Anda di halaman 1dari 5

Nama : Bagus Ariyal Fajar

Asal : Universitas Sumatra Utara

Budaya di Balik Tirai

Riuh menyertai sepanjang putaran roda kendaraanya, seorang pemuda dengan

almamater hijau tua tersenyum sembari menggelengkan kepala tatkala, dua pengendara

beradu mulut di persimpangan jalan raya, ia kembali tersenyum kali ini pada seorang anak

kecil yang menyanyikan lagu diiringi petikan ukulele dengan lihaimya.

Pemuda itu bernama Binsar, mahasiswa berdarah Batak tanpa marga yang lidahnya

terbiasa mengecap pedas dan gurih dari santan dan cabai merah, kini Ia menempuh

pendidikan di Fakultas Ilmu Budaya menginjak semester lima. Lahir di Medan kota

metropolitan yang dikenal sebagai kota ketua.

Sore menjelang petang tepatnya di aula pendopo Fakultas Ilmu Budaya sekumpulan

mahasiswa berbincang membahas panggung budaya berupa pementasan teater pada acara

ulang tahun Teater O yang Ke-32. Teater O merupakan unit kegiatan mahasiswa yang

menjadi wadah tumbuh bagi para mahasiswa pecinta sastra salah satunya adalah Binsar.

“Kurang dari 30 hari kedepan kita udah tampil untuk pementasan ulang tahun

Teater O, jadi tolong kali, minta tolong kali aku untuk kita bersedia meluangkan

waktu ekstra agar penampilan di depan abang-abangan gak kayak kemaren waktu

workshop yang ancor kali itu.” Tegas Minzaky selaku ketua Teater O.

“Siap ketua.” Ucap seluruh anggota dalam diskusi terssebut

Teater O mengadopsi nuansa komedi satir hal yang sangat jarang ditemukan di teater lain

khususnya kota medan ini. Tema yang akan di angkat adalah kebudayaan Batak dengan

didominasi oleh tarian-tarian tradisionalnya.

“Aku dah buat konsepnya, aku gak bisa melibatkan seluruh anggota karena berkat

seleksi alam seusai workshop yang sangat melatih mental kemarin jadi, aku butuh
delapan orang pemeran dan aku udah milih siapa-siapa saja yang memainkan tokoh

tersebut, terkhususnya kamu Binsar.” jelas Aring selaku penulis naskah.

“Kenapa saya?” Binsar terlihat bingung.

“Kamu punya basic skill di dunia bela diri, kan?.”

“Iya, terus?”

“jadi karena kamu itu bisa bela diri aku putuskan kamu untuk memainkan Mossak

Batak.”

“Tapi Ring! Beda gerakannya.”

“Binsar!” Aring menatap tajam seraya menunjukan kepalan tangannya.

“Iya dah iya..”

Mossak merupakan seni bela diri khas suku batak yang keberadaanya mulai pudar,

bahkan Binsar yang notabene seorang berdarah batak perlu mencari di kolom pencarian

internet untuk mengetahui apa aitu seni bela diri mossak.

Saban hari mereka latihan tak perduli hujan panas dari sore hingga larut malam, namun

kegaduhan terjadi sebab Amad sebagai salah satu perajurit pengiring Raja jarang latihan

dan sekali latihan hanya sebentar.

“Mat! Kamu mau kemana? latihan belom siap.” Bentak Putri dengan nada tinggi

“Loh lucu kali, ya aku mau balik lah.”

“Kau itu udah latihan gak maksimal, sekarang pulang paling cepat.”

“Aku punya kesibukan, rumahku jaoh dan kau tau kan Put, Medan ini banyak begal

lagi musimnya”

“loh kau kira kau doang yamg sibuk? Udahlah sukak ati kau ajalah”

Kegaduhan itu membuat suasana latihan jadi canggung Amat meninggalkan sesi latihan

dan menyatakan diri untuk keluar dari penampilan tersebut. Wajah-wajah lesu bercampur
tangis dari Putri menghentikan sesi latihan tersebut
PRAAK

“Ah taik!” Minzaky meluapkan emosinya dengan membanting botol air minum ke

lantai.

Sontak, tangis Putri kian menjadi-jadi bebeapa orang hendak beranjak dari duduknya di
bawah rona lampu yang bersinar redup,

“Woy! kenapa berdiri semua? Mau ikut Amat kalian udah capek-capek gini mau

bubar? Terserah kalian.”

Di sela-sela keributan itu Aring mengangkat handphone-nya yang berdering keras, tak

lama dari itu ia terduduk lemas dengan wajah pucat. Kejadian itu mencuri perhatian para

anggota teater yang hendak membubarkan diri. Aring dengan tatapan kosongnya tak

mampu menjelaskan apa yang terjadi sampai Binsar mengambil alih handphone yang
masih tersambung.

“Temen-temen tenang ya sekarang kita pesen kendaraan online gerak ke rumah

sakit, mungkin lima orang aja, sisanya balik ke rumah segera, dan beberapa tolong
tenangin Aring.” Ucap Binsar.

“Kenapa Bree?”

“Amat kendaraannya ilang di begal sekarang dia kritis di rumah sakit, aku tau

alamatnya, udah kita siap-siap yang lain tolong pulang nanti kami kabarin lagi

setelah di sana, jangan ada yang bantah!” Binsar bersama Minzaky dan beberapa
lainnya bergegas meninggalkan sesi latihan menuju rumah sakit.

Beberapa hari kemudian selepas teragedi pembegalan tersebut para pemain mulai

menurunkan egonya dan kembali bersemangat untuk melanjutkan latihan.

Margogo adalah judul pementasan teatrikal dari Teater O yang di dalamnya ada kisah

seorang Raja yang tamak dan panglimanya hendak menguasai wilayah Pertanian subur

dalam Bahasa batak disebut tano parumaon. Namun, penolakan terjadi sehingga rakyat

membuat perlawanan dengan kekuatan seadanya. sebab kekuatan yang tidak sebanding

beberapa warga tersebut meminta bantuan pada Datu Saruna Bolon seorang pemuka adat

dan mempunyai kekuatan mistis agar dapat mengusir Raja beserta pasukannya.
Pertarungan terakhir terjadi sang Panglima berhasil menusuk seeorang perempuan

hingga berlumur darah, namun siapa sangka perempuan itu mati berlumuran darah di

pangkuan gadis bernama Lasma yang memiliki Tondi Sahala, yaitu sesosok roh perempuan

dengan kekuatan istimewa, Tondi Sahala bangkit menggunakan tubuh Lasma dengan mata

yang memancar merah Lasma tersebut berhasil membunuh Raja dan membuat kabur

Panglima beserta sisa perajuritnya.

Sampailah pada hari pertunjukan sore di waktu weekend, jumlah penonton yang hadir

melebihi target undangan mereka. Para mahasiswa dari berbagai jurusan hadir di Gedung

Pargelaran Budaya untuk menyaksikan pertunjukan teater.

“Loh-loh, kok yang banyakan manusia datang bah?.” Tanya Raihan bingung.

“Si Binsar ngundang kawan-kawannya dari kampus sebelah.” Sambung Putri kesal

“Semangat! Hidup mahasiswa jaya Teater O.” Seru lantang Binsar semangat.

“Binsar oh Binsar.” Ucap serentak para pemain.

Tibalah waktu pertunjukan mereka serentak berdooa dan mengucapkan samboyan


Teater O sebagai pemantik semangat nan berapi-api

“Hadir daana da bukan sekadar datang dan bernafas, Teater O”

Pertunjukan pun dimulai dengan panggung yang gelap dan terang dibuka oleh tari-

tarian kemudian babak per babak, penampilan unjuk gigi bela diri Mossak suku Batak nan

memukau yang di bawakan oleh Sang Panglima yaitu Binsar, dan di lanjutkan dialog-dialog

yang berhasil mengocok perut para penonton. Para penonton dimanjakan oleh tarian-tarian

adat Batak diantaranya Tor-tor ada juga tarian Pak-Pak Cikala Le Pong-Pong, tarian Karo

dan diakhiri oleh tarian Sahala yaitu sebuah tarian kontemporer dibawkan oleh Aring yang

membuat merinding para penonton apalagi diiringi alat musik Hasapi, Garantung, sulim

dan lainya.

Tepuk tangan gemuruh dari penonton diantara mereka ada yang masih berdiri tegak

meski tertatih ia adalah Amat dengan senyuman riang mengekspresikan rasa bangga pada

teman-temannya. Apresiasi juga diutarakan oleh abang-abangan Teater O tentu hal itu

membuat bahagia para pemain baik yang berperan di depan layar maupun di belakang
layar. Pasalnya abang-abangan itu merupakan pendiri dan para senior Teater O dari

generasi ke generasi yang masih hidup dan berkontribusi untuk dunia sastra serta

kebudayaan dan kemaslahatan orang banyak.

Anda mungkin juga menyukai