Oleh:
Devida Habeahan 180920015
Nurhamidah 180920008
Sukacita Tarigan 180920009
Sastra merupakan tulisan indah, baik yang ditulis oleh pengarang dalam kurun
waktu tertentu maupun pengarang pada zaman sekarang. Selain itu juga sastra dapat
dipandang sebagai gejala sosial, karena menurut Sangidu (2005:41) karya sastra
merupakan tanggapan penciptanya (pengarang) terhadap dunia (realita sosial) yang
dihadapinya.
Dalam Bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk pada
“kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu.
Sastra biasa dibagi sastra tertulis atau sastra lisan. Sastra sebagai pengalaman batin,
memperluas emosi pembaca, juga sebagai media pendidikan/ pengajaran dan
memberikan inspirasi. Karya sastra sebagai hak cipta manusia selain memberikan
hiburan dengan nilai baik, nilai keindahan, susunan adat istiadat, suatu keyakinan dan
pandangan hidup orang lain atau masyarakat melalui karya sastra.
Masalah angkatan dalam sastra indonesia hingga kini masih tetap di perdebatkan.
Perbedaan kriteria atau titik tolak pandangan dalam membuat penggolongan angkatan
ini, menghasilkan kesimpulan yang berbeda-beda. Masalahnya menjadi semakin sulit,
karena kriterianya tidak saja berdasarkan perurutan waktu, tetapi juga berdasarkan
“nilai-nilai” tertentu. Bakri Siregar mencoba menjelaskan masalah ini.dia juga melihat
telah lahir suatu angkatan baru dalam sastra indonesia, yang dalam penampilannya di
tandai oleh protes sosial yang ditunjukan kepada penolakan otoritas total dalam semua
bidang. Secara instrinsik hal ini diwujudkan dalam penolakan wawasan estetika dari
angkatan sebelumnya.
Fokus Masalah dalam makalah ini, kami memberikan batasan masalah sehingga
tidak menyimpang dari apa yang telah menjadi pokok bahasan. Mengacu kepada latar
belakang yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi angkatan
B. Ciri-ciri Angkatan 90
1. Kecendrungan dominan dari penyairnya yaitu lebih menyodorkan unsur asketik di
antara kerumunan tema-tema sosial yang menghinggapi generasi penyair 90-an.
2. Semakin banyak karya-karya sastra yang diterbitkan tanpa ketakutan apapun.
3. Ditandai dengan banyaknya roman percintaan.
4. Mulai memunculkan masalah gender.
5. Mulai muncul sastrawan wanita yang menonjol.
4. Hilman Hariwijaya
• Olga Sepatu Roda(1992)
• Lupus ABG - 11 novel (1995-2005)
6. Gustaf Rizal
• Segi Empat Patah Sisi(1990)
• Segi Tiga Lepas Kaki(1991)
• Ben (1992)
• Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta (1999)
Pada tahun 1994, tiga media cetak ditutup Pemerintah: Tempo,Editor, dan Detik.
Inilah yang merangsang insiatif untuk membangun Komunitas Utan Kayu. Maka
berdirilah Institut Studi Arus Informasi (1995) dan Galeri Lontar (1996) di sebuah
kompleks bekas rumah-toko di Jalan Utan Kayu 68-H Jakarta Timur. Menyusul
kemudian, Teater Utan Kayu (1997).
Ketika dulu banyak perdebatan antar individu, kini perdebatan itu tertuang
dalam sebuah komunitas-komunitas. Perdebatan itu sekarang milik Komunitas Utan
Kayu (KUK) atau lebih khusus kepada Teater Utan Kayu (TUK) dengan Komunitas
Ode Kampung (KOK).
TUK yang dihuni seniman tenar (Nirwan Dewanto, Sitok Srengenge, Goenawan
Mohamad, Ayu Utami, dan Eko Endarmoko) menjadi pengendali sekaligus aset
terpenting dalam keberadaan komunitas ini. Mereka menghasilkan sebuah eksklusivitas
tanpa merambah sastra komunitas lain. Banyak karya sastra yang dihasilkan dari
komunitas ini, dengan gaya yang begitu bebas. Memakai gaya yang dulu dianggap
begitu tabu, kini dipergunakan dengan lantang dan santainya. Salah satu tokohnya, Ayu
Utami, yang terlihat dalam novel Saman dan Larung. Dalam novel ini Ayu
menggunakan kebebasan dalam bersastra hingga menggunakan bahasa yang vulgar.
Goenawan Mohamad menganggapnya sebagai suatu risiko dalam kesusastraan
Indonesia modern. Akibat yang harus ditanggung jika sastra kita ingin menuju pada
tahap modern.
Perdebatan antara KUK dengan TUK-nya dan KOK dengan Boemipoetra-nya
hanyalah sebagai perdebatan sastra bocah. Perdebatan yang dikeluarkan bukan bersifat
membangun, tidak seperti yang dilakukan oleh tahun-tahun dulu. Ketika itu perdebatan
pertama yang muncul antara STA dan Armijn Pane adalah mencakup hal dasar, yaitu
dasar budaya bangsa kita: barat atau timur.
Pada majalah Recak dapat diketahui bahwa letak perdebatan ini karena
ketidaksenangan Saut Situmoranng melihat Goenawan Mohamad memanfaatkan mitos
baru tentang TUK yang mulai menggeser keberadaan Horizon dan TIM untuk
mendominasi dunia sastra Indonesia dalam memenuhi ambisi ekstraliterer mereka. Hal
tersebut dimulai dengan skandal menangnya novel Saman di Sayembara Roman Dewan
Kesenian Jakarta 1998. Setelah itu penghargaan kepada Ayu Utami dari Prince Claus
Award karena karyanya dianggap meluaskan batas penulisan dalam masyarakat. Dalam
Saman, Ayu Utami tidak sungkan-sungkan membahas masalah seks. Tapi mungkin
zamannya sudah berubah, kini masalah seks sudah bukan merupakan hal yang tabu
untuk diungkapkan. Ironis, bahwa yang mengungkap secara detail dan sedikit jorok
dalam novel ini adalah justru seorang wanita yaitu Ayu Utami.
BAB III
PENUTUP
SIMPULAN
Pada akhir bab ini kami pemakalah menarik kesimpulan bahwa salah satu
pelopor pada angkatan 90 ini Ayu Utami dengan karyanya “Saman”. Karya-karya
populer yang berkembang menunjukan adanya peningkatan kemajuan sastra dari massa
pembacanya.[6]
Sebetulnya angkatan 90 ini masih diragukan apakah ini merupakan angkatan
atau bukan, kerena menurut kami angkatan 90 banyak berbau dengan angkatan 2000
atau angkatan reformasi. Seperti pada angkatan-angkatan sebelumnya bahwasanya
angkatan 90 ini pun penuh kebebasan ekspresi dan pemikiran dengan sastrawan wanita
yang menonjol.
Selain itu, Pada masa itu ilmu sastra Indonesia tampak semakin mapan,
penelitian makin merak dimana-mana, dan penerbitan pun terbilang berlimpah ruah.
Karya-karya yang sulit terbit pada masa sebelumnya ternyata pada angkatan ini dapat
diterbitkan tanpa ketakutan apapun.
DAFTAR PUSTAKA