Anda di halaman 1dari 16

Edisi Januari-Juli 2011

Daftar Isi
Titik Toejoe:
1
Sastra Boemipoetra
Polemik :
DODOLIT DODOLTOLSTOY: .............. 2
Sejumlah Temuan dalam Telisik ............ 4
Tjatatan :
Sastra Indonesia Mutakhir:.................... 6
Kritik Atas Coreng-morengnya TSI...... 8
13
Soeara :
Surat Dunia MayaUntuk Ajip Rosidi 10
Sandjak :
11
Thomas Budi Santoso
12
Jumari HS
Tjerpen :
13
Gregorio Lopez y Fuentes
14
Saut Situmorang
15
Bonari Nabonenar
Opini
Disumbang Djarum Rp50 Juta............... 16

soesoenan
redaksi

Pemred
- Wowok Hesti
Prabowo
Redaktoer
- Koesprihyanto
Namma
- Mahdi Duri
- Saut Situmorang
- Jumari HS
- Gito Waluyo
Perwadjahan
- Idham
Sirkoelasi
- Sang Hyang Buana

Alamat Redaksi:
Jl. Perum Sekneg No.46 Bona Sarana Indah
Kebon Nanas Tangerang, Tlp. 085711200001.
email: boemiputra@yahoo.com

Sastra S
Boemipoetra

ASTRA hadir tidak semata untuk dirinya. Kerja bersastra bukanlah kerja
pengrajin merangkai kata-kata, memetik kata-kata langka di kamus tanpa makna
tanpa jiwa. Karya sastra bukanlah memusingkan pembaca

atau hura-hura mengeksploitir seks semata.

Kini kata-kata di tangan penguasa diperbudak menjadi alat pencitraan diri dan alat
memanipulasi. Di tangan penguasa pula, kata-kata dilumpuhkan oleh tipu daya. Kata-kata
yang sekilas nampak untuk menutupi korupsi dan ingkar janji sesungguhnya akan melukai
dirinya sendiri. Ya, di tangan presiden yang tak berdedikasi, kata-

kata menjadi tiada arti.


Sastra adalah senjata. Kepada penguasa korup dan manipulatif ia bisa

melukainya. Terhadap rakyat jelata yang diabai dan diperlakukan semena-mena ia gigih
membelanya. Terhadap negara yang dibawa ke jurang kebangkrutan ia menjaganya.
Sastrawan bukanlah kerja membebaskan kata-kata. Sastrawan
mengendalikan dan memaknai kata-kata. Sastrawan tidak untuk dijajah kata-kata. Katakata tak cukup hanya untuk dirinya. Sastra tak cukup hanya untuk sastra. Untuk ke-

benaran dan harga diri sastra bisa menjadi belati atau melati.

Di saat kata-kata diperalat penguasa untuk menipu rakyatnya maka sastrawan harus
mengorganisir, mengagitasi, mengendalikan, dan mengatur barisan kata-kata untuk
melawannya. Sastrawan harus menjadikan sastra sebagai pang-

Oleh :
Wowok H Prabowo

lima untuk menggerakan kesadaran rakyat merobohkan penguasa pendusta!


Lebih dari itu, sastra dan sastrawan berkewajiban menjatuhkan
penguasa yang tak berguna! Penguasa yang membangun negara kleptokrasi.
Penguasa yang membrangkutkan negara. Penguasa yang memiskinkan rakyatnya.
Penguasa yang gemar bersandiwara. Penguasa yang menjadi pusat segala mafia!

Sastra yang demikian itulah sebabnya boemipoetra ada!

djoernal sastra

boemipoetra 2

Edisi Januari-Juli 2011

Polemik

DODOLIT
DODOLTOLSTOY:
Pemerintah ngotot tidak mengakui
keistimewaan seperti yang diinginkan
mayoritas rakyat Yogya. Yakni Sultan dan
Pakualam otomatis ditetapkan sebagai
gubernur dan wakil gubernur.
Siap-siap saja SBY dan mentrinya
kualat. Dalam kultur jawa bentuk kualat
itu bisa macam-macam. Akan
menghadapi banyak persoalan/musibah,
seret rejeki dan bahkan bisa terjatuh
dengan tidak terduga.
Ketua MUI bilang: Orang kaya haram
hukumnya memberli premium.
Weleh-weleh, fatwa kok dijadikan
mainan ya. Sekarang ini banyak orang
ngomong karena dibayar? Semoga para
sastrawan yang diberi penghargaan oleh
pemerintah lantas tidak bilang:
pemerintah kita bersih dari korup lho.
Aneka penghargaan tersebut (termasuk
dari pengusaha) hanyalah lipstik demi
pencitraan semata.
Sebelum jadi anggota dan Ketua
Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum
adalah ketua KPU yang memenangkan
Partai Demokrat. Sebelum melompat
menjadi Ketua Partai Demokrat, Andi
Nurpati adalah Anggota KPU yang
memenangkan partai Demokrat.
Sekarang ketahuan : sama-sama
memenangkan sama-sama bermasalah.

STOP PRESS!!!
INI joernal beroepa Non-profit Oriented
Media, dikerdjaken setjara gotong
rojong dan didanai dari oeroenan
sastrawan jang pedoeli akan
perkembangan sastra Indonesia.Djadi
bagi anda jang ingin berpartisipasi dan
ataoe berlangganan bisa
menghoeboengi itoe redaksi.
REDAKSI menerima toelisan (Tjerpen,
Sandjak, dan ataoe Essei, serta
Drawing) jang mengandoeng itoe
semangat nasionalisme dan anti
imperialisme. Khoesoesnya semangat
anti KUK, itoe naskah dikirim lewat
email: boemiputra@yahoo.com, dengan
menyertaken gambar diri. (tiap toelisan
jang dimoeat, redaksi beloem bisa
menyediaken honororioem).

Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010


Oleh Akmal Nasery Basral
I/
SEPASANG pembawa acara pada Malam Penghargaan Cerpen
Terbaik Kompas 2011 yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta
semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang
karyanya terpilih masuk ke dalam antologi Cerpen Pilihan Kompas 2010.
Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis
cerpen masing-masing.

AAT Dodolit Dodolit Dodolibret


(selanjutnya ditulis Dodolit) karya
Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan,
yang terbaca oleh saya kisah Guru Kiplik yang
mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara
berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi
dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa
memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.
Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di
layar.
Dari informasi sesingkat itu selain saya juga
belum membaca versi lengkap Dodolit pikiran
saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusia, yang awalnya tidak saya yakini benar
sehingga mulut saya bergumam ragu, Tolstoy.
Rupanya istri saya mendengar gumaman lirih
itu. Kenapa Tolstoy?
Masih tidak terlalu yakin, saya menjawab. Entahlah. Rasanya ada cerpen Tolstoy dengan cerita
seperti itu,
Judulnya?
Tidak ingat. Nanti kita cek di rumah.
Ceritanya seperti apa?
Lalu saya pun bercerita tentang isi cerpen
Tolstoy yang saya kais dari ingatan saja.
Seorang pendeta sedang dalam pelayaran
bersama sejumlah orang, ketika mereka melintasi
sebuah pulau dan orang-orang mulai bicara tentang adanya pertapa-pertapa misterius yang sudah sangat tua tinggal di pulau itu. Begitu misteriusnya, sampai tidak ada seorang pun yang pernah melihat mereka langsung, apalagi mengetahui
cara para pertapa itu beribadah kepada Tuhan.
Tergerak oleh rasa kasihan jika para pertapa
itu mati dalam keadaan belum bisa beribadah dengan benar, maka sang pendeta meminta kapten
kapal mengarahkan kapalnya sedekat mungkin
ke pulau itu. Dia akan mengajari mereka sebentar
cara berdoa yang benar.
Sesampainya di pulau misterius, pendeta menemukan legenda tentang para pertapa itu benar
adanya. Mereka sudah tua dan berdoa dengan
cara mereka sendiri. Sang pendeta lalu mengajarkan cara berdoa yang benar, yang dihapalkan
para pertapa tua dengan susah payah. Setelah
mereka dilihatnya bisa menghafal dengan baik,
pendeta kembali ke kapalnya dan meminta kapten
melanjutkan perjalanan.
Belum jauh kapal berlayar, tiba-tiba dari arah
pulau terdengar suara air menderu. Pendeta dan

para penumpang kapal menyaksikan para pertapa


tua mendekati kapal dengan berlari di atas laut!
Mereka minta diulangi lagi doa-doa yang baru
diajarkan pendeta. Mereka bilang karena umur
mereka yang sudah renta, sehingga mudah lupa
terhadap apa yang sudah diajarkan. Pendeta yang
takjub dan lemas melihat keajaiban itu berkata
mereka sudah tidak butuh lagi diajari cara berdoa,
bahkan mereka yang seharusnya mengajarinya
cara berdoa. Begitu yang saya ingat.
Istri saya tidak berkomentar terhadap cerita
yang saya ingat itu. Apalagi di atas panggung
acara masih terus berlanjut, dengan para cerpenis
mengelilingi sebuah peti harta karun yang dibuka
perlahan oleh sastrawan kampiun Prof. Dr. Budi
Darma. Di dalamnya ada sebuah benda seperti
kitab yang ditutupi kain hitam. Begitu kain hitam
disisihkan, terlihat sampul antologi dengan ilustrasi cerpen terbaik sebagai sampulnya, yang jatuh kepada cerpen Dodolit. Trofi kemenangan pun
diberikan kepada SGA.
Pembawa acara lalu meminta kritikus Arif B.
Prasetyo naik ke atas panggung untuk menjelaskan ihwal kemenanganDodolit. Arif memulai
uraiannya dengan mengatakan bahwa dia bukan
salah seorang juri. Dia hanya diminta panitia untuk
melakukan pembacaan terhadap 18 cerpen terpilih. Menurutnya kemenangan Dodolit. adalah
karena dengan cerita yang isinya relatif singkat
hanya sekitar 40 alinea, begitu banyak lapisan
makna yang disajikan Seno.
Selesai Arif memaparkan pembacaan, Teater
Garasi naik ke panggung membawakan repertoar
drama yang mereka olah dari Dodolit. Sungguh
sebuah karya panggung yang indah dengan tata
cahaya, kostum, dan efektifitas gerak anggota
teater yang sangat inspiratif.
Di sela-sela menikmati karya garapan Teater
Garasi inilah, istri saya baru berkomentar agak
panjang. Setelah mendengar ringkasan cerpen
Tolstoy tadi, dan melihat pertunjukan Teater Garasi
sekarang, bagi saya yang awam dengan sastra,
isi cerita Dodolit kok seperti sama dengan cerpen
Tolstoy ya? katanya.
2/
USAI kolaborasi kreatif dan menghibur dari
Sujiwo Tedjo, Dewa Budjana, dan Soimah Pancawati yang menutup perhelatan malam itu, setiap
undangan mendapatkan satu eksemplar antologi Cerpen Pilihan Kompas 2010. Namun baru

Polemik
setelah sampai di rumah, saya sempat membaca
versi lengkap Dodolit yang ditempatkan pada
urutan pertama dari 18 cerpen. Dan inilah inti kisah
yang didongengkan SGA.
Alkisah ada seorang lelaki bernama Kiplik yang
menyangsikan kebenaran sebuah dongeng lama,
bahwa orang yang doanya benar konon bisa
berjalan di atas air. Sebab dalam pengamatan
Kiplik, banyak sekali orang yang berdoa tidak
benar. Padahal jika kata-kata dalam sebuah doa
diucapkan salah, maka bukan saja maknanya bisa
berbeda, malah bisa bertentangan.
Saking seriusnya Kiplik menginginkan agar
manusia berdoa dengan benar, sehingga dia selalu mengingatkan hal itu kepada banyak orang,
yang lama-kelamaan memanggilnya Guru Kiplik.
Semakin banyak orang yang menjadi pengikutnya
dan bersedia mengikuti kemana pun Guru Kiplik
pergi.
Suatu ketika dalam perjalanannya, Guru Kiplik
sampai di sebuah danau sangat luas yang di tengahnya ada sebuah pulau terisolir. Guru Kiplik
pun mendatangi pulau itu. Ternyata ada satu kesalahan fatal para penduduk pulau yang jumlahnya
hanya 9 orang, yakni mereka berdoa dengan
cara yang salah (hal. 6). Maka Guru Kiplik pun
tergerak untuk mengajari cara berdoa yang benar.
Tetapi penduduk pulau itu selalu melakukan kesalahan berulang kali dalam menghapal doa yang ia
ajarkan, sehingga Guru Kiplik berpikir, Janganjangan setan sendirilah yang selalu menyesatkan
mereka dengan cara berdoa yang salah itu.
Namun berkat kesabaran Guru Kiplik, akhirnya
bisa juga para penduduk itu berdoa dengan cara
yang benar, sehingga Guru Kiplik memutuskan
sudah waktunya meninggalkan pulau itu dan pergi
ke tempat lain bersama para pengikutnya.
Belum jauh perahu yang membawa Guru Kiplik
pergi, awak perahu dengan terkejut memanggil
Guru Kiplik dan menunjuk ke arah pulau. Kesembilan warga yang susah menghapal doa itu yang
sedang mendekati perahu dengan berlari di atas
air sambil berteriak-teriak. Guru! Guru! Tolonglah
kembali Guru! Kami lupa lagi bagaimana cara berdoa yang benar!
Guru Kiplik terpana, matanya terkejap-kejap dan
mulutnya menganga. Mungkinkah sembilan penghuni pulau terpencil, yang baru saja diajarinya
cara berdoa yang benar itu, telah begitu benar
doanya, begitu benar dan sangat benar bagaikan
tiada lagi yang bisa lebih benar, sehingga mampu
bukan hanya berjalan, tetapi bahkan berlari-lari di
atas air? (hal. 7).
3/
USAI membaca versi lengkap karya SGA itu,
rasa penasaran saya bukannya terpuaskan,
malah semakin besar. Sehingga saya cek ulang
cerpen Leo Tolstoy (1828-1910) yang saya ingat
samar-samar saat di BBJ, melalui dua versi:
bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Dalam versi bahasa Indonesia yang saya miliki,
cerpen itu berjudul Tiga Pertapa terdapat dalam
antologi Di Mana Ada Cinta, Di Sana Tuhan
Ada (Serambi, Februari 2011) dengan penerjemah
Atta Verin dan penyunting Anton Kurnia.
Di bawah judul besar Tiga Pertapa, terbaca
alinea pertama:
Seorang uskup berlayar menuju sebuah biara
yang jauh. Pada kapal yang sama terdapat sejumlah peziarah. Mereka juga hendak mengunjungi

tempat suci. Perjalanan itu berjalan lancar. Angin


begitu kencang dan cuaca cerah.
Selanjutnya cerita mengalir dengan struktur seperti yang saya ceritakankan kepada istri saya di
BBJ.
Sebagai penutup kisah, Tolstoy menulis bahwa
ketiga pertapa yang berlari di atas air laut untuk
mengejar kapal sang uskup, berkata, Kami lupa
apa yang tadi kau ajarkan, wahai pelayan Tuhan,
kata mereka kepada uskup. Saat kami terusmenerus mengulanginya, kami ingat. Tapi saat kami
berhenti mengatakannya suatu kali, satu kata
terlupa. Kini doa itu tak bisa kami ingat lagi sedikit
pun. Ajarilah kami sekali lagi.
Uskup itu membuat tanda salib di dadanya. Lalu
ia bersandar ke tepi kapal. Doa kalian akan didengar Tuhan. Bukan aku yang harus mengajari
kalian. Berdoalah untuk kami, para pendosa ini.
(hal. 57)
4/
DALAM versi bahasa Inggris yang dimuat dalam
http://www.online-literature.com, di bawah judul
Three Hermits, Tolstoy menuliskan semacam
keterangan pengantar bahwa Ini adalah sebuah
legenda kuno yang terjadi di Distrik Volga
dilanjutkan dengan kutipan dari Surat Matius vi.
ayat 7,8.
Setelah itu baru alinea pertama yang berbunyi:
A bishop was sailing from Archangel to the
Solovetsk Monastery, and on the same vessel
were a number of pilgrims on their way to visit
the shrines at that place.The voyage was a
smooth one.The wind favorable, and the weather
fair.
Ada sedikit perbedaan antara terjemahan
dalam bahasa Inggris yang jelas menyebutkan
nama biara Solovetsk sebagai tujuan pelayaran
sang uskup, dengan versi bahasa Indonesia yang
hanya menyebutkan biara yang jauh, tanpa
menyebutkan nama biara secara spesifik. Tetapi
perbedaan ini bukan hal besar yang mengurangi
kedalaman isi cerita, sehingga bisa diabaikan.
Sedangkan untuk penutup cerita, terjemahan
Atta Verin praktis sama dengan yang terbaca
dalam versi bahasa Inggris.
5/
BAGI saya kini ada dua pertanyaan yang muncul. Pertama, bagaimana menempatkan Dodolit
Dodolit Dodolibret terhadap Three Hermits yang
dipublikasikan Tolstoy untuk pertama kalinya di
tahun 1886 dengan adanya kemiripan struktur
cerita seperti itu?
Memang pada akhir cerpennya, SGA sudah
memasang semacam takrif (disclaimer) bahwa: Cerita ini hanyalah versi penulis atas berbagai cerita serupa, dengan latar belakang berbagai agama di muka bumi.
Arif B. Prasetyo menulis dalam epilog yang diberi
judul Pelajaran dari Guru Kiplik bahwa: Pada lapisan pertama kisah Kiplik dapat dimaknai sebagai parabel religius yang mengabarkan pesan
bahwa syariat tidak menggaransi tercapainya
makrifat Kita bisa membayangkan Kiplik sebagai
rohaniwan ortodoks yang berpegang teguh pada
aturan baku agama, sosok ahli agama yang memandang segala penyimpangan atau ketidaksesuaian dengan aturan formal religi sebagai kesesatan, tapi kurang menghayati hakikat religius
yang dinapasi penyerahan diri kepada Tuhan.

djoernal sastra

boemipoetra 3
Edisi Januari-Juli 2011

(hal. 180).
Berbeda dengan SGA, Tolstoy sejak awal
sudah secara afirmatif memasang takrif bahwa
kisah Three Hermits berasal dari legenda yang
berakar di masyarakat Volga, sebuah kawasan
historis yang pernah berjuluk main streets of
Rusia. Dus karena itu kisah ini lebih bertabur
pada konsep Trinitas dalam ajaran Kristen dengan
seluruh ekspresi teologinya, dan bukan dipinjam
dari khasanah agama-agama lain.
Ada dua konsekuensi yang mengikuti
perbedaan takrif SGA dan Tolstoy itu, yakni jika
takrif SGA valid, makaDodolit sama sekali tidak
mengacu secara eksklusif kepada Three Hermits.
Bahkan kisah Tolstoy pun ada kemungkinan juga
menginduk pada, meminjam istilah SGA, berbagai
cerita serupa dengan latar belakang berbagai
agama di muka bumi,
Konsekuensi kedua adalah jika takrif SGA tak
valid setelah ditelaah secara kritis, benarkah Dodolit sama sekali tak terpengaruh Three
Hermits secara telak, untuk tak menyebutnya
sebagai bentuk adaptasi langsung terhadap karya
Tolstoy itu? Mengapa SGA, umpamanya, tak
langsung memasang takrif: Cerita ini adalah
adaptasi dari Three Hermits karya Leo Tolstoy?
Sebab jika Dodolit (2009-2010) dan Three
Hermits (1886) yang berselang umur lebih dari
satu abad itu dibandingkan struktur penceritaan
dan elemen-elemen kisahnya, saya temukan paling sedikit adanya 8 (delapan) kesamaan besar
sebagai berikut:
1. Fokus cerita tentang seorang pemuka agama
yang resah melihat cara berdoa masyarakat umum
yang salah. (Guru Kiplik versi SGA, dan Uskup
versi Tolstoy).
2. Sang pemuka agama pergi ke sebuah pulau.
(Berlokasi di tengah danau luas versi SGA,
berlokasi di tengah lautan luas versi Tolstoy).
3. Pemuka agama datang untuk membenahi
cara berdoa warga pulau yang keliru. (Berjumlah
9 penduduk versi SGA, berjumlah tiga pertapa
versi Tolstoy).
4. Meski sudah berulang kali diajarkan, seluruh
warga pulau kesulitan mempraktekkan doa yang
benar. (Tak ada perbedaan antara versi SGA dan
Tolstoy. Perbedaan hanya menyangkut
redaksional dialog antara Guru Kiplik/Uskup
dengan warga pulau)
5. Akhirnya setelah warga mampu berdoa
seperti diinginkan Guru Kiplik/Uskup, pemuka
agama tersebut meninggalkan pulau terpencil
dengan perasaan bahagia karena warga sudah
bisa berdoa dengan benar.
6. Tapi kemudian Guru Kiplik/Uskup terkejut
ketika melihat melihat para warga itu mengejar
perahu/kapal mereka dengan berlari di atas air.
7. Mereka minta diajarkan lagi bagaimana cara
menghafal doa-doa yang sudah diajarkan Guru
Kiplik/Uskup
8. Kedua pemuka agama itu lalu berubah pikiran,
jangan-jangan cara berdoa warga pulau yang
mereka kira salah, sebetulnya yang lebih benar
dibandingkan cara berdoa mereka selama ini
(terlintas dalam pikiran Guru Kiplik versi SGA, dan
diucapkan dalam kalimat langsung oleh sang
Uskup versi Tolstoy).
6/
PERTANYAAN kedua adalah meminjam gaya
ungkap Arif B. Prasetyo dengan cerita yang

djoernal sastra

boemipoetra 4
Edisi Januari-Juli 2011

Polemik

isinya relatif singkat hanya sekitar 40 alinea, begitu banyak kesamaan disajikan Seno, apakah Dodolit tidak kehilangan kredibilitasnya
sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2010?
Sebab sependek pembacaan saya, SGA hanya
menyisakan sedikit improvisasi detil cerita yang
tidak begitu relevan dalam Dodolit. Contoh paling
terang adalah menyangkut jumlah penduduk pulau
terpencil. Tak jelas bagi saya mengapa jumlah
penghuni pulau Dodolit hanya 9 orang, dan tidak
digenapkan menjadi 10 orang? Atau bahkan
dikurangi 8 orang? Padahal berapa pun jumlah
penduduk pulau terpencil itu sepanjang mereka
bisa berlari di atas air mengejar perahu Guru Kiplik,
peristiwa inilah yang menjadi titik balik cara
pandang Guru Kiplik, bukan?
Bandingkan dengan jumlah warga dalam Three
Hermits yang harus tiga pertapa tak bisa dikutak-

katik sedikit pun. Entah mau dijadikan 4 orang atau


2 orang. Sebab jumlah 3 pertapa itu sangat berkaitan dengan cara berdoa mereka seperti
dikisahkan Tolstoy.
Tapi bagaimana cara kalian berdoa kepada
Tuhan? tanya sang uskup.
Kami berdoa seperti ini, pertapa tua itu
menjawab. Engkau ada tiga, kami ada tiga, maka
kasihanilah kami. hal. 52).
Di sini, Tolstoy menjadikan jumlah warga pulau
bukan hanya sekadar ornamen penghias cerita,
bukan pula sebagai angka penggembira, melainkan
merupakan bagian integral dari kisah relijius yang
lebih esensial dibandingkan dalam Dodolit.

kar pengaruh Three Hermits dalam memutuskan Dodolit Dodolit Dodolibret sebagai cerpen
terbaik. Sebab kalau tidak meminjam judul salah
satu cerpen dalam antologi ini Tukang Obat Itu
Mencuri Hikayatku karya Herman RN bisa saja
satu saat kelak ada warga Volga, Rusia, dan para
penggemar setia Leo Tolstoy lainnya yang dengan
getir berkata, Guru Kiplik itu mencuri hikayat kami.

7/
SEMOGA para dewan juri yang telah terbiasa
menyelami samudera sastra dunia, sudah mena-

Sumber:
http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150223628779246%29%28Dodoli

Cibubur, 28.06.11, 02.30 WIB

Sejumlah Temuan dalam Telisik Literasi


atas Polemik Plagiarisme Taufiq Ismail
Oleh Ilham Q. Moehiddin
POLEMIK perihal dugaan plagiarisme yang dilakukan
Taufik Ismail seketika merunyak akhir-akhir ini.
Polemik ini seketika menjadi hebat sebab ikut
menyeret nama penyair besar sekelas Taufiq Ismail,
yang oleh Paus Sastra Indonesia, HB. Jassin,
dikelompokkan ke dalam penyair angkatan 66.

ADA mulanya, seorang cerpenis wanita, Wa Ode Wulan Ratna,


memposting sebuah karya Douglas Malloch dalam catatan di akun
Facebook-nya. Karya Malloch yang sejatinya berjudul Be The Best
of Whatever You Are itu terposting berupa terjemahan berjudul Akar-akar
Pohon.
Tak sengaja saya membaca puisi itu, dan merasa dejavu. Serasa saya
pernah membaca atau mendengar puisi macam itu, entah dimana. Lalu
saya teringat pada programa Jika Aku Menjadi Special Ramadhan stasiun
TransTV yang ditayangkan sebelum berbuka puasa pada Ramadhan 2010.
Pada tayangan itu, aktris Asri Ivo membacakan puisi Kerendahan Hati.
Caption pada tayangan itu juga menampilkan nama Taufik Ismail sebagai
pencipta puisi tersebut.
Tanpa memuat prasangka apalagi tuduhan, sayapun ikut mem-posting
dua entitas puisi itu ke akun Facebook saya, pada 25 Februari 2011, sekadar
mengajak beberapa sastrais dan budayawan untuk berdiskusi perihal itu.
Benar saja, postingan itu memancing diskusi dan debat. Semenjak itulah,
dugaan samar ini menyebar kemana-mana. Diskusi dan polemik seputar
ini seketika menyeberang ke Twitter, dan menjadi ramai di sana.
Telisik Literasi pada Kedua Puisi
Menurut pendapat saya, akar polemik ini sungguh patut dipertanyakan.
Jika benar seperti apa yang dituduhkan orang kebanyakan pada Taufik
Ismail, maka upaya itu tidak bisa sekadar disebut meringkas, menyadur,
ataupun mentranskrip. Jika diperhatikan secara saksama, apa yang tertulis
sebagai puisi Douglas Malloch yang kemudian dituliskan sebagai milik Taufik
Ismail, tak memenuhi ketiga unsur di atas.
Jika dikatakan meringkas, maka perilaku meringkas sangat sukar dikenakan
pada entitas puisi, sebab akan otomatis melanggar licentia poetica. Apa
benar penyair besar Taufiq Ismail dengan sengaja melanggar licentia
poetica? Saya tak sepenuhnya yakin dia melakukan itu. Kemudian, jika
dikatakan menyadur, maka Taufik Ismail tak tampak sedang menyadur puisi
Douglas Malloch.
Menyadur adalah menyusun kembali cerita secara bebas tanpa merusak

garis besar cerita, biasanya dari bahasa lain. Menyadur juga diartikan
sebagai mengolah (hasil penelitian, laporan, dsb.) atau mengikhtisarkan
(Kamus Besar Bahasa Indonesia 2002: 976). Dengan demikian, menyadur
mengandung konsep menerjemahkan secara bebas dengan meringkas,
menyederhanakan, atau mengembangkan tulisan tanpa mengubah pokok
pikiran asal. Hal penting yang harus kita ketahui ialah bahwa dalam menyadur
sebuah tulisan, ternyata kita diperkenankan untuk memperbaiki bentuk
maupun bahasa karangan orang lain, misalnya dalam kasus karangan
terjemahan.
Sayangnya, penyaduran tidak bisa serta-merta diberlakukan pada puisi,
sebab ada aspek bahasa, bunyi dan makna, yang belum tentu dapat diinterpretasikan secara tepat oleh penyadur. Jika penyaduran dilakukan pada
cerpen, dan novel berbahasa asing, maka proses yang dijelaskan pada
KBBI sudah tepat. Suatu hal yang tidak boleh kita lupakan dalam menyadur
adalah dengan meminta izin, mencantumkan sumber tulisan berikut nama
penulisnya.

Polemik
Cobalah simak puisi Be The Best of Whatever You Are, karya Douglas
Malloch ini.
If you cant be a pine o the sop of the hill,
Be a scrub in the valley but be
The little scrub by the side of the hill; (1)
Be a bush if you cant be a tree
If you cant be a bush be a bit of the grass
And some highway happier make (2)
If you cant be a muskie then just be a bass
But the leveliest bass in the lake
We cant all be captains, weve got to be crew (3)
Theres something for all of us here
Theres big work to do, and theres lesser to do
And the task you must do is the near
If you cant be a highway the just be a trail (4)
If you cant be the sun, be a star
It isnt by size you win or you fail
Be the best of whatever you are (5)
Puisi Douglas Malloch ini adalah puisi berjenis kuatrain dan berada di jalur
tengah aliran kepenyairan. Douglas Malloch, dalam puisinya ini, jelas sekali
hendak mendudukkan pokok pikirannya sebagai masonic yang berkaitan
dengan kehidupannya sebagai penebang kayu, secara terurut, tanpa putus.
Artinya, jika hanya hendak menekankan pada kebaikan setiap orang untuk
menjadi yang terbaik dengan cukup menjadi dirinya sendiri, maka Douglas Malloch tak perlu menuliskannya hingga empat bait. Pesannya bisa
langsung sampai hanya dalam dua atau tiga bait saja. Inilah mengapa proses
penyaduran tidak bisa dilakukan pada puisi.
Sekarang, simaklah puisi Kerendahan Hati karya Taufik Ismail berikut.
Kalau engkau tak mampu menjadi beringin
yang tegak di puncak bukit
Jadilah belukar, tetapi belukar yang baik,
yang tumbuh di tepi danau
Kalau kamu tak sanggup menjadi belukar,
Jadilah saja rumput, tetapi rumput yang
memperkuat tanggul pinggiran jalan
Kalau engkau tak mampu menjadi jalan raya
Jadilah saja jalan kecil,
Tetapi jalan setapak yang
membawa orang ke mata air
Tidaklah semua menjadi kapten
tentu harus ada awak kapalnya
Bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi
rendahnya nilai dirimu
Jadilah saja dirimu.
Sebaik-baiknya dari dirimu sendiri
Pada terminologi penyaduran, bentuk reposisi dan pengembangan masih
diperbolehkan. Tetapi jika diperhatikan lebih saksama (terutama pada lariklarik yang dimiringkan) tampak sekali beberapa larik sengaja dihilangkan,
dan, atau menggantinya dengan larik berbeda.
Ada dua larik pada puisi Douglas Malloch yang hilang, yakni; If you cant
be a muskie then just be a bass/ But the leveliest bass in the lake//
Lalu, berganti dengan larik berbeda pada puisi Taufik Ismail, yakni; Tetapi
jalan setapak yang/ membawa orang ke mata air//
Apakah penghilangan dan penggantian ini disengaja? Jika melihat terjemahan dua larik puisi Douglas Malloch, dan membaca dua larik baru pada
puisi Taufik Ismail, maka jelas sekali bahwa penggantian tersebut disengaja.
Pengubahan, atau penggantian ini dari sisi licentia poetica seharusnya
tidak boleh terjadi, sebab telah mengubah makna dan bunyi puisi Douglas
Malloch. Inikah yang disebut penyaduran?
Pertanyaan ini dijawab dengan tuntas oleh Gorys Keraf. Sebuah bentuk
ringkasan dari sebuah tulisan hendaknya tetap menekankan sisi konsistensi akan sebuah urut-urutan sesuai dengan ide atau gagasan pengarang.
Begitu halnya saat kita menyadur, hal tersebut juga berlakutetap mempertahankan ide dari naskah asli. Tegas Keraf dalam buku Komposisi

djoernal sastra

boemipoetra 5
Edisi Januari-Juli 2011

(1984:262, Flores. Penerbit Nusa Indah).


Yang Luput dari Taufik Ismail.
Menarik disimak, adalah dua larik yang tadi telah dibahas di atas, yang
entah mengapa luput oleh Taufik Ismail dimasukkan ke dalam puisinya. Dua
larik itu adalah; If you cant be a muskie then just be a bass/ But the
leveliest bass in the lake//
Sebagai satu kesatuan dari bunyi dan makna yang dikatakan Keraf,
maka dua larik yang luput itu seharusnya tetap ada untuk mengikat dua larik
sebelumnya; If you cant be a bush be a bit of the grass/ And some
highway happier make//
Lemah dugaan saya, bahwa Taufik Ismail tidak mengetahui persis makna
kata muskie dan bass dalam dua larik puisi Douglas Malloch itu.
Dua kata dalam larik puisi Douglas Malloch itu memang tidak ditemukan
dalam dalam kamus besar Bahasa Inggris (The Contemporary EnglishIndonesian Dictionary, Drs. Peter Salim, M.A.). Rasa penasaran pada
kata lake (danau), yang membawa saya pada dua jenis ikan yang berhabitat
di danau primer dan sepanjang sungai besar di Amerika Serikat.
Musky adalah sejenis ikan besar, yang masih satu genus dengan Arwana
dari Amazon. Muskie adalah nama dalam bahasa pasar masyarakat setempat,
untuk ikan Musky, yang hidup di danau-danau di Minnesota. Sedang Bass
adalah nama setempat untuk ikan smallmouth (salmon). Ikan dengan ukuran
tubuhnya jauh lebih kecil dari ikan Muskie. Habitatnya di sungai-sungai
primer di Amerika Utara. Itulah mengapa kata Muskie dan Bass tidak terdapat
di dalam kamus.
Sehingga untuk mengisi kekosongan dua larik yang terlanjur menggantung
pada satu bait tersebut, Taufik Ismail kemudian menggantinya dengan; Tetapi
jalan setapak yang/ membawa orang ke mata air//
Jika merujuk pada Keraf, maka penggantian ini jelas sekali telah mengubah
secara drastis ide dan gagasan pengarang. Artinya, paham atau tidaknya
Taufik Ismail pada dua kata tersebut, tidak dapat dijadikannya alasan untuk
mengganti dua larik pada puisi Douglas Malloch dengan dua larik baru.
Maka, terang saja, Taufik Ismail tidak saja gagal menyembunyikan fakta,
bahwa dirinya tidak sekadar terinspirasi keindahan makna puisi Douglas
Malloch, sehingga tanpa sadar atau tidak terperangkap dalam bentuk plagiarisme.
Lalu, apakah ada kemungkinan penyair sekaliber Taufiq Ismail akan
melakukan hal ini? Wallahualam.
Bantahan dan Sejumlah Bukti
Keterangan Redaktur Majalah Sastra, Horison, Fadli Zon, yang juga
kemenakan Taufiq Ismail, dalam bantahan yang termuat pada PedomanNews.com, bahwa, Taufiq Ismail mengatakan padanya merasa pernah
membahas puisi itu atau menerjemahkan puisi itu dalam kegiatan SBSB atau
MMAS di sekolah-sekolah, ikut membuktikan bahwa pernah ada terjadi
persentuhan antara Taufiq Ismail dengan puisi Douglas Malloch.
Selintas keterangan Taufiq Ismail itu dapat dibuktikan pada buku Terampil
Berbahasa Indonesia Untuk SMP/MTs Kelas VIII, yang disusun oleh Dewaki
Kramadibrata, Dewi Indrawati, dan Didik Durianto yang diterbitkan Pusat
Perbukuan, Diknas RI. Pada Pelajaran 11, bagian C: Menulis Puisi Bebas
dengan Memperhatikan Unsur Persajakan; halaman 198, dengan jelas
dapat ditemukan puisi Kerendahan Hati karya Taufik Ismail.
Tidak ada keterangan sumber di bawah puisi Taufik Ismail pada halaman
tersebut. Rupanya para penyusun memasang puisi itu dan meninggalkan
sumbernya pada daftar pustaka. Artinya, keterangan soal latar belakang
dan darimana sumber yang digunakan hanya tim penyusun yang bisa
menjawabnya.
Apakah peneraan puisi Kerendahan Hati karya Taufik Ismail itu
sepengetahuan Taufiq Ismail? Ini dengan terang sudah dijawab sendiri
oleh Taufiq Ismail yang disampaikan oleh Fadli Zon, bahwa Taufiq Ismail
memang terlibat dalam kegiatan SBSB (Sastrawan Bicara Siswa Bertanya)
atau MMAS (Membaca, Menulis dan Apresiasi Sastra) di sekolah-sekolah.
Masih menurut Fadli, puisi Kerendahan Hati yang beredar, nama pengarangnya ditulis sebagai Taufik Ismail. Padahal, nama penyair itu memakai
q pada nama Taufiq-nya, bukan k. Jadi bisa jadi apa yang digunjingkan
itu salah orang. Demikian pembelaan Fadli, yang dikutip Tempo Interaktif,
Jumat 1 April 2011.
Kendati adalah penting menuliskan nama seseorang secara benar dalam
sebuah literasi (khususnya pada pemberitaan), namun agaknya Fadli Zon
tidak memeriksa dengan teliti sebelum melontarkan bantahannya. Keliru serupa
ini kerap terjadi pada tera nama Goenawan Mohamad yang sering dituliskan

djoernal sastra

boemipoetra 6
Edisi Januari-Juli 2011

Tjatatan

orang dengan Gunawan Muhammad. Kendati


dituliskan keliru, ingatan kolektif orang tetap merujuk
pada satu sosok. Apalagi, baik Goenawan Mohamad
dan Taufiq Ismail adalah dua nama besar penyair,
sastrawan dan budayawan Indonesia.
Pada puisi Kerendahan Hati yang termuat dalam
buku Diknas di atas, nama penyair itu dieja dengan
huruf akhir k. Pun pada beberapa terbitan Horison Sastra Indonesia sendiri, kerap dituliskan Ismail, Taufik, dkk (penyunting). 2011. Horison
Sastra Indonesia. Jakarta: The Ford Foundation, sebagai salah satu contohnya.
Kemudian pengejaan Taufik Ismail juga ditemukan pada kata sambutan dalam buku The Lady
Di conspiracy : Misteri Dibalik Tragedi Pont de
LAlma, karya Indra Adil, terbitan Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2007.
Artinya, dalil Fadli Zon perihal huruf akhir pada
nama penyair itu seketika patah. Sebab, apabila
karakter penulisan nama tersebut dianggap penting, tentulah hal ini telah diperhatikan benar sejak
lama. Tidak setelah polemik ini mengemuka.
Pada berita yang sama, Fadli Zon juga meng-

ungkapkan dia tak temukan puisi Kerendahan Hati


dalam empat buku karya-karya Taufiq Ismail. Salah satunya kumpulan puisi tahun 1953-2008
berjudul Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit,
(Mei, 2008) setebal 1076 halaman. Di buku itu saya
tidak menemukan puisi berjudul Kerendahan Hati,
katanya. Menurut Fadli, Taufiq Ismail juga menerjemahkan puisi 160 penyair Amerika yang dikumpulkan dalam buku Rerumputan Dedaunan dan
hingga saat ini belum diterbitkan. Dalam terjemahan
tersebut tak ada puisi Douglas Malloch.
Keterangan Fadli ini bisa saja dipercaya, namun
sebenarnya tidak berkorelasi langsung dengan isu
yang sudah terpolemik. Buku kumpulan puisi MBML
itu terbit pada 2008, sementara itu buku Terampil
Berbahasa Indonesia itu terbit pada tahun yang
sama. Sedang pada 2009, puisi itu masih sempat
dibacakan pada programa Jika Aku Menjadi Special Ramadhan 2010 di TransTV. Program MMAS
dan SBSB yang dimana Taufiq Ismail dan Majalah
Horison terlibat langsung sudah dilaksanakan sejak
tahun 1998 hingga 2008. Bahkan beberapa puisi
Kerendahan Hati karya Taufik Ismail sudah

Sastra Indonesia Mutakhir:


Kritik dan Keberagaman
Oleh Katrin Bandel
Apa kritik sastra itu? Menurut Budi Darma dalam makalahnya untuk TSI
III ini semua pendapat mengenai sastra pada hakikatnya adalah kritik
sastra. Saya kurang sepakat dengan definisi yang dikemukakan Budi
Darma tersebut. Sebuah komentar sepintas tentang menarik atau
tidaknya sebuah karya sastra yang sudah kita baca bukanlah kritik
sastra. Komentar pendek di sampul buku, misalnya, juga bukan sebuah
kritik sastra, meski ditulis oleh orang yang dianggap kritikus sastra
sekalipun.

ENURUT pandangan saya, syarat minimal yang harus dipenuhi agar sebuah pembahasan
dapat disebut kritik sastra adalah mesti ada elaborasi yang menjelaskan mengapa penulisnya
sampai pada penilaian tertentu. Artinya, agar layak disebut kritik sastra, sebuah tulisan
tidak boleh berhenti pada asumsi tentang, misalnya, baik atau buruknya sebuah karya sastra, tentang
terobosan baru yang konon dicapai dalam karya tententu, tentang berhasilnya sastrawan tertentu,
tentang kecenderungan tertentu dalam dunia sastra secara umum, dsb. Seorang kritikus sastra tidak
boleh hanya berasumsi, tapi harus bisa menjelaskan bagaimana dia sampai pada pendapat tersebut.
Kalau sebuah tulisan dinilai bermutu, harus dijelaskan di mana kelebihannya, kalau dianggap terobosan
baru, harus dijelaskan tepatnya apa terobosan tersebut dan dibuktikan bahwa memang ada sesuatu
yang baru di situ, dst.
Di samping itu, sebagai pekerja intelektual seorang kritikus sastra tidak mungkin bekerja tanpa
pengetahuan tertentu yang memberinya kemampuan bersikap kritis. Tanpa pengetahuan dasar tentang
sejarah sastra (Indonesia) dan tentang teori sastra, seseorang tidak akan layak disebut kritikus
sastra.
***
Saya sepakat dengan Budi Darma bahwa sastrawan sangat tergantung pada segala bentuk
pembahasan dan apresiasi terhadap karya mereka (meskipun saya tidak sepakat bahwa semua
pembahasan dan apresiasi itu merupakan kritik sastra). Segala macam teks seputar sastra, dari eseiesei di jurnal akedemis hingga resensi di koran atau komentar di sampul buku, sangat besar perannya
dalam menentukan sejauh mana sebuah karya berhasil menarik perhatian khalayak dan dalam
mengarahkan pembacaan.
Teks-teks seputar sastra Indonesia semacam itu diproduksi terutama oleh sastrawan Indonesia
sendiri, oleh akademisi di fakultas-fakultas sastra, dan oleh kaum indonesianis di luar negeri. Dalam
tulisan di bawah ini saya akan secara singkat menyoroti apa peran dan pengaruh jenis pembahasan
sastra tersebut, dan bagaimana relasi kekuasaan antara ketiga kalangan itu.
Dunia sastra Indonesia sendiri dan dunia akademis (fakultas sastra) relatif terpisah satu sama lain,
masing-masing memiliki ruangnya sendiri. Menurut pengalaman saya, akademisi relatif jarang ber-

terposting di beberapa blog sejak 2006.


Sejumlah sinyalemen ini secara tidak langsung
membentuk premis terhadap kehadiran karya
tersebut dalam kurun waktu 1998 hingga 2008.
Dari telisik literasi ini, kini, siapapun boleh menarik kesimpulan masing-masing, perihal polemik
pada entitas puisi karya Douglas Mulloch itu. Telisik
literasi ini tidak hendak mencuatkan sebuah masalah yang selama ini kerap merisaukan kalangan
sastrawan; plagiarisme
Telisik literasi inipun tidak dalam posisi
menuduh siapapun telah melakukan plagiat.
Bahwa sebagai telisik literasi, ada baiknya ini
dijadikan pembelajaran pada masa selanjutnya,
bahwa penghargaan atas sebuah karya sastra/
literasi sebaiknya memang diberikan pada sosok
pengkaryanya. Demikian. ***
Sumber:
http://www.facebook.com/notes/ilham-qmoehiddin/sejumlah-temuan-dalam-telisikliterasi-atas-polemik-plagiarisme-karyamalloch/10150202690620757

partisipasi dalam acara-acara sastra non-akademis di luar kampus. Sastrawan pun jarang
menghadiri acara akademis. Media tempat menerbitkan tulisan dan bertukar pendapat pun berbeda.
Jurnal-jurnal akademis yang menjadi wadah publikasi tulisan para dosen, sejauh yang saya ketahui hampir tidak pernah dikonsumsi oleh kalangan
sastrawan. Media non-akademis yang menjadi
tempat wacana seputar sastra berlangsung, yaitu
koran, majalah sastra, media internet dsb, kadangkadang memuat tulisan akademisi, tapi dalam jumlah yang relatif terbatas.
Tentu saja selalu ada individu yang melintas
antara dua dunia yang relatif terpisah satu sama
lain itu. Sejumlah sastrawan sekaligus menjadi
dosen sastra. Di antara dosen lain (non-sastrawan) pun ada yang aktif melibatkan diri di dunia
sastra di luar kampus. Namun tetap saja tampaknya mayoritas dosen sastra hanya aktif sebatas
di dunia akademis.
Di samping itu, kemungkinan untuk melintas dari
dunia akademis ke dunia non-akademis dan sebaliknya tidak sepenuhnya terbuka dan tidak
setara. Dunia akademis bersifat relatif lebih tertutup. Misalnya, acara-acara sastra yang nonakademis umumnya terbuka untuk umum dan gratis. Namun acara akademis, terutama acara formal seperti seminar atau konferensi, sering hanya
dapat dihadiri kalangan terbatas dan dipungut
biaya yang kerapkali cukup tinggi.
Adanya hierarki antara acara akademis dan
acara biasa (non-akademis) tersebut mungkin
berdasar pada asumsi bahwa akademisi memiliki
keahlian khusus dalam membahas sastra sehingga acara akademis mempunyai keistimewaan
yang memang pantas dibayar mahal, dan terlalu
sulit dan canggih untuk diikuti orang awam. Atau
dengan kata lain, akademisi dianggap sebagai
pekerja intelektual yang sudah memenuhi syaratsyarat seputar kemampuan menulis dan pengetahuan khusus yang membuatnya layak disebut
kritikus.
Sebagai orang yang biasa menghadiri kedua
jenis acara tersebut, selama ini saya sama sekali
tidak melihat bahwa keistimewaan semacam itu
memang terwujud. Contohnya, kalau saya mem-

Tjatatan
bandingkan acara Temu Sastrawan Indonesia II
di Bangka (2009) dengan acara HISKI 2010 di
Surabaya (kebetulan kedua acara itu saya hadiri),
justru tampak ketimpangan yang sebaliknya antara
dua acara tersebut. Dibandingkan dengan HISKI,
acara TSI II menurut penilaian saya jauh lebih menarik, lebih bermutu, dengan diskusi-diskusi yang
lebih intens dan bermanfaat. Padahal untuk menghadiri HISKI peserta harus mengeluarkan biaya
tinggi, sedangkan TSI II gratis.
Ketimpangan yang serupa tampak apabila kita
membandingkan tulisan di jurnal akademis dengan
tulisan di media lain. Sejauh yang saya amati,
tulisan di jurnal-jurnal akademis sering justru bermutu lebih rendah daripada tulisan di koran, di
majalah sastra atau di website sastra. Memang
terkadang tulisan akademis pada pandangan
pertama terkesan lebih serius karena menggunakan istilah-istilah yang tidak dikenal orang
awam, mengutip buku-buku teori dan memakai
struktur tulisan yang khas. Tapi tidak jarang semua
itu bersifat superfisial saja, alias hanya tempelan.
Namun meskipun adanya ketimpangan-ketimpangan semacam itu, akademisi tidak jarang mengambil peran penting dalam melegitimasikan dan
mempromosikan karya sastra tertentu. Misalnya,
kata pengantar atau komentar di sampul buku seakan-akan lebih absah apabila ditulis oleh seorang
akademisi gelar dan kedudukan penulisannya,
dan kadang-kadang gaya tulis dan pilihan katanya,
memberi kesan ilmiah dan bergengsi. Apalagi
asumsi bahwa kerja ilmiah adalah kegiatan yang
objektif, berjarak dan tidak politis (tanpa kepentingan), masih cukup kuat. Kalau respon sesama
sastrawan terhadap karya rekannya diyakini bisa
saja dipengaruhi kedekatan atau permusuhan
pribadi, persaingan dsb, komentar dan pendapat
akademisi diasumsikan dengan sendirinya bebas
dari semua itu akademisi dibayangkan mengabdi
hanya pada ilmunya.
Maka tampak dengan jelas bahwa hubungan
antara dunia sastra (non-akademis) dan dunia
akademis tidak bebas dari hierarki dan relasi kekuasaan yang timpang.
Masih ada kelompok lain yang memberi perhatian
pada sastra Indonesia dan memproduksi teks yang
merespon dan membahas sastra Indonesia: para
peneliti asing (indonesianis). Tulisan yang mereka
produksi umumnya diterbitkan dalam bahasa Inggris
atau bahasa asing lainnya di jurnal-jurnal asing/
internasional atau berbentuk buku yang juga
diterbitkan di luar Indonesia. Kendala penguasaan
bahasa Inggris yang terbatas di kalangan sastrawan
dan pengamat sastra Indonesia dan sulitnya akses
terhadap buku dan jurnal asing membuat teks-teks
tersebut tidak mungkin diresepsi secara luas di Indonesia. Meskipun mungkin saja secara individual
sebagian indonesianis tidak bermaksud demikian,
pada dasarnya harus diakui bahwa tulisan-tulisan
indonesianis tentang sastra Indonesia bukanlah
sebuah usaha untuk membangun dialog dengan
sastrawan dan pengamat sastra Indonesia, tapi
bagian dari sebuah wacana tentang Indonesia antar
indonesianis sendiri.
Relasi yang hierarkis antara dunia para indonesianis dan dunia sastra maupun dunia akademis
Indonesia tampak dengan sangat jelas. Bagi sastrawan Indonesia, diteliti dan dibahas oleh peneliti
asing umumnya merupakan kebanggaan tersendiri meskipun, mirisnya, tidak jarang hasil penelitian tersebut kemudian tidak dapat dibaca oleh

yang diteliti (disebabkan oleh kendala bahasa).


Bagi akademisi Indonesia, publikasi tulisan dalam
jurnal asing jelas menjadi prestasi yang dihargai
jauh lebih tinggi daripada tulisan dalam jurnal
akademis Indonesia. Hal yang sama tidak berlaku
sebaliknya: Bagi indonesianis, menulis dalam jurnal
akademis Indonesia atau dalam media lain di Indonesia bukan prestasi istimewa.
Berikut sebuah anekdot kecil sebagai ilustrasi
relasi kekuasaan yang timpang tersebut: Beberapa tahun yang lalu saya berpartisipasi sebagai
pembicara dalam sebuah seminar akademis di
Semarang. Saat sedang menyelesaikan administrasi dan mengambil honorarium setelah acara
berakhir, saya menyampaikan sedikit unek-unek
pada panitia: Mengapa dalam program seminar
nama saya diberi keterangan Jerman dalam kurung, sedangkan nama pembicara lain dilengkapi
dengan nama universitas tempat mereka mengajar? Bukankah agar seragam, seharusnya keterangan di belakang nama saya berbunyi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta? Mengapa
keterangannya malah Jerman? Diberi pertanyaan seperti itu, dengan polos perempuan muda
yang menjadi panitia tersebut menjawab: Kan
lebih keren, Mbak.
Kita telah melihat bahwa jelas sekali terdapat
hubungan yang hierarkis antara tiga jenis wacana
seputar sastra Indonesia di atas. Kemungkinan
bagi individu untuk melintas antara tiga dunia
tersebut pun terbatas. Hal itu menurut penilaian
saya cukup merugikan. Kerja akademis baik di
dalam maupun di luar negeri - tidak berhasil memberi kontribusi yang berarti dan menjadi stimulasi
bagi dinamika pertumbuhan sastra Indonesia.
Apa yang menyebabkan semua itu? Akan terlalu sederhana dan tidak adil kalau tanggung jawab
atas kemandegan dunia akademis (terutama dunia
akademis Indonesia) dan hierarki yang tidak sehat
itu kita bebankan pada para akademisi secara
perseorangan, misalnya dengan mengeluh betapa banyak dosen sastra kurang giat mengembangkan diri dan bersikap terlalu eksklusif, atau
betapa para indonesianis jarang mau menulis dan
berpublikasi dalam bahasa Indonesia. Akar persoalan adalah wacana-wacana yang lebih luas,
misalnya wacana seputar ilmu pengetahuan yang
konon objektif dan berjarak, tentang gelar dan
status akademis sebagai gengsi dan bisa dibanggakan, dsb. Relasi kekuasaan global pun sangat
jelas punya pengaruh yang besar, terutama dalam
membentuk hubungan antara indonesianis dan
dunia sastra Indonesia.
Di samping itu, sistem akademis sendiri memang
tampak kurang menguntungkan bagi perkembangan
kritik sastra. Demi kemajuan karirnya dan kenaikan
jabatan dan gaji, di Indonesia seorang dosen harus
mengumpulkan nilai kum. Itu berarti bahwa dosen
sebaiknya menulis di media-media yang diakui Dikti
saja (yaitu jurnal-jurnal akademis yang saya sebut
di atas), dan lebih mementingkan kuantitas daripada
kualitas tulisan. Indonesianis di luar negeri mengalami
hal serupa: yang dianggap bergengsi dan
bermanfaat untuk kemajuan karir terutama tulisantulisan yang dimuat di jurnal internasional, bukan
tulisan di media-media Indonesia.
Maka menurut pandangan saya bagi kita yang
merasa resah dan kurang puas dengan kondisi
sastra Indonesia beserta kritik sastranya, ada
dua hal yang bisa dan perlu dilakukan. Pertama,
bagaimanapun buruknya kondisi yang ada saat

djoernal sastra

boemipoetra 7
Edisi Januari-Juli 2011

ini, kita tidak terpaksa untuk tunduk kepadanya.


Misalnya, seorang dosen fakultas sastra tetap
bisa berusaha mengembangkan diri semaksimal
mungkin meskipun tidak dituntut universitas tempat dia bekerja untuk melakukannya, tetap bisa
mengikuti acara-acara sastra tanpa mempersoalkan tidak disediakannya sertifikat untuk nilai kum,
dan tetap bisa berusaha menulis dengan sebaikbaiknya meskipun tak akan menhasilkan nilai kum
yang lebih banyak daripada kalau menulis seadanya saja.
Kedua, kita perlu mengkritik dan berusaha
mengubah kondisi-kondisi yang menjadi halangan
berkembangnya hubungan yang sehat antara
sastra Indonesia dengan institusi akademis yang
seharusnya memproduksi kritik sastra yang
bermutu dan menggairahkan tersebut.
Namun di luar semua itu masih ada hal lain
yang menurut pandangan saya sangat perlu diperhatikan agar kritik sastra dapat tumbuh dengan
sehat dan bukan malah sebaliknya menjadi momok
bagi sastra Indonesia. Apabila disimak sepintas
lalu, terkesan seakan-akan dalam hubungan dunia
sastra Indonesia dengan dunia akademis, dunia
sastra sepenuhnya menjadi korban: Karena dunia
akademis terlalu eksklusif, menutup diri, dan kurang bermutu, maka sastra Indonesia tidak mendapat masukan dan stimulasi yang seharusnya.
Namun keadaan tidak sesederhana itu. Dunia
sastra Indonesia sendiri tidak bebas dari pergulatan kekuasaan. Seperti yang sudah banyak
diutarakan terutama oleh Saut Situmorang, saya
sendiri dan beberapa penulis lain, dan seperti
yang terus-menerus disuarakan dalam jurnal boemipoetra, dunia sastra Indonesia penuh dengan
permainan politik sastra. Yang paling sering kami
kritik adalah Komunitas Utan Kayu (sekarang Salihara), dengan alasan bahwa komunitas tersebut
memiliki pengaruh yang cukup besar, dan bahwa
pengaruh tersebut bersifat negatif dan menimbulkan ketidakadilan. (Hal itu tidak akan saya bahas
lebih jauh di sini karena sudah banyak dibicarakan
di tempat lain.)
Politik sastra tersebut bukan tidak terkait dengan dunia akademis. Seperti yang sudah saya
katakan di atas, akademisi seringkali berperan
dalam mempromosikan sebuah karya, dalam melegitimasi terpilihnya karya sastra tertentu dalam
sebuah lomba, dsb. Di samping itu, pilihan seorang
akademisi untuk membahas karya sastra tertentu
dan untuk tidak mengacuhkan karya lain beserta
pendapat yang diutarakannya tentang karyakarya yang dibahasnya. tidaklah bebas nilai, tapi
bersifat politis dan dipengaruhi oleh pertarungan
politik sastra yang sedang berlangsung.
Menurut pandangan saya, saat ini kondisi wacana seputar sastra Indonesia (pembahasan dan
kritik sastra) cukup memprihatinkan. Kritik sastra
sebagai kerja intelektual yang serius, berani dan
bertanggung jawab masih sangat langka. Sebagai
akibatnya, pembahasan dan telaah sastra yang pada
dasarnya tidak layak disebut kritik sastra yang
bermutu, tetap memiliki pengaruh yang cukup besar.
Budi Darma dalam makalahnya menduga
bahwa mungkin kurang berkembangnya kritik
sastra di Indonesia selama beberapa dekade ini
disebabkan oleh kurangnya karya sastra yang
menarik dibahas. Artinya, menurut Budi Darma
kritik sastra hanya dikambinghitamkan sebetulnya sastra sendiri yang kurang maju. Mana
mungkin kritikus mau bergerak manakala objek

djoernal sastra

boemipoetra 8
Edisi Januari-Juli 2011

Tjatatan

yang dihadapinya tidak menggerakkan hatinya?,


tanyanya. Saya tidak sependapat. Menurut pandangan saya, tugas kritikus sastra bukan sekadar
memuji karya yang dianggap bagus atau menggerakkan hati. Justru kalau memang perkembangan dunia sastra dianggap kurang sehat, tugas
kritikuslah untuk menganalisis apa kendalanya.
Di samping itu, menurut penilaian saya justru
sangat banyak karya sastra Indonesia yang sangat menarik, tapi ternyata tidak mendapat perhatian dari kritikus. Apa yang kurang menggerakan hati pada puisi Nur Wahida Idris, TS Pinang,

Saut Situmorang dan Aslan Abidin, atau pada


prosa Clara Ng dan Maria Bo Niok untuk sekadar
menyebut beberapa nama? Tapi selama ini hampir
tidak ada yang memperhatikan karya mereka. Dan
apakah karya penulis seperti Ayu Utami atau Goenawan Mohamad yang relatif lebih sering dibicarakan (dan dipuji), memang lebih bermutu dan
menarik? Ataukah ada alasan lain mengapa karya
itu yang dipilih untuk dibahas (dan dipuji)?
***
Bagi saya, menyehatnya kritik sastra Indonesia tidak dapat dibayangkan tanpa lebih dahulu

mengakui adanya relasi-relasi kekuasaan yang


timpang beserta sistem dunia akademis yang
kurang menguntungkan seperti yang sudah saya
bicarakan di atas, juga tanpa mengakui pengaruh
politik sastra dalam setiap kerja penulisan seputar
sastra Indonesia.***

*Katrin Bandel, kritikus sastra,


tinggal di Yogyakarta
**Makalah untuk Temu Sastrawan Indonesia
III, Tanjungpinang, 2010

Kritik Atas Coreng-morengnya TSI III


dan Harapan Buat TSI IV
TSI III (Temu Sastrawan Indonesia III) yang bertajuk Sastra Indonesia
Mutakhir: Kritik dan Keragaman telah terlaksana di Tanjungpinang,
Kepulauan Riau, pada tanggal 28 hingga 31 Oktober 2010 lalu. Selepas
terselenggaranya acara, patutlah pihak-pihak yang terlibat di dalamnya
serta yang tidak terlibat namun berminat terhadapnya, mengajukan
pertanyaan perihal pencapaian maksud dan tujuan dari TSI III tersebut.

DAPUN maksud dari TSI III yang baru saja


dilaksanakan itu adalah mengapresiasi
dan mendiskusikan secara mendalam perkembangan Sastra Indonesia mutakhir. Sedangkan tujuan TSI III tak lain dari: menghimpun pemikiran-pemikiran ilmiah tentang sastra Indonesia
mutakhir, baik dari kalangan akademis maupun
kalangan pesastra, serta memunculkan kegairahan masyarakat sastra Indonesia (khususnya
di Tanjungpinang) dan mendorong terjadinya penciptaan-penciptaan baru.
Dalam sebuah situs beralamat Britannews.com
tanggal 31 Oktober 2010, Edward Mushalli selaku
Ketua Panitia TSI III menyatakan harapan atas
terselenggaranya TSI III. Mudah-mudahan hasil
rembug kerja Temu Sastrawan Indonesia yang
ke 3 ini memberikan hikmah dan manfaatnya bagi
perkembangan Sastra Indonesia dan budaya di
Kepulauan Riau ini khususnya.
Tak jauh beda dengan maksud dan tujuan diadakannya TSI III, Suryatati A. Manan selaku
walikota Tanjung Pinang dalam Hileud.com tanggal 30 Oktober 2010 menyatakan harapan akan
dihasilkannya pemikiran, rumusan, dan rekomendasi fundamental untuk tumbuh kembang sastra
mutakhir; munculnya sastrawan muda untuk tumbuh kembang sastra Indonesia modern dan Tanjungpinang pada khususnya; serta adanya pelajaran berharga bagi generasi muda, para pelajar,
guru, dan masyarakat luas di Kota Tanjungpinang.
Harapan Edward dan Suryatati serta maksud
dan tujuan TSI III tersebut di atas bisa jadi tidak
tercapai. Mengapa? Karena sebagai sebuah acara, TSI III dinilai beberapa pihak tak berorientasi
jelas. Sementara TSI III itu bermaksud mengapresiasi dan mendiskusikan secara mendalam perkembangan sastra Indonesia mutakhir, pelaksaan acara diskusinya tak berjalan dengan efektif
dan secara keseluruhan malah dianggap lebih
banyak didominasi acara seremonial. Selaku pembicara dalam sebuah sesi ceramah, Katrin Bandel
dalam menanggapi tulisan dinding Y. Thendra

B.P.[1]di grup facebook TSI III menyiratkan diskusi


tidak berjalan intens dan serius di TSI III, Yang
seharusnya terjadi pada acara semacam itu adalah interaksi intens antarpeserta (terutama sastrawan) dan diskusi serius seputar sastra. Untuk itulah peserta repot2 datang dari seluruh Indonesia. (dipasang pada tanggal 25 November
2010 pukul 19:15).
Secara umum, Thendra selaku peserta memang
menilai waktu diskusi yang diberikan sangat
singkat. Diskusi kok kayak ceramah, celetuk
Thendra. Waktu bagi pembicara untuk menyampaikan makalahnya juga dibatasi. Penyampaian
materi yang singkat saat Putu Wijaya dan Nanang
Suryadi menjadi pembicara diambilnya sebagai
contoh. Keluhan atas jalannya diskusi tak hanya
itu. Katrin menulis, Sesi tanya jawab tidak selalu
ada. Tidak adanya waktu untuk tanya jawab ini
menurut Thendra menyebabkan tidak terjadi dialog dalam TSI III. Kesempatan untuk berdiskusi
di luar diskusi resmi pun kurang dan suasana
tidak mendukung, tulis Katrin dalam komentarnya
di facebook. Acara lain selain diskusi pun dinilai
demikian. Hal ini tidak dibaca Isbedy Stiawan Z.
S., peserta TSI III yang lain. Menurut Isbedy, diskusi
telah berjalan dengan baik.
Masih berhubungan dengan diskusi, Afrizal Malna selaku salah seorang pembicara TSI III berkomentar soal materi para pembicara di acara tersebut. Menurut Afrizal, para pembicara tampak
tak punya waktu untuk riset dalam menulis makalah sehingga makalah yang ditampilkan tidak
mendalam dan tidak memiliki ide baru. Hal ini dikontraskan Afrizal dengan honor para pembicara
yang besar.
Tarmizi dari Rumahhitam yang adalah peserta
TSI III menilai sasaran acara diskusi di TSI III kurang
terkonsep. Meski judulnya Temu Sastrawan Indonesia, dalam acara-acara diskusi banyak pula
guru yang bergabung. Tarmizi melihat maksud
baik dari diajaknya para guru tersebut, yakni untuk
menciptakan apresiasi sastra yang lebih di dunia

pendidikan. Namun, pengaturan ruang dan waktunya kurang sehingga sastrawan sendiri malah
tidak mendapat ruang diskusi yang cukup. Saya
sudah tidak berminat masuk ke dalam. Tempat
duduk saja tidak ada, ujar Tarmizi. Banyak sastrawan yang (akhirnya berkumpulred) di luar
tempat diskusi, tambahnya.
Terlepas dari maksud dan tujuan TSI III, ruang
bagi generasi muda dan perempuan dalam TSI III
pun dinilai kurang. Teman-teman muda itu dianggap kurang dapat tempat dalam acara itu baik
pentas maupun penghargaan, ujar Dea Anugrah,
seorang peserta TSI III, pada MediaSastra.com.
Kesempatan untuk menjadi pembicara yang menelaah karya dan dinamika generasi muda serta porsi
pembacaan karya bagi sastrawan muda dinilai
Thendra kurang. Menurut Saut, keterwakilan
kaum muda dan perempuan dalam Dewan Kurator pun kurang. Perempuan (dalam Dewan Kuratorred) hanya satu orang, Mezra E. Pollondou, ujarnya. Tak hanya yang muda dan perempuan, keterwakilan wilayah juga dinilai Saut kurang. Kurang-keterwakilan ini memunculkan harap dari Isbedy bagi TSI IV. Untuk TSI IV sederhana saja. Semua orang memiliki acara itu. semua
golongan, semua jenis kelamin,semua kelompok,
semua proses, ujarnya. Bagaimanapun, kritik terhadap Dewan Kurator dari salah seorang kurator
itu akhirnya menjadi pertimbangan panitia TSI IV
sehubungan dengan pembentukan Dewan
Kurator TSI IV. Tentang kurator TSI IV, kami sampaikan bahwa apa yang dibincangkan telah kami
jadikan pertimbangan dalam memilih para kurator
TSI IV dengan mempertimbangkan unsur generasi, perempuan, maupun wilayah dari 11 orang
yang telah kami pilih, tulis Dino Umahuk, panitia
TSI IV, via pesan facebook kepada reporter MediaSastra.com.
Porsi pertunjukan khas Melayu pun dianggap
terlalu mendominasi, sementara tema TSI III adalah
Sastra Indonesia Mutakhir dan bukan Sastra
Melayu. Bukan berarti kita menolak etnisitas, akan
tetapi porsinya yang tidak proposional. Masak
acara Temu Sastrawan Indonesia, yang lebih banyak ditampilkan lokalitas? ucap Thendra. Perihal
porsi Melayu yang berlebihan itu, Tarmizi melihatnya sebagai suatu kewajaran. Sebagai tuan rumah, Tanjungpinang punya misi untuk mempertegas kembali posisi Melayu di Indonesia, ucapnya.
Isbedy tak mempermasalahkan porsi Melayu yang

Tjatatan
berlebihan dalam pertunjukan seperti diungkap
Thendra. Mengomentari perihal pertunjukan, Isbedy menyatakan bahwa [p]entas pada panggung utama di Anjung Cahaya sungguh-sungguh
meriah dan disiapkan secara maksimal.
Hal yang disayangkan oleh Isbedy justru tidak
diundangnya KUK (Komunitas Utan Kayu, sekarang berganti nama menjadi Komunitas Salihara),
tak hanya pada TSI III, tapi juga sejak TSI I dan II.
Padahal sebagai warga sastra juga di Tanah Air,
KUK juga punya peran yang sama dengan lainnya, ucapnya. Tidak-diundangnya KUK itu dibantah Saut Situmorang selaku kurator TSI III. Menurut dia, Utan Kayu mendapat undangan. Mereka aja yang nggak datang, ujar Saut.
Afrizal punya pendapat berbeda soal acara TSI
III. Menurutnya TSI III malah jadi bagian dari proyek
kampanye terselubung. Menurut Afrizal terdapat
banyak foto gubernur dan bupati yang terpajang di
jalan-jalan, hotel, hingga ke ruang diskusi. Perihal
ini, Tarmizi berkomentar lain. Saya kira tidak ada
foto-foto. Cuma, (dalam, red) seremoninya memang
ada banyak pejabat Tanjungpinang, ucapnya.
Sehubungan dengan kampanye terselubung, Saut
dan Katrin pun melihat indikasinya. Namun, berbeda
dengan Afrizal, banyaknya pejabat yang membacakan puisi pada acara pertunjukan Malam Apresiasi Pentas Sastra-lah yang ditafsir keduanya
sebagai kampanye terselubung.
Soal keseluruhan acara, Tarmizi dan Isbedy
menganggap TSI III telah berhasil. Isbedy menilai
TSI III sudah berlangsung baik dan sukses. Menurut saya, terlaksana saja acara itu sudah berhasil, ucap Tarmizi. Katrin punya pendapat lain.
Acaranya memang sangat mengecewekan,
atau dengan kata lain, acaranya gagal, tulis Katrin
menyimpulkan keseluruhan acara TSI III.
Reaksi Atas Kritik
Kritik atas penyelenggaraan acara TSI III
ternyata bukan baru muncul setelah acara usai.
Kegelisahan beberapa peserta akan perhelatan
tahunan tersebut ternyata telah muncul sejak hari
kedua penyelenggaraan acara. Pada Jumat, 29
Oktober 2010, sejumlah sastrawan muda peserta
TSI III berkumpul di pinggir kolam Hotel Pelangi
Tanjungpinang, tempat TSI III diselenggarakan.
Diawali baca puisi, mereka menumpahkan kegelisahan mereka sehubungan dengan ketidak-beresan pelaksanaan TSI III.
Para sastrawan muda kembali berkumpul di
pinggir kolam Hotel Pelangi pada Sabtu malam, 30
Oktober 2010. Malam itu, bertambah banyak
sastrawan muda yang berkumpul. Lagi-lagi mereka mulai diskusi dengan baca puisi. Di tengah
diskusi, Binhad Nurrohmat tiba-tiba muncul dan
ikut mendengarkan obrolan para sastrawan muda
itu. Beberapa saat kemudian, diskusi mulai serius.
Pada pertemuan kedua mereka itu, Irianto Ibrahim
akhirnya mengusulkan untuk menyatakan ungkapan-ungkapan ketidakpuasan teman-temannya
sebagai bentuk masukan bagi TSI mendatang, TSI
IV. Setelah usulan itu, mulailah muncul poin-poin
kritik baru bagi TSI III yang belum muncul pada
malam sebelumnya. Tak berapa lama, Saut dan
Katrin juga ikut bergabung tanpa diundang sebelumnya. Mengingat Saut pun adalah salah satu
dari Dewan Kurator, para sastrawan muda itu
kemudian menyampaikan beberapa poin kritikan
untuk TSI III kepadanya. Saut kemudian menyarankan untuk mencatat poin-poin tersebut untuk

disampaikan pada para kurator dan panitia pada


Minggu pagi sebelum mereka pulang ke daerah
asal masing-masing. Salah seorang kurator bahkan sudah akan pulang jam 9 pagi. Dalam Jadwal
Kegiatan TSI III memang tidak tertera adanya acara
musyawarah, padahal Musyawarah Sastrawan
itu sebenarnya merupakan rekomendasi dari TSI
I. Ini berarti memang tak ada ruang untuk membicarakan poin-poin yang menjadi kritik para sastrawan muda itu kecuali mereka menghubungi pihakpihak yang terlibat dalam TSI III. Tidak ada pertemuan semacam musyawarah antara peserta, panitia, dan kurator mengenai TSI selanjutnya, ucap
Thendra. Ragil Sukriwul adalah orang yang mencatat poin-poin tersebut di notebook milik Thendra.
Selesai dicatat, poin-poin tersebut ditunjukkan pada semua yang hadir. Semua sepakat. Kurator
dan panitia kemudian segera dihubungi oleh beberapa peserta di pinggir kolam itu untuk membicarakan masukan bagi TSI IV pada pukul 08.00
pagi di Ruang Makan Hotel. Menjelang subuh, forum pinggir kolam itu bubar. Akibat lelah dan
ngantuk mereka yang berkumpul di pinggir kolam
itu pulang ke kamar masing-masing.
Minggu pagi yang dinanti tiba. Di Ruang Makan
Hotel Pelangi, telah hadir Thendra dan Ragil yang
mewakili sastrawan muda. Hadir pula Dewan kurator Joni Ariadinata dan Triyanto Triwikromo serta
panitia TSI IV di Ternate: Dino Umahuk dan Rudi
Fofid. Beberapa saat kemudian, muncul Bode Riswandi, Yopi Setia Umbara, Faizal Sahreza, dan Langgeng Prima A. yang juga mewakili sastrawan muda.
Joni membuka forum Minggu pagi itu. Para sastrawan muda kemudian menyatakan beberapa
poin kritikan bagi TSI III yang juga merupakan masukan bagi TSI IV. Beberapa poin itu antara lain
adalah pernyataan bahwa orientasi TSI III tidak
jelas dan tidak-adanya ruang (baik sebagai pembicara maupun pembaca karya) bagi sastrawan
muda di TSI III. Berdasar pada dua poin tersebut
para sastrawan muda itu menuntut perwakilan
dari mereka nantinya dimasukkan dalam Dewan
Kurator TSI IV.
Di tengah penyampaian kritik dan masukan yang
bisa juga disebut evaluasi itu, Dewan Kurator
dan beberapa peserta lain kemudian menyusul
hadir. Mereka adalah Tan Lioe Ie (Dewan Kurator),
Indrian Koto, Mutia Sukma, Zen Hae (Dewan
Kurator), dan Dea Anugrah. Irianto Ibrahim sempat
masuk walau tak berapa lama dia keluar dari forum. Zen Hae pun kemudian keluar dari forum.
Ada beberapa sastrawan muda yang juga ikut
bergabung pada malam Minggu namun tak hadir
pada Minggu pagi itu. Dialog antara Tim kurator,
Perwakilan Panitia TSI IV Ternate, Forum pinggir
Kolam, berkesudahan dengan bisa saling memahami apa yang kami sampaikan itu sebagai sebuah
masukan untuk kebaikan Temu Sastrawan Indonesia selanjutnya, tulis Thendra lewan pesan surel kepada wartawan MediaSastra.com.
Setelah saling pengertian itu, Abdul Kadir Ibrahim alias Akib selaku kurator sekaligus Ketua Pelaksana TSI III sekaligus Kepala Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata Kota Tanjungpinang, dipanggil untuk ikut bergabung. Begitu mengetahui poin-poin
kritikan itu, Akib, berdasar pada pernyataan Dea
dan Thendra, tampak tersinggung dan marah. Akib
menyatakan bahwa acaranya telah sukses meski
pada hari kedua dia berniat menghentikan acara
karena pada hari itu ia bentrok dengan salah
seorang kurator. Menurut Akib, Tanjungpinang te-

djoernal sastra

boemipoetra 9
Edisi Januari-Juli 2011

lah berusaha menghargai sastra maupun sastrawan, telah mengangkat sastra Indonesia. Kritik
tak semestinya dia dapat. Akib pun sempat berkata
pada Dino selaku panitia TSI IV untuk tidak mengadakan TSI IV di Ternate karena TSI III baginya
menyulitkan dan makan biaya besar namun bukan
penghargaan yang dia dapat. Menurut Thendra
dan Dea, kemarahan Akib sudah sampai pada
titik ancaman. Reaksi Akib tersebut menimbulkan
tanya pada diri Thendra. Apakah sesuatu acara
tidak boleh dipertanyakan? ungkapnya. Akib, saat
kami konfirmasi mengenai forum Minggu pagi itu,
menolak menjawab pertanyaan kami sehubungan
dengan kebenaran peristiwa tersebut. Acara
evaluasi pada Minggu pagi itu akhirnya berkesudahan pada pukul 9 karena situasi tak lagi kondusif
untuk evaluasi, serta karena beberapa kurator
sudah harus segera pulang.
Tarmizi menyatakan, memang banyak peserta
TSI III merasa tak puas dengan acara. Dia menilai
hal ini disebabkan oleh kinerja panitia yang kurang
koordinasi dan lemah dalam hal teknis. Pihak panitia
dinilai Tarmizi tak melibatkan kawan-kawan yang
memang bergelut di bidang kesenian sejak awal
pelaksanaan TSI III. Bagi Saut, banyaknya kekurangan pada TSI III itu menjadi tanggung jawab
Dewan Kurator. Bagi aku, ya, Dewan Kurator itu
lebih tinggi dari panitia, ujarnya. Oleh karena
posisinya yang paling tinggi itulah, menurut Saut,
tanggung jawab terbesar ada di pundak para
Dewan Kurator. Dewan Kurator itu sudah digaji.
Gajinya mahal, ucap Saut membandingkan kemahalan gaji itu dengan kinerja Dewan Kurator
yang menurutnya tak maksimal. Konfirmasi kepada para panitia dan kurator sehubungan dengan batas wewenang antara panitia dan kurator
serta sistem evaluasi dan pertanggung-jawaban
panitia TSI III atas acara belum dapat kami lakukan.
Joni Ariadinata dan Raudal Tanjung Banua selaku
Dewan Kurator lain menolak diwawancara soal
apapun yang berhubungan dengan TSI III. Hingga
berita ini diterbitkan, Akib selaku Dewan Kurator
dan Ketua Pelaksana TSI III juga menolak memberikan keterangan, termasuk kontak para panitia lain yang ingin kami wawancarai.
______________________________________________________________________________________________
[1] Berikut ini adalah tulisan dinding Thendra di
grup facebook TSI III pada tanggal 25 November
2010:
Usulan Dari Saut Situmorang (Kurator TSI III)
melalui SMS karena akun fesbuk doi dicekal
beberapa bulan yang lalu.
From: +6281668XXXX
Received: Nov 24, 2010 17:03
Aku usulkan Tim Kurator yg ada sekarang
DIBUBARKAN saja kerna tak berguna bagi Acara
dan Peserta! Kalok memang dirasakan perlu utk
membentuk Tim Kurator maka mereka harus dipilih
secara terbuka dan mewakili semua golongan
pengarang seperti pengarang perempuan dan
pengarang muda.
________________
Reportase bersama mediasastra.com:
Abram Widi Wibawa, Andry Cahyadi, Sita
Magfira
Sumber:
http://mediasastra.com/berita/16/01/2011/pasca_tsi_iii_kritik_dan_harapan_buat_tumbuh_kembang_tsi

djoernal sastra

boemipoetra 10
Edisi Januari-Juli 2011

Soeara

Surat Dunia Maya


Untuk Ajip Rosidi
Bung Ajip yang baik,
Tiga bulan setelah menerima surat Bung dari
Pabelan, tertanggal 5 Januari 2011, dengan tanda
tangan dan tera sketsa mungil berwarna merah
yang menggambarkan wajah Ajip Rosidi yang
sedang senyum, saya belum juga menemukan
ajakan yang pas untuk membalas.
Tak menyangka samasekali Amak Baldjun mendahului hari ini. Begitulah surat itu dibuka dengan
sebuah kabar duka tentang aktor yang penampilannya di panggung teater mempesona saya.
Semasa hidup, Amak gemar berolahraga jalan
kaki. Beberapa kali kami bertemu di Senayan, sama-sama menikmati jalan dan lari-lari kecil menjelang tenggelamnya matahari. Kabar kemalangan
mengenai Amak saya terima dari Bambang Bujono
melalui pesan singkat (SMS), yang kemudian saya
teruskan ke Ibu Empat di Pabelan dengan harapan
disampaikan kepada sang suami.
Surat Bung dari Pabelan itu bercerita pula tentang rencana Bung untuk membangun Pusat Studi
Sunda yang akan diberi nama Perpustakaan H.
Ali Sadikin. Nama itu dipilih untuk menghormati
Bang Ali yang telah banyak berbuat untuk kemajuan kebudayaan kita. Sebagai penutup, Bung
menyiratkan keadaan fisik Bung sendiri yang sudah tidak prima lagi untuk mondar-mandir PabelanBandung. Rapat Akademi Jakarta 21 Januari akan
Bung loncati, karena harus berada di Bandung
untuk menerima gelar Doktor Honoris Causa dari
Universitas Padjadjaran, persis di hari ulangtahun
Ajip Rosidi yang ke-73, tanggal 31 Januari 2011.
Bung bilang, akan terlalu lelah buat badan yang
mulai rapuh kalau sepulang dari Jakarta harus
segera pula berangkat ke Bandung. Sekarang
pun, kata Bung lagi seraya mengeluh, masih batuk-batuk sepulang menjadi saksi pernikahan
anak almarhum Edi Ekadjati. Mulai tahu dirilah,
begitu Bung menutup surat itu.
Ya, mulai tahu dirilah! Sungguh sebuah ajakan yang arif untuk diri sendiri. Dan, marilah kita
tengok perjalanan kepengarangan Bung yang sudah melampaui kurun waktu lebih dari setengah
abad, dengan jumlah judul buku atas nama Ajip
Rosidi, yang kalau dideretkan dari atas ke bawah,
agaknya lebih dari satu meter tingginya. Sebutkan
segala sisi kesusastraan dan gerakan kebudayaan Indonesia, maka Ajip Rosidi ada di tiap kata
yang diterakan. Tidak hanya di dalam dunia katakata, Bung juga sudah menancapkan tonggak dalam gerakan kesenian dan kebudayaan. Taman
Ismail Marzuki yang menghampar di tengah deruderam pertumbuhan kota yang bengis sekarang
ini, antara lain karena kesadaran yang muncul di
dalam diri Bung pada penggal kedua 1960-an.
Karena Bung dan teman-teman maka Taman ini
dibangun oleh Gubernur Ali Sadikin. Kalau tidak
para seniman kita mungkin cuma bisa luntanglantung di taman-taman kota, di warung-warung
yang dekil, atau di terminal-terminal bus yang riuhrendah dengan udara yang tercemar, dan dililit
utang di mana mereka singgah. Belum lagi kalau
diingat dari Jatiwangi, yang justru di tepi Tatar
Sunda itulah Bung jatuh-bangun mempertahankan
sastra dan budaya Sunda jangan sampai tergusur

zaman. Belasan tahun Bung mengajarkan Bahasa


Indonesia di daratan jauh, Jepang. Sesungguhnya
tak mengherankan buat saya kalau Bung memperoleh penghormatan yang begitu tinggi dari Universitas Padjadjaran, yang Bung terima dengan
sikap seorang seniman tulen. Naik ke panggung
mengenakan toga, sementara kaki cuma berhiaskan sepasang sandal. Unik, tiada duanya di dunia.
[Ketika saya bisikkan apa yang saya lihat di
panggung itu kepada istri saya di sebelah, tibatiba dari bangku depan A.D. Pirous menoleh kepada kami, menempelkan satu jari di depan bibirnya,
dan pelukis tenar itu dengan sangat sopan bilang,
Sssst] Dan Bung menyampaikan pidato penerimaan dalam bahasa Sunda di depan Rektor dan
seluruh jajaran petinggi Universitas serta sekitar
200 undangan, sesuai dengan syarat yang Bung
patok. Tidakkah Bung catat, sebuah pusat pendidikan tinggi yang terpandang telah menyerahkan
diri pada keinginan Bung! Sungguh pencapaian
yang tak pernah saya bayangkan
Namun, dalam kesempatan yang baik ini, ada
yang hendak saya utarakan. Bukan petuah, tidak
pula peringatan. Hanya satu keinginan yang hendak saya katakan dalam bahasa yang lebih halus,
sebagaimana yang Bung dapat katakan dalam
bahasa Sunda yang paling sopan. Tapi, sayang,
saya tak punya bendahara setinggi itu. Karena
itulah saya harus meminta maaf terlebih dulu sebelum Bung memutuskan untuk terus membaca surat
ini. Perkenankanlah saya membasuh tangan dan
kaki, menyeka remah yang tertinggal di bibir, menghela napas dan berkata, Mulai tahu dirilah katakata, yang maaf, saya kutip dari surat yang Bung
layangkan dari Pabelan, dari rumah Bung yang
kesekian itu. Mungkin sakit untuk menyadari, serupa menyiksa diri, barangkali, walau tak perlu
sampai harakiri, bahwa pencapaian dalam pendakian Bung yang sudah sampai di tataran yang
begitu terhormat, telah tercemar. Sudah ternoda!
Hanya lantaran hasutan seseorang, Bung telah
mengotori puncak yang telah Bung taklukkan.
Semoga Bung tidak lupa, sebagaimana saya
juga akan selalu ingat, di pagi sebelum matahari
benar-benar telah bangun, Bung [yang bernama
Ajip Rosidi] meminta saya dengan tekanan suara
menyergah [dan didengar istri saya yang belum
lepas telekungnya seraya menyiapkan teh buat
seorang tamu sebesar Ajip] untuk membatalkan
diskusi mengenai buku Asep Sambodja (sekaligus
memperingati 100 hari wafatnya), yang akan diselenggarakan hari itu oleh kelompok mejabudaya
di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.
Bung tentulah menyelami mata saya, yang dengan mulut terkatup menahan amarah bercampur
sedih. Dan di situ Bung mungkin bisa membaca
bahwa saya tidak percaya tokoh sekaliber Bung
bisa datang bagai mengamangkan pedang panjang
untuk membantai niat baik anak-anak muda yang
berhasrat membahas sebuah buku. Sebuah kitab!
Sebuah tanda peradaban! Ketakutan apa yang
yang berada di belakang pedang yang Bung genggam itu? Bung yang telah menulis segunung buku,
tiba-tiba [hanya karena hasutan Doktor Honoris
Causa Taufiq Ismail ehem pakai q ya..!] ber-

putus kata untuk membatalkan telaah untuk secuil tanda peradaban: buku yang ditulis oleh seorang sarjana yang belum lama meninggal setelah
menderita kanker. Membatalkan diskusi buku!
Kejahatan tingkat berapa ini? Bukankah itu hanya
selangkah saja ke pembakaran buah pikiran dan
penzaliman terhadap sikap seorang manusia?!
Yang muncul di bendul pintu rumah saya itu
memang cuma sebilah pedang yang abstrak, yang
mengambil bentuk ancaman yang Bung humbalangkan di depan saya, muridmu yang daif ini...
Kalau yang datang itu adalah kekuasaan dengan
sebuah front raksasa bernama front penyair Indonesia, maka yang terjadi tentu bukan cuma
pembatalan diskusi, tetapi pemberangusan, penangkapan, dan pemenjaraan terhadap mulutmulut yang lancang, yang hendak memahami
Asep dengan baik-baik, dengan hati yang lapang,
hati anak-anak muda yang ingin dibesarkan di
sebuah meja peradaban di bawah tatapan H.B.
Jassin.
Diskusi buku itu hanyalah sebuah titik dalam
rentang panjang peradaban kita. Kalau sebuah
ukuran bisa ditarik, dia hanya secercah cahaya,
barangkali. Jika ada yang beranggapan upaya
pembatalan diskusi itu merupakan noda, apakah
dia layak menerima pengampunan? Untuk penyair
sekeras dan beringas semacam Saut Situmorang
TIDAK! Dari Yogyakarta dia mengirimkan SMS:
Buat apalagi dibantu PDS, Bang? Biar yayasannya yang sampah itu mintak tolong ke Taufiq
Ismail. Jogja udah memutuskan gak mau ikut
bantu PDS sebelum pihak yayasan mintak maaf
kerna menuruti Taufiq Ismail melarang acara
diskusi buku Asep itu! Sorry, Bang.
Pesan singkat itu muncul di layar handphone
saya sebagai tanggapan terhadap permintaan
teman-teman muda yang menghendaki saya agar
memohon kepada penyair berambut gimbal dan
berewokan bak seorang pemberontak yang baru
keluar dari hutan perlawanan itu, karena ada niat
untuk, antara lain, melaksanakan lelang lukisan
dan uangnya akan disumbangkan kepada PDS
H.B. Jassin. Saut saya minta membujuk (temannya
minum, kabarnya) pelukis Agus Suwage merelakan karyanya untuk disertakan dalam lelang.
Barangkali salah dugaan saya bahwa Bung
menyerah pada permintaan busuk untuk membatalkan diskusi buku Asep Sambodja itu karena
Bung sedang berada di Jakarta. Kota yang sumpek, di mana pengendara sepeda motor boleh
naik ke trotoar menggusur pejalan kaki, dan melawan arus lalulintas pula. Jika Bung berada di Pabelan, apalagi di sawung Ibu Empat yang laris
manis sambil menatap stupa-stupa Borobudur
yang tertulis di pucuk-pucuk daun, agaknya Bung
tidak bakal hanyut dibawa lahar kedengkian untuk
membabat diskusi buku Asep Sambodja.
Bung Ajip yang baik, saya tak punya tanda
mata untuk dibawa ke Pabelan. Tapi, kalau ada
kesempatan untuk mampir lagi ke rumah Bung di
sana, izinkanlah saya memegangi tangan Bung,
sama-sama kita menatap Borobudur dan bersumpah tidak mengulangi kebengisan terhadap peradaban, sebagaimana terbaca pada arca candi
yang lehernya telah ditebas oleh mereka yang
kehilangan akal sehat. Memberangus sebuah kitab!
Salam hormatku untuk Bung dan Ibu Empat,
Martin Aleida

Sandjak
Thomas Budi Santoso
NEGERI EDST
Di negeri EDST merah putih dilipat dalam kolong
Berkibar atas aba-aba ketua rukun tetangga
Saat tujuhbelasan dan hari sejarah yang terlupa
Merahnya pucat, putihnya lesi
Darahnya kering tak disusui ibu pertiwi

djoernal sastra

boemipoetra 11
Edisi Januari-Juli 2011

Mereka sebentar-sebentar menengok ke tengah alun-alun


Seperti matador Madrid yang tak mau lengah
Hora hore esok sore
Esok dele sore tempe
Begitulah semboyannya

Kutatap peta google, membentang fatamorgana


Garuda pancasila menjelma panca warna
Seperti batu akik, mulia dipandang
Mati suri tak bernadi

Mengelilingi hamparan itu


Berjajar orang-orang berpakaian biru
Seperti satpam bertampang pramuka
Bergerak berputar membentuk lingkaran kurusetra
Mereka bernyanyi memunguti bendera yang jatuh diperbatasan
Suaranya senyaring gong keratin:
Indonesia raya, merdeka, merdeka, hiduplah Indonesia raya
Lengkap sudah warna panjinya, berkobar menggelegar
Seperti suara yang jatuh dari awan
Wow wow, wow wow
Hoo hoo, hoo hoo
Hora hore esok sore
Esok dele sore dele
Begitulah sementara semboyannya

Kulihat bendera kuning menggapai matahari


Orangnya juga kuning, bendera menyilau mata
Kencingnya tajam menusuk bumi
Konon mereka keturunan Jupiter
Ada yang bilang mereka dari gender sakit kuning
Mereka berbanjar, mengkilat seperti emas
Serentak kidung agung berdengung:
padamu negeri kami berbakti
Padamu negeri kami mengabdi
Dan hamparan manusia mulai bergerak
Hora hore esok sore
Esok dele sore tempe
Begitulah semboyannya

Di depan alun-alun menjulang angkuh gedung musyawarah ke arok


Tiba-tiba peluit panjang membersit telinga
Dan ramuan bendera bergerak ke pintu utama
Siding pripurna segera dimulai , membahas nama negeri
Mencari solusi demi citra sejagat
EDST perlu diganti, samakan visi dan misi
Mereka kaget, nafas dan semboyan telah sama
Keputusan jadi ringan
EDST jadi SDET
: sore dele esok tempe
Tambah amandemen pasal kesejahteraan rakyat
Hasil kilat kajian ulang
: esok tempe sore tempe

Di tengah alun-alun kulihat armada biru, anggun bagai laut


Benderanya biru berbinar menyentuh langit
Seperti arde, petir api lenyap ditelan bumi
Dengan gemuruh samudera mereka menyanyi:
nenek moyangku orang pelaut
Menerjang ombak tiada takut
Menempuh badai sudah biasa
Syairnya menorah benua afrika
Konon nyali itulah yang biang
Lahirnya bajak laut Somalia
Hora hore esok sore
Esok dele sore tempe
Begitulah semboyannya

Panggung ditutup, siding bubar


Dirgahayu , mereka bernyanyi
Alun-alun berdengung:
berkibrlah benderaku
Merdeka!
Kudus, 29 Mei 2011

Negeri EDST negeri seribu pulau


Negeri konon yang sarat konon
Gemah ripah loh jinawi
Hora hore esok sore

Di pelataran kanan kulihat kerumunan manusia hijau


Mirip hulk, ceria dan bersahabat
Mereka berbaris di lapangan rumput
Seperti pohon jati, kokoh menancap bumi
Alun himne padamkan gemercik suara:
satu nusa satu bangsa, satu bahasa kita
Kulihat ada bercak hitam kecil menggumpal
Seperti kerak lumut, warna lain nafi di sana
Dan sekelompok orang sibuk memolesnya
Benderanya hijau, menyala tergantung di bulan
Hora hore esok sore
Esok dele sore tempe
Begitulah semboyannya
Di samping alun-alun terbuka padang lebar
Seperti laut merah, bendera merah dimana-mana
Karapan kerbau digelar, derap gendering membahana:
garuda panca sila, akulah pendukungmu
Patriot proklamasi, sedia berkorban untukmu
Dan secarik bendera merah raksasa dibentang menyerupai tenda
Memayungi kerumunan orang di bawahnya
Sedang lainnya berjingkat kepanasan

NEGERI DOBOL
Di negeri tercinta ini
Negeri konon, negeri adiluhung
Negeri kini, adigang adigung
Bahasa persatuan diganti omong dobol
Hingga rakyatnya jadi bongol
Tadi malam televise omong dobol
Besok, koran pagi koran sore omong dobol
Kemarin politisi omong dobol
Sebelumnya wakil rakyat omong dobol
Sebelumnya setelahnya petinggi Negara omong dobol
Setelah sebelumnya ketok palu omong dobol
OMG, negeriku..
OMD. Jadinya negeriku
Tak tahan aku!
Kudus, 28 Mei 2011

Thomas Budhi Santoso, lahir di Pati 19 Nopember 1944.


Menulis puisi sejak tahun 60-an.Beberapa puisinya dimuat di
antologi puisi Masih ada Menar dan Sajak Kudus, koran Republika, Suara Pembaruan, Wawasan, dan Suara Merdeka.
Ia adalah penasehat Dewan Kesenian Kudus, dan penasehat
Keluarga Penulis KuduS. Kini tinggal di Kudus dan bekerja di
PT Djarum sebagai Direktur Produksi.

djoernal sastra

boemipoetra 12
Edisi Januari-Juli 2011

Sandjak

Jumari HS
NEGERI SAKIT
Negeri sakit
Undang-undang komat kamit
Gigitannya seperti tukang kredit
Mulut penguasa melilit
Rakyat terjepit
Inilah negeri sakit
Hukum jumpulat jempalit
Politisi di atas kursi suka berkelit
Birokrat wajahnya bengal dan sengit
Menebar walang sangit
Inilah negeri sakit
Negeri banyak penyakit
Cari makan kian sulit
Utangnya membelit
Ini negeri sakit
Kasus-kasus terungkit
Dengan rapat dilempit
Suara kebenaran rumit
Amit-amit.

DPR

DUKA LIMA SILA

Di sini,
Fraksi-fraksi berdiskusi
Saling mengkaji negeri
Suaranya benar-benar sakti
Getarannya, menggelegar seperti tsunami
: Koruptor mudah bersembunyi

Lima sila meratap duka


Satu, Tuhan dilupa dan rumah peribadatan tinggal sekumpulan
umat
Yang bersembahyang kehilangan makna doa-doa, tolerasni
bersembunyi dalam magma
Dua, humanisme merana dan matanya kabur, samar-samar
melihat
Pembunuh, pencurian dan pengkhianatan di mana-mana
Tiga, persatuan robek lalu menyebar menjelma kelompokkelompok angkuh
Yang mementingkan kepentingannya
Empat, musyawarah, rapat semakin hikmat meresap dalam
lumpur tak peduli negeri
Menangis atau rakyat sengsara dan kata-kata tinggal bualan
semata
Lima, keadilan dalam perwakilan siapapun atau apapun sudah
lenyap ditelan penguasa
Tak peduli airmata memerih bahkan sajak pun teriris

Di kursi,
Partai-partai memamerkan diri di TV
Merah, biru, kuning, dan hijau berseri
Seperti pelangi memeluk bumi
Tak peduli rakyat sulit mencari nasi
Di gedung parlemen ini,
Banyak pesulap saling beraksi
Dengan dasi menjerat leher kaum sufi
Kemeja mahal menutup hati
Di sini,
Wajah-wajah penuh janji
Dan mengencingi demokrasi!
Kudus. 2011

Lima sila meratap duka


Menyaksikan Tuhan dijauhkan, humanisme remuk, persatuan
terberai,
Musyawarah bualan kata-kata dan keadilan menangis
Lima sila meratap duka
Duka Indonesia!

RAKYAT
Kudus, Juni 2011.

Inilah negeri sakit


Negeri demit!
Kudus, 2011

BERKIBARLAH
Berkibarlah
Di setiap jantung
Merah, berani
Putih, suci
Berkibarlah, ya berkibarlah
Aku malu!
Berkibarlah
Di siang malam
Tebarkan pesona di jiwa
Berkibarlah, ya berkibarlah
Aku perih!

Di bawah,
Mata mendongak
Langit mengabur pandang
Tipu daya berlintasan
Di atas,
Kaki berdiri
Tanah berjurang
Sengsara menggumam
Di sini,
Keringat lautan
Ikan dijaring
Garam dikeruk
Minyak dieksplor
Ombak dan gelombang
Menggelayutkan buih
Memerih di dada
Mulut terbungkam!
Kudus, 2011

Berkibarlah
Sepanjang zaman
Bangkitkan heroik
Bangunkan keterlelapan
Berkibarlah, ya berkibarlah
Aku gamang!
Berkibarlah, ya berkibarlah
Airmataku tersayat!
Kudus, 2011

KPK
Seperti sniper
Mengincar burung hantu
Anehnya, emprit-emprit
Yang kena peluru
Seperti pemburu
Masuk belukar hutan
Anak panahnya meluncur
Menembus ketakberdayaan

JAKSA
Di meja eksekusi
Keadilan terlipat kain kafan
Mata melihatnya samar
Kebenaran di palu kesakitan
Kudus, 2011

Seperti sniper
Matanya juling
Jalannya miring
Lupa century, maling!

Kudus,2011

PSSI
Di atas rumput,
Bola saling diperebutkan
Dan kaki saling menendang
Penonton bersorak kegirangan
Ketika gawang lawan kemasukan
Tak peduli uang APBD kebobolan
Bentuk bola yang bulat
Ditaruh di atas meja, penuh hasrat
Di antaranya saling sikat
Tak peduli prestasi sekarat
Angin merintih melarat
Politis pun ikut ke lapangan
Mengelus bola untuk kepentingan
Agar bendera mereka terpasang
Dan kekuasaannya memanjang
Seperti ular mematuk hati
Kesakitan
Di atas rumput,
Keringat dicat warna kelam
Menetes, mengalir ke sungai bayang-bayang.
Kudus, 2011
Jumari HS. Lahir di Kudus,24 November 1965. Karyakarya puisi banyak bertebaran di berbagai media masa daerah dan nasional antara lain Republika, The Jakarta Post,
Jawa Pos, Suara Pembaruan, Suara Merdeka, Wawasan,
Pikiran Rakyat, Swadesi, Solo Pos, Yogya Pos, dan lainlain. Penyair ini sekarang terlibat dalam Komunitas Sastra
Indonesia (KSI), Bendahara Keluarga Penulis Kudus (KPK)
dan pernah menjadi ketua KPK, Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Kudus, Pergerakkan Sastra buruh di Kudus, Ketua Teater Djarum Kudus, Kegiatan
sastra yang diikuti yaitu hadir dalam litelery Art International Aceh, Pertemuan
Penyair Nusantara di Brunie Darusalam, Pertemuan penyair Nasional di
Tanjung Pinang, Membaca puisi buruh di TIM. Penyair ini pernah menjadi
wartawan lokal Muria Pos. Sekarang menjadi Wartawan Tabloid Serapo
Balikpapan, kini tinggal di Desa Loram Kulon, Rt. 04/01. Kec, Jati- Kudus.

Tjerpen

Surat untuk Tuhan


Cerpen Gregorio Lopez y Fuentes

UMAH itu satu-satunya di lembah itu


terletak di puncak sebuah bukit yang
rendah. Dari situ nampak sungai dan,
setelah tempat kandang binatang, nampak ladang
jagung yang sudah matang diselang-selingi
bunga-bunga kacang yang menjanjikan musim
panen yang baik.
Hanya satu saja yang dibutuhkan ladang itu
saat itu: turunnya hujan, atau paling tidak gerimis.
Sepanjang pagi Lencho, yang akrab dengan setiap lekuk ladangnya itu, tak henti mengamati langit
bagian timur laut.
Hujan pasti akan segera turun sebentar lagi.
Istrinya yang sedang menyiapkan makan malam
menjawab:
Ya, mudah-mudahan.
Anak-anak laki-lakinya sedang kerja di ladang
sementara yang masih kecil-kecil bermain-main
di dekat rumah waktu perempuan itu memanggil
mereka:
Makan malam sudah siap...
Waktu mereka sedang makan malam hujan lebat
pun turun, tepat seperti yang diramalkan Lencho.
Di langit sebelah timur laut nampak awan-awan
sebesar gunung berarakan mendekat. Udara
sejuk dan segar.
Lencho beranjak ke luar rumah menuju kandang binatang hanya untuk merasakan nikmat air
hujan di tubuhnya, dan waktu kembali ke dalam
rumah dia berseru:
Bukan air hujan yang sedang turun dari langit
ini tapi uang! Gumpalan-gumpalan air yang besar
adalah uang limapuluh ribuan, dan yang kecilkecil sepuluh ribuan...
Dengan wajah puas dipandanginya ladang jagungnya yang penuh bunga kacang diselimuti tirai
hujan.
Tapi tiba-tiba angin kencang berhembus dan
bersama hujan mulai turun pula batu-batu es yang
besar-besar. Batu-batu es itu kelihatan seperti
uang perak benaran. Anak-anak laki-lakinya menghambur ke luar rumah dan mengutipi mutiaramutiara beku itu.
Hujan ini sudah mulai merusak sekarang! teriak
Lencho, cemas. Semoga segera berhenti.

Hujan tidak segera berhenti. Selama satu jam


hujan batu es itu turun menghajar rumah, kebun,
bukit, ladang jagung, seluruh daerah lembah. Ladang jadi putih seperti ditutupi garam. Tak satu
pun daun tertinggal di ranting pohonan. Jagung
semuanya rusak. Bunga-bunga tanaman kacang
musnah. Lencho betul-betul sedih. Setelah badai
itu berlalu, dia berdiri di tengah-tengah ladangnya
dan berkata pada anak-anaknya:
Wabah belalang pun masih menyisakan lebih
daripada ini... Hujan es telah merusak semuanya.
Tahun ini kita bakal tak punya jagung atau kacang...
Malam itu adalah malam yang sangat menyedihkan.
Semua kerja kita sia-sia.
Tak ada yang bisa menolong kita.
Kita akan kelaparan tahun ini...
Tapi dalam hati mereka yang tinggal di rumah
terpencil di tengah lembah itu ada satu harapan
yang tinggal: pertolongan dari tuhan.
Jangan terlalu bersedih walau semuanya ini
seperti sebuah kehilangan total. Ingat, tak ada
yang mati kelaparan!
Begitulah kata mereka: tak ada yang mati
kelaparan.
Sepanjang malam Lencho hanya berpikir tentang satu-satunya harapannya itu: pertolongan
tuhan, yang menurut apa yang diajarkan padanya
melihat segalanya termasuk apa yang ada dalam
hati nurani manusia.
Lencho adalah seorang pekerja keras, dan dia
juga tidak buta huruf. Hari Jumat berikutnya setelah
matahari terbit dan setelah berhasil meyakinkan
dirinya akan keberadaan suatu zat yang akan
memberikan pertolongan, Lencho pun mulai menulis sepucuk surat yang akan dibawanya sendiri
ke kota untuk diposkan.
Surat itu tidak tanggung-tanggung ditujukannya
kepada TUHAN.
Tuhan, tulis Lencho, kalau Kau tidak menolong aku, keluargaku dan aku akan kelaparan tahun ini. Aku perlu satu juta rupiah untuk menanami
ladangku kembali dan untuk biaya hidup sampai
panen tiba, karena badai hujan es....

djoernal sastra

boemipoetra 13
Edisi Januari-Juli 2011

Dia menulis KEPADA TUHAN di amplop, memasukkan surat itu ke dalamnya dan, masih merasa sedih, berangkat ke kota. Di kantor pos ditempelkannya perangko dan dimasukkannya surat
itu ke kotak surat.
Salah seorang pegawai kantor pos menemui
atasannya sambil ketawa geli dan menunjukkan
surat untuk tuhan itu. Belum pernah dalam sejarah
karirnya sebagai tukang pos dia mengalami hal
seaneh ini. Kepala kantor pos yang gemuk dan
ramah itu juga terpingkal-pingkal dibuatnya tapi
tiba-tiba dia jadi serius dan sambil meletakkan
surat itu di atas meja, dia berkata:
Betapa kuat imannya! Seandainya saja aku
punya iman seperti orang yang menulis surat ini.
Seandainya saja aku punya keyakinan sebesar
keyakinannya ini. MENULIS SURAT KEPADA
TUHAN!!!
Untuk tidak mengecewakan iman luar biasa
yang ditunjukkan sepucuk surat yang tak mungkin
dikirimkan itu, kepala kantor pos itu mendapat satu
ide: balas surat itu. Tapi waktu amplop surat dibukanya, ternyata untuk membalasnya, maksud
baik, tinta dan kertas belaka tidaklah cukup. Tapi
dia tetap pada pendiriannya. Dia lalu minta sumbangan uang dari para pegawainya dan dia sendiri menyumbangkan setengah dari gajinya, sementara beberapa kawannya dengan sukarela
juga menambah sumbangan kemanusiaan itu.
Tapi tak mungkin untuk mengumpulkan uang
sebanyak satu juta rupiah, maka dia mengirimkan
hanya sedikit lebih daripada setengah yang
dibutuhkan petani itu. Dimasukkannya uang itu ke
dalam amplop yang dialamatkan kepada Lencho
dengan disertai secarik kertas yang hanya bertuliskan satu kata sebagai tanda tangan si pengirimnya: TUHAN.
Hari Jumat berikutnya Lencho datang lebih cepat dari biasanya ke kantor pos dan bertanya
kalau ada surat untuknya. Tukang pos itu sendiri
yang menyerahkan surat itu padanya sementara
kepala kantor pos yang merasa bahagia telah
melakukan sebuah perbuatan mulia mengintip dari
pintu kantornya.
Lencho sama sekali tidak menunjukkan rasa
heran waktu melihat uang dalam amplop itu
begitulah besarnya imannya tapi dia malah jadi
marah setelah menghitung jumlah uang tersebut...
Tuhan pasti tidak membuat kesalahan, atau
menolak apa yang dimintanya!
Cepat-cepat Lencho mendatangi loket dan minta kertas dan tinta. Di meja yang khusus disediakan untuk umum di kantor pos itu dia pun segera
mulai menulis, sambil mengerutkan keningnya
karena berusaha keras untuk mengutarakan isi
pikirannya. Setelah selesai, dia pergi membeli
perangko di loket yang lalu dijilat dan dilekatkannya
ke amplop dengan pukulan tinjunya.
Begitu surat itu masuk ke dalam kotak surat,
kepala kantor pos segera mengambil dan membukanya. Beginilah isinya:
Tuhan, dari jumlah uang yang aku minta itu,
hanya tujuhratus ribu saja yang sampai ke tanganku. Kirimkanlah sisanya karena aku betulbetul membutuhkannya. Tapi jangan kirim uang itu
lewat pos karena para pegawai kantor pos bajingan semuanya. Lencho.
(Diindonesiakan oleh Saut Situmorang dari
READERS DIGEST GREAT SHORT STORIES OF THE WORLD)

djoernal sastra

boemipoetra 14
Edisi Januari-Juli 2011

Tjerpen

Kotbah
Hari Minggu
Cerpen: Saut Situmorang

ARI Minggu pagi. Tak ada mendung di


langit, matahari bulat penuh kemerahmerahan seperti telor matasapi tergantung di ranting pohon jambu di depan rumah.
Tiga ekor burung kutilang ribut di pucuk ranting
jambu yang tinggi, sementara di bawahnya di tanah ayam-ayam kampung berebutan makan jagung. Terdengar suara anak menangis dari dalam
rumah.
Pagi yang indah, kata Pak Pendeta sambil meminum kopi yang masih mengepulkan asap di atas
meja. Dia baru saja bangun. Cuci muka dulu, lalu
dia duduk menghadapai kopi panasnya. Sudah
jadi kebiasaannya begitu. Bangun pagi, cuci muka,
lalu minum kopi. Tanpa baju, hanya pakai sarung.
Sudah jadi kebiasaan istrinya pula untuk bangun
pagi, cuci muka, masak air, dan membuat kopi
untuk dia, suaminya. Tentu saja dia pakai baju
dan sarung.
Pagi yang indah, kata Pak Pendeta sambil
meminum kopi yang masih mengepulkan asap di
atas meja, di depannya. Suara tangisan anak tadi
masih terus terdengar. Berasal dari kamar mandi
di belakang rumah. Kadang-kadang terdengar
juga suara perempuan, istri Pak Pendeta, sedang
membujuk-bujuk anak yang menangis itu. Pak
Pendeta baru tiga tahun kawin. Punya anak satu,
laki-laki. Dan di rumah ini tidak ada orang lain yang
tinggal bersama mereka kecuali mereka bertiga
saja. Itulah sebabnya suara anak yang menangis
di kamar mandi itu adalah suara anaknya dan
yang sedang membujuk-bujuk anaknya yang
menangis di kamar mandi itu adalah istrinya yang
baru tiga tahun dikawininya.
Pagi yang indah, kata Pak Pendeta sambil
meletakkan gelas kopinya yang sudah kosong ke
meja di depannya. Meja itu terbuat dari kayu jati
dan diberi taplak Ulos Batak. Sekarang matahari
sudah agak tinggi dan anaknya sudah selesai
mandi dan Pak Pendeta bangkit dan pergi ke kamar
mandi. Seekor lalat terbang mengitari permukaan
gelas kopi yang sudah kosong itu, hanya di dasarnya nampak sisa kopi, dan terus terbang mengitarinya selama beberapa detik sebelum akhirnya
hinggap di tepi mulut gelas kopi yang sudah kosong
di atas meja kayu jati bertaplak Ulos Batak itu.
Di kamar istri Pak Pendeta sedang sibuk membantu anaknya berpakaian. Mereka hendak ke
gereja dan mereka masih punya banyak waktu
untuk berpakaian. Dia sendiri belum mandi, hanya
cuci muka dulu lalu masak air dan membuat kopi
untuk suaminya, Pak Pendeta. Sudah jadi kebiasaannya juga, dia baru mandi setelah anak lakilakinya yang menangis di kamar mandi tadi dan
suaminya selesai mandi. Sekarang dia, istri Pak

Pendeta, sedang sibuk membantu anaknya berpakaian di kamar anaknya itu.


Pak Pendeta sudah selesai mandi. Wajahnya
berseri-seri, rambutnya agak basah, dan dia cuma memakai sarung saja keluar dari kamar mandi.
Dia melihat pada gelas kopi kosong yang ada lalat
merayapi dalamnya untuk minum sisa kopi di dasar
gelas di atas meja kayu jati bertaplak Ulos Batak
itu. Dia tersenyum. Pagi yang indah, gumamnya
sambil masuk ke kamarnya. Hari ini adalah hari
pertamanya memberikan kotbah setelah kepindahannya ke kota ini.
Giliran istrinya sekarang mandi. Anak laki-lakinya sudah selesai berpakaian dan tidak menangis lagi. Dia duduk di ruang tamu menunggu
orangtuanya siap berangkat ke gereja.
Tak berapa lama kemudian mereka bertiga sudah berada dalam mobil. Pak Pendeta mengenakan pakaian barunya yang tadi malam disetrika
rapi oleh istrinya. Sepatunya tersemir mengkilat.
Rambutnya yang dipangkas pendek tersisir rapi
ke samping. Dia nampak gagah. Dia tersenyum.
Hari ini adalah hari pertamanya memberikan kotbah
setelah kepindahannya ke kota ini. Istrinya juga
berpakaian rapi. Wajahnya juga berseri-seri. Dia
nampak jauh lebih muda dan sangat cantik. Anak
laki-laki mereka merasa bangga sekali melihat
kedua orangtuanya itu.
Pak Pendeta merasa beruntung sekali karena
gereja barunya tempat dia sekarang bekerja menyediakan satu mobil untuk dipakainya. Mobil itu
tidak baru, tapi karena dirawat baik oleh pemakai
sebelumnya, yaitu pendeta lama yang digantikannya, jadi nampak seperti baru dibeli saja. Memang
mobil itu sebenarnya baru dibeli oleh gereja untuk
dipakai pendeta lama tadi. Jadi bisa dibilang mobil
itu mobil baru juga. Pak Pendeta merasa beruntung
sekali karena gereja barunya tempat dia sekarang
bekerja menyediakan satu mobil untuk dipakainya
jadi dia tak perlu repot-repot lagi memikirkan untuk
membeli kendaraan untuk dipakainya sehari-hari.
Tentu saja dia tahu menyetir mobil. Ayahnya almarhum adalah bekas pendeta dan sama seperti dia
sekarang juga disediakan mobil untuk dipakai sehari-hari oleh gereja tempatnya bekerja. Waktu
itulah dia belajar nyetir dan setelah bisa nyetir dia
sering menyupiri ayahnya ke tempatnya kerja.
Mengingat itu semua Pak Pendeta tersenyum
lebar dan menoleh pada anak laki-lakinya.
Karena hari ini hari Minggu jalanan nampak lengang. Tak banyak kendaraan lalu lalang seperti
waktu hari-hari kerja. Kayaknya orang merasa
malas keluar rumah dan memilih nonton tv saja di
rumah bersama keluarga. Mungkin juga karena
berpikir kalau keluar rumah pasti keluar uang maka

lebih baik menghabiskan liburan sehari di rumah


saja. Tapi sudah beberapa kali Pak Pendeta melihat
anak-anak muda ke gereja. Mereka berjalan di
trotoar jalan dan nampak kitab suci Injil serta buku
nyanyian di tangan mereka. Kebanyakan mereka
anak-anak yang masih sangat muda usianya. Pak
Pendeta gembira sekali melihat ini semua. Mulutnya
terus menerus menyunggingkan senyuman lebar.
Wajahnya berseri-seri. Tiba-tiba dibayangkannya
bagaimana nanti meriahnya sambutan orang di
gereja terhadap dirinya, pendeta baru mereka.
Mereka akan dengan tekun mendengar kotbahnya.
Dan setelah selesai acara kebaktian mereka akan
datang menyalaminya sambil mengucapkan
selamat datang. Mungkin juga bakal ada semacam
acara selamat datang yang khusus untuknya.
Bukankah dia juga mendapatkan hal yang sama
waktu keberangkatannya dulu dari gerejanya
yang lama? Pagi yang indah, gumamnya dan tersenyum-senyum. Di jalan nampak anak-anak
berusia sangat muda berjalan ke gereja dan nampak kitab suci Injil serta buku nyanyian di tangan
mereka. Pak Pendeta jadi ingin cepat-cepat sampai
ke gereja barunya. Dia sudah tak sabar untuk
melihat domba-dombanya. Dia sudah tak sabar
untuk memberi makan domba-dombanya
Waktu itulah kecelakaan itu terjadi. Tiba-tiba
seorang pengendara sepeda motor muncul dari
belakang dan menyalipnya. Untunglah dia seorang
pengemudi yang berpengalaman. Walaupun kaget
setengah mati dia masih dapat menguasai dirinya
dan berhasil merem mobilnya meski tetap saja
mereka terdorong cukup keras ke depan. Istrinya
menjerit dan nampak pucat. Untunglah saat itu tak
ada kendaraan lain di belakang mereka. Sulit
dibayangkan apa yang bakal terjadi kalau ada satu
atau tiga kendaraan lain membuntuti mereka waktu
dia merem mobilnya dengan tiba-tiba tadi. Tapi
sebentar kemudian perhatiannya sudah beralih ke
arah muka. Rupanya sepeda motor tadi mengalami
kecelakaan. Satu mobil sedan tiba-tiba muncul di
persimpangan jalan dan meskipun mobil itu berjalan
pelan kecelakaan tak terhindarkan lagi. Si pengendara sepeda motor terlempar dari sepeda motornya dan terbanting dengan keras ke aspal jalan
dan sepeda motornya sendiri terseret sampai ke
pinggir jalan. Mobil sedan yang tiba-tiba muncul di
persimpangan jalan tadi melarikan diri dengan kecepatan tinggi. Di depannya sekarang di jalan berserakan kaca bercampur darah dan si pengendara
sepeda motor tergeletak tak bergerak dan sepeda
motornya hancur dan berlepotan darah. Istri Pak
Pendeta pucat wajahnya. Anak laki-laki mereka
diam tak berani bertanya apa-apa. Di tengah jalan
berserakan kaca bercampur darah dan di tengahtengah genangan darah si pengendara sepeda
motor tergeletak tak bergerak.
Suara klakson mobil di belakangnya menyadarkan Pak Pendeta dan mobil mereka mulai bergerak pelan-pelan ke muka.
Hari Minggu pagi. Tak ada mendung di langit
dan matahari bulat penuh kemerah-merahan seperti telor matasapi tergantung di atas jalan dan
di tengah jalan berserakan kaca bercampur darah
dan di tengah-tengah genangan darah si pengendara sepeda motor tergeletak tak bergerak. Di
trotoar jalan nampak anak-anak berusia sangat
muda berjalan ke gereja dan nampak kitab suci
Injil serta buku nyanyian di tangan mereka.
Wellington 1993

Tjerpen

Mbah Rus
Cerpen: Bonari Nabonenar

AMA aslinya Rusmini. Itu nama yang cu


kup keren. Bahkan saya masih juga belum
percaya penuh, apakah betul memang
itu nama aslinya. Sebab, untuk orang seangkatannya, nama yang populer ialah yang berakhiran:
nem, yem, kem, yah, jah. Maka, saya malahan
tidak akan pernah bertanya-tanya seandainya ia
mengaku bernama lengkap Rusmiyem atau Rusminem.
Ia bungsu dari tiga bersaudara, secara urut
dari yang tertua: Painah, Jemani, Rusmini. Kedua
kakaknya itu sudah meninggal dengan urutan
waktu terbalik. Maksudnya, kakak laki-lakinya,
Jemani, meninggal lebih dahulu, baru sekitar sepuluh tahun berikutnya disusul si sulung Painah.
Mengapa saya seperti sangat mengenal tiga orang bersaudara itu? Asal tahu saja, saya adalah
generasi ketiga dari garis Painah.
Ya, saya adalah cicit Painah, Suami Mbah Kakung (nama aslinya Karsareja Jamun) yang ketika
beliau sakit paman menjadi sedemikian gelisah
bukan lantaran kakeknya sakit, tetapi karena terlalu
besar harap dan kecemasannya karena Mbah
Kakung belum juga mewariskan ilmu sengkerannya kepadanya. [Maka kemudian, untuk mengolokolok paman, saya menulis sebuah cerita pendek
berjudul Mbah Kung. Anehnya, teman saya yang
mencoba menjadi kritikus malah mengira saya
sedang mengolok-olok presiden! Dan saya lebih
memilih menjadi besar kepala daripada membantah
penilaian itu].
Baik Mbah Kakung, Mbah Painah, maupun Mbah
Jemani meninggal dalam usia yang benar-benar
sudah matang (untuk sebuah kematian). Ibarat
buah, mereka rontok ketika benar-benar telah matang usia, ketika bahkan generasi di bawahnya
pun sudah berguguran. Tetapi, hal itu juga membuat kami, keluarga besar kami, semakin merasa
kehilangan. Di seluruh kampung, tidak ada lagi
narasumber yang bagus yang bisa membantu
kami mengeja sejarah keluarga besar kami, terutama untuk sekian banyak detail yang makin hari
makin menyodor untuk diketahui.
Mbah Rus, kini memang masih hidup. Tetapi ia
sudah sedemikian renta. Pun, sejak masih perkasa, ia bukanlah narasumber yang bagus justru

karena ia paling gede nafsu berceritanya dibandingkan dengan kedua kakaknya yang kini telah
tiada. Tak hanya doyan bercerita, Mbah Rus juga
piawai mengarang-ngarang cerita dan mencampuradukkan begitu saja dengan fakta.
Kira-kira saya baru berumur sekitar enam tahun ketika mendapati Mbah Rus sudah tinggal
sendirian di rumah yang sangat klasik, sebuah
rumah gebyog, rumah peninggalan orangtuanya.
Tampaknya dialah memang ang terpilih atau terpaksa mendiami rumah warisan itu, sementara
Mbah Painah membangun rumah sendiri bersama
Mbah Kakung, dan Mbah Jemani menjadi kontholkinthil.
Kini, Mbah Rus tinggal bersama keluarga Jaelani
(saya harus memanggilnya: paman) laki-laki yang
lahir dari garis Mbah Painah pula. Keluarga Jaelanilah yang ketiban sampur merawat Mbah Rus
yang sudah renta itu dengan jaminan tunggu watang berupa sebuah pekarangan seluas kira-kira
setengah hektar. Artinya, berapapunlah nilai jual
tanah pekarangan itu adalah nilai untuk tukar guling dengan ongkos perawatan Mbah Rus selama sisa hidupnya hingga entah kapan nanti ia
dapat panggilan. Bahkan, setelah beberapa tahun
menikah dan dikaruniai seorang anak, Jaelani telah
mendirikan pula sebuah rumah di dalam pekarangan itu. Waktu itu Mbah Rus masih perkasa, masih tinggal sendirian di rumah warisannya.
Setiap kali saya menengok kampung halaman
saya itu, hampir selalu saya sempatkan untuk
menjenguk Mbah Rus. Sebenarnya bukan semata-mata karena Mbah Rus, kadang lebih karena
faktor kesenangan bernostalgia. Saat menginjakkan kaki di kawasan itu, di pekarangan itu, saya
akan dapat memutar kembali ingatan ke masa
kanak-kanak dengan gampang. Ada sensasi:
rindu, haru, yang sedemikian hebat setiap saya
mendapatkan kesempatan itu. Dan yang lebih menyenangkan lagi, sensasi itu, walau masih samasama bertema kerinduan dan keharuan, seolah
warnanya selalu berganti, selalu berbeda antara
kesempatan yang satu dengan yang lain.
Memang hanya sekitar setengah hektar luas
pekarangan itu. Dulu, waktu saya kecil pagarnya
perdu, kantil, dengan bunga-bunganya yang sangat indah. Pagar itu dibuat sangat rapi dan rapat,
sehingga itik dan ayam yang dilepas di dalam pekarangan itu tidak bakal melompat ke luar. Itik dan
ayam orangtua Mbah Rus, dulu, konon, tidak terbilang, seperti sapi dan kerbau juga tak terbilang.
Saya percaya, karena banyak orang kampung

djoernal sastra

boemipoetra 15
Edisi Januari-Juli 2011

menceritakan kekayaan orangtua Mbah Rus bersaudara itu. Dan saya makin percaya karena sewaktu saya besar, di kampung lain yang jauh,
masih ada orang kaya model seperti itu, yang
sapi dan kerbaunya dibiarkan lepas di hutan selain
dititip-titipkan orang kampung yang mau memeliharanya dengan sistem gadhuh.
Mbah Rus, selain lahir dari keluarga terkaya di
kampung, pasti ia sangat cantik waktu mudanya,
sehingga seorang guru dari kampung yang jauh
melamarnya. Itu sungguh luar biasa. Guru, pada
zaman itu, nyaris seperti berdarah biru. Ia adalah
golongan priyayi, sangat dihormati di masyarakat.
Dan Mbah Rus berhasil mendapatkannya. Tetapi,
nasib buruk menimpa guru itu, suami Mbah Rus
itu. Ia menjadi buta. Ini adalah salah satu dari sekian banyak detail yang belum pernah terungkap.
Mengapa guru itu menjadi buta, mengapa lalu
Mbah Rus bercerai dengannya. Dan hingga kini
pun saya tidak pernah tahu, bagaimana kemudian
Mbah Rus yang hingga kini tak memiliki seorang
pun anak itu bisa dipersunting seorang laki-laki
yang boleh dimasukkan ke dalam daftar laki-laki
paling tampan dan perkasa di kampung.
Ada beberapa fragmen kisah mengenai kehebatan laki-laki suami kedua Mbah Rus itu. Sebagai laki-laki, ia sebegitu memesona para perempuan, sehingga perempuan-perempuan yang
sudah bersuami pun akan memimpikannya. Kalau
ia melenggang di jalanan, mungkin, para perempuanlah yang akan menyiulinya, bukan sebaliknya.
Ada yang pernah bercerita, seorang preman
kampung menjajal kehebatanya dengan menantangnya untuk membawa ke hadapannya, hanya
membawa saja, seorang perempuan tercantik di
kampung.
Malam makin merambat. Udara dingin. Tetapi
tantangan itu cukup memanaskan.
Kalau kau mengaku hebat, bawa dia ke sini
sekarang juga.
Maka, laki-laki itu pun bergegas menuju rumah
perempuan itu, menunggunya di halaman sampai
perempuan itu keluar dari rumah. Ia berbatuk kecil
dan memanggil lirih ketika perempuan itu ternyata
benar-benar kencing di luar rumah.
Oh! perempuan itu terkejut, dan menyebut
nama si laki-laki.
Maaf, ada yang penting, Jangan berteriak,
ya?
Dan belum sempat melontarkan reaksi, baik
kata-kata maupun isyarat, perempuan itu telah
mendapati dirinya di pundak si laki-laki. Ia telah
dipikul, benar-benar dipikul seperti kayu, dibawa
ke hadapan preman kampung yan menunggunya
di pos ronda.
Sudah, sekarang aku antarkan kau pulang.
Keperluannya sudah cukup, kata laki-laki yang
kelak menjadi suami kedua Mbah Rus kepada
perempuan tercantik di kampung itu.
Perempuan itu benar-benar tampak bengong.
Mungkin masih juga belum jernih pikirannya ketika
ia berucap, Aku berani kok pulang sendiri, sambil
ngeloyor begitu saja.
Dalam hal keperkasaan fisik, jangan tanya pula.
Lepaskanlah seekor rusa di hadapannya, maka
ia akan mengejarnya dan menangkapnya dengan
tangannya. Maka, perempuan mana yang tidak
tunduk di hadapan laki-laki yang memesona, tampan, dan secepat itu? Pun Mbah Rus. Ia boleh
dijuluki anak orang terkaya di kampung, perempuan tercantik di kampung, tetapi pada akhirnya

djoernal sastra

boemipoetra 20
Edisi Januari-Juli 2011

Disumbang Djarum Rp50 Juta PPN Palembang


tak Mampu Kasih Tiket Pemaklah
Aku prihatin dgn kondisi PDS HB Jassin. Pemerintah KORUP jelas gak tertarik menjaga sastra. Ayo kita selamatkan
bersama.
085678xxxxx
Di tv aku lihat Sujiwo Tejo dgn gagah bilang, bila perlu kita
turunkan SBY. Mantab! Rakyat sepakat. Dari pada negera
bangkrut karena pemimpin memble to!
087871xxxxxx
Jokowi Wali Kota Solo melarang bangunan cagar budaya
dibongkar dan dibangun mall. Bibit si gubernur bilang Jokowi
bodoh! Tapi rakyat tau, siapa sebenarnya yg bodoh. Ya gubernurnyalah hahahahahaha

Taufik Ismail berang PDS HB Jassin dipakai diskusi ttg


Lekra. Rupanya Taufik gak pernah ke PDS selama ini ya?
Lebih dari itumah biasa....
0821137xxxxx
Datuk Kemala dr Malysia marah-marah karena sbg pemakalah di PPN Palembang tiket pesawat dibatalkan panitia.
Bagitu juga dengan pemakalah dr Brunei. Jangan memalukan
Indonesia dong.
0813806xxxxx
Pertemuan penyair nusantara terancam kacau spt di Kediri
dan Brunei? Isunya peserta diinapkan di rumah penduduk
dan pemakalah tak dapat tiket? Bukankah Djarum sudah
nyumbang Rp50 juta?

081513xxxxxx

091911xxxxxx
(menurut Ahmadun pemakalah tetap mendapat penggantian tiket-Redaksi)

Di sela-sela acara koin sastra di PSD HB Jassin, orang-orang berbincang tentang gejala plagiat di kalangan akademisi dan sastrawan kita.

SEPULANG dari Temu Sastrawan Indonesia di Tanjung Pinang, di


atas kapal, para sastrawan berbincang sambil menikmati birunya laut.

Novelis : Apa yang ada di kepala dia itu sampai-sampai harus menjiplak
karya orang lain dan mengakui sebagai karyanya.
Esais
: Mungkin dia kira tak ada yang baca tulisan itu.
Novelis : Tapi sungguh memalukan sastrawan sekelas dia bisa-bisanya
jadi plagiator.
Esais
: Mungkin dia baru sial saja kali ini.
Novelis : Maksudnya, selama ini jangan-jangan karyanya jiplakan
semua dan tidak ketahuan?

Penyair
Cerpenis

Keduanya ngakak bersama sembari melempar tulisan kedua sastrawan itu ke tempat sampah.

Penyair
Cerpenis
Penyair
Cerpenis

: Di tengah laut begini kita nampak begitu kecil ya.


: Maksudmu bila kita tercebur dan tidak bisa
berenang dan tidak ada yang menolong pasti
mati?
: Itu pulakah yang ada di pikiran ketua panitia TSI
ketika mengancam Saut Situmorang?
: Memangnya ada apa dengan Saut?
: Kau enggak tau? Saut kan diancam akan
diceburkan ke laut karena sikap kritisnya itu!
: Wah gini hari masih ada pejabat kolot begitu ya.

Sambungan Cerpen Mbah Rus


tertaklukkan juga. Oh, tidak. Mbah Rus adalah
perempuan perkasa. Kalau kemudian ia menikah
dengan laki-laki yang kemudian jadi suami
keduanya itu, pastilah bukan dalam rangka taklukmenaklukkan. Buktinya, beberapa tahun kemudian
Mbah Rus bisa bersikap tegas ketika mendapati
seorang perempuan yang bukan dirinya mendesah di dekat laki-laki itu.
Itulah yang terjadi, saya lupa tahun berapa.
Yang pasti, itu kejadiannya di siang bolong yang
tiba-tiba menjadi gelap karena Gunung Kelud
meletus, tutur Mbah Rus pada suatu kesempatan.
Mbah Rus segera bercerai dengan suami keduanya itu.
Setelah itu Mbah Rus memilih hidup sendiri di
rumah dan mencari nafkah sendiri dari pekarangan warisan yang menjadi bagiannya. Orangtua
yang kaya raya sudah menjadi sejarah. Tiga orang bersaudara itu, ini juga detail yang hilang,
tidak meneruskan tradisi hidup dalam gelimang
harta-benda seperti orangtua mereka. Sudah
jatuh miskin, hidup tanpa suami tanpa anak pula.

Itu dialami Mbah Rus hampir persis setengah


abad lamanya, sebelum kemudian tubuhnya takluk
kepada kerentaan dan terpaksa menumpang pada keluarga Jaelani yang membangun rumah menumpang di pekarangannya.
Kini Mbah Rus benar-benar sudah renta. Dan
mulai sakit-sakitan pula. Beberapa bulan lalu kakinya bengkak karena penyakit gula. Saya mulai
cemas, karena jarak kami yang sangat jauh, harus
beberapa kali oper pesawat untuk sampai ke hadapan Mbah Rus. Saya sudah kehilangan Mbah
Kakung, Mbah Jemani, dan Mbah Painah dengan
cara yang lebih menyakitkan daripada sekadar
kehilagan orang-orang tercinta. Saya tidak punya kesempatan untuk mengantarkan mereka ke
kuburan.
Bagaimana, apakah Mbah Rus masih sehat?
begitulah pertanyaan yang hampir tak pernah
lupa saya selipkan saat ada, atau saya, yang
menelepon. Saya tahu, akan semakin banyak kehilangan detail sejarah saya sendiri. Saya tahu
satu per satu orang-orang tercinta saya akan

DI SINI ANDA BEBAS TERTAWA:

berguguran. Dan saya pasti akan belajar mengarang-ngarang agar sejarah itu bisa dibaca. Mungkin saya harus menyampur-adukkan karangan
saya dengan fakta. Tetapi itu tidak begitu menjadi
soal bukan? Maka, saya harus banyak belajar
kepada Mbah Rus. Belajar menikmati kesepian.[]
kamus kecik:
konthol-kinthil = laki-laki yang menikah dan
kemudian tinggal di lingkungan keluarga sang istri).
gadhuh = buruh memelihara ternak dengan
imbalan sebagian (biasanya separo) ternak hasil
pemeliharaan itu.
gebyog = rumah adat Jawa, berdinding papan/kayu
sengkeran = simpanan
tunggu watang = (harfiah: penjaga batang),
harta/benda, biasanya berupa sebidang tanah
yang akan diberikan sebagai imbalan bagi siapa
yang merawat hari tua hingga mengurusi
pemakamannya jika si pemilik meninggal dunia.

DIJAMIN BERTANGGUNG JAWAB

Anda mungkin juga menyukai