Anda di halaman 1dari 62

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Penetapan hukum tentang suatu amalan dalam Islam adalah wajib.

Termasuk didalamnya adalah ibadah mahdhoh, karena ibadah mahdhoh

berhubungan langsung dengan waktu kapan ibadah tersebut harus

dilaksanakan.

Contoh dari salah satu hasil penetapan hukum para ulama‟ adalah

penetapan hukum dalam menentukan awal bulan pada kalender qamariyah1.

Penetapan awal bulan pada kalender qamariyah tidak dapat dipastikan atau

ditetapkan begitu saja, karena dalam penentuan awal bulan pada kalender

qamariyah diperlukan perhitungan serta praktik lapangan secara langsung

untuk menyaksikan munculnya hilal2 (bulan sabit pertama), karena hilal

menandakan masuknya bulan baru dalam kalender qamariyah.

Secara umum dalam penentuan awal bulan dalam kalender qamariyah

ada dua metode, yaitu metode Hisab dan metode Ru‟yat. Menurut bahasa hisab

adalah hitung, sehingga ilmu hisab berarti ilmu hitung atau dalam bahasa

1
Kalender Qamariyah adalah penanggalan berdasarkan peredaran bulan terhadap bumi. Atau biasa
juga disebut dengan tahun Hijriyah, dimana tahun hijriyah dimulai ketika Nabi Hijrah ke
Madinah.
2
Hilal atau bulan sabit yang dalam astronomi dikenal dengan nama crescent adalah bagian bulan
yang tampak terang dari bumi sebagai akibat cahaya matahari yang dipantulkan olehnya pada
hari terjadinya ijtima‟ sesaat setelah matahari terbenam. Hilal dapat dipakai sebagai pertanda
pergantian bulan qamariyah. Lihat Kamus Ilmu Falak karangan Muhyidin Khazin hal. 30.
Menurut Ibnu Manzhur dalam Lisan al-„araby hilal adalah bulan sabit pada hari pertama dan
kedua bulan qamariyah, atau dua malam terakhir bulan qamariyah. Disampaikan oleh Dr. H. M.
Ma‟rifat Imam KH. MA. Dalam acara Lokakarya “Kriteria Awal Bulan Qamariyah” yang
diselenggarakan oleh Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syari‟ah Dirjen
Bimbingan Masyarakat Islam Kementrian Agama RI. pada tanggal 19-21 September 2011, di
Cisarua Bogor Jawa Barat.

1
Inggris disebut dengan Arithmatic yaitu suatu ilmu pengetahuan yang

membahas tentang seluk beluk perhitungan. Dikalangan umat islam ilmu hisab

terdapat dalam Ilmu Falak (Astronomi) dan Ilmu Waris (Faroidl3), karena

keduanya merupakan ilmu yang secara garis besar berorientasi pada

perhitungan, namun dalam sebutannya Ilmu Falaklah yang lebih cenderung

pada Ilmu Hisab4.

Dalam Ilmu Falak, hisab mempunyai pengertian sebuah ilmu yang

mempelajari benda-benda langit tentang fisiknya, geraknya, ukurannya, dan

segala sesuatu yang berhubungan dengannya. Dalam pengertian yang lain,

hisab adalah perhitungan secara sistematis dan astronomis untuk menentukan

posisi bulan dalam menentukan dimulainya awal bulan pada kalender

qamariyah. Dalam Ilmu Falak, hisab digunakan untuk memperkirakan posisi

matahari dan bulan terhadap bumi5.

Dalam penetapan awal bulan qamariyah, hisab mempunyai arti

menghitung perkiraan terjadinya ijtima‟ antara matahari, bulan, dan bumi. Jika

menurut hisab telah terjadi ijtima‟ dan bulan telah wujud (telah berada di atas

ufuk) maka pada saat itu dianggap telah masuk bulan baru, meskipun pada saat

itu bulan belum bisa diru‟yat (tampak).

Sedangkan ru‟yat dalam bahasa arab berarti “penglihatan”. Dalam

pengertian lain ru‟yat didefinisikan sebagai usaha melihat atau mengamati hilal

3
Faroidl atau Ilmu Waris adalah ‫ عهم يعرف بً كيفيت قسمت انتركت عهى مستحقٍا‬yang artinya adalah “ilmu
untuk mengetahui cara membagi harta peninggalan seseorang yang meninggal kepada yang
berhak menerimanya”
4
Slamet Hambali “Menuju Penyatuan Kalender Islam” dalam seminar imsakiyah pada hari Sabtu
tanggal 1 Agustus 2009, di STAIN Pekalongan.
5
Http;//www.google.co.id/NU-ru‟yatulhilal

2
di tempat terbuka dengan mata telanjang atau dengan bantuan peralatan pada

saat matahari terbenam menjelang bulan baru qamariyah. Apabila hilal berhasil

dilihat, maka malam itu dan keesokan harinya merupakan tanggal satu untuk

bulan berikutnya, namun apabila hilal tidak berhasil dilihat, maka malam itu

dan hari berikutnya merupakan hari ke 30 untuk bulan yang sedang

berlangsung6.

Aktivitas ru‟yat dilakukan pada saat menjelang terbenamnya matahari

pertama kali setelah ijtima‟ (pada saat ini pasti bulan berada di ufuk barat dan

bulan terbenam sesaat setelah terbenamnya matahari). Apabila hilal terlihat

maka pada petang (maghrib) waktu setempat telah memasuki tanggal satu.

Namun demikian tidak selamanya hilal dapat dilihat, jika selang waktu antara

ijtima‟ dengan terbenamnya matahari terlalu pendek, maka secara ilmiah atau

teori, hilal mustahil terlihat, karena adanya iluminasi7 cahaya.

Dari hadits-hadits yang menjelaskan tentang ru‟yat dapat dipahami

bahwa pengertian ru‟yat secara garis besar terbagi menjadi tiga, Pertama,

adalah melihat dengan mata. Ini dapat dilakukan oleh siapa saja. Kedua, adalah

melhat dengan qalb (intuisi). Ada hal-hal yang manusia hanya bisa mengatakan

“tentang hal ini hanya Allah yang lebih mengetahui”. Ketiga, adalah melihat

dengan ilmu pengetahuan8, hal ini dapat dijangkau oleh manusia yang memiliki

bekal ilmu pengetahuan.

6
Muhyiddin Khazin, Kamus Ilmu Falak, (Jogjakarta: Buana Pustaka, 2005), h. 69.
7
Iluminasi atau Illumination adalah luas bagian bulan yang memancarkan sinar. Dalam praktek
perhitungan, harga maksimal iluminasi bulan adalah 1 (satu) yakni ketika terjadi bulan purnama.
Muhyiddin Khazin, Kamus Ilmu Falak, (Jogjakarta: Buana Pustaka, 2005), h. 33-34.
8
Pendapat ini sejalan dengan pendapat Ibn Mandzur, al-Qalyubi, dan Mahmud Yunus. Lihat
Mahmud Yunus, kamus Arab Indonesia, hal. 136.

3
Dua metode penetapan awal bulan qamariyah yang telah dijelaskan di

atas menyebabkan munculnya aliran atau madzhab yang masing-masing

berpegang teguh pada masing-masing metode tersebut, dua madzhab yang

terkenal adalah Madzhab Hisab dengan sistem Hisab Wujud al-Hilal yang

menjadi pegangan organisasi Muhammadiyah dan Madzhab Ru‟yat dengan

sistem Ru‟yat al-Hilal yang menjadi pegangan organisasi Nahdlatul Ulama‟

(NU), oleh karena adanya dua aliran tersebut secara otomatis terdapat dua

sistem yang berbeda, dan oleh sebab itu juga maka tak jarang muncul

penetapan awal bulan qamariyah yang berbeda pula di Indonesia.

Seperti yang terjadi pada awal Syawal 1418 H lalu. Di Indonesia

terjadi 2 hari raya „Idul Fitri, yaitu pada hari Kamis Wage tanggal 29 Januari

1998 M. bagi umat islam yang mengikuti hari raya pemerintahan Arab Saudi

dan yang mengikuti PP Muhammadiyah dan sebagian warga NU yang

mengikuti PWNU Jawa Timur. Kemudian pada hari Jum‟at Kliwon tanggal 30

Januari 1998 M, bagi umat islam yang mengikuti ketetapan pemerintah RI dan

mengikuti ikhtibar dari PBNU.

Kemudian yang terjadi pada awal Syawal 1427 H lalu. Juga terdapat

dua hari raya „Idul Fitri. Yaitu pada hari Senin Pon tanggal 23 Oktober 2006

M. bagi umat islam yang mengikuti hari raya pemerintahan Arab Saudi dan

umat islam yang mengikuti keputusan PP Muhammadiyah dan sebagian umat

islam yang mengikuti ikhtibar dari PWNU Jawa Timur. Kemudian pada hari

Selasa Wage tanggal 24 Oktober 2007 M bagi umat islam yang mengikuti

ikhbar PBNU dan yang mengikuti ketetapan pemerintah RI.

4
Begitu juga awal Syawal 1428 H. terjadi perbedaan penetapan antara

Muhammadiyah dan NU. Muhammadiyah menetapkan berdasarkan Hisab

Wujud al-Hilal-nya bahwa 1 Syawal 1428 H jatuh pada hari Jum‟at Pahing

tanggal 12 Oktober 2007 M, sedangkan menurut NU 1 Syawal 1428 H jatuh

pada hari Sabtu Pon tanggal 13 Oktober 2007 M, sesuai dengan hasil sidang

itsbat pemerintah RI9.

Perbedaan hari raya „Idul Fitri terulang lagi pada tahun 2011. Terjadi

penetapan yang berbeda, yaitu Muhammadiyah yang menetapkan 1 Syawal

1432 H jatuh pada hari Selasa 30 Agustus 2011 dengan dasar Hisab Wujud al-

Hilal-nya. Sedangkan NU menetapkan 1 syawal 1432 H jatuh pada tanggal 31

Agustus 2011 dengan dasar Ru‟yat al-Hilal dan Istikmal (menyempurnakan 30

hari).

Meski pada dasarnya sistem Hisab Wujud al-Hilal dan sistem Ru‟yat

al-Hilal mempunyai landasan hukum yang sama, yaitu hadits Nabi yang

diriwayatkan oleh Imam Muslim sebagai berikut10:

9
Http://google-search-ru‟yatulhilal.co.id
10
Hadits-hadits lain yang membicarakan ru‟yat beserta permulaan tanggal dalam kalender
qamariyah diantaranya:
‫ صُ مُ نرايتً َافترَا نرايتً فان غم عهيكم فاكمهُا عدة‬: ‫ قال انىبي صهى هللا عهيً َ سهم‬: ‫عه ابي ٌريرة رضي هللا عىً يقُل‬
)ً‫شعباوثالثيه (متفق عهي‬
Dari Abu Hurairah Ra. Berkata, bagwa Rasulullah SAW. Bersabda: “Berpuasalah kamu karena
melihat hilal, dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Maka apabila hilal tertutup mendung
atasmu, maka sempurnakanlah bilangan Sya‟ban 30 hari ” (H. R. Bukhori Muslim)
‫ اذا رايتمُا انٍالل فصُمُا َاذا رايتمُي فافطرَا فان‬: ‫ قال رسُل هللا صهى هللا عهيً َ سهم‬: ‫عه ابي ٌريرة رضي هللا عىً قال‬
)‫غم عهيكم فصُمُا ثال ثيه (رَاي مسهم‬
Dari Abu Hurairah Ra. Berkata, Rasulullah SAW. Bersabda: “Bila kamu sekalian melihat hilal,
maka berpuasalah, dan bila kamu sekalianmelihat hilal, maka berbukalah. Maka bila hilal
tertutup awan atasmu, maka berpuasalah 30 hari ” (H. R. Muslim)
ً‫ صُ مُ نرايتً َافترَا نرايتً فان حال بيىكم َ بيى‬: : ‫عه ابي عباس رضي هللا عىً عىى انىبي صهى هللا عهيً َ سهم يقُل‬
)‫سحاب فاكمهُا عدة شعبا ن ثال ثيه (رَاي احمد ابه حىبم َ صححً انىسائ‬
Dari Ibnu Abbas Ra. dari Nabi SAW bersabda: “Berpuasalah kamu karena melihat hilal, dan
berbukalah kamu karena melihat hilal, maka apabila terhalang antara kamu dan hilal oleh

5
‫ صوموا لرؤيتو‬: ‫ قال رسول هللا عليو و سلم‬: ‫عن ابي ىريرة رضي هللا عنو يقول‬

)‫وافطروا لرؤيتو فأن غم عليكم فاقدروا لو ثالثين (رواه مسلم‬

Artinya: Dari Abu Hurairah Ra. Berkata, bahwa Rosulullah SAW bersabda:
“Berpuasalah karena melihat hilal, dan berbukalah karena melihat
hilal, maka jika ia tertutup awan atasmu, maka perkirakanlah ia 30
hari” 11(H. R. Muslim).

Bila diamati, kedua sistem tersebut mempunyai landasan hukum yang

sama dalam penetapan awal bulan qamariyah, tetapi dalam praktek

penetapannya mereka mempunyai sistem penetapan yang berbeda.

Perbedaan pendapat tentang penentuan awal bulan qamariyah adalah

kenyataan yang sering terjadi. Inilah aspek astronomis yang terkadang

dilupakan masyarakat dalam menilai kesatuan umat. Aspek inilah yang sering

menimbulkan masalah di Indonesia.

Oleh karena itu dalam penelitian ini, akan mencoba memaparkan

mengapa terjadi hal demikian. Selain itu akan di jelaskan juga kevalidan dari

kedua sistem penetapan tersebut bila dikaitkan dengan teori astronomi tentang

terjadinya bulan baru dalam kalender qamariyah, dan untuk mengupayakan

persatuan dan kesatuan umat islam Indonesia, maka dalam hal penetapan awal

bulan qamariyah juga akan disampaikan upaya penyatuan dua sistem penetapan

tersebut menjadi satu sistem penetapan awal bulan qamariyah.

awan, maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya‟ban 30 hari ” (HR. Ahmad bin Hanbal, dan
disahkan oleh Nasa‟i)
11
Imam Muslim. “Shohih Muslim”, (Surabaya: Al-Ma‟arif, 2007), juz 1, h. 327.

6
B. RUMUSAN MASALAH

Dari uraian latar belakang di atas, maka dapat diambil kesimpulan

yang terangkum dalam rumusan masalah berikut:

1. Bagaimana sistem Hisab Wujud al-Hilal dan sistem Ru‟yat al-Hilal

sudah sesuai dengan kaidah Astronomi?

2. Bagaimana kemungkinan Hisab Wujud al-Hilal dan sistem Ru‟yat al-

Hilal dapat dipadukan sebagai metode penetapan awal bulan

qamariyah?

C. TUJUAN DAN MANFAAT

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian antara sistem

Hisab Wujud al-Hilal dan sistem Ru‟yat al-Hilal dalam penetapan awal bulan

qamariyah dipandang dari segi ilmu Astronomi mengingat keduannya

mempunyai dasar yang sama-sama kuat. Selain itu penelitian ini juga akan

mencoba mengompromikan keduanya menjadi sebuah sistem yang akan

digunakan bersama-sama dalam penetapan awal bulan qamariyah.

D. KAJIAN PUSTAKA

Pustaka-pustaka yang berhubungan dengan penelitian ini sangat

banyak sekali, akan tetapi dalam penelitian ini penulis hanya mengambil

beberapa pustaka saja, yang tentunya berhubungan langsung dengan penelitian

ini, diantaranya:

7
Buku yang diterbitkan oleh Lembaga Studi Islam Universitas

Muhammadiyah Surakarta yang berjudul Kumpulan Makalah Hisab Ru‟yat

Perspektif Muhammadiyah12, buku ini membahas tentang bagaimana

Muhammadiyah menggunakan sistem Hisab, baik dalam teori maupun

praktek, serta menerangkan bagaimana Muhammadiyah memberikan argumen-

argumen tentang sistem Hisab Wujud al-Hilal yang digunakannya. Sebagai

perbandingan dalam bukun ini juga dicantumkan sistem Ru‟yat al-Hilal yang

digunakan oleh NU.

Drs. Muslih Husein, M. Ag. Dengan bukunya yang berjudul Matahari,

Bulan, dan Ka‟bah13, buku ini berisi tentang kajian-kajian Ilmu Falak,

termasuk didalamnya juga dikaji tentang penentuan awal bulan dengan

menggunakan sistem Hisab Wujud al-Hilal, buku ini lebih condong pada teori

pembelajaran ilmu falak.

H. Abbas Arfan, LC, M. H. dengan bukunya yang berjudul Geneologi

Pluralitas Mazhab Dalam Hukum Islam14. Dalam buku ini mengulas tentang

perbedaan penetapan hukum antar madzhab-madzhab di Indonesia, termasuk di

dalamnya juga perbedaan Madzhab Hisab dan Madzhab Ru‟yat dalam

penetapan awal bulan qamariyah, selain itu juga terdapat usaha-usaha yang

dilakukan penulis buku untuk menggabungkan keduanya dalam satu sistem

penetapan awal bulan qamariyah.

12
Lembaga Studi Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta
13
M. Muslih Husein. Matahari, Ka‟bah, dan Bulan.
14
Abbas Arfan. Geneologi Pluralitas Mazhab Dalam Hukum Islam.(Malang: UIN Malang Pers.
2008).

8
Ahmad Izzudin, M. Ag, dengan bukunya yang berjudul Fiqih Hisab

Rukyah15. Dalam buku ini penulis berusaha menyatukan perbedaan pendapat

antara NU dan Muhammadiyah dalam penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri,

dan Idul Adha. Dengan mencantumkan argumentasi-argumentasi dari masing-

masing NU dan Muhammadiyah serta memberikan jalan tengah atau solusi

untuk menyatukan keduanya.

DR. Susiknan Azhari. Dengan bukunya yang berjudul Hisab dan

Ru‟yat16. Berisi tentang wacana untuk membangun kebersamaan di tengah

perbedaan antara Madzhab Hisab dan Madzhab Ru‟yat.

Abu Yusuf Al Atsary. Dengan bukunya yang berjudul Pilih Hisab atau

Ru‟yah17. Sebuah buku yang berisi tentang telaah ilmiah dalam menjawab

polemik seputar penentuan awal bulan kalender Hijriyah.

E. KERANGKA TEORI

Kriteria penting yang menjadi pedoman penentuan awal bulan

qamariyah adalah kriteria Imkan ar-Ru‟yat (kriteria yang ditetapkan

berdasakan musyawarah). Yaitu ketinggian hilal minimal 2 derajat dan umur

bulan sejak ijtima‟ minimal 8 jam. Bila ada kesaksian ru‟yat yang menurut

hisab tingginya kurang dari 2 derajat, kesaksian itu ditolak. Kriteria ini juga

digunakan oleh Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura.18

15
Ahmad Izzudin, M. Ag, Fiqih Hisab Rukyah.(Jakarta: Erlangga. 2007)
16
DR. Susiknan Azhari. Hisab dan Ru‟yat(Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007).
17
Abu Yusuf Al Atsary. Dengan bukunya yang berjudul Pilih Hisab atau Ru‟yah. (Solo: Pustaka
Darul Muslim. 2006)
18
Http://www.google.co.id/search nahdlotul ulama‟dan ru‟yatulhilal

9
Itu adalah hasil kompromi antara kriteria ilmiah Astronomi dan data

pengamatan di Indonesia. Komite Penyatuan Kalender Hijriyah dalam sidang

pertamanya di Istambul 1978 memutuskan dua kriteria yaitu: jarak matahari

dengan bulan adalah 8 derajat, dan tinggi bulan minimal 5 derajat. Kriteria ini

mendekati kriteria Astronomis. Sedangkan data-data pengamatan di Indonesia

(atas dasar kepercayaan pada pengamat yang disumpah) menunjukkan

banyaknya kesaksian hilal dangan tinggi sekitar 2 derajat. Berkelit dari

perbedaan angka itu, Departemen Agama berargumentasi bahwa hilal 2 derajat

di Indonesia berarti sekitar 5 derajat ketika diamati dari Timur Tengah.

Pada sisi lain, Persatuan Islam (Persis) dapat menerima kriteria

Departemen Agama juga dengan dasar kompromi. Secara Astronomi, kriteria

itu tidak tepat, tetapi lebih kepada mendekati, dari pada tidak menggunakan

kriteria Imkan ar-Ru‟yat. Argumentasinya umur bulan 8 jam bagi pengamat di

Indonesia bisa berarti setinggi kira-kira 4 derajat. Karena bulan bergeser

menjauhi matahari dengan laju 12 derajat per hari. Angka 4 derajat ini lebih

dekat pada kriteria Astronomi.

Tidak ada satupun sistem hisab ru‟yat yang bersifat qoth‟i, mutlak

benarnya. Semua bersifat dhonni, dugaan atas dasar keyakinan kebenarannya.

Ru‟yat belum tentu benar, karena bisa jadi obyek yang disangka hilal itu

ternyata bukan hilal. Hisab atas dasar Wujud al-Hilal atau Imkan ar-Ru‟yat

juga belum tentu benar, masih ada yang perlu diperdebatkan. Kriteria

Astronomi pun tidak mutlak benarnya, sebagaimana tidak mutlaknya suatu

10
kebenaran ilmiah. Bisa jadi dengan bukti-bukti pengamatan yang lebih banyak

dan analisis teoritik yang lebih mendalam, kriteria itupun harus diubah.

F. METODOLOGI PENELITIAN

a. Sifat Penelitian

Pada dasarnya penelitian ini adalah penelitian Kualitatif yang bersifat

kepustakaan. Karena sumber data primer dalam penelitian ini diperoleh dari

sumber-sumber kepustakaan yang relevan dengan tema pembahasan yang ada.

Dari sumber-sumber kepustakaan tersebut dideskripsikan dan dianalisis

sehingga menghasilkan kesimpulan-kesimpulan untuk menjawab rumusan

masalah yang ada.

b. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini digunakan pendekatan Normatif. Standar

normatifitas penelitian ini adalah hasil penetapan hukum Muhammadiyah dan

NU. Yang apabila hasil penetapan dari keduanya dipelajari akan timbul

perbedaan-perbedaan, karena memang penetapan dari keduannya merupakan

hasil ijtihad yang berupa pemikiran-pemikiran terhadap hukum.

c. Tehnik Pengumpulan Data

Karena penelitian ini adalah penelitian kepustakaan, maka dalam

tehnik pengumpulan datanya digunakan tehnik dokumentasi, membaca

literatur, yang berkaitan dengan topik atau tema penelitian. Data yang

dikumpulkan berupa kitab-kitab, buku-buku, hasil-hasil penelitian, makalah-

makalah seminar, serta sumber data yang berasal dari media elektronik maupun

media cetak.

11
d. Metode Analisis Data

Setelah semua literatur terkumpul, maka langkah selanjutnya adalah

menganalisa setiap literatur yang ada, membandingkan literatur yang satu

dengan yang lainnya, sehingga diperoleh suatu data yang akurat dan

validitasnya dapat dipertanggung jawabkan.

G. SISTEMATIKA PEMBAHASAN

Untuk memperjelas penelitian ini, maka sistem pembahasannya adalah

sebagai berikut:

Bab pertama merupakan pendahuluan yang berisi tentang Latar

Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Kajian

Pustaka, Kerangka Teori, Metode Penelitian, dan Sistematika Pembahasan.

Bab kedua secara teoritis menguraikan tentang tinjauan astronomi

terhadap penentuan awal bulan qamariyah dengan memaparkan teori tentang

peredaran matahari dan bulan terhadap bumi yang mempunyai peranan penting

dalam penentuan awal bulan qamariyah.

Bab ketiga secara deskriptis membahas tentang latar belakang

Muhammadiyah dan NU serta peranan dan sistem penetapannya dalam

penetapan awal bulan qamariyah di Indonesia.

Bab keempat secara analisis menjelaskan tentang penetapan awal bulan

qamariyah dengan menggunakan sistem Hisab Wujud al-Hilal dan sistem

Ru‟yat al-Hilal serta kesesuaian keduanya dengan kriteria Astronomi,

Bab kelima berisi tentang kesimpulan-kesimpulan yang berhubungan

dengan hasil penelitian, dan disertakan pula saran-saran terhadap penelitian ini.

12
BAB II

TINJAUAN ASTRONOMI

A. Matahari, Bumi, dan Bulan

Berbicara tentang pergantian hari tak mungkin lepas dari tatasurya kita19,

terutama pergerakan matahari, bumi dan bulan, yang mempunyai peranan

penting terhadap pergantian hari. Matahari, bumi, dan bulan tergabung dalam

gugusan bintang-bintang atau galaksi, yang dinamakan galaksi Bimasakti (Milky

Way) yang disebutkan dalam Al-Qur‟an sebagai burûj (‫)برَج‬, yaitu dalam Al-

Qur‟an surat Al-Hijr ayat 16 sebagai berikut

  

 

 



Artinya: “Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan gugusan bintang-bintang


(di langit) dan Kami telah menghiasi langit itu bagi orang-orang yang
memandang (Nya)”

Burûj (‫ )برَج‬yang merupakan jamak dari lafadz burj (‫ )برج‬menurut segi

bahasa bermakna istana atau benteng. Ada ulama‟ yang memahaminya dalam arti

bintang-bintang, ia dinamakan seperti ini karena besar dan agungnya, dan banyak

juga yang memahaminya dalam arti tempat-tempat peredaran bintang-bintang

19
Tatasurya adalah suatu unit astronomi terkecil dimana matahari menjadi pusat peredaran dari
sejumlah benda langit yang dinamakan planet, yang secara terus menerus melakukan gerakan
revolusi mengelilingi matahari. Untuk tatasurya kita, sekarang baru diketahui memiliki 10 planet
yang mengelilinginya (jumlah ini mungkin bisa bertambah, karena teknologi manusia terus
berkembang semakin maju dalam mendeteksi keberadaan planet-planet yang mungkin muncul
kelak)

13
tertentu. Apapun makna yang dipilih, keduanya menunjukkan kekuasaan Allah

SWT20.

Mengutip Ibn „Asyur, M. Quraish Shihab mengatakan dalam buku

tafsirnya, bahwa Ibn „Asyur memahami kata burûj (‫ )برَج‬dalam arti yang ke dua,

yaitu tempat-tempat peredaran bintang-bintang tertentu. Bintang-bintang itu

Nampak seperti titik-titik yang apabila dibuatkan garis dengan mengikuti titik-

titik itu, maka bentuknya akan terlihat seperti binatang atau alat-alat tertentu.

Kemudian mereka menamainya dengan nama binatang atau alat-alat yang terlihat

itu. Gugusan bintang itu berada pada jalur peredaran matahari. Orang-orang

dahulu menjadikannya sebagai tempat perjalanan matahari yang berjumlah dua

belas sebanyak bilangan bulan dalam setahun, yaitu: Capricornus, Aquarius,

Phises, Aries, Taurus, Gemini, Cancer, Leo, Virgo, Libra, Scorpio, dan

Sagitarius21.

Sejalan dengan Ibn „Asyur, Hamka dalam tafsirnya menyatakan bahwa

di dalam ayat ini yang disebut bintang-bintang itu dalam nama burûj, maka ahli

Ilmu Falak Arab memberi istilah yang termasuk burûj itu adalah matahari, bulan,

dan bintang-bintang yang beredar, yaitu yang disebut bintang dua belas22.

Para ahli astronomi memperkirakan ada sekitar 100 sampai 300 miliar

galaksi di jagad raya ini dengan bentuk dan ukuran yang berbeda-beda. Secara

umum ada galaksi yang berbentuk spiral, spiral gepeng, elliptical, dan

sebagainya. Galaksi dimana bumi berada atau galaksi Bima Sakti ini berbentuk

20
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an, Cet I. (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), Vol. VII, hal. 103.
21
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan,dan Keserasian al-Qur‟an, Cet I. Vol. VII,
hal.103.
22
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: PT. Citra Serumpun Padi, 2000), Juz XIV, hal. 179.

14
spiral. Masing-masing galaksi diperkirakan memuat 200 sampai 300 miliar

bintang (matahari yang berada di galaksi kita ini termasuk bintang yang

berukuran sedang). Jika setiap bintang atau matahari memiliki 10 planet seperti

yang ada dalam tatasurya kita, dan setiap planet memeiliki satu satelit seperti

bumi, maka benda langit itu mungkin berjumlah miliaran triliun, atau bahkan

lebih banyak lagi, tak terhitung.

Banyak teori-teori yang menggambarkan pergerakan-pergerakan benda

langit tersebut, diantaranya teori Geosentris23 yang merupakan hasil pemikiran

dari Aristoteles24 dan Ptolemeus25, mereka mengira bahwa seluruh alam semesta

ini berpusat pada bumi. Matahari, bulan, dan planet-planet lainnya semuanya

bergerak mengelilingi bumi, sedangkan bintang-bintang diyakini tetap pada

posisinya, tidak bergerak. Tapi kemudian teori tersebut dibantah oleh Nicolas

Copernicus26 yang mengumumkan teori Heliosentris27. Melelui bukunya ynag

berjudul On The Revolution Of The Heavenly Bodies (revolusi benda-benda

23
Pandangan yang menyatakan bahwa bumi itu sebagai pusat peredaran benda-benda langit. Lihat
Muhyidin Khazin, Kamus Ilmu Falak (Jogjakarta: Buana Pustaka, 2005) hal. 26.
24
Aristoteles (384-322 M) adalah seorang ahli filsafat yang hidup pada tahun 384-322 SM, ia
mempunyai pendapat bahwa pusat jagad raya adalah bumi. Sedangkan bumi selalu dalam
keadaan tenang, tidak bergerak dan tidak berputar. Lihat Lihat Muhyidin Khazin, Kamus Ilmu
Falak (Jogjakarta: Buana Pustaka, 2005) hal. 99.
25
Atau Claudius Ptolomeus (90-168 M) adalah seorang ahli Astronomi lahir pada tahun 85 M
yang sependapat dengan teori Aristoteles yaitu Geosenris, yaitu bumi yang menjadi pusat
tatasurya. Ia menyusun sebuah buku besar tentang astronomi yang berjudul Syntatis, adapun
karya-karyanya yang lain adalah Ensiklopedi Astronomi yang terkenal yaitu Almages atau
Tabril Magesti yang tersiar diseluruh dunia dan menjadi dasar dan pedoman ilmu bintang.
Berkat karyanya itu ia ia dijuluki sebagai “King of Astronomers”. Lihat Muhyidin Khazin,
Kamus Ilmu Falak (Jogjakarta: Buana Pustaka, 2005) hal. 113-114.
26
Nicolas Copernicus (1473-1543M) berasal dari Polandia. Seorang astronom yang mencetuskan
teori Heliosentris dan menentang teori Geosentris dari Ptolemy yang ia tuangkan dalam buku
karyanya yang berjudul “Revolution Orbium Celestium”. Ia dikenal sebagai Bapak Astronomi
Modern. Lihat Muhyidin Khazin, Kamus Ilmu Falak (Jogjakarta: Buana Pustaka, 2005) hal. 101.
27
Adalah pandangan yang menyatakan bahwa matahari sebagai pusat peredaran benda-benda
langit dalam tatasurya. Bumi, bulan, dan planet-planet sebagai anggota tatasurya. Lihat
Muhyidin Khazin, Kamus Ilmu Falak (Jogjakarta: Buana Pustaka, 2005) hal. 29.

15
langit) ia menyatakan bahwa mataharilah yang sesungguhnya menjadi pusat edar

benda-benda langit. Pada saat itu Copernicus masih beranggapan bahwa orbit-

orbit benda langit tersebut masih berbentuk lingkaran, sementara matahari diam

sebagai pusat edarnya di tengah lingkaran tersebut.

Teori heliosentris ini diperbaiki oleh Johannes Kepler28, yeng

memperkenelkan teori Law of Planetary Motion (hukum gerak planet).

Menurutnya orbit planet-planet yang mengelilingi matahari bukan berbentuk

lingkaran, tetapi berbentuk elips29, dimana matahari berada pada salah satu titik

fokus elips ini.

Kemudian mulailah penemuan-penemuan spektakuler lainnya dalam

bidang astronomi yang semakin memperjelas sifat-sifat benda langit dalam

tatasurya kita, sehingga karakteristik yang sangat detailpun telah dapat

dirumuskan.

Namun, untuk pembahasan selanjutnya, tetap hanya akan berkosentrasi

pada tiga benda langit yang akan berperan penting dalam penentuan kalender

hijriyah, yaitu: matahari, bumi, dan bulan, yang karakteristiknya akan dipelajari

secara khusus pada pembahasan selanjutnya.

28
Johannes Kepler adalah seorang astronom dari Jerman (1571-1630 M), ia memperluas dan
menyempurnakan ajaran Copernicus. Teori-teori yang dikemukakanya berdasarkan matematika
yang kuat, ia berhasil menjadikan Hukum Universal tentang kinematika planet yang menjadi
landasan dalam Ilmu astronomi. Lihat Muhyidin Khazin, Kamus Ilmu Falak (Jogjakarta: Buana
Pustaka, 2005) hal. 107.
29
Elips adalah bentuk lingkaran yang tidak bundar, melainkan bulat seperti telur. Benda-benda di
langit beredar pada orbitnya masing-masing dalam bentuk elips. Lihat Khazin, Kamus Ilmu
Falak (Jogjakarta: Buana Pustaka, 2005) hal. 23.

16
1. Matahari

Matahari adalah sebuah bintang, dalam tatasurya matahari merupakan

pusat dan penggerak bagi anggota-anggotanya yaitu planet-planet, karena

gravitasinya planet-planet beredar mengelilingi matahari, komet-komet30 juga

datang mendekati matahari berulang kali. Oleh karena itu kehidupan di bumi

sangat dipengaruhi oleh matahari. Matahari mempunyai gerakan rotasi, yaitu

bergerak pada porosnya. Arah rotasinya sesuai dengan arah rotasi sebagian besar

planet dan satelit yaitu arah negatif (berlawanan dengan arah jarum jam) atau

disebut juga dengan ricktograad yaitu apabila dilihat dari arah utara maka

matahari berputar pada porosnya dari barat ke timur. Periode rotasi bagian

equator (katulistiwa) matahari adalah 34 hari makin dekat dengan kutubnya

rotasi itu makin lambat, rotasi disekitar kutubnya memakan waktu 27 hari31.

Adanya perbedaan itu dikarenakan matahari berbentuk gas. Fenomena rotasi ini

dapat dilihat dari adanya gerakan bintik-bintik32 matahari (sunspot).

Pada hakikatnya matahari adalah bintang yang berukuran sedang, seperti

yang dikemukakan oleh Kepler dalam penelitiannya, matahari menjadi pusat

peredaran planet-planet dalam tatasurya kita yang orbitnya berbentuk elips,

sedang matahari berada pada salah satu fokus elips ini. Radius matahari pada

30
Komet atau Lintang kemukus adalah bintang berekor, yaitu bintang yang seolah mempunyai
kepala dan ekor. Komet terdiri atas butiran-butiran padat dan gas beku (amoniak, metan, karbon
dioksida, dan air), lihat Dr. HM. Ma‟rifat Imam KH. MA. Hal 35 Kalender Pemersatu Dunia
Islam. Bintang ini termasuk keluarga matahari, sehingga ia berjalan mengelilingi matahari
dalam bentuk yang sangat lonjong. Apabila suatu saat ia mendekati matahari, maka ia akan
tampak dengan ekornya yang selalu menjauhi matahari. Komet juga memiliki inti yang
dikelilingi oleh coma yang bercahaya, yang diameternya mencapai 2,5 juta km. Lihat Muhyidin
Khazin, Kamus Ilmu Falak (Jogjakarta: Buana Pustaka, 2005) hal. 57.
31
Dra. Maskufa, Ilmu Falak, (Jakarta: Gaung Persada, 2009), h. 42-43.
32
Bintik matahari adalah bagian permukaan matahari yang suhunya lebih rendah dari pada suhu
disekitarnya, karena lebih dingin maka kelihatan lebih gelap menyerupai bintik bintik. Lihat
Dra. Maskufa, Ilmu Falak, (Jakarta: Gaung Persada, 2009), h. 43.

17
bagian equatornya adalah 695. 000 km (sekitar 109 kali radius bumi) sehingga

dapat diperkirakan bagian dalam matahari dapat diisi oleh 1,3 juta bumi yang

kita tinggali. Lapisan terluas matahari photosphere yang tampak oleh kita

memiliki temperatur 6.000° C33. Energi matahari terbentuk dalam inti matahari

yang merupakan sumber energi elektro magnetik yang melimpah, yang sebagian

besar dalam bentuk panas dan cahaya. Sumber energi ini terbentuk akibat reaksi

nuklir pada temperatur 15.000.000° C, dan tekanannya 340 juta kali di bumi pada

permukaan laut. chromosphere berada di atas photosphere. Energi matahari yang

keluar dari pusat matahari keluar melalui bagian ini.

Bagian terluar matahari disebut corona34 (dapat terlihat ketika terjadi

gerhana matahari total) yang merupakan atmofsirnya, pada bagian inilah cahaya

yang menyilaukan tersebut tampak, yang merupakan gumpalan awan gas sangat

besar yang berkilau sebagai akibat dari letusan lapisan chromosphere yang paling

atas. Bagian terluar dari corona ini menjangkau luas ke ruang angkasa (sampai

sejauh 600.000 km) dan mengandung partikel-partikel yang bergerak semakin

menjauh dari matahari secara perlahan-lahan. Matahari memuat 99,85% dari

semua massa yang ada dalam tatasurya kita, sementara planet-planet yang

mengelilinginya hanya mengandung 0,135% massa total tatasurya. Massa yang

menggenapkan ini menjadi 100% dimiliki oleh benda-benda langit lain dalam

33
Dr. H. M. Ma‟rifat Imam, KH. MA. Kalender Pemersatu Dunia Islam, (Jakarta: Gaung Persada,
2010) hal. 34-35.
34
Corona adalah lapisan angkasa matahari terluar. Pada saat gerhana matahari total ia tampak
putih berkilau yang sangat berbahaya bagi mata yang melihatnya secara langsung. Lihat
Muhyidin Khazin, Kamus Ilmu Falak (Jogjakarta: Buana Pustaka, 2005) hal. 46.

18
tatasurya kita, seperti komet, asteroid35, dan satelit-satelit alam yang mengelilingi

planet-planet dalam tatasurya kita.

2. Bumi

Bumi adalah planet ke tiga jika di hitung dari yang paling dekat dengan

matahari, yang mengorbit pada matahari pada jarak 150 juta km. waktu bumi

untuk mengorbit matahari adalah sekitar 365,2564 hari, sedang satu putaran

rotasi pada porosnya (satu hari) adalah 23,9345 jam, dengan sumbu putaran

rotasinya membentuk busur 23°27‟ terhadap sumbu putaran matahari36.

Akibat dari rotasi bumi menyebabkan beberapa fenomena diantaranya:

1) Peredaran semu harian matahari dari timur ke barat yang seolah-olah

mengelilingi bumi37.

2) Terjadinya peristiwa siang dan malam, panjang satu kali peredaran semu

harian matahari dari terbit sampai terbenam rata-rata 12 jam atau satu hari

matahari.

3) Perbedaan waktu, arah rotasi bumi dari barat ke timur mengakibatkan

tempat-tempat di bumi yang lebih timur akan mengalami waktu lebih dulu

dari yang sebelah baratnya, perbedaan waktu ini adalah 1 jam untuk setiap 15

35
Asteroid atau disebut juga dengan sebutan planet minor atau planetioda adalah benda langit
yang kecil yang berupa batu dan logam, diameternya yang paling besar adalah sekitar 1000 km,
umumnya sekitar 240 km sampai yang sangat kecil. Sebagai anggota tatasurya berada di antara
planet Mars dan Jupiter, tetapi ada juga yang masuk ke dalam orbit bumi, bahkan ada yang
menabrak bumi. Lihat Muhyidin Khazin, Kamus Ilmu Falak (Jogjakarta: Buana Pustaka, 2005)
hal. 8. Lihat juga dalam Kalender Pemersatu Dunia Islam. Hal. 41, karya Dr. H. M. Ma‟rifat
Imam, KH. MA.
36
Dr. H. M. Ma‟rifat Imam, KH. MA. Kalender Pemersatu Dunia Islam. hal. 38.
37
Peredaran semu harian matahari dijadikan sebagai dasar penentuan waktu shalat dan saat
matahari terbenam dijadikan sebagai dasar perubahan hari dalam kalender hijriyah. Lihat Dra.
Maskufa, Ilmu Falak, (Jakarta: Gaung Persada, 2009), h. 44.

19
derajat atau 4 menit untuk setiap 1 derajat bujur. Hasil ini diperoleh dari

waktu yang diperlukan untuk sekali berotasi adalah 360° selama 24 jam38.

Untuk Indonesia yang letaknya memanjang antara 95° BT sampai 141°

BT di bagi atas tiga daerah waktu sebagai berikut39:

1) Waktu Indonesia Barat (WIB) dengan derajat tolok 105° BT, daerahnya

meliputi: Sumatra, Jawa, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. WIB =

GMT + 7 jam (105°:15° = 7 jam)

2) Waktu Indonesia Tengah (WITA) dengan derajat tolok 120° BT, daerahnya

meliputi: Bali, Sulawesi, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, NTB dan

NTT. WITA = GMT + 8 jam (120° : 15° = 8 jam)

3) Waktu Indonesia Timur (WIT), dengan derajat tolok 135° BT, daerahnya

meliputi: Maluku dan Irian Jaya atau Papua. WIT = GMT + 9 jam (135° : 15°

= 9 jam)

Selain melakukan gerakan rotasi, bumi juga melakukan revolusi, yaitu

peredaran bumi mengelilingi matahari dengan arah negatif dari barat ke timur,

dengan periode revolusinya adalah 365,2425 hari. Periode revolusi bumi ini

dijadikan dasar dalam perhitungan kalender syamsiyah40. Bila tahun panjang

(kabisat) jumlah harinya 366 hari, maka tahun pendek (basithoh) jumlahnya

38
Dengan dasar inilah diadakan pembagian daerah waktu di dunia. Secara umum di dunia terbagi
atas 24 daerah waktu, tiap dua daerah waktu yang berdampingan selisih waktunya 1 jam. Zone-
zone waktu tersebut berpangkal pada daerah meridian 0° yaitu di Greenwich sehingga di kenal
sebagai Greenwich Mean Time (GMT).
39
Pembagian daerah waktu di Indonesia berdasarkan Keputusan Presiden RI nomor 41 tahun 1987
tentang pembagian wilayah Republik Indonesia menjadi tiga wilayah waktu . perubahan pada
tanggal 26 November 1987 itu untuk lebih meluruskan batas daerah waktu, sehingga lebih
mendekati garis meridian. Sebelumnya seluruh Kalimantan termasuk WITA dan Bali termasuk
WIB, kemudian dirubah Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah masuk WIB, sedangkan Bali
masuk WITA.
40
Sistem penanggalan yang didasarkan pada peredaran bumi mengelilingi matahari.

20
adalah 365 hari. Dalam revolusinya sumbu bumi miring 66,5° terhadap bidang

ekliptika dengan arah kemiringan yang tetap.

Akibat dari revolusi bumi adalah:

1) Peredaran semu tahunan matahari, yaitu peredaran matahari pada manzilah-

manzilahnya dari rasi bintang ke rasi bintang yang lainnya sepanjang

ekliptika41 dengan arah negatif.

2) Pergeseran matahari antara Garis Balik Utara (GBU) dengan Garis Balik

Selatan (GBS), GBU adalah garis lintang 23,5° Utara dan GBS adalah garis

lintang 23,5° Selatan42.

3) Perbedaan panjang siang dan malam.

Ketika matahari berada pada garis 23,5° Utara pada tanggal 21 Juni

maka bumi belahan utara akan mengalami siang yang lebih panjang daripada

malam hari, sementara ketika matahari ada di selatan pada tanggal 22 Desember

maka di daerah itu malam akan lebih panjang daripada siang, demikian pula

sebaliknya, sementara itu apabila matahari berada di katulistiwa pada tanggal 21

Maret dan 23 September maka siang dan malam hari akan sama panjang di

semua tempat di bumi kecuali di kutub. Menurut perhitungan tarikh Syamsiyah

41
Ekliptika adalah lingkaran di bola langit yang memotong lingkaran ekuator langit dengan
membentuk sudut sekitar 23° 27‟. Titik perpotongan pertama terjadi pada saat matahari bergerak
dari langit bagian selatan ke langit bagian utara yaitu pada titik Aries (tanggal 21 Maret) yang
disebut Vernal Equinox, dan perpotongan kedua terjadi pada saat matahari bergerak dari bagian
langit utara ke bagian langit selatan yaitu pada titik Libra (tanggal 24 September) yang disebut
dengan Autumnal Equinox. Lihat Muhyidin Khazin, Kamus Ilmu Falak (Jogjakarta: Buana
Pustaka, 2005) hal. 18.
42
Matahari melakukan pergeseran ke utara dan ke selatan, pada tanggal 21 Maret matahari beredar
di katulistiwa, setelah 3 bulan yaitu pada tanggal 21 Juni matahari beredar di garis 23,5° utara
lalu berbalik lagi ke katulistiwa. Dari katulistiwa pada tanggal 23 September matahari perlahan
bergerak ke selatan , setelah 3 bulan yaitu pada tanggal 22 Desember matahari beredar di garis
23,5° selatan, kemudian berbalik lagi ke katulistiwa, begitu seterusnya.

21
atau Solar Calender43. Periode satu tahun pada tarikh matahari adalah 365 hari 5

jam 48 menit 46 detik atau disebut dengan satu tahun tropik44.

Bumi yang mengelilingi matahari dengan periode 365h 6j 9m 10,02d

(365,256366 hari). Bidang lintasan bulan mengelilingi bumi dan bidang lintasan

bumi mengelilingi matahari (bidang ekliptika) ini tidak tepat berada dalam satu

bidang melainkan miring, dengan variasi kemiringan antara 57‟ sampai 5°20‟.

Akibat kemiringan ini terdapat dua titik potong antara lintasan bulan

mengelilingi bumi dengan bidang ekliptika. Titik potong (simpul) ini dalam

astronomi dikenal dengan Ascending Node („Uqdah Jauhar)45 dan Descending

Node („Uqdah Naubahar)46.

Bumi memiliki atmofsir yang sangat ramah terhadap mahluk hidup,

diantaranya karena jaraknya yang tidak terlalu dekat dan tidak terlalu jauh

dengan matahari sehingga suhu di bumi tidak terlalu panas dan tidak terlalu

dingin. Selain itu kemiringan sumbu rotasi bumi terhadap bidang ekliptika juga

tidak menyebabkan pemanasan yang berlebihan di wilayah equator bumi. Tanpa

kemiringan ini perbedaan temperatur antara wilayah equator dan kutubnya akan

43
Kalender syamsiyah atau disebut juga solar calendar adalah sistem penanggalan yang
berdasarkan pada peredaran bumi terhadap matahari. Kalender syamsiyah yang sampai sekarang
dipakai adalah sistem Gregorian, yaitu suatu sistem penanggalan syamsiyah yang
diproklamirkan penggunaannya oleh Paus Gregorius XIII pada tanggal 15 Oktober 1582. Ia
melakukan koreksi terhadap penanggalan Julius sebanyak 10 hari serta menetapkan bahwa tahun
kabisat adalah bilangan tahun yang habis dibagi empat, kecuali bilangan abad yang tidak habis
di bagi empat. Menurut kalender Gregorian satu tahun berumur 365,2422 hari. Lihat Muhyidin
Khazin, Kamus Ilmu Falak (Jogjakarta: Buana Pustaka, 2005) hal. 28.
44
Dra. Maskufa, Ilmu Falak, (Jakarta: Gaung Persada, 2009), h. 47.
45
„Uqdah Jauhar (titik simpul naik) adalah perpotongan lintasan bulan dengan ekliptika dalam
lintasannya dari selatan ke utara. Lihat Muhyidin Khazin, Kamus Ilmu Falak (Jogjakarta: Buana
Pustaka, 2005) hal. 88.
46
„Uqdah Naubahar (titik simpul turun) adalah perpotongan lintasan bulan dengan ekliptika dalam
lintasannya dari utara ke selatan. Lihat Muhyidin Khazin, Kamus Ilmu Falak (Jogjakarta: Buana
Pustaka, 2005) hal. 88.

22
sangat ekstrim dan akan sukar untuk berseminya mahluk hidup. Medan magnetik

bumi juga sangat ramah, tidak seperti planet-planet lain yang berada dalam

tatasurya kita. Atmofsir melindungi bumi dari radiasi sinar matahari dan bintang-

bintang lainnya, tetapi juga melindungi bumi dari hantaman meteor47 yang suatu

saat jatuh menghantam bumi, karena pada umumnya telah terbakar habis ketika

memasuki dan bergesekan dengan atmofsir. 78% atmofsir bumi terdiri dari

nitrogen, 21% oksigen, dan 1%-nya adalah campuran gas lain. Bumi adalah satu-

satunya planet yang mempunyai mahluk hidup. Perputaran rotasi dan besarnya

kandungan besi-nikel di intinya menghasilkan medan grafitasi yang besar48.

3. Bulan

Bulan adalah benda langit yang mengelilingi bumi. Bulan merupakan

satelit alam bumi yang berperan menjaga keseimbangan lingkungan bumi, karena

pasang surut ditentukan oleh posisi bulan terhadap bumi.

Bulan memiliki diameter sepanjang 3.476 km, dan mengorbit

mengelilingi bumi pada jarak 384.403 km dari bumi dengan orbit yang berbentuk

elips juga. Waktu rotasi dan revolusi bulan adalah sama, yaitu 27 hari, 7 jam, 43

menit, dan 11,42 detik. Waktu edar ini dikenal dengan nama periode sideris,

selain berevolusi terhadap bumi, bulan juga melakukan rotasi pada sumbunya

dengan periode yang hampir sama dengan periode siderisnya. Akibatnya, bagian

bulan yang menghadap ke bumi akan selalu sama. Sumbu rotasi bulan

47
Meteor atau biasa disebut dengan Bintang Jatuh adalah benda langit yang berada di sekeliling
angkasa bumi, karena tertarik oleh gravitasi bumi sehingga ia menerobos angkasa menuju bumi
dengan kecepatan antara 69-70 km per detik. Adanya gesekan antara benda langit itu dengan
lapisan angkasa menyebabkan bagian luar meteor berpijar. Meteor ini biasanya telah terbakar
habis sebelum sampai dipermukaan bumi. Lihat Muhyidin Khazin, Kamus Ilmu Falak
(Jogjakarta: Buana Pustaka, 2005) hal. 68.
48
Dr. H. M. Ma‟rifat Imam, KH. MA. Kalender Pemersatu Dunia Islam. Hal. 40.

23
membentuk busur sebesar 1,5424° terhadap sumbu putar bumi, sedangkan

bidang orbitnya membentuk busur 5,1454°49.

Sejak abad ke-17, Galileo50 dan ahli astronomi lain telah melakukan

pengamatan teleskop atas bulan, dan telah dapat melihat kawah-kawah yang

besar tanpa batas di permukaannya, telah diketahui pula sejak lebih dari satu

abad yang lalu bahwa ternyata bulan tidak sepadat bumi. Langit bulan selalu

gelap karena bulan tidak memiliki atmofsir, sedangkan refraksi51 sinar

memerlukannya. Gravitasi di bulan hanya seperenem di bumi, sehingga orang

yang berbobot 60 kg di bumi hanya berbobot 10 kg di bulan.

Bulanlah satu-satunya satelit alam bumi, yaitu satelit yang juga

terbentuk dalam proses Big Bang (dentuman besar) sekitar 13,7 miliar tahun

yang lalu. Hanya planet Merkurius dan Venus yang tidak memiliki satelit alam.

Tujuh planet yang lainnya memiliki satelit yang menyertai orbitnya mengelilingi

matahari. Mars memiliki 2 satelit, Yupiter 63 satelit, Saturnus 34 satelit, Uranus

13 satelit, Neptunus 13 satelit, dan Pluto 1 satelit.

Dalam berevolusi mengelilingi bumi, pada suatu saat bulan akan berada

pada arah yang sama dengan matahari, saat ini disebut dengan fase bulan baru

(new moon) atau konjungsi (ijtima‟). Sedang kebalikannya, yaitu saat bulan

49
Dr. H. M. Ma‟rifat Imam, KH. MA. Kalender Pemersatu Dunia Islam. Hal. 41
50
Galileo Galilei (1564-1642 M) adalah ilmuwan berkebangsaan Italia. Pada tahun 1609 M ia
membuat teropong Astronomi. Dengan teropongnya itu ia berhasil menemukan semacam
pegunungan di permukaan bulan, gugusan bintang, cincin saturnus dan satelit pada planet
yupiter. Karyanya yang paling terkenal adalah “Dialogue on the Two Wored Sistem”. Lihat
Muhyidin Khazin, Kamus Ilmu Falak (Jogjakarta: Buana Pustaka, 2005) hal. 103.
51
Refraksi artinya “pembiasan sinar”, yaitu perbedaan antara tinggi suatu benda langit yang
terlihat dengan tinggi benda langit itu yang sebenarnya sebagai akibat adanya pembiasan sinar.
Pembiasan sinar ini terjadi karena sinar yang datang ke mata kita telah melalui lapisan-lapisan
atmofsir. Sehingga posisi benda langit itu tampak lebih tinggi dari posisi yang sebenarnya.
Pembiasan sinar bagi benda langit yang berada di zenit adalah 0°. Muhyidin Khazin, Kamus
Ilmu Falak (Jogjakarta: Buana Pustaka, 2005) h. 19.

24
berada pada arah yang berlawanan dengan matahari disebut dengan fase bulan

purnama (full moon). Pada fase bulan baru, seluruh bagian bulan yang gelap akan

menghadap ke bumi, sementara pada fase bulan purnama, seluruh permukaan

bulan yang terang akan menghadap ke bumi52.

B. Teori Astronomi dalam Penanggalan Qamariyah

Sejak awal peradaban manusia sampai sekarang, benda-benda langit

merupakan tanda dan petunjuk perjalanan manusia, baik di darat maupun di laut.

Dengan meneropong matahari, bulan dan bintang, terutama bintang-bintang tak

bergerak, seseorang dapat menentukan arah yang akan dituju. Mereka juga

menggunakan gugusan bintang dalam menentukan waktu. Dengan demikian manusia

dapat menentukan arah dan waktu melalui bantuan bintang53.

Mulai dari itulah, sehingga manusia mampu berkarya dengan penemuan-

penemuan ilmu pengatahuan tentang alam, dan menerapkannya dalam kehidupan

mereka, baik untuk aktivitas social bermasyarakat maupun aktivitas dalam rangka

beribadah kepada Allah.

Dalam al-Qur‟an surat al-Baqarah ayat 189 Allah berfirman:

   


   
   
   
  
   
 
  

52
Dr. H. M. Ma‟rifat Imam, KH. MA. Kalender Pemersatu Dunia Islam. Hal. 43.
53
Sebagaimana firman Allah dalam QS. An-Nahl ayat 16 sebagai berikut:
    

“ Dan (dia ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). dan dengan bintang-bintang Itulah mereka
mendapat petunjuk”.

25
  


Artinya: “.Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan


sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji;
dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya.
Akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan
masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah
kepada Allah agar kamu beruntung”.

Dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa ahillah adalah bentuk jamak

dari kata hilal yang umum diterjemahkan sebagai bulan sabit, yang menunjukkan

tanda awal dari suatu bulan baru tahun qamariyah.

Secara kontekstual kata ahillah ini diterjemahkan sebagai bulan baru

atau bulan-bulan sabit, sebagai tanda dari penanggalan pada bulan qamariyah.

Tanggal-tanggal ini ditunjukkan di langit sebagai fase-fase dari bulan. Dengan

perubahan bentuk bulan, maka manusia dapat menyusun atau mengukur waktu

untuk merancang aktivitas hidupnya.

Jika pada awal penanggalan bulan memperlihatkan diri sebagai sabit

yang tipis yang disebut dengan hilal, maka keesokan harinya sabit itu akan

semakin besar, membesar lagi sampai bentuk bulan setengah, dan akhirnya bulan

purnama. Oleh karena itu penanggalan qamariyah adalah penaggalan yang paling

fitri, paling alamiah, karena hanya memandang langit serta merta akan diketahui

tanggal apa sekarang.

Pergerakan bulan dari barat ke timur akan mempengaruhi kenampakan

bulan dari bumi, maka bentuk semu bulan kadang-kadang tampak dan kadang-

kadang tidak tampak. Perubahan bentuk semu bulan tersebut adalah bulan baru

26
(new moon), sabit (crescent), perbani awal (perempat), benjol (gibbous),

purnama (full moon), benjol (perempat), dan seterusnya kembali ke awal lagi54.

Meskipun pada fase bulan baru kedudukan bulan berada satu arah

dengan matahari, namun karena bidang lintasan bulan mengelilingi bumi tidak

berhimpit dengan bidang ekliptika, maka kedudukan bumi, bulan, dan matahari

tidak selalu berada dalam satu garis lurus melainkan hanya berada dalam satu

bidang yang tegak relative terhadap ekliptika, sehingga posisi hilal (bulan baru)

kadang-kadang berada di atas atau dibawah garis lurus yang menghubungkan

bumi-matahari55.

Dalam pergerakannya, bulan mengalami dua periode yang dikenal

dengan nama periode sinodis dan periode sideris, periode sinodis dihitung mulai

dari fase bulan baru ke fase bulan baru berikutnya, sedang periode sideris

dihitung mulai dari fase bulan baru dalam lintasan bulan yang pertama sampai

pada lintasan bulan yang kedua. Sedangkan fase bulan

Durasi yang dibutuhkan bulan berada dalam satu fase bulan baru ke fase

bulan baru berikutnya adalah 29,530588 hari atau 29 hari 12 jam 44 menit 2,8

detik. Lama waktu antara dua konjungsi (ijtima‟) ini di kenal dengan nama

periode sinodis (al-syahr al-qamar), dan periode sinodis inilah yang menjadi

kerangka dasar Kalender Hijriyah (bulan qamariyah). Oleh karena itu, umur

bulan qamariyah berfariasi antara 29 dan 30 hari56. Periode sinodis tidak sama

dengan periode sideris, karena bumi tidak tinggal diam, tetapi bumi selalu

berevolusi mengelilingi matahari.


54
Dra. Maskufa, Ilmu Falak, (Jakarta: Gaung Persada, 2009), h. 44.
55
Susiknan Azhari, Ilmu Falak, (Yogyakarta:Lazuardi, 2001) h. 23.
56
Dr. H. M. Ma‟rifat Imam, KH. MA. Kalender Pemersatu Dunia Islam. Hal. 47.

27
Sedangkan gerhana matahari terjadi apabila posisi matahari, bulan, dan

bumi berada dalam satu garis lurus. Pada saat gerhana matahari terjadi, cahaya

matahari terhalang oleh bulan, dan bayangan bulan yang sampai ke bumi terdiri

dari dua bagian, yaitu bagian yang paling gelap di sebut umbra, dan bagian yang

tidak begitu gelap di sebut penumbra. Apabila jarak matahari-bumi dan jarak

bulan-bumi tetap, maka bayangan bulan yang sampai ke bumi akan selalu sama.

Dalam realitas empiriknya, jarak matahari-bulan dan bulan-bumi tidak selalu

sama, hal ini dikarenakan lintasan bulan mengelilingi bumi berupa lintasan elips.

Akibat perubahan jarak ini, pada saat terjadi gerhana matahari terdapat tiga

kemungkinan bagi seorang pengamat di bumi. Kemungkinan pertama, pengamat

berada pada perpanjangan umbra, dalam hal ini pengamat akan melihat Gerhana

Matahari Cincin (Anular Eclipse of The Sun)57. Kemungkinan kedua, pengamat

berada di dalam umbra, dan matahari sebagai Gerhana Matahari Total (Total

Eclipse of The Sun)58, dan kemungkinan ketiga, pengamat berada pada

penumbra, pada posisi ini pengamat hanya akan malihat Gerhana Matahari

Sebagian (Partial Eclipse of The Sun)59. Gerhana Matahari Sebagian juga akan

terlihat pada daerah-daerah yang hanya dilalui oleh penumbra pada saat Gerhana

Matahari Total atau Cincin.

57
Gerhana Matahari Cincin (GMC) yaitu bundaran matahari tidak bisa tertutup seluruhnya oleh
bundaran bulan. Diameter sudut bundaran bulan lebih kecil dibanding dengan diameter sudut
bundaran matahari. Dr. H. M. Ma‟rifat Imam, KH. MA. Kalender Pemersatu Dunia Islam. Hal.
48.
58
Gerhana Matahari Total (GMT) yaitu seluruh bundaran matahari ditutup oleh seluruh bundaran
bulan, diameter sudut bundaran bulan lebih besar disbanding dengan diameter sudut bundaran
matahari. Lihat Dr. H. M. Ma‟rifat Imam, KH. MA. Kalender Pemersatu Dunia Islam. Hal. 48.
59
Gerhana Matahari Sebagian (GMS) yaitu sebagian bundaran matahari ditutup oleh sebagian
bundaran bulan. Dr. H. M. Ma‟rifat Imam, KH. MA. Kalender Pemersatu Dunia Islam. Hal.
48.

28
Demikian halnya tentang posisi matahari dan bulan ketika terbit dan

terbenam di lihat dari bumi di ufuk (horizon) ada beberapa perbedaan di

kalangan ilmuan. Kalangan astronom berpendapat bahwa suatu benda langit

dikatakan terbenam bila benda langit tersebut mencapai horizon dan terbit bila

benda langit tersebut muncul di horizon60, sedangkan kalangan ahli hisab

berpendapat bahwa suatu benda langit dikatakan terbenam bila benda langit

tersebut sudah seluruhnya berada di bawah ufuk (horizon), dan terbit bila benda

langit tersebut sudah berada di atas ufuk.

60
Susiknan Azhari, Ilmu Falak, (Yogyakarta:Lazuardi, 2001) h. 25.

29
BAB III
MUHAMMADIYAH DAN NU DALAM PENETAPAN
AWAL BULAN QAMARIYAH

A. MUHAMMADIYAH

a. Sejarah Singkat Muhammadiyah


Muhammadiyah adalah sebuah organisasi kemasyarakatan Islam tertua

di Indonesia. Organisasi ini didirikan di Yogyakarta pada tanggal 18

November 1912 oleh KH. Ahmad Dahlan atas saran dari murid-muridnya dan

beberapa orang anggota Budi Utomo61 untuk mendirikan suatu lembaga

pendidikan yang bersifat permanen62.

Akan tetapi dalam perjalanan sejarahnya sebagai organisasi

kemasyarakatan, Muhammadiyah tidak hanya menengani masalah pendidikan,

tetapi juga berbagai usaha pelayanan masyarakat seperti kesehatan, pemberian

hukum (fatwa), panti asuhan, penyuluhan, dan lain-lain. Ini terbukti dengan

keadaan Muhammadiyah yang mempunyai banyak majlis dan organisasi

otonom yang menangani masalah-masalah sosial dan kemasyarakatan.

Salah satu bagian penting dari Muhammadiyah adalah Majlis Tarjih.

Majlis ini didirikan atas dasar keputusan kongres Muhammadiyah di

Pekalongan pada tahun 1927 atas gagasan besar KH. Mas Mansur. Tokoh ini

mengusulkan agar dalam perserikatan Muhammadiyah ada tiga majlis, yakni

Majlis Tarjih, Majlis Tanfidz, dan Majlis Taftisy. Gagasan tersebut diterima

61
Budi Utomo didirikan di Jakarta pada tanggal 20 Mei 1908 oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo dan
beberapa orang pelajar Sekolah Doktor.
62
Ahmad Izzudin, M. Ag, “Fiqih Hisab Rukyah”.(Jakarta: Erlangga. 2007). H. 111-112

30
secara aklamasi oleh kongres. Untuk tujuan itu, dibentuklah sebuah tim

perumus yang beranggotakan KH. Mas Mansur dari Surabaya, AR. Sutan

Mansur dari Maninjau, H. Muhtar dari Yogyakarta, H.A. Mukti dari Kudus,

Karto Sudarno dari Jakarta, Muh. Kusni, dan M. Yunus Anis dari Yogyakarta.

Pada Muktamar Muhammadiyah ke-17 di Yogyakarta dibentuk sebuah

Majlis Tasyri‟ yang diberi nama Majlis Tarjih dengan KH. Mas Mansur

sebagai ketuanya. Dari namanya dapat dilihat bahwa majlis ini didirikan

pertama kali untuk menyelesaikan persoalan-persoalan khilafiyah yang waktu

itu dianggap rawan oleh Muhammadiyah. Majlis Tarjih-lah yang menetapkan

pendapat mana yang dianggap paling kuat untuk diamalkan Muhammadiyah

sehingga istilahnya adalah Majlis Tarjih. Hanya saja istilah Tarjih disini tidak

sepenuhnya sama dengan istilah Tarjih dalam Ilmu Ushul Fiqih63. Dalam

perkembangan selanjutnya, Majlis Tarjih tidak sekedar men-tarjih-kan

masalah-masalah khilafiyah tetapi juga mengarah pada penyelesaian

persoalan-persoalan baru yang belum pernah dibahas sebelumnya.

Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa lembaga Muhammadiyah

memproduksi hukumnya melalui Majlis Tarjih yang berarti lembaga yang

bertugas memilih yang kuat pendapat-pendapat para pemikir (ulama‟/fuqaha)

terdahulu atau para imam madzhab. fungsi dan tugas Majlis Tarjih di ilhami

oleh QS. Al-Nur ayat 5164

63
Tarjih dalam ilmu ushul fiqih dirumuskan sebagai berikut: menguatkan dari salah satu dari dua
dalil untuk diamalkan.
64
M. Yunan Yusuf, dkk. Ensiklopedi Muhammadiya,. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005)
h. 381

31
  
  
  
  
 
  
  
Artinya: “Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil
kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di
antara mereka ialah ucapan. "Kami mendengar, dan Kami patuh".
dan mereka Itulah orang-orang yang beruntung”.

Sesuai Surat Keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah No. 1 Tahun

1961 atau juga dalam Suara Muhammadiyah No. 6/1355 tahun 1936 bahwa

Majlis Tarjih didirikan untuk menimbang dan memilih dari segala masalah

yang diperselisihkan itu yang masuk dalam kalangan Muhammadiyah mana

yang dianggap kuat dan berdalil benar dari Al-Qur‟an dan Al-Hadits, Majlis

Tarjih mulai merundingkan sampai pada menetapkan hasil penyelidikan dan

pertimbangan dalam dalil Al-Qur‟an dan Al-Hadits itulah yang menjadi

putusan Majlis Tarjih yang dapat menyatukan dan menjaga Muhammadiyah

dari perselisihan yang tajam atau perpecahan pendapat.

Tugas Majlis Tarjih secara rinci adalah sebagai berikut:

a. Menggiatkan dan memperdalam penyelidikan ilmu dan hukum

Islam untuk mendapatkan kemurniannya.

b. Merumuskan tuntunan Islam, terutama dalam bidang tauhid,

ibadah, dan mu‟amalah yang akan dijadikan sebagai pedoman

hidup anggota dan keluarga Muhammadiyah.

32
c. Menyalurkan perbedaan-perbedaan faham mengenai hukum-

hukum Islam ke arah yang lebih maslahat.

d. Memperbanyak dan meningkatkan kualitas ulama‟-ulama‟

Muhammadiyah.

e. Memberi fatwa dan nasehat kepada Pimpinan Pusat

Muhammadiyah, baik diminta maupun tidak diminta, baik

mengenai hukum Islam atau jiwa ke-Islaman bagi jalannya

kepemimpinan maupun pelaksanaan gerak amal usaha

Muhammadiyah.

Tugas pokok Majlis Tarjih disempurnakan lagi dalam Keputusan

Pimpinan Pusat Muhammadiyah No. 5/PP/1971 yaitu65:

a. Menyelidiki dan memahami ilmu agama Islam untuk memperoleh

kemurnian.

b. Menyusun tuntunan, akidah, akhlak, ibadah, dan mu‟amalah

duniawiyah.

c. Memberikan fatwa dan nasehat baik atas permintaan ataupun tarjih

memandang perlu.

d. Menyalurkan perbedaan pendapat/paham dalam bidang keagamaan

ke arah yang lebih maslahah.

e. Mempertinggi mutu ulama‟.

f. Hal-hal lain dalam bidang keagamaan yang diserahkan oleh

pimpinan pusat persyarikatan.

65
Ahmad Izzudin, M. Ag, Fiqih Hisab Rukyah. h. 118

33
Pada tahun 1993, Keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah No.

5/PP/1971 disempurnakan lagi oleh keputusan Pimpinan Pusat

Muhammadiyah No. 74/SK/1-A/8.C/1993 yang menyatakan bahwa:

a. Mempercepat pengkajian dan penelitian agama Islam dalam rangka

pelaksanaan tajdid dan antisipasi perkembangan masyarakat.

b. Menyampaikan fatwa dan pertimbangan kepada pimpinan

persyarikatan guna menentukan kebijaksanaan dalam menjalankan

kepemimpinan, serta membimbing umat, khususnya keluarga dan

anggota Muhammadiyah.

c. Mendampingi dan membantu pimpinan persyarikatan dalam

mempersiapkan dan meningkatkan kualitas ulama‟.

d. Menyalurkan perbedaan pendapat/paham dalam bidang keagamaan

ke arah yang lebih maslahah.

Majlis Tarjih menghimpun para ulama‟ yang memiliki visi dan misi

yang sama dalam mengamalkan Islam, dengan cara ijtihad jam‟iyah

(kebersamaan) memberikan tuntunan yang paling mendekati amalan

Rasulullah SAW, dengan menjauhkan taqlid buta (mengikuti tanpa

mengetahui dasar hukumnya), menjauhkan bid‟ah khurafat, dan takhayul.

Untuk Umat Islam diberi bimbingan cara mengikuti sunah itu dengan sistem

ittiba‟ (mengikuti dengan mengerti dalilnya, tahu asal-usulnya)66.

66
M. Yunan Yusuf, dkk. Ensiklopedi Muhammadiyah,. h. 382-383

34
Dalam pembuatan hukum dalam Majlis Tarjih tidak meninggalkan

Qa‟idah Fiqhiyah dan Ushul Fiqh, meskipun terkadang terjadi lompatan ke

masa Nabi SAW. sehingga terkadang terjadi Unhistorical67.

Majlis Tarjih merupakan himpunan ulama‟ Muhammadiyah dalam

menegakkan hukum Islam. Yaitu lembaga yang menggali dan menyelidiki

serta menganalisis, dan mengkoordinasi hukum islam mengenai masalah-

masalah yang diperdebatkan dalam masyarakat, baik yang menyangkut hukum

fiqih secara tradisional maupun hukum islam dalam pandangan luas. Sesuai

maksud dan tujuan Muhammadiyah.

b. Peran Muhammadiyah dalam Penetapan Awal Bulan Qamariyah di


Indonesia

Merujuk pada tugas pokok dan kegiatan yang dilakukan oleh Majlis

Tarjih Muhammadiyah yang meliputi berbagai bidang hukum Islam, maka

termasuk di dalamnya adalah persoalan Hisab Rukyah (dalam penetapan awal

bulan qamariyah). Karena majlis ini merupakan lembaga ijtihad

Muhammadiyah, sehingga pemikiran-pemikiran Hisab Rukyah

Muhammadiyah tentunya juga produk dari Majlis Tarjih ini.

Mengenai kebijakan masalah Hisab Rukyah Muhammadyah, hal ini

tertuang dalam keputusan Muktamar Khususi di Pencongan Wiradesa

Pekalongan pada tahun 1972 yang isinya68:

67
Abd. Rochim Ghazali. Dua Yang Satu: Muhammadiyah dalam Sorotan Cendekiawan NU,
(Bandung: Mizan, 2000),h. 142
68
Ahmad Izzudin, M. Ag, Fiqih Hisab Rukyah. h. 122.

35
1. Mengamanatkan kepada Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majlis

Tarjih untuk berusaha mendapatkan bahan-bahan yang diperlukan

untuk kesempurnaan penentuan hisab dan mematangkan persoalan

tersebut untuk kemudian membawa acara ini pada Muktamar yang

akan datang.

2. Sebelum ada ketentuan hisab yang pasti, memercayakan kepada

Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk menetapkan 1 Ramadhan dan 1

Syawal serta 1 Dzulhijjah.

3. Selambat-lambatnya 3 bulan sebelumnya, Pimpinan Pusat

Muhammadiyah Majlis Tarjih sudah mengirimkan segala

perhitungannya kepada Pimpinan Muhammadiyah Wilayah untuk

mendapatkan koreksi yang hasilnya segera dikirimkan pada Pimpinan

Pusat Muhammadiyah Majlis Tarjih.

4. Tanpa mengurangi keyakinan atau pendapat para ahli falak di

lingkungan keluarga Muhammadiyah, maka untuk menjaga ketertiban

organisasi, setiap pendapat yang berbeda dengan ketetapan Pimpinan

Pusat Muhammadiyah supaya tidak disiarkan.

c. Metode Muhammadiyah dalam Penetapan Awal Bulan Qamariyah di


Indonesia

Seperti yang telah di terangkan dalam bab-bab sebelumnya, bahwa

Muhammadiyah menentukan awal bulan qamariyah adalah dengan

menggunakan metode hisab, dengan sistem penetapan Hisab Wujud al-Hilal.

36
Hisab dalam segi bahasa berarti menghitung, atau mengira, atau

hitungan69. Dalam al-Qur‟an kata hisab tidak semata-mata mempunyai arti

hitungan, namun memiliki makna lain, seperti: batas, hari kiamat, dan

tanggung jawab. Sementara dalam segi istilah, yang menjadi fokus studi ini

adalah metode untuk menghitung hilal dalam rangka menentukan waktu-

waktu ibadah. Dijumpai dalam literatur-literatur klasik bahwa ilmu hisab

sering disebut dengan Ilmu Falak, miqat, rasd, dan hai‟ah. Bahkan sering juga

hisab disebut dengan astronomi70.

Sebagaimana yang dikutip oleh Aziz Masyhuri menyebutkan bahwa

bukti sejarah mengidentifikasi penggunaan ilmu hisab di zaman pra-islam

dengan ditemukannya arkeologi71 tempat ilmu hisab diajarkan, bahkan

menurutnya di kalangan sahabat nabi ada yang ahli ilmu hisab yaitu Ibn

Abbas, karena dia telah menghitung rotasi bulan dalam setahun sebanyak 20

kali.

Para ahli hisab memahami hadits-hadits tentang hisab rukyat yang

berbunyi ً‫ فاقدرَ ن‬dengan makna “estimasikanlah”. Selain pemahaman

terhadap keumuman nash-nash al-Qur‟an menunjukkan isyarat bahwa cara-

cara penghitungan hisab juga merupakan metode yang sah dan bukan

merupakan metode yang memiliki hierarki lebih rendah dari pada melihat

secara visual (langsung) ubtuk menentukan awal dan akhir bulan qamariyah.

69
Lihat Badan Hisab Ru‟yat Depag RI. Almanak Hisab ru‟yat (Jakarta: Pembinaan Badan
Peradilan Agama Islam, 1981), h. 34.
70
Dr. H. M. Ma‟rifat Imam, KH. MA. Kalender Pemersatu Dunia Islam. Hal. 78.
71
Ilmu tentang kehidupan dan kebudayaan zaman kuno berdasarkan benda peninggalannya,
seperti patung dan perkakas rumah tang. Lihat http://www.artikata.com/arti-319599-
arkeologi.html

37
Secara formal pemikiran Hisab Ru‟yat Muhammadiyah tertuang dalam

himpunan putusan Majlis Tarjih Muhammadiyah sebagai berikut:

Berpuasa dan Id Fitrah itu dengan ru‟yat dan tidak berhalangan dengan

hisab. Menilik hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari bahwa

Rasulullah bersabda: “ berpuasalah karena melihat tanggal dan

berbukalah karena melihatnya. Maka bila mana tidak terlihat hilal

olehmu maka sempurnakan bilangan bulan Sya‟ban tiga puluh hari”,

dan firman Allah dalam QS. Yunus ayat 5 sebagai berikut:

   


  
 
 
   
   
  
  

Artinya: “ Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan
bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-
tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui
bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak
menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia
menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-
orang yang mengetahui”.

Apabila ahli hisab menetapkan bahwa bulan belum tampak atau sudah

wujud tetapi tidak kelihatan, padahal kenyataanya ada orang yang

melihat pada malam itu juga, Majlis Tarjih memutuskan bahwa

ru‟yatlah yang muktabar.

Dalam ayat tersebut Allah menegaskan bahwa benda-benda langit

berupa matahari dan bulan beredar dalam orbitnya dengan hokum-hukum

38
yang pasti sesuai dengan ketentuan-Nya. Oleh karena itu peredaran benda-

benda langit dapat dihitung secara tepat. Penegasan ayat tersebut tidak sekadar

pernyataan informatif belaka, karena peredaran benda-benda langit dapat

diprediksikan, khususnya matahari dan bulan bisa diketahui manusia

sekalipun tnapa informasi samawi. Penegasan ayat tersebut justru merupakan

informasi imperatif yang merupakan perintah untuk memperhatikan dan

mempelajari gerak dan peredaran benda-benda langit yang akan banyak

membawa kegunaan, termasuk didalamnya guna meresapi keagungan Sang

Pencipta.

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa dalam menetapkan

awal bulan qamariyah, Muhammadiyah menggunakan metode hisab dengan

sistem Wujud al-Hilal. Menurut sistem Wujud al-Hilal jika pada hari

terjadinya konjungsi atau ijtima‟ telah memenuhi dua kondisi, yaitu:

1. Sudah terjadi ijtima‟ qabl al-ghurub atau ijtima‟ sebelum matahari

terbenam

2. Bulan tenggelam setelah matahari, maka keesokan harinya dinyatakan

sebagai awal bulan qamariyah.

Sedangkan tentang keputusan Majlis Tarjih bahwa ru‟yatlah yang

muktabar, hal ini dengan syarat hilal sudah wujud. Bila hilal belum wujud

(posisi bulan negatif terhadap ufuk) maka ketentuan “ ru‟yatlah yang

muktabar ” tidak berlaku72.

72
Merupakan pemikiran yang disepakati sejak tahun 1969 oleh pakar astronomi Muhammadiyah,
sampai pemikiran tersebut ditinjau kembali oleh Muktamar Tarjih th. 1972 M/1392 H di
Pencongan, Wiradesa, Pekalongan.

39
Secara implisit, Muhammadiyah juga mengakui ru‟yat sebagai penentu

awal bulan qamariyah. Akan tetapi mulai tahun 1969 Muhammadiyah tidak

lagi melakukan ru‟yat dan lebih memilih menggunakan Hisab Wujud al-Hilal,

hal itu dikarenakan Ru‟yat al-Hilal atau melihat hilal secara langsung adalah

pekerjaan yang sangat sulit, dan dikarenakan islam adalah agama yang tidak

berpandangan sempit.

Kemudian mengenai hisab yang menurut majlis ini memenuhi

persyaratan adalah metode yang dikembangkan oleh Sa‟adoeddin Djambek,

datanya diambil dari Almanak Nautika73 yang dikeluarkan oleh TNI Angkatan

Laut Dinas Oceanografi74 yang terbit setiap tahun. Sehingga bagi

Muhammadiyah, menentukan tanggal dengan perhitungan matematik (hisab

qath‟i) adalah ijtihad yang paling tepat.

Dengan dasar tafsir al-Manar II:

“ Hisab astronomi yang terkenal di masa kita ini memberikan


penyempurnaan yang pasti. Sebagaimana yang telah diterangkan pada
pemimpin umat Islam dan pemerintahannya yang telah mempunyai
ketepatan tentang hisab tersebut, boleh mengeluarkan keputusan untuk
mempergunakan perhitungan tersebut. Perhitungan ini menjadi petunjuk
atas masyarakat. Ru‟yat hilal untuk pelaksanaan puasa, seperti halnya
melihat matahari tatkala akan shalat bukan merupakan ta‟abudi. Adapun
Rasul, Sahabat, dan ulama‟ salaf melaksanakan rukyah karena pada saat
itu mereka belum bisa melaksanakan perhitungan (hisab) yang belum bisa
memberikan kepastian, jadi untuk menentukan awal Ramadhan dan yang
lainnya cukup dengan hisab dan tidak perlu ru‟yat.

73
Nautika adalah data kedudukan benda-benda langit yang dipersiapkan untuk keperluan
pelataran. Sekalipun demikian, almanak nautika juga dapat digunakan untuk keperluan
perhitungan waktu shalat, awal bulan, dan gerhana. (lihat Kamus Ilmu Falak, oleh Muhyidin
Khazin, h. 69)
74
Oceonografi berasal dari bahasa Yunani yaitu oceanos yang berarti lauta dan graphos yang
berarti gambaran atau deskripsi. Bisa juga disebut dengan oseanologi yaitu ilmu kelautan. Yang
merupakan cabang dari ilmu bumi yang mempelajari segala aspek dari samudra dan lautan.

40
Hisab Wujud al-Hilal yang dimaksud sebagaimana dikemukakan

Muhammad Wardan (mantan Pimpinan Pusat Muhammadiyah), bahwa wujud

al-hilal adalah matahari terbenam lebih dulu daripada terbenamnya bulan

walaupun hanya satu menit atau kurang. Dalam menentukan tanggal 1 bulan

baru berdasarkan hisab dengan tiada batasan tertentu. Asalkan hilal sudah

wujud, maka menurut kalangan ahli hisab sudah berdasarkan Hisab Wujud al-

hilal dan dapat ditentukan hari esoknya adalah awal bulan qamariyah75.

Demikianlah pemikiran hisab ru‟yat Muhammadiyah dalam

menentukan awal bulan qamariyah yang intinya adalah menekankan pada

Hisab Wujud al-hilal. Kesimpulannya, hasil hisab wujud al-hilal yang

dikemukakan oleh Muhammadiyah bukan untuk menentukan atau

memperkirakan hilal mungkin dilihat atau tidak, akan tetapi dijadikan dasar

penetapan awal bulan qamariyah sekaligus menjadi bukti bahwa bulan baru

sudah masuk atau belum.

B. NAHDLATUL ULAMA‟ (NU)

a. Sejarah Singkat NU
Nahdlatul Ulama‟ merupakan sebuah Organisasi Masyarakat Islam

yang berbasis Ahlussunnah Wal Jama‟ah yang mempunyai basis kuat di

daerah pedesaan, terutama di Jawa dan Madura. Menurut catatan sejarah, NU

pada mulanya merupakan Komite Hijaz76. Ketika komite ini sepakat untuk

75
Ahmad Izzudin, M. Ag, Fiqih Hisab Rukyah. h. 125.
76
Komite Hijaz adalah panitia khusus yang dibentuk oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah atas restu
KH. Hasyim Asy‟ari. Tugas utama komite ini antara lain: merumuskan sikap para ulama
pemegang madzhab ahlus sunnah wal jama‟ah untuk disampaikan kepada penguasa Hijaz

41
mengirimkan utusan ke Muktamar Islam di Mekah, timbul pemikiran untuk

membentuk jam‟iyah sebagai institusi yang berhak mengutus delegasi

tersebut. Maka atas usulan KH. Mas Alwi bin Abdul Aziz jam‟iyah komite

tersebut diberi nama Nahdlatul Ulama.

Sehingga lahirlah NU pada tanggal 31 Januari 1926 di kampung

Kertopaten Surabaya tersebut tidak ubahnya seperti wadah bagi barang yang

sudah ada. Dengan kata lain wujud NU sebagai organisasi keagamaan ini

hanya sekedar penegasan formal dari mekanisme informal para ulama yang

sepaham (pemegang teguh hasil ijtihad dari salah satu empat madzhab, yakni

Syafi‟I, Maliki, Hanafi, dan Hambali) yang sudah ada jauh sebelum lahirnya

NU77.

Dalam tahap berikutnya, organisasi ini membentuk kepengurusan

lengkap yang terdiri dari Syuriah (Dewan Ulama-Legislatif), dan Tanfidziyyah

(Badan Pelaksana-Eksekutif). Setelah kepengurusan terbentuk lengkap, tahap

selanjutnya adalah masalah lambang (simbol) yang kemudian dipercayakan

kepada KH. Ridwan Abdullah, sehingga disepakatilah lambang NU yang

bergambar bola dunia yang dilingkari seutas tali dan sembilan bintang.

Kaitannya dengan Lajnah Bahsul Masail secara formal substansional,

eksistensi lajnah ini sudah tampak semenjak NU itu sendiri lahir. Hal ini

karena salah satu tugas fungsional NU adalah memberikan petunjuk

pelaksanaan ajaran Islam dalam segala aspek kehidupan, dan Lajnah Bahsul

77
Chairul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, (Surabaya: Bisma Satu, 1999), cet. II, h.
3-5

42
Masail tidak lain merupakan sebuah forum yang membahas masalah-masalah

keagamaan dalam rangka memberikan petunjuk tersebut.

Sebagai sebuah tradisi, Bahsul Masail diduga kuat telah berjalan atau

telah ada sebelum NU berdiri, pesantren-pesantren beserta kiyai pengasuhnya,

selaku penopang berdirinya NU, telah mempraktikkan model musyawarah

untuk memperoleh hukum dari kitab-kitab kuning yang sehari-hari

dipelajarinya. Dari argumentasi ini, diduga bahwa Bahsul Masail di pesantren

merupakan embrio dari Lajnah Bahsul Masail dalam tubuh NU tersebut.

Karena NU adalah organisasi sosial keagamaan, maka dapat dikatakan

bahwa Bahsul Masail merupakan misi dari kegiatan-kegiatan NU. Oleh karena

itu, ada atau tidaknya lembaga forma Bahsul Masail di berbagai daerah, tradisi

kajian hukum semacam ini akan tetap berjalan. Forum Bahsul Masail

diselenggarakan secara periodik dan biasanya terbatas untuk wilayah

kepengurusannya. Praktik Bahsul Masail di wilayah NU bukan saja forum

penting bagi pencarian dan perumusan hukum maudhu‟iyyah dan waqi‟iyyah

di tengah-tengah kehidupan masyarakat kontemporer, melainkan telah

menjadi tradisi keorganisasian biasa. Hebatnya, Bahsul Masail NU tidak

bersifat herarkis-struktural, termasuk kekuatan pengikat hukum dari hasil

keputusan Bahsul Masail78.

Mengenai status keputusan Bahsul Masail, jika kita merujuk pada

definisi fatwa, yang berarti pendapat dalam bidang hukum atau official legal

opinion, maka keputusan Bahsul Masail tersebut sebenarnya adalah fatwa

78
Marzuki Wahid, “Membaca Tradisi Bahsul Masail NU”, (Jakarta: Lakpesdam, 2000), h. 114.

43
dalam hukum islam dan lembaga Bahsul Masail yang memutuskannya adalah

lembaga fatwa. Ifta‟ (pekerjaan memberi fatwa) menyangkut kasus yang

sudah ada dimana mufti memutuskan ketentuan hukumnya berdasarkan

pengetahuan yang dimilikinya79.

b. Peranan NU dalam Penetapan Awal Bulan Qamariyah di Indonesia

Sebagai sebuah Organisasi Sosial Keagamaan Islam yang berhaluan

Ahlussunnah Wal Jamaah yang menjunjung tinggi ajaran Nabi Muhammad

SAW serta tuntunan para Sahabat dan hasil ijtihad para ulama‟ madzhab

empat (Hanafi, Maliki, Syafi‟i, dan Hambali), sesuai dengan tujuan

keberadaannya, NU berkewajiban untuk senantiasa mengamalkan,

mengembangkan dan menjaga kemurnian ajaran agama Islam yang

diyakininya, termasuk dalam penetapan waktu maupun tata cara ibadah yang

dianggap sah dan utama.

Sebagaimana tertuang dalam ART NU pasal 16 butir 7, Lajnah Bahtsul

Masaillah yang merupakan ladang produksi pemikiran (productian of

knowledge) masalah-masalah keagamaan dalam NU, baik yang waqi‟iyyah

maupun maudhū‟iyyah termasuk di dalamnya pemikiran hisab ru‟yat.

Sedangkan yang dimaksud dalam hisab ru‟yat ini adalah masalah penetapan

awal bulan qamariyah khususnya awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah80.

79
Wahbah al-Zuhaily, “Ushul al-Fiqh al-Islami”, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), jilid II, h. 1156.
80
Ahmad Izzudin, M. Ag, Fiqih Hisab Rukyah. h. 106.

44
c. Metode NU dalam Penetapan Awal Bulan Qamariyah di Indonesia
NU melalui Lajnah Bahsul Masail mengeluarkan keputusan bahwa

penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah atas dasar ru‟yatul hilal

atau istikmal. Sebagaimana tersurat dalam Keputusan Munas Ulama, tanggal

13-16 Rabiul Awal 1404 H / 18-20 Desember 1983 M di Situbondo, Jawa

Timur sebagai berikut:

“Penetapan Pemerintah tentang awal Ramadhan dan Syawal dengan


menggunakan hisab, tidak wajib diikuti. Sebab menurut Jumhur Salaf bahwa
penetapan awal Ramadhan dan Syawal itu hanya dengan ru‟yat atau itmam al-
„adad tsalatsina yauman. Adapun mengamalkan hisab untuk menetapkan
awal Ramadhan dan Syawal hanya boleh bagi ahli hisab itu sendiri dan orang
yang memercayainya. ”

Hal ini berdasarkan hadits nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim

berikut:

‫ صوموا لرؤيتو وافطروا‬: ‫ قال رسول هللا عليو و سلم‬: ‫عن ابي ىريرة رضي هللا عنو يقول‬

)‫لرؤيتو فأن غم عليكم فاقدروا لو ثالثين (رواه مسلم‬

Artinya: Dari Abu Hurairah Ra. Berkata, bahwa Rosulullah SAW


bersabda: “Berpuasalah karena melihat hilal, dan berbukalah
karena melihat hilal, maka jika ia tertutup awan atasmu, maka
perkirakanlah ia 30 hari” 81(H. R. Muslim).

Penentuan awal bulan qamariyah, terutama awal dan akhir bulan

Ramadhan menurut NU ditetapkan berdasarkan ru‟yat al-hilal yaitu melihat

bulan yang dilakukan pada hari ke 29. apabila ru‟yat tidak berhasil, baik

karena posisi hilal memang belum dapat dilihat maupun karena terjadi

mendung, maka penetapan awal bulan harus berdasarkan istikmal

(penyempurnaan bilangan bulan menjadi 30 hari). Sehingga menurut NU term


81
Imam Muslim. “Shohih Muslim”, (Surabaya: Al-Ma‟arif, 2007), juz 1, h. 327.

45
ru‟yat dalam hadits hisab ru‟yat adalah bersifat ta‟abudi-ghair ma‟qul al-

ma‟na. artinya ru‟yat al-hilal dalam penetapan awal bulan qamariyah adalah

termasuk ibadah dan tidak dapat di rasionalkan pengertiannya, sehingga tidak

dapat diperluas dan tidak dapat dikembangkan. Dengan demikian, ru‟yat

hanya diartikan sebatas melihat dengan mata kepala82.

Penetapan awal bulan qamariyah dengan menggunakan ru‟yat al-hilal

adalah fardhu kifayah, menurut madzhabil arba‟ah kecuali madzhab Hambali

yang berpendapat bahwa hukumnya sunnah. Pelaksanaan ru‟yat al-hilal yang

dilaksanakan pemerintah sudah cukup sebagai pelaksanaan fardhu kifayah

bagi seluruh umat Islam Indonesia.

Untuk memperkuat tendensinya tersebut, dalam memulai pelaksanaan

puasa Ramadhan, melaksanakan Idul Fitri, dan Idul Adha kepada warga NU

terutama anggota pimpinan dari tingkat pusat sampai dengan tingkat ranting

diintruksikan agar menyimak pengumuman dan penetapan pemerintah melalui

TV, jika pengumuman dan penetapannya berdasarkan ru‟yat al-hilal dan

istikmal maka warga NU wajib mengikuti dan mentaati. Tapi jika

pengumuman dan penetapannya hanya semata-mata berdasarkan hisab, maka

warga NU tidak wajib mengikuti dan mentaatinya, selanjutnya mengawali

puasa Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha pada hari berikutnya (istikmal).

Sebagai konsekuensi berpegang pada ru‟yat, NU tetap melakukan

ru‟yat di lapangan betapapun menurut hisab hilal masih dibawah ufuk yang

menurut pengalaman hilal tidak akan terlihat. Hal demikian dilakukan agar

82
Ahmad Izzudin, M. Ag, Fiqih Hisab Rukyah. h. 4.

46
penggunaan istikmal itu tetap didasarkan pada ru‟yat di lapangan yang tidak

berhasil melihat hilal, bukan atas dasar hisab83.

Demikian pula, apabila menurut hisab keadaan hilal sudah mungkin

dapat dilihat atau sudah Imkan ar-Ru‟yat84, namun ternyata tidak satupun ada

laporan hilal berhasil diru‟yat, maka NU akan menyempurnakan umur bulan

menjadi 30 hari.

Laporan kesaksian hilal dapat ditolak apabila semua ahli hisab (dengan

hisab yang akurat) sepakat menyatakan bahwa hilal tidak dapat diru‟yat, baik

posisi hilal di bawah ufuk ataupun di bawah minimal hilal dapat diru‟yat atau

belum Imkan ar-Ruyat. Atau dengan kata lain bahwa laporan hasil ru‟yat

dapat ditolak apabila tidak di dukung oleh ilmu pengetahuan atau hisab yang

akurat. Dengan demikian, dalam prakteknya NU pun melakukan hisab awal

bulan, hanya saja NU menempatkan hisab untuk membantu pelaksanaan

ru‟yat dan untuk mengontrol keakurasian laporan hasil ru‟yat.

83
Khoirul Fuad Yusuf dan Bashori A. Hakim. Hisab Ru‟yat dan Perbedaannya (Jakarta: Depag
RI, 2004). h. 211
84
Imkanur ru‟yat (Haddur Ru‟yat) artinya kemungkinan hilal dapat diru‟yat, atau batas minimal
hilal dapat diru‟yat, yaitu suatu fenomena ketinggian hilal tertentu yang menurut pengalaman
dilapangan hilal dapat dilihat. Dalam astronomi disebut dengan istilah Visibilitas Hilal.
Kesepakatan Imkanur rukayat di Indonesia bahwa hilal dapat dilihat dengan ketinggian 2° 15‟
dengan umur bulan sejak ijtima‟ adalah 8 jam. Bila ada kesaksian ru‟yat yang menurut hisab
tingginya kurang dari 2°, kesaksian itu ditolak. (lihat Kamus Ilmu Falak, oleh Muhyidin Khazin,
h. 35).

47
BAB IV

KESESUAIAN SISTEM HISAB WUJUD AL-HILAL DAN RU‟YAT AL-HILAL


DENGAN KRITERIA ASTRONOMI

A. Sistem Imkan ar-Ru‟yat

Berdasarkan perjalanan sejarah hisab ru‟yat, ternyata sistem Imkan ar-

Ru‟yat sudah lama diperbincangkan oleh ulama‟ fiqih, diantara yang

mempeloporinya adalah imam Al-Qalyubi, Ibn Qasim al-Ubbadi, al-Syarwani

dan Imam al-Subkhi. Hanya saja kriteria Imkan ar-Ru‟yat-nya belum ada

kesepakatan atau belum ada kriteria yang dapat di terima oleh semua pihak.

Muhammad Mansur al-Batawi85 menguak deskripsi Imkan ar-Ru‟yat

menurut berbagai ulama‟ sebagai berikut:

“…..tentang batas hilal dapat diru‟yat, para ulama‟ berbeda pendapat


yang di dasarkan pada tingginya, lamanya di atas ufuk, dan juga cuaca pada
saat ru‟yat. Ada pendapat yang menyatakan bahwa tingginya minimal 2/3
manzilah86, 1 manzilah 13 derajat, 8 derajat 40 menit atau 9 kurang 1/3
derajat, ada juga pendapat tingginya harus 7 derajat, sebagian lagi menyatakan
tingginya minimal 6 derajat”

Manurut Muhammad Mansur al-Batawi bulan bergerak pada porosnya

dari barat ke timur sejauh 13 derajat setiap hari, sedangkan matahari juga

bergerak pada ekliptika dari barat ke timur sejauh 1 derajat setiap hari,

85
Pengarang kitab Sullam an-Nayirain ( meski pada dasarnya tidak berprinsip pada Imkan ar-
ru‟yat, akan tetapi dalam kitab tersebut di tetapkan pula tentang kriteria hilal dapat diru‟yat ).
Lihat Fiqih Hisab Ru‟yat karangan Ahmad Izzuddin halaman 154.
86
Manzilah artinya “posisi” adalah posisi suatu benda langit searah dengan posisi suatu rasi
bintang. Sementara manzilah bulan dalam tempuhan sinodisnya berposisi pada 28 manzilah,
yaitu: (1) Syarathan, (2) Butain, (3) Tsuraya, (4) Aldebaran, (5) Haq‟ah, (6) Han‟ah, (7) Dzira‟,
(8) Natsrah, (9) Tharf, (10) Jabhan, (11) Zabrah, (12) Sharfah, (13) Awa‟, (14) Samak, (15)
Ghafr, (16) Zubana, (17) Iklil, (18) Qalb, (19) Syulah, (20) Na‟aim, (21) Baladah, (22) Sa‟du
Dzabih (23) Sa‟du Bali‟, (24) Sa‟du Su‟ud, (25) Sa‟du Akhbiyah, (26) Faragh Muqadam, (27)
Faragh Mu‟akhkhar, (28) Rasya.( lihat Kamus Ilmu Falak karya Muhyiddin Khazin hal. 52-53 ).

48
sehingga bulan mendahului matahari bergerak ke arah timur sejauh 12 derajat

perhari. Kriteria ini dipahami bahwa hilal dapat dilihat bila tingginya telah

mencapai 8 derajat atau minimal 6 derajat. Begitu pula dapat dipahami bahwa

hilal dapat dilihat bila umur bulan telah mencapai 17 jam 20 menit atau

minimal 12 jam.

Begitu pula dalam kitab Fath al-Ra‟uf al-Mannan yang di tulis oleh

Abdul Jalil bin Abdul Hamid juga mendiskripsikan imkan ar-ru‟yat sebagai

berikut:

“…… para ulama‟ berbeda pendapat tentang batas ru‟yat. Sebagian

menetapkannya apabila cahayanya sebesar 1/5 jari (12 menit jari) sedang

tinggi di atas ufuknya 3 derajat. Sebagian lagi menetapkan apabila cahayanya

sebesar 2/387 jari dan tingginya 6 derajat”.

Dalam kitab tersebut juga diterangkan bahwa jika kriterianya kurang

sedikit saja, hilal sulit untuk diru‟yat. Apabila keduanya berkurang, hilal tidak

dapat diru‟yat, akan tetapi apabila salah satunya yang kurang, hilal mungkin

dapat dilihat.

Kriteria Imkan ar-Ru‟yat (kriteria yang ditetapkan berdasakan

musyawarah). Yaitu ketinggian hilal minimal 2,3 derajat dan umur bulan sejak

ijtima‟ minimal 8 jam. Bila ada kesaksian ru‟yat yang menurut hisab

87
Menurut Assadurrohman, kriteria 2/3 dalam kitab tersebut merupakan kesalahan cetak, dimana
seharusnya adalah 2/5. dengan alur pemikiran bahwa apabila 1/5 hari = 12 menit jari dengan
tinggi 3 derajat, maka untuk tinggi 6 derajat, besar cahaya hilal-nya adalah 2/5 jari. (lihat Fiqih
Hisab Ru‟yat oleh Ahmad Izzuddin hal. 156).

49
tingginya kurang dari 2 derajat, kesaksian itu ditolak. Kriteria ini juga

digunakan oleh Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura.88

Penanggalan hijriyah standar empat Negara ASEAN yang ditetapkan

berdasarkan musyawarah Mentri-mentri Agama Brunei Darussalam,

Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) merumuskan kriteria imkan

ar-ru‟yat ini dipakai secara resmi untuk penentuan awal bulan qamariyah pada

kalender resmi pemerintah, yang menyatakan: “Hilal dianggap terlihat dan

keesokannya ditetapkan sebagai awal bulan hijriyah”. Berikutnya awal bulan

hijriyah berlaku apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Ketika matahari terbenam, ketinggian bulan diatas ufuk tidak kurang dari 2°, dan

jarak bulan-matahari (sudut elongasi) tidak kurang dari 3°, atau

2. Ketika matahari terbenam, umur bulan tidak kurang dari 8 jam setelah konjungsi

atau ijtima‟.

Itu adalah hasil kompromi antara kriteria ilmiah Astronomi dan data

pengamatan di Indonesia. Komite Penyatuan Kalender Hijriyah dalam sidang

pertamanya di Istambul 1978 memutuskan dua kriteria yaitu: jarak matahari

dengan bulan adalah 8 derajat, dan tinggi bulan minimal 5 derajat. Sedangkan

data-data pengamatan di Indonesia (atas dasar kepercayaan pada pengamat

yang disumpah) menunjukkan banyaknya kesaksian hilal dangan tinggi sekitar

2 derajat. Berkelit dari perbedaan angka itu, Departemen Agama

88
Kriteria tersebut berdasarkan kesepakatan Mentri-mentri Agama Brunei Darussalam, Indonesia,
Malaysia, dan Singapura. lihat Http://www.google.co.id/search-nahdlotul-ulama‟dan
ru‟yatulhilal

50
berargumentasi bahwa hilal 2 derajat di Indonesia berarti sekitar 5 derajat

ketika diamati dari Timur Tengah.

Karena melihat pentingnya kriteria imkan ar-ru‟yat tersebut,

pemerintah dalam hal ini Departemen Agama merasa perlu memberikan solusi

alternatif dengan menawarkan kriteria yang dapat diterima semua pihak. Hal

ini didorong oleh keputusan Musyawarah Kerja Hisab Ru‟yat tahun

1997/1998 di Ciawi Bogor yang meminta diadakan musyawarah untuk

mencari kesepakatan bersama tentang imkan ar-ru‟yat . oleh karena itu pada

bulan Maret 1998 dilakukan pertemuan dan musyawarah ahli hisab dari

berbagai ormas islam, yang juga diikuti oleh ahli astronomi dan instansi

terkait. Pertemuan tersebut diantaranya menghasilkan keputusan sebagai

berikut:

1. Penentuan awal bulan qamariyah didasarkan pada imkan ar-ru‟yat,

sekalipun tidak ada laporan ru‟yat al-hilal.

2. Imkan ar-ru‟yat yang dimaksud didasarkan pada tinggi hilal 2° dan

umur bulan 8 jam dari saat ijtima‟ saat matahari terbenam.

3. Ketinggian yang dimaksud berdasarkan hasil perhitungan sistem hisab

haqiqi tahqiqi.

4. Laporan ru‟yat al-hilal yang kurang dari 2° dapat ditolak.

Kriteria imkan ar-ru‟yat ini diharapkan mampu menjadi sarana

pemersatu terhadap perbedaan kriteria yang ada tampaknya belum memenuhi

harapan, sebab beberapa ormas islam yang lain menolaknya dengan alasan

sesuatu yang prinsip dimana ketinggian hilal 2° tersebut secara astronomis

51
masih diragukan, disamping intuk penghitungan kalender sangat sulit untuk

diterapkan, walaupun penggunaan imkan ar-ru‟yat ini adalah tergolong aliran

hisab namun pada hakikatnya masih tetap mempertahankan adanya ru‟yat.

B. Kesesuaian Sistem Wujud al-hilal dan Ru‟yat al-Hilal dengan Kriteria

Astronomi

Dalam Ilmu Astronomi, bulan berevolusi mengelilingi bumi, ada

kalanya bulan akan berada pada arah yang sama dengan matahari (konjungsi /

ijtima‟), pada saat inilah disebut dengan fase bulan baru (new moon).

Sebaliknya, yaitu saat bulan berada pada arah yang berlawanan dengan

matahari disebut dengan fase bulan purnama (full moon). Pada fase bulan

baru, seluruh bagian bulan yang gelap akan menghadap ke bumi. Sedangkan

pada fase bulan purnama, seluruh permukaan bulan yang terang akan

menghadap ke bumi89.

Durasi yang dibutuhkan oleh bulan berada dalam satu fase bulan baru

ke fase bulan baru berikutnya adalah 29,530588 hari atau 29 hari 12 jam 44

menit 2,8 detik. Lama waktu antara dua konjungsi (ijtima‟) ini dikenal dengan

nama periode sinodis, periode sinodis inilah yang yang menjadi kerangka

dasar kalender hijriyah. Oleh karena itu umur bulan dalam kalender hijriyah

berfariasi antara 29 dan 30 hari.

Sebagaimana yang telah dipaparkan dalam bab sebelumnya, bahwa

penentapan awal bulan qamariyah di Indonesia sering kali terjadi ketidak

sepakatan putusan karena adanya perbedaan sistem penetapan. Dalam hal ini

89
DR. Susiknan Azhari. Ilmu Falak (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007 ) h.

52
terjadi antara sistem Hisab Wujud al-hilal oleh Muhammadiyah dan sistem

Ru‟yat al-hilal oleh NU.

Meski keduanya memiliki landasan hukum yang sama90, tetapi mereka

memiliki pengertian yang berbeda dalam mengartikan hadits tersebut.

Muhammadiyah mengartikan kata “ru‟yat” dalam makna tersirat, yaitu

melihat dengan perhitungan (hisab), sedangkan NU mengartikan kata “ru‟yat”

dalam makna tersurat, yaitu melihat hilal secara langsung (ru‟yat).

Ijtihad NU tersebut didukung oleh pendapat Ibnu Taimiyah yang

memandang bahwa hilal diambil dari makna “Tampak” dan “Mengangkat

suara”. Berdasarkan hal ini, jika terbitnya hilal di langit tidak tampak dari

permukaan bumi, maka tidak ada hukumnya sama sekali. Demikian juga

apabila ada seseorang atau dua orang melihat hilal tetapi tidak

memberitahukannya (kepada umum), maka hal ini juga tidak ada hukumnya

sampai peristiwa kesaksian hilal itu disampaikan atau diumumkan91. Karena

pemberitahuan inilah yang dinamakan hilal yang berarti mengangkat suara

dengan cara memberitahukannya.

Selain itu bahwa Muhammadiyah dalam mema‟nai kata “melihat hilal”

dalam hadits riwayat Imam Muslim dinilai bersifat ta‟aqquli-ma‟qul al-ma‟na

yang artinya dapat dirasionalkan, diperluas dan dikembangkan. Sehingga

90
‫ صوموا لرؤيتو وافطروا لرؤيتو فأن غم عليكم فاقدروا لو‬: ‫ قال رسول هللا عليو و سلم‬: ‫عن ابي ىريرة رضي هللا عنو يقول‬
)‫ثالثين (رواه مسلم‬

Artinya: Dari Abu Hurairah Ra. Berkata, bahwa Rosulullah SAW bersabda: “Berpuasalah
karena melihat hilal, dan berbukalah karena melihat hilal, maka jika ia tertutup awan
atasmu, maka perkirakanlah ia 30 hari” 90(H. R. Muslim).
91
Abu Yusuf Al-Atsary, Pilih Hisab Atau Ru‟yah”, (Solo: Darul Muslim), h. 45 dengan kalimat
yang telah sedikit di tambahi.

53
dapat diartikan mengetahui sekalipun bersifat dzanni (dugaan kuat tentang

wujudnya hilal). Sedangkan NU dalam mema‟nai kata “melihat hilal” tersebut

bersifat ta‟abudi-ghairu ma‟qul al-ma‟na yang artinya ru‟yat dalam penetapan

awal bulan qamariyah termasuk dalam ibadah dan tidak dapat dirasionalkan

pengertiannya, sehingga tidak dapat diperluas dan tidak dapat dikembangkan.

Dengan demikian, ru‟yat hanya dapat diartikan sebatas melihat dengan mata

kepala92.

Dengan pemaknaan yang berbeda itulah maka muncul sistem

penetapan awal bulan yang berbeda antara Muhammadiyah dan NU.

Disamping itu penetapan awal bulan qamariyah tidak bisa lepas dari

astronomi, karena matahari, bulan, dan bumi adalah pemeran utama dalam

Ilmu Astronomi, bentuk, sifat, dan peredarannya dipelajari di dalamnya.

Bila ditinjau dalam Ilmu Astronomi, bahwa awal bulan qamariyah

terjadi apabila matahari, bulan, dan bumi berada dalam satu garis lurus

(ijtima‟), sebagaimana telah dijelaskan diatas, maka akan sesuai dengan sistem

Hisab Wujud al-hilal menurut Muhammadiyah, karena dalam hal ini

Muhammadiyah tidak menetapkan kriteria tertentu untuk menetapkan awal

bulan qamariyah, yang pada intinya bulan baru qamariyah jatuh apabila telah

terjadi ijtima‟.

Berbeda dengan NU yang menggunakan Ru‟yat al-hilal sebagai sistem

penetapan awal bulan qamariyah, yang pada intinya awal bulan qamariyah

terjadi apabila hilal sudah tampak dan dapat diru‟yat secara langsung.

92
Ahmad Izzudin, M. Ag, Fiqih Hisab Rukyah. h. 4.

54
Sehingga kurang sesuai dengan kriteria astronomi, seperti yang telah

dijelaskan di atas karena ru‟yat menurut NU bersifat ta‟abudi-ghairu ma‟qul

al-ma‟na yang berarti ru‟yat dalam penetapan awal bulan qamariyah termasuk

dalam ibadah dan tidak dapat dirasionalkan pengertiannya, sehingga tidak

dapat diperluas dan tidak dapat dikembangkan. Dengan demikian, ru‟yat

hanya dapat diartikan sebatas melihat dengan mata kepala.

Tidak ada satupun metode hisab ru‟yat yang bersifat qoth‟i (mutlak

benarnya). Semua bersifat dzanni, dugaan atas dasar keyakinan kebenarannya.

Ru‟yat belum tentu benar, karena bisa jadi obyek yang disangka hilal itu

ternyata bukan hilal. Hisab atas dasar Wujud al-hilal atau Imkan ar-ru‟yat

juga belum tentu benar, masih ada yang perlu diperdebatkan. Kriteria

Astronomi pun tidak mutlak benarnya, sebagaimana tidak mutlaknya suatu

kebenaran ilmiah. Bisa jadi dengan bukti-bukti pengamatan yang lebih banyak

dan analisis teoritik yang lebih mendalam, kriteria itupun harus diubah.

C. Kemungkinan Memadukannya Dalam Satu Sistem Penetapan Awal Bulan

Qamariyah.

Dengan adanya sistem yang berbeda dalam penetapan awal bulan

qamariyah, maka banyak pula wacana dan ide-ide dalam rangka untuk

menyatukan dua sistem yang berbeda tersebut kedalam satu sistem penetapan

yang pada intinya menggabungkan dua sistem tersebut untuk menghindari

perbedaan penetapan awal bulan, terutama dalam penentuan awal Ramadhan,

Syawal, dan Dzulhijjah. Akan tetapi ide tersebut kelihatannya cukup sulit

untuk terwujud.

55
Karena adanya madzhab yang berbeda dalam penetapan awal bulan

Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah di Indonesia, maka banyak juga pihak

yang tergugah untuk mengupayakan penyatuan. Terbukti dari berbagai

pengalaman, perbedaan seringkali membingungkan masyarakat awam. Akan

tetapi sampai sekarang belum ada pendapat yang dapat diterima oleh semua

pihak, namun demikian pemerintah dengan metode Imkan ar-ru‟yat-nya

dengan format kekuasaan itsbat93 pada pemerintah sebenarnya merupakan

upaya yang lebih mempunyai peluang untuk dapat diterima oleh semua pihak.

Upaya pemerintah ini pada dasarnya bertujuan pada upaya tercapainya

keseragaman, kemaslahatan, dan persatuan umat islam di Indonesia. Hal ini

sebagaimana dasarnya yaitu: hukmu al-hakim ilzamun wa yarfa‟u al-khilaf (

keputusan hakim / pemerintah itu mengikat dan menyelesaikan perbedaan

pendapat ).

Akan tetapi meski pemerintah Indonesia telah memberikan solusi

dalam rangka upaya penyatuan masyarakat Islam Indonesia dengan sistem

Imkan ar-ru‟yat, perbedaan penetapan awal bulan (terutama awal bulan

Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah) masih seringkali terjadi, terutama bila

posisi bulan terlalu rendah.

Selain dari upaya pemerintah yang telah disebutkan di atas, penulis

juga mencoba memberikan alternatif lain dalam rangka mengupayakan

persatuan dan kesatuan umat islam di Indonesia, yaitu dengan cara

memadukan atau menggabungkan dua sistem penetapan awal bulan (Hisab


93
Itsbat adalah penetapan dalil syar'i di hadapan hakim dalam suatu majelis untuk menetapkan
suatu kebenaran atau peristiwa yang terjadi. Lihat http://www.republika.co.id/berita/dunia-
islam/islam-digest/11/05/25/llr9ej-ensiklopedi-fikih-itsbat-penetapan.

56
Wujud al-hilal dan Ru‟yat al-hilal). Yaitu menggunakan hisab sekaligus

menggunakan ru‟yat, hisab dilakukan sebelum melakukan ru‟yat di lapangan,

sehingga dapat di perkirakan kapan terjadinya ijtima‟. Bila waktu ijtima‟ telah

di tetapkan kemudian dibuktikan dengan ru‟yat di lapangan, yaitu untuk

membuktikan bahwa ijtima‟ telah terjadi dan hilal sudah dapat diru‟yat.

Sehingga keputusan akhir tergantung pada keberhasilan ru‟yat, bila ru‟yat

berhasil maka pada saat itu adalah telah terjadi bulan baru, namun bila ru‟yat

belum berhasil maka menggunakan istikmal. Ini telah sesuai dengan hadits

yang diriwayatkan oleh imam Muslim sebagai berikut:

: ‫ قال رسول هللا عليو و سلم‬: ‫عن ابي ىريرة رضي هللا عنو يقول‬

‫صوموا لرؤيتو وافطروا لرؤيتو فأن غم عليكم فاقدروا لو ثالثين (رواه‬

)‫مسلم‬

Artinya: Dari Abu Hurairah Ra. Berkata, bahwa Rosulullah SAW


bersabda: “Berpuasalah karena melihat hilal, dan berbukalah
karena melihat hilal, maka jika ia tertutup awan atasmu, maka
perkirakanlah ia 30 hari” 94(H. R. Muslim).

Penulis mendahulukan hisab daripada ru‟yat dikarenakan hisab dapat

dilakukan kapan saja sedangkan ru‟yat hanya dapat dilakukan bila telah ada

perkiraan kapan terjadinya ijtima‟. Sedangkan penggunaan istikmal dilakukan

apabila hilal belum dapat diru‟yat dan sebagai wujud pengamalan dari hadits

di atas, karena apabila hanya menggunakan hisab saja maka tidak mungkin

mengamalkan istikmal, sebab dalam hisab telah masuk bulan baru bila hilal

94
Imam Muslim. “Shohih Muslim”, (Surabaya: Al-Ma‟arif, 2007), juz 1, h. 327.

57
sudah wujud di atas ufuk meski belum bisa diru‟yat, jadi meskipun mendung,

hilal tertutup awan, cuaca buruk, atau penghalang hilal lainnya tidak

berpengaruh pada pelaksanaan hisab.

Demikian juga bila hanya menggunakan ru‟yat saja itu pun tak

mungkin, sebab tidak mungkin bisa memperkirakan terjadinya ijtima‟ bila

tidak menggunakan hisab.

Namun demikian keberhasilan upaya persatuan umat islam di

Indonesia sangat tergantung pada masing-masing pemegang sistem penetapan

awal bulan qamariyah, yaitu tergantung pada masyarakat Muhammadiyah dan

NU itu sendiri. Oleh karena itu dibutuhkan adanya sifat menerima pendapat di

antara keduanya.

58
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah melewati serangkaian proses yang telah dilakukan dalam

penelitian ini, maka dapat disampaikan beberapa poin diantaranya sebagai

berikut:

1. Kajian mengenai penetapan awal bulan dalam kalender qamariyah

terdapat dua sistem penetapan, yaitu dengan sistem penetapan Hisab

Wujud al-hilal yang di kembangkan oleh Muhammadiyah dan sistem

Ru‟yat al-hilal yang di kembangkan oleh Nahdlatul Ulama‟ (NU).

Sistem Hisab Wujud al-hilal yaitu sistem penetapan yang berdasarkan

pada hisab atau perhitungan berdasarkan peredaran bulan mengelilingi

bumi. Bulan baru dalam sistem ini ditetapkan ketika bumi, bulan, dan

matahari berada dalam satu garis lurus atau konjungsi (ijtima‟).

Terjadinya konjungsi tersebut di tentukan dengan melakukan

perhitungan, jadi meskipun pada saat itu bulan tidak dapat terlihat

tetapi hilal sudah wujud menurut perhitungan maka keesokan harinya

telah masuk bulan baru. Berbeda dengan NU yang mengembangkan

sistem Ru‟yat al-hilal, penetapan awal bulan dalam kalender

qamariyah ditetapkan dengan melakukan pengamatan langsung

terhadap bulan pada malam tanggal 29, apabila pada malam itu bulan

sudah dapat di lihat atau sudah tampak maka pada keesokan harinya

59
sudah masuk bulan baru, namun apabila pada malam itu bulan belum

tampak maka ditetapkan sistem istikmal, yaitu menyempurnakan

bilangan hari sampai 30, baru pada hari berikutnya telah masuk bulan

baru. suatu sistem yang khusus digunakan untuk menetapkan awal

bulan qamariyah.

2. Perbedaan pendapat tentang penetapan awal bulan tersebut disebabkan

perbedaan dalam menafsirkan hadits yang sama, yaitu hadits yang

diriwayatkan oleh imam Muslim, Hisab Wujud al-hilal menfsirkan

hadits tersebut dengan makna tersirat dan Ru‟yat al-hilal memaknai

hadits tersebut dengan makna tersurat. Selain itu dasar dari Hisab

Wujud al-hilal bersifat ta‟aqquli-ma‟qul al-ma‟na yang artinya dapat

dirasionalkan, diperluas dan dikembangkan. Sehingga dapat diartikan

mengetahui sekalipun bersifat dzanni (dugaan kuat tentang wujudnya

hilal). Sedangkan Ru‟yat al-hilal bersifat ta‟abudi-ghairu ma‟qul al-

ma‟na yang artinya menggunakan ru‟yat dalam menetapkan awal

bulan qamariyah termasuk dalam ibadah dan tidak dapat dirasionalkan

pengertiannya, sehingga tidak dapat diperluas dan tidak dapat

dikembangkan. Dengan demikian, ru‟yat hanya dapat diartikan sebatas

melihat dengan mata kepala.

3. Bila ditinjau dalam Ilmu Astronomi, bahwa awal bulan qamariyah

terjadi apabila matahari, bulan, dan bumi berada dalam satu garis lurus

(ijtima‟), ini akan sesuai dengan sistem Hisab Wujud al-hilal menurut

60
Muhammadiyah, karena dalam hal ini Muhammadiyah tidak

menetapkan kriteria tertentu untuk menetapkan awal bulan qamariyah,

yang pada intinya bulan baru qamariyah jatuh apabila telah terjadi

ijtima‟. Berbeda dengan NU yang menggunakan Ru‟yat al-hilal

sebagai sistem penetapan awal bulan qamariyah, yang pada intinya

awal bulan qamariyah terjadi apabila hilal sudah tampak dan dapat

diru‟yat secara langsung. Sehingga kurang sesuai dengan kriteria

astronomi, seperti yang telah dijelaskan di atas karena ru‟yat menurut

NU bersifat ta‟abudi-ghairu ma‟qul al-ma‟na yang berarti ru‟yat

dalam penetapan awal bulan qamariyah termasuk dalam ibadah dan

tidak dapat dirasionalkan pengertiannya, sehingga tidak dapat

diperluas dan tidak dapat dikembangkan. Dengan demikian, ru‟yat

hanya dapat diartikan sebatas melihat dengan mata kepala.

4. penulis juga mencoba memberikan alternatif lain dalam rangka

mengupayakan persatuan dan kesatuan umat islam di Indonesia, yaitu

dengan cara memadukan atau menggabungkan dua sistem penetapan

awal bulan (Hisab Wujud al-hilal dan Ru‟yat al-hilal). Yaitu

menggunakan hisab sekaligus menggunakan ru‟yat, hisab dilakukan

sebelum atau jauh hari sebelum melakukan ru‟yat di lapangan,

sehingga dapat di perkirakan kapan terjadinya ijtima‟. Bila waktu

ijtima‟ telah di tetapkan kemudian dibuktikan dengan ru‟yat di

lapangan, yaitu untuk membuktikan bahwa ijtima‟ telah terjadi dan

hilal sudah dapat diru‟yat. Sehingga keputusan akhir tergantung pada

61
keberhasilan ru‟yat, bila ru‟yat berhasil maka pada saat itu adalah

bulan baru, namun bila ru‟yat belum berhasil maka menggunakan

istikmal.

B. Saran

1. Dalam hal penetapan awal bulan qamariyah, di Indonesia terdapat dua

organisasi besar yang masing-masing mempunyai sistem penetapan

yang berbeda-beda. Yaitu Hisab Wujud al-hilal dari organisasi

Muhammadiyah dan Ru‟yat al-hilal dari organisasi NU. Namun meski

demikian di harapkan bagi umat islam di Indonesia untuk tidak

membeda-bedakan antar keduanya, sifat saling menghormati dan

menghargai harus tetap tertanam di hati umat islam di Indonesia, agar

persatuan dan kesatuan bangsa tetap terjaga dengan baik.

2. Demi terciptanya persatuan dan kesatuan umat islam Indonesia,

khususnya umat Islam yang masih awam terhadap persoalan penentuan

awal puasa, „idul fitri maupun „idul adha, diharapkan kepada para

pimpinan organisasi baik Muhammadiyah maupun NU untuk bisa

saling menerima sistem penetapan awal bulan qamariyah, satu sama

lain, karena ironis sekali bila antar umat islam Indonesia harus saling

berseteru hanya karena perbedaan prinsip dalam menentukan awal

bulan qamariyah.

62

Anda mungkin juga menyukai