Anda di halaman 1dari 30

Mendu, Seni Teater Khas Melayu

Mempawah yang Terlupakan


Opini Kamis, 11 Agustus 2016 10:35 3,032

Oleh: Darmawansyah
PERKEMBANGAN zaman tak elak mengakibatkan terkikisnya nilai-nilai, adat-
adat, serta kebudayaan daerah. Musik, teater, tarian, kesenian daerah kian
hari kian kehilangan marwahnya di hati pemuda-pemudi kita. Kesenian
daerah umumnya hanya diminati oleh kalangan tua saja yang sadar akan
pentingnya melestarikan kebudayaan daerah yang merupakan identitas
bangsa yang harus selalu dijaga. Regenerasi pelestarian kesenian daerah ini
sangat diperlukan agar kesenian khas yang telah lama dibangun oleh leluhur
dapat senantiasa terjaga kelestariannya.
Indonesia memiliki beragam suku bangsa yang mempunyai ciri khas yang
dituangkan dengan kesenian daerahnya masing-masing, seperti Jawa
dengan kesenian wayangnya, China dengan kesenian barongsainya, dayak
dengan berbagai macam tarian adatnya, dan beragam bentuk kesenian
daerah lainnya.
Hal ini merupakan satu bukti akan kayanya warisan kebudayaan yang ada di
Indonesia. Namun sangat disayangkan kesenian daerah tersebut kian hari
kian semakin ditinggalkan, hampir punah sebab kurang diminati apalagi
dipelajari oleh muda-mudi penerusnya.
Kesenian daerah yang hampir punah dan dilupakan terkhusus oleh
masyarakat melayu Kalimantan Barat yang bertempat tinggal di Dusun
Malikian, Kabupaten Mempawah diantaranya adalah “Mendu”. Mendu
pertama kali dikembangkan oleh tiga orang pemuda Mempawah yaitu Ali
Kapot, Amat Anta dan Achmad. Ali Kapot yang berasal dari dusun Malikian
ini begitu gigih dalam meneruskan teater khas Melayu ini ke anak-anaknya.
Mendu merupakan bentuk teater yang mengkombinasikan seni tari, drama,
silat dan berladon atau nyanyian yang berisi pantun-pantun yang
disampaikan oleh satu pemain ke pemain lain secara bergantian.
Teater ini ditampilkan dengan cerita-cerita kerajaan seperti kisah 1001
malam, Zainal Abidin Raja Kebanyam, Indra bangsawan dan lain-lain. Teater
ditampilkan secara apik dibaluti dengan nuansa komedi yang akan membuat
ketawa bagi siapa saja yang menyaksikannya.
Dalam pertunjukannya, teater mendu dibuka dengan tarian khas melayu
seperti tarian Beladun dan tarian khas Melayu lainnya. Tarian Beladun
merupakan tarian pembuka Mendu yang ditampilkan dengan pasangan pria
dan wanita yang memakai baju khas melayu. Untuk yang prianya
menggunakan baju teluk belanga, sedangkan wanitanya menggunakan baju
kurung yang semakin menambah nuansa budaya melayu saat ditampilkan.
Setelah dibuka dengan tarian melayu, Mendu dilanjutkan dengan tampilan
teater atau drama kerajaan yang dikemas begitu apik, diselingi dengan
nyanyian beladun dan lawakan yang kian membuat mendu ini menjadi
semakin menarik untuk dinikmati. Mendu yang dikemas dengan lawakan
membuat mendu layak dijadikan sebagai media hiburan rakyat bah Opera
Van Java di televisi. Panggung yang digunakanpun tidaklah harus istimewa,
cukup mendekorasi halaman kantor, atau halaman sekolahpun cukup untuk
pementasan kesenian khas Melayu Mempawah ini.
Teater Mendu umumnya ditampilkan di acara-acara pesta sunatan dan
perkawinan. Namun itu hanya dulu, kini bah ombak yang ditelan lautan,
kesenian daerah ini hampir sudah tidak pernah ditampilkan kembali. Mendu
hanya ditampilkan saat even-even besar di keraton Mempawah. Hal ini
mengakibatkan generasi muda saat ini menjadi tidak kenal terhadap
kesenian khas daerahnya yang kini bahkan sudah diakui bahkan dalam skala
nasioal.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tahun 2014
mengumumkan “Mendu” sebagai warisan budaya tak benda milik bersama
Kalimantan Barat dan Kepulauan Riau. Hal ini tentunya menggembirakan
sekaligus memperihatinkan sebab warisan budaya khas Melayu yang begitu
indah ini begitu jarang dikenal di tanah kelahirannya, khususnya
masyarakat Kalimantan Barat yang berada di Kabupaten Mempawah. Hal ini
bisa dibuktikan dengan survei lapangan secara langsung di daerah dan
kemudian menanyakan perihal “Mendu” terhadap generasi mudanya.
Umum diantara mereka bahkan tidak mengenal apa “Mendu” itu yang
hakikatnya merupakan seni teater daerahnya.
Hal di atas merupakan pekerjaan rumah bersama antara pemerintah dan
kita selaku muda-mudi yang lahir di Kabupaten Mempawah untuk kembali
mengembangkan kesenian teater khas Melayu ini. Mendu dapat
dikembangkan menjadi satu destinasi budaya kita. Pemerintah harus bekerja
keras untuk kembali mengenalkan kesenian teater ini dengan sesering
mungkin mengadakan even-even ataupun pertunjukan-pertunjukan Mendu,
agar ke depannya generasi-generasi mendatang tau dan dapat lebih cinta
terhadap budaya daerahnya. Kita kembalikan maruah Mendu di hati
pemuda-pemudi kita sebab jika Jawa saja punya pagelaran wayang, televisi
punya Opera Van Java, kita punya yang lebih indah, yaitu Mendu.
https://www.pontianakpost.co.id/mendu-seni-teater-khas-melayu-mempawah-yang-terlupakan
BANJARMASINPOST.CO.ID - MAMANDA berasal dari daerah Margasari disebut
Mamanda Periuk dan dari Hulu Sungai Tengah dinamai Mamanda Tubau.
“Mamanda selalu dimainkan dengan aluran atau struktur tradisional. Aliran itu mempunyai dasar
yang esensial dan gaya mengikat,” kata Abdul Rasyid, pemerhati mamanda.
Ditambahkan dia, permainan Mamanda mempunya dasar-dasar, ibarat fondasi bangunan artistik,
yang membedakan dengan teater modern.
Dasar ini perlu dipertahankan yakni Baladon dan bakonan, Sidang Kerajaan serta babak-babak.
Baladon dan Bakonan, sebut dia, merupakan pembukaan dari permainan Mamanda yang
dilakukan sejumlah pemain. Jumlahnya selalu ganjil yakni 7, 5 atau 3 orang.
“Sidang kerajaan merupakan sebuah cermin bentuk kepemimpinan penguasa. Ada simulasi sikap
penguasa, menjalankan kewajiba atau menata segala persoalan kerajaan,” jelasnya.
Gaya Mamanda adalah ciri suatu kedaerahan. Ada gaya berdialog, gaya tari, gaya lagu dan
musik gaya peran. “Gaya peran di Mamanda ada gaya raja, gaya wajir, gaya Mangkubumi, gaya
Perdana Menteri, gaya Panglima Perang, gaya Harapan, Khadam, Gaya Putri, Gaya Jen dan gaya
Perampok,” ucapnya.
Pensiunan pegawai Taman Budaya Kalsel ini menambahkan, teater Mamanda terkenal yakni
Teater Banjarmasin yang berdiri sejak 1997.
“Selain itu ada Teater Mamanda Fakultas Hukum, FISIP Unlam, STKIP PGRI Banjarmasin serta
SMAN 7,” jelasnya.
Malah, di Kotabaru dan Batulicin, Tanahbumbu, kesenian Mamanda berkembang pesat dan
cukup banyak grup Mamanda di sana.
Diakui dia, kendala mengembangkan kesenian Mamanda adalah biayanya yang cukup besar
terutama berkaitan kostum. “Baju raja, perdana menteri dan wajir cukup mahal. Satu baju saja
harganya antara Rp 2 juta dan Rp 3 juta,” tandasnya.
Selain itu, jelas penasihat Teater Banjarmasin ini, pembelajaran lagu Mamanda seperti 2 Raja
cukup sulit dan bila ingin menguasainya harus tekun.

Artikel ini telah tayang di banjarmasinpost.co.id dengan judul Kesenian Mamanda, OVJ-nya
Banua, Dipatenkan sebagai Warisan Budaya (2 habis),
http://banjarmasin.tribunnews.com/2017/03/10/kesenian-mamanda-ovj-nya-banua-dipatenkan-
sebagai-warisan-budaya-2-habis.
Editor: Didik Trio

Wayang Golek
06MAR2010

by wayang in Wayang Golek


Wayang golek adalah bentuk teater rakyat yang sangat populer. Orang sering menghubungkan
kata “wayang” dengan “bayang” karena dilihat dari pertunjukan wayang kulit yang memakai
layar, dimana muncul bayangan-bayangan. Di Jawa Barat, wayang ada yang menggunakan
boneka (dari kulit/wayang kulit atau kayu/wayang golek) dan ada yang dimainkan oleh manusia
(wayang orang). Berkenaan dengan wayang golek, ada dua macam wayang golek, yakni wayang
golek papak (cepak) dan wayang golek purwa yang ada di daerah Sunda. Semua wayang,
kecuali wayang wong, dimainkan oleh dalang sebagai pemimpin pertunjukan yang sekaligus
menyanyikan suluk, menyuarakan antawacana, mengatur gamelan, mengatur lagu dan lain-lain.
Wayang golek biasanya memiliki lakon-lakon, baik galur maupun carangan yang bersumber dari
cerita besar Ramayana dan Mahabrata dengan mempergunakan bahasa Sunda disertai iringan
gamelan Sunda (salendro), yang terdiri atas dua buah saron, sebuah peking, sebuah selentem,
seperangkat bonang, seperangkat bonang rincik, seperangkat kenong, sepasang goong (kempul
dan goong) dan ditambah dengan seperangkat kendang (sebuah kendang indung dan tiga buah
kulanter), gambang serta rebab.
Sejak 1920-an, pertunjukan wayang golek selalu diiringi oleh pesinden. Popularitas pesinden
pada masa-masa itu sangat tinggi, sehingga mengalahkan popularitas dalang wayang golek itu
sendiri, terutama ketika zamannya Upit Sarimanah dan Titim Fatimah sekitar tahun 1960-an.
Lakon yang biasa dipertunjukkan dalam wayang golek adalah lakon karangan. Hanya kadang-
kadang saja dipertunjukkan lakon galur. Hal ini seakan menjadi ukuran kepandaian para dalang
menciptakan lakon carangan yang bagus dan menarik. Beberapa dalang wayang golek yang
terkenal diantaranya Tarkim, R.U. Partasuanda, Abeng Sunarya, Entah Tirayana, Apek, Asep
Sunandar Sunarya, Cecep Supriadi dan lain-lain.
Pola pengadegan wayang golek adalah sebagai berikut : 1) Tatalu, dalang dan pesinden naik
panggung, gending jejer/kawit, murwa, nyandra, suluk/kakawen, dan biantara ; 2) Babak Unjal,
Paseban dan bebegalan ; 3) Nagara sejen ; 4) Patepah ; 5) Perang gagal ; 6) Panakawan/goro-
goro ; 7) Perang Kembang ; 8) Perang raket ; dan 9) Tutug.
Salah satu fungsi wayang di masyarakat adalah ngaruwat (ritus inisiasi), yaitu membersihkan
yang diruwat dari kecelakaan (marabahaya). Beberapa orang yang diruwat (sukerta), antara lain:
Wunggal (anak tunggal); Nanggung Bugang (seorang adik yang kakaknya meninggal); Suramba
(empat orang putra); Surambi (empat orang putri); Pandawa (lima putra); Pandawi (lima putri);
Talaga Tanggal Kausak (seorang putra dihapit putri); Samudra Hapit Sindang (seorang putri
dihapit dua orang putra) dsb.
Wayang golek sebagai seni pertunjukan rakyat memiliki fungsi yang relevan dengan masyarakat
lingkungannya, baik kebutuhan spiritual maupun materialnya. Hal demikian dapat kita lihat dari
beberapa kegiatan di masyarakat, misalnya ketika ada perayaan, baik hajatan (pesta kenduri)
dalam rangka khitanan, pernikahan dan lain-lain, adakalanya diiringi dengan pertunjukan
wayang golek. Secara spiritual masyarakat mengadakan ruwatan guna menolak bala, baik secara
komunal maupun individual dengan mempergunakan pertunjukan wayang golek.
http://sunda.web.id/kesenian-jawa-barat/wayang-golek/
Wayang Kulit, Kekayaan Seni Nusantara yang Bernilai Adiluhung

Wayang kulit merupakan salah satu kesenian tradisi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat
Jawa. Lebih dari sekadar pertunjukan, wayang kulit dahulu digunakan sebagai media untuk
permenungan menuju roh spiritual para dewa. Konon, “wayang” berasal dari kata “ma Hyang”, yang
berarti menuju spiritualitas sang kuasa. Tapi, ada juga masyarakat yang mengatakan “wayang”
berasal dari tehnik pertunjukan yang mengandalkan bayangan (bayang/wayang) di layar.
Wayang kulit diyakini sebagai embrio dari berbagai jenis wayang yang ada saat ini. Wayang jenis ini
terbuat dari lembaran kulit kerbau yang telah dikeringkan. Agar gerak wayang menjadi dinamis, pada
bagian siku-siku tubuhnya disambung menggunakan sekrup yang terbuat dari tanduk kerbau.
Wayang kulit dimainkan langsung oleh narator yang disebut dalang. Dalang tidak dapat diperankan
oleh sembarang orang. Selain harus lihai memainkan wayang, sang dalang juga harus mengetahui
berbagai cerita epos pewayangan seperti Mahabrata dan Ramayana. Dalang dahulu dinilai sebagai
profesi yang luhur, karena orang yang menjadi dalang biasanya adalah orang yang terpandang,
berilmu, dan berbudi pekerti yang santun.
Sambil memainkan wayang, sang dalang diiringi musik yang bersumber dari alat musik gamelan. Di
sela-sela suara gamelan, dilantunkan syair-syair berbahasa Jawa yang dinyanyikan oleh para
pesinden yang umumnya adalah perempuan. Sebagai kesenian tradisi yang bernilai magis, sesaji
atau sesajen menjadi unsur yang wajib dalam setiap pertunjukan wayang.
Sesajian berupa ayam kampung, kopi, nasi tumpeng, dan hasil bumi lainnya, serta tak lupa asap dari
pembakaran dupa selalu ada di setiap pementasan wayang. Tapi, karena banyak yang menganggap
sesajian tersebut merupakan suatu hal yang mubazir, belakangan ini sesajian dalam pementasan
wayang juga diperuntukkan bagi penonton dalam bentuk makan bersama.
Wayang kulit merupakan kekayaan nusantara yang lahir dari budaya asli masyarakat Indonesia yang
mencintai kesenian. Setiap bagian dalam pementasan wayang mempunyai simbol dan makna
filosofis yang kuat. Apalagi dari segi isi, cerita pewayangan selalu mengajarkan budi pekerti yang
luhur, saling mencintai dan menghormati, sambil terkadang diselipkan kritik sosial dan peran lucu
lewat adegan goro-goro. Tidak salah jika UNESCO mengakuinya sebagai warisan kekayaan budaya
Indonesia yang bernilai adiluhung. [AhmadIbo/IndonesiaKaya]
https://www.indonesiakaya.com/jelajah-indonesia/detail/wayang-kulit-kekayaan-seni-nusantara-
yang-bernilai-adiluhung

Wayang Orang

Foto : Tim Indonesia Exploride

Wayang orang merupakan salah satu bentuk seni pertunjukan tradisional Jawa, khususnya
Jawa Tengah. Cerita yang dimainkan didasarkan pada kisah Mahabrata dan Ramayana yang
mengandung pesan moral, dan sudah menyatu dalam jiwa masyarakat setempat. Tata
panggungnya yang unik dan eksotis membuat penonton serasa terbawa kembali ke zaman dahulu.
Wayang orang pertama kali muncul pada abad ke-18 di Solo, diciptakan oleh KGPAA Mangkunegoro
I. Seni pertunjukan ini terinspirasi dari seni drama yang berkembang di Eropa. Kemudian pada tahun
1899, Paku Buwono X meresmikan Taman Sriwedari sebagai taman hiburan untuk umum, dan pada
saat itu ada pementasan pertunjukan wayang orang yang hingga kini tetap bertahan.
Jika ingin menyaksikan seni pertunjukan khas Solo ini, berkunjunglah ke Taman Hiburan Sriwedari
yang hingga saat ini masih mementaskan wayang orang. Wayang Orang Sriwedari pernah
mengalami masa keemasannya sekitar tahun 1960–1970. Namun sejak tahun 1985, ketika
tayangan-tayangan televisi mulai menjamur, penonton wayang orang semakin berkurang. Salah satu
upaya mereka untuk menarik penonton adalah dengan membenahi gedung pertunjukan yang sudah
berusia lebih dari 100 tahun itu.
Salah satu lakon yang mereka mainkan berjudul “Santanu Banjut”, berkisah tentang Raja Santanu
yang merupakan penguasa tertinggi Kerajaan Hastina. Penontonnya tidak hanya wisatawan
domestik, tetapi juga wisatawan mancanegara. Wayang Orang Sriwedari melakukan pementasan
setiap hari, pukul 20.00–23.00 WIB, dengan pertunjukkan diliburkan pada hari Minggu. Harga tiket
pertunjukannya tergolong sangat murah, Rp. 3.000,- per
orang. [TimIndonesiaExploride/IndonesiaKaya]

https://www.indonesiakaya.com/jelajah-indonesia/detail/wayang-orang

Nasib Bengkel Teater Rendra; Proyek ''Kaum Urakan"


yang Menggebrak dari Yogyakarta
14 Oktober 2016 13:56 Diperbarui: 14 Oktober 2016 14:38 290 0 0

JAKARTA -- Apa kabar Bengkel Teater Rendra (BTR) sepeninggal pendirinya, WS


Rendra? Apakah grup teater yang didirikan sejak 1968 di Yogyakarta, sepulangnya Willibrordus
Surendra Broto Rendra dari Amerika Serikat itu, ikut usai dengan rampungnya riwayat sang
pendiri?
USAI sudah riwayat Bengkel Teater Rendra. Begitulah pesimisme sebagian murid yang pernah
bergabung dengan bengkel milik Rendra itu. Namun bagi sebagian yang lain, keinginan untuk
terus menghidupkan bengkel, sepeninggal Rendra adalah sebuah keniscayaan. Masih membara.
Meski belum ada pernyataan dari institusi BTR yang untuk sementara ini dipusatkan pada nama
Ken Zuraida, istri ketiga mendiang Rendra, tapi suara ramai mulai banyak bergunjing tentang
riwayat BTR ke depannya.
Suatu saat nanti, mbak Ida, demikian Ken Zuraida biasa disapa, akan menjelaskan langkah-
langkah apa yang akan dilakukan untuk menyelamatkan bengkel itu sepeninggal suaminya.
Bersama dua pendirinya, kata Mbak Ida, paling lambat dalam dua Minggu ke depan, semua
aktivitas bengkel yang rencananya dilaraskan dengan cita-cita dan perjuangan Rendra, akan
dijelaskan kepada publik. ”Jadi, untuk sementara saya tidak bisa bicara dulu ya, takut melanggar
komitmen bersama,” katanya kepada penulis awal Agustus 2009.
Ida begitu hati-hati dalam melangkah. Karena sebagaimana dikatakan Sitok Srengenge, salah
satu murid Rendra yang bergabung bersama BTR sejak 1985, terlalu banyak murid Rendra yang
tersebar di berbagai kota, dan mempunyai suara beragam tentang keberadaan bengke itu ke
depan. Dalam bahasanya, harta Rendra memang harus jatuh ke tangan anak dan istrinya, tapi
ilmunya yang ditularkan lewat bengkel itu juga milik semua murid dan anggota BTR.
Otig Pakis, murid Rendra lainnya yang bergabung ke BTR sejak 1983 saat Rendra masih
bermarkas di Tomang, Jakarta Barat, menyebut jika kini bengkel itu tanpa Rendra bukan BTR
lagi. ”Sesuai namanya, Bengkel Teater Rendra. Kalau Rendra sudah tidak ada, berarti Bengkel
Teater juga sudah nggak ada,” katanya.
Namun, kata aktor yang telah bermain di banyak judul film itu, kalau pun BTR diadakan dan
dihidupkan lagi, kualitasnya pasti tidak sama.
Nah, terlepas dengan permasalah apakah BTR akan dihidupkan lagi, untuk kemudian diolah
keberadaannya, atau dibiarkan mati, menarik untuk menyimak kesaksian Sitok Srengenge dan
Otig Pakis.
Kaum Urakan
Dua murid dan anggota BTR itu memang tidak tahu persis riwayat Bengkel Teater ketika masih
bermarkas di Yogyakarta. Ketika embel-embel nama Rendra belum melekat di balik nama
bengkel itu, dan kemudian menjadi ikon dalam dunia teater terbesar di Tanah Air. Tapi
persinggungan yang intens dua orang itu selama menimba ilmu di BTR dan Rendra sebagai
personal, adalah sebuah fakta lain yang juga menarik.
Sitok hanya mendengar cerita ketika Rendra masih bergiat mendirikan Studi Klub Drama Jogja
di Yogyakarta, jauh sebelum bengkel itu ada, dan menggebrak dengan proyek perkemahan
Kaum Urakan pada tahun 70-an di Parangtritis. Kala itu, Rendra dengan Studi Klub Drama
Jogja, menularkan keilmuannya tentang dunia drama kepada murid-muridnya seperti Teguh
Karya, Arifin C Noer hingga Deddy Sutomo.
Teguh Karya sebagaimana diketahui publik akhirnya mendirikan kelompok teater Popular,
demikian halnya dengan Arifin C Noer dengan teater Ketjil, dan Deddy Sutomo, malang
melintang sebagai aktor yang berjaya pada masanya. Atau masa awal ketika Bengkel Teater
sudah berdiri dan murid-murid pertamanya seperti Sunarti, Sitoresmi Prabuningrat, Putu Wijaya,
Areng Widodo, Untung Basuki, Iwan Burnani, Bambang Isworo, Azwar Alam, Adi Kurdi hingga
Sawung Jabo masih bersitekun berproses kreatif di markasnya di Patangpuluhan, Yogyakarta.
Keberadaan Rendra sebagai Godfather teater di Indonesia tidak terbantahkan dengan fakta-fakta
itu. Karenanya, kata Sitok, ibu dunia teater Indonesia akhirnya bermuara kepada keberadaan
Rendra.
Dari keilmuan Rendra pula, Putu Wijaya menghidupkan Teater Mandiri. Belum termasuk
keberadaan teater Gandrik dan Dinasti di Yogyakarta, yang tumbuh kembang dari murid-murid
yang pernah menimba ilmu, atau tertular ilmu keteaterannya lantaran sepak terjang Rendra.
Demikian halnya keberadaan teater Koma milik Nano Riantiarno, yang bisa diartikan dari
turunan teater Popular Teguh Karya, yang notabene adalah juga murid Rendra. Hingga nama-
nama turunan dan di bawahnya seperti Budi S Otong dan Dindon pun ada dan mengada, tidak
bisa dilepaskan dari keberadaan Rendra. Tidak berlebihan pula jika Sitok menyebut Rendra
adalah ”Guru yang dahsyat”, dan keberadaan BTR di Citayam, Depok, Jabar pada sebuah masa
pernah menjadi universitas kesenian dan kehidupan yang tiada duanya.
Otig Pakis pun sepakat dengan Sitok. Meski tidak mengerti benar sejarah bengkel itu ketika
masih berada di Yogyakarta, namun persinggungannya yang sudah 23 tahun di BTR di Citayam,
tak ternilai harganya. Otig yang ”diwisuda” bersama Sitok, Amin Kamil, Dewi Pakis,
Bramantyo, Radar Panca Dahana dan beberapa nama lainnya tahun 86 seusai pementasan
Panembahan Reso, ingat betul ketika mengucapkan janji Prasetya di hadapan Rendra.
Janji Prasetya, hanya diberikan dan diucapkan para anggota tetap yang telah dilantik menjadi
anggota BTR oleh Rendra. Isi janji Prasetya, sebagaimana juga dikatakan Sitok, biasanya
melekat luar kepala dan menjadi panduan amalan semua anggota tetap BTR. Bunyi janji
Prasetya itu (1) Aku ini milik Tuhan, dan hanya mengabdi pada kehendak Tuhan, (2) aku tidak
ingin memiliki yang berlebih, segala yang berlebih akan aku kembalikan kepada Tuhan
melewati alam dan kebudayaan, (3) aku setia kepada hati nuraniku, (4) aku setia pada jalannya
alam, dan (5) aku menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. (Benny Benke)

https://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2009/08/29/78499/-Proyek-Kaum-Urakan-
yang-Menggebrak-dari-Yogyakarta

Teater Koma Pentaskan Warisan yang Sunyi TRI SUSANTO SETIAWAN Kompas.com –
27/07/2017, 15:20 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Teater Koma akan mementaskan lakon berjudul 'Warisan' yang
merupakan produksi ke-149 di Gedung Kesenian Jakarta, Jakarta Pusat, pada 10 hingga 20
Agustus 2017 mendatang. Penulis cerita dan sutradara Nano Riantiarno mengatakan bahwa
'Warisan' merupakan naskah baru yang ia tulis pada 2017 ini. "Saya rasa naskah ini cocok
dimainkan saat ini," kata Nano di Galeri Indonesia Kaya (GIK) Grand Indonesia, Thamrin,
Jakarta Pusat, Rabu (27/7/2017). Aksi para seniman Teater Koma dalam pementasan lakon
berjudul Warisan yang merupakan produksi ke-149 di Gedung Kesenian Jakarta, Jakarta Pusat,
Kamis (10/8/2017). Lakon Warisan bercerita tentang Panti Wredha yang menjadi kebanggan
kota, dimana kaum tua dan terlantar ditampung di panti serta menyinggung soal korupsi dan
utang.(KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG) 'Warisan', kata Nano, juga untuk
merayakan hari ulang tahun berdirinya Teater Koma yang ke-40. [Baca juga: Membaca Teater
Koma, Catatan Perjalanan 40 Tahun] Pada konsepnya nanti, Nano akan meramunya berbeda dari
lakon-lakon yang pernah dipentaskan sebelumnya. "Warisan tidak ada ilustrasi musik dan tidak
ada tarian yang biasa ditampilkan oleh kami. Sebagian tokoh pemain dirias selayaknya usia 70
tahunan dan 'Warisan' akan memberikan kejutan dalam teknik perpindahan set," ujar dia. Aksi
para seniman Teater Koma dalam pementasan lakon berjudul Warisan yang merupakan produksi
ke-149 di Gedung Kesenian Jakarta, Jakarta Pusat, Kamis (10/8/2017). Lakon Warisan bercerita
tentang Panti Wredha yang menjadi kebanggan kota, dimana kaum tua dan terlantar ditampung
di panti serta menyinggung soal korupsi dan utang.(KOMPAS.com/GARRY ANDREW
LOTULUNG) Adapun lakon 'Warisan' bercerita tentang Panti Wredha yang menjadi kebanggan
kota. Kala itu, kaum tua dan terlantar ditampung di panti. Namun, delapan tahun kemudian
kondisi panti berubah. Panti kini mulai menampung orang kaya yang mampu membayar mahal.
Panti pun dibagi untuk orang kaya dan orang miskin. Berbagai macam karakter mulai dari
penulis hingga koruptor ada di situ.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Teater Koma Pentaskan Warisan yang
Sunyi", https://entertainment.kompas.com/read/2017/07/27/152042410/teater-koma-pentaskan-
warisan-yang-sunyi.
Penulis : Tri Susanto Setiawan

Bondowoso Exhibitions 1898

Gapura Pameran Budaya dan Ekonomi Bondowoso 1898 (Koleksi: http://www.kitlv.nl)


Perkembangan kota tidak adapat dilepaskan dari berbagai aktivitas masyarakat tersebut di
dalam mengelola berbagai keunggulan kota tersebut. Pada masa sekarang keunggulan kota
di perkenalkan dan “dijual” melalui berbagai cara. Baik secara penanaman modal baik
dalam negeri maupun asing ataupun dengan memperkenalkannya melalui berbagai event-
event baik event-event pameran kebudayaan, maupun event-event ekonomi. Event-event
kebudayaan ini bahkan telah ada sejak lama dan masih terus berlangsung dan terpelihara
hingga kini seperti Sekaten di wilayah Solo dan Jogjakarta maupun Jakarta Fair di Jakarta
yang lebih modern. Event-event tersebut merupakan perpaduan antara event budaya dan
ekonomi yang hendak diperkenalkan dan dijual kepada masyarakat. Tentunya event-event
ini menarik animo besar masyarakat untuk datang dan menjadi bagian dari event tersebut
atau sekedar menyaksikan kemeriahan suasana.
Bila kota-kota seperti Solo, Jogjakarta, dan Jakarta mampu mempertahankan event-event
tersebut berlangsung secara kontinu dari dulu hingga sekarang dan mengembangkannya
dengan kemasan yang lebih modern maka dalam sejarah kita juga dapat melihat bahwa ada
beberapa kota yang mengadakan event-event tersebut jauh pada masa kolonial tetapi
sekarang sudah tidak berlangsung atau bahkan hampir hilang dalam ingatan,
seperti Bondowoso Exhibitions 1898.
Bondowoso sebuah kabupaten di Jawa Timur dengan sejarah yang menarik yaitu semasa
Pemerintahan Bupati Ronggo Kiai Suroadikusumo di Besuki mengalami kemajuan dengan
berfungsinya Pelabuhan Besuki yang mampu menarik minat kaum pedagang luar. Dengan
semakin padatnya penduduk perlu dilakukan pengembangan wilayah dengan membuka
hutan yaitu ke arah tenggara. Kiai Patih Alus mengusulkan agar Mas Astrotruno, putra
angkat Bupati Ronggo Suroadikusumo, menjadi orang yang menerima tugas untuk
membuka hutan tersebut. usul itu diterima oleh Kiai Ronggo-Besuki, dan Mas Astrotruno
juga sanggup memikul tugas tersebut. Kemudian Kiai Ronggo Suroadikusumo terlebih
dahulu menikahkan Mas Astotruno dengan Roro Sadiyah yaitu putri Bupati Probolinggo
Joyolelono. Mertua Mas Astrotruno menghadiahkan kerbau putih “Melati” yang dongkol
(tanduknya melengkung ke bawah) untuk dijadikan teman perjalanan dan penuntun
mencari daerah-daerah yang subur.

Pengembangan wilayah ini dimulai pada 1789, selain untuk tujuan politis juga sebagai
upaya menyebarkan agama Islam mengingat di sekitas wilayah yang dituju penduduknya
masih menyembah berhala. Mas Astrotruno dibantu oleh Puspo Driyo, Jatirto, Wirotruno, dan
Jati Truno berangkat melaksanakan tugasnya menuju arah selatan, menerobos wilayah
pegunungan sekitar Arak-arak “Jalan Nyi Melas”. Rombongan menerobos ke timur sampai ke
Dusun Wringin melewati gerbang yang disebut “Lawang Seketeng”. Nama-nama desa yang
dilalui rombongan Mas Astrotruno, yaiitu Wringin, Kupang, Poler dan Madiro, lalu menuju
selatan yaitu desa Kademangan dengan membangun pondol peristirahatan di sebelah barat
daya Kademangan (diperkirakan di Desa Nangkaan sekarang).

Desa-desa yang lainnya adalah disebelah utara adalah Glingseran, Tamben dan Ledok
Bidara. disebelah Barat terdapat Selokambang, Selolembu. sebelah timur adalah
Tenggarang, Pekalangan, Wonosari, Jurangjero, Tapen, Praje,kan dan Wonoboyo. Sebelah
selatan terdapat Sentong, Bunder, Biting, Patrang, Baratan, Jember, Rambi, Puger, Sabrang,
Menampu, Kencong, Keting. Jumlah Penduduk pada waktu itu adalah lima ratus orang,
sedangkan setiap desa dihuni, dua, tiga, empat orang. kemudian dibangunlah kediaman
penguasa di sebelah selatan sungai Blindungan, di sebelah barat Sungai Kijing dan
disebelah utara Sungai Growongan (Nangkaan) yang dikenal sebagai “Kabupaten Lama”
Blindungan, terletak ±400 meter disebelah utara alun-alun.

Alun-Alun Bondowoso (Koleksi: http://www.kitlv.nl)


Pekerjaan membuka jalan berlangsung dari tahun 1789-1794. Untuk memantapkan wilayah
kekuasaan, Mas Astrotruno pada tahun 1808 diangkat menjadi demang dengan gelar
Abhiseka Mas Ngabehi Astrotruno, dan sebutannya adalah “Demang Blindungan”.
Pembangunan kotapun dirancang, rumah kediaman penguasa menghadap selatan di utara
alun-alun. Dimana alun-alun tersebut semula adalah lapangan untuk memelihara kerbau
putih kesayangan Mas Astrotruno, karena disitu tumbuh rerumputan makanan ternak. lama
kelamaan lapangan itu mendapatkan fungsi baru sebagai alun-alun kota. Sedangkan di
sebelah barat dibangun masjid yang menghadap ke timur. Mas Astrotruno mengadakan
berbagai tontonan, antara lain aduan burung puyuh (gemek), sabung ayam, kerapan sapi,
dan aduan sapi guna menghibur para pekerja. tontonan aduan sapi diselenggarakan secara
berkala dan menjadi tontonan di Jawa Timur sampai 1998. Atas jasa-jasanya kemudian
Astrotruno diangkat sebagai Nayaka merangkap Jaksa Negeri.

Dari ikatan Keluarga Besar “Ki Ronggo Bondowoso” didapat keterangan bahwa pada tahun
1809 Raden Bagus Asrah atau Mas Ngabehi Astrotruno dianggkat sebagi patih berdiri
sendiri (zelfstanding) dengan nama Abhiseka Mas Ngabehi Kertonegoro. Beliau dipandang
sebagai penemu (founder) sekaligus penguasa pemerintahan pertama (first ruler) di
Bondowoso. Adapun tempat kediaman Ki Kertonegoro yang semula bernama Blindungan,
dengan adanya pembangunan kota diubah namanya menjadi Bondowoso, sebagai ubahan
perkataan Wana Wasa. Maknanya kemudian dikaitkan dengan perkataan Bondo, yang
berarti modal, bekal, dan woso yang berarti kekuasaan. makna seluruhnya demikian:
terjadinya negeri (kota) adalah semata-mata karena modal kemauan keras mengemban
tugas (penguasa) yang diberikan kepada Astrotruno untuk membabat hutan dan
membangun kota.

Pacuan Kerbau/Sapi di Pameran Kebudayaan dan Ekonomi Bondowoso 1898 (Koleksi: www.kitlv.nl)
Meskipun Belanda telah bercokol di Puger dan secara administrtatif yuridis formal
memasukan Bondowoso kedalam wilayah kekuasaannya, namun dalam kenyataannya
pengangkatan personil praja masih wewenang Ronggo Besuki, maka tidak seorang pun
yang berhak mengklaim lahirnya kota baru Bondowoso selain Mas Ngabehi Kertonegoro. Hal
ini dikuatkan dengan pemberian izin kepada Beliau untuk terus bekerja membabat hutan
sampai akhir hayat Sri Bupati di Besuki.

Pada tahun 1819 Bupati Adipati Besuki Raden Ario Prawiroadiningrat meningkatkan
statusnya dari Kademangan menjadi wilayah lepas dari Besuki dengan status Keranggan
Bondowoso dan mengangkat Mas Ngabehi Astrotruno menjadi penguasa wilayah dengan
gelar Mas Ngabehi Kertonegoro, serta dengan predikat Ronngo I. Hal ini berlangsung pada
hari Selasa Kliwon, 25 Syawal 1234 H atau 17 agustus 1819. Peristiwa itu kemudian
dijadikan eksistensi formal Bondowoso sebagai wilayah kekuasaan mandiri di bawah otoritas
kekuasaan Kiai Ronggo Bondowoso. Kekuasaan Kiai Ronggo Bondowoso meliputi wilayah
Bondowoso dan Jember, dan berlangsung antara 1829-1830.
Masyarakat Mendatangi Pameran Kebudayaan dan Ekonomi Bondowoso 1898
(Koleksi: http://www.kitlv.nl)
Wilayah Bondowoso yang cukup luas tersebut dengan alun-alun sebagai pusat aktivitas
masyarakat pada tahun 1898 mengadakan sebuah event kebudayaan dan ekonomi. Event
ini bila kita melihat dari berbagai foto masa kolonial Belanda maka dapat menjelaskan
bahwa event tersebut dirancang begitu modern pada masa tersebut. Di Alun-alun
Bondowoso dibangun berbagai stand pameran juga berbagai tempat pertunjukan kesenian
masyarakat Bondowoso. Mulai dari seni tari, gulat dan tentunya yang paling menarik adalah
pacuan sapi (karapan sapi). Ada juga pertunjukkan akrobatik masyarakat China yang tinggal
di Bondowoso.

Aktraksi Masyarakat China di Pameran Budaya dan Ekonomi di Bondowoso 1898


(Koleksi: http://www.kitlv.nl)
Stand-stand ekonomi dibangun juga untuk memamerkan berbagai kemajuan ekonomi
wilayah Bondowoso terutama bidang pertanian. Salah satu stand pameran milik Assam thee
onderneming Swaroe BoeloerottoBlitar. Juga ada kios teh milik Soember Sarie, stand
perhiasan milik Maurice Wolf, Firma J.W. Hellendoorn dan departemen pertanian milik
pemerintah kolonial Belanda.

Stand Assamtheeonderneming Swaroe Boeloerotto di Pameran Kebudayaan dan Ekonomi di


Bondowoso 1898 (Koleksi: http://www.kitlv.nl)
Masyarakat sangat antusias dalam menghadiri pameran tersebut karena dalam pameran ini
juga ditampilkan miniatur-miniatur rumah dari berbagai daerah Bondowoso. Juga terdapat
berbagai stand wilayah afdeeling Panaroekan dan Banjoewangi. Masyarakat yang antusias
datang mengunjungi event ini disediakan warung-warung untuk melepas lelah juga di alun-
alun terdapat berbagai pedagang kaki lima yang mengambil moment ini untuk mengais
rejeki.
Warung di Pameran Kebudayaan dan Ekonomi Bondowoso (Koleksi: http://www.kitlv.nl)
Event kebudayaan dan ekonomi Bondowoso 1898 ini semoga menjadi pengingat kembali
bahwa pada masa dahulu telah dicoba diperkenalkan event-event budaya dan ekonomi
kepada masyarakat dengan berbagai bentuknya. Dan tentunya penelitian yang lebih
mendalam lagi dapat mengungkapkan lebih detail lagi mengenai bentuk kebudayaan yang
berkembang di Bondowoso pada masa tersebut agar dapat dilestarikan dan dikembangkan.

———000———–

https://phesolo.wordpress.com/2012/07/11/bondowoso-exhibitions-1898/

TENTOONSTELLING, PAMERAN DI JAMAN BELANDA


Pada halaman lain di Blog ini saya pernah menulis tentang Koloniale
Tentoonstelling te Semarang, tahun 1914. Ternyata kegiatan Tentoonstelling
atau paemran seperti ini tidak hanya dilakukan di Semarang. Beberapa
bersifat tahunan seperti Jaarbeurs di Bandung yang menempati arena
permanen yang gedungnya masih terpelihara sampai sekarang, ada pula
yang sifatnya insidentil.
Beberapa kegiatan tentoonstelling/pameran besar pernah dilakukan oleh
pemerintah kolonial Belanda. Tujuannya bisa bermacam-macam, bisa untuk
promosi produk tertentu atau bisa juga terkait dengan suatu konferensi
bidang tertentu. Beberapa tentoonstelling yang bisa saya kumpulkan dari
beberapa sumber sebagai berikut :
1. Nijverheidstentoonstelling te Magelang (Pameran Industri Magelang),
diselenggarakan 10-14 September 1924
2. Nijverheidstentoonstelling tentoonstelling te Djokjakarta (Pameran
Industri) diselengarakan tahun 1925
3. Batavia gehouden tentoonstelling van grondstoffen, Pameran Bahan
Baku di Batavia, diselenggarakan 1865
4. Tentoonstelling te Bondowoso, Pameran di Bondowoso di alun-alun
Bondowoso tahun 1898
5. Tentoonstelling te Magelang van Producten van Inlandsche Nijverheid uit
de Residentie Kedoe, Pameran produk asli Karesidenan Kedu di
Magelang, 20-22 Agustus 1891
Het International rubbercongress met tentoonstelling, Kongres dan Pameran
Karet Internasional Batavia, tanggal 19-23 Oktober 1914.
Beberapa pameran yang diadakan di atas masih dapat ditelusuri foto-
fotonya. Dokumen terkait dengan pameran tersebut sebenarnya masih ada,
hanya tersimpan rapi di luar negeri. Masalah lain yang muncul adalah
bahasanya dalam bahasa Belanda… agak susah bacanya..
Berikut ini foto-foto jadul Tentoonstelling di jaman penjajahan Belanda
Tentoonstelling te Magelang, tahun 1924
Kios Rokok Ko Kwat Ie, menyala pada malam hari

Kedatangan Sultan di gerbang utama pameran

Lapangan tempat pameran dilaksanakan, Menara air masih ada sampai


sekarang di pusat kota Magelang

Salah satu peserta pameran, dengan kostum petani dan hasil bumi

Tarian Cakalele dari Maluku, ikut memeriahkan pameran


https://achmadrizal.staff.telkomuniversity.ac.id/tentoonstelling-pameran-di-jaman-belanda/
KOLONIALE TENTOONSTELLING TE SEMARANG, TAHUN 1914

Salah satu sumber internet yang paling menyenangkan untuk melihat


kembali ke jaman Belanda adalah KITLV.nl. Selain Bandung, foto Kota
Semarang adalah salah satu subjek yang paling asyik diplototin. Soalnya jika
liburan di Semarang, bisa sekalian membandingkan kondisi saat itu dengan
saat sekarang.
Salah satu yang membuat penasaran di KITLV adalah adanya beberapa foto
dengan label Koloniale Tentoonstelling te Semarang. Yang tergambar di
sana adalah bangunan-bangunan besar dengan arsitektur yang sangat indah
tapi saat ini tidak ada satupun bangunan itu yang tersisa atau tidak ada
keterangan di Semarang sebelah mana. Akhirnya penasaran itu terobati saat
membaca satu artikel di Klasika Kompas Jawa Barat, hari Senin, 30
September 2013.

Gerbang masuk arena pekan raya, sangat gemerlap untuk ukuran tahun
1914
Koloniale Tentoonstelling ternyata adalah pekan raya kolonial yang
diselenggarakan dalam rangka perayaan 100 tahun kemerdekaan Kerajaan
Belanda dari penjajahan Perancis. Acara ini diselenggarakan dari tanggal
22 Agustus 1924 sampai 22 November 1914 dan menjadi acara pasar raya
dan pameran terbesar di Asia Tenggara saat itu. Koloniale Tentoonstelling
yang oleh masyarakat Semarang saat itu disebut dengan “sentiling”, biar
gampang pengucapannya, sebagian dananyaa ditanggung oleh Oei Tiong
Ham, raja gula asal Semarang. Konon lokasi Sentiling ini yang membentang
dari Randusari sampai kaki perbukitan Candi seluas 26 Ha merupakan milik
Sang Raja Gula. Hal yang menarik lagi dari Koloniale
Tentoonstelling adalah waktu penyelenggaraannya yang bersamaan
dengan Perang Dunia I di berbagai tempat di Eropa. Rupanya kondisi
tersebut tidak menyurutkan minat pengunjung pekan raya yang datang dari
Eropa, Cina, Australia, Asia maupun negara jajahan Belanda lainnya. Untuk
melihat betapa megahnya Koloniale Tentoonstelling, berikut ini beberapa
foto-foto yang dihimpun dari KITLV.

Air manucr di depan salah satu stan peserta pekan raya

Salah satu stand di Koloniale Tentoonstelling

Stan China di Koloniale Tentoonstelling


Stan paabrik mesin Kolff, van der Hoeven en Broekman di Koloniale
Tentoonstelling

Sebagian area pekan raya, sangat luas


https://achmadrizal.staff.telkomuniversity.ac.id/koloniale-tentoonstelling-te-semarang-tahun-
1914/
17 Karya Agung Maestro Affandi Dipamerkan di Art Stage Jakarta
Jumat, 05 Ags 2016 09:06 WIB · Tia Agnes - detikHOT

Foto: Dok. Art Stage


Jakarta
Jakarta - Tepat 1 Agustus lalu, sebanyak 28 lukisan masterpiece dari maestro dan pelukis
ternama milik koleksi seni Istana Kepresidenan diresmikan di Galeri Nasional Indonesia. Jelang
akhir pekan, 17 karya agung dari maestro seni lukis Affandi akan dipamerkan di ajang bergengsi
internasional, Art Stage Jakarta.
Bertajuk 'Affandi - The Human Face', eksibisi ini merupakan penghargaan bagi sang maestro
lukisan ekspresionis dan pelukis humanis Indonesia. Bagi Affandi, karyanya mengutamakan
pengungkapan makna pengalaman emosional daripada realitas fisik semata.
Pendiri sekaligus Presiden Art Stage Jakarta dan Singapura, Lorenzo Rudolf menjadi kurator
pameran. Dalam keterangannya, Jumat (5/8/2016), Lorenzo mengatakan Affandi adalah seniman
yang caranya melukis langsung menumpahkan cat dari tube-nya.
"Dia lebih memilih menyapu cat tersebut dengan menggunakan tangannya daripada
menggunakan pensil. Affandi juga berhasil mentransfer perasaannya di atas kanvas dan
membuat lukisan unik dan penuh kasih sayang," tambahnya lagi.
Dibagi menjadi dua bagian yang mampu mewakili Affandi dan mengungkapkan proses
pemikirannya. Yakni, bagian pertama tentang kehidupan sehari-harinya (daily life). Serta kedua,
'self-potraits'.
Di bagian Daily Life, Lorenzo menjelaskan dia menampilkan lukisan-lukisan yang menangkap
pandangan unik Affandi terhadap dunia di mana dia menempatkan dirinya dalam perspektif
subjek lukisan. Sedangkan bagian lainnya lebih menonjolkan berbagai potret diri dari berbagai
periode yang berbeda di kehidupan Affandi.
"Yang terpenting dari pameran ini adalah lukisan kecil Affandi yang dibuat sekitar tahun 1936
saat ia pertama kali melukis," lanjut Lorenzo.
Ke-17 masterpiece Affandi merupakan pinjaman dari koleksi pribadi kolektor Caecil
Papoadimitriou, Alex Tedja, Deddy Kusuma dan Rudi Akili. Eksibisi ini disponsori oleh
Sotheby's.
(tia/dal)

https://hot.detik.com/art/3268957/17-karya-agung-maestro-affandi-dipamerkan-di-art-stage-
jakarta

28 Patung Karya Nyoman Nuarta


Dipajang di Bandara Soetta
Jumat, 16 Jun 2017 09:55 WIB ∙ Tia Agnes - detikHOT

28 Patung Karya Nyoman Nuarta Dipajang di Terminal 3 Internasional Bandara Soetta Foto:
Museum Nuarta

Jakarta - Hadirnya karya-karya seniman Indonesia di Bandara


Soekarno Hatta (Soetta) menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat
yang ingin melawat ke luar kota maupun mancanegara. Nyoman
Nuarta yang dikenal sebagai pematung asal Bali itu kini memajang 28
karya koleksi pribadi di Terminal 3 Internasional Bandara Soetta.
Pameran patung Nyoman Nuarta di Terminal 3 Internasional
merupakan permintaan PT. Angkasa Pura II yang secara khusus
meminta pada Nyoman Nuarta untuk berpameran. Sebelum Terminal 3
beroperasi pula, pihak Angkasa Pura sebagai pengelola bandara telah
berupaya memberi tempat bagi karya seni di ruang tunggu
keberangkatan, ruang check-in, dan area kedatangan.
Dikuratori oleh Jim Supangkat, ada 28 karya Nyoman Nuarta yang
dibawa ke Terminal 3 Internasional. "Lima di antaranya berukuran
besar yang menjadi tengara bagi setiap lima gerbang Terminal 3," ujar
Jim Supangkat dalam keterangan pers yang diterima, Jumat
(16/6/2017).
Tujuh karya lain berukuran kecil dan mengisi ruang boarding lounge
internasional. Sementara karya lain tersebar di area umum terminal,
dan bebas diakses oleh publik.
"Karya-karya yang dipamerkan di ruang interior bandar udara, ditata
untuk menjadikannya sebagai ruang pertemuan di antara khalayak,
yang langsung dan hidup, selagi juga menyuarakan subyek pengisahan
tentang manusia dan budaya Indonesia yang diolah dan diceritakan
melalui karya-karya patung Nyoman Nuarta," kata Jim Supangkat.

28 Patung Karya Nyoman Nuarta Dipajang di Terminal 3 Internasional Bandara Soetta Foto: Museum Nuarta
Jika sebelumnya karya seniman Indonesia lebih bergaya kontemporer,
medium, bentuk, serta cara bertutur yang beragam. Kehadiran
pameran patung Nyoman Nuarta di Terminal 3 Bandara Soetta lebih
memberikan warna yang lugas sebagai eksibisi tunggal.
Nyoman Nuarta dikenal sebagai pematung yang meninggalkan
pendekatan memahat atau sculpting pada tradisi mematung Bali yang
terikat material kayu dan batu. Sejak awal berkarier di dekade 1970-
an, Nyoman Nuarta membuat patung-patung konstruktif dengan teknik
las (welding). Dengan gagasan konstruksi ini, Nyoman Nuarta
mengembangkan pembuatan patung berukuran besar. Salah satu di
antaranya adalah patung monumental 'Garuda Wisnu Kencana' yang
dibangun di Ungasan, Bali. Monumen Jalasveva Jayamahe di Dermaga
Ujung Surabaya, dan Patung Arjuna Wijaya di Jakarta juga berskala
besar.
Pameran patung Nyoman Nuarta di Terminal 3 Internasional, Bandara
Soekarno Hatta, berlangsung dari bulan Mei hingga September
mendatang.
(tia/doc)
https://hot.detik.com/art/3532552/28-patung-karya-nyoman-nuarta-dipajang-di-bandara-soetta

6 HAL TENTANG PAMERAN YAYOI KUSAMA DI JAKARTA


07 MAY, 2018
Teks dan foto oleh Yohanes Sandy

Pameran Yayoi Kusama: Life is The Heart of A Rainbow di Museum MACAN bakal resmi
dibuka pada 8 Mei 2018. Yayoi Kusama merupakan seniman ikonis asal Jepang yang tersohor
akan karya-karya seninya yang kerap menampilkan tema polkadot, jaring-jaring, serta labu.
Selain itu, wanita berusia 89 tahun tersebut juga suka bermain dengan ruang dengan
menghadirkan instalasi-instalasi seni berukuran masif. “Banyak seniman muda yang terpengaruh
oleh karya Yayoi Kusama. Kreativitas dan konsistensinya dalam berkarier di balik kondisi
kejiwaannya sampai kini, patut dihadirkan di Jakarta,” kata Aaron Seeto, Direktur Museum
MACAN.
Di Jakarta, pameran karya seniman asal Jepang tersebut baru dibuka untuk umum pada 12 Mei
2018. Kami menjadi salah satu yang pertama kali melihat pamerannya. Berikut beberapa hal
yang perlu Anda ketahui tentang pameran yang berlangsung hingga 9 September 2018 ini:
1. Ada lebih dari 130 karya seni yang akan dipamerkan, mulai dari lukisan hingga instalasi seni.
Setidaknya ada tiga instalasi seni atraktif yang akan mengajak pengunjung terlibat di dalamnya.
2. Life is the Heart of A Rainbow ditampilkan dalam tiga zona periode. Zona pertama adalah
zona periode awal berkarya di era 1950-an ketika ia menciptakan motif-motif polkadot, bunga,
dan jaring. Zona kedua adalah periode saat Kusama hijrah ke Amerika Serikat dan mulai
berkarya di sana. Sedangkan zona terakhir adalah periode Kusama kembali ke Negeri Matahari
Terbit yang merupakan masa-masa dirinya merasa rapuh serta mulai berobat ke rumah sakit jiwa
yang kebetulan terletak di seberang studionya di Shinjuku, Tokyo.
3. Museum MACAN merupakan pemberhentian terakhir untuk rangkaian pameran Life is The
Heart of A Rainbow. Sebelumnya, pameran ini pernah digelar di National Gallery Singapore dan
Queensland Art Gallery | Gallery of Modern Art (QAGOMA). Jadi ini merupakan kesempatan
terakhir bagi pencinta seni untuk menikmati karya-karya Kusama dalam rangkaian tur tersebut.
4. Museum MACAN membatasi jumlah pengunjung maksimum 3.000 orang setiap harinya.
Guna mengantisipasi antrean yang mengular, loket pemeriksaan dan penjualan tiket dipindah
satu lantai di bawah museum. “Kami belajar dari pameran pertama kami yang mendapatkan
sambutan sangat antusias dari publik,” ujar Fenessa Adikoesoemo, Chairwoman Museum Macan
Foundation dalam konferensi pers.
5. Di pameran di Jakarta ini, ada sejumlah karya tambahan yang sebelumnya tidak ditampilkan
di Singapura dan Brisbane, yakni Flower dan Untitled (Child Mannequin).
Karya Flower sebelumnya dapat dilihat di Matsumoto City Museum. Selain itu, di sini juga
akan ada I Want to Love on the Festival Night yang baru saja diakuisisi oleh
Museum MACAN. Sementara itu, jika Dots Obsession sebelumnya ditampilkan dengan
warna hitam dan merah, di pameran kali ini kubah tersebut dibangun dengan warna kuning dan
hitam, warna ciri khas Kusama.
6. Life is The Heart of A Rainbow juga menampilkan karya-karya Kusama yang paling populer,
yakni, Narcissus Garden, The Spirit of Pumpkins Descended Into The
Heavens, serta instalasi seni interaktif karyanya, The Obliteration Room, di mana
pengunjung diajak untuk menempelkan stiker bulat warna-warna di sebuah ruang serba-putih.
Karya seni ini telah dipamerkan dilebih dari 20 tempat di 15 negara serta dikunjungi lebih dari
lima juta orang.
Tiket pameran ini sudah dapat dibeli di situs Museum MACAN dengan harga Rp100.000 per
orang (kecuali anak-anak dan manula/pelajar/mahasiswa). Pameran beroperasi sepanjang hari
mulai dari pukul 10:00 hingga 20:00 (pengunjung terakhir pukul 19:00). Perlu dicatat, pameran
ini tutup saban Senin.
http://destinasian.co.id/6-hal-tentang-pameran-yayoi-kusama-di-jakarta/
PAMERAN SENI: Purjito Boyong 'Di Balik
Senyap' ke Surabaya
Juli 12 / 2017 04:37 WIB

Ilustrasi-Pameran

seni rupa - Antara

Bisnis.com, JAKARTA — Seniman kenamaan Yogyakarta, Purjito, bakal menggelar pameran


tunggal seni patung dan lukisan bertajuk Di Balik Senyap di Galeri House of Sampoerna selama
14 Juli—5 Agustus 2017.
Pameran yang ditujukan lebih untuk berbagi pengalaman ini dikemas sedemikian rupa sesuai
alur perubahan karakter karya sejalan dengan perjalanan kontemplasi Purjito. Lebih dari 40
karya seni lukis dan patung akan dihadirkan di ekshibisi tunggal tersebut.
Beberapa diantaranya merupakan koleksi pribadi yang bahkan tidak terpikir oleh Purjito untuk
diekspose kehadapan publik seperti Menanti Sang Fajar (1991), Berdoa di Pinggiran Pantai
(1992), Rumangsa (1993), Menanti Pacar (1994), dan Menanti Dewi Sri (1996).
Karya-karya yang telah tersimpan lebih dari 25 tahun ini merupakan tonggak sejarah bagi
perjalan seni Purjito dan awal ia menanamkan keyakinan dan keberanian dalam mengarungi
dunia seni rupa khususnya seni patung.
Melalui pameran ini, Purjito ingin menonjolkan jatu diri sebagai identitasnya dalam proses
berkarya. Sebab, dalam sebuah karya seni, tidak jarang seorang seniman menanamkan
identitasnya sebagai sebuah kepercayaan diri, kebanggaan, atau justru sebagai proses
perenungan.
Purjito adalah sosok seniman yang dibesarkan dalam kehidupan dengan nilai-nilai budaya tinggi.
Hal ini sangat mempengaruhi hasil karya seninya seperti tampak pada Sang Proklamator; sebuah
karya yang mengabstraksikan tokoh besar Republik Indonesia dalam bentuk wayang.
Sosok perempuan Jawa tergambar dalam karyanya yang berjudul Merenung sedangkan dalam
karya berjudul Vitalitas, tampak sosok yang berdiri sedikit condong ke belakang sebagai
penggambaran tokoh Semar yang menyatukan dimensi wanita dan pria dalam satu sosok.
“Pameran ini mengungkapkan bahwa 25 tahun yang lalu, ketika karya-karya ini masih dalam
‘kandungan’, saya masih menjelajahi ruang perenungan atas hidup yang penuh perjuangan,
sebagai suatu rentetan kreativitas, guna memperolah pemahaman hidup. Jawaban dari perjalanan
ini saya hadirkan di pameran ini.” ujar Purjito dalam siaran pers, Selasa (11/7/2017).

http://lifestyle.bisnis.com/read/20170712/220/670415/pameran-seni-purjito-boyong-di-balik-
senyap-ke-surabaya
Pameran Tunggal ke-2 Naufal Abshar
Lebih Eksploratif
Kamis, 24 Mei 2018 20:34 WIB ∙ Tia Agnes - detikHOT

Foto:
Naufal Abshar (Tia Agnes Astuti/detikHOT)

Jakarta - Naufal Abshar tak ingin berleha-leha dalam proses berkarya.


Di pameran tunggal yang kedua 'The World of Entertainment' yang
berlangsung di d'Gallerie Jakarta, beragam eksplorasi dijelajahi oleh
lulusan Lasalle College of the Arts Singapura dan Goldsmith University
of London.
Di pameran tunggal yang kedua, Naufal memamerkan 13 karya seni di
antaranya adalah lukisan, scuplture-painting, dan fotografi. Di
beberapa karya, teknik dan medium makin dimantapkan Naufal.
Contohnya lukisan 'Fight for Love?' yang digarapnya selama setahun.
"Saya suka mainkan kanvas dengan bentuk yang tak biasa, ada yang
kecil, segitiga, atau bentuk kanvas lainnya. Nah sebelumnya kepikiran
pakai engsel pintu, saya pakai lem. Kayak gini nih," tunjuk Naufal
sambil menjelaskan karyanya di d'Gallerie Jakarta, Kamis (24/5/2018).
Di karya instalasi lainnya yang berjudul 'Work, Insurance Bills-Repeat', Naufal justru
menambahkan unsur kinetik. Karya yang menggelitik bagi para pekerja keras ini mengajak
pengunjung untuk berpose dan mengupload ke media sosial.
Foto: Naufal Abshar (Tia Agnes Astuti/detikHOT)

Di karya yang disebut pria kelahiran Bandung 1993 silam sebagai


scuplture-painting, ia menaruh lukisan di atas kasur rumah sakit.
Didominasi warna biru tua, lukisannya menampilkan sosok pria sakit
yang mengenakan pakaian bermerk Prada dan ingin eksis di media
sosial tapi telepon selulernya mati.
"Ini juga eksplorasi saya yang lebih jauh lagi. Sederhananya orang
menyebut sebagai karya instalasi tapi ini scuplture-painting yang
nggak biasa. Banyak pengunjung yang suka dan berpose di sini," kata
Naufal.
Selain itu eksplorasinya yang berbeda ketimbang eksibisi solo perdana
di Singapura beberapa waktu lalu adalah dari segi warna. Meski
banyak warna yang dipakai dan tampak meriah, namun kali ini ia
menguranginya.
"Kelihatan kan nggak terlalu meriah banget. Warnanya banyak tapi
sekarang nggak semeriah dulu," pungkas Naufal.
Ke-13 karya Naufal dalam pameran tunggal kedua berjudul 'The World
of Entertainment' masih bisa dilihat di d'Gallerie Jakarta sampai akhir
bulan ini.

https://hot.detik.com/art/d-4037111/pameran-tunggal-ke-2-naufal-abshar-lebih-eksploratif?
_ga=2.268158731.406504387.1527465687-2119349855.1527465686

Anda mungkin juga menyukai