Pada zaman dahulu hiduplah seorang anak lelaki yang sangat bodoh. Ia pun dijuluki La Tongko-
tongko karena kebodohannya itu. Sepeninggal ayahnya, La Tongko-tongko hanya tinggal berdua
dengan ibunya.
Ketika menjelang dewasa usianya, La Tongko-tongko berniat beristri. Disebutkannya niatnya itu
kepada ibunya. Jawab ibunya, “Terserah kepadamu. Carilah istrimu sendiri sesukamu. Semoga
ada seorang perempuan yang mau engkau nikahi.”
La Tongko-tongko segera pergi mencari ca¬lon istrinya. Di tengah jalan ia berjumpa dengan
seorang perempuan yang tengah menjunjung belanga. La Tongko-tongko segera mendeka¬ti
perempuan iu dan berujar, “Hai perempuan penjunjung belanga, maukah engkau menjadi
istriku?”
La Tongko-tongko berlari kembali ke ru¬mahnya seraya menahan sakit pada kepalanya karena
terkena lemparan belanga. Kepada ibunya ia pun menceritakan kejadian yang dialaminya itu.
“Perempuan itu malah melemparku dengan belanga ketika kutanya apakah ia bersedia men¬jadi
istriku.”
La Tongko-tongko kembali pulang ke rumah-nya dan menceritakan kejadian yang dialaminya itu
kepada ibunya.
“Engkau tidak bisa langsung seperti itu,” nasihat ibunya. “Sebelum engkau mengajak meni-kah,
engkau seharusnya berkenalan lebih dahulu dengan perempuan itu. Setelah hubungan kalian
akrab, engkau baru bisa mengajaknya menikah.”
Dalam perjalanannya, La Tongko-tongko akhirnya tiba di sebuah pemakaman. Ketika itu ada
mayat seorang perempuan yang disandarkan pada batang pohon sebelum nanti dikuburkan.
Karena bodohnya, La Tongko-tongko tidak me¬ngetahui jika perempuan itu telah meninggal
dunia. Ia mendekati mayat perempuan itu dan bertanya, “Wahai perempuan cantik, bolehkah aku
berkenalan denganmu?”
“Kalau engkau tidak menjawab, berarti engkau setuju berkenalan denganku,” kata La Tongko-
tongko kemudian. Ia pun mengajak berbincang-bincang mayat perempuan itu. Be-berapa saat
kemudian ia lantas berkata lagi, “Aku rasa hubungan kita telah akrab. Bagaimana pen- dapatmu
jika engkau kujadikan istri?”
Ketika La Tongko-tongko tiba di rumahnya, ibunya tengah memasak di dapur. Dengan wajah
gembira ia menyatakan telah menemukan seorang perempuan yang bersedia menjadi istrinya.
“Hanya saja calon istriku ini sangat pendiam orangnya,” kata La Tongko-tongko.
Tanpa memperhatikan kondiSi perempuan yang hendak diperistri anaknya, ibu La Tongko-
tongko langsung menjawab, “Tidak mengapa calon istrimu itu sangat pendiam. Yang penting, ia
mau menjadi istrimu. Lagipula, aku juga tidak suka mempunyai menantu yang cerewet.”
“Aku lihat calon istriku ini juga sangat me-ngantuk,” kata La Tongko-tongko lagi, “Ibu, bo-
lehkah ia kutidurkan di kamarku?”
“Ya. Biarkan dia beristirahat dahulu,” jawab ibu La Tongko-tongko. “Nanti kalau masakan ibu
telah matang, bangunkan ia dan ajak ia untuk makan bersama kita.”
La Tongko-tongko lantas menggendong dan meletakkan calon istrinya itu di atas ran¬jangnya. Ia
pun duduk di pinggir ranjang seraya terus memandang wajah calon istrinya yang can¬tik itu. Tak
berapa lama kemudian ibunya me¬manggilnya karena masakannya telah matang. Ia pun
mencoba membangunkan calon istrinya itu. Tetap juga mata calon istrinya itu terpejam meski La
Tongko-tongko menepuk-nepuk dan bahkan menggoyang-goyangkan tubuh calon istrinya itu.
Serunya kemudian, “Ibu, aku telah membangunkan calon istriku ini, tetapi ia tidak juga bangun-
bangun.”
Ibu La Tongko-tongko lantas memasuki kamar anaknya. Terperanjat ia ketika mendapati calon
istri anaknya itu telah meninggal dunia. Bahkan, telah mengeluarkan bau busuk pula. “Anakku,”
katanya kemudian, “Perempuan ini sudah me¬ninggal dunia. Ia telah menjadi mayat.”
“Dari mana ibu tahu jika calon istriku ini telah meninggal dunia?”
“Tidakkah engkau mencium bau busukyang menyengat ini?” kata ibu La Tongko-tongko.
“Orang yang telah meninggal dunia itu pasti berbau busuk. Cepat kuburkan mayat ini!”
Dengan hati sedih La Tongko-tongko lantas menguburkan mayat perempuan itu. Menger¬tilah
ia, orang yang telah meninggal dunia itu akan berbau busuk.
“Tidak! Kata ibu, orang yang meninggal dunia itu pasti mengeluarkan bau busuk. Ibu telah
mengeluarkan bau busuk, jadi ibu sudah meninggal dunia.”
Susah payah ibu La Tongko-tongko menje-laskan bahwa dirinya masih hidup dan bau busuk
yang dikeluarkannya itu berasal dari kentutnya. La Tongko-tongko tetap menganggap ibunya
telah meninggal dunia dan harus segera dikuburkannya. Beruntung bagi ibu La Tongko-tongko,
ia dapat melepaskan diri dari pegangan anaknya. Ia te¬rus berlari menjauhi anaknya. La Tongko-
tongko tidakjuga mengejar karena perutnya masih terasa lapar. Ia kembali ke rumahnya untuk
mengha¬biskan makanannya.
Ketika La Tongko-tongko tengah makan, ia juga kentut. Ia mencium bau busuk. Seketika
mendapati bau busuk itu berasal dari dirinya, ia pun menganggapjika dirinya telah mati. Segera
ia mencari tempat untuk menguburkan dirinya sendiri. La Tongko-tongko menggali lubang
kubur di dekat pohon mangga. Ia lalu menguburkan dirinya sendiri hingga sebatas leher.
Pada malam harinya seorang pencuri yang akan mencuri buah mangga. Si pencuri sangat
terperanjat mendapati adanya kepala yang menyembul dari dalam tanah. “Siapa engkau?”
tanyanya.
“Aku La Tongko-tongko.”
Si pencuri mengerti jika orang yang dihadapi-nya itu sangat bodoh. Ia pun berniat memperdaya
La Tongko-tongko. Diajaknya La Tongko-tongko untuk mencuri kerbau. La Tongko-tongko
me¬nuruti ajakan Si pencuri. La Tongko-tongko lalu memasuki kandang kerbau yang
ditunjukkan Si pencuri sementara Si pencuri sendiri menunggu di luar kandang. Ketika
mengambil kerbau, La Tongko-tongko sangat berisik hingga pemilik kerbau pun keluar dari
rumah dan menangkap¬nya. Si pencuri langsung melarikan diri melihat La Tongko-tongko
ditangkap pemilik kerbau.
Pemilik rumah yang tengah diincar Si pencuri kebetulan tengah bersedih karena kematian salah
seorang saudaranya. Karena hari telah malam, ia berniat menguburkan mayat saudaranya itu
ke¬esokan harinya. Ia hanya memasukkan mayat itu ke dalam karung. Si pemilik rumah
mengetahui jika ada pencuri yang mengincar rumahnya. Ia lalu bersiasat. Dimasukkan pecahan
kaca ke dalam karung tempatnya menyimpan mayat saudara¬nya. Ia lalu bepura-pura telah
tertidur pulas. Ia tetap berpura-pura tidur ketika La Tongko-tongko memasuki rumahnya.
Si pencuri berniat menguasai iSi karung, tidak mau berbagi dengan La Tongko-tongko. Ia lantas
berlari, Namun, La Tongko-tongko terus mengejarnya. Keduanya terus berkejar-kejaran. Si
pencuri yang kelelahan akhirnya menyerah. Ia pun berniat membagi ¡Si karung dengan La
Tongko-tongko.
Tak terkirakan terperanjatnya Si pencuri saat membuka karung yang ternyata beriSi mayat dan
pecahan kaca. Benar-benar ia merasa sial sete¬lah bertemu dengan La Tongko-tongko. Maka
dimintanya La Tongko-tongko kembali ke ru¬mahnya. Keduanya lantas berpisah. Si pencuri
menuju arah barat dan La Tongko-tongko menuju arah selatan. Sejak saat itu keduanya tidak lagi
pernah bertemu.