Anda di halaman 1dari 3

Paradoks Pemahaman Kebijakan Publik

Oleh: Mas Wigrantoro Roes Setiyadi *)

Sementara percaya bahwa negara demokrasi harus dikelola dengan peraturan dan
perundangan, Pemerintah Pusat menemukan ada lebih dari seribu Peraturan Daerah yang
bermasalah. Seorang kolumnis menyatakan dalam diskusi di sebuah mailing list, bahwa
artikel-nya yang dimuat dalam sebuah koran ternama merupakan kebijakan publik,
padahal jika dicermati substansinya, artikel tersebut sebenarnya hanya mengemukakan
permasalahan sosial yang sedang terjadi di masyarakat, belum merupakan suatu
kebijakan publik. Banyak pihak mendeklarasikan dirinya sebagai pemerhati, penggiat,
bahkan perumus kebijakan publik, namun jika ditelaah lebih dalam, mengapa semakin
banyak kebijakan publik yang bermasalah, terutama ketika diimplementasikan. Di sisi
lain, tidak sedikit produk kebijakan publik yang baik menjadi tidak berdaya-guna hanya
karena birokrat yang bertugas menjalankannya tidak memiliki komitmen. Kasus-kasus di
atas mencerminkan adanya paradoks pemahaman kebijakan publik.

Proses Kebijakan Publik


Kebijakan publik dapat dilihat dari dua sudut pandang, dari pra dan pasca
terbentuknya. Yang pertama (pra), melihat dari proses pembentukan sedangkan yang
kedua (pasca) memandang dari setelah menjadi produk kebijakan, berupa perundangan
dan atau peraturan publik. Dalam pendekatan pertama, terdapat tahapan yang lazim
berlaku. Diawali dengan identifikasi terhadap problematika yang muncul di ranah publik,
pihak tertentu yang berpekentingan kemudian mengupayakan permasalahan tersebut
dikemukakan ke hadapan publik sehingga diketahui dan disadari bahwa persoalan yang
muncul terkait dengan kepentingan publik (public issues). Ketika semakin banyak yang
menaruh perhatian (concerned), maka isu publik beranjak menjadi agenda publik, yang
biasanya ditindak-lanjuti dengan berbagai aksi-reaksi antara pemangku kepentingan
dengan lembaga publik yang berwenang menerbitkan kebijakan. Pada tahap ini acap
timbul pro dan kontra, adu argumentasi, saling mempengaruhi, pengerahan dukungan
dan lain sebagainya. Jika tercapai konklusi, hasil akhir produk kebijakan publik berupa
perundangan dan atau peraturan publik.
Mengikuti proses di atas seringkali melelahkan, oleh karenanya, banyak pihak
memilih mengomentari produk kebijakan, menganalisis mengapa, untuk apa, dan siapa
yang diuntungkan/dirugikan dari produk kebijakan publik tersebut. Tentu saja analisis
yang dikemukakan dipengaruhi oleh posisi relatif dan kepentingan yang bersangkutan
terhadap isu-isu terkait kebijakan publik tersebut. Oleh karena itulah menjadi tidak aneh
bila timbul kelucuan dan ketidak-pasan antara komentar dan substansi kebijakan.

Pendekatan Multi-disiplin
Luasan kebijakan publik hampir tanpa batas, ia seluas kompleksitas publik itu
sendiri. Suatu masalah yang tidak dirasakan oleh kelompok publik tertentu, bisa jadi
merupakan problematika luar biasa besarnya bagi kelompok publik lainnya. Lumpur
Sidoarjo (lusi) salah satu contohnya. Karena sifat publik yang kompleks inilah maka
proses maupun analisis terhadap kebijakan publik memerlukan pendekatan multi-
disiplin. Dapat kita lihat, untuk menyelesaikan persoalan Lusi tidak cukup hanya ahli
geologi, namun memerlukan campur tangan ahli pertanahan, konstruksi jalan raya,
penyuluhan sosial, ekonomi, hukum agraria, dan lain sebagainya. Namun, kerumunan
para hali ini belum cukup, masih dibutuhkan ahli kebijakan publik yang “menjahit”
elemen kebijakan kontribusi dari para ahli.
Dalam konteks multi disiplin ini, paradoks muncul karena beberapa hal. Instansi
berwenang pembuat kebijakan tidak memiliki ahli kebijakan publik, kemudian memberi
order kepada konsultan yang juga tidak memiliki banyak ahli yang relevan. Istilah yang
tepat untuk konsultan semacam ini adalah “konsultan supermarket”, satu toko dapat
melayani berbagai macam kebutuhan. Sebelum diundangkan, hasil kerja konsultan
dibahas dalam rapat koordinasi (rakor) antar berbagai instansi terkait, namun karena
utusan instansi menganggap rakor tersebut hanya formalitas belaka, substansi kebijakan
kurang diperhatikan. Walhasil jadilah kebijakan yang bermasalah (flaw policy).
Di pihak lain, komentar pengamat seringkali dibebani dengan semangat curiga,
kecewa, lebih melihat siapa yang membuat bukan apa yang dibuat. Kalaupun berbicara
apa yang dibuat, tidak bisa lepas dari kepentingannya sebagai politisi, pengusaha,
maupun corong para pihak yang berkepentingan. Hal terakhir inilah yang oleh sebagian
pihak dikatakan perilaku sebagai “pelacur opini”, atau yang lebih bernuansa menjijikan
disebut sebagai “onani politik”. Hasilnya? Alih-alih berbuah kemaslahatan bagi negara
dan bangsa, semakin hari semakin dibuat kisruh saja negeri ini.

Paralak
Disiplin instrumentasi mengenal paralak, yakni kesalahan pengukuran pada
instrumen ukur analog yang disebabkan oleh posisi relatif pembaca terhadap jarum ukur.
Sudut pandang terhadap jarum yang menunjukkan besaran ukur berdampak pada akurasi
pembacaan. Proses kebijakan publik yang melibatkan banyak ahli, berpontensi
menimbulkan efek paralak. Masing-masing ahli berkeyakinan bahwa pendapatnya
adalah solusi terbaik bagi permasalahan publik yang muncul. Jika terdapat sepuluh ahli,
maka akan ada potensi 90 silang pendapat di antara para ahli, yang semuanya bisa jadi
tidak menjawab permasalahan namun menimbulkan persoalan baru.
Teknologi digital yang digunakan dalam instrumentasi menghilangkan efek
paralak. Pertanyaannya, bagaimana menghilangkan efek paralak dalam proses kebijakan
publik. Karena variabel yang bermain dalam proses maupun analisis kebijakan publik
adalah manusia yang bersifat dinamik, multidimensi, dan multiinterest, dalam
prakteknya susah untuk menghilangkan efek paralak dalam kebijakan publik. Akan
selalu muncul paralak, dan inilah yang menjadi salah satu penyumbang terjadinya
paradok kebijakan publik.

Solusi
Jika disadari akan selalu muncul paradok pemahaman kebijakan publik, akankah
membiarkannya sehingga semakin runyam saja negeri ini? Tentu saja tidak. Lalu apa
solusinya? Tidak ada rumus yang jitu, bahkan di beberapa negara majupun banyak
jawaban atas pertanyaan serupa masih bersifat kontekstual dan hipotesis.
Di antara yang kontekstual dan hipotesis tersebut ada sedikit kesamaan (sifat
universalitas) dan peluang kebenarannya tinggi. Proses kebijakan publik dapat didekati
dengan pendekatan ilmiah, menggunakan model kebijakan yang didukung teori relevan
yang telah teruji kesahihannya, dukungan basis data hasil riset yang komprehensif, serta
kajian manfaat-biaya yang ditinjau dari berbagai aspek. Produk kebijakan publik pada
akhirnya merupakan muara dari proses politik. Para politisi, birokrat, dan penggiat
publik sebaiknya memiliki kapasitas sebagai policy entrepreneur, yang memahami
dengan benar proses dan karakter kebijakan publik. Selain itu, mendahulukan publik
lebih utama dari pada memrioritaskan kepentingan pribadi, golongan, partai.*****

*) Alumni The Lee Kuan Yew School of Public Policy - NUS, Mahasiswa S3, Strategic
Management, Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai