Anda di halaman 1dari 3

Artikel Budaya

Terkenang Nano Riantiarno di Sibolga


Bersihar Lubis

SAYA terkenang sutradara Nano Riantiarno pada malam itu, Sabtu 16 Mei 2009
silam. Padahal, saya sedang berada di Sibolga, nun jauh di pantai barat
Sumatera Utara. Bukan di Jakarta, tempat Nano bersama Teater Koma yang
dipimpinnya berkiprah.

Malam itu, Graha Aulia Bank Indonesia (BI) Sibolga sedang bertaburan dengan
bait-bait puisi dan lantunan berbagai lagu, baik oleh penyanyi solois maupun
vokal grup. Saya adalah salah seorang di antara 30-an orang penonton yang
bersebar di berbagai meja bulat di gedung molek mungil itu.

Penontonnya sedikit sekali? Nah, inilah yang mengingatkan saya kepada Nano
beristri Ratna Madjid itu. Dalam sebuah percakapan dengan Nano pada 1998
silam, ia merindukan bahwa sebuah pertunjukan kesenian bukanlah barang asing
bagi penonton. Teater Koma harus akrab, intim, luwes dan tentu saja
menghibur.

“Seperti sebuah pohon, masyarakat adalah tanahnya. Atau bagai ikan,


masyarakat adalah airnya. Tanpa tanah ataupun air, pohon dan ikan tak
mungkin bisa hidup,” kata Nano, kala itu.

Petunjukan di graha milik BI Sibolga itu malah unik. Selain penontonnya 30-an
orang, yang ditonton pun sekitar 30-an orang. Orangnya itu itu juga.
Penontonnya adalah mereka yang ditonton seraya bergiliran tampil di pentas.

“Pertunjukan ini dari kita untuk kita,” kata Afifi Lubis, Wakil Walikota Sibolga
kepada saya. Jika pun ada yang bukan “pemain” adalah beberapa kaum ibu yang
diboyong suaminya menonton pentas yang unik itu.

“Teater 30 kursi” di Sibolga itu, jika saya boleh mengatakan demikian, berbeda
dengan sebuah grup teater di Prancis yang memiliki gedung teater hanya
dengan kapasitas penonton 70 kursi tapi berhasil memanggungkan The Chair
karya Eugene Ionesco hingga lebih dari 20 tahun. Mengapa? Karena
penontonnya bukan mereka yang ditonton.

Teguh Karya, guru Nano, pernah pada suatu ketika mencetuskan keinginannya
untuk membuat Teater Dalam Gang. Cukup dengan 200 kursi saja pada sekitar
1970-an. Tapi hingga kini, keinginannya itu tetap tinggal keinginan, seakan
gaungnya sudah lenyap tanpa bekas.

Niatan istimewa itu selalu bersemi di dada Nano dan awak Teater Koma untuk
mewujudkan teater dengan kapasitas 100 kursi, dan diberi nama TEATER 100
KURSI.

Nano berkhayal jika penonton setia mereka berjumlah 1000 orang, maka pentas
digelar dalam 10 malam. Dia berangan-angan bahwa setiap usai pertunjukan,
selalu ada kesempatan untuk saling bertemu antara pelakon dan penonton,
dengan sedikit makanan ringan serta minuman ringan. Bisa diskusi, ngobrol
ringan atau sekedar bertemu saja sehingga saling mengenal.

Keinginan memiliki TEATER 100 KURSI itu tak mustahil. Menurut Nano, bisa
terwujud manakala ada seorang donatur atau maesenas yang bukan saja kaya
tapi juga memiliki niat yang sama, bahwa Teater Indonesia memang sudah
saatnya dikelola secara profesional dengan kegiatan yang ajeg, dan para
pekerjanya bisa hidup dari hasil kerjanya. Memang, hingga kini, Nano belum
menemukan orang yang tepat untuk menunjang impian itu.

Keunikan Sibolga

Yang membuat saya terperangah, para penonton dan yang ditonton di graha BI
Sibolga itu bukan melulu seniman. Ada sejumlah pejabat, anggota DPRD, ustad,
mantan pejabat. Ha-ha, ada yang membaca puisi, bernyanyi, bahkan juga
melantunkan lagu dangdut maupun dendang yang dipopulerkan oleh Peter Pan,
Bimbo dan sebagainya.

Afifi Lubis, wakil walikota misalnya mendendangkan lagu berjudul “Sembah


Sujudku” karya Ungu seraya menyudahinya dengan membaca puisi. Yusran
Pasaribu, wakil ketua DPRD Sibolga juga berpuisi dan beryanyi. Teknik tampil,
vocal, ritme, penghayatan dan sebagainya bolehlah. Maklum, baik Afifi dn Yusran
di masa mudanya ikut kelompok teater dan sastra di Sibolga.

Bahkan, Kepala BI Sibolga, Androcia Darwis melantunkan lagu “Tak Ada Yang
Abadi” karya Peter Pan. Kepala Stasiun RRI Sibolga, Irdamsyah SH tak mau
kalah dengan membaca sajak pula. Masih ada Saidi SE, Kepala Bank Sumut
Cabang Sibolga yang selain membaca puisi dan meyanyikan lagu dangdut
dengan cengkoknya yang khas.

Nuzar Carmina, seorang Kepala Bagian di PDAM Sibolga malah memetik gitar
seraya bernyanyi lagu dangdut. Ada juga dua perempuan yang sudah berstatus
ibu membawakan puisi, yakni Arnida, guru SMP dan Wati Riswan, seorang istri
anggota DPRD.

Semakin unik karena ada dua orang ustad yang biasanya tampil dalam tabligh
maupun dakwah, malam itu tampil menyayikan lagu dangdut. Keduanya adalah
Al-Gozali dan Supratman AF. Terbuktilah, seni memang milik semua orang dan
bukan hanya para seniman saja.

Tentu saja para seniman Sibolga ikut juga tampil ke pentas. Misalnya, Mahmud
Kamiso yang membawakan lagu “Tuhan” dari Bimbo dan sajak Taufik Ismail.
Rekannya, Darman Edy Saputra selain berpuisi, juga menampilkan sebuah
parody bertajuk “Dialog Dua Dimensi” yang mengiritik “demam capres” masa ini.
Pentas seni yang berakhir tengah malam itu diiringi oleh The RJ Voice.

Hotel di Medan

Kehidupan sebuah kota seperti Sibolga, Medan, Tebingtinggi, Padangsidimpuan,


Pematangsiantar dan berbagai kota di Sumatera Utara dan Indonesia, saya kira
memerlukan kesenian. Albert Camus berkata bahwa jika politik memecah-belah
maka seni menyatukan. Seni adalah sesuatu yang indah, yang membentuk
citarasa dan pandangan budaya dalam mengimbangi sektor bisnis dan politik.
Lagi pula, letih dengan kehidupan kota, rakyat bolehlah menikmati kesenian.
Tidak selalu harus mahal. Misalnya, bisa di balai desa, di halaman masjid, tanah
lapang dan sebagainya. Bagi kalangan menengah bisa ditampilkan di aula hotel
atau gedung yang rada representative. Para petani dan nelayan di masa silam
pun suka mengusung pesta kesenian, misalnya sehabis musim panen.

Kesenian bukanlah barang luks, melainkan kebutuhan rohani yang mendesak


ditunaikan. Andaikan kita lapar, maka kita butuh makanan agar ia kenyang.
Bayangkanlah jika rohani kita yang lapar tak pernah diisi dengan konsumsi
rohani seperti kesenian, kebudayaan dan agama, alangkah gersangnya hidup
seseorang atau sebuah masyarakat.

Sepulang dari Sibolga di awal pekan ini, saya berkhayal kapan gerangan pejabat,
anggota DPRD, pengusaha dan berbagai profesi di Medan mengusung malam
kesenian secara berkala. Masing-masing boleh bernyanyi dan membaca puisi,
setidaknya sebagai perimbangan dari kehidupan politik dan bisnis yang kadang
penuh tikai dan muslihat.

Saya membayangkan, bagaimana sekiranya berbagai hotel bagus di kota ini mau
merelakan aulanya secara bergiliran untuk membaca puisi? Hotel JW Mariot,
Grand Angkasa, Garuda Plaza, Emerald Garden, Danau Toba, Tiara dan
sebagainya rasanya akan naik gengsi, semakin prestisius karena memberi
apreasisasi yang tinggi kepada kesenian. Kepada puisi. Mengapa tidak?
Termasuk juga pameran lukisan yang sudah dimulai hotel Aryaduta Medan.

Sebab jika kita tak menghargai karya seni, maka saya terkenang Vincent van
Gogh yang memotong kupingnya dan mempersembahkannya kepada seorang
pelacur. Yah, terlepas ada versi lain yang menyebut bahwa kupingnya justru
dipotong oleh pelukis Paul Gauguin dalam sebuah perdebatan. **

Anda mungkin juga menyukai