti pendidikan musik Apollo di
Malang. Sembari belajar, Kusbini yang mendapat julukan ‘buaya keroncong’ dari teman-temannya ini, terus
tampil sebagai penyanyi keroncong dan pemain biola pada siaran Nirom dan Cirvo di Surabaya.
Selain lagu Bagimu Negeri, Kusbini juga mengarang lagu bertemakan semangat kemerdekaan lainnya seperti
Cinta Tanah Air, Merdeka, Pembangunan, Salam Merdeka. Selain itu, ia mencipta puluhan lagu keroncong,
seperti Keroncong Purbakala, Pamulatsih, Bintang Senja Kala, Keroncong Sarinande, Keroncong Moresko, Dwi
Tunggal, dan Ngumandang Kenang. Salah satu lagu keroncong yang bertemakan semangat kemerdekaan adalah
Kewajiban Manusia. Lagu ini mengajak bangsa Indonesia untuk terus menggalang persatuan dalam mencapai
kemerdekaan.
Kusbini pernah menjadi pemain musik dan penyanyi untuk perusahaan rekaman piringan hitam Hoo Soen Hoo.
Saat itu, sekitar tahun 1935 hingga 1939, kariernya mulai menanjak dan namanya semakin dikenal. Terutama
saat dia mulai mendalami dan berkarya lewat lagu-lagu keroncong dan stambul.
Kiprah Kusbini kian mengharumkan namanya pada 1941. Saat itu ia mendapat kesempatan untuk bermain film
dimana sejumlah lagu digunakan untuk mengisi musik yang khusus diciptakan untuk film Jantung Hati dan film
Air Mata Ibu.
Pada masa pendudukan Jepang, Kusbini sempat bekerja di Radio Militer Hooso Kanri Kyoku dan Pusat
Kebudayaan Jepang di bidang musik. Pada masa itu Kusbini banyak bekerja sama dengan Ismail Marzuki,
Cornel Simanjuntak, Sanusi Pane, dan seniman lainnya.
Kusbini yang juga ikut menyempurnakan teks lagu kebangsaan Indonesia Raya ini memperoleh penghormatan
dari pemerintah berupa Anugerah Seni Pemerintah Republik Indonesia.
Ia wafat pada 28 Februari 1991 di kediamannya yang sederhana di Pengok, Yogyakarta dan dikebumikan dengan
iringan musik lagu Perdamaian yang diciptakannya sendiri. dari berbagai sumber Atur Lorielcide PaniroyEntah
disengaja oleh sang komponis atau rahmat Allah, lagu ini terdiri atas 9 kata yang diulang sebagian dan
seluruhnya sebanyak 17 kata. Pembaca punya inspirasi positif bagi negeri Indonesia tentang angka 9 dan 17?
Ingat, sebagian saudara kita ada yang salah menyebut judul lagu dengan padamu negri.

BIOGRAFI L MANIK

Liberty Manik (Sidikalang, Sumatra Utara 1924 – 16 September 1993) adalah seorang komponis dan pengajar
musik di Institut Seni Indonesia (Yogyakarta). Ia juga dikenal sebagai filolog (ahli bahasa) Batak kuno
Setelah menyelesaikan pendidikan dasar melanjutkan ke sekolah keguruan HIK di Muntilan (Jawa Tengah).
Menyelesaikan studi doktor musik di Universitas Berlin (Jerman) dengan predikat cum laude. Disertasinya
mengenai musik Arab pada zaman Abad Pertengahan.
Karya
Pencipta lagu nasional Satu Nusa, Satu Bangsa; Desaku.
Menerjemahkan dan mementaskan oratorium Mattheus Passion dan Weichnachtsoratorim karangan J.S. Bach di
Yogyakarta tahun 1980-an.
Batak Handschriften. W. Voigt (editor),Vol XXVIII Verzeichnis der orientalischen
Handschriften in Deutschland, Wiesbaden (1973).
BIOGRAFI H. MUTAHAR

Husein Mutahar (lahir di Semarang, Jawa Tengah, 5 Agustus 1916 – meninggal di Jakarta, 9 Juni 2004 pada
umur 87 tahun), atau lebih dikenal dengan nama H. Mutahar, adalah seorang komposer musik Indonesia,
terutama untuk kategori lagu kebangsaan dan anak-anak. Lagu ciptaannya yang populer adalah himne Syukur
(diperkenalkan Januari 1945) dan mars Hari Merdeka (1946). Karya terakhirnya, Dirgahayu Indonesiaku,
menjadi lagu resmi ulang tahun ke-50 Kemerdekaan Indonesia.
Ia mengecap pendidikan setahun di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada periode 1946-1947, setelah tamat
dari MULO B (1934) dan AMS A-I (1938). Pada tahun 1945, Mutahar bekerja sebagai Sekretaris Panglima
Angkatan Laut RI di Jogjakarta, kemudian menjadi pegawai tinggi Sekretariat Negara di Jogjakarta (1947).
Selanjutnya, ia mendapat jabatan-jabatan yang meloncat-loncat antardepartemen. Puncak kariernya barangkali
adalah sebagai Duta Besar RI di Tahta Suci (Vatikan) (1969-1973). Ia diketahui menguasai paling tidak enam
bahasa secara aktif. Jabatan terakhirnya adalah sebagai Penjabat Sekretaris Jenderal Departemen Luar Negeri
(1974).
Mutahar aktif dalam kegiatan kepanduan. Ia adalah salah seorang tokoh utama Pandu Rakyat Indonesia, gerakan
kepanduan independen yang berhaluan nasionalis. Ia juga dikenal anti-komunis. Ketika seluruh gerakan
kepanduan dilebur menjadi Gerakan Pramuka, Mutahar juga menjadi tokoh di dalamnya. Namanya juga terkait
dalam mendirikan dan membina Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka), tim yang beranggotakan
pelajar dari berbagai penjuru Indonesia yang bertugas mengibarkan Bendera Pusaka dalam upacara peringatan
Hari Kemerdekaan RI.
Mutahar meninggal dunia di Jakarta pada usia hampir 88 tahun akibat sakit tua. Selama hidupnya ia tidak pernah
menikah.

BIOGRAFI SANUSI PANE

Lagu nasional Tanah Tumpah Darahku diciptakan oleh Sanusi Pane lahir. Beliau adalah seorang Sastrawan
Indonesia angkatan Pujangga Baru yang karya-karyanya banyak diterbitkan antara tahun 1920 sampai dengan
1940-an.Sanusi Pane, sastrawan Indonesia angkatan Pujangga Baru. Pria kelahiran Muara Sipongi, Sumatera
Utara, 14 November 1905, ini juga berprofesi sebagai guru dan redaktur majalah dan surat kabar. Ia juga aktif
dalam dunia pergerakan politik, seorang nasionalis yang ikut menggagas berdirinya “Jong Bataks Bond.” Karya-
karyanya banyak diterbitkan pada 1920 -1940-an. Meninggal di Jakarta, 2 Januari 1968. Bakat seni mengalir dari
ayahnya Sutan Pengurabaan Pane, seorang guru dan seniman Batak Mandailing di Muara Sipongi, Mandailing
Natal. Mereka delapan bersaudara, dan semuanya terdidik dengan baik oleh orang tuanya. Di antara saudaranya
yang juga menjadi tokoh nasional,adalah Armin Pane (sastrawan), dan Lafran Pane salah (seorang pendiri
organisasi pemuda Himpunan Mahasiswa Islam).Sastrawan, Redaktur Balai Pustaka (1941)
Sanusi Pane menempuh pendidikan formal HIS dan ElS di Padang Sidempuan, Tanjungbalai, dan Sibolga, Raja
Pejuang Batak melawan Kolonialis BelandaSumatera Utara. Lalu melanjut ke MULO di Padang dan Jakarta,
tamat 1922. Kemudian tamat dari Kweekschool (Sekolah Guru) Gunung Sahari, Jakarta, tahun 1925. Setelah
tamat, ia diminta mengajar di sekolah itu juga sebelum dipindahkan ke Lembang dan jadi HIK. Setelah itu, ia
mendapat kesempatan melanjut kuliah Othnologi di Rechtshogeschool.Setelah itu, pada 1929-1930, ia
mengunjungi India. Kunjungan ke India ini sangat mewarnai pandangan kesusasteraannya. Sepulang dari India,
selain aktif sebagai guru, ia juga aktif jadi redaksi majalah TIMBUL (berbahasa Belanda, lalu punya lampiran
bahasa Indonesia). Ia banyak menulis karangan-karangan kesusastraan, filsafat dan politik.Selain itu, ia juga
aktif dalam dunia politik. Ikut menggagas dan aktif di “Jong Bataks Bond.” Kemudian menjadi anggota PNI.
Akibat keanggotannya di PNI, ia dipecat sebagai guru pada 1934. Namun sastrawan nasionalis ini tak patah
arang. Ia malah menjadi pemimpin sekolah-sekolah Perguruan Rakyat di Bandung dan menjadi guru pada
sekolah menengah Perguruan Rakyat di Jakarta. Kemudian tahun 1936, ia menjadi pemimpin surat kabar
Tionghoa-Melayu KEBANGUNAN di Jakarta. Lalu tahun 1941, menjadi redaktur Balai Pustaka.Sastrawan,
Redaktur Balai Pustaka (1941)Sanusi Pane sastrawan Wakil Pemerintah RI untuk Langkat yang berkedudukan di
Binjai (1945-1946)Pujangga Baru yang fenomenal. Dalam banyak hal berbeda (antipode) dari Sutan Takdir
Alisjahbana. Jika STA menghendaki coretan yang hitam dan tebal dibawah pra-Indonesia, yang dianggapnya
telah menyebabkan bangsa Indonesia telah menjadi nista, Sanusi malah berpandangan sebaliknya, mencari ke
jaman Indonesia purba dan ke arah nirwana kebudayaan Hindu-Budha. Sanusi mencari inspirasi pada kejayaan
budaya Hindu-Budha di Indonesia pada masa lampau. Perkembangan filsafat hidupnya sampai pada sintesa
Timur dan Barat, persatuan rohani dan jasmani, akhirat dan dunia, idealisme dan materialisme. Puncak periode
ini ialah dramanya Manusia Baru yang diterbitkan oleh Balai Pustaka di tahun 1940.Karya-karyanya yang
terkenal diantaranya: Pancaran Cinta dan Prosa Berirama (1926), Puspa Mega dan Kumpulan Sajak (1927),
Airlangga, drama dalam bahasa Belanda, (1928), Eenzame Caroedalueht, drama dalam bahasa Belanda (1929),
Madah Kelana dan kumpulan sajak yang diterbitkan oleh Balai Pustaka (1931), naskah drama Kertajaya (1932),
naskah drama Sandhyakala Ning Majapahit (1933), naskah drama Manusia Baru yang diterbitkan oleh Balai
Pustaka (1940). Selain itu, ia juga menerjemahkan dari bahasa Jawa kuno kekawin Mpu Kanwa dan Arjuna
Wiwaha yang diterbitkan oleh Balai Pustaka (1940).Jiwa nasionalismenya terlihat antara lain dari pernyataan
Sastrawan, Redaktur Balai Pustaka (1941)Sanusi Pane tentang akan dibentuknya perhimpunan pemuda-pemuda
Batak yang kemudian disepakati bernama “Jong Bataks Bond.” Ia menyatakan: “Tiada satu pun di antara kedua
pihak berhak mencaci maki pihak lainnya oleh karena dengan demikian berarti bahwa kita menghormati jiwa
suatu bangsa yang sedang menunjukkan sikapnya.” (Dikutip dari Nationalisme, Jong Batak, Januari, 1926).
Dalam naskah itu, Sanusi Pane menyampaikan gagasannya bahwa perhimpunan bagi pemuda-pemuda Batak
bukan berarti upaya pembongkaran terhadap de Jong Sumateranen Bond (JSB). Tetapi sebaliknya,
menumbuhkan persaudaraan dan persatuan orang-orang Sumatera. Karena itu, Sanusi Pane mengingatkan agar
tak ada caci maki antara kedua belah pihak. Semua harus saling menghargai dan menghormati sebagai sesama
bangsa, lebih-lebih

Biografi
ALFRED SIMANJUNTAK

Namanya terukir sebagai pencipta lagu nasional ‘Bangun Pemudi Pemuda’. Judul lagu itu tampaknya selalu
menjadi obsesi pria suku Batak kelahiran Parlombuan, Tapanuli Utara, Sumatera Utara, 8 September 1920 itu.
Hal itu setidaknya tercermin dari Karya Paparnya berjudul Membangun Manusia Pembangunan, saat menerima
gelar Doctor Honoris Causa (DR. HC) atas pengabdiannya selama 60 tahun di bidang pendidikan dari Saint John
University, 10 Februari 2001 di Jakarta.Alfred Simanjuntak, seorang pencipta lagu yang berprofesi sebagai guru
hampir sepanjang hidupnya. Saat menulis lagu Bangun Pemuda-Pemudi tersebut dia berusia 23 tahun (1943) dan
bekerja sebagai guru Sekolah Rakyat Sempurna Indonesia di Semarang. Sebuah sekolah dengan dasar jiwa
patriotisme yang didirikan oleh sejumlah tokoh nasionalis seperti Dr Bahder Djohan, Mr Wongsonegoro, dan
Parada Harahap.Obsesi kemerdekaan negeri dan membangun pemuda-pemudi Indonesia itu terus memenuhi
benaknya hingga suatu kali saat sedang mandi Alfred terinspirasi menulis syair lagu itu. Kala itu dia seperti
mendengar suara-suara melodi di telinganya. "Tuhan memberikan lagu ke kuping saya selagi lagi mandi. Saya
cepat-cepat mandi, lalu saya tulis segera," kisahnya. Lagu Bangun Pemudi Pemuda itu digubahnya dalam
suasana batin seorang anak muda yang gundah di negeri yang sedang terjajah. "Rasa ingin merdeka kuat sekali
di kalangan anak muda saat itu. Kalau ketemu kawan, kami saling berucap salam merdeka!" tutur Alfred
Simanjuntak di rumahnya di kawasan Bintaro, Tangerang, Banten.
Bahkan menurut pengakuannya, lagu tersebut nyaris mengancam jiwanya. Sebab, gara-gara lagu yang dinilai
sangat patriotik itu, nama Alfred Simanjuntak masuk daftar orang yang dicari Kempetai, polisi militer Jepang
untuk dihabisi. Hingga saat ini, lagu itu masih tetap dikumandangkan, termasuk pada setiap perayaan
Kemerdekaan RI 17 Agustus. Bahkan Band Cokelat pada album Untukmu Indonesia-ku juga merilis lagu itu.
Juga oleh Paduan Suara Anak-anak Surya dalam album Kumpulan Lagu Wajib Indonesia Raya.Alfred di masa
kecil, hidup bersahaja tapi bahagia. Dia putera pasangan Guru Lamsana Simanjuntak-Kornelia Silitonga, delapan
bersaudara. Dia mengenang saat makan nasi, daun singkong, dengan lauk ikan asin sebesar jari. Namun dia tetap
mensyukuri ikan asin yang cuma seujung jari itu. Keluarga itu tetap hidup dalam sukacita.Sukacita itu tercermin
dari kegemarannya bernyanyi. Alfred sering tampil bernyanyi di acara Natal sejak duduk di Hollands Inlandsche
School (HIS) di Narumonda, Porsea, Tapanuli Utara. Kemudian kemahiran musik Alfred berkembang ketika dia
belajar di Hollands Inlandsche Kweek School atau semacam sekolah guru atas di Margoyudan, Solo, Jawa
Tengah, 1935-1942. Di sekolah itu jiwa nasionalisme Alfred menguat. Sebab di sekolah itu dia berkumpul
dengan kawan-kawan dari berbagai daerah, suku dan budaya, seperti Manado, Ambon, Batak dan Jawa. “Rasa
percaya diri kami sebagai satu bangsa sudah tertanam kuat," kenang Alfred, yang akrab dipanggil Pak Siman dan
fasih berbahasa Jawa. Kemudian tahun 1950 – 1952, Alfred melanjut ke Fakultas Sastra Universitas Indonesia,
MO Bahasa Indonesia, Jakarta. Lalu tahun 1954 – 1956 berturut-turut melanjutkan belajar di Rijksuniversiteit
Utrecht, Leidse Universiteit, Leiden, Stedelijke, Amsterdam, Nederland.
Pada tahun 1946-1949, dia sempat menjadi wartawan surat kabar “Sumber” di Jakarta. Sejak tahun 1950, ia
bekerja penuh di Badan Penerbit Kristen (BPK) Gunung Mulia, Jakarta, dan sempat menjadi pimpinannya. Akan
tetapi, dia tetap aktif di musik. Tahun 1967 turut mendirikan Yayasan Musik Gereja (Yamuger) dan tahun 1985
memprakarsai Pesta Paduan Suara Rohani (Pesparani). Dia juga juga terus menulis lagu. Pada tahun 1980, dia
menulis lagu Negara Pancasila. Belakangan dia diminta Gus Dur menggubah Himne Partai Kebangkitan Bangsa.
Selain itu, Alfred juga banyak mencipta lagu rohani. Bahkan dia pernah menulis lagu dalam irama dangdut,
Terumbu Karang atas permintaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang akan disosialisasikan
kepada masyarakat di kawasan pesisir Riau, Sulawesi Selatan, Maluku, dan Papua.
Alfred kini telah menjadi ompung (kakek) dari 11 cucu yang lahir dari empat anaknya, yaitu Aida, Toga,
Dorothea, dan John. Putri sulungnya, Aida Swenson-Simanjuntak, dikenal sebagai penggiat kelompok Paduan
Suara Anak Indonesia. ►e-ti
Membangun Manusia Pembangunan
CATATAN REDAKSI: Pada 10 Februari 2001, Alfred Simanjuntak menerima gelas Doctor HC dari Saint John
University, dengan Karya Papar berjudul MEMBANGUN MANUSIA PEMBANGUN. Berikut ini naskah
elngkap karya papar Alfred Simanjuntak tersebut.
Bangun Pemudi Pemuda
Ciptaan: A. Simanjuntak
Bangun pemudi pemuda Indonesia
Tangan bajumu singsingkan untuk negara
Masa yang akan datang kewajibanmu lah
Menjadi tanggunganmu terhadap nusa
Menjadi tanggunganmu terhadap nusa
Nama:
Alfred Simanjuntak
Lahir:
Parlombuan, Tapanuli Utara, Sumatera Utara, 8 September 1920
Agama:
Kristen
Pendidikan:
- Holands Inlandse School, Narumonda, Porsea, Tapanuli Utara, 1928 – 1935
. Holands Inlandse Kweekschool, Surakarta, 1935 – 1941
- Fakultas Sastra UI, MO Bahasa Indonesia, Jakarta, 1950 – 1952
- Rijksuniversiteit Utrecht, Leidse Universiteit, Leiden, Stedelijke, Amsterdam, Nederland, 1954 – 1956
- Dr HC dari Saint John University 10 Februari 2001
Pengalaman:
- Pencipta lagu (Di antaranya Bangun Pemuda Pemudi, Indonesia Bersatulah dan Negara Pancasila)
- Guru di BPK PENABUR, TKK Gading Serpong, TKK 4, TKK 10 dan TKK 11
- Wartawan surat kabar “Sumber” di Jakarta, 1946 – 1949
- Pendiri Badan Penerbit Kristen (BPK) Gunung Mulia, Jakarta, 1950 dan sempat menjadi pimpinannya.
- Tahun 1967 turut mendirikan Yayasan Musik Gereja (Yamuger)
- Tahun 1985 memprakarsai Pesta Paduan Suara Rohani (Pesparani).

Anda mungkin juga menyukai