Anda di halaman 1dari 8

Nama : Yohanes Y.

B Kaikatui
Npp : 31.1098
Kelas : H1

RESUME KEBIJAKAN PUBLIK

● Paradoks Kebijakan Publik

Realitas seharian manusia selalu diisi oleh sejumlah isu atau permasalahanyang
membutuhkan perhatian dan penyelesaian segera. Sebagai institusi yang diberi mandat formal
untuk menyelesaikan berbagai persoalan publik, pemerintah diberi otoritas untuk membuat
dan melaksanakan kebijakan publik. Melalui berbagai kebijakan publik inilah diharapkan
semua kebutuhan, kepentingan, keinginan, dan nilai masyarakat dapat diwadahi dan
diwujudkan.

Ekspektasi yang begitu tinggi terhadap pemerintah untuk menjawab berbagai persoalan
masyarakat melalui produk kebijakan publik sangatlah beralasan. Sandaran filosofis yang
paling dasar adalah kontrak sosial alamiah yang disebutkan sebelumnya. Merujuk pada
kontrak tersebut, menyelesaikan berbagai persoalan publik bukanlah pilihan bagi pemerintah
namun sebuah keharusan. Secara normatif pula pemerintah tidak bisa memilih hanya
menyelesaikan persoalan tertentu dan mengabaikan yang lainnya. Belakangan, pemerintah
"dibenarkan" untuk memilih persoalan mana yang harus diselesaikan dan mana yang bisa
ditunda, atau bahkan diabaikan, dengan dalih keterbatasan kapasitas atau sumberdaya yang
dimilikinya. Pilihan lainnya adalah bekerjasama dengan pihak lain atau bahkan mentransfer
upaya penyelesaian atas persoalan tersebut ke pihak lain. Disinilah pentingnya membuat
kejelasan batasan antara barang publik dan barang privat walaupun batasan antara keduanya
seringkali tidak melebihi sebuah garis imajiner.

Selain landasan normatif tersebut,ekspektasi masyarakat terhadap pemerintah juga


menunjukkan trend yang terus meningkat walaupun ekspektasi tersebut seringkalidisertai
dengan frustrasi ataukekecewaan. Tingginya ekspektasi masyarakat tersebut terutama
berkaitan dengan dengan semakin kompleksnya masalah-masalah publik yang dihadapi
secara kolektif olehwarga negara di tengahmeningkatnya standar normatifyang ditentukan
masyarakat untuk menilai dan menuntutpemerintahnya. Transportasi namunpubliktidak pada
masyarakat tradisional belum menjadi sebuah halnya kebutuhan dengan fasilitas publik
demikian bagi masyarakat modern. Demikian perkotaan seperti taman rekreasi, perpustakaan,
tempat hiburan, dan lain sebagainya telah menjadi kebutuhanyang melekat bagi masyarakat
modern sejalan dengan tingkat perkembangan masyarakat yang sedang terjadi. Beberapa
persoalan dan kebutuhan tersebut, karena sifat lintas individu dan kompleksitasnya,sangat
membutuhkan kehadiran dan peran aktif pemerintah. Di sini, pemerintah menjelma menjadi
aktor supra individual untuk mengatasi semua permasalahanyang bersifat lintasindividual
tadi.
Namun, di tengah tuntutan untuk memberikan peran lebih kepada pemerintah, muncul juga
gugatan untuk membatasi peran pemerintah. Kaum neo-liberal bahkan mengimpikan sebuah
tatanan di mana negara hanya menjalankan peran residual dalam penyelenggaraan urusan
publik dengan hanya menangani urusan-urusan yang tidak dapat diselenggarakan oleh pasar
atau masyarakat secara langsung. Sayangnya, untuk menjalankan peran yang paling minimal
sekalipun - atau peran residual - negara harus tetap diperkuat. Dengan demikian, peran dan
posisi pemerintah serta kebijakan publik sebagai instrumennya tetap menempati posisi sentral
dalam masyarakat modern di tengahberbagaiagendaneo-liberal untuk memangkasnya.

Paradoks lain yang muncul adalah, dengan sentralitas yang dimilikinya. alih-alih
menyelesaikan berbagai masalah publik, negara malah menjadi bagian
darimasalahitusendiri.Dalamkonteks ini, ketika kebijakan publik diharapkan bisa memoderasi
proses pertarungan kepentingan dan nilaiantar kelompok masyarakat demi mencegah
terjadinya konflikta justru menjelma menjadi sumber konfliktu sendiri. Terdapat banyak
contoh kontemporer yang memperlihatkan bahwa harmoni dan stabilitas dalam masyarakat
justru terganggu ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan tertentu. Hal ini merentang mulai
dari konstitusi itu sendiri hingga produk-produk turunannya. Ambil saja contoh
sepertiUndang-Undang Pornografi (dan pornoaksi dalam draf awainya), berbagai Perda
berbasis agama, ijin usaha pertambangan dan perkebunan, dan sederetan panjang produk
kebijakan pemerintah lainnya. Observasi Steven Ney(2009;1) cukup akurat ketika penulis ini
menyimpulkan bahwa semakin pemerintah berusaha untuk menyelesaikan masalah tertentu,
semakin jauh la bergerak dari resolusi. Dalam konteks ini, pilihan "ingction" pemerintah
seringkali tidak lebih buruk daripada "action".

Dengan menyajikan paradoks semacam ini, tulisan ini sama sekali tidak berpotensi untuk
menghilangkan kebijakan publiksecaratotal.Sebaliknya, paradoks tersebut menyediakan basis
pembelajaran yang sangat baikuntuk memperbaiki kebijakan publik di masa-masa yang akan
datang agar ia mampu menjalankan fungsi klasiknya secara lebih optimal, yakni menjadi
instrumen otoritatif yang mampu mengalokasi sumberdaya dan nilai secara baik sehingga
sekaligus berfungs sebagai media pengelola konfliktpaya pembenahan tersebut pertama dan
terutama harus dimulai dengan memahami akar konflik dalam kebijakan publik. Apalagi,
semakin pemerintah (bersama aktor lain tentu saja) berusaha untuk menghindari konfliktalam
dan karena kebijakan publik, semakin tinggi pula tuntutan bagi pemerintah (dan aktor
lainnya) untuk menerima kenyataan bahwa konfliktalah sebuah normalitas yang tidak
mungiin bisa dihindari; ia hanya perlu disikapi atau dikelola. Dengan begitu pula, tulisan ini
hendak menegaskan bahwa konfliktalam dan karena kebijakan publik adalah hal yang normal
dan hanya kebijakan publik yang konfliktual pulalah yang dapat dianggap sebagai kebijakan
yang normal. Dengan kata lain, kebijakan publik yang normal adalah kebijakan publik yang
mampu meniadakan sekaligus mengadakan konfliktam banyak (jika bukan semua) situasi, ia
menjadi instrumenatau mekanisme institusionalisasi konfliktang sesungguhnya. Tesis ini
akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian berikutnya.

● Diagnosis Sumber Konflik


Bahwa kebijakan publik secara normatif harus konfliktual dapat dijelaskcan dari minimal
hal, yakni konten dan proses kebijakan itu sendiri. Mari kita lihat satu persatu dan definisi
operasional kebijakan publik akan menjadi basis penting untuk memulainya.

Mengikuti definisi yang dikembangkan oleh David Easton (1965) sebagaimana dikutip
sebelumnya, kebijakan publik merupakan instrumen politik untuk mengalokasi nilal. Konsep
kuncinya adalah "nilal", terutama "nilai publik" yang melekat dengan kebijakan publik. Ini
merupakan konsep yang sangat kontroversial semata-mata karena para ahli mengalami
kesulitan untuk mengoperasionalkan serta menginstrumentasikannya dalam tataran yang
lebih riil. Atas dasar itu pula, banyak ahli yang menghindari perdebatan terkait nilai sebagai
referensi dalam proses pembuatan kebijakan, apalagi konfliktar nilai dalam kebijakan
publik(de Graaf dan van der Wal. 2010; vander Wal dkk 2011). Kecenderungan sebaliknya
yang memberikan posisi istimewa pada fakta antara lain dapat dilihat dari kuatnya tuntutan
penerapan evidencebased policy di Inggris dan Amerika pada tahun 1980-an dan terus
merebak ke berbagai penjuru dunia belakangan ini (Sutcliffe dan Court, 2005). Sayangnya.
pendekatan semacam ini cenderung lari dari kerumitan yang sejatinya harus dijawab, yakni
perdebatan terkait nilai kebijakan publik, sehingga sama sekali tidak memberikan kontribusi
dalam mengurai persoalan konfliktebijakan publik. Tegasnya, perdebatan ontologischderung
dihindari dan lebih dijawab dengan instrumenmetodologis.

Kalaupun kita kembali ke persoalan dasar. yakni nilai, pertanyaan yang harus dijawab
adalah nilai apa dan nilai siapa yang harus diwadahi dan dialokasikan dalam danmelalui
melalui kebijakan publik? Atau publik yang mana yang diwadahi nilainya dalam kebijakan
publik? Jawaban atas pertanyaan tersebut dapat ditemukan dari ilustrasi tentang good
governonce sebagaimana dipaparkan oleh Graf, Huberts dan Smulders (2014).

Dalam pandangan ketiga ahli tersebut, good governance pada intinya berusaha menjawab
tantangan dalam mengelola ketegangan yang muncul akibat berbagai nilai publik yang saling
bertentangan. Mereka membedakan nilai-nilai good governance dalam 3 kategori besar, yakni
performing governance (efisiensi dan efektivitas), proper governance (integritas, keadilan,
kesetaraan dan kepatuhan pada hukum), dan responsive governance (partisipasi, tranparansi.
legitimasi dan akuntabilitas). Hasil riset mereka membuktikan terjadinya benturan antara
nilai-ndai tersebut dalam keseharian pemerintah. Misalnya. antara efisiensi dengan
pemerataan, antara transparansi dengan kepatuhan pada hukum, antara efektivitas dengan
partisipasi, antara akuntabilitas dan efisiensi, dan seterusnya. Para pembuat kebijakan tidak
harus memilih nilai mana yang diutamakan pada isu dan konteks tertentu tetapi mereka juga
harus mengelola ketegangan yang muncul di antara nilai-nilai tersebut.

Riset semacam ini memberikan pelajaran berharga betapa sulitnya mengelola keragaman
nilai dalam sebuah kebijakan. Seringkali para pengambil kebijakan harus membuat trade-off
yang bersifat negative-sum: jika nilai A yang dirujuk maka nilai B dan yang lainnya harus
dikorbankan. Hal ini diamini oleh Le Grand (2007) yakni bahwa trade-off antar nilai atau
prinsip menjadi bagian takterhindarkandari proses kebijakan publik (lihat juga Premfors
1982). Dalam beberapa situasi, stakeholders kebijakan seringkali membuat hirarki prioritas
nilai dan itu berlaku tidak hanya bagi penerima manfaat atau mercka yang secara umum
terkena dampak sebuah kebijakan, tetapi juga pembuat kebijakan itu sendiri. Hirarki tersebut
bergerak dari satu waktu dan konteks ke waktu dan konteks yang lain (Witesman dan Walters
2014).

Selain dinamika nilai, meningkatnya kompleksitas dalam proses kebijakan juga dipicu oleh
karakter sebuah nilai. Sebagian nilai yang dimiliki oleh para aktor bersifat
material-instrumental sementara sebagian lagi bersifat fundamental-ideologisch yang terjadi
karena kategori nilai yang pertama umumnya lebih mudah dicarikan solusinya. Seorang aktor
bisa mengabaikan nilai material-instrumentalnya jika terdapat mekanisme kompensasi untuk
menutup kehilangan atau kerugiannya. Misalnya, pembebasan lahan warga untuk
pembangunan fasilitas publik dapat dilakukan jika ada kesepakatan terkait ganti rugi (atau
ganti untung) dengan pemilik lahan. Basis kalkulasi untuk mencapai kesepakatan tersebut
murni material. Kasusnya akan sangat berbeda kalau para pemilik lahan memiliki taruhan
yang bersifat fundamentalideologistas lahan tersebut. Misalnya karena lahan tersebut adalah
satusatunya warisan yangditinggalkan orang tuanya dan di lahan tersebut terdapat berbagai
kenangan yang sangat melekat termasuk, misalnya, kuburan keluarganya. Untuk tipe
kepentingan semacam ini, kesepakatan atau kompensasi akan sulit dicapai dan jika pengambil
kebijakan ngotot untuk meneruskan agendanya maka konflikti akan terjadi, Konflikteputar
alih fungsi lahan makam Mbah Priok di Jakarta beberapa tahun silam adalah contoh yang
paling jelas. Hal itu disebabkan karena ketika seorang aktor merasa bahwa nilai
fundamental-ideologistidak diwadahi, pasti akan muncul aneka perasaan seperti kehancuran
secara moral, terkhianati, terabaikan, tercabut dari akar sejarahnya, atau bahkan terancam
identitas dan eksistensinya. Sebagaimana ditekankan oleh Forester (2009:77):

" Our values seem intimately connectedto who we think we are, or to aspects of the world we
cherish-whether theyinvolve the sacredness of our land or our water or the sanctity of life or
privateproperty ... values seem to run deeper thaninterests in the following sense: when we
give up one interest, getting our groceryshopping done quickly, for example, we often try to
make up for that by gainingon another interest, getting our purchases less expensively
perhaps. But when wegive up something we value, auniquehistoric building, let's say, we
often feel thatwe've given up part of ourselves - and that's often very difficult, very
threatening, hardly compensated by some gain somewhere else."

Pesan moral dari kutipan tersebut adalah bahwa tidak semua nilai dapat ditransaksikan
dengan mekanisme kompensasi misalnya. Terlalu sering para pengambil kebijakan gegabah
dalam memutuskan transaksi tanpa melihat lebih dalam taruhan sesungguhnya dari para
aktor. Jika ini terjadi, maka transaksi atau kompensasi tersebut hanyalah solusi sesaat yang
pada akhirnya akan memicu gelombang konfliktau perlawanan baru. Kecuali para pembuat
kebijakan sudah memiliki peta yang jelas dan tuntas tentang konfigurasi nilai yang sedang
diperjuangkan oleh para aktor, setiap kebijakan publik yang dihasilkan dan dijalankan
pemerintah pada akhirnya hanya akan menciptakan pusaran konfliktaru.
Jika Diuraikan secara lebih detail, konfliktidalam dankarenakebijakan publik yang dipicu
oleh benturan nilai dapat ditemukan pada semua fase kebijakan publik. Pertama, pada fase
agenda setting dan formulasi kebijakan. Pada fase ini, para pengambil kebijakan harus
berhadapan dengan isu atau persoalan publik yang sangat kompleks sehingga tidak mudah
diurai untuk selanjutnya dicarikan alternatif penyelesaiaanya. Dalam banyak situasi,
pemerintah harus berhadapan tipe persoalan dengan yang "wicked tidak bisa sudah problem"
didefinisikan diatasi (Rittel atau secara dan belum, Webber Jelas, dinamis,tidak 1973).ada
Initidak kesepakatan merupakan memiliki apakah masalah tersebut solusi yang tuntas, serta
berhubungan dengan banyak masalah lain. Dalam bahasa Steven Ney (2009:1), untuk
kategori masalah sepertiini, semakinkita berusaha menyelesaikannya, semakin jauh kita
bergerak dari resolusi.Hal itu disebabkan karena pemerintah harus berhadapan dengan sebuah
persoalan yang penyebabnya kompleks. Kompleksitas penyebab tersebut semakintinggi
karena biasanya ia disertai oleh kontroversi. Setiap aktor memiliki cara pandang yang
berbedaatas sebuah masalah. Sesuatu yang dikategorikan sebagai masalah oleh seseorang
seringkali lebih dilihat sebagai sekedar fenomena oleh orang lain. Atau pada kasus lain,
sesuatu yang dianggap masalah oleh seorang aktor hanya dianggap sebagai gejala oleh aktor
yang lain. Hal ini disebabkan karenatidak adasatu masalahpun yangada dengansendirinya.
Sesuatu hanya akan dianggap masalah setelah seseorang atau sekelompok aktor memberikan
"frame"atas dan frame tersebut dipengaruhi olehgagasan, nilaiatau keyakinan tertentu (Ney
2009:9). Frame inilah yang menjadi basis penilaian apakah sesuatu dikategorikan sebagai
masalah atau bukan dengan menyaring dan memberi makna pada data atau informasi yang
dimiliki oleh seseorang.

Kedua, kalaupun para aktor sudah menyepakati sesuatu sebagai masalah, belum tentu para
aktor tersebut bisa menyepakati penyebabnya. Sekelompok orang atau pengambil kebijakan
bisa saja menyepakati kemiskinan sebagai suatu masalah, tetapi belum tentu mereka memiliki
kesepahaman tentang penyebab kemiskinan. Penyebab yang diidentifikasi oleh aktor tertentu
boleh jadi hanya dilihat sebagai konteks atau arena oleh aktorlain.Misalnya, apakah
desentralisasi menyebabkan memburuknya pelayanan publik? Atau jangan-jangan,
desentralisasi hanya menjadi konteks atau arena di mana memburuknya pelayanan publik
kebetulansedang terjadi. Ketidaksepahaman tentang penyebab masalah menjadi pericu lain
terjadinya konflikterutamaketika kebijakan yangresponsif dan dinisifsangat dibutuhkan oleh
masyarakat. Lagl-lagi, frame yangdimiliki para pengambil kebijakan sangat menentukan di
sini.

● Studi Kasus: Pengurangan Subsidi BBM

Untuk lebih memahami konfliktilai dalam proses kebijakan publik di Indonesia, tulisan ini
menggunakanstudi kasuspengurangan subsidi BBM. Kasus ini sangat menarik karena,
pertama, menjadi area di mana banyak stakeholders kebijakan yang terlibat dengan orientasi
nilai dan kepentingan yang berbeda dan atau bertentangan. Perbedaan orientasi nilai tersebut
tidak hanya terjadi antara pemerintah dengan masyarakat tetapi juga antar aktor pemerintah
(lembaga maupun individu) dan antar masyarakat (lembaga maupun individu). Selain itu,
kasus pengurangan subsidi BBM juga sangat menarik karena rentang waktu yang sangat
panjang. Hampir setiap tahun sejak tahun 2001, seiring dengan pergerakan nilai tukar rupiah
terhadap dollar AS dan fluktuasi harga minya mentah internasional, pemerintah selalu
berinisiatif untuk mengurangi subsidi BBM dengan menaikkan harga BBM yang memicu
berbagai reaksi. Kasus ini juga sangat menarik karena menjadi arena di mana pertarungan
antara logika teknokratis dan logika politis bertemu untuk saling beradu dengan derajat
keberhasilan yang berbeda-beda. Cara mengurai benang kusut subsidi BBM adalah dengan
melihat argumen pemerintah (pihak eksekutif) yang selalu menjadi inisiator di balik semua
rencana pengurangan subsidi BBM atau kenaikan harga BBM. Alasan klasik yang terus
menerus dilontarkan oleh pemerintah adalah beratnya beban APBN untuk menutup alokasi
subsisi BBM yang memang harus diakui menyerap porsi terbesar, tidak saja untuk pos
subsidi tetapi juga untuk pos belanja pemerintah secara umum (Kemenkeu RI 2014).
Sebagaimana dapat dilihat pada grafik berikut, walaupun secara relatif (persentase), alokasi
subsidi secara umum relatif tidak mengalami pergerakan pada angka 20 persen, namun secara
absolut terjadi peningkatan subsidi BBM terutama selama 5 tahun terakhir. Selain membebani
APBN, subsidi energi selama ini juga dinilai menimbulkan inefisiensidalam kebijakan
pengelolaan APBN.
Besarnya Inefisiensi belanja yang begitu besar tersebut dimunculkan di perburuk setiap
kali realitas pemerintah sini adalah ketika bahwa memutuskan ,Argumenini ini untuk subsidi
menaikkan BBM senantiasa dalam harga tidak bentuk BBM. berhak harga Yang menikmati
justru dimaksudkan dinikmati subisidi. oleh kelompok masyarakat yang sebenarnya tersebut.
Data menunjukkan bahwa kelompok rumah tangga yang paling diuntungkan dari kebijakan
subsidi harga BBM justru adalah kelompok rumah tangga menengah (40 persen dari total
rumah tangga)dan atas (30 persen dari total rumah tangga). Untuk konsumsi bensin,
misalnya, dua kelompok rumah tangga ini masing-masing mengkonsumsi 30.92 persen dan
62,59 persendari total konsumsi. Sedangkan kelompok rumah tangga miskin atau 30 persen
rumah tangga dengan pendapatan terendah hanya mengkonsumsi total sebanyak
6,48persendari total konsumsi bensin nasional. Distribusi yang timpang ini juga berlaku
untuk pola konsumsi untuk sumber energi yang lain. Distribusi yang paling timpang bahkan
ditemukan pada sumber energi solar dimana 30 persen rumah tangga teratas justru
mengkonsumsi lebih dari 80 persen konsumsi solar nasional (Wikarya 2012; BPS 201 1).
Singkatnya. meneruskan pola pemberian subsidi energi sebagaimana terjadi selama ini sama
saja dengan melanggengkan ketidakadilan yang ada. Oleh karena itu, pilihan kebijakan yang
lebih adil adalah mengurangi atau mencabut pola subsidi harga dan menggantinya dengan
subsidi tertarget yang langsung diterima oleh individuatau rumah tangga yang memang layak
menerima subsidi.

● Agenda Pembenahan

Dengan diagnosis sebagaimana diuraikan pada bagian sebelummy yang diperkuat dengan
anekdotkebijakan pengurangan subsidi BBM, maka upaya untuk mengurai konfliktalam
kebijakan publik dapat dilakukan dengan memberi perhatian pada 2 aspek sekaligus, yakni
substansi kebijakan dan proses kebijakan. Dari sisi substansi kebijakan, akar penyebab
konflik tangumumterjo disebabkan karena variasi dan pertentangan nilai dan kepentingan
para aktor kebijakan. Para ahli konfliktenengarai bahwa konfliktas substansi kebijakan
tersebut terutama dipicu oleh pendekatan konvensional dalam studi dan praktek kebijakan
selama ini yang melulu mengandalkan pada data atau informasi. Pada saat pendekatan
evidence-based policy pertama kali muncul dan diterapkan di Inggris, para ahli sangat yakin
bahwa pendekatan tersebut akan efektif dalam mengelola perbedaan nilai dan kepentingan.
Hal itu disebabkan oleh kemampuan pendekatan ini untuk menghadirkan basis komunikasi,
negosiasi dan pertarungan antar aktor yang relatif jelas berupa data dan informasi.
Pendekatan kebijakan berbasis bukti juga dianggap mampu mengerem kecenderungan
politisasi dan ideologischebijakan yang seringkali bermuara pada lahirnya kebijakan yang
tidak "rasional". Bagi negara berkembang,pendekatan seperti ini sangat dibutuhkan karena
dianggap mampu membantu merumuskan kebijakan yang tepat serta menyelesaikan masalah
secara lebih efektif.

Dalam kerangka partisipasi, prasyarat minimal yang harus disiapkan pembuat kebijakan
ruang diskursif. Oleh karena itu, partisipasi tidak cukup hanya diwadahi pada aspek akses
yang hanya menyediakan saranauntuk berpartisipasi, tetapi juga aspek "voice", yakni syarat
substantif untuk memastikan bahwa mereka yang terlibat didengarkan dan diakomodas
aspirasinya. Pada derajat yang paling tinggi dibutuhkan kontrol peserta atas proses
pengambilan kebijakan. Dalam bahasa yang digunakan Dryzek (1987; 1990). pemerintah
perlu memastikan hadirnya ruang dan desain diskursif, sebuah wahana komunikasi untuk
mewadahi proses diskusi yang terbuka dan setara sambil membatasi ruang bagi para peserta
untuk saling memanipulasi dalam memperjuangkan kepentingan strategisnya. Desain dan
ruang tersebut tidak semata-mata bersifat ofisial, tetapi juga unofisial, dan keduanya harus
dikelola agar tetap tercipta kepastian sambil mencegah kemungkinan terjadinya koptasi. Hal
itu penting menjadi catatan karena ruang diskursif hanya akan berjalan dan berguna jika
terdapat masyarakat atau publik yang bisa beradu nalar dan aktif (active and reasoning
subjects) sehingga berdialog dengan, bahkan mengontrol, analis kebijakan profesional, para
ahli ataupun juga pemerintah. Poin ini juga menjadicatatan John Dewey (1927) pada
masa-masa awal pergulatan disiplin administrasi publik.

● Catatan Penutup

Tulisan singkat dan serba terbatas ini pada intinya ingin menyampaikan pesan yang sudah
lama disadari namun semakin ditinggalkan dari berbagai riset kebijakan publik terkait
sentralitas nilai dalam ruang publik. Setiap inisiatif yang diambil oleh pemerintah, termasuk
atau terutama melalui pembuatan kebijakan publik, hampir pasti melibatkan konfliktau
benturan nilai.

Dengan Tuntutan tersebut bukanlah halyang mudah mengingat sulitnya mendefinisikan


nilai publik serta benturan antar nilai itu sendiri, Benturan antar nilai tersebutsebagian bisa
dikelola dengan berbagai metode teknokratis. Namun lebih banyaklagi benturan nilai publik
yang hanyadapat diselesaikan melaui proses diskursif di mana semua stakeholders diberi
ruang dan suara yang sama untuk menyuarakan dan memperjuangkan kepentingan
strategisnya. Dalam konteks yang terakhir ini, tantangan bagi administrasi publik terutama
berkaitan dengan penciptaan desain diskursif publik serta metode perwujudannya. Namun, itu
semua tidak akan bermanfaat jika tidak ditopang oleh hadirnya publik yang secara aktif
terlibat dalam dalam dan memanfaatkan ruang-ruang publik tersebut untuk memperjuangkan
kepentingannya.

Anda mungkin juga menyukai