Anda di halaman 1dari 19

Analisis

Cerpen
 Disusun Oleh

Fajar Rizky Widodo (10)


Fathul Munawaroh (12)
Ferdinanda Rama A W (13)
Rahayu Isnaini (25)
Vita Ulfa Nurul Farida (31)
Perhiasan
(karya Hamsad Rangkuti)
Mengapa orang begitu suka melekatkan perhiasan
di tubuh mereka? Seorang wanita, misalnya,
menggantungkan kalung emas dengan leontin yang
meniru serangga tergantung di lehernya.
Menambah gelang pada pergelangan tangannya.
Atau cincin pada jari-jari tangannya. Saya pernah
melihat wanita melingkarkan rantai emas pada
pergelangan di sekitar mata kakinya. Kebiasaan
menaruh perhiasan pada bagian- bagian anggota
tubuh itu juga tidak dimonopoli kaum wanita saja,
bahkan terkadang kaum prianya juga melakukan hal
yang sama. Terkadang perhiasan itu berfungsi
ganda, gigi emas misalnya atau jam tangan yang
mahal.
Banyak motivasi orang menggantungkan
perhiasn di tubuh merka. Ada yang ingin
menunjukkan kepada orang di sekitarnya bahwa
dia orang yang berada. Atau ada pula uang ingin
menutupi kemiskinan yang dimilikinya. Untuk
hal yang terakhir ini, mereka pun lari ke
perhiasan imitasi. Sebab imitasi ataupun
tidaknya perhiasan yang mereka pakai sukar
dibedakan dengan mata telanjang. Hanya mata
seorang ahli tentang itu yang bisa mengenalinya.
Saya sudah sering menyaksikan peristiwa yang
diakibatkan orang yang mengenakan perhiasan di bagian
tubuhnya. Tidak jarang akibat perhiasan itu
membahayakan si pemakainya. Ada korban yang ditusuk
karena melawan waktu penjambret merentap kalung dari
lehernya. Saya pernah melihat seorang wanita muda
dipaksa menelan kalung imitasi yang dipakainya sesaat
setelah dua kawanan penjambret bahwa kalung yang
dirampok bukan emas murni. Tetapi, saya lihat orang
tidak pernah mau jera untuk menggantungkan perhiasan
di tubuh mereka. Seperti apa yang saya lihat saat ini,
ketika saya sedang menunggu kendaraan umun di halte
bis.
Saya kira wanita muda yang juga menanti
kendaraan umum itu adalah orang yang ingin
mengatakan kepada orang lain bahwa dia orang
yang berpunya. Kalau kalung yang dipakainya itu
imitasi, dia ingin berlagak kaya di depan orang lain.
Orangnya masih muda. Dia mengapit tas
tangan. Kerah bajunya sedikit terbuka menunjukkan
kalung yang dipakainya. Kalung itu sangat mencolok
membiarkan leontin yang meniru serangga laba-
laba yang seolah hidup bergantung pada benang
sarangnya. Wanita itu menoleh kepada saya.
Kemudian, apa yang saya lihat hari ini, sama
seperti apa yang pernah saya lihat, beberapa waktu
yang lalu ketika dua penodong menyuruh telan
kalung imitasi yang dipakai korbannya, seorang
wanita muda juga. Itulah keuntungan yang saya
dapatkan dengan naik bis setiap hari. Selalu banyak
kejadian tampak di depan mata. Terkadang saya
sendiri menjadi korban. Sebab, pencopet-pencopet
atau penodong-penodong itu satu kelas dengan
saya, sama-sama menumpang bis kota. Wanita itu
ingin naik taksi, tapi selalu penuh.
Wanita muda itu membuka lebih lebar kerah bajunya karena
panas. Kalung emas dengan leontin tiruan serangga laba-laba
yang menggelantung melekat pada kulit dadanya yang putih.
Dia senyum kepada saya dan saya juga senyum
kepadanya. Ada sedikit basa-basi di antara kami. Saya tidak
mau menakut-nakuti dia dengan menceritakan pengalaman
yang pernah saya lihat beberapa waktu yang lalu. Tetapi, apa
yang pernah saya lihat beberapa waktu yang lalu itu terjadi
persis sama pula pada saat sekarang ini. Dua orang lelaki
datang dari dalam gang menodongkan pisau belati. Satu
diarahkan kepadaku, satu lagi diarahkan ke wanita muda itu.
Sesuatu yang di luar dugaan terjadi. Wanita muda itu dengan
ketenangan yang sangat mengagumkan menanggalkan kalung
dari lehernya.
“Tidak usah ditodong dengan begitu. Ambil kalung ini. Aku hanya
mengenakan kalung imitasi. Begitu yang kulakukan setiap aku
bepergian. Ambillah. Kalung ini imitasi. Anda jangan kecewa
karenanya.”
Wanita muda itu dengan ketenangan yang luar biasa melepas
senyumnya sambil menyerahkan kalung dari tangannya.
“Nyonya jangan mencoba ingin mengecohkan perhatian kami.
Kami tidak bisa tertipu. Kami penodong yang telatih. Kami bisa
menandai asli ataupun palsu perhiasan yang dikenakan korban-korban
kami. Walau dari jarak sepuluh meter kami tahu kalau Nyonya
mengenakan emas murni.”
“Ambil,” kata wanita muda itu. “Saya hanya mengenakan kalung
imitasi setiap saya bepergian.”
“Tidak usah ditodong dengan begitu. Ambil kalung ini. Aku hanya
mengenakan kalung imitasi. Begitu yang kulakukan setiap aku
bepergian. Ambillah. Kalung ini imitasi. Anda jangan kecewa
karenanya.”
Wanita muda itu dengan ketenangan yang luar biasa melepas
senyumnya sambil menyerahkan kalung dari tangannya.
“Nyonya jangan mencoba ingin mengecohkan perhatian kami.
Kami tidak bisa tertipu. Kami penodong yang telatih. Kami bisa
menandai asli ataupun palsu perhiasan yang dikenakan korban-korban
kami. Walau dari jarak sepuluh meter kami tahu kalau Nyonya
mengenakan emas murni.”
“Ambil,” kata wanita muda itu. “Saya hanya mengenakan kalung
imitasi setiap saya bepergian.”
“Saya kagum kepada Anda. Anda tenang sekali. Seolah Anda seperti
memberi uang seratus rupiah kepada pengemis.”
“Saya tahu apa yang saya pakai. Saya kehilangan seribu atau dua
ribu saja. Kalung imitasi seperti itu banyak dijual di kaki lima. Saya
heran mengapa mereka tidak dapat membedakan.”
“Atau Nyonya keliru?”
“Saya tahu apa yang saya pakai.”
“Orang kalau sudah lapar tidak dapat membedakan nasi yang
sudah basi.”
“Tepat seperti yang Anda katakan. Mereka bisa makan dari
tong-tong sampah, karena lapar.”
“Nyonya bernasib baik. Saya pernah melihat korban yang
dipaksa menelan kalung imitasinya sesaat setelah dia dirampok. Tapi
tidak di tempat ini.”
“Saya kalau bepergian seperti saat ini tidak pernah mau
mengenakan perhiasan dari emas murni. Resikonya
terlalu besar. Mereka paksa menelan kalung imitasinya?
Sungguh mengerikan! Apakah mereka akan datang
memaksaku?”
“Tidak semua penjahat seperti yang saya lihat itu.
Nyonya tidak perlu gelisah. Mereka toh sudah diberitahu.
Nyonya telah mengatakannya sendiri.”
Beberapa orang datang ke halte ingin menanti
kendaraan umum seperti kami. Wanita muda itu
memandang pada kendaraan yang melintas, taksi yang
penuh.
“Malu rasanya kalau tidak mengenakan perhiasan,” dia berkata dengan senyum
kepada saya. “Saya mengenakan kalung emas murni bila perlu saja. Misalnya, kalau
menghadiri arisan keluarga. Atau menghadiri arisan di lingkungan tetangga. Pada saat-
saat seperti itu kita harus mengenakan kalung emas murni. Tidak enak rasanya kalau
kita tidak mengenakan perhiasan. Itulah sebabnya kalau saya bepergian menggunakan
yang imitasi. Yang asli saya pakai untuk mata-mata tetangga dan mata-mata keluarga
saya, juga berfungsi untuk menjaga gengsi suami. Bila tamu-tamu suami saya datang
bertamu kerumah saya akan kenakan kalung emas itu. Tiga puluh gram rantainya, lima
belas gram leontinnya. Saya seolah sarang laba-laba itu untuk menjaring mata-mata
tetangga dan mata-mata tamu suami saya. Tadi malam mereka datang bertamu ke
rumah kami. Aku cepat-cepat lari ke kamar membuka lemari dan mengambil kalung
emas dari lacinya dan mengalungkannya di leherku berikut leontinnya yang meniru
serangga laba-laba itu. Mereka terkagum-terkagum melihat kalung emas itu. Saya
sengaja tunduk waktu menaruh gelas minuman di atas meja. Kalung emas itu jatuh
menggantung di leherku menyentuh talam yang kupegang. Suaranya berdenting
memukul gelas minuman yang belum kutaruh ke atas meja. Mereka melirik ke kalung
itu. Saya senang dan muka saya merah ketika salah seorang dari mereka
mengomentarinya. Saya sebentar-sebentar datang menambah minuman mereka dan
kalung itu sengaja saya keluarkan dari balik baju saya. Ah, mengapa saya menceritakan
rahasia kaum wanita kepada Anda. Mungkin saya melakukan itu karena Anda baru saja
melihat kejadian tadi. Apakah istri Saudara mengenakan kalung emas untuk waktu-
waktu tertentu saja?
Saya kira semua wanita begitu. Semua wanita pasti melakukan hal
yang sama seperti saya. Menjaga martabat suaminya. Seperti yang
saya lakukan, saya juga ingin menjaga gengsi suami saya. Saya tunggu
mereka berbincang-bincang sampai jauh malam. Saya memasak
makanan kecil untuk mereka. Mereka asyik bercakap-cakap sampai
jauh malam. Dan kami tertidur lelap begitu mereka pulang.”
“Pantas wajah Nyonya memperlihatkan seperti orang yang
kurang tidur.”
“Saya gorengkan pisang untuk mereka.”
Saya melihat ke mulut gang. Saya khawatir dua penjahat itu
datang kembali seperti yang pernah saya lihat beberapa waktu yang
lalu.
“Jadi hanya untuk bepergian seperti saat ini saja Nyonya
mengenakan kalung imitasi Nyonya itu?
• “Tidak ada bedanya Saudara lihat bukan. Dua penjambret itu sendiri
tidak bisa membedakannya walau dia telah menggenggamnya. Tetangga-
tetangga melihat saya dari jaraj yang jauh kalau saya melintas hendak
pergi meninggalkan rumah.
• Anda lihat sendiri, dua penjahat itu terkecoh bukan. Seperti Anda
bilang tadi, mereka tidak bisa membedakan nasi yang masih baik dengan
nasi yang telah basi. Tidak ubahnya si lapar ketemu makanan.”
• “Dan mereka tidak bisa membedakan nasi yang mereka makan nasi
basi. Kemiskinan mereka yang mengajar mereka begitu. Tong sampah
mereka kira piring nasi mereka!”
• Wanita muda itu terkekeh-kekeh menutup mulutnya mendengar
kelakar saya.
• “Seakarang Nyonya sudah tampak lebih segar. Tertawa itu
menjadikan orang segar. Sudah tidak tampak sekarang Anda seperti orang
yang kurang tidur.”
• “Hampir jam satu malam baru mereka pulang. Kami tidur begitu saja
karena mengantuk.”
• Tiba-tiba dia menjadi pucat! Seolah ada yang tiba-tiba diingatnya.
• “Ya Allah! Ya Gusti!” serunya. Dia tersandar pada tiang.
• Saya datang membantunya.
• “Mengapa Nyonya? Ada yang bisa saya bantu?”
• “Saya terlampau lelah meladeni mereka tadi malam. Saya tertidur
tanpa membuka kalung itu. Ya Allah! Saya tidak membukanya. Sungguh!
Saya tidak membukanya. Saya ingat sekarang, tadi pagi saya mandi
memakai kalung itu. Saya telah terpikir untuk menanggalkannya waktu
saya bersabun. Tetapi, saya mengurungkannya. Saya tidak menukarnya
waktu saya menghias diri di depan cermin. Ya Allah. Saya tidak
menukarnya waktu hendak pergi. Saya tidak menukarnya!” dia mulai
menangis. Keringat mengucur membasahi wajahnya. Dia pucat dan basah
karena keringatnya.
• “Aku tidak menukarnya!”
• Wanita muda itu tampak lunglai dan dia terduduk di atas lantai
• “Emapt puluh lima gram kuberikan begiutu saja.”
• “Saya terlampau yakin dengan kebiasaan yang sering saya lakukan.
Mengenakan kalung imitasi itu setiap bepergian. Mengapa aku tidak menyadarinya
waktu aku memberikannya. Padahal, dengan menggenggamnya saja aku sudah
tahu akan beratnya.”
• “Barangkali ujung pisau belati itu telah menjadikan Nyonya lupa akan
beratnya. Padahal ketenangan Nyonya sangat mengagumkan!”
• “Karena aku yakin betul bahwa aku mengenakan yang palsu. Adu! Aku
sungguh lupa menukarnya. Biasanya sesudah aku memakainya, aku tidak pernah
lupa menyimpannya dalam lemari. Dan aku tidak pernah lupa mengalungkan yang
imitasi setiap bepergian. Aku selalu bawa kemana puna ku pergi. Dia tersimpan
dalam tas tangan ini. Di dalam tas tangan ini aku menyimpannya. Aduh. Nanti
malam sahabat-sahabat suamiku akan datang pada pertemuan khusus mereka di
rumah. Aku hendak pergi belanja untuk itu.”
“Tenang Nyonya. Jangan telanjur putus asa Nyonya. Siapa
tahu Nyonya telah menukarnya. Saya yakin Nyonya sudah
menukarnya!”
“Saya simpan kalung imitasi itu di dalam tas tangan ini.”
Dia buka tas tangannya dengan gemetar. Dia raba
isinya. Dia keluarkan kalung imitasi dengan leontin menirukan
serangga laba-laba itu.
“Saya benar-benar telah lupa menukarnya!” Dia angkat
kalung imitasi itu pada jari-jarinya. “Lihatlah! Saya memang
lupa menukarnya! Ada dua kalung yang sama seperti ini. Yang
asli dan yang palsu!” Dia mulai menangis.

Anda mungkin juga menyukai