0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
565 tayangan19 halaman
Cerita pendek ini menceritakan perdebatan antara si pengamat dengan seorang wanita muda di halte bis mengenai kebiasaan memakai perhiasan. Wanita itu menjelaskan bahwa dia hanya memakai perhiasan palsu saat bepergian untuk menghindari risiko dicopet, sementara perhiasan aslinya dipakai untuk acara-acara sosial untuk menjaga gengsi suaminya. Dia juga menceritakan pengalamannya hampir dic
Cerita pendek ini menceritakan perdebatan antara si pengamat dengan seorang wanita muda di halte bis mengenai kebiasaan memakai perhiasan. Wanita itu menjelaskan bahwa dia hanya memakai perhiasan palsu saat bepergian untuk menghindari risiko dicopet, sementara perhiasan aslinya dipakai untuk acara-acara sosial untuk menjaga gengsi suaminya. Dia juga menceritakan pengalamannya hampir dic
Cerita pendek ini menceritakan perdebatan antara si pengamat dengan seorang wanita muda di halte bis mengenai kebiasaan memakai perhiasan. Wanita itu menjelaskan bahwa dia hanya memakai perhiasan palsu saat bepergian untuk menghindari risiko dicopet, sementara perhiasan aslinya dipakai untuk acara-acara sosial untuk menjaga gengsi suaminya. Dia juga menceritakan pengalamannya hampir dic
Fathul Munawaroh (12) Ferdinanda Rama A W (13) Rahayu Isnaini (25) Vita Ulfa Nurul Farida (31) Perhiasan (karya Hamsad Rangkuti) Mengapa orang begitu suka melekatkan perhiasan di tubuh mereka? Seorang wanita, misalnya, menggantungkan kalung emas dengan leontin yang meniru serangga tergantung di lehernya. Menambah gelang pada pergelangan tangannya. Atau cincin pada jari-jari tangannya. Saya pernah melihat wanita melingkarkan rantai emas pada pergelangan di sekitar mata kakinya. Kebiasaan menaruh perhiasan pada bagian- bagian anggota tubuh itu juga tidak dimonopoli kaum wanita saja, bahkan terkadang kaum prianya juga melakukan hal yang sama. Terkadang perhiasan itu berfungsi ganda, gigi emas misalnya atau jam tangan yang mahal. Banyak motivasi orang menggantungkan perhiasn di tubuh merka. Ada yang ingin menunjukkan kepada orang di sekitarnya bahwa dia orang yang berada. Atau ada pula uang ingin menutupi kemiskinan yang dimilikinya. Untuk hal yang terakhir ini, mereka pun lari ke perhiasan imitasi. Sebab imitasi ataupun tidaknya perhiasan yang mereka pakai sukar dibedakan dengan mata telanjang. Hanya mata seorang ahli tentang itu yang bisa mengenalinya. Saya sudah sering menyaksikan peristiwa yang diakibatkan orang yang mengenakan perhiasan di bagian tubuhnya. Tidak jarang akibat perhiasan itu membahayakan si pemakainya. Ada korban yang ditusuk karena melawan waktu penjambret merentap kalung dari lehernya. Saya pernah melihat seorang wanita muda dipaksa menelan kalung imitasi yang dipakainya sesaat setelah dua kawanan penjambret bahwa kalung yang dirampok bukan emas murni. Tetapi, saya lihat orang tidak pernah mau jera untuk menggantungkan perhiasan di tubuh mereka. Seperti apa yang saya lihat saat ini, ketika saya sedang menunggu kendaraan umun di halte bis. Saya kira wanita muda yang juga menanti kendaraan umum itu adalah orang yang ingin mengatakan kepada orang lain bahwa dia orang yang berpunya. Kalau kalung yang dipakainya itu imitasi, dia ingin berlagak kaya di depan orang lain. Orangnya masih muda. Dia mengapit tas tangan. Kerah bajunya sedikit terbuka menunjukkan kalung yang dipakainya. Kalung itu sangat mencolok membiarkan leontin yang meniru serangga laba- laba yang seolah hidup bergantung pada benang sarangnya. Wanita itu menoleh kepada saya. Kemudian, apa yang saya lihat hari ini, sama seperti apa yang pernah saya lihat, beberapa waktu yang lalu ketika dua penodong menyuruh telan kalung imitasi yang dipakai korbannya, seorang wanita muda juga. Itulah keuntungan yang saya dapatkan dengan naik bis setiap hari. Selalu banyak kejadian tampak di depan mata. Terkadang saya sendiri menjadi korban. Sebab, pencopet-pencopet atau penodong-penodong itu satu kelas dengan saya, sama-sama menumpang bis kota. Wanita itu ingin naik taksi, tapi selalu penuh. Wanita muda itu membuka lebih lebar kerah bajunya karena panas. Kalung emas dengan leontin tiruan serangga laba-laba yang menggelantung melekat pada kulit dadanya yang putih. Dia senyum kepada saya dan saya juga senyum kepadanya. Ada sedikit basa-basi di antara kami. Saya tidak mau menakut-nakuti dia dengan menceritakan pengalaman yang pernah saya lihat beberapa waktu yang lalu. Tetapi, apa yang pernah saya lihat beberapa waktu yang lalu itu terjadi persis sama pula pada saat sekarang ini. Dua orang lelaki datang dari dalam gang menodongkan pisau belati. Satu diarahkan kepadaku, satu lagi diarahkan ke wanita muda itu. Sesuatu yang di luar dugaan terjadi. Wanita muda itu dengan ketenangan yang sangat mengagumkan menanggalkan kalung dari lehernya. “Tidak usah ditodong dengan begitu. Ambil kalung ini. Aku hanya mengenakan kalung imitasi. Begitu yang kulakukan setiap aku bepergian. Ambillah. Kalung ini imitasi. Anda jangan kecewa karenanya.” Wanita muda itu dengan ketenangan yang luar biasa melepas senyumnya sambil menyerahkan kalung dari tangannya. “Nyonya jangan mencoba ingin mengecohkan perhatian kami. Kami tidak bisa tertipu. Kami penodong yang telatih. Kami bisa menandai asli ataupun palsu perhiasan yang dikenakan korban-korban kami. Walau dari jarak sepuluh meter kami tahu kalau Nyonya mengenakan emas murni.” “Ambil,” kata wanita muda itu. “Saya hanya mengenakan kalung imitasi setiap saya bepergian.” “Tidak usah ditodong dengan begitu. Ambil kalung ini. Aku hanya mengenakan kalung imitasi. Begitu yang kulakukan setiap aku bepergian. Ambillah. Kalung ini imitasi. Anda jangan kecewa karenanya.” Wanita muda itu dengan ketenangan yang luar biasa melepas senyumnya sambil menyerahkan kalung dari tangannya. “Nyonya jangan mencoba ingin mengecohkan perhatian kami. Kami tidak bisa tertipu. Kami penodong yang telatih. Kami bisa menandai asli ataupun palsu perhiasan yang dikenakan korban-korban kami. Walau dari jarak sepuluh meter kami tahu kalau Nyonya mengenakan emas murni.” “Ambil,” kata wanita muda itu. “Saya hanya mengenakan kalung imitasi setiap saya bepergian.” “Saya kagum kepada Anda. Anda tenang sekali. Seolah Anda seperti memberi uang seratus rupiah kepada pengemis.” “Saya tahu apa yang saya pakai. Saya kehilangan seribu atau dua ribu saja. Kalung imitasi seperti itu banyak dijual di kaki lima. Saya heran mengapa mereka tidak dapat membedakan.” “Atau Nyonya keliru?” “Saya tahu apa yang saya pakai.” “Orang kalau sudah lapar tidak dapat membedakan nasi yang sudah basi.” “Tepat seperti yang Anda katakan. Mereka bisa makan dari tong-tong sampah, karena lapar.” “Nyonya bernasib baik. Saya pernah melihat korban yang dipaksa menelan kalung imitasinya sesaat setelah dia dirampok. Tapi tidak di tempat ini.” “Saya kalau bepergian seperti saat ini tidak pernah mau mengenakan perhiasan dari emas murni. Resikonya terlalu besar. Mereka paksa menelan kalung imitasinya? Sungguh mengerikan! Apakah mereka akan datang memaksaku?” “Tidak semua penjahat seperti yang saya lihat itu. Nyonya tidak perlu gelisah. Mereka toh sudah diberitahu. Nyonya telah mengatakannya sendiri.” Beberapa orang datang ke halte ingin menanti kendaraan umum seperti kami. Wanita muda itu memandang pada kendaraan yang melintas, taksi yang penuh. “Malu rasanya kalau tidak mengenakan perhiasan,” dia berkata dengan senyum kepada saya. “Saya mengenakan kalung emas murni bila perlu saja. Misalnya, kalau menghadiri arisan keluarga. Atau menghadiri arisan di lingkungan tetangga. Pada saat- saat seperti itu kita harus mengenakan kalung emas murni. Tidak enak rasanya kalau kita tidak mengenakan perhiasan. Itulah sebabnya kalau saya bepergian menggunakan yang imitasi. Yang asli saya pakai untuk mata-mata tetangga dan mata-mata keluarga saya, juga berfungsi untuk menjaga gengsi suami. Bila tamu-tamu suami saya datang bertamu kerumah saya akan kenakan kalung emas itu. Tiga puluh gram rantainya, lima belas gram leontinnya. Saya seolah sarang laba-laba itu untuk menjaring mata-mata tetangga dan mata-mata tamu suami saya. Tadi malam mereka datang bertamu ke rumah kami. Aku cepat-cepat lari ke kamar membuka lemari dan mengambil kalung emas dari lacinya dan mengalungkannya di leherku berikut leontinnya yang meniru serangga laba-laba itu. Mereka terkagum-terkagum melihat kalung emas itu. Saya sengaja tunduk waktu menaruh gelas minuman di atas meja. Kalung emas itu jatuh menggantung di leherku menyentuh talam yang kupegang. Suaranya berdenting memukul gelas minuman yang belum kutaruh ke atas meja. Mereka melirik ke kalung itu. Saya senang dan muka saya merah ketika salah seorang dari mereka mengomentarinya. Saya sebentar-sebentar datang menambah minuman mereka dan kalung itu sengaja saya keluarkan dari balik baju saya. Ah, mengapa saya menceritakan rahasia kaum wanita kepada Anda. Mungkin saya melakukan itu karena Anda baru saja melihat kejadian tadi. Apakah istri Saudara mengenakan kalung emas untuk waktu- waktu tertentu saja? Saya kira semua wanita begitu. Semua wanita pasti melakukan hal yang sama seperti saya. Menjaga martabat suaminya. Seperti yang saya lakukan, saya juga ingin menjaga gengsi suami saya. Saya tunggu mereka berbincang-bincang sampai jauh malam. Saya memasak makanan kecil untuk mereka. Mereka asyik bercakap-cakap sampai jauh malam. Dan kami tertidur lelap begitu mereka pulang.” “Pantas wajah Nyonya memperlihatkan seperti orang yang kurang tidur.” “Saya gorengkan pisang untuk mereka.” Saya melihat ke mulut gang. Saya khawatir dua penjahat itu datang kembali seperti yang pernah saya lihat beberapa waktu yang lalu. “Jadi hanya untuk bepergian seperti saat ini saja Nyonya mengenakan kalung imitasi Nyonya itu? • “Tidak ada bedanya Saudara lihat bukan. Dua penjambret itu sendiri tidak bisa membedakannya walau dia telah menggenggamnya. Tetangga- tetangga melihat saya dari jaraj yang jauh kalau saya melintas hendak pergi meninggalkan rumah. • Anda lihat sendiri, dua penjahat itu terkecoh bukan. Seperti Anda bilang tadi, mereka tidak bisa membedakan nasi yang masih baik dengan nasi yang telah basi. Tidak ubahnya si lapar ketemu makanan.” • “Dan mereka tidak bisa membedakan nasi yang mereka makan nasi basi. Kemiskinan mereka yang mengajar mereka begitu. Tong sampah mereka kira piring nasi mereka!” • Wanita muda itu terkekeh-kekeh menutup mulutnya mendengar kelakar saya. • “Seakarang Nyonya sudah tampak lebih segar. Tertawa itu menjadikan orang segar. Sudah tidak tampak sekarang Anda seperti orang yang kurang tidur.” • “Hampir jam satu malam baru mereka pulang. Kami tidur begitu saja karena mengantuk.” • Tiba-tiba dia menjadi pucat! Seolah ada yang tiba-tiba diingatnya. • “Ya Allah! Ya Gusti!” serunya. Dia tersandar pada tiang. • Saya datang membantunya. • “Mengapa Nyonya? Ada yang bisa saya bantu?” • “Saya terlampau lelah meladeni mereka tadi malam. Saya tertidur tanpa membuka kalung itu. Ya Allah! Saya tidak membukanya. Sungguh! Saya tidak membukanya. Saya ingat sekarang, tadi pagi saya mandi memakai kalung itu. Saya telah terpikir untuk menanggalkannya waktu saya bersabun. Tetapi, saya mengurungkannya. Saya tidak menukarnya waktu saya menghias diri di depan cermin. Ya Allah. Saya tidak menukarnya waktu hendak pergi. Saya tidak menukarnya!” dia mulai menangis. Keringat mengucur membasahi wajahnya. Dia pucat dan basah karena keringatnya. • “Aku tidak menukarnya!” • Wanita muda itu tampak lunglai dan dia terduduk di atas lantai • “Emapt puluh lima gram kuberikan begiutu saja.” • “Saya terlampau yakin dengan kebiasaan yang sering saya lakukan. Mengenakan kalung imitasi itu setiap bepergian. Mengapa aku tidak menyadarinya waktu aku memberikannya. Padahal, dengan menggenggamnya saja aku sudah tahu akan beratnya.” • “Barangkali ujung pisau belati itu telah menjadikan Nyonya lupa akan beratnya. Padahal ketenangan Nyonya sangat mengagumkan!” • “Karena aku yakin betul bahwa aku mengenakan yang palsu. Adu! Aku sungguh lupa menukarnya. Biasanya sesudah aku memakainya, aku tidak pernah lupa menyimpannya dalam lemari. Dan aku tidak pernah lupa mengalungkan yang imitasi setiap bepergian. Aku selalu bawa kemana puna ku pergi. Dia tersimpan dalam tas tangan ini. Di dalam tas tangan ini aku menyimpannya. Aduh. Nanti malam sahabat-sahabat suamiku akan datang pada pertemuan khusus mereka di rumah. Aku hendak pergi belanja untuk itu.” “Tenang Nyonya. Jangan telanjur putus asa Nyonya. Siapa tahu Nyonya telah menukarnya. Saya yakin Nyonya sudah menukarnya!” “Saya simpan kalung imitasi itu di dalam tas tangan ini.” Dia buka tas tangannya dengan gemetar. Dia raba isinya. Dia keluarkan kalung imitasi dengan leontin menirukan serangga laba-laba itu. “Saya benar-benar telah lupa menukarnya!” Dia angkat kalung imitasi itu pada jari-jarinya. “Lihatlah! Saya memang lupa menukarnya! Ada dua kalung yang sama seperti ini. Yang asli dan yang palsu!” Dia mulai menangis.