Daftar Isi
Titik Toejoe:
1
Sastra Boemipoetra
Polemik :
DODOLIT DODOLTOLSTOY: .............. 2
Sejumlah Temuan dalam Telisik ............ 4
Tjatatan :
Sastra Indonesia Mutakhir:.................... 6
Kritik Atas Coreng-morengnya TSI...... 8
13
Soeara :
Surat Dunia MayaUntuk Ajip Rosidi 10
Sandjak :
11
Thomas Budi Santoso
12
Jumari HS
Tjerpen :
13
Gregorio Lopez y Fuentes
14
Saut Situmorang
15
Bonari Nabonenar
Opini
Disumbang Djarum Rp50 Juta............... 16
soesoenan
redaksi
Pemred
- Wowok Hesti
Prabowo
Redaktoer
- Koesprihyanto
Namma
- Mahdi Duri
- Saut Situmorang
- Jumari HS
- Gito Waluyo
Perwadjahan
- Idham
Sirkoelasi
- Sang Hyang Buana
Alamat Redaksi:
Jl. Perum Sekneg No.46 Bona Sarana Indah
Kebon Nanas Tangerang, Tlp. 085711200001.
email: boemiputra@yahoo.com
Sastra S
Boemipoetra
ASTRA hadir tidak semata untuk dirinya. Kerja bersastra bukanlah kerja
pengrajin merangkai kata-kata, memetik kata-kata langka di kamus tanpa makna
tanpa jiwa. Karya sastra bukanlah memusingkan pembaca
Kini kata-kata di tangan penguasa diperbudak menjadi alat pencitraan diri dan alat
memanipulasi. Di tangan penguasa pula, kata-kata dilumpuhkan oleh tipu daya. Kata-kata
yang sekilas nampak untuk menutupi korupsi dan ingkar janji sesungguhnya akan melukai
dirinya sendiri. Ya, di tangan presiden yang tak berdedikasi, kata-
melukainya. Terhadap rakyat jelata yang diabai dan diperlakukan semena-mena ia gigih
membelanya. Terhadap negara yang dibawa ke jurang kebangkrutan ia menjaganya.
Sastrawan bukanlah kerja membebaskan kata-kata. Sastrawan
mengendalikan dan memaknai kata-kata. Sastrawan tidak untuk dijajah kata-kata. Katakata tak cukup hanya untuk dirinya. Sastra tak cukup hanya untuk sastra. Untuk ke-
benaran dan harga diri sastra bisa menjadi belati atau melati.
Di saat kata-kata diperalat penguasa untuk menipu rakyatnya maka sastrawan harus
mengorganisir, mengagitasi, mengendalikan, dan mengatur barisan kata-kata untuk
melawannya. Sastrawan harus menjadikan sastra sebagai pang-
Oleh :
Wowok H Prabowo
djoernal sastra
boemipoetra 2
Polemik
DODOLIT
DODOLTOLSTOY:
Pemerintah ngotot tidak mengakui
keistimewaan seperti yang diinginkan
mayoritas rakyat Yogya. Yakni Sultan dan
Pakualam otomatis ditetapkan sebagai
gubernur dan wakil gubernur.
Siap-siap saja SBY dan mentrinya
kualat. Dalam kultur jawa bentuk kualat
itu bisa macam-macam. Akan
menghadapi banyak persoalan/musibah,
seret rejeki dan bahkan bisa terjatuh
dengan tidak terduga.
Ketua MUI bilang: Orang kaya haram
hukumnya memberli premium.
Weleh-weleh, fatwa kok dijadikan
mainan ya. Sekarang ini banyak orang
ngomong karena dibayar? Semoga para
sastrawan yang diberi penghargaan oleh
pemerintah lantas tidak bilang:
pemerintah kita bersih dari korup lho.
Aneka penghargaan tersebut (termasuk
dari pengusaha) hanyalah lipstik demi
pencitraan semata.
Sebelum jadi anggota dan Ketua
Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum
adalah ketua KPU yang memenangkan
Partai Demokrat. Sebelum melompat
menjadi Ketua Partai Demokrat, Andi
Nurpati adalah Anggota KPU yang
memenangkan partai Demokrat.
Sekarang ketahuan : sama-sama
memenangkan sama-sama bermasalah.
STOP PRESS!!!
INI joernal beroepa Non-profit Oriented
Media, dikerdjaken setjara gotong
rojong dan didanai dari oeroenan
sastrawan jang pedoeli akan
perkembangan sastra Indonesia.Djadi
bagi anda jang ingin berpartisipasi dan
ataoe berlangganan bisa
menghoeboengi itoe redaksi.
REDAKSI menerima toelisan (Tjerpen,
Sandjak, dan ataoe Essei, serta
Drawing) jang mengandoeng itoe
semangat nasionalisme dan anti
imperialisme. Khoesoesnya semangat
anti KUK, itoe naskah dikirim lewat
email: boemiputra@yahoo.com, dengan
menyertaken gambar diri. (tiap toelisan
jang dimoeat, redaksi beloem bisa
menyediaken honororioem).
Polemik
setelah sampai di rumah, saya sempat membaca
versi lengkap Dodolit yang ditempatkan pada
urutan pertama dari 18 cerpen. Dan inilah inti kisah
yang didongengkan SGA.
Alkisah ada seorang lelaki bernama Kiplik yang
menyangsikan kebenaran sebuah dongeng lama,
bahwa orang yang doanya benar konon bisa
berjalan di atas air. Sebab dalam pengamatan
Kiplik, banyak sekali orang yang berdoa tidak
benar. Padahal jika kata-kata dalam sebuah doa
diucapkan salah, maka bukan saja maknanya bisa
berbeda, malah bisa bertentangan.
Saking seriusnya Kiplik menginginkan agar
manusia berdoa dengan benar, sehingga dia selalu mengingatkan hal itu kepada banyak orang,
yang lama-kelamaan memanggilnya Guru Kiplik.
Semakin banyak orang yang menjadi pengikutnya
dan bersedia mengikuti kemana pun Guru Kiplik
pergi.
Suatu ketika dalam perjalanannya, Guru Kiplik
sampai di sebuah danau sangat luas yang di tengahnya ada sebuah pulau terisolir. Guru Kiplik
pun mendatangi pulau itu. Ternyata ada satu kesalahan fatal para penduduk pulau yang jumlahnya
hanya 9 orang, yakni mereka berdoa dengan
cara yang salah (hal. 6). Maka Guru Kiplik pun
tergerak untuk mengajari cara berdoa yang benar.
Tetapi penduduk pulau itu selalu melakukan kesalahan berulang kali dalam menghapal doa yang ia
ajarkan, sehingga Guru Kiplik berpikir, Janganjangan setan sendirilah yang selalu menyesatkan
mereka dengan cara berdoa yang salah itu.
Namun berkat kesabaran Guru Kiplik, akhirnya
bisa juga para penduduk itu berdoa dengan cara
yang benar, sehingga Guru Kiplik memutuskan
sudah waktunya meninggalkan pulau itu dan pergi
ke tempat lain bersama para pengikutnya.
Belum jauh perahu yang membawa Guru Kiplik
pergi, awak perahu dengan terkejut memanggil
Guru Kiplik dan menunjuk ke arah pulau. Kesembilan warga yang susah menghapal doa itu yang
sedang mendekati perahu dengan berlari di atas
air sambil berteriak-teriak. Guru! Guru! Tolonglah
kembali Guru! Kami lupa lagi bagaimana cara berdoa yang benar!
Guru Kiplik terpana, matanya terkejap-kejap dan
mulutnya menganga. Mungkinkah sembilan penghuni pulau terpencil, yang baru saja diajarinya
cara berdoa yang benar itu, telah begitu benar
doanya, begitu benar dan sangat benar bagaikan
tiada lagi yang bisa lebih benar, sehingga mampu
bukan hanya berjalan, tetapi bahkan berlari-lari di
atas air? (hal. 7).
3/
USAI membaca versi lengkap karya SGA itu,
rasa penasaran saya bukannya terpuaskan,
malah semakin besar. Sehingga saya cek ulang
cerpen Leo Tolstoy (1828-1910) yang saya ingat
samar-samar saat di BBJ, melalui dua versi:
bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Dalam versi bahasa Indonesia yang saya miliki,
cerpen itu berjudul Tiga Pertapa terdapat dalam
antologi Di Mana Ada Cinta, Di Sana Tuhan
Ada (Serambi, Februari 2011) dengan penerjemah
Atta Verin dan penyunting Anton Kurnia.
Di bawah judul besar Tiga Pertapa, terbaca
alinea pertama:
Seorang uskup berlayar menuju sebuah biara
yang jauh. Pada kapal yang sama terdapat sejumlah peziarah. Mereka juga hendak mengunjungi
djoernal sastra
boemipoetra 3
Edisi Januari-Juli 2011
(hal. 180).
Berbeda dengan SGA, Tolstoy sejak awal
sudah secara afirmatif memasang takrif bahwa
kisah Three Hermits berasal dari legenda yang
berakar di masyarakat Volga, sebuah kawasan
historis yang pernah berjuluk main streets of
Rusia. Dus karena itu kisah ini lebih bertabur
pada konsep Trinitas dalam ajaran Kristen dengan
seluruh ekspresi teologinya, dan bukan dipinjam
dari khasanah agama-agama lain.
Ada dua konsekuensi yang mengikuti
perbedaan takrif SGA dan Tolstoy itu, yakni jika
takrif SGA valid, makaDodolit sama sekali tidak
mengacu secara eksklusif kepada Three Hermits.
Bahkan kisah Tolstoy pun ada kemungkinan juga
menginduk pada, meminjam istilah SGA, berbagai
cerita serupa dengan latar belakang berbagai
agama di muka bumi,
Konsekuensi kedua adalah jika takrif SGA tak
valid setelah ditelaah secara kritis, benarkah Dodolit sama sekali tak terpengaruh Three
Hermits secara telak, untuk tak menyebutnya
sebagai bentuk adaptasi langsung terhadap karya
Tolstoy itu? Mengapa SGA, umpamanya, tak
langsung memasang takrif: Cerita ini adalah
adaptasi dari Three Hermits karya Leo Tolstoy?
Sebab jika Dodolit (2009-2010) dan Three
Hermits (1886) yang berselang umur lebih dari
satu abad itu dibandingkan struktur penceritaan
dan elemen-elemen kisahnya, saya temukan paling sedikit adanya 8 (delapan) kesamaan besar
sebagai berikut:
1. Fokus cerita tentang seorang pemuka agama
yang resah melihat cara berdoa masyarakat umum
yang salah. (Guru Kiplik versi SGA, dan Uskup
versi Tolstoy).
2. Sang pemuka agama pergi ke sebuah pulau.
(Berlokasi di tengah danau luas versi SGA,
berlokasi di tengah lautan luas versi Tolstoy).
3. Pemuka agama datang untuk membenahi
cara berdoa warga pulau yang keliru. (Berjumlah
9 penduduk versi SGA, berjumlah tiga pertapa
versi Tolstoy).
4. Meski sudah berulang kali diajarkan, seluruh
warga pulau kesulitan mempraktekkan doa yang
benar. (Tak ada perbedaan antara versi SGA dan
Tolstoy. Perbedaan hanya menyangkut
redaksional dialog antara Guru Kiplik/Uskup
dengan warga pulau)
5. Akhirnya setelah warga mampu berdoa
seperti diinginkan Guru Kiplik/Uskup, pemuka
agama tersebut meninggalkan pulau terpencil
dengan perasaan bahagia karena warga sudah
bisa berdoa dengan benar.
6. Tapi kemudian Guru Kiplik/Uskup terkejut
ketika melihat melihat para warga itu mengejar
perahu/kapal mereka dengan berlari di atas air.
7. Mereka minta diajarkan lagi bagaimana cara
menghafal doa-doa yang sudah diajarkan Guru
Kiplik/Uskup
8. Kedua pemuka agama itu lalu berubah pikiran,
jangan-jangan cara berdoa warga pulau yang
mereka kira salah, sebetulnya yang lebih benar
dibandingkan cara berdoa mereka selama ini
(terlintas dalam pikiran Guru Kiplik versi SGA, dan
diucapkan dalam kalimat langsung oleh sang
Uskup versi Tolstoy).
6/
PERTANYAAN kedua adalah meminjam gaya
ungkap Arif B. Prasetyo dengan cerita yang
djoernal sastra
boemipoetra 4
Edisi Januari-Juli 2011
Polemik
isinya relatif singkat hanya sekitar 40 alinea, begitu banyak kesamaan disajikan Seno, apakah Dodolit tidak kehilangan kredibilitasnya
sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2010?
Sebab sependek pembacaan saya, SGA hanya
menyisakan sedikit improvisasi detil cerita yang
tidak begitu relevan dalam Dodolit. Contoh paling
terang adalah menyangkut jumlah penduduk pulau
terpencil. Tak jelas bagi saya mengapa jumlah
penghuni pulau Dodolit hanya 9 orang, dan tidak
digenapkan menjadi 10 orang? Atau bahkan
dikurangi 8 orang? Padahal berapa pun jumlah
penduduk pulau terpencil itu sepanjang mereka
bisa berlari di atas air mengejar perahu Guru Kiplik,
peristiwa inilah yang menjadi titik balik cara
pandang Guru Kiplik, bukan?
Bandingkan dengan jumlah warga dalam Three
Hermits yang harus tiga pertapa tak bisa dikutak-
kar pengaruh Three Hermits dalam memutuskan Dodolit Dodolit Dodolibret sebagai cerpen
terbaik. Sebab kalau tidak meminjam judul salah
satu cerpen dalam antologi ini Tukang Obat Itu
Mencuri Hikayatku karya Herman RN bisa saja
satu saat kelak ada warga Volga, Rusia, dan para
penggemar setia Leo Tolstoy lainnya yang dengan
getir berkata, Guru Kiplik itu mencuri hikayat kami.
7/
SEMOGA para dewan juri yang telah terbiasa
menyelami samudera sastra dunia, sudah mena-
Sumber:
http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150223628779246%29%28Dodoli
garis besar cerita, biasanya dari bahasa lain. Menyadur juga diartikan
sebagai mengolah (hasil penelitian, laporan, dsb.) atau mengikhtisarkan
(Kamus Besar Bahasa Indonesia 2002: 976). Dengan demikian, menyadur
mengandung konsep menerjemahkan secara bebas dengan meringkas,
menyederhanakan, atau mengembangkan tulisan tanpa mengubah pokok
pikiran asal. Hal penting yang harus kita ketahui ialah bahwa dalam menyadur
sebuah tulisan, ternyata kita diperkenankan untuk memperbaiki bentuk
maupun bahasa karangan orang lain, misalnya dalam kasus karangan
terjemahan.
Sayangnya, penyaduran tidak bisa serta-merta diberlakukan pada puisi,
sebab ada aspek bahasa, bunyi dan makna, yang belum tentu dapat diinterpretasikan secara tepat oleh penyadur. Jika penyaduran dilakukan pada
cerpen, dan novel berbahasa asing, maka proses yang dijelaskan pada
KBBI sudah tepat. Suatu hal yang tidak boleh kita lupakan dalam menyadur
adalah dengan meminta izin, mencantumkan sumber tulisan berikut nama
penulisnya.
Polemik
Cobalah simak puisi Be The Best of Whatever You Are, karya Douglas
Malloch ini.
If you cant be a pine o the sop of the hill,
Be a scrub in the valley but be
The little scrub by the side of the hill; (1)
Be a bush if you cant be a tree
If you cant be a bush be a bit of the grass
And some highway happier make (2)
If you cant be a muskie then just be a bass
But the leveliest bass in the lake
We cant all be captains, weve got to be crew (3)
Theres something for all of us here
Theres big work to do, and theres lesser to do
And the task you must do is the near
If you cant be a highway the just be a trail (4)
If you cant be the sun, be a star
It isnt by size you win or you fail
Be the best of whatever you are (5)
Puisi Douglas Malloch ini adalah puisi berjenis kuatrain dan berada di jalur
tengah aliran kepenyairan. Douglas Malloch, dalam puisinya ini, jelas sekali
hendak mendudukkan pokok pikirannya sebagai masonic yang berkaitan
dengan kehidupannya sebagai penebang kayu, secara terurut, tanpa putus.
Artinya, jika hanya hendak menekankan pada kebaikan setiap orang untuk
menjadi yang terbaik dengan cukup menjadi dirinya sendiri, maka Douglas Malloch tak perlu menuliskannya hingga empat bait. Pesannya bisa
langsung sampai hanya dalam dua atau tiga bait saja. Inilah mengapa proses
penyaduran tidak bisa dilakukan pada puisi.
Sekarang, simaklah puisi Kerendahan Hati karya Taufik Ismail berikut.
Kalau engkau tak mampu menjadi beringin
yang tegak di puncak bukit
Jadilah belukar, tetapi belukar yang baik,
yang tumbuh di tepi danau
Kalau kamu tak sanggup menjadi belukar,
Jadilah saja rumput, tetapi rumput yang
memperkuat tanggul pinggiran jalan
Kalau engkau tak mampu menjadi jalan raya
Jadilah saja jalan kecil,
Tetapi jalan setapak yang
membawa orang ke mata air
Tidaklah semua menjadi kapten
tentu harus ada awak kapalnya
Bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi
rendahnya nilai dirimu
Jadilah saja dirimu.
Sebaik-baiknya dari dirimu sendiri
Pada terminologi penyaduran, bentuk reposisi dan pengembangan masih
diperbolehkan. Tetapi jika diperhatikan lebih saksama (terutama pada lariklarik yang dimiringkan) tampak sekali beberapa larik sengaja dihilangkan,
dan, atau menggantinya dengan larik berbeda.
Ada dua larik pada puisi Douglas Malloch yang hilang, yakni; If you cant
be a muskie then just be a bass/ But the leveliest bass in the lake//
Lalu, berganti dengan larik berbeda pada puisi Taufik Ismail, yakni; Tetapi
jalan setapak yang/ membawa orang ke mata air//
Apakah penghilangan dan penggantian ini disengaja? Jika melihat terjemahan dua larik puisi Douglas Malloch, dan membaca dua larik baru pada
puisi Taufik Ismail, maka jelas sekali bahwa penggantian tersebut disengaja.
Pengubahan, atau penggantian ini dari sisi licentia poetica seharusnya
tidak boleh terjadi, sebab telah mengubah makna dan bunyi puisi Douglas
Malloch. Inikah yang disebut penyaduran?
Pertanyaan ini dijawab dengan tuntas oleh Gorys Keraf. Sebuah bentuk
ringkasan dari sebuah tulisan hendaknya tetap menekankan sisi konsistensi akan sebuah urut-urutan sesuai dengan ide atau gagasan pengarang.
Begitu halnya saat kita menyadur, hal tersebut juga berlakutetap mempertahankan ide dari naskah asli. Tegas Keraf dalam buku Komposisi
djoernal sastra
boemipoetra 5
Edisi Januari-Juli 2011
djoernal sastra
boemipoetra 6
Edisi Januari-Juli 2011
Tjatatan
ENURUT pandangan saya, syarat minimal yang harus dipenuhi agar sebuah pembahasan
dapat disebut kritik sastra adalah mesti ada elaborasi yang menjelaskan mengapa penulisnya
sampai pada penilaian tertentu. Artinya, agar layak disebut kritik sastra, sebuah tulisan
tidak boleh berhenti pada asumsi tentang, misalnya, baik atau buruknya sebuah karya sastra, tentang
terobosan baru yang konon dicapai dalam karya tententu, tentang berhasilnya sastrawan tertentu,
tentang kecenderungan tertentu dalam dunia sastra secara umum, dsb. Seorang kritikus sastra tidak
boleh hanya berasumsi, tapi harus bisa menjelaskan bagaimana dia sampai pada pendapat tersebut.
Kalau sebuah tulisan dinilai bermutu, harus dijelaskan di mana kelebihannya, kalau dianggap terobosan
baru, harus dijelaskan tepatnya apa terobosan tersebut dan dibuktikan bahwa memang ada sesuatu
yang baru di situ, dst.
Di samping itu, sebagai pekerja intelektual seorang kritikus sastra tidak mungkin bekerja tanpa
pengetahuan tertentu yang memberinya kemampuan bersikap kritis. Tanpa pengetahuan dasar tentang
sejarah sastra (Indonesia) dan tentang teori sastra, seseorang tidak akan layak disebut kritikus
sastra.
***
Saya sepakat dengan Budi Darma bahwa sastrawan sangat tergantung pada segala bentuk
pembahasan dan apresiasi terhadap karya mereka (meskipun saya tidak sepakat bahwa semua
pembahasan dan apresiasi itu merupakan kritik sastra). Segala macam teks seputar sastra, dari eseiesei di jurnal akedemis hingga resensi di koran atau komentar di sampul buku, sangat besar perannya
dalam menentukan sejauh mana sebuah karya berhasil menarik perhatian khalayak dan dalam
mengarahkan pembacaan.
Teks-teks seputar sastra Indonesia semacam itu diproduksi terutama oleh sastrawan Indonesia
sendiri, oleh akademisi di fakultas-fakultas sastra, dan oleh kaum indonesianis di luar negeri. Dalam
tulisan di bawah ini saya akan secara singkat menyoroti apa peran dan pengaruh jenis pembahasan
sastra tersebut, dan bagaimana relasi kekuasaan antara ketiga kalangan itu.
Dunia sastra Indonesia sendiri dan dunia akademis (fakultas sastra) relatif terpisah satu sama lain,
masing-masing memiliki ruangnya sendiri. Menurut pengalaman saya, akademisi relatif jarang ber-
partisipasi dalam acara-acara sastra non-akademis di luar kampus. Sastrawan pun jarang
menghadiri acara akademis. Media tempat menerbitkan tulisan dan bertukar pendapat pun berbeda.
Jurnal-jurnal akademis yang menjadi wadah publikasi tulisan para dosen, sejauh yang saya ketahui hampir tidak pernah dikonsumsi oleh kalangan
sastrawan. Media non-akademis yang menjadi
tempat wacana seputar sastra berlangsung, yaitu
koran, majalah sastra, media internet dsb, kadangkadang memuat tulisan akademisi, tapi dalam jumlah yang relatif terbatas.
Tentu saja selalu ada individu yang melintas
antara dua dunia yang relatif terpisah satu sama
lain itu. Sejumlah sastrawan sekaligus menjadi
dosen sastra. Di antara dosen lain (non-sastrawan) pun ada yang aktif melibatkan diri di dunia
sastra di luar kampus. Namun tetap saja tampaknya mayoritas dosen sastra hanya aktif sebatas
di dunia akademis.
Di samping itu, kemungkinan untuk melintas dari
dunia akademis ke dunia non-akademis dan sebaliknya tidak sepenuhnya terbuka dan tidak
setara. Dunia akademis bersifat relatif lebih tertutup. Misalnya, acara-acara sastra yang nonakademis umumnya terbuka untuk umum dan gratis. Namun acara akademis, terutama acara formal seperti seminar atau konferensi, sering hanya
dapat dihadiri kalangan terbatas dan dipungut
biaya yang kerapkali cukup tinggi.
Adanya hierarki antara acara akademis dan
acara biasa (non-akademis) tersebut mungkin
berdasar pada asumsi bahwa akademisi memiliki
keahlian khusus dalam membahas sastra sehingga acara akademis mempunyai keistimewaan
yang memang pantas dibayar mahal, dan terlalu
sulit dan canggih untuk diikuti orang awam. Atau
dengan kata lain, akademisi dianggap sebagai
pekerja intelektual yang sudah memenuhi syaratsyarat seputar kemampuan menulis dan pengetahuan khusus yang membuatnya layak disebut
kritikus.
Sebagai orang yang biasa menghadiri kedua
jenis acara tersebut, selama ini saya sama sekali
tidak melihat bahwa keistimewaan semacam itu
memang terwujud. Contohnya, kalau saya mem-
Tjatatan
bandingkan acara Temu Sastrawan Indonesia II
di Bangka (2009) dengan acara HISKI 2010 di
Surabaya (kebetulan kedua acara itu saya hadiri),
justru tampak ketimpangan yang sebaliknya antara
dua acara tersebut. Dibandingkan dengan HISKI,
acara TSI II menurut penilaian saya jauh lebih menarik, lebih bermutu, dengan diskusi-diskusi yang
lebih intens dan bermanfaat. Padahal untuk menghadiri HISKI peserta harus mengeluarkan biaya
tinggi, sedangkan TSI II gratis.
Ketimpangan yang serupa tampak apabila kita
membandingkan tulisan di jurnal akademis dengan
tulisan di media lain. Sejauh yang saya amati,
tulisan di jurnal-jurnal akademis sering justru bermutu lebih rendah daripada tulisan di koran, di
majalah sastra atau di website sastra. Memang
terkadang tulisan akademis pada pandangan
pertama terkesan lebih serius karena menggunakan istilah-istilah yang tidak dikenal orang
awam, mengutip buku-buku teori dan memakai
struktur tulisan yang khas. Tapi tidak jarang semua
itu bersifat superfisial saja, alias hanya tempelan.
Namun meskipun adanya ketimpangan-ketimpangan semacam itu, akademisi tidak jarang mengambil peran penting dalam melegitimasikan dan
mempromosikan karya sastra tertentu. Misalnya,
kata pengantar atau komentar di sampul buku seakan-akan lebih absah apabila ditulis oleh seorang
akademisi gelar dan kedudukan penulisannya,
dan kadang-kadang gaya tulis dan pilihan katanya,
memberi kesan ilmiah dan bergengsi. Apalagi
asumsi bahwa kerja ilmiah adalah kegiatan yang
objektif, berjarak dan tidak politis (tanpa kepentingan), masih cukup kuat. Kalau respon sesama
sastrawan terhadap karya rekannya diyakini bisa
saja dipengaruhi kedekatan atau permusuhan
pribadi, persaingan dsb, komentar dan pendapat
akademisi diasumsikan dengan sendirinya bebas
dari semua itu akademisi dibayangkan mengabdi
hanya pada ilmunya.
Maka tampak dengan jelas bahwa hubungan
antara dunia sastra (non-akademis) dan dunia
akademis tidak bebas dari hierarki dan relasi kekuasaan yang timpang.
Masih ada kelompok lain yang memberi perhatian
pada sastra Indonesia dan memproduksi teks yang
merespon dan membahas sastra Indonesia: para
peneliti asing (indonesianis). Tulisan yang mereka
produksi umumnya diterbitkan dalam bahasa Inggris
atau bahasa asing lainnya di jurnal-jurnal asing/
internasional atau berbentuk buku yang juga
diterbitkan di luar Indonesia. Kendala penguasaan
bahasa Inggris yang terbatas di kalangan sastrawan
dan pengamat sastra Indonesia dan sulitnya akses
terhadap buku dan jurnal asing membuat teks-teks
tersebut tidak mungkin diresepsi secara luas di Indonesia. Meskipun mungkin saja secara individual
sebagian indonesianis tidak bermaksud demikian,
pada dasarnya harus diakui bahwa tulisan-tulisan
indonesianis tentang sastra Indonesia bukanlah
sebuah usaha untuk membangun dialog dengan
sastrawan dan pengamat sastra Indonesia, tapi
bagian dari sebuah wacana tentang Indonesia antar
indonesianis sendiri.
Relasi yang hierarkis antara dunia para indonesianis dan dunia sastra maupun dunia akademis
Indonesia tampak dengan sangat jelas. Bagi sastrawan Indonesia, diteliti dan dibahas oleh peneliti
asing umumnya merupakan kebanggaan tersendiri meskipun, mirisnya, tidak jarang hasil penelitian tersebut kemudian tidak dapat dibaca oleh
djoernal sastra
boemipoetra 7
Edisi Januari-Juli 2011
djoernal sastra
boemipoetra 8
Edisi Januari-Juli 2011
Tjatatan
pendidikan. Namun, pengaturan ruang dan waktunya kurang sehingga sastrawan sendiri malah
tidak mendapat ruang diskusi yang cukup. Saya
sudah tidak berminat masuk ke dalam. Tempat
duduk saja tidak ada, ujar Tarmizi. Banyak sastrawan yang (akhirnya berkumpulred) di luar
tempat diskusi, tambahnya.
Terlepas dari maksud dan tujuan TSI III, ruang
bagi generasi muda dan perempuan dalam TSI III
pun dinilai kurang. Teman-teman muda itu dianggap kurang dapat tempat dalam acara itu baik
pentas maupun penghargaan, ujar Dea Anugrah,
seorang peserta TSI III, pada MediaSastra.com.
Kesempatan untuk menjadi pembicara yang menelaah karya dan dinamika generasi muda serta porsi
pembacaan karya bagi sastrawan muda dinilai
Thendra kurang. Menurut Saut, keterwakilan
kaum muda dan perempuan dalam Dewan Kurator pun kurang. Perempuan (dalam Dewan Kuratorred) hanya satu orang, Mezra E. Pollondou, ujarnya. Tak hanya yang muda dan perempuan, keterwakilan wilayah juga dinilai Saut kurang. Kurang-keterwakilan ini memunculkan harap dari Isbedy bagi TSI IV. Untuk TSI IV sederhana saja. Semua orang memiliki acara itu. semua
golongan, semua jenis kelamin,semua kelompok,
semua proses, ujarnya. Bagaimanapun, kritik terhadap Dewan Kurator dari salah seorang kurator
itu akhirnya menjadi pertimbangan panitia TSI IV
sehubungan dengan pembentukan Dewan
Kurator TSI IV. Tentang kurator TSI IV, kami sampaikan bahwa apa yang dibincangkan telah kami
jadikan pertimbangan dalam memilih para kurator
TSI IV dengan mempertimbangkan unsur generasi, perempuan, maupun wilayah dari 11 orang
yang telah kami pilih, tulis Dino Umahuk, panitia
TSI IV, via pesan facebook kepada reporter MediaSastra.com.
Porsi pertunjukan khas Melayu pun dianggap
terlalu mendominasi, sementara tema TSI III adalah
Sastra Indonesia Mutakhir dan bukan Sastra
Melayu. Bukan berarti kita menolak etnisitas, akan
tetapi porsinya yang tidak proposional. Masak
acara Temu Sastrawan Indonesia, yang lebih banyak ditampilkan lokalitas? ucap Thendra. Perihal
porsi Melayu yang berlebihan itu, Tarmizi melihatnya sebagai suatu kewajaran. Sebagai tuan rumah, Tanjungpinang punya misi untuk mempertegas kembali posisi Melayu di Indonesia, ucapnya.
Isbedy tak mempermasalahkan porsi Melayu yang
Tjatatan
berlebihan dalam pertunjukan seperti diungkap
Thendra. Mengomentari perihal pertunjukan, Isbedy menyatakan bahwa [p]entas pada panggung utama di Anjung Cahaya sungguh-sungguh
meriah dan disiapkan secara maksimal.
Hal yang disayangkan oleh Isbedy justru tidak
diundangnya KUK (Komunitas Utan Kayu, sekarang berganti nama menjadi Komunitas Salihara),
tak hanya pada TSI III, tapi juga sejak TSI I dan II.
Padahal sebagai warga sastra juga di Tanah Air,
KUK juga punya peran yang sama dengan lainnya, ucapnya. Tidak-diundangnya KUK itu dibantah Saut Situmorang selaku kurator TSI III. Menurut dia, Utan Kayu mendapat undangan. Mereka aja yang nggak datang, ujar Saut.
Afrizal punya pendapat berbeda soal acara TSI
III. Menurutnya TSI III malah jadi bagian dari proyek
kampanye terselubung. Menurut Afrizal terdapat
banyak foto gubernur dan bupati yang terpajang di
jalan-jalan, hotel, hingga ke ruang diskusi. Perihal
ini, Tarmizi berkomentar lain. Saya kira tidak ada
foto-foto. Cuma, (dalam, red) seremoninya memang
ada banyak pejabat Tanjungpinang, ucapnya.
Sehubungan dengan kampanye terselubung, Saut
dan Katrin pun melihat indikasinya. Namun, berbeda
dengan Afrizal, banyaknya pejabat yang membacakan puisi pada acara pertunjukan Malam Apresiasi Pentas Sastra-lah yang ditafsir keduanya
sebagai kampanye terselubung.
Soal keseluruhan acara, Tarmizi dan Isbedy
menganggap TSI III telah berhasil. Isbedy menilai
TSI III sudah berlangsung baik dan sukses. Menurut saya, terlaksana saja acara itu sudah berhasil, ucap Tarmizi. Katrin punya pendapat lain.
Acaranya memang sangat mengecewekan,
atau dengan kata lain, acaranya gagal, tulis Katrin
menyimpulkan keseluruhan acara TSI III.
Reaksi Atas Kritik
Kritik atas penyelenggaraan acara TSI III
ternyata bukan baru muncul setelah acara usai.
Kegelisahan beberapa peserta akan perhelatan
tahunan tersebut ternyata telah muncul sejak hari
kedua penyelenggaraan acara. Pada Jumat, 29
Oktober 2010, sejumlah sastrawan muda peserta
TSI III berkumpul di pinggir kolam Hotel Pelangi
Tanjungpinang, tempat TSI III diselenggarakan.
Diawali baca puisi, mereka menumpahkan kegelisahan mereka sehubungan dengan ketidak-beresan pelaksanaan TSI III.
Para sastrawan muda kembali berkumpul di
pinggir kolam Hotel Pelangi pada Sabtu malam, 30
Oktober 2010. Malam itu, bertambah banyak
sastrawan muda yang berkumpul. Lagi-lagi mereka mulai diskusi dengan baca puisi. Di tengah
diskusi, Binhad Nurrohmat tiba-tiba muncul dan
ikut mendengarkan obrolan para sastrawan muda
itu. Beberapa saat kemudian, diskusi mulai serius.
Pada pertemuan kedua mereka itu, Irianto Ibrahim
akhirnya mengusulkan untuk menyatakan ungkapan-ungkapan ketidakpuasan teman-temannya
sebagai bentuk masukan bagi TSI mendatang, TSI
IV. Setelah usulan itu, mulailah muncul poin-poin
kritik baru bagi TSI III yang belum muncul pada
malam sebelumnya. Tak berapa lama, Saut dan
Katrin juga ikut bergabung tanpa diundang sebelumnya. Mengingat Saut pun adalah salah satu
dari Dewan Kurator, para sastrawan muda itu
kemudian menyampaikan beberapa poin kritikan
untuk TSI III kepadanya. Saut kemudian menyarankan untuk mencatat poin-poin tersebut untuk
djoernal sastra
boemipoetra 9
Edisi Januari-Juli 2011
lah berusaha menghargai sastra maupun sastrawan, telah mengangkat sastra Indonesia. Kritik
tak semestinya dia dapat. Akib pun sempat berkata
pada Dino selaku panitia TSI IV untuk tidak mengadakan TSI IV di Ternate karena TSI III baginya
menyulitkan dan makan biaya besar namun bukan
penghargaan yang dia dapat. Menurut Thendra
dan Dea, kemarahan Akib sudah sampai pada
titik ancaman. Reaksi Akib tersebut menimbulkan
tanya pada diri Thendra. Apakah sesuatu acara
tidak boleh dipertanyakan? ungkapnya. Akib, saat
kami konfirmasi mengenai forum Minggu pagi itu,
menolak menjawab pertanyaan kami sehubungan
dengan kebenaran peristiwa tersebut. Acara
evaluasi pada Minggu pagi itu akhirnya berkesudahan pada pukul 9 karena situasi tak lagi kondusif
untuk evaluasi, serta karena beberapa kurator
sudah harus segera pulang.
Tarmizi menyatakan, memang banyak peserta
TSI III merasa tak puas dengan acara. Dia menilai
hal ini disebabkan oleh kinerja panitia yang kurang
koordinasi dan lemah dalam hal teknis. Pihak panitia
dinilai Tarmizi tak melibatkan kawan-kawan yang
memang bergelut di bidang kesenian sejak awal
pelaksanaan TSI III. Bagi Saut, banyaknya kekurangan pada TSI III itu menjadi tanggung jawab
Dewan Kurator. Bagi aku, ya, Dewan Kurator itu
lebih tinggi dari panitia, ujarnya. Oleh karena
posisinya yang paling tinggi itulah, menurut Saut,
tanggung jawab terbesar ada di pundak para
Dewan Kurator. Dewan Kurator itu sudah digaji.
Gajinya mahal, ucap Saut membandingkan kemahalan gaji itu dengan kinerja Dewan Kurator
yang menurutnya tak maksimal. Konfirmasi kepada para panitia dan kurator sehubungan dengan batas wewenang antara panitia dan kurator
serta sistem evaluasi dan pertanggung-jawaban
panitia TSI III atas acara belum dapat kami lakukan.
Joni Ariadinata dan Raudal Tanjung Banua selaku
Dewan Kurator lain menolak diwawancara soal
apapun yang berhubungan dengan TSI III. Hingga
berita ini diterbitkan, Akib selaku Dewan Kurator
dan Ketua Pelaksana TSI III juga menolak memberikan keterangan, termasuk kontak para panitia lain yang ingin kami wawancarai.
______________________________________________________________________________________________
[1] Berikut ini adalah tulisan dinding Thendra di
grup facebook TSI III pada tanggal 25 November
2010:
Usulan Dari Saut Situmorang (Kurator TSI III)
melalui SMS karena akun fesbuk doi dicekal
beberapa bulan yang lalu.
From: +6281668XXXX
Received: Nov 24, 2010 17:03
Aku usulkan Tim Kurator yg ada sekarang
DIBUBARKAN saja kerna tak berguna bagi Acara
dan Peserta! Kalok memang dirasakan perlu utk
membentuk Tim Kurator maka mereka harus dipilih
secara terbuka dan mewakili semua golongan
pengarang seperti pengarang perempuan dan
pengarang muda.
________________
Reportase bersama mediasastra.com:
Abram Widi Wibawa, Andry Cahyadi, Sita
Magfira
Sumber:
http://mediasastra.com/berita/16/01/2011/pasca_tsi_iii_kritik_dan_harapan_buat_tumbuh_kembang_tsi
djoernal sastra
boemipoetra 10
Edisi Januari-Juli 2011
Soeara
putus kata untuk membatalkan telaah untuk secuil tanda peradaban: buku yang ditulis oleh seorang sarjana yang belum lama meninggal setelah
menderita kanker. Membatalkan diskusi buku!
Kejahatan tingkat berapa ini? Bukankah itu hanya
selangkah saja ke pembakaran buah pikiran dan
penzaliman terhadap sikap seorang manusia?!
Yang muncul di bendul pintu rumah saya itu
memang cuma sebilah pedang yang abstrak, yang
mengambil bentuk ancaman yang Bung humbalangkan di depan saya, muridmu yang daif ini...
Kalau yang datang itu adalah kekuasaan dengan
sebuah front raksasa bernama front penyair Indonesia, maka yang terjadi tentu bukan cuma
pembatalan diskusi, tetapi pemberangusan, penangkapan, dan pemenjaraan terhadap mulutmulut yang lancang, yang hendak memahami
Asep dengan baik-baik, dengan hati yang lapang,
hati anak-anak muda yang ingin dibesarkan di
sebuah meja peradaban di bawah tatapan H.B.
Jassin.
Diskusi buku itu hanyalah sebuah titik dalam
rentang panjang peradaban kita. Kalau sebuah
ukuran bisa ditarik, dia hanya secercah cahaya,
barangkali. Jika ada yang beranggapan upaya
pembatalan diskusi itu merupakan noda, apakah
dia layak menerima pengampunan? Untuk penyair
sekeras dan beringas semacam Saut Situmorang
TIDAK! Dari Yogyakarta dia mengirimkan SMS:
Buat apalagi dibantu PDS, Bang? Biar yayasannya yang sampah itu mintak tolong ke Taufiq
Ismail. Jogja udah memutuskan gak mau ikut
bantu PDS sebelum pihak yayasan mintak maaf
kerna menuruti Taufiq Ismail melarang acara
diskusi buku Asep itu! Sorry, Bang.
Pesan singkat itu muncul di layar handphone
saya sebagai tanggapan terhadap permintaan
teman-teman muda yang menghendaki saya agar
memohon kepada penyair berambut gimbal dan
berewokan bak seorang pemberontak yang baru
keluar dari hutan perlawanan itu, karena ada niat
untuk, antara lain, melaksanakan lelang lukisan
dan uangnya akan disumbangkan kepada PDS
H.B. Jassin. Saut saya minta membujuk (temannya
minum, kabarnya) pelukis Agus Suwage merelakan karyanya untuk disertakan dalam lelang.
Barangkali salah dugaan saya bahwa Bung
menyerah pada permintaan busuk untuk membatalkan diskusi buku Asep Sambodja itu karena
Bung sedang berada di Jakarta. Kota yang sumpek, di mana pengendara sepeda motor boleh
naik ke trotoar menggusur pejalan kaki, dan melawan arus lalulintas pula. Jika Bung berada di Pabelan, apalagi di sawung Ibu Empat yang laris
manis sambil menatap stupa-stupa Borobudur
yang tertulis di pucuk-pucuk daun, agaknya Bung
tidak bakal hanyut dibawa lahar kedengkian untuk
membabat diskusi buku Asep Sambodja.
Bung Ajip yang baik, saya tak punya tanda
mata untuk dibawa ke Pabelan. Tapi, kalau ada
kesempatan untuk mampir lagi ke rumah Bung di
sana, izinkanlah saya memegangi tangan Bung,
sama-sama kita menatap Borobudur dan bersumpah tidak mengulangi kebengisan terhadap peradaban, sebagaimana terbaca pada arca candi
yang lehernya telah ditebas oleh mereka yang
kehilangan akal sehat. Memberangus sebuah kitab!
Salam hormatku untuk Bung dan Ibu Empat,
Martin Aleida
Sandjak
Thomas Budi Santoso
NEGERI EDST
Di negeri EDST merah putih dilipat dalam kolong
Berkibar atas aba-aba ketua rukun tetangga
Saat tujuhbelasan dan hari sejarah yang terlupa
Merahnya pucat, putihnya lesi
Darahnya kering tak disusui ibu pertiwi
djoernal sastra
boemipoetra 11
Edisi Januari-Juli 2011
NEGERI DOBOL
Di negeri tercinta ini
Negeri konon, negeri adiluhung
Negeri kini, adigang adigung
Bahasa persatuan diganti omong dobol
Hingga rakyatnya jadi bongol
Tadi malam televise omong dobol
Besok, koran pagi koran sore omong dobol
Kemarin politisi omong dobol
Sebelumnya wakil rakyat omong dobol
Sebelumnya setelahnya petinggi Negara omong dobol
Setelah sebelumnya ketok palu omong dobol
OMG, negeriku..
OMD. Jadinya negeriku
Tak tahan aku!
Kudus, 28 Mei 2011
djoernal sastra
boemipoetra 12
Edisi Januari-Juli 2011
Sandjak
Jumari HS
NEGERI SAKIT
Negeri sakit
Undang-undang komat kamit
Gigitannya seperti tukang kredit
Mulut penguasa melilit
Rakyat terjepit
Inilah negeri sakit
Hukum jumpulat jempalit
Politisi di atas kursi suka berkelit
Birokrat wajahnya bengal dan sengit
Menebar walang sangit
Inilah negeri sakit
Negeri banyak penyakit
Cari makan kian sulit
Utangnya membelit
Ini negeri sakit
Kasus-kasus terungkit
Dengan rapat dilempit
Suara kebenaran rumit
Amit-amit.
DPR
Di sini,
Fraksi-fraksi berdiskusi
Saling mengkaji negeri
Suaranya benar-benar sakti
Getarannya, menggelegar seperti tsunami
: Koruptor mudah bersembunyi
Di kursi,
Partai-partai memamerkan diri di TV
Merah, biru, kuning, dan hijau berseri
Seperti pelangi memeluk bumi
Tak peduli rakyat sulit mencari nasi
Di gedung parlemen ini,
Banyak pesulap saling beraksi
Dengan dasi menjerat leher kaum sufi
Kemeja mahal menutup hati
Di sini,
Wajah-wajah penuh janji
Dan mengencingi demokrasi!
Kudus. 2011
RAKYAT
Kudus, Juni 2011.
BERKIBARLAH
Berkibarlah
Di setiap jantung
Merah, berani
Putih, suci
Berkibarlah, ya berkibarlah
Aku malu!
Berkibarlah
Di siang malam
Tebarkan pesona di jiwa
Berkibarlah, ya berkibarlah
Aku perih!
Di bawah,
Mata mendongak
Langit mengabur pandang
Tipu daya berlintasan
Di atas,
Kaki berdiri
Tanah berjurang
Sengsara menggumam
Di sini,
Keringat lautan
Ikan dijaring
Garam dikeruk
Minyak dieksplor
Ombak dan gelombang
Menggelayutkan buih
Memerih di dada
Mulut terbungkam!
Kudus, 2011
Berkibarlah
Sepanjang zaman
Bangkitkan heroik
Bangunkan keterlelapan
Berkibarlah, ya berkibarlah
Aku gamang!
Berkibarlah, ya berkibarlah
Airmataku tersayat!
Kudus, 2011
KPK
Seperti sniper
Mengincar burung hantu
Anehnya, emprit-emprit
Yang kena peluru
Seperti pemburu
Masuk belukar hutan
Anak panahnya meluncur
Menembus ketakberdayaan
JAKSA
Di meja eksekusi
Keadilan terlipat kain kafan
Mata melihatnya samar
Kebenaran di palu kesakitan
Kudus, 2011
Seperti sniper
Matanya juling
Jalannya miring
Lupa century, maling!
Kudus,2011
PSSI
Di atas rumput,
Bola saling diperebutkan
Dan kaki saling menendang
Penonton bersorak kegirangan
Ketika gawang lawan kemasukan
Tak peduli uang APBD kebobolan
Bentuk bola yang bulat
Ditaruh di atas meja, penuh hasrat
Di antaranya saling sikat
Tak peduli prestasi sekarat
Angin merintih melarat
Politis pun ikut ke lapangan
Mengelus bola untuk kepentingan
Agar bendera mereka terpasang
Dan kekuasaannya memanjang
Seperti ular mematuk hati
Kesakitan
Di atas rumput,
Keringat dicat warna kelam
Menetes, mengalir ke sungai bayang-bayang.
Kudus, 2011
Jumari HS. Lahir di Kudus,24 November 1965. Karyakarya puisi banyak bertebaran di berbagai media masa daerah dan nasional antara lain Republika, The Jakarta Post,
Jawa Pos, Suara Pembaruan, Suara Merdeka, Wawasan,
Pikiran Rakyat, Swadesi, Solo Pos, Yogya Pos, dan lainlain. Penyair ini sekarang terlibat dalam Komunitas Sastra
Indonesia (KSI), Bendahara Keluarga Penulis Kudus (KPK)
dan pernah menjadi ketua KPK, Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Kudus, Pergerakkan Sastra buruh di Kudus, Ketua Teater Djarum Kudus, Kegiatan
sastra yang diikuti yaitu hadir dalam litelery Art International Aceh, Pertemuan
Penyair Nusantara di Brunie Darusalam, Pertemuan penyair Nasional di
Tanjung Pinang, Membaca puisi buruh di TIM. Penyair ini pernah menjadi
wartawan lokal Muria Pos. Sekarang menjadi Wartawan Tabloid Serapo
Balikpapan, kini tinggal di Desa Loram Kulon, Rt. 04/01. Kec, Jati- Kudus.
Tjerpen
djoernal sastra
boemipoetra 13
Edisi Januari-Juli 2011
Dia menulis KEPADA TUHAN di amplop, memasukkan surat itu ke dalamnya dan, masih merasa sedih, berangkat ke kota. Di kantor pos ditempelkannya perangko dan dimasukkannya surat
itu ke kotak surat.
Salah seorang pegawai kantor pos menemui
atasannya sambil ketawa geli dan menunjukkan
surat untuk tuhan itu. Belum pernah dalam sejarah
karirnya sebagai tukang pos dia mengalami hal
seaneh ini. Kepala kantor pos yang gemuk dan
ramah itu juga terpingkal-pingkal dibuatnya tapi
tiba-tiba dia jadi serius dan sambil meletakkan
surat itu di atas meja, dia berkata:
Betapa kuat imannya! Seandainya saja aku
punya iman seperti orang yang menulis surat ini.
Seandainya saja aku punya keyakinan sebesar
keyakinannya ini. MENULIS SURAT KEPADA
TUHAN!!!
Untuk tidak mengecewakan iman luar biasa
yang ditunjukkan sepucuk surat yang tak mungkin
dikirimkan itu, kepala kantor pos itu mendapat satu
ide: balas surat itu. Tapi waktu amplop surat dibukanya, ternyata untuk membalasnya, maksud
baik, tinta dan kertas belaka tidaklah cukup. Tapi
dia tetap pada pendiriannya. Dia lalu minta sumbangan uang dari para pegawainya dan dia sendiri menyumbangkan setengah dari gajinya, sementara beberapa kawannya dengan sukarela
juga menambah sumbangan kemanusiaan itu.
Tapi tak mungkin untuk mengumpulkan uang
sebanyak satu juta rupiah, maka dia mengirimkan
hanya sedikit lebih daripada setengah yang
dibutuhkan petani itu. Dimasukkannya uang itu ke
dalam amplop yang dialamatkan kepada Lencho
dengan disertai secarik kertas yang hanya bertuliskan satu kata sebagai tanda tangan si pengirimnya: TUHAN.
Hari Jumat berikutnya Lencho datang lebih cepat dari biasanya ke kantor pos dan bertanya
kalau ada surat untuknya. Tukang pos itu sendiri
yang menyerahkan surat itu padanya sementara
kepala kantor pos yang merasa bahagia telah
melakukan sebuah perbuatan mulia mengintip dari
pintu kantornya.
Lencho sama sekali tidak menunjukkan rasa
heran waktu melihat uang dalam amplop itu
begitulah besarnya imannya tapi dia malah jadi
marah setelah menghitung jumlah uang tersebut...
Tuhan pasti tidak membuat kesalahan, atau
menolak apa yang dimintanya!
Cepat-cepat Lencho mendatangi loket dan minta kertas dan tinta. Di meja yang khusus disediakan untuk umum di kantor pos itu dia pun segera
mulai menulis, sambil mengerutkan keningnya
karena berusaha keras untuk mengutarakan isi
pikirannya. Setelah selesai, dia pergi membeli
perangko di loket yang lalu dijilat dan dilekatkannya
ke amplop dengan pukulan tinjunya.
Begitu surat itu masuk ke dalam kotak surat,
kepala kantor pos segera mengambil dan membukanya. Beginilah isinya:
Tuhan, dari jumlah uang yang aku minta itu,
hanya tujuhratus ribu saja yang sampai ke tanganku. Kirimkanlah sisanya karena aku betulbetul membutuhkannya. Tapi jangan kirim uang itu
lewat pos karena para pegawai kantor pos bajingan semuanya. Lencho.
(Diindonesiakan oleh Saut Situmorang dari
READERS DIGEST GREAT SHORT STORIES OF THE WORLD)
djoernal sastra
boemipoetra 14
Edisi Januari-Juli 2011
Tjerpen
Kotbah
Hari Minggu
Cerpen: Saut Situmorang
Tjerpen
Mbah Rus
Cerpen: Bonari Nabonenar
karena ia paling gede nafsu berceritanya dibandingkan dengan kedua kakaknya yang kini telah
tiada. Tak hanya doyan bercerita, Mbah Rus juga
piawai mengarang-ngarang cerita dan mencampuradukkan begitu saja dengan fakta.
Kira-kira saya baru berumur sekitar enam tahun ketika mendapati Mbah Rus sudah tinggal
sendirian di rumah yang sangat klasik, sebuah
rumah gebyog, rumah peninggalan orangtuanya.
Tampaknya dialah memang ang terpilih atau terpaksa mendiami rumah warisan itu, sementara
Mbah Painah membangun rumah sendiri bersama
Mbah Kakung, dan Mbah Jemani menjadi kontholkinthil.
Kini, Mbah Rus tinggal bersama keluarga Jaelani
(saya harus memanggilnya: paman) laki-laki yang
lahir dari garis Mbah Painah pula. Keluarga Jaelanilah yang ketiban sampur merawat Mbah Rus
yang sudah renta itu dengan jaminan tunggu watang berupa sebuah pekarangan seluas kira-kira
setengah hektar. Artinya, berapapunlah nilai jual
tanah pekarangan itu adalah nilai untuk tukar guling dengan ongkos perawatan Mbah Rus selama sisa hidupnya hingga entah kapan nanti ia
dapat panggilan. Bahkan, setelah beberapa tahun
menikah dan dikaruniai seorang anak, Jaelani telah
mendirikan pula sebuah rumah di dalam pekarangan itu. Waktu itu Mbah Rus masih perkasa, masih tinggal sendirian di rumah warisannya.
Setiap kali saya menengok kampung halaman
saya itu, hampir selalu saya sempatkan untuk
menjenguk Mbah Rus. Sebenarnya bukan semata-mata karena Mbah Rus, kadang lebih karena
faktor kesenangan bernostalgia. Saat menginjakkan kaki di kawasan itu, di pekarangan itu, saya
akan dapat memutar kembali ingatan ke masa
kanak-kanak dengan gampang. Ada sensasi:
rindu, haru, yang sedemikian hebat setiap saya
mendapatkan kesempatan itu. Dan yang lebih menyenangkan lagi, sensasi itu, walau masih samasama bertema kerinduan dan keharuan, seolah
warnanya selalu berganti, selalu berbeda antara
kesempatan yang satu dengan yang lain.
Memang hanya sekitar setengah hektar luas
pekarangan itu. Dulu, waktu saya kecil pagarnya
perdu, kantil, dengan bunga-bunganya yang sangat indah. Pagar itu dibuat sangat rapi dan rapat,
sehingga itik dan ayam yang dilepas di dalam pekarangan itu tidak bakal melompat ke luar. Itik dan
ayam orangtua Mbah Rus, dulu, konon, tidak terbilang, seperti sapi dan kerbau juga tak terbilang.
Saya percaya, karena banyak orang kampung
djoernal sastra
boemipoetra 15
Edisi Januari-Juli 2011
menceritakan kekayaan orangtua Mbah Rus bersaudara itu. Dan saya makin percaya karena sewaktu saya besar, di kampung lain yang jauh,
masih ada orang kaya model seperti itu, yang
sapi dan kerbaunya dibiarkan lepas di hutan selain
dititip-titipkan orang kampung yang mau memeliharanya dengan sistem gadhuh.
Mbah Rus, selain lahir dari keluarga terkaya di
kampung, pasti ia sangat cantik waktu mudanya,
sehingga seorang guru dari kampung yang jauh
melamarnya. Itu sungguh luar biasa. Guru, pada
zaman itu, nyaris seperti berdarah biru. Ia adalah
golongan priyayi, sangat dihormati di masyarakat.
Dan Mbah Rus berhasil mendapatkannya. Tetapi,
nasib buruk menimpa guru itu, suami Mbah Rus
itu. Ia menjadi buta. Ini adalah salah satu dari sekian banyak detail yang belum pernah terungkap.
Mengapa guru itu menjadi buta, mengapa lalu
Mbah Rus bercerai dengannya. Dan hingga kini
pun saya tidak pernah tahu, bagaimana kemudian
Mbah Rus yang hingga kini tak memiliki seorang
pun anak itu bisa dipersunting seorang laki-laki
yang boleh dimasukkan ke dalam daftar laki-laki
paling tampan dan perkasa di kampung.
Ada beberapa fragmen kisah mengenai kehebatan laki-laki suami kedua Mbah Rus itu. Sebagai laki-laki, ia sebegitu memesona para perempuan, sehingga perempuan-perempuan yang
sudah bersuami pun akan memimpikannya. Kalau
ia melenggang di jalanan, mungkin, para perempuanlah yang akan menyiulinya, bukan sebaliknya.
Ada yang pernah bercerita, seorang preman
kampung menjajal kehebatanya dengan menantangnya untuk membawa ke hadapannya, hanya
membawa saja, seorang perempuan tercantik di
kampung.
Malam makin merambat. Udara dingin. Tetapi
tantangan itu cukup memanaskan.
Kalau kau mengaku hebat, bawa dia ke sini
sekarang juga.
Maka, laki-laki itu pun bergegas menuju rumah
perempuan itu, menunggunya di halaman sampai
perempuan itu keluar dari rumah. Ia berbatuk kecil
dan memanggil lirih ketika perempuan itu ternyata
benar-benar kencing di luar rumah.
Oh! perempuan itu terkejut, dan menyebut
nama si laki-laki.
Maaf, ada yang penting, Jangan berteriak,
ya?
Dan belum sempat melontarkan reaksi, baik
kata-kata maupun isyarat, perempuan itu telah
mendapati dirinya di pundak si laki-laki. Ia telah
dipikul, benar-benar dipikul seperti kayu, dibawa
ke hadapan preman kampung yan menunggunya
di pos ronda.
Sudah, sekarang aku antarkan kau pulang.
Keperluannya sudah cukup, kata laki-laki yang
kelak menjadi suami kedua Mbah Rus kepada
perempuan tercantik di kampung itu.
Perempuan itu benar-benar tampak bengong.
Mungkin masih juga belum jernih pikirannya ketika
ia berucap, Aku berani kok pulang sendiri, sambil
ngeloyor begitu saja.
Dalam hal keperkasaan fisik, jangan tanya pula.
Lepaskanlah seekor rusa di hadapannya, maka
ia akan mengejarnya dan menangkapnya dengan
tangannya. Maka, perempuan mana yang tidak
tunduk di hadapan laki-laki yang memesona, tampan, dan secepat itu? Pun Mbah Rus. Ia boleh
dijuluki anak orang terkaya di kampung, perempuan tercantik di kampung, tetapi pada akhirnya
djoernal sastra
boemipoetra 20
Edisi Januari-Juli 2011
081513xxxxxx
091911xxxxxx
(menurut Ahmadun pemakalah tetap mendapat penggantian tiket-Redaksi)
Di sela-sela acara koin sastra di PSD HB Jassin, orang-orang berbincang tentang gejala plagiat di kalangan akademisi dan sastrawan kita.
Novelis : Apa yang ada di kepala dia itu sampai-sampai harus menjiplak
karya orang lain dan mengakui sebagai karyanya.
Esais
: Mungkin dia kira tak ada yang baca tulisan itu.
Novelis : Tapi sungguh memalukan sastrawan sekelas dia bisa-bisanya
jadi plagiator.
Esais
: Mungkin dia baru sial saja kali ini.
Novelis : Maksudnya, selama ini jangan-jangan karyanya jiplakan
semua dan tidak ketahuan?
Penyair
Cerpenis
Keduanya ngakak bersama sembari melempar tulisan kedua sastrawan itu ke tempat sampah.
Penyair
Cerpenis
Penyair
Cerpenis
berguguran. Dan saya pasti akan belajar mengarang-ngarang agar sejarah itu bisa dibaca. Mungkin saya harus menyampur-adukkan karangan
saya dengan fakta. Tetapi itu tidak begitu menjadi
soal bukan? Maka, saya harus banyak belajar
kepada Mbah Rus. Belajar menikmati kesepian.[]
kamus kecik:
konthol-kinthil = laki-laki yang menikah dan
kemudian tinggal di lingkungan keluarga sang istri).
gadhuh = buruh memelihara ternak dengan
imbalan sebagian (biasanya separo) ternak hasil
pemeliharaan itu.
gebyog = rumah adat Jawa, berdinding papan/kayu
sengkeran = simpanan
tunggu watang = (harfiah: penjaga batang),
harta/benda, biasanya berupa sebidang tanah
yang akan diberikan sebagai imbalan bagi siapa
yang merawat hari tua hingga mengurusi
pemakamannya jika si pemilik meninggal dunia.