Anda di halaman 1dari 6

LATONGKO-TONGKO

Pada zaman dahulu hiduplah seorang anak lelaki yang sangat bodoh. Ia pun dijuluki La Tongko-
tongko karena kebodohannya itu. Sepeninggal ayahnya, La Tongko-tongko hanya tinggal berdua
dengan ibunya.

Ketika menjelang dewasa usianya, La Tongko-tongko berniat beristri. Disebutkannya niatnya itu
kepada ibunya. Jawab ibunya, “Terserah kepadamu. Carilah istrimu sendiri sesukamu. Semoga
ada seorang perempuan yang mau engkau nikahi.”

La Tongko-tongko segera pergi mencari ca¬lon istrinya. Di tengah jalan ia berjumpa dengan
seorang perempuan yang tengah menjunjung belanga. La Tongko-tongko segera mendeka¬ti
perempuan iu dan berujar, “Hai perempuan penjunjung belanga, maukah engkau menjadi
istriku?”

Si perempuan penjunjung belanga sangat terkejut mendengar ucapan La Tongko-tongko.


Dipikirnya La Tongko-tongko adalah lelaki kurang ajar yang berani melecehkan kehormatannya.
Maka, dilemparkannya belanga yang dijunjung¬nya itu ke arah La Tongko-tongko.

La Tongko-tongko berlari kembali ke ru¬mahnya seraya menahan sakit pada kepalanya karena
terkena lemparan belanga. Kepada ibunya ia pun menceritakan kejadian yang dialaminya itu.
“Perempuan itu malah melemparku dengan belanga ketika kutanya apakah ia bersedia men¬jadi
istriku.”

Ibu La Tongko-tongko menggeleng-geleng-kan kepala mendapati betapa bodohnya anaknya.


Disarankannya agar anaknya tidak mengulangi perbuatan bodohnya itu. Disarankannya pula
untuk mencari perempuan lain dan bertanya dengan sopan.

La Tongko-tongko kembali mencari perem-puan yang bersedia diperistrinya. Ia menuju desa


lain. Ia menemukan seorang perempuan yang juga tengah menjunjung belanga. Ia lantas
mende¬kati dan berujar, “Wahai perempuan penjunjung belanga, apakah engkau bersedia aku
nikahi?”
Sama halnya dengan yang dialami La Tongko- tongko sebelumnya, perempuan itu tidak
men¬jawab pertanyaan La Tongko-tongko, melainkan melemparkan belanganya ke arah La
Tongko- tongko.

La Tongko-tongko kembali pulang ke rumah-nya dan menceritakan kejadian yang dialaminya itu
kepada ibunya.

“Engkau tidak bisa langsung seperti itu,” nasihat ibunya. “Sebelum engkau mengajak meni-kah,
engkau seharusnya berkenalan lebih dahulu dengan perempuan itu. Setelah hubungan kalian
akrab, engkau baru bisa mengajaknya menikah.”

La Tongko-tongko mengangguk-anggukkan kepala. Diingat-ingatnya nasihat ibunya itu


sebe¬lum ia kembali meninggalkan rumahnya untuk mencari perempuan yang bersedia
dinikahinya.

Dalam perjalanannya, La Tongko-tongko akhirnya tiba di sebuah pemakaman. Ketika itu ada
mayat seorang perempuan yang disandarkan pada batang pohon sebelum nanti dikuburkan.
Karena bodohnya, La Tongko-tongko tidak me¬ngetahui jika perempuan itu telah meninggal
dunia. Ia mendekati mayat perempuan itu dan bertanya, “Wahai perempuan cantik, bolehkah aku
berkenalan denganmu?”

Mayat perempuan itu tentu saja tidak men-jawab pertanyaan La Tongko-tongko.

“Kalau engkau tidak menjawab, berarti engkau setuju berkenalan denganku,” kata La Tongko-
tongko kemudian. Ia pun mengajak berbincang-bincang mayat perempuan itu. Be-berapa saat
kemudian ia lantas berkata lagi, “Aku rasa hubungan kita telah akrab. Bagaimana pen- dapatmu
jika engkau kujadikan istri?”

La Tongko-tongko menunggu dan ketika tidak mendapatkan jawaban, ia kembali mena¬nyakan


kesediaan mayat perempuan itu untuk menjadi istrinya. “Jika engkau tetap terdiam,” kata La
Tongko-tongko selanjutnya, “Itu berarti eng¬kau setuju dengan ajakanku.”
Karena mayat perempuan itu tidakjuga men-jawab, La Tongko-tongko menganggap mayat
perempuan itu bersedia menjadi istrinya. Segera digendongnya mayat perempuan itu dan
diba¬wanya ke rumah.

Ketika La Tongko-tongko tiba di rumahnya, ibunya tengah memasak di dapur. Dengan wajah
gembira ia menyatakan telah menemukan seorang perempuan yang bersedia menjadi istrinya.
“Hanya saja calon istriku ini sangat pendiam orangnya,” kata La Tongko-tongko.

Tanpa memperhatikan kondiSi perempuan yang hendak diperistri anaknya, ibu La Tongko-
tongko langsung menjawab, “Tidak mengapa calon istrimu itu sangat pendiam. Yang penting, ia
mau menjadi istrimu. Lagipula, aku juga tidak suka mempunyai menantu yang cerewet.”

“Aku lihat calon istriku ini juga sangat me-ngantuk,” kata La Tongko-tongko lagi, “Ibu, bo-
lehkah ia kutidurkan di kamarku?”

“Ya. Biarkan dia beristirahat dahulu,” jawab ibu La Tongko-tongko. “Nanti kalau masakan ibu
telah matang, bangunkan ia dan ajak ia untuk makan bersama kita.”

La Tongko-tongko lantas menggendong dan meletakkan calon istrinya itu di atas ran¬jangnya. Ia
pun duduk di pinggir ranjang seraya terus memandang wajah calon istrinya yang can¬tik itu. Tak
berapa lama kemudian ibunya me¬manggilnya karena masakannya telah matang. Ia pun
mencoba membangunkan calon istrinya itu. Tetap juga mata calon istrinya itu terpejam meski La
Tongko-tongko menepuk-nepuk dan bahkan menggoyang-goyangkan tubuh calon istrinya itu.
Serunya kemudian, “Ibu, aku telah membangunkan calon istriku ini, tetapi ia tidak juga bangun-
bangun.”

Ibu La Tongko-tongko lantas memasuki kamar anaknya. Terperanjat ia ketika mendapati calon
istri anaknya itu telah meninggal dunia. Bahkan, telah mengeluarkan bau busuk pula. “Anakku,”
katanya kemudian, “Perempuan ini sudah me¬ninggal dunia. Ia telah menjadi mayat.”

“Dari mana ibu tahu jika calon istriku ini telah meninggal dunia?”

“Tidakkah engkau mencium bau busukyang menyengat ini?” kata ibu La Tongko-tongko.
“Orang yang telah meninggal dunia itu pasti berbau busuk. Cepat kuburkan mayat ini!”
Dengan hati sedih La Tongko-tongko lantas menguburkan mayat perempuan itu. Menger¬tilah
ia, orang yang telah meninggal dunia itu akan berbau busuk.

Selesai menguburkan mayat perempuan itu La Tongko-tongko pulang kembali ke rumahnya. Ia


lantas makan bersama ibunya. Ketika tengah ma¬kan, ibu La Tongko-tongko kentut. Sangat
berbau kentut ibu La Tongko-tongko itu. Ketika La Tongko- tongko mencium bau busuk itu ia
pun yakin jika ibunya telah meninggal dunia. La Tongko-tongko segera menghentikan makannya
dan membawa ibunya keluar rumah untuk dikuburkan.

“La Tongko-tongko! Aku ini masih hidup!”

“Tidak! Kata ibu, orang yang meninggal dunia itu pasti mengeluarkan bau busuk. Ibu telah
mengeluarkan bau busuk, jadi ibu sudah meninggal dunia.”

Susah payah ibu La Tongko-tongko menje-laskan bahwa dirinya masih hidup dan bau busuk
yang dikeluarkannya itu berasal dari kentutnya. La Tongko-tongko tetap menganggap ibunya
telah meninggal dunia dan harus segera dikuburkannya. Beruntung bagi ibu La Tongko-tongko,
ia dapat melepaskan diri dari pegangan anaknya. Ia te¬rus berlari menjauhi anaknya. La Tongko-
tongko tidakjuga mengejar karena perutnya masih terasa lapar. Ia kembali ke rumahnya untuk
mengha¬biskan makanannya.

Ketika La Tongko-tongko tengah makan, ia juga kentut. Ia mencium bau busuk. Seketika
mendapati bau busuk itu berasal dari dirinya, ia pun menganggapjika dirinya telah mati. Segera
ia mencari tempat untuk menguburkan dirinya sendiri. La Tongko-tongko menggali lubang
kubur di dekat pohon mangga. Ia lalu menguburkan dirinya sendiri hingga sebatas leher.

Pada malam harinya seorang pencuri yang akan mencuri buah mangga. Si pencuri sangat
terperanjat mendapati adanya kepala yang menyembul dari dalam tanah. “Siapa engkau?”
tanyanya.

“Aku La Tongko-tongko.”

“Mengapa engkau di tempat ini?”


“Aku sedang menguburkan diriku karena aku sudah mati,” jawab La Tongko-tongko. Ia lalu
menjelaskan penyebab anggapannya jika dirinya telah mati.

Si pencuri mengerti jika orang yang dihadapi-nya itu sangat bodoh. Ia pun berniat memperdaya
La Tongko-tongko. Diajaknya La Tongko-tongko untuk mencuri kerbau. La Tongko-tongko
me¬nuruti ajakan Si pencuri. La Tongko-tongko lalu memasuki kandang kerbau yang
ditunjukkan Si pencuri sementara Si pencuri sendiri menunggu di luar kandang. Ketika
mengambil kerbau, La Tongko-tongko sangat berisik hingga pemilik kerbau pun keluar dari
rumah dan menangkap¬nya. Si pencuri langsung melarikan diri melihat La Tongko-tongko
ditangkap pemilik kerbau.

Si pemilik kerbau akhirnya melepaskan La Tongko-tongko setelah mengetahui kebodoh¬annya.

Dalam perjalanannya menuju rumahnya, La Tongko-tongko kembali bertemu dengan Si


pen¬curi. Waktu itu Si pencuri mengajak La Tongko- tongko untuk mencuri di sebuah rumah.

Pemilik rumah yang tengah diincar Si pencuri kebetulan tengah bersedih karena kematian salah
seorang saudaranya. Karena hari telah malam, ia berniat menguburkan mayat saudaranya itu
ke¬esokan harinya. Ia hanya memasukkan mayat itu ke dalam karung. Si pemilik rumah
mengetahui jika ada pencuri yang mengincar rumahnya. Ia lalu bersiasat. Dimasukkan pecahan
kaca ke dalam karung tempatnya menyimpan mayat saudara¬nya. Ia lalu bepura-pura telah
tertidur pulas. Ia tetap berpura-pura tidur ketika La Tongko-tongko memasuki rumahnya.

La Tongko-tongko telah diberitahu Si pen¬curi agar menggoyang-goyangkan karung yang


terdapat di dalam rumah itu. Jika terdengar suara bergemerincing dari dalam karung, ia diminta
untuk mengambilnya. Ketika La Tongko-tongko menggoyang-goyangkan karung beriSi mayat
dan pecahan kaca, ia mendengar suara bergemerincing. Ia pun langsung mengangkut karung itu
dan memberikan kepada Si pencuri.

Si pencuri berniat menguasai iSi karung, tidak mau berbagi dengan La Tongko-tongko. Ia lantas
berlari, Namun, La Tongko-tongko terus mengejarnya. Keduanya terus berkejar-kejaran. Si
pencuri yang kelelahan akhirnya menyerah. Ia pun berniat membagi ¡Si karung dengan La
Tongko-tongko.
Tak terkirakan terperanjatnya Si pencuri saat membuka karung yang ternyata beriSi mayat dan
pecahan kaca. Benar-benar ia merasa sial sete¬lah bertemu dengan La Tongko-tongko. Maka
dimintanya La Tongko-tongko kembali ke ru¬mahnya. Keduanya lantas berpisah. Si pencuri
menuju arah barat dan La Tongko-tongko menuju arah selatan. Sejak saat itu keduanya tidak lagi
pernah bertemu.

KITA HENDAKLAH TIDAK MEMANFAATKAN KELEMAHAN TAU KEKURANGAN


ORANG LAIN. SELAIN ITU, KITA HENDAKNYA PULA BELAJAR DENGAN RAJIN
AGAR TIDAK MENJADI ORANG YANG BODOH.

Anda mungkin juga menyukai