Anda di halaman 1dari 56

ISSN: 2252-7931

DAFTAR ISI
RUANG REDAKSI
Cursus Maritimus, 2

-1

ESAI

-2
Quo Vadis, Kritikus Sastra dari NTT?
(Redem Kono)

CERPEN
Paras yang Menghilang dalam Cermin
(Afryantho Keyn)
Klaudius
(Armin Bell)
Mimpi Soli Nunbaun Delha
(Christian Senda)

-16

PUISI
Cyprianus Bitin Berek
Deodatus D. Parera

-38

KUSU-KUSU
2015: Jang Makfafiti deng Makrarese!
(Amanche Franck Oe Ninu)

-45

RESENSI
Meringkas Hidup dalam Puisi
(Steve Elu)

-47

RUANG REDAKSI
Cursus Maritimus, 2
Apa yang dapat kuceritakan kepadamu di bawah matahari ini? Laut
ini adalah selimut yang menyembunyikan rahasia bumi. Kau
tersenyum ketika memejam dan merasakan lembut udara mencubit
pipimu. Perahu ini terlalu lapang buat kita berdua. Gelombang maju
dan kembali menyeret perahu. Langit mengangkat horisonnya ketika
perahu kita bergerak semakin cepat. Dan takdir, harapmu, semoga tak
lagi bertepi. Seperti laut ini.
(Naimata, 2013)

SANTARANG
Jurnal Sastra
Diselenggarakan dan diterbitkan oleh Komunitas Sastra Dusun Flobamora
Pelindung/ Penasehat:
Rm. Sipri Senda, Pr & Dr. Marsel Robot
Penanggungjawab:
Amanche Franck OE Ninu, Pr. & Patris Allegro Neonnub, Pr.
Pemimpin Redaksi: Mario F Lawi|Pengasuh Rubrik: Esai:
Januario Gonzaga|Cerpen: Djho Izmail|Puisi: Christian Dicky Senda|
Kusu-kusu: Amanche Franck|Profil: Arky Manek|Resensi: Saddam HP|
Lay-out: Abdul M. Djou|Kartun: Etho Kadji |Ilustrasi Isi: Gus Noy|
Email redaksi: santarang@yahoo.co.id
Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa esai, resensi, cerpen dan
puisi. Lampirkan biodata narasi di akhir tulisan yang dikirim.

Edisi 33, Januari 2015

ESAI
Quo Vadis, Kritikus Sastra dari NTT?
Redem Kono
Kamis, 20 November 2014, seorang teman kuliah saya
menghadiahkan sebuah novel berjudul Likurai untuk Sang Mempelai.
Novel ini ditulis oleh Robby Fahik, seorang penulis muda kelahiran
NTT yang sedang merantau di Yogyakarta. Novel yang diterbitkan
oleh penerbit Cipta Media ini diluncurkan pada Desember 2013,
sebagai lanjutan dari novel Badut Malaka (terbit tahun 2012) oleh
penulis dan penerbit yang sama.
Dua novel karya Robby ini turut meramaikan geliat kepenulisan
sastra di NTT yang kini hadir dalam diri para penulis seperti Mario
Lawi (Memoria, Ekaristi), Cristian Dicky Senda (Kanuku Leon), Prim
Nakfatu (Fatamorgana Langit Sabana) dan lain-lain. Geliat sastra di
kalangan kaum muda NTT memproklamasikan bahwa riwayat
kepenulisan sastra di NTT tidak pernah mati: selalu ada tunas-tunas
muda yang siap menggantikan beberapa sastrawan Indonesia dari
NTT seperti Dami N. Toda, Umbu Landu Paranggi, dan Gerson
Poyk.
Krisis Kritikus Sastra?
Ketika menerima hadiah novel tersebut, saya tertarik terhadap
beberapa testimoni untuk novel ini. Lazimnya testimoni sebuah buku,
beberapa orang yang diminta untuk memberikan testimoni berlombalomba memberikan apresiasi terhadap novel tersebut. Kata Gerson
Poyk, Membaca novel ini, kita seolah memasuki sebuah taman
cendana Timor berhiaskan anggrek dan bunga-bunga sabana.
Likurai untuk Sang Mempelai menjadi referensi berharga bagi
masyarakat Malaka hari ini, esok, bahkan ratusan tahun mendatang,
tulis Kornelius Wandelinus Subang, Mahasiswa Pascasarjana UTY,
anggota Liga Mahasiswa Pascasarjana/ LMP NTT Yogyakarta. Tak
2

KREATIF DAN INSPIRATIF

Esai
ketinggalan pula pemberian apresiasi dari Yohanes Sehandi dan
Mezra E. Pellandou berturut-turut sebagai penulis kata pengantar
dan kata penutup.
Sebagai seorang putra kelahiran NTT, saya turut berbangga atas
geliat kepenulisan sastra di NTT. Kegembiraan saya cukup beralasan:
(1) beberapa penulis muda NTT mulai dikenal melalui temu
sastrawan Indonesia, ada juga temu sastrawan NTT, (2) munculnya
komunitas sastra seperti komunitas Dusun Flobamora di Kupang,
Komunitas Teater Alitheia di Ledalero, dan Komunitas Teater Tania
Ritapiret, Rumah Poetika, Komunitas Filokalia Santu Mikhael, Laskar
Sastra, Uma Kreatif Inspirasi Mezra (3) publikasi para penulis muda
di Jurnal Sastra Santarang, Kupang, majalah VOX dan Akademika
Ledalero, Jurnal Sastra Filokalia, harian lokal maupun nasional, dan
majunya penerbitan karya sastra (entah cerpen, puisi, dan novel)
dalam bentuk buku.
Namun, kegembiraan saya serentak berbarengan dengan,
katakanlah, kegelisahan saya bahwa tanah Flobamora sangat subur
untuk para penulis sastra tetapi gersang untuk para kritikus sastra.
Persoalan yang sama juga berlaku dalam konteks nasional di mana
kritik sastra belum cukup mampu untuk mengimbangi publikasipublikasi kesusastraan. Kalau meminjam bahasa ahli ekonomi Robet
Maltus: Pertumbuhan sastra memasuki baris ukur, di tengah kritik
sastra yang hanya mencapai baris hitung. Dalam konteks puisi,
misalnya, Indonesia melahirkan banyak penyair nasional seperti Joko
Pinurbo, Sutardji Calzoum Bachri, Afrizal Malna, dan banyak penyair
muda lainnya tanpa disertai oleh pesatnya telaah sastra yang
mumpuni. Ujar Saut Situmorang, Dunia sastra Indonesia, mulai sejak
zaman Balai Pustaka ... hanya mengenal satu krisis saja dan itu masih
terus berlangsung sampai hari ini, yaitu krisis kritik(us) sastra (lihat
Saut Situmorang, Dicari: Kritik(us) Sastra Indonesia, SastraIndonesia.com).

Edisi 33, Januari 2015

Esai
Krisis kritik(us) sastra ini mengantar pada kenyataan tak
terhindarkan: derasnya pertumbuhan dalam dunia kepenulisan sastra
tidak dapat diimbangi oleh telaah-telaah kritis atas karya-karya
tersebut. Salah satu imbasnya ialah dunia kepenulisan NTT (dan juga
nasional) masih didominasi oleh puja-puji terhadap para penulis
sastra, ketimbang memberikan sebuah penilaian kritis atas karyakarya sastra yang dihasilkan. Akibatnya, telaah tentang karya-karya
para penulis NTT lalu cenderung sebagai laporan deskriptif atau
dokumentasi (kegelisahan yang sama pernah diutarakan Gerson Poyk,
Radhar Panca Dahana, dan Putu Wijaya dalam kesempatan Seminar
Nasional Seni Budaya dan Pembangunan yang diselenggarakan
Komunitas Rumah Poetika di Taman Budaya NTT, Kupang pada 11
April 2012 (Victory News, 12 dan 13 April 2012)).
Kebeluman kritik sastra (telaah sastra kritis) yang mumpuni dalam
dunia kepenulisan sastra di NTT, misalnya, tampak dalam buku
Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT karya Yohanes Sehandi, dosen
Universitas Flores. Dalam buku ini, Yohanes Sehandi mencatat
puluhan sastrawan NTT dan mengidentifikasi adanya sastra
NTT (Sehandi bahkan menyebut Robby Fahik sebagai sastrawan
Indonesia). Sehandi meringkas tesisnya tersebut dalam kata
pengantar Novel Likurai untuk Sang Mempelai: Inilah yang disebut
sebagai sastra NTT yakni sastra Indonesia warna daerah (lokal)
NTT yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Pengarang ini yakni R.
Fahik adalah sastrawan Indonesia, dan karena kelahiran NTT maka
disebut juga sebagai sastrawan NTT (hlm. xi, bisa juga dilihat
dalam Yohanes Sehandi, Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT, 2012,
halaman 12 dan 15).
Saya sangat menghargai kerja keras Sehandi untuk
mendokumentasikan karya para penulis sastra di NTT (pengarsip
karya-karya sastra sekitar NTT). Namun, sebagai penikmat karyakarya sastra para penulis dari NTT, tidak berlebihan jika saya sangat
mengharapkan suatu analisis dan pembelaan yang komprehensif dari
Sehandi atas alasan penyematan sastra NTT, sastrawan NTT,
4

KREATIF DAN INSPIRATIF

Esai
sastrawan NTT sekaligus sastrawan Indonesia. Sebab, sejauh yang
saya pahami, penelaahan yang konkret atas karya sastra atau kritik
langsung atas karya sastra mesti menggunakan teori dan sejarah
sastra sebagai instrumen analisis, agar teori-teori tersebut
mengemudikan analisis dan interpretasi untuk mengungkap kekayaan
makna karya sastra. Teori-teori sastra dapat memimpin pada
penemuan kriteria dan prinsip-prinsip umum yang dapat menjadi
referensi penilaian seseorang (kritikus sastra) atas sebuah karya
sastra. Namun, telaah kritis terhadap karya sastra tentu berdasarkan
teori-teori sastra yang relevan, tidak sekadar bombastis.
Telaah dalam tataran demikian, sayangnya, luput dari perhatian
Sehandi. Akibatnya, klasifikasi sastrawan NTT dan sastra NTT
masih melemahkan tesis Sehandi.
Pertama, apakah hanya dengan menerbitkan buku bergenre sastra
lokal NTT seseorang secara otomatis menjadi sastrawan,
sastrawan NTT, penghasil sastra NTT, dan karena itu sudah
layak menjadi sastrawan Indonesia? Kalau merunut pada logika
Sehandi: seorang dapat menjadi menjadi sastrawan NTT dan
menghasilkan sastra NTT apabila menulis karya sastra (cerpen,
novel, puisi), berasal (lahir di NTT), dan tema tulisannya mengangkat
warna lokalitas NTT. Imbasnya, seorang anak SD (dengan
kemampuan finansial mencukupi) yang membukukan kumpulan
puisinya dengan warna lokalitas NTT dapat disebut sebagai
sastrawan NTT dan karyanya boleh dimasukkan ke dalam deretan
sastra NTT! Bukankah kriteria ini sama saja dengan menyamakan
Gerson Poyk dengan seorang penulis pemula yang belum matang
kualitas bersastranya? Saya pikir diskusi tentang hal ini perlu dibuka
lebar.
Kedua, Sehandi belum membuat pembatasan meyakinkan terhadap
sastra NTT dan sastrawan NTT. Sastra NTT, menurut Sehandi,
memiliki kualifikasi pengertian sastra Indonesia warna daerah (lokal)
NTT yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Sedangkan untuk

Edisi 33, Januari 2015

Esai
sastrawan NTT, Sehandi menulis: ... karena kelahiran NTT maka
disebut juga sebagai sastrawan NTT. Definisi ini menimbulkan
sejumlah pertanyaan: (1) Apakah yang lokal itu harus semata-mata
bereferensi pada konteks daerah NTT, merujuk pada tradisi NTT,
mendeskripsikan lokalitas NTT? Meminjam analisis Wilhelm
Friedrich Hegel, saya berpandangan sebaliknya bahwa ada nilai-nilai
universal (roh universal) yang muncul dari setiap lokalitas seperti
humanisme universal, keadilan, kedamaian, dan cinta kasih (dan
menurut saya, tradisi provinsi kita memiliki aspek-aspek demikian).
Jika dalam lokalitas ada nilai-nilai universal, maka tentu saja dalam
universalitas tersebut terdapat gambaran nilai-nilai yang
diperjuangkan oleh tradisi-tradisi kita. Karenanya, mengatakan bahwa
sastra NTT harus memuat deskripsi warna-warna lokal adalah
sebuah penghakiman totaliter atas penulis-penulis NTT yang
cenderung memilih dimensi universalitas untuk menggambarkan apa
yang diperjuangkan tradisi kita.
Dalam satu artikelnya berjudul: Lokalitas dalam Sastra NTT,
Sehandi coba merujuk pada analisis strukturalisme genetik dari
Lucien Goldmann, yang dipercaya dapat memberikan pendasaran atas
sastra NTT. Goldmann coba menjelaskan bahwa sastra merupakan
cerminan dari struktur masyarakat tempat individu dibesarkan. Hasil
karya sastrawan adalah representasi akurat dari struktur-struktur
yang membentuk masyarakat tempat seorang penulis dilahirkan. Pada
hemat saya, Sehandi belum sampai analisis bahwa dalam konteks teori
strukturalis, seorang individu tidak dapat melampaui realitas yang
ada, di mana tidak ada pemutusan (diskontinuitas) terhadap tradisi
yang membesarkannya. Ia hanya menggambarkan struktur, pasif.
Saya justru lebih mengacu pada analisis Hans Georg-Gadamer bahwa
selalu ada peleburan horizon yakni sebuah karya sastra merupakan
perkawinan antara tradisi tempat pengarang dibesarkan dan
pengalaman eksistensial penulis berhadapan dengan dunia luas.
Lokalitas boleh diberi tempat, namun ia tidak pernah dapat
mendeterminasi kreativitas pengarang.
6

KREATIF DAN INSPIRATIF

Esai
(2) saya menduga anjuran Sehandi untuk kembali ke dalam konteks
tradisi NTT bersumber dari keyakinannya bahwa sastra bergenre
lokal merupakan tipologi sastra yang ideal untuk NTT. Asumsi saya
(dan memang hal ini perlu dikonfirmasi ke Sehandi) bahwa Sehandi
meyakini sastra warna lokal merupakan genre sastra yang paling
cocok untuk menghadapi konteks kehidupan masyarakat, dan punya
kontribusi penting bagi pembangunan masyarakat NTT.
Pengandaian di balik keyakinan ini yakni kembali ke tradisi adalah
pergerakan positif seakan-akan dalam tradisi terdapat jawaban finalkonstruktif atas semua permasalahan di NTT. Saya berpandangan
lain. Merujuk pada analisis Jrgen Habermas, tradisi itu tidak sematasemata positif sebab ada warisan-warisan kultural tertentu yang
merugikan manusia seperti budaya patriarki, kekerasan terhadap
anak, pemborosan, dan lain-lain. Dalam konteks ini, tipologi sastra
bergenre lokal memang perlu dihidupkan, tetapi bukan satu-satunya.
Perlu ada juga karya sastra di NTT yang memuat aspek-aspek
universal (dalam hal ini tidak melulu deskripsi bercorak lokal) untuk
membersihkan tradisi dari berbagai pengandaian yang inhuman.
Pembelaan yang belum meyakinkan terhadap term lokal bisa jadi
menimbulkan anggapan bahwa sastra NTT lebih sebagai suatu
protes atau kecemburuan terhadap sentralisasi kesusastraan
Indonesia. Dalam hal ini, sastra NTT merupakan kritik terhadap
determinasi cara pandang pusat, yang cenderung memakai kriteriakriteria yang mematikan para penulis dari luar pusat.
(3) Saya cukup terkejut dengan kualifikasi Sehandi bahwa sastra
NTT adalah sastra Indonesia warna daerah (lokal) NTT yang ditulis
dalam bahasa Indonesia (huruf miring oleh saya). Pertanyaan saya
adalah lalu bagaimana dengan sastra lisan yang hidup dan diwariskan
oleh para leluhur kita ratusan tahun yang lalu? Apakah sastra lisan
tidak masuk dalam kajian sastra? Sehandi telah memangkas riwayat
sastra lisan di NTT bukan sebagai sastra NTT, karena tidak ditulis
(lisan) dan hanya diceritakan dalam bahasa daerah. Sebagai

Edisi 33, Januari 2015

Esai
perbandingan, banyak pakar sastra di Indonesia menyebut adanya
angkatan Pujangga Lama dalam sejarah sastra Indonesia meskipun
masih memakai tradisi lisan dan menggunakan bahasa Melayu,
Minangkabau, dan Jawa. Sehandi telah membuat pembatasan agak
sempit terhadap sastra NTT dengan menolak kehadiran sastra lisan
warisan leluhur di NTT. Kalaupun Sehandi tidak memasukkan sastra
lisan dalam sastra NTT, Sehandi harus membeberkan landasan
teoretisnya.
(4) Saya juga meminta penjelasan Sehandi atas tesisnya bahwa ...
karena kelahiran NTT maka ia disebut sastrawan NTT. Kelahiran
seperti apa yang dimaksudkan Sehandi? Apakah konsep ini juga
memasukkan para warga Indonesia dari daerah lain yang tinggal di
NTT kemudian menghasilkan karya sastra tentang NTT? Apakah
menulis karya sastra tentang NTT secara otomatis menjadi
sastrawan NTT, meskipun bukan berdarah NTT dan tinggal di luar
NTT? (dengan kata lain, apakah F. Rahardi boleh disebut sebagai
sastrawan NTT karena novelnya Lembata?) Apakah seorang yang
berdarah NTT tetapi menulis tentang daerah lain (bukan NTT) dapat
disebut sebagai sastrawan NTT? Sehandi belum memberikan
penjelasan meyakinkan atas hal ini.
Kegelisahan saya ini berdasarkan pada kecemasan: pertama, suatu
telaah atas karya-karya sastra yang terlampau apresiatif dapat
berubah menjadi mata pedang yang membunuh gelora semangat dan
kreativitas para penyair-penulis novel dari NTT, terutama para
penulis muda. Pemberian apresiasi dalam lautan pujian dapat
membangkitkan kelembaman kreativitas di antara para penulis, dan
pada saat serentak menghambat kemajuan mereka untuk berkarya.
Akibatnya, telaah terhadap karya-karya sastra di NTT tampak
sebagai pembelaan (apologia), seakan-akan karya-karya sastra tersebut
berkurang kualitasnya dan kehilangan otonominya tanpa kehadiran
telaah-telaah apresiatif tersebut. Tak heran jika saya temukan bahwa
bagian kata pengantar ataupun kajian sesudah penerbitan karya-karya
8

KREATIF DAN INSPIRATIF

Esai
sastra para penulis (muda) dari NTT masih sarat parade pujian dan
berbanderol apologia.
Karena itu, saya kurang setuju dengan analisis Yoseph Tapi Taum
bahwa nilai positif dari apresiasi tentu saja, adalah bahwa
semua bentuk sastra hiburan maupun seni memiliki hak untuk hidup
dan mendapat apresiasi (kata penutup dalam Buku Mengenal Sastra
dan Sastrawan NTT). Jika yang dimaksud adalah apresiasi dalam
tataran pujian semata, apresiasi tersebut justru meruntuhkan
kreativitas pengarang, yang berujung pada kelembaman berkarya.
Kedua, bahwa tanggung jawab telaah sastra di NTT hingga kini
masih terlalu dibebankan pada penyair dan penulis dari NTT. Rubrik
esai pada Jurnal Sastra Santarang sejak penerbitannya masih
didominasi oleh nama-nama seperti Ragil Sukriwul, Yohanes
Manhitu, Mario Lawi, Amanche Frank, Kristo Suhardi, dan lain-lain.
Semuanya penyair, penulis novel, penulis naskah teater. Saya bisa
membayangkan energi yang luar biasa dari para penulis karya sastra
di NTT: menjadi penulis karya sastra sekaligus menjadi kritikus
karya sastra. Kebeluman kritikus sastra di NTT membuat para
penyair saling menelaah karya sesama penulis, satu passion yang
mungkin cukup berat dilakonkan (di Indonesia, penyair sekaligus
kritikus sastra cukup terbatas seperti Goenawan Muhammad, dan lainlain). Dan, saya termasuk orang yang percaya bahwa menjalankan
peran sebagai penulis karya sastra dan kritikus karya sastra secara
serentak cukup berat. Pasalnya, perlu energi fisik, motivasi (kecintaan
atas sastra), pengaturan waktu, keluasan dan energi imajiner, serta
daya intelektual yang mumpuni.
Dicari: Kritikus Sastra dari NTT
Kritikan saya bukan berarti penolakan total atas kemestian
apresiasi terhadap para penulis dan larangan bahwa para penulis di
NTT tidak dapat menjadi kritikus sastra. Apresiasi tidak mesti dibalut

Edisi 33, Januari 2015

Esai
dalam pujian semata. Apresiasi juga merupakan bagian dari kritik,
asalkan berkualifikasi kritik yang rasional, dapat
dipertanggungjawabkan sesuai standar kajian sastra. Dalam kritik
yang berkualitas, setiap penulis yang ditantang akan berusaha
memaksimalkan kreativitasnya dalam berkarya. Selain itu, adanya
kritikus sastra di luar para penulis dapat memberikan kesempatan
lebih luas pada para penulis untuk berkarya. Kritikus sastra pula
dapat menggali, menjelaskan, dan mempromosikan nilai-nilai yang
tersembunyi di balik karya-karya sastra itu.
Apresiasi mesti tetap diberikan kepada para penulis, tetapi melalui
kajian-kajian kritis menurut kaidah ilmu sastra. Di sini, prisma teori
sastra Rene Wellek dan Austin Warren berlaku: kajian ilmu sastra
harus melibatkan penelitian yang bersifat teoretis (teori sastraliterary
theory), historis (sejarah sastraliterary history), dan kritis (kritik sastra
literary criticism). Ketiganya menjalin sebuah relasi yang
komplementer. Untuk mengkritisi sebuah karya sastra, seorang dapat
mendasarkan diri pada teori sastra (bagian ilmu sastra yang berbicara
tentang definisi sastra, hakikat dan prinsip-prinsip sastra,
penggolongan jenis dan ragam sastra, serta anjuran teoretis mengenai
prosedur analisis, interpretasi dan evaluasi terhadap sebuah karya
sastra). Namun, kritik sastra juga tidak pernah lepas dari sejarah
sastra yakni konteks kepenulisan saat sebuah karya sastra dibuat,
yakni tentang kehidupan penulis, situasi saat penulisan sebuah karya
sastra, dan juga perbandingan dengan karya-karya sastra yang ditulis
dalam waktu yang sama.
Sejak Xenophanes dan Herakleitos memulai kritik sastra pada 500
SM, kritik sastra bertujuan menyingkap makna tekstual dan makna
kontekstual sebuah karya sastra. Xenophanes dan Herakleitos,
misalnya, mengkritik pujangga kenamaan Yunani kuno bernama
Homerus. Pasalnya, Homerus membeberkan kebobrokan para dewa:
suatu karya sastra yang membahayakan masyarakat, karena ada
potensi peniruan dan klaim manusia akan otoritas moral independen.
Dalam perkembangan selanjutnya, kritik sastra merupakan
10

KREATIF DAN INSPIRATIF

Esai
pengadilan atas sebuah karya sastra dengan pendekatan teoretis dan
konteks historis yang beragam. Untuk mencapai pemahaman yang
kritis tentang teks, seorang kritikus dituntut memiliki bekal wawasan
terhadap teori-teori sastra, sejarah sastra, ilmu-ilmu terkait, dan juga
pengenalan mendalam atas karya sastra yang akan dikaji.
Sebuah kritik sastra tanpa wawasan komprehensif, dan referensi
pada teori sastra serta sejarah sastra bisa jadi hanya merupakan
pameran subjektivitas seseorang tanpa landasan keilmiahan. Padahal,
kritik sastra tidak berurusan dengan perasaan suka, sentuhan
pengalaman pribadi, hubungan emosional antara kritikus dan penulis
karya sastra yang akan dibedah. Untuk mencegah hal ini, maka sudah
saatnya NTT membutuhkan kritikus-krititikus sastra yang
memberikan penilaian kritis terhadap karya-karya para penulis NTT
dengan bereferensi pada teori sastra dan sejarah sastra. Pada titik ini,
kritik sastra yang bersungguh-sungguh dapat lebih menghargai
pengalaman keringat dan air mata dari para penulis dalam
menghasilkan karya-karya sastra mereka.
Namun, keharusan kritikus sastra dalam dunia kepenulisan sastra
di NTT juga dibutuhkan dalam kaitannya dengan masyarakat melek
sastra. Selain mengembangkan kesusasteraan, para kritikus sastra
dapat membantu masyarakat NTT untuk mengenal para penulis
sastra dari NTT, yang membekali masyarakat untuk menilai dan
melakukan kontekstualisasi atas sebuah karya sastra yang ditulis.
Melalui pendekatan-pendekatan seperti pendekatan hermeneutis
(Friedrich Scheleiermacher, Wilhem Dilthey, Martin Heidegger, dan
Hans Georg-Gadamer), pendekatan strukturalis (Ferdinand de
Saussure, Claude Levi Strauss), pendekatan poststrukturalis (Roland
Barthes, Jacques Derrida), dan pendekatan feminis (Julia Kristeva,
Simone de Beavoir), para kritikus dapat melakukan kajian kritis atas
karya sastra dengan aplikasi jenis-jenis kritik sastra yang berbeda,
misalnya kritik historis, kritik pragmatis, kritik impresionistik, kritik
judisial, kritik tekstual, dan lain-lain.

Edisi 33, Januari 2015

11

Esai
Dengan analisis demikian, tujuan kritik sastra dapat mencapai
kepenuhannya. Meminjam analisis Graham Hough, kritik sastra karyakarya di NTT tidak boleh membatasi diri pada pengumpulan,
penyuntingan, penetapan teks, interpretasi, serta pertimbangan nilai.
Kritik sastra harus bergerak pada ranah yang lebih luas: persoalan
tentang kesusastraan, tujuan, dan kaitannya dengan problem-problem
kemanusiaan.
Kritik sastra yang kritis dan ilmiah membesarkan para penulis.
Saya punya pengalaman menarik. Dalam ketaktahuan tentang sastra,
saya pernah mengkritik puisi-puisi saudara Mario Lawi. Dasar teori
sastra saya adalah sintesis dari teori prisma poststrukturalis Roland
Barthes tentang kematian pengarang dan kajian dekonstruksi Jacques
Derrida tentang adanya jejak-jejak (trace) yang dapat ditelusuri.
Analisis saya bahwa jikalau pengarang telah mati, maka mesti ada
jejak-jejak historis yang dapat membantu para penafsir dalam
menginterpretasi teks. Atas dasar ini saya mengkritik Mario: Kalau
Mario terus menulis puisi seperti ini, Mario tidak akan bisa berpindah dari
lingkungan tempatmu berasal. Orang yang membaca puisi-puisimu, mesti
mengenalmu sebagai seorang yang pernah hidup di seminari. Dalam
kacamata saya saat itu, jejak-jejak Mario tetap statis, dan akan tetap
berkutat pada wilayah yang sama, sehingga ia akan lembam, tak
kreatif. Jejak-jejaknya mudah tercium. Dan (menurut saya waktu itu),
Mario harus cepat beralih tema!
Namun, kita tahu bahwa Mario Lawi tetap bertahan dalam puisi
bergenre imaji biblikalnya. Justru dalam kritik, Mario semakin
konsisten, meniupkan nafas kehidupan bagi kata-kata suci di Alkitab
lalu mempertemukan kata-kata itu dengan pengalaman kontekstual
masyarakat NTT. Ia justru merias jejak-jejak itu sehingga kita tak
pernah bosan mencari, berziarah dan menimba kekayaan makna puisipuisinya. Terhadap kritik saya, Mario menulis: Saya berpikir ini
justru bukan kritik melainkan motivasi (lihat petikan wawancara
Mario Lawi dalam Jurnal Santarang edisi Desember 2013, hlm. 44).
12

KREATIF DAN INSPIRATIF

Esai
Saya yakin bahwa kebesaran hati dalam menanggapi kritik menjadi
salah satu alasan Mario berlari kencang di kancah kesusastraan
nasional saat ini.
Sebuah kritik sastra berkualitas harus membedakan kritik sastra
populer dan kritik sastra akademis. Kritik sastra populer sering
cenderung dangkal, tanpa sokongan teori, dan pameran subjektivitas
kata-hati. Sedangkan kritik sastra akademis sering menggunakan
pendasaran teori yang ketat, bahasa ilmiah, dan sejauh mungkin
menghindari subjektivitas dalam telaah sastra. Kedua-duanya punya
kelemahan: kritik sastra yang terlampau ilmiah dan ketat sering kali
hanya dipertahankan di kampus (lingkungan akademis), dan sulit
dijangkau oleh masyarakat publik. Di sisi lain, kritik sastra populer
yang bertujuan menjangkau pasar dan masyarakat banyak sering kali
mengorbankan pendasaran teori, argumen bias, dan menggunakan
bahasa-bahasa publik yang melanggar kaidah berbahasa.
Mungkin banyak yang berpendapat bahwa dua kelemahan ini
mengantar pada pilihan dilematis yang tidak dapat didamaikan.
Namun, menurut saya kelemahan ini justru dapat diselesaikan dengan
menggunakan peran kampus (kaum intelektual) untuk
memasyarakatkan karya sastra. Sudah saatnya kampus dan juga kaum
intelektual membuat kritik sastra dan memperkenalkannya kepada
masyarakat dengan menggunakan bahasa-bahasa yang mudah
dipahami dan pada saat yang sama tidak mengorbankan elemenelemen penting dalam kritik sastra.
Tentu saja tugas memasyarakatkan kritik sastra seperti demikian
tidak semudah membalikkan telapak tangan. Karena itu, saya
menganjurkan perlunya pentradisian kritik sastra di sekolahsekolah, terutama kampus-kampus di NTT. Universitas-universitas di
NTT mempunyai Fakultas Sastra dan Fakultas Pendidikan Bahasa
yang dapat memaksimalkan potensi para mahasiswa untuk melakukan
kritik sastra (terutama karya-karya para penulis dari NTT) dalam
kuliah dan juga sedapat mungkin berani keluar dan

Edisi 33, Januari 2015

13

Esai
memasyarakatkan kritik sastra pada siswa-siswa SMA, SMP, SD dan
juga masyarakat. Pentradisian kritik sastra ini sangat penting untuk
memantik lahirnya kritikus-kritikus sastra. Dami N. Toda dapat
menjadi kritikus sastra ketika berkenalan dengan Fakultas Sastra
Sastra dan Budaya UGM (1966), Fakultas Sastra Universitas
Indonesia (1974), dan pelbagai diskusi tentang sastra. Seorang Ignas
Kleden dapat menjadi kritikus sastra ketika mulai berkenalan dengan
para penyair NTT sejak menjadi siswa Seminari St. Dominggo
Hokeng, kegemarannya membaca teori-teori sastra, dan usaha
besarnya untuk menulis kritik sastra secara terus-menerus. Menjadi
kritikus sastra adalah sebuah perjuangan yang tak pernah selesai.
Kritikus-kritikus sastra yang sejati dari NTT sangat dibutuhkan
saat ini, walaupun harus bernasib seperti Sisipus, dalam mitologi
Yunani kuno: Dicintai sekaligus dibenci, ditolak namun secara diamdiam dirindukan, menumbuhkan kreativitas namun pada saat yang
sama diasingkan karena sikap kritis mereka. Ini pengorbanan besar
namun hanya dengan demikian, sastra NTT dan sastrawan NTT
memperoleh legitimasi kokoh dan dapat dipertahankan dari serangan
manapun. Jika hal ini tercapai, Sisipus sastra (kritikus sastra NTT)
tetap berbahagia walau dalam penderitaannya-meminjam titah
Albert Camus.
Siapa yang berani berkorban sebagai kritikus sastra dari NTT dan
bagaimana ia dapat dilahirkan? Mampukah NTT melahirkan,
membesarkan, dan meneruskan kritikus sastra Indonesia dari NTT
semisal Dami N.Toda dan Ignas Kleden? Semoga tulisan sederhana
ini membuka diskusi kita.***

14

KREATIF DAN INSPIRATIF

Esai
BAHAN BACAAN
Barthes, Roland. Camera Lucida: Reflections on Photography.
Penerjemah: Richard Howard. New York: Hill and Wang, 1981.
Derrida, Jacques. The Problem of Genesis in Husserls Philosophy.
Penerjemah: Marian Hobson, Chicago: The University of Chicago
Press 2003.
Eneste, Pamusuk. Buku Pintar Sastra Indonesia. Jakarta: Kompas, 2001.
Fahik, Robby. Badut Malaka. Yogyakarta: Cipta Media, 2011.
Fahik, Robby. Likurai untuk Sang Mempelai. Yogyakarta: Cipta Media,
2013.
Kleden, Ignas. Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan: Esai-Esai
Sastra dan Budaya. Jakarta: Grafiti dan Freedom Institute, 2004.
Poyk, Gerson. Di Bawah Matahari Bali. Jakarta: Sinar Harapan, 1982.
Sehandi, Yohanes. Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT. Yogyakarta:
Penerbit Universitas Sanata Dharma, 2012.
Toda, Dami, N. Hamba-Hamba Kebudayaan. Jakarta: Sinar Harapan,
Jakarta, 1984.

*Redem Kono, lahir di Bokon, 08 April 1989. Berasal dari Eban, sebuah kampung
terpencil di pedalaman pulau Timor, NTT. Kini mahasiswa Magister Filsafat di
STF Driyarkara, Jakarta.

Edisi 33, Januari 2015

15

CERPEN
Paras yang Menghilang dalam Cermin
Afryantho Keyn
Solor telah diserang terik jelang tengah hari ketika tiga anak tanah
kampung lari pontang-panting menjauhi khalayak di pasar Enatukan.
Pasar yang memanjang di pesisir pantai itu masih riuh ketika
ketiganya menerobos belukar sepanjang jalur rahasia mereka.
Beriring-iringan mereka berlari. Di muka sana, tampak Rano tengah
memeluk barang curian yang mereka ambil dari pasar tadi. Di tengah
barisan, Yani melesat cepat sambil memegang ujung celana
rombengnya yang kehilangan ikat pinggang. Sedang di belakang
keduanya, di penghujung barisan maling itu, tampak paras pemimpin
mereka yang kehilangan senyum. Ia berlari dengan pasti, setiap
gerakan kakinya menentramkan kedua pengikutnya yang tengah
dijerang resah. Sesekali ia berpaling, berusaha membahasakan situasi
bak teroris kawakan. Tatapannya tajam, melempar keterangan yang
melegakan hati para rekannya.
Akan tetapi, beberapa saat berselang, jelang mereka tiba di sumur
keramat, suasana berbalik 180 derajat. Seperti biasa, sumur angker itu
senyap. Tak terdengar lagi perang tawar-menawar dari arah pasar.
Segala kegaduhan seakan diserap masuk ke dalam liang sumur yang
gelap gulita itu. Orang-orang kampung pun enggan melintas di
sumur itu. Di situlah, di sumur yang tak pernah mereka tahu mengapa
disebut keramat itu, keadaan berbalik arah. Gaduh cermin pecah tibatiba merobek keheningan. Rano telah tersandung dan tersungkur.
Wadas di tepi jalan setapak telah menghabisi riwayat harta curian
mereka. Cermin yang berukuran 60x30 sentimeter itu seketika
bercerai jadi tiga. Namun, tak hanya tiga kata serapah yang
mengudara dari mulut sang pimpinan. Itulah ungkapan khasnya bagi
orang yang tak suka berhati-hati.
Rano tertunduk lesu, menatap pilu kedua tangannya yang sedikit
berdarah. Tak mampu ia menanggung salah dan serapah itu.
16

KREATIF DAN INSPIRATIF

Cerpen
Semenjak terbentuknya konspirasi tengik mereka, baru kali ini ia
merasa gagal. Anak penjual arak itu gugup di hadapan bosnya. Yani
malah bertingkah lain. Ia berdiri memasang kuda-kuda. Nanar ia
menatap wadas sial itu. Tak lazim ia tampak segarang itu.
Sesungguhnya, ia ingin memalingkan paras keringnya dari bos
mereka yang temperamental itu. Sedang dia, sang pimpinan
konspirasi, serta-merta menjadi bisu setelah sekian lama tumpah
sumpah-serapahnya. Kini, kata-katanya seolah-olah tersendat di ujung
tenggorokannya. Tiba-tiba, tanpa diduga, sang bos membalikkan
suasana. Suaranya melegakan.
Ini baru namanya adil. Cermin sudah jadi tiga. Ia menatap
koleganya satu demi satu. Putusannya dapat ditebak.
Yang paling kecil itu untuk Rano, yang sedang itu untuk Yani dan
yang paling besar itu untuk saya. Tak satu pun berani membantah.
Semua sepakat.
Ketiga maling itu kemudian berpisah di sumur keramat itu. Rano
dan Yani berlalu, berbelok ke simpang timur jalan setapak sebab
rumah mereka terletak di pinggir kampung. Sedang sang pimpinan
masih duduk mematung di dekat sumur keramat itu. Ia lantas
membungkusi cerminnya dengan secarik surat kabar usang yang
sempat ia pungut di pasar tadi.
Beberapa berita lawas terhampar di surat kabar itu. Kasus
pembangunan sumur bor yang menghilangkan banyak rupiah menjadi
perhatiannya. Ia tak tertarik pada koruptor yang rakus itu apalagi
pada jumlah rupiah yang asing itu. Ia hanya tertarik pada kata
sumur. Seketika, perhatiannya mengarah secara penuh pada liang
gelap gulita di hadapannya. Sumur keramat itu pun masih
menghadirkan rahasia di benaknya hingga kini.
Kata neneknya, sumur keramat itu digali pada masa kerja paksa
Jepang. Kedalamannya bisa mencapai 15 meter. Dasar sumur itu
sungguh sulit diduga sebab semata-mata gelap jika dilihat dari

Edisi 33, Januari 2015

17

Cerpen
permukaan. Cahaya matahari sungguh sulit menerobos sampai ke
dasar sumur itu. Bahkan kata neneknya, sumur kelam itulah yang
memberi sumber air perdana bagi orang-orang kampung.
Dulu, tidak ada leding. Sebelum mengering, air sumur itulah yang
kami minum.
Hanya sebatas itu perihal sumur keramat yang diceritakan
neneknya. Setiap kali ia bertanya-tanya lebih jauh, neneknya selalu
tampak kebingungan. Serta-merta cerita dialihkan neneknya ke hal
lain. Sungguh kasat mata neneknya menyembunyikan sesuatu
daripadanya. Sejak itu ia mulai yakin, sebab-musabab gelapnya sumur
itu bukan hanya karena deretan pohon nyiur yang menghalangi
pancar cahaya, tetapi lebih dari itu. Ia percaya, di dasar sumur itu,
pasti masih tersimpan cerita-cerita yang gelap.
Ia memutuskan untuk pulang. Hari telah sungguh siang. Pasar pun
tentu telah sepi. Di tangan kirinya, terdapat cermin yang ia bungkusi
tadi. Ketika hendak melewati simpang barat jalan setapak, bulu
kuduknya tiba-tiba merinding. Sungguh, dari dasar sumur keramat
itu, sekali lagi, ia mendengar seseorang memanggil-manggil dirinya.
Da... mi....
Suara itu sungguh berat, terpantul-pantul di dinding sumur.
Namanya terdengar sayup, berulang-ulang karena gaung. Sedang di
langit lazuardi, persis di atas sumur itu, tiga ekor gagak tiba-tiba
melintas.
Malam harinya, Dami merenung sendiri di kamarnya. Tak ada yang
lebih istimewa di kamar tidurnya itu selain sekeping cermin tak utuh,
hasil curian siang tadi. Ia telah rekatkan cermin itu di paras almarinya
yang kumal. Kini separuh parasnya tergambar di dalam cermin itu.
Mulai saat ini, ia tak sulit lagi becermin, merias parasnya sebelum
menemui dara taksirannya. Di Sekolah Menengah Pertama kampung,
18

KREATIF DAN INSPIRATIF

Cerpen
Diana putri kepala kampunglah yang ditaksirnya. Sudah sejak lama ia
berusaha mendekati dara cantik itu. Namun sejak saat itu pula, ia
seakan telah ditolak mentah-mentah. Garis panjang bekas luka di pipi
kirinya telah merampas sebagian besar ketampanannya,
menghilangkan sebagian besar hari depan asmaranya.
Kehadiran pecahan cermin di kamarnya itu, tidak hanya membuat
Dami dapat dengan mudah bercermin. Barang curian itu dapat pula
melemparkan Dami ke masa lalu yang pilu setiap kali ia melihat
pantulan luka pipi kirinya itu. Buku hariannya memuat kejadian itu.
Sore itu, katapel Yani menewaskan ayam kesayangan bapaknya. Rano
menyiapkan sebotol arak. Kami berpesta di sumur keramat. Sampai gelap,
kami melingkari api unggun.
Kami sudah sepakat agar pulang lebih larut. Tetapi Yani memang
penakut. Ia lebih dahulu melarikan diri ketika ada suara dari dalam sumur
yang menyebut-nyebut namaku. Aku jadi takut, apalagi Rano. Kami
berpisah di situ dan pulang.
Hari sudah sangat gelap ketika kutiba di rumah. Kuberharap bapak tak
ada. Setiap sore bapak melaut. Tetapi semuanya tak selalu seperti itu.
Rumah sudah sepi. Emakku di dapur, tak tahu ketika aku masuk ke
kamar. Tetapi, di dalam kamar, kubertemu dengan makhluk yang paling
aku takuti: bapakku! Tanpa basa-basi, tangannya menghunjam mukaku.
Cincin di jari manisnya merobek pipi kiriku. Kulihat di lantai titik-titik
merah darah. Kemudian semuanya tiba-tiba menjadi gelap gulita.
Demikian cacatan singkat Dami. Kenangan itu ia pendam di hati
dan telah telanjur membuatnya sungguh benci pada bapaknya.
Kebencian itu kemudian memuncak tatkala tindak kekerasan
bapaknya itu sungguh di luar dugaannya. Ia tak pernah mengira,
bapaknya naik darah hanya karena ia sering bermain di sumur

Edisi 33, Januari 2015

19

Cerpen
keramat. Tak lebih karena kasus pencuriannya atau pun aksi
mirasnya. Apalagi tak pernah bapaknya menerangkan sisi gelap
sumur itu. Amarahnya membuat Dami tak bernyali untuk bertanyatanya.
Siang tadi, suara dari dasar sumur itu terdengar
kali suara asing itu mengudara. Dami tak mengerti,
namanya yang disebut-sebut, bukan Yani atau
kepalanya, ia menarik kesimpulan ini: bapak dan
menyimpan rahasia sumur itu.

lagi. Telah dua


mengapa hanya
Rano. Dalam
neneknya pasti

Tanpa pamit pada emaknya, Dami menemui neneknya di seberang


kampung. Bapaknya telah melaut sejak tadi. Dami tak ingin
menunggu lebih lama lagi untuk mengetahui rahasia sumur itu dari
bapaknya. Rahasia itu mungkin akan lebih mudah keluar dari mulut
neneknya, pikirnya.
Di selasar rumah neneknya, rahasia itu ternyata kian sulit
terungkap. Neneknya mengunci rapat-rapat mulutnya. Dami semakin
menaruh curiga. Kebisuan itu membuatnya mulai yakin, neneknya
pasti menyimpan masa lalu sumur itu. Sampai larut, rahasia itu tetap
menjadi misteri. Neneknya malah bercerita tentang pasar Enatukan.
Ena itu berarti duduk. Tukan berarti tengah. Sehingga pasar
Enatukan berarti semua orang dari segala arah datang dan duduk di
sini karena kampung kita ada di tengah.
Dami tahu, cerita perihal pasar itu semata-mata demi
menghilangkan jejak cerita tentang sumur itu. Namun pada akhirnya
pun Dami tetap bersikeras mencari tahu. Malam yang kian larut
memberi peluang pada neneknya untuk menutup pertemuan malam
itu.
No, sudah jauh malam. Tidak baik bertanya-tanya tentang itu saat
malam-malam begini. Kalau nanti No besar, No pasti tahu.
Dengan penuh kecewa, Dami tinggalkan rumah neneknya. Malam
telah begitu larut. Sedikit tampak rembulan. Jalan telah gelap. Namun
20

KREATIF DAN INSPIRATIF

Cerpen
rahasia sumur itu tak begitu gelap lagi baginya. Neneknya telah
sedikit melegakan hatinya.
Ketika melintas di tikungan jalan, Dami melihat sesosok orang
berdiri di halaman depan rumahnya. Dari cahaya neon kamarnya,
tampak jelas orang itu memegang rotan di tangannya. Tiba-tiba,
ketakutan Dami menumpuk, secepat angin malam yang menyisir
ilalang di kejauhan. Dami hanya berdoa, semoga itu bukan bapaknya.
Tetapi suara orang itu telah telanjur menghianati doanya.
Dami mendekat, nyalinya tiba-tiba tumbang. Seperti biasa, jika
sedang marah, tanpa basa-basi bapaknya menghantamkan rotan ke
sekujur tubuhnya. Kata ampun dan tangisan Dami tak mampu
mengemis belas kasihan bapaknya. Sekali lagi, alasan tindak
kekerasan yang ia terima, membuat Dami kian benci pada bapaknya.
Bapak sudah bilang, jangan pergi ke sumur itu lagi.
Berkali-kali rotan itu mendera, sampai akhirnya bapaknya berlalu.
Dami merasa sakit tak terperi di sekujur tubuhnya. Suara kekesalan
emaknya dari dapur bebak memenuhi seisi rumah. Emaknya kecewa
sungguh pada bapaknya. Silang pendapat bapak emaknya itu
membuat neraka seakan menjelma di rumah itu. Tak mampu Dami
masuk ke rumah itu. Perih tubuhnya bersatu dengan sakit hatinya.
Dami berbalik, mengambil langkah ke utara, ke arah pantai.
Perlahan-lahan, ia ditelan larutnya malam. Ketika mencapai jalan
raya, ia tak tahu mengapa, ia ingin sekali pergi ke sumur keramat itu.
Kelelawar tengah berebut makan di puncak kapuk hutan ketika
Dami menuruni jalan setapak berkerikil. Dari jauh, burung hantu
merobek-robek kesunyian. Koak gagak di sepanjang barisan pohon
beringin berusaha menemani langkah kaki Dami yang bergerak
perlahan. Deretan pohon nyiur tampak seperti makhluk-makhluk
aneh penjaga sumur keramat. Sedang di langit kelam, rembulan yang
muram dipagari gemawan jingga. Dami mengerti, kali ini ia tidak
perlu dikawal oleh kedua koleganya. Ia tak merasa takut sedikit pun

Edisi 33, Januari 2015

21

Cerpen
kali ini.
Dami melongok ke dalam sumur keramat itu. Ia menanti saat-saat
yang asing itu. Suara aneh itu telah telanjur membuatnya rindu untuk
selalu pergi ke sumur itu dan menanti namanya disebut-sebut. Tak
lama, suara asing itu akhirnya tiba, merambat-rambat dari dasar
sumur memanggil-manggil dirinya. Seperti biasa, suara itu berat,
terpantul-terpantul di dinding sumur.
Suara itu benar-benar merasukinya. Dami tak tahu mengapa,
selepas suara aneh itu lenyap, ia nekat melakukan ini. Berbekal bekas
luka yang memanjang di pipi kirinya, berbekal sakit hati pada
bapaknya, ia menjatuhkan diri ke dasar sumur. Seketika, semuanya
menjadi gelap baginya.
Cukup lama kesadaran Dami lenyap di dasar sumur itu. Suara
ancaman dan pukulan di puncak sumur membuatnya kembali terjaga.
Koak gagak masih juga terdengar. Perlahan-lahan, melalui tangga
besi berkarat di dinding sumur, Dami berusaha mencapai puncak.
Di puncak sumur, Dami mendapati segerombolan laki-laki sedang
mengadili seseorang. Obor-obor yang bernyala menerangi wajah
mereka. Orang malang itu mirip Roland sang pemburu kaum
pelompat dalam film Jumper yang pernah Dami tonton seminggu
silam. Wajahnya sangar dan berdarah. Satu-satunya hal yang dikenal
Dami adalah wajah laki-laki yang memegang pemukul kayu berdarah
di tangannya. Ia marah-marah seraya menunjuk-nunjuk Roland yang
malang itu.
Kau tak cocok hidup! Lebih baik kau mati daripada buat kampung
jadi kacau-balau. Dasar orang gila!
Pemukul kayu itu sesekali menghunjam paras pemburu jumper itu.
Ia merintih dan segera rebah ke tanah. Sedang Dami tiba-tiba
menjerit ketakutan. Tetapi aneh, tak seorang pun menghiraukan
jeritannya.
22

KREATIF DAN INSPIRATIF

Cerpen
Kemudian, suasana kian memilukan. Tanpa diperintah, beramairamai segerombolan laki-laki itu melemparkan Roland berparas
sangar itu ke dasar sumur keramat. Sebelum semuanya menjadi sepi,
orang malang itu sempat merintih dari dasar sumur. Suaranya berat,
terpantul-pantul di dinding sumur.
Saya selalu tunggu anak cucumu di sini.
Dami merasa sungguh dekat dengan suara itu. Ia kenal suara berat
itu.
Dami telah jauh ketika api berkobar-kobar di dasar sumur itu.
Sungguh sadis, segerombolan pembunuh itu melempar obor-obor ke
dasar sumur. Akhir hidup orang malang itu sungguh menyedihkan
kalbu. Kini, ingatan Dami jatuh pada wajah laki-laki yang memegang
pemukul kayu berdarah itu. Ia sungguh kenal laki-laki itu. Namun
Dami tak mengerti, mengapa laki-laki itu rela berlaku sekeji itu.
Jelang tiba di pelataran rumah, Dami mendengar emaknya masih
meninggikan suara. Silang pendapat dengan bapaknya tadi membuat
emaknya tak rela meredakan amarah. Emak sungguh resah dengan
keadaannya yang tiba-tiba saja menghilang. Kedatangannya tentu
bisa membalikkan suasana, pikir Dami.
Namun, kenyataan memang sungguh sulit ditebak. Dami merasa
benar-benar terlempar ke dunia lain yang aneh. Sejak di sumur tadi,
keadaan telah menjadi sungguh aneh. Pun kali ini. Tak disangka,
emaknya begitu acuh ketika Dami melintas persis di hadapannya. Tak
ada rangkulan mesra seperti dalam cerita anak yang hilang. Padahal,
dengan jelas, emaknya begitu merisaukan keadaannya.
Di kamarnya, Dami semakin kehilangan akal. Kali ini, ia benarbenar merasa terlempar ke dunia lain. Sejak keanehan menjelma di
sumur tadi, bahkan sempat menjelma lagi di hadapan emaknya
sendiri, kini di dalam kamarnya yang sempit itu, menguap lagi
kejanggalan. Telah berkali-kali ia becermin. Namun cermin itu tetap

Edisi 33, Januari 2015

23

Cerpen
menghianatinya. Di dalam cermin yang tak utuh, hasil curian siang
tadi, tak sedikit pun ia menemukan parasnya. Di dalam cermin itu,
parasnya menghilang.
Beberapa saat berselang, riuh menyeruak dari jauh. Terdengar
tangisan banyak orang kian mendekat. Terdengar pula doa-doa yang
dirapalkan. Seketika, hiruk-pikuk memenuhi seisi rumah. Di ruang
tengah, tangisan kian meninggi. Semuanya sungguh asing bagi
Dami. Emaknya meraung-raung histeris. Lalu terdengar pula ratapan
neneknya. Kekecewaan sungguh mengalir dari bibirnya.
Bapakmu memang pembunuh! Dulu, dia bunuh orang gila di
sumur itu. Kenapa malam ini kami harus temukan No di dasar sumur
itu lagi?
Dami berlalu dari kamarnya. Di ruang tengah, di pusat tangisan
itu, sekali lagi sebuah keanehan mahadahsyat membekuknya. Di
sekeliling para perempuan peratap, di pangkuan emak dan neneknya,
ia melihat dirinya sendiri yang sejak tadi menghilang dalam cermin,
terbujur kaku, kehilangan nyawa.
(Hokeng-Nusadani, 2012-2013)
Keterangan:
No: panggilan akrab untuk laki-laki bagi masyarakat Lamaholot pada
umumnya.
Afryantho Keyn lahir 28 Oktober 1991. Mulai belajar menulis cerpen sejak
duduk di bangku SMA Seminari San Dominggo, Hokeng, Larantuka. Kini tinggal
di Nusadani, Solor Barat, Flores Timur.

24

KREATIF DAN INSPIRATIF

Cerpen

Klaudius
Armin Bell
Katak-katak telah mulai bernyanyi sejak tadi. Paduan suara ramai
dari sawah di belakang kampung. Sebentar lagi nyanyian itu akan
melembut perlahan dan burung hantu bersuara merdu dari hutan di
Utara akan mengambil bagian dalam pentasan alam menjelang
malam. Rona merah di ufuk barat perlahan samar dan menghitam.
Kerlip lampu-lampu pelita mulai tampak dari rumah-rumah dengan
jendela yang masih setengah terbuka. Malam datang di kampung
yang permai saat semua pulang ke rumah: petani yang seharian
bekerja di sawah, anak-anak yang bermain tanpa lelah sejak pulang
sekolah. Di rumah ada ibu yang ramah.
Tetapi Klaudius belum tiba.
Am, it lihat Ndiu? Sudah malam tapi belum pulang? tanya
perempuan itu pada suaminya. Ia sedang sibuk menyiapkan makan
malam dan mulai gelisah; Klaudius belum pulang padahal sudah
malam dan piring-piring kotor dari jam makan siang belum juga
dibersihkan, ini seharusnya tugas Klaudius.
Tadi ke mana? suaminya bertanya.
Selesai makan siang langsung pergi bermain bersama temantemannya. Padahal sudah saya ingatkan untuk cuci piring dahulu. Dia
pergi begitu saja, tidak pamit, jawabnya dengan nada cemas yang
mulai terdengar jelas.
Perempuan bernama Maria itu pantas cemas. Di Kenti, kampung
mereka tinggal, telah ada cerita tentang makhluk dari dunia lain yang
akan mengambil anak-anak. Mereka menyebutnya Darat. Konon, si
anak akan dijadikan peliharaan Darat jika tak segera dicari.
Dari kisah turun-temurun yang diketahui ketika Maria masih
berusia setahun, seorang anak di Kenti pernah diculik Darat. Diculik

Edisi 33, Januari 2015

25

Cerpen
setelah jam bermain selesai sebab si anak takut pulang ke rumah
karena lupa mencari kayu api seperti yang diminta ibunya.
Mendadak penyesalan tumbuh di hati Maria malam itu. Siang tadi
ketika Klaudius berlalu saja dari permintaannya mencuci piring,
perempuan itu berteriak keras: Ndiuuuu ayo pulang. Cuci piring
dulu. Dasar anak tidak tahu diuntung. Tidak bisa menolong orang
tua. Kena sial baru tahu rasa!
Ingin diceritakannya peristiwa siang tadi kepada suaminya, tetapi
hanya ada kalimat ini yang keluar dari mulutnya, Am, it harus
segera cari Ndiu. Perasaan saya tidak enak, pinta Maria.
Lelaki bernama Simus itu enggan beranjak dari tikarnya. Selonjor
melepas lelah kerja sehari. Dengan suara pelan dia berkata, Sudahlah
In, nanti juga pasti kembali. Paling juga dia sedang asyik bermain
bersama teman-temannya. Kalau makan malam sudah siap, kita
makan malam saja dulu. Biar nanti Klaudius menyusul kalau sudah
pulang.
Makan malam berlangsung dalam diam. Mereka berdua. Ibu dan
Ayah Klaudius tak bersuara. Hanya nafas yang terdengar berat ketika
makan malam selesai dan Klaudius belum kunjung pulang. Burung
hantu telah selesai memperdengarkan simfoni terakhirnya. Di Kenti,
akhir nyanyian burung hantu dipercaya sebagai pertanda bahwa tak
ada lagi anak-anak yang bermain di halaman. Simus beranjak ke
kamar dan keluar lagi tak lama setelahnya.
Kamu tunggu di sini saja. Biar saya coba ke rumah Herman
temannya. Siapa tahu Ndiu ada di sana, kata Simus dan beranjak
pergi dengan senter di tangannya. Malam telah menjadi pekat. Adalah
musim hujan yang telah mulai membuat gelap dengan mudah
menyebar. Ada gerimis sisa hujan lebat sebelum sore. Pasti Ndiu
kedinginan sekarang karena tadi bermain di bawah hujan, pikir Simus.
Setengah jam sesudahnya Simus kembali. Klaudius tak ada di
rumah Herman. Maria mulai meratap. Seluruh kampung kini tahu
26

KREATIF DAN INSPIRATIF

Cerpen
Klaudius belum kembali ke rumah. Para tetua kampung sepakat:
Klaudius diculik Darat, kesimpulan yang diambil setelah mendengar
cerita-cerita; dari Maria tentang dirinya yang memarahi Klaudius,
dari Herman dan teman-temannya yang lain tentang tempat mereka
terakhir kali bermain hari itu di dekat hutan.
Kami bermain sembunyi tadi. Terakhir, giliran Ndiu dan temantemannya yang bersembunyi, demikian Herman memulai ceritanya.
Dari mulut teman sepermainan itu diketahui bahwa di ujung hari, saat
teman-teman tim Klaudius berhasil ditemukan persembunyiannya,
Klaudius tidak berhasil ditangkapbahasa mereka tentang
keberhasilan menemukan anggota tim lain yang mendapat giliran
bersembunyilalu bersepakatlah mereka menduga bahwa Klaudius
telah lebih dahulu pulang ke rumah. Kami pikir Ndiu buru-buru
pulang karena sebelumnya dia cerita bahwa tadi belum sempat cuci
piring, tutur Herman.
Demikianlah kisah itu diceritakan Herman sekaligus menjawab
pertanyaan banyak orang mengapa mereka tidak teruskan mencari
Klaudius.
Malam itu disepakat pencarian segera dilakukan. Ingatan tentang
anak lelaki di masa lalu yang tak berhasil ditemukan karena terlambat
dicari membuat orang-orang bergegas. Untung tak ada lagi gerimis.
Gong dan gendang diturunkan dari rumah Tua Golo dan mulai
dibunyikan. Begitu kerasnya alat-alat itu dipukul tangan-tangan yang
khawatir, bunyinya bertalu hingga jauh ke kampung tetangga. Lelaki
muda dan dewasa yang tak memiliki senter mulai menyalakan obor.
Mereka, para lelaki muda dan dewasalah yang akan bertugas mencari.
Anak-anak dan perempuan berkumpul di rumah Klaudius menemani
Maria yang berduka.
Di antara isak tangisnya perempuan itu terus menerus meratap.
Menyesal. Ndiu, Ndiu, In minta maaf. Pulang, Ndiu, pulang. In
tidak marah. Para ibu menghibur. Gadis-gadis berbisik-bisik tentang
kisah lama yang mendadak populer lagi: Seorang anak diculik Darat

Edisi 33, Januari 2015

27

Cerpen
karena tak turut permintaan ibunya. Anak-anak tak peduli. Mereka
bermain saja di halaman yang kini terang benderang karena cahaya
obor yang sengaja ditanam beberapa pemuda sebelum mereka pergi
mencari.
Di pinggir hutan para pencari tak bersuara. Senyap. Tak ada yang
berani menabuh gong dan gendang. Hutan itu begitu lebat dengan
pohon-pohon sepelukan orang dewasa yang tumbuh rapat-rapat.
Dingin menerpa dari angin malam yang mengombang-ambingkan
cahaya obor-obor yang diangkat tinggi. Beruntung mereka tadi
memutuskan membuat obor. Senter tak cukup mampu menembus
pekat. Burung-burung malam sesekali melintas lalu sembunyi.
Binatang-binatang melata yang terusik merayap menjauh.
Mereka telah melintas mata air, yang sebelumnya adalah daerah
terjauh di hutan itu yang biasa mereka capai. Ayo, mulai panggil,
kata Tua Golo yang memimpin rombongan tersebut. Sebuah
komando yang memecah hilangnya suara dan tetabuhan sejak mereka
di bibir hutan. Betapa satu perintah mampu membangkitkan
keberanian.
Ndiu, Ndiu, Ndiu! Teriak mereka ditingkah gong dan gendang
yang kini ditabuh lebih bersemangat. Semakin ke tengah hutan
semakin bersemangat mereka berteriak, semakin tinggi obor-obor
diangkat, semakin liar kelebat cahaya senter dimainkan, semakin giat
para penabuh gong dan gendang bekerja.
Simus paling kencang. Ndiuuuu, Ndiuuu, ini Am. Ayo pulang.
Kasihan In menangis terus. Pulang, Nak, serunya ditutup isak
tertahan. Para lelaki muda dan dewasa yang melihat lelaki yang
menangis menjadi tambah bersemangat memanggil, berteriak dan
mencari. Rombongan telah melebar tak lagi memanjang. Wilayah
pencarian diperluas. Kita cari di sekitar sini. Ini sudah di tengah
hutan. Mungkin Darat itu tinggal di sini. Jangan lupa awasi temanteman. Jangan jalan sendiri. Bahaya! Komando dari Tua Golo.
28

KREATIF DAN INSPIRATIF

Cerpen
Di kampung, Maria terus menangis dengan suara yang semakin
lemah. Terlampau lama dia meratap, suaranya menghilang. Betapa
sedih hatinya mengingat seluruh kisahnya bersama Klaudius anak
mereka satu-satunya.
Klaudius adalah anak yang ceria. Selama ini selalu menjadi teman
setia Maria ketika suaminya bekerja di kebun. Klaudius gemar
menolong sesama. Itulah mengapa Herman begitu menyukainya. Juga
anak-anak yang lain sama seperti Herman, menyukai Klaudius.
Kenangan itu membuat hati perempuan itu semakin lara.
Tentang peristiwa siang tadi, baru saat inilah ingatan Maria
menjadi jernih. Sebelum pergi meninggalkan piring kotor yang
seharusnya dicucinya, Klaudius bilang: In, saya cuci piringnya nanti
sore saja. Saya harus segera pergi ke rumah Herman. Dia butuh
bantuan membuat potang. Setelah itu kami langsung bermain di
pinggir hutan.
Tangis Maria kembali pecah. Dengan suara tersisa diratapinya
Klaudius yang belum kembali. Ibu-ibu kembali menghibur dengan
suara pelan lalu tiba-tiba meninggi dan berubah ramai ketika dari
halaman anak-anak berteriak-teriak: Mereka pulang! Mereka
pulang!
Semua yang di rumah bergerak ke halaman. Dari jauh terlihat
kerlip obor, semakin lama semakin jelas, mendekat. Rombongan
pencari itu bergerak pulang. Perempuan dan anak-anak berdebar
menanti. Semakin dekat semakin terlihat wajah para pencari itu
tampak ceria. Ada gurat senyum yang tertangkap pandang dari jarak
seratusan meter.
Horeeee, Ndiu ada. Ndiu ditemukan, teriak anak-anak melonjak
kegirangan. Ibu-ibu dan para gadis saling berpelukan. Maria berlari
menyongsong, menyambut suaminya yang juga berlari mendekat
dengan Klaudius dalam gendongannya. Pertemuan keluarga. Maria
memeluk Klaudius dan suaminya. Diusap-usapnya kepala Klaudius

Edisi 33, Januari 2015

29

Cerpen
tanpa kata-kata. Klaudius juga demikian, memeluk ibunya dengan
erat. Ada tangis kecil. Tangis bahagia mereka bertiga.
Suasana haru itu serentak hilang ketika anak-anak berlarian
menjerit-jerit ketakutan. Jejari mereka menunjuk ke tengah
rombongan pencari, menuding sesosok baru dan berteriak nyaring:
Setaaaan. Mereka pulang dengan setaaaaan! Suasana panik
menyebar. Sebagian perempuan menduga, sosok itu adalah anak lelaki
yang di masa lalu juga diculik Darat.
Pendapat itu buru-buru dibantah oleh sebagian lelaki dari
rombongan pencari. Saya kenal teman saya yang dahulu hilang itu.
Bukan ini. Meski sudah tua, tapi saya tahu betul ada ciri yang khas.
Kakinya pendek sebelah. Kalau orang ini, kakinya normal. Tapi saya
juga tidak kenal siapa orang ini, kata seseorang menjelaskan.
Tentang siapa lelaki itu, tak ada yang dapat memastikannya.
Namun tentang mengapa dia ada bersama rombongan pencari dan
Klaudius, Tua Golo tampil dan mulai bercerita.
Ketika mereka sampai di tengah hutan dan mulai berteriak-teriak
mencari, Klaudius muncul dari balik pohon yang besar. Kemunculan
yang mengejutkan yang membuat beberapa pria berteriak ketakutan.
Klaudius kemudian meminta mereka ke balik pohon besar itu. Di sana,
seorang lelaki sedang duduk memijat-mijat kakinya; kelelahan.
Siapa dia? tanya orang-orang. Klaudius mulai bercerita.
Ketika tadi main sembunyi, saya pilih tempat agak jauh. Sekitar
seratus meter dari mata air. Lalu saya lihat orang ini. Dia seperti
sedang lapar. Dia minum air dengan satu tangannya sedang
tangannya yang lain memegang sesuatu. Saya mendekat lalu tahu itu
tanah. Orang ini makan tanah itu. Dia mungkin lapar, cerita
Klaudius. Selanjutnya Klaudius bergerak semakin dekat dan berniat
mengajak orang itu pulang ke rumahnya berhubung hari sudah mulai
gelap dan dia ingin meminta ibunya menyiapkan makan.
Belum juga Klaudius menyampaikan niat baiknya, orang itu
30

KREATIF DAN INSPIRATIF

Cerpen
bergerak ke tengah hutan dengan cepat. Berlari. Klaudius mengikuti
dan tiba di tengah hutan saat hari sudah malam. Gelap. Didapatinya
orang itu duduk bersandar pada pohon besar, kelelahan. Orang itu
ternyata tak bisa bicara. Dia hanya tersenyum melihat Klaudius. Di
tengah gelap, dipeluknya Klaudius yang ketakutan. Siapakah yang
tidak takut bersama dengan orang asing di tengah hutan yang gelap?
Klaudius juga tak tahu jalan pulang. Semua pohon tampak sama di
tengah hutan yang gelap. Demikianlah mereka berdua di sana sampai
rombongan pencari tiba di situ dan membawa mereka pulang.
Bisik-bisik tentang Klaudius diculik Darat selesai begitu saja. Saat
semua orang masih di halaman, dari jauh datang rombongan lain.
Rupanya dari kampung tetangga. Mereka tadi serempak datang
ketika mendengar tetabuhan gong dan gendang. Kiranya kampung
Kenti memerlukan bantuan, pikir mereka. Lalu mereka bergerak ke
mari, ke halaman rumah Klaudius tempat semua orang Kenti
berkumpul.
Dari rombongan terakhir inilah diketahui tentang siapa lelaki yang
bersama Klaudius di tengah hutan. Dia orang gila dari kampung
kami. Kemarin terlepas dari pasungan dan menghilang. Kami
berterimakasih kepada Klaudius dan seluruh warga kampung Kenti
karena berhasil menemukannya. Akan kami ajak pulang, kata
seorang dari antara mereka.
Malam itu semua menikmati kopi di halaman rumah Klaudius.
Pernyataan syukur yang sederhana atas peristiwa yang baik, lalu
pulang. Klaudius bersama ayah dan ibunya masuk. Klaudius makan
dengan lahap lalu mereka tidur. Hari sudah tengah malam. Gerimis
yang tadi sempat berhenti kini datang lagi, dengan cepat menjadi
hujan yang deras.

Edisi 33, Januari 2015

31

Cerpen
Keterangan:
1. Am: Panggilan untuk Ayah dalam dialek Manggarai Barat.
2. It : Sapaan bahasa Manggarai yang berarti kau/ kamu, biasanya
untuk orang yang dihormati (lebih santun).
3. Darat : Jin. Diceritakan bahwa mereka cantik seperti bidadari. Pada
beberapa percakapan, gadis Manggarai yang sangat cantik akan
dipuji: Cama molas de darat = Cantik sebagai bidadari.
4. In : Panggilan untuk Ibu dalam dialek Manggarai Barat.
5. Tua Golo: Tua Adat, Kepala Kampung di Manggarai. Dipercaya
sebagai pengambil keputusan. Biasanya menempati rumah adat
yang disebut Mbaru Gendang.
6. Potang : Sangkar Ayam. Biasanya dari anyaman tali temali dari
tanaman rambat di hutan, bisa juga dari rotan atau bilah bambu.

Armin Bell bernama lengkap Robertus Bellarminus Nagut. Lahir di Kupang, 16


Juni 1980. Ia adalah peserta Borobudur Writers and Cultural Festival 2014.
Cerpennya berjudul Kopi menjadi salah satu pemenang prospektif pada
Lomba Menulis Cerpen Obor Award 2014. Ia merupakan pegiat teater, anggota
kelompok resepsi sastra PETRA BOOK CLUB Ruteng, serta pengelola Taman
Baca LG Corner Ruteng.

32

KREATIF DAN INSPIRATIF

Cerpen

Mimpi Soli Nunbaun Delha


Christian Senda
Dalam mimpi yang sempurna di Coupang, kita bisa memulainya
dari hati seseorang yang tertanam di dekat pantai karang.
Pauline Antoinette Tuinenburg, pagi ke-39.
Bagaimana rasanya menyepi di surga selama 118 tahun? Maafkan
jika aku terlalu sok tahu tentang surga. Di dalam batok kepalaku
bersemayam sebuah makna bahwasanya di surga semua tak lagi
mampu bersuara sekaligus mendengar. Aku percaya Tuhan punya
cara demikian agar manusia yang tinggal di surga hanya mampu
melihat dan menikmati segala keajaiban yang indah tanpa sibuk
mengoceh dan mendengar ocehan orang lain. Cukuplah segala
kegilaan karena mulut dan telinga hanya berlaku di dunia. Surga
versiku ini hitam putih seperti cemetery yang dilukis Jaques Etienne
Victor dalam Voyage Autour du Monde sur les Converttes de LUranie
1817. Jaques menulis Kupang sebagai Coupang.
Ah, lupakan itu Pauline... Lihatlah ke arah pantai. Mercusuar itu
hampir roboh, dan benteng Concordia dicuri pasukan loreng dari
ingatan sejarah. Klenteng di bawah sana akan roboh. Gereja-gereja
tua akan terhisap terowongan setan. Toko-toko tua hanyalah nama.
Siapa yang mencintai sejarah di kota ini? Siapa yang menghargai
kejayaan masa lalu? Pejabat kami terlalu bodoh untuk urusan seperti
ini. Bahkan rumahmu, Pauline! Pejabat kota berteriak di koran
tentang revitalisasi bangunan-bangunan kuno tapi sekali lagi cuma
teriakan. Mereka bodoh. Mereka itu sekumpulan orang gila yang
mengira mereka lahir mesin-mesin pabrik. Mereka amnesia pada masa
kanak mereka tentang kota yang gemilang. Mereka sedang
membunuh keajaiban kota lalu menggantinya dengan ruko yang tak
punya selera seni!

Edisi 33, Januari 2015

33

Cerpen
Pauline, adakah kisah yang tak berbuah satir di kota ini? Nama dan
jejak kejayaan tak berbekas di sini. Yang abadi adalah kebodohan dan
satir yang memuncak di kerongkongan, siap dimuntahkan saking
anyirnya. Maka, mari rayakan itu. Kubawa dua kaleng cola dingin
untuk kita berdua. Mari kita mandi matahari bulan Oktober sambil
sedikit demi sedikit kita comot kue bagia yang hancur di genggaman.
Pauline, sedang kucari-cari kisah lain yang tak menyayat hatimu.
Sulit memang. Barangkali ini sesulit dirimu merawat hari tua di
rumah jayamu yang sudah bolong-bolong sebab berlempeng-lempeng
marmer telah dicuri. Jika bangsamu menciptakan rumah abadi seperti
ini sebagaimana mereka memimpikan surga maka kotaku berhasil
menjadikan rumah abadi kalian seumpama sarang setan.
Kau terdiam seperti lukisan muram. Bajumu bunga-bunga kain
sulam yang oleh waktu kini menjadikannya kisah kelam. Kisah yang
kini sedang kususun dalam berpuluh-puluh anak bab dalam mesin tik
waktu.
Ada baiknya teluk ini kunamai Koepan meski kau menyebutnya
Coupang. Kita bisa melihatnya dari bukit mungil di pinggir pantai ini.
Lihat, banyak sekali kapal dan perahu yang merapat. Kau tentunya
lebih tahu dariku, manakah orang Cina, manakah keturunan Arab,
bahkan kaummu yang berkulit putih bisa kau bedakan mana Belanda,
mana Portugis. Mereka semua terlalu gila pada cendana, lilin dan
madu. Sungguh pelabuhan di depan kami ini selalu sibuk sepanjang
waktu.
Soli Dari Nunbaun Delha, kau memanggilku demikian. Aku
menoleh ke arahmu namun kau tepis dengan diammu yang misterius.
Sepasang tatapan ganjil darimu kemudian menggiring mataku
menuju bendera kecil merah-putih-biru di puncak tiang kapal-kapal
yang sedang oleng di lautan. Aku makin sebuk menerka-nerka isi
kepalamu. Desau angin membawa aroma asin dan amis tipis ke dalam
ingatan kita. Ingatan yang tiba-tiba menamparku; Pauline, adakah
cara untuk menyambung dimensi ini agar lengkaplah kenyataan satir
34

KREATIF DAN INSPIRATIF

Cerpen
yang hendak kutulis?
Aku memutuskan untuk bercerita. Semoga kau mendengarnya. Jika
pun tidak, aku yakin aroma asin amis di sini punya seribu cara untuk
menaruhnya pada setiap ruang ingatan semesta. Barangkali itu akan
hidup dalam beberapa catatan sastra anak cucu kota ini.
***
Pauline Antoinette Tuinenburg, pagi ke-40
Kuseka wajahmu untuk pertama kali kala itu, enam puluh pagi
yang lalu. Namaku Soli. Aku membisikan kalimat pendek itu ke daun
telingamu. Kau nampak begitu rapuh di bawah terpaan matahari.
Rumput-rumput telah menggerogoti kaki hingga pahamu. Seratus
depalan belas tahun, aku bergumam tentang umur rumahmu yang
tertera di pintu. Sebuah pintu rapuh dengan sedikit jejak marmer
yang tersisa.
Teman-temanku telah menjauh dari rumahmu. Diam-diam mereka
memancarkan aura penakut. Apakah mereka tiba-tiba melihat
berderet-deret rumah tua di hadapan kami ini pecah atap dan
pintunya lalu keluarlah sejenis manusia-manusia tanah? Aku tak
melihat seorangpun selain Pauline. Kulihat teman-temanku telah
menyusuri jalan setapak menuju ke laut. Aku mengeluarkan kamera
polaroid dari tas dan mencoba meminta izin padamu apakah kau boleh
kupotret. Kau menolak dengan halus disusul sebaris senyuman.
Mendadak sosokmu jadi berwarna. Mendadak dunia dihadapanku jadi
berwarna. Kau seperti memancing jutaan warna itu jatuh di
hadapanku lalu membungkus kembali senyum itu ke balik peti muram
yang tergurat di wajahmu. Kau seperti angin timur yang sulit ditebak.
Kita akhirnya mengobrol. Tidak, maksudku akulah yang
mengobrol sedangkan kau ikut menyimak meski dalam diam. Sejam
dua jam rasanya bertahun-tahun, Pauline. Rumput di sekujur
tubuhmu kubersihkan, kau sedikit lebih baik. Entah kenapa secepat itu
akhirnya aku jatuh cinta padamu. Lantas kita bercinta di bawah terik

Edisi 33, Januari 2015

35

Cerpen
matahari. Punggungku terbakar, selangkanganmu berdarah-darah.
Selebihnya kusadari lengan dan batang leherku memar karena
gigitanmu. Kau liar, Pauline. Sekali sajakah nafsu misterius kau
hadiahkan?
Hingga kini aku belum pernah
mendengar secuil pun kisah keluar
dari mulutmu, kecuali Soli, namaku
yang kau sebut. Aku menulis ini
beberapa kali sebab kisah yang
sama pernah kutulis lalu kau
bakar. Semoga tulisanku yang
terakhir ini bisa selamat. Kau
masih terdiam dan melempar
pandangan aneh pada kertaskertas di atas pangkuanku.

40

Tiba-tiba teman-tamanku memanggil


namaku dari arah pantai. Aku
bangkit berdiri. Barangkali aku
kurang
awas,
kertas
sudah
berpindah tangan. Kau masuk
ke rumah dan membakarnya.
Tinggalah aku dan dua lembar
kertas yang jatuh tercecer ini.
Kisah tentang pagi ke-39 dan
yang sedang kalian baca ini.
***
Pauline Antoinette Tuinenburg, pagi ke-41

Bagaimana caranya aku kembali ke alam mimpi empat puluh pagi


yang lalu? Aku ingin menulis ulang segala kisah dengan lebih serius.
Kota ini seperti tak punya catatan sejarah yang baik. Kota ini
36

KREATIF DAN INSPIRATIF

Cerpen
barangkali akan tenggelam dalam arus banjir modernisasi sebab ia
sendiri tak punya fondasi sejarah yang kokoh dan tinggi. Pejabat di
kota inibuang jauh-jauh niatmu untuk membuat mereka merawat
sejarah. Mereka lebih cinta setumpuk uang karena mereka ingin tidur
di atas uang.
Jika aku boleh kembali ke alam mimpi, ingin kutelanjangi mereka
dan kujadikan patung-patung di dasar teluk, tempat anak karang
bikin rumah untuk ikan-ikan bercinta. Barangkali di kemaluan mereka
yang telah mematung, kelak akan jadi rumah karang bagi seribu ikan.
Dan wisatawan asing boleh membayar mahal untuk atraksi bawah
laut yang tiada duanya itu. Biarlah di atas sana, di setiap sudut kota,
aku dan teman-temanku merawat dan menjaga buah-buah tangan
nenek moyang kami. Biarlah yang rakus selamanya telanjang dan
karam di dasar teluk. Andai mimpiku ini terjadi maka bersiaplah kau
pejabat berotak karang!
SoE, 2014
Christian Senda lahir di Mollo Utara pada 22 Desember. Menikmati sastra, film
dan kuliner. Bekerja sebagai konselor di salah satu sekolah menengah di
Kupang. Menulis buku puisi Cerah Hati (2011) dan kumpulan cerita Kanuku
Leon (2013). Bergiat di komunitas Blogger NTT, Komunitas Sastra Dusun
Flobamora, Forum Soe Peduli dan Solidaritas Giovanni Paolo II. Ia diundang
menghadiri Asean Blogger Festival di Solo dan Makassar International Writers
Festival di Makassar pada tahun 2013, serta Asean Literary Festival di Jakarta
pada tahun 2014. Blog: www.naked-timor.blogspot.com. Twitter: @dickysenda.

Edisi 33, Januari 2015

37

PUISI
Cyprianus Bitin Berek
Seusai Pembunuhan (1)
Lamekh
Dua puluh empat hasta dari beranda.
Siang pun pecah berderai ketika Lamekh
lenguhkan lagu paling sembilu,
-- Istriku - Ada dan Zila - ada padaku oleh-oleh:
kering darah di kerlip pedang. Karena kutumpas sudah
lelaki malang yang melukaiku siang ini,
pula seorang muda sepupumu yang menamparku.
Maka angin lunglai, menyusup ke pokok-pokok akasia.
Belukar gemetar, isyaratkan bahaya, Angkara terjadi
sudah dan bakal terulang selalu. Celaka! Celaka!
-- Pabila mengusik Kain dibalaskan tujuh kali,
kan kubalas tujuh puluh tujuh kali lipat
pembangkit murkaku. Tuhan adalah aku,
karena padakulah gambar dan rupa-Nya.
Sedang nyawa kalian rumputan belaka.
Maut hitam dan berkarat, merembes di beranda.
Rumputan meratap seperti melepas kutuk paling laknat.
Tapi tanah berteriak lantaran darah terlanjur tumpah,
Pada Kain tersisa sesal dan cemas. Tapi Lamekh merasa
berkuasa atas nyawa. Wahai, lelaki berhati paling jelaga!
Berkelana dari sungai darah ke lautan darah.
Dari mata pedang ke leher sesama.
Nyawa jadi mainan untuk orgasme khayalmu.
Wahai, kutuk darah orang terbantai!

38

KREATIF DAN INSPIRATIF

Puisi
++ Lamekh, Lamekh! Terhadap penyesalan Kain, Kucegah
balas dendam orang dengan tanda bianglala di dahinya,
tapi dengan tangan sendiri kau balas dendam atas namaKu.
KasihKu kauubah menjadi dendam!
Pada keturunan ketujuh manusia, nyawa
sungguh tak bernilai, saat membunuh
adalah kebenaran - atas nama Allah.
-- Akulah Lamekh - manusia keturunan ketujuh
dari garis Kain. Murka Allah tak lagi kutakuti,
karena sesungguhnya aku titisan Allah.

Edisi 33, Januari 2015

39

Puisi

Seusai Pembunuhan (2)


Zila
Siang yang merdu tiba dengan lagu paling manis.
Menyibak tirai, kusambut dia suamiku perkasa.
Betapa tampan dia dengan pedang berlukis darah,
pedang buatan tangan anakku lanang. Amboi!
Betapa gairah menanti tuturnya: melintas bahaya
antara membunuh atau terbunuh. Amboi!
.
Pedang punya sarung, ialah tubuh manusia.
Angan lelaki punya rumah, ialah tubuhmu, Perempuan.
O, dia bisikkan itu bagai puisi, lantas mewujud kuda
paling liar. Alangkah seksi amarahnya.
Tak pernah mampu kujinakkan dia, bahkan di malam
paling pekat. Dan kala mata kupejamkan, tahulah diriku
sungguh rumah bagi gelisah kembaranya.
Juli 2014

*) Lamekh adalah generasi ketujuh manusia dari garis Kain/Qabil.


Dia adalah manusia pertama yang berpoligami dan merasa berhak
membunuh orang yang menyakitinya. Dua istrinya adalah Ada dan
Zila.
Cyprianus Bitin Berek, dilahirkan di Kampung Baru, Atambua, Timor, NTT.
Alumnus Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Sejumlah sajaknya tersiar di
beberapa terbitan surat kabar harian Kompas.

40

KREATIF DAN INSPIRATIF

Puisi

Deodatus D. Parera
Perempuan Samaria
Laut pasang dalam senyummu adalah lukisan senja yang pasrah di
Eden. Kendati lautan menggeming di balik gagahmu, selama lebih
dari detak jam jarum ini berhenti bersama cahaya kau laksana peri.
Selama hampir tak pasti waktu, kau menunggu. Jarum yang berputar
menunggumu antarkan malam dengan rindu yang kerap bernyalanyala di wajahmu kendati tangan hendak melapangkan nista. Sebelum
semuanya jatuh tanggal, melepaskan dirimu dari lembar-lembar silam
adalah laut yang setia mendaraskan gelombangnya dari balik gaunmu.
Demikianlah aku yang tak pernah mengenalmu.
Assumpta, 2014

Edisi 33, Januari 2015

41

Puisi

Amsal Para Perantau


/1
Lelaki yang sanggup pergi
Mampu pulang kembali.
Sementara yang pejamkan mata
Tak akan menembus dunia.
/2
Perempuan yang merelakan matanya
Tak lepas dari kenangan lampaunya.
Sedangkan yang diam menenum harinya
Akan menjual sepi sebelum fajar tiba.
/3
Laki-laki dan perempuan dari sepasang waktu.
Selalu sering menanti.
Assumpta, 2014

42

KREATIF DAN INSPIRATIF

Puisi

Rindu Jatuhkan Sepi


Selembut cahaya di matamu
Selembut senyum dari hujan
Serpih angin yang berhembus
Seserpih cahaya di matamu
Titik-titik air yang jatuh
Menitikkan air di dalam kalbu
Jatuh ke kalbumu seperti
Menjatuhkan kenangan di seberang sepi
Membayangkan setiap perginya cahaya
Matamu selembut setiap kenangan
Menggenang dari balik kepergiaan
Entah dalamnya laut atau maut
Atau dalam bayangan.
Assumpta, 2014

Edisi 33, Januari 2015

43

Puisi

Himne Perantauan
Senja, kelopak malam telah padam
Dari Timur menuju Laut Mediterania.
Gerigil arwah memasang pedati
Ombak yang tak sepi dari angin
Menghunus pedang sejuta kepalan tangan
Bahwa Timur sedang mekar
Dari hembusan gelora asa
Dan pesona neraka.
Kembalikan duri yang menembus
Pada pohonnya. Kembalikan pada akarnya.
Biarkan segera asa dan sengsara padam
Tenggelam di mulut makam
Yang selalu menghantam.
Assumpta, 2014

Deodatus D. Parera tinggal di Kota Baru, Kupang. Sejumlah karyanya


dipublikasikan di Pos Kupang, Victory News, Jurnal Sastra Filokalia, dan lainlain.

44

KREATIF DAN INSPIRATIF

KUSU-KUSU
2015: Jang Makfafiti deng Makrarese!
Amanche Franck Oe Ninu
Sus Kete deng Sus Nea datang di Bap Dusun pung rumah ko
saling balapor. Sus Kete tuduh Sus Nea bilang Sus Nea fitnah san dia
di samua tetangga. Sus Nea lapor bale bilang Sus Kete ada bamaki dia
siang malam. Bap Dusun bingung. Sus Kete deng Sus Nea tamba
bingung. Sapa yang pelaku? Sapa yang korban? Awal taon idop bukan
tamba dame tapi makin kacau-balau, biru balau. Korek pi korek, ini
masalah makin rumit berbelit-belit macam tali hutan balilit di hutan
Oepetu sa. Ujung pi ujung ju sama sa, karna bingung merenungrenung akhirnya Bap Dusun ame putusan. Sus Kete deng Sus Nea
kana denda babi merah masing-masing satu ekor untuk kas selesai
perkara dan proses badamai. Bap dusun bertitah dan masalah selesai.
Son tau sapa yang mulai duluan, masalah akhirnya sampe di Bap
Dusun. Yang untung adalah masyarakat, tua muda lak-laki
porompuan datang ko iko acara perdamaian dan sikat beking abis itu
dua ekor babi merah yang su jadi babi chi. Adoh Sus Kete deng Sus
Nea e. Cari masalah sa.
Ini Sus Kete deng Sus Nea pung masalah ni jadi pelajaran penting
buat katong di awal tahon ni supaya hidup tenang dan badame satu
sama lain. Beta dengar dari banya orang bilang ini tahun 2015 ni
tahun kambing. Jadi katong samua musti hati-hati, karna kambing tu
malompat sini malompat sana, makfafiti sini, makfafiti sana, akhirnya
kaki patah dan cedera. Makanya katong musti jaga badan deng jaga
jiwa supaya salamat.
Memang di awal tahon ni katong musti banya doa supaya katong
pung hidup ni makin hari makin bae. Beta senang banya orang su
mulai sadar ko kerja, mulai dari yang muda sampe yang tua samua su
bagarak untuk idop babae. Hanya memang kadang-kadang ada oknum
yang selalu sa cari masalah model ke katong pung Susi dua tadi.

Edisi 33, Januari 2015

45

Kusu-kusu
Katong pung Bapa Paresiden Jokowi bilang katong musti karja, karja,
karja! Itu berarti karja tu talalu penting maka musti ditekankan ulangulang. Karja ju musti tarus-tarus makanya Bapatua ulang ini kata
karja ada tiga kali memang. Orang yang sonde ada karja positif, andia
dia pung pakariang hanya makfafiti pi datang ko cari gara-gara. Selain
makfafiti pi datang dia ju makrarese manggarecok beking onar di
mana-mana. Na itu su.
Yang ana-ana muda lebe bae siap masa depan deng kagiatan
kreatif, cari usaha-usaha yang positif untuk masa depan. Jang dudu
tanganga. Bai ngao. Mumkak. Bodo-bodo. Akhirnya hanya pikiran
sapotong ko beking hal-hal yang tar ontong deng son ada guna.
Hehehe. Hidup tu jang talalu makfafiti. Jang talalu bareaksi kiri-kanan
yang lebe-lebe. Tetap fokus di tujuan. Sus Kete deng Sus Nea dong tu
contoh kalo talalu makfafiti urus orang laen pung urusan. Dong dua
tu ju contoh kalo dong talalu makrarese, manggarecok beking cekcok,
beking orang resah dan gelisah. Hehehelabae. Justru itu beta ingatkan
katong di ini awal tahon ni supaya karja, karja, karja, doa, doa, doa.
Itu dua sa katong su bisa bahagia.
Na ini ju musim ujan ju kesempatan bae untuk katong yang petani
dan peladang. Tanam sekali lagi tanam. Bukan tebas sekali lagi tebas.
Katong musti kerjasama deng rahmat hujan supaya saat panen katong
bisa bergembira karna hasil malimpah. Ada jagong, ada ubi, ada
papaya, ada lombok, ada labu, ada kacang-kacangan. Babi, kambing,
sapi, kerbo, kuda, termasuk anjing yang katong piara ju dong pung
badan bisa nae karna katong perhatikan. Beta pikir beta pung
renungan awal tahon ni su talalu panjang a? Bagitu sa e. Beta mo pi
liat Sus Kete deng Sus Nea te dong ada beking acara lai di dong pung
rumah. Maklum perdamaian dan persaudaraan tu musti selalu bae di
ini Dusun. Neu. Itu sa e. Da Salam. Assalam. Palate. Palato.
Amanche Franck Oe Ninu adalah peserta Ubud Writers and Readers Festival
2012 dan Makassar International Writers Festival 2013. buku-bukunya yang
telah terbit adalah Humor Anak Timor dan Pesona Flobamora.

46

KREATIF DAN INSPIRATIF

RESENSI
Meringkas Hidup dalam Puisi
Steve Elu
Judul
Penulis
Penerbit
Terbit
Tebal
Harga

: Dari Rote ke Iowa


: Gerson Poyk
: PT. Aktual Potensi Mandiri
: November 2014
: 120 halaman
: Rp. 50.000,-

Nama Gerson Poyk sebetulnya


tidak asing di dunia sastra
Indonesia. Bagi para penikmat
sastra koran, khususnya, Harian
Kompas, tentu beberapa kali
menemukan nama Gerson tertera di
rubrik Cerpen terbitan hari Minggu.
Terakhir, cerpen Gerson dimuat di
harian Kompas, Minggu, 21 Juli
2013, berjudul Pengacara Pikun.
Meski Gerson sudah lama menulis,
saya baru pertama membaca
karyanya justru pada cerpen ini.
Setelahnya, barulah saya mulai
mencari-cari informasi tentang
biografi Gerson dan karyanya pada
Tuan Google. Syukur bahwa nama
Gerson sangat familiar di mesin pencari jenius ini, sehingga saya
dengan mudah menemukan rekam perjalanan dan karya-karya
Gerson. Selanjutnya, saya lebih banyak membaca Gerson sebagai
penulis cerpen daripada sebagai penulis puisi atau sajak.
Baru pada pertengahan Oktober 2014 yang lalu, saya bertemu

Edisi 33, Januari 2015

47

Resensi
dengan seorang kenalan dan dia bercerita bahwa dia sedang
memproses penerbitan kumpulan puisi Gerson Poyk. Katanya, puisipuisi itu ditulisnya di tahun 1950-an. Tiga minggu kemudian, saat
kami berjumpa lagi, dia menghadiahkan saya kumpulan puisi
Gerson itu, yang ia cetak dengan judul Dari Rote ke Iowa.
Setelah kurang lebih seminggu bergulat dengan kumpulan puisi
ini, maka kini saya tuliskan sudut pandang dan telaah saya mengenai
puisi-puisi Gerson.
Kumpulan puisi Dari Rote ke Iowa memuat 79 puisi yang ditulis
Gerson sejak 1950-an (Pengantar, ix). Di lembar berikut tertulis
Puisi Pembuka. Bunyinya:
Sepinya mercu menyala di keping tanah pulau
Menyalalah dalam bulatanmu
Kalau hanya secercah menyala, sepinya menyala bagi keluasan
Pengelana telah lama ditelan keluasan
Kedip mercumu hidup bicaralah tentang gejolak sepi pulau
Dan suara ria memeluk cahaya dipeluk cahaya
Berakhirpun hidup dalam keluasan
Hati ingin sibak mengisi keluasan
Pada bait pertama, Gerson membuka puisinya dengan kalimat
sepinya mercu menyala di keping tanah pulau. Kemudian nyala
mercu ini dipertentangkan dengan kata keluasan. Dan pada bait
kedua baris pertama, Gerson menulis Kedip mercumu hidup
bicaralah tentang gejolak sepi pulau. Di sini Gerson mengajak nyala
mercu itu untuk bicara pada sepi pulau. Lalu pada dua baris di bait
terkhir berisi keinginan dan harapan.
Dari isi puisi dan penempatan puisi ini sebagai puisi pembuka,
dalam hemat saya, mempunyai suatu kisah unik sekaligus
48

KREATIF DAN INSPIRATIF

Resensi
menghadirkan pesan mendalam. Terutama pada frasa-frasa ini: nyala
mercu, tanah pulau, dan keluasan.
Setelah saya membaca beberapa sumber, ada yang menyebutkan
bahwa Gerson dilahirkan di Namodale, Baa, 16 Juni 1931. Rumah
tempat Gerson dilahirkan letaknya tak jauh dari mercusuar. Itulah
satu-satunya mercusuar di Pulau Rote pada masa itu. Rupa-rupanya
mercusuar yang letaknya dekat rumah kelahiran Gerson inilah yang
ia maksud ketika menyebut mercu dalam Puisi Pembuka tadi.
Selanjutnya, saya menangkap bahwa maksud keluasan dalam
puisi ini adalah rekam jejak Gerson sendiri. Dalam puisi-puisi
selanjutnya ditemukan bawah anak mercu dari pulau sepi ini
berkeliling hampir ke semua belahan Nusantara, bahkan hingga ke
Amerika dan India.
Sebagai Rekam Perjalanan
Puisi-puisi Gerson tidak hanya ingin menyuarakan atau
menyampaikan sesuatu tetapi dalam dirinya sendiri memuat rekam
perjalanan si penyair. Mengapa demikian? Karena, puisi-puisi yang ia
tulis selalu memakai diksi dan simbol yang ada di sekitar tempat saat
ia berada. Jadi, Gerson memberi ruang yang cukup untuk melibatkan
simbol ataupun nama tempat yang menjadi lokasi ia menelurkan puisi
itu. Dengan demikian, puisi yang dia tulis memberi petunjuk atas
nama dirinya sendiri soal tempat, kondisi alam, serta realitas sosial
yang ada di tempat itu, pada masa itu.
Puisi-puisi yang saya maksud misalnya, Siul Kereta (halaman 4).
Dari judulnya, pembaca dengan pasti bisa mengatakan bahwa puisi itu
tidak ditulis di Rote atau NTT karena di sana tidak ada kereta.
Bayangan serupa melintas dalam benak saya ketika membaca puisi ini.
Benar saja, di sudut kanan bawah puisi ini tertulis Banyuwangi,
April 1956. Selain puisi ini, masih ada puisi-puisi lain dengan muatan
serupa yaitu Kenangan Maluku (hal. 21), Dari Pameran Seni Istana

Edisi 33, Januari 2015

49

Resensi
di New York (hal. 37), Berlayar ke Jampang Kulon (hal. 43), Penis
di Patung Asmat (hal. 48), Selamat Tinggal, San Francisco (hal.
65), Boston (hal. 72-73), Timor (hal. 78), Terminal Kampung
Rambutan (hal. 82), Jakarta (hal. 85), India (hal. 94), Musim
Dingin di Iowa (hal.106), dan Sebuah Villa di Puncak (hal. 109110).
Puisi-puisi yang saya sebut di atas saya pilah berdasarkan kesan
tempat yang bisa langsung ditangkap
dari
judul.
Sementara puisi-puisi lain tetap
m e m u a t
keterangan tempat, meski
kita mesti menemukannya di
badan puisi.
Dari
kejelian
kumpulan ini saja,
bisa menangkap
memiliki
pa nja ng
menulis, khusunya
saja tempat ia berada,
lahir. Dari situ pula,
mendapat lukisan akan
masa
puisi
itu
salah satu kekayaan
diperhatikan serius
akan
sangat
memahami kodisi
pada suatu masa.
mempunyai tugas
sebuah peristiwa,
karya sastra lainnya)
d a n k on d is i s ua t u

menelaah

puisi-puisi dalam
pembaca sudah
bawah Gerson
rekam jejak yang
dalam dunia tulispuisi. Di mana
ada saja puisi yang
pembaca
bisa
sebuah tempat pada
ditulis Gerson. Ini
Gerson yang bila
oleh para peneliti
membantu untuk
sosial suatu tempat
Karena
sejarah
merekam kronolgis
sementara puisi (dan
mengungkap suasana
peristiwa.

50

KREATIF DAN INSPIRATIF

Resensi
Mengangkat Lokalitas
Selain sebagai rekam jejak, unsur lokalitas sangat kental dalam
puisi-puisi Gerson. Dalam beberapa puisinya, Gerson bahkan sangat
jelas ingin mengangkat dimensi lokalitas Rote (dan NTT) sebagai
tanah kelahirannya. Misalnya pada puisi Anak Karang (hal.1). Pada
bait pertama Gerson menulis:
Bea!
di tepi sini gubuk dan karang
sekali pernah mama bilang
cerita beta cerita kau
bertulis di tanah berselang karang
Di sini, Gerson mengungkap secara eksplisit perihal situasi rumah
dan struktur tanah di tempat kelahirannnya. Kita tahu, Rote adalah
sebuah pulau kecil yang berada di ujung Pulau Timor. Gerson
memakai diksi gubuk untuk mencatat bahwa rumah pada masa
Gerson lahir bukalah gedung mewah atau rumah batu (rumah
tembok) seperti yang banyak kita temukan saat ini di NTT. Rumah
pada masa itu adalah rumah yang sangat sederhana: beratap daun,
berdinding bebak, dan berlantai tanah. Di situlah biasanya anak-anak
duduk mendengarkan cerita dongeng dari orangtuanya di malam hari,
di dekat tungku.
Sementara diksi karang, dipakai Gerson untuk melukiskan
struktur topografi di Rote yang lebih banyak mengandung karang
daripada tanah. Atau, di lain sisi, Gerson ingin juga mengatakan
bahwa letak gubuk itu tidak jauh dari pantai. Saat air laut surut di
pagi atau sore hari, karang-karang akan menampakkan punggungnya.
Pemandangan seperti ini sangat lazim bagi anak-anak NTT bahkan
hingga saat ini.
Selain puisi Anak Karang, masih ada puisi lain yang mengambil
sudut pandang serupa. Hampir bisa dipastikan bahwa hal ini memang

Edisi 33, Januari 2015

51

Resensi
disengaja oleh Gerson karena ia mempunyai konsentrasi besar untuk
mengangkat isu-isu lokalitas NTT ke panggung nasional.
Yohanes Sehandi, dalam tulisannya di Victory News, Sabtu, 15 Juni
2013, mengatakan hal serupa. Ia mengutip pernyataan yang
disampaikan Gerson saat menghadiri sebuah seminar di Kupang
demikian: Pada kearifan lokallah yang mendorong penataan relasi
sosial. Kearifan lokal mencegah orang terpikat pada materialisme,
misalnya mencegahnya dengan mitos, sastra, cerita rakyat, seni tari,
dan lain-lain. Sementara di kesempatan yang berbeda, Gerson
mengatakan, Negeri kita ini kaya. Kaki di bumi subur, tangan di laut
kaya, tapi otak di padang pasir. Kita harus sadar bahwa bumi kita
subur. Kerena itu, pembangunan harus dilakukan dengan
transmigrasi modern. Pemerintah perlu mengembangkan desa
budaya. Maka kita tidak akan lapar lagi. Orang desa punya piring
raksasa, yakni tanah yang subur. (Kompas, 9 Juni 2013).
Maka, kumpulan puisi Dari Rote ke Iowa ini mesti dibaca dalam
terang anak mercu yang menjelma seroang penulis yang kini berusia
83 tahun dan sumbangsih lokalitas sepi tanah pulau (karang) bagi
budaya nusantara dan dunia.
Steve Elu lahir di Oepoli-Kupang, 30 September 1985. Alumnus STF Driyarkara
Jakarta (2011) dan sekarang bekerja sebagai wartawan. Bergiat dan mengelola
blog: www.kupasbuku.com dan mengelola blog pribadi: www.steveelu.com.
Buku puisi tunggalnya baru terbit dengan berjudul Sajak Terakhir.

52

KREATIF DAN INSPIRATIF

Anda mungkin juga menyukai