Anda di halaman 1dari 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Taksonomi Tarsius adalah suatu genus monotipe dari famili Tarsiidae, primata endemik yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Filipina (Dephut 1978). Genus ini memiliki beberapa spesies diantaranya yaitu Tarsius bancanus yang ditemukan di Sumatera dan Kalimantan, Tarsius syrichta yang ditemukan di Filipina (Wirdateti dan Dahrudin 2006). Di Sulawesi terdapat 11 jenis tarsius, yaitu T. tarsier, T. fuscus, T. sangirensis, T. pumilus, T. dentatus, T. pelengensis, T. lariang, T. tumpara, T. wallacei dan 2 jenis yang diketahui dari jenis berbeda tetapi belum diberi nama (Groves dan Shekelle 2010). Namun dalam perkembangannya, Groves dan Shekelle (2010) merevisi taksonomi genus tarsius dan mengklasifikasinya menjadi 3 genus, yaitu Tarsius, Chephalopacus dan Carlito sehingga hanya spesies yang berada di Pulau Sulawesi dan sekitarnya yang menjadi bagian dari genus Tarsius. Sementara, spesies yang berada di Kalimantan dan Sumatera, yaitu Tarsius bancanus menjadi bagian dari genus Chephalopacus dan namanya berganti menjadi Chephalopacus bancanus. Begitu juga dengan Tarsius syrichta yang berada di Filipina menjadi bagian dari genus Carlito dan berganti nama menjadi Carlito syrichta. Selain itu, Groves dan Shekelle (2010) juga membatasi penyebaran Tarsius tarsier. Pada awalnya T. tarsier menyebar dari kepulauan Selayar hingga Semenanjung Barat Daya Pulau Sulawesi, namun setelah revisi tersebut jenis ini hanya tersebar di Kepulauan Selayar. Sedangkan tarsius yang berada di Semenanjung Barat Daya Sulawesi kini disebut sebagai Tarsius fuscus. Perubahan ini didasarkan pada perbedaan morfologi dan jumlah kromosom tiap jenis. Berikut adalah peta distribusi genus dan spesies Tarsiidae menurut Groves dan Shekelle (2010).

Gambar 1 Peta Distribusi Genus dan Spesies Tarsiidae (Groves dan Shekelle 2010). Klasifikasi Tarsius fuscus menurut Groves dan Shekelle 2010 adalah sebagai berikut: Ordo Subordo Infraordo Famili Genus Species 2.2. : Primata : Haplorrhini : Tarsiiformes : Tarsiidae (Gray 1852) : Tarsius (Storr 1780) : Tarsius fuscus, Fischer 1804

Morfologi Tarsius memiliki rambut tebal dan halus yang menutupi tubuhnya. Warna

rambut bervariasi, tergantung dari jenis, yaitu merah tua, coklat hingga keabuabuan. Tarsius yang berasal dari Sulawesi memiliki ciri khas bila dibandingkan dengan jenis lain yaitu adanya rambut warna putih di belakang telinga dan rambut

penutupnya berwarna abu-abu. Panjang tubuh 85 - 160 mm, dan panjang ekornya 135 - 275 mm. Berat tubuh tarsius jantan dewasa sekitar 75 - 165 g. Panjang kaki jauh lebih panjang bila dibandingkan dengan panjang tangan bahkan panjang tubuh secara total. Hal ini berkaitan dengan cara bergeraknya, yaitu meloncat (Supriatna dan Wahyono 2000). Niemitz dan Verlag (1984) menyatakan bahwa tarsius memiliki keistimewaan pada mata karena penglihatan pada malam hari lebih tajam. Organ mata pada tarsius merupakan organ terbesar dibanding organ kepala lainnya. Kepala dapat berputar sampai dengan 180. Bagian bawah jari-jari tangan dan kaki tarsius terdapat tonjolan atau bantalan yang memungkinkan tarsius untuk melekat pada berbagai permukaan saat melompat di tempat yang licin. Tarsius memiliki kaki belakang yang panjangnya dua kali lipat panjang badan dan kepala untuk memberikan kekuatan melompat karena sebagian besar gerakan tarsius adalah melompat secara vertikal (Wharton 1974). Berikut perbedaan ukuran badan, warna rambut, serta panjang dan bentuk ekor tarsius di Sulawesi.

Gambar 2 Perbedaan morfologi jenis-jenis tarsius yang terdapat di Sulawesi (Shekelle et al. 2008).

Pada Gambar 2 terlihat bahwa terdapat dua jenis tarsius yang memiliki nama yang hampir sama yaitu Selayar tarsier dan tarsier. Perbedaan yang dimiliki oleh kedua jenis tarsius tersebut adalah rambut pada ekor tarsier lebih lebat daripada Selayar tarsier. Setelah revisi yang dilakukan Groves dan Shekelle (2010), Tarsius tarsier berganti nama menjadi Tarsius fuscus sedangkan Selayar tarsier menggunakan nama Tarsius tarsier. Perbedaan morfologi lainnya dari kedua spesies ini adalah kaki belakang T. fuscus lebih pendek dibandingkan T. tarsier, warna bulu T. fuscus juga lebih coklat kemerahan dan hanya sedikit bagian yang berwarna abu-abu, panjang ekor T. tarsier adalah 221% dari panjang seluruh tubuh dan kepala. Menurut Musser dan Dagosto (1988), panjang ekor T. fuscus adalah 143 - 166% dari panjang seluruh tubuh dan kepala. 2.3. Habitat dan Penyebaran Tarsius banyak ditemukan di luar hutan lindung atau area perbatasan hutan antara hutan primer dengan hutan sekunder, hutan sekunder dengan perkebunan masyarakat serta areal perladangan atau pertanian. Sedangkan pohon tidur atau sarang tarsius umumnya ditemukan di sekitar hutan sekunder dan perladangan dengan vegetasi yang rapat (Sinaga et al. 2009). Sedangkan menurut Napier dan Napier (1986), habitat tarsius adalah berbagai tipe hutan yaitu hutan hujan tropis, semak berduri, hutan bakau dan ladang penduduk. Selain itu, tarsius juga dapat hidup di hutan primer yang didominasi oleh famili Dipterocarpaceae dan perkebunan karet (Niemitz dan Verlag 1984) Pohon tidur merupakan pusat kehidupan bagi tarsius dan terdapat paling sedikit satu pohon tempat tidur dalam satu wilayah kawanan (Kinnaird 1997). Pohon tidur atau sarang tarsius lebih banyak menempati jenis-jenis pohon Bambusa sp., Ficus sp., Imperata cylindrica, Arenga pinnata dan Hibiscus tiliaceus (Sinaga et al. 2009). Menurut Widyastuti (1993), kelompok tarsius di hutan primer lebih sering memilih tempat tidur di rongga-rongga pohon yang berlubang terutama pohon Ficus sp., pandan hutan, bambu, dan umumnya jenis berongga, terlindung dari sinar matahari dan agak gelap. Sinaga et al. (2009) menambahkan bahwa ketinggian pohon tidur atau sarang tarsius adalah antara 020 m di atas permukaan tanah serta lebih tergantung pada jenis tumbuhan dan kondisi habitatnya.

Kawasan hutan Pattunuang (dahulunya merupakan Taman Wisata Alam sebelum diintegrasikan menjadi taman nasional) di sepanjang hutan riparian Bisseang Labboro (Bislab) dan Gua Pattunuang, mulai dari HM 1000 sampai HM 2500 termasuk lokasi yang bagus untuk pengamatan tarsius (Mustari dan Kurniawan 2009). 2.4. Populasi Menurut Shekelle et al.(2008) sampai saat ini telah ditemukan 16 populasi tarsius di Sulawesi yang kemungkinan dapat menjadi spesies tersendiri dan baru lima spesies di antaranya yang sudah mempunyai nama yaitu T. spectrum, T. sangirensis, T. pumillus, T. pelengensis dan T. dianae. Sebelas spesies lainnya masih perlu pemberian nama untuk keperluan konservasi. Wirdateti dan Dahrudin (2006) menyatakan bahwa setiap sarang tarsius terdapat 3-6 individu dengan komposisi anak, remaja dan induk atau dalam bentuk keluarga. Daerah Bislap sampai Gua Pattunuang (HM 1000-HM 2500), mengikuti aliran sungai ke arah hulu, tercatat sedikitnya 6 kelompok, atau minimal 12 ekor tarsius dengan jumlah 2 ekor setiap kelompok (Mustari dan Kurniawan 2009). Selain itu, tercatat 3 kelompok tarsius di Kampung Pute dan 1 kelompok tarsius di Pappang. Pola hidup tarsius selalu membentuk suatu unit sosial yang meliputi sepasang individu dewasa bersifat monogami dan tinggal bersama keturunannya dalam suatu teritorial. Sifat ini akan mempercepat pemusnahan spesies karena mereka akan sukar beradaptasi dengan kelompok lain apabila terjadi perusakan habitat dan hutan. Unit sosial Tarsius spectrum pada umumnya membentuk pasangan sebanyak 80% (monogamus) dan hanya sekitar 20% saja yang bersifat multi male-multi female (beberapa jantan atau betina dalam suatu kelompok) (Supriatna dan Wahyono 2000). 2.5. Perilaku Tarsius mengeluarkan suara yang khas untuk berkomunikasi antar spesies (Niemitz dan Verlag 1984). Gursky (1999) menambahkan tarsius memiliki komunikasi vocal sebagai siulan kepada kelompok yang tidak dikenal atau sebagai tanda bila ada gangguan, komunikasi calling concerts dan family choruses.

Terdapat tujuh nada panggil yang dikeluarkan tarsius, baik sebagai alarm call untuk memanggil anggota kelompoknya keluar dan kembali ke sarang, teritorial call, fear call, threat call, nada-nada yang dikeluarkan induk maupun anak dalam masa pengasuhan, nada-nada yang dikeluarkan oleh jantan dan betina dalam mencari pasangan. Beberapa nada panggil tersebut memiliki frekuensi yang tinggi sehingga berada di luar jangkauan atau tangkapan manusia. Sinaga et al. (2009) menyebutkan bahwa dalam kondisi normal suara tarsius dapat terdengar dari jarak yang cukup jauh dan saling bersahut-sahutan antara satu kelompok dengan kelompok yang lain atau antar individu dalam satu kelompok. 2.6. Status Konservasi Sejak tahun 1931, tarsius sudah dilindungi berdasarkan Peraturan Perlindungan Binatang Liar No. 266 tahun 1931, diperkuat dengan Undangundang No. 5 tahun 1990, serta Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 301/Kpts-II/1991 yang dikeluarkan tanggal 10 Juni 1991. Tarsius juga termasuk dalam daftar hewan yang dilarang untuk diperdagangkan dalam daftar Appendix II CITES. Meskipun demikian International Union for Conservation of Nature (IUCN) masih memasukkan beberapa species tarsius dalam kategori data deficient (kurang data). Hal ini berarti masih diperlukan data penelitian untuk melengkapi data tersebut sehingga dapat ditingkatkan statusnya (Yustian 2006) Kategori terbaru IUCN Red List of Threatened Species 2008 telah memasukkan tarsius dalam kategori Critically Endangered (kritis) untuk spesies tarsius yang baru diidentifikasi, yaitu T. tumpara di Pulau Siau. Hal ini disebabkan karena spesies ini berada di suatu pulau yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi dan mempunyai kebiasaan untuk mengkonsumsi tarsius. Selain itu, pulau tersebut juga memiliki gunung berapi aktif yaitu Gunung Karengetang yang mengancam keberadaan spesies di alam. Dua spesies lain yang dikategorikan endangered dan terancam di alam dalam waktu dekat adalah T. pelengensis, dan T. sangirensis. Adapun spesies yang dikategorikan vulnerable (rentan punah) adalah T. tarsier dan T. dentatus, sedangkan dua spesies yang masih dalam kategori kurang data adalah T. pumillus dan T. lariang. Walaupun sering terjadi perkawinan dan kelahiran, tetapi kemampuan hidup anak sangat

kecil, sehingga dapat dikatakan bahwa belum ada penangkaran yang aktif dalam memelihara populasi untuk semua jenis tarsius (Gursky 1999). Status T. fusucus sampai saat ini masih tergolong dalam vulnerable dalam Red List yang dikeluarkan oleh IUCN 2011. Akan tetapi status ini dapat berubah apabila penelitian mengenai tarsius terus dilakukan dan populasi jenis ini dapat diperkirakan maka tidak menutup kemungkinan statusnya akan meningkat menjadi Endangered (Gursky 2008)

Anda mungkin juga menyukai