Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

TEORI ADMINISTRASI DAN APLIKASI

Tentang :

ADMINISTRASI PUBLIK DAN POLICY

Disusun Oleh :

KELOMPOK III
KELAS WEEKEND-SEMESTER I

ISA ANSARI (M012021055)


FATMAWATI B (M012021030)
MARSUMAR (M012021053)
MULIYATI NASRUN (M012021036)
AKHMAD BAKHTIAR (M012021050)

PROGRAM MAGISTER TERAPAN


ADMINISTRASI PEMBANGUNAN NEGARA
POLITEKNIK STIA-LAN MAKASSAR
2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejarah tentang perubahan Ilmu Administrasi Negara masih terus berulang.
Upaya mendefinisikan diri Ilmu Administrasi Negara sebagai ilmu administrasi
pemerintahan sebagaimana dijelaskan sebelumnya ternyata tidak berlangsung
lama. Dinamika lingkungan administrasi negara yang sangat tinggi kemudian
menimbulkan banyak pertanyaan tentang relevansi keberadaan Ilmu
Administrasi Negara sebagai administrasi pemerintahan. Gugatan tersebut
terutama ditujukan pada lokus Ilmu Administrasi Negara yang dirasa tidak
memadai lagi. Menurut Dwiyanto (2007) lembaga pemerintah dirasa terlalu
sempit untuk menjadi lokus Ilmu Administrasi Negara. Kenyataan yang ada
menunjukkan bahwa lembaga pemerintahan tidak lagi memonopoli peran yang
selama ini secara tradisional menjadi otoritas pemerintah.

Saat ini semakin mudah ditemui berbagai lembaga non-pemerintah yang


menjalankan misi dan fungsi yang dulu menjadi monopolipemerintah saja. Di sisi
yang lain, organisasi birokrasi juga tidak semata-mata memproduksi barang dan
jasa publik, tetapi juga barang dan jasa privat. Pratikno (2007) juga memberikan
konstatasi yang sama. Saat ini negara banyak menghadapi pesaing-pesaing
baru yang siap menjalankan fungsi negara, terutama pelayanan publik, secara
lebih efektif. Selain pelayanan publik, dalam bidang pembangunan ekonomi dan
sosial, negara juga harus menegosiasikan kepentingannya dengan aktor-aktor
yang lain, yaitu pelaku bisnis dan kalangan civil society (masyarakat sipil).
Secara lebih tegas, Miftah Thoha (2007) bahkan mengatakan telah terjadi
perubahan paradigma “ dari orientasi manajemen pemerintahan yang serba
negara menjadi berorientasi ke pasar (market). Menurut Thoha, pasar di sini
secara politik bisa dimaknai sebagai rakyat atau masyarakat (public). Fenomena
menurunnya peran negara ini merupakan arus balik dari apa yang disebut
Grindle sebagai too much state, di mana negara pada pertengahan 1980-an
terlalu banyak melakukan intervensi yang berujung pada jeratan hutang luar
negeri, krisis fiskal, dan pemerintah yang terlalu sentralistis dan otoriter.
Dwiyanto (2007) menyebut setidaknya ada empat faktor yang menjadi sebab
semakin menurunnya dominasi peran negara, yaitu:

1. Dinamika ekonomi, politik dan budaya yang membuat kemampuan


pemerintah semakin terbatas untuk dapat memenuhi semua tuntutan
masyarakat;
2. Globalisasi yang membutuhkan daya saing yang tinggi di berbagai sektor
menuntut makin dikuranginya peran negara melalui debirokratisasi dan
deregulasi;
3. Tuntutan demokratisasi mendorong semakin banyak munculnya organisasi
kemasyarakatan yang menuntut untuk dilibatkan dalam proses perumusan
kebijakan dan implementasinya;
4. Munculnya fenomena hybrid organization yang merupakan perpaduan
antara pemerintah dan bisnis.

Berbagai fenomena tersebut menimbulkan gugatan di antara para mahasiswa


maupun ilmuwan Ilmu Administrasi Negara: Apakah masih relevan menjadikan
pemerintah sebagai lokus studi Ilmu Administrasi Negara? Pemaparan di atas
menunjukkan bahwa kata "negara‟ dalam Ilmu Administrasi Negara menjadi
terlalu sempit dan kurang relevan lagi untuk mewadahi dinamika Ilmu
Administrasi Negara di awal abad ke-21 yang semakin kompleks dan dinamis.
Utomo (2007) menyebutkan bahwa dalam perkembangan konsep Ilmu
Administrasi Negara telah terjadi pergeseran titik tekan dari negara yang semula
diposisikan sebagai agen tunggal yang memiliki otoritas untuk
mengimplementasikan berbagai kebijakan publik menjadi hanya sebagai
fasilitator bagi masyarakat. Dengan demikian istilah public administration tidak
tepat lagi untuk diterjemahkan sebagai administrasi negara, melainkan lebih
tepat jika diterjemahkan menjadi administrasi publik. Sebab, makna kata ‟publik‟
di sini jauh lebih luas daripada kata ‟negara‟ (Majelis Guru Besar dan Jurusan
Ilmu Administrasi Negara UGM, 2007: x). Publik di sini menunjukkan keterlibatan
institusi-institusi non-negara baik di sektor bisnis maupun civil society di dalam
pengadministrasian pemerintahan.

Konsekuensi dari perubahan makna public administration sebagai administrasi


publik di sini adalah terjadinya pergeseran lokus Ilmu Administrasi Negara dari
yang sebelumnya berlokus pada birokrasi pemerintah menjadi berlokus pada
organisasi publik, yaitu birokrasi pemerintah dan juga organisasi-organisasi non-
pemerintah yang terlibat menjalankan fungsi pemerintahan, baik dalam hal
penyelenggaraan pelayanan publik maupun pembangunan ekonomi, sosial
maupun bidang-bidang pembangunan yang lain.

B. Pokok Pembahasan

Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang administrasi publik dan sebuah
kebijakan.
BAB II
PEMBAHASAN
Definisi Administrasi Publik

Secara sederhana, administrasi publik adalah ilmu yang mempelajari tentang


bagaimana pengelolaan suatu organisasi publik, secara beberapa literature
Administrasi publik adalah seperangkat institusi negara, proses, prosedur, sistem
dan struktur organisasi, serta praktek dan perilaku untuk mengelola urusan-urusan
publik dalam rangka melayani kepentingan publik (UN, 2004). Administrasi publik :
atau administrasi negara adalah suatu bahasan ilmu sosial yang mempelajari 3 elemen
penting kehidupan bernegara, yang meliputi lembaga legislatif, yudikatif dan eksekutif, serta
hal-hal yang berkaitan dengan publik.

Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, dengan adanya pergeseran makna
‟publik‟ sebagaimana dijelaskan di atas, maka ilmu administrasi publik telah menemukan
lokusnya secara lebih jelas. Intinya, semua aktivitas yang terjadi pada birokrasi pemerintah
dan organisasi-organisasi non-pemerintah yang menjalankan fungsi pemerintah menjadi
bidang perhatian ilmuwan administrasi publik. Apabila lokus ilmu administrasi publik menjadi
semakin jelas, pertanyaan berikutnya adalah apa yang seharusnya menjadi fokus perhatian
ilmuwan administrasi publik. Kegelisahan tersebut kemudian dijawab dengan munculnya
studi kebijakan publik sebagai pokok perhatian ilmuwan administrasi publik. Hal ini
merupakan implikasi yang sangat logis karena kebijakan publik merupakan output utama
dari pemerintah (Dwiyanto, 2007). Bagi pemerintah, kebijakan merupakan instrumen pokok
yang dapat dipakai untuk mempengaruhi perilaku masyarakat dalam upaya memecahkan
berbagai persoalan publik (public affairs). Upaya tersebut dapat dilakukan dengan
menggunakan kebijakan domestik yang bersifat: distributive policy, protective regulatory
policy, competitive regulatory policy, dan redistributive policy (Ripley, 1985: 60).

Dwiyanto (2007) dengan mengutip pendapat Denhardt mengatakan bahwa tingginya minat
ilmuwan administrasi publik untuk memusatkan perhatian pada studi kebijakan semakin
meningkatkan keyakinan bahwa para administrator memiliki intensitas yang tinggi dalam
proses perumusan kebijakan publik. Hal ini juga semakin menguatkan argumen bahwa ilmu
administrasi publik memang tidak dapat dipisahkan dari induknya Ilmu Politik, sebab proses
perumusan kebijakan itu sendiri tidak hanya dilakukan melalui tahapan yang bersifat
teknokratis akan tetapi juga melampaui tahapan yang bersifat politis. Tahapan teknokratis
dalam proses perumusan kebijakan memiliki posisi sentral. Sebab, pada tahapan ini
berbagai solusi cerdas sebagai upaya memecahkan persoalan masyarakat digodok agar
dapat dirumuskan serangkaian alternatif kebijakan yang dapat dipilih oleh para policy maker
melalui proses politik. Pentingnya proses teknokratis dalam pembuatan kebijakan semakin
membuat analisis kebijakan publik menjadi keahlian yang sangat vital yang dibutuhkan oleh
para praktisi administrasi publik.

Berbagai tokoh seperti William N. Dunn (1981), Carl Patton dan David Sawicki (1983),
Arnold J. Meltsner (1986), dan lain-lain telah menghasilkan berbagai buku penting sebagai
acuan para ilmuwan dan praktisi administrasi publik dalam melakukan kegiatan analisis
kebijakan publik. Selain itu, kenyataan bahwa kebijakan yang telah dirumuskan tidak selalu
menjamin implementasinya akan berjalan mulus juga memicu munculnya studi implementasi
kebijakan publik di dalam ilmu administrasi publik. Para ilmuwan seperti Jeffrey Pressman
dan Aaron Wildavsky (1984), Merilee Grindle (1980), Malcolm Goggin et.al (1990)
merupakan sebagian ilmuwan yang menjadi pelopor pengembangan studi implementasi
dalam disiplin Ilmu Administrasi Publik.

CIRI ADMINISTRASI NEGARA

Ciri-ciri administrasi negara disebutkan Thoha (2008:36-38), sebagai berikut:

a. Administrasi negara adalah suatu kegiatan yang tidak bisa dihindari (unavoidable). Setiap
orang selama hidupnya selalu berhubungan dengan administrasi negara. Mulai dari lahir
sampai meninggal dunia, orang tidak bisa melepaskan diri dari sentuhan kegiatan
administrasi negara, baik warga negara ataupun orang asing.
b. Administrasi negara memerlukan adanya kepatuhan. Hal ini administrasi negara
mempunyai monopoli untuk mempergunakan wewenang dan kekuasaan yang ada
padanya untuk memaksa setiap warga negara mematuhi peraturan-peraturan dan segala
perundangan yang telah ditetapkan.
c. Administrasi negara mempunyai prioritas. Banyak kegiatan yang bisa dilakukan oleh
administrasi negara. Dari sekian banyaknya tersebut tidak lalu semuanya diborong
olehnya. Prioritas diperlukan untuk mengatur pelayanan terhadap masyarakat.
d. Administrasi negara mempunyai ukuran yang tidak terbatas. Besar lingkup kegiatan
administrasi negara meliputi seluruh wilayah negara, di darat, di laut dan di udara.
e. Pimpinan atasnya (top management) bersifat politis. Administrasi negara dipimpin oleh
pejabat-pejabat politik. Hal ini berarti pimpinan tertinggi dari administrasi negara dijabat
oleh pejabat yang dipilih atau diangkat berdasarkan ketentuan-ketentuan yang berlaku.
f. Pelaksanaan administrasi negara adalah sangat sulit diukur. Oleh karena kegiatan
administrasi negara sebagiannya bersifat politis dan tujuan di antaranya untuk mencapai
perdamaian, keamanan, kesehatan, pendidikan, keadilan, kemakmuran, pertahanan,
kemerdekaan, dan persamaan, maka hal tersebut tidak mudah untuk diukur.
g. Banyak yang diharapkan dari administrasi negara. Dalam hubungan ini akan terdapat
dua standar penilaian. Satu pihak masyarakat menghendaki administrasi negara berbuat
banyak untuk memenuhi kebutuhan mereka. Di pihak lain administrasi Negara
mempunyai kemampuan, keahlian, dana, dan sumber-sumber lain yang terbatas.
UNSUR-UNSUR ADMINISTRASI PUBLIK

Unsur-Unsur Administrasi. Administrasi tersusun dari beberapa unsur. Menurut The


Liang Gie, unsur-unsur yang terdapat dalam administrasi adalah :

 Organisasi, merupakan tempat di mana kegiatan administrasi dilakukan.


Organisasi merupakan suatu wadah di mana orang-orang yang tergabung
sebagai anggotanya melakukan aktivitas dalam rangka mencapai tujuan yang
telah ditetapkan.

 Manajemen, merupakan unsur administrasi yang paling alat utama. Di dalam


manajemen terdapat unsur pengatur, penggerak, manager, dan tenaga
operasional.

 Komunikasi, merupakan unsur administrasi yang digunakan oleh anggota


organisasi atau antar bagian dalam organisasi untuk saling berhubungan dan
melakukan koordinasi. 

 Kepegawaian, merupakan unsur administrasi yang berhubungan dengan


penggunaan tenaga kerja. Di dalam administrasi terdapat proses yang saling
terkait yaitu penerimaan, penempatan, pendaya-gunaan, dan pemberhentian
kerja.

 Keuangan, merupakan unsur administrasi yang berkaitan dengan dana


organisasi.

 Perbekalan, merupakan unsur administrasi yang berkaitan dengan


pengadaan, penyimpanan, dan penyingkiran barang.

 Tata usaha, merupakan unsur administrasi yang meliputi kegiatan


pencatatan, penyimpanan, dan pengiriman.

 Public Relation, merupakan unsur administrasi yang berhubungan dengan


konsumen dan perusahaan. 

PRINSIP-PRINSIP ADMINISTRASI PUBLIK

ADMINISTRASI NEGARA/PUBLIK DALAM PRAKTIK

Praktik administrasi negara/publik saat ini dominannya adalah


penyelenggaraan pemerintahan di bawah UU No. 23/2014 dan UU No. 6/2014. Jika
kita membaca Regeringsreglement 1854 Juncto Indische Staatregeling 1922, maka
isi UU No. 23/2014 tidak jauh berbeda dengan peraturan dasar tentang
pemerintahan Hindia Belanda tersebut. Begitu juga jika kita membaca IGO 1906
Juncto IGOB 1938, maka UU No. 6/2014 mirip sekali dengan ordonansi/ peraturan
pemerintah zaman Hindia Belanda. Dengan demikian, secara juridis formal praktik
adminstrasi negara/publik saat ini merupakan reinkarnasi administrasi negara/publik
zaman Hindia Belanda.

Ciri utama administrasi negara/publik zaman Hindia Belanda adalah


sentralisasi yang kuat dan digunakannya model pemerintahan tidak langusng
(indirect rule) atas komunitas pribumi (inlandsche gemeente). Pada zaman Hindia
Belanda di bawah Regeringsreglement 1854 semua pejabat pemerintah dari
gubernur jenderal, gubernur, residen, bupati/walikota, wedana, dan asisten wedana
adalah pejabat pusat atau perangkat dekonsentrasi. Setelah Regeringsreglement
1854 diperbaharui menjadi Indische Staatregeling 1922 provintie dan
stadsgemeente/regenschap dijadikan wilayah administrasi sekaligus daerah otonom.
Berdasarkan model ini maka gubernur dan bupati/walikota mengemban dua fungsi:
sebagai alat pusat/dekonsentrasi sekaligus sebagai alat daerah otonom. UU No. 23/
2014 meniru model ini yaitu gubernur dan bupati/walikota mengemban dua fungsi:
sebagai perangkat dekonsentrasi (wakil pemerintah pusat) sekaligus sebagai
perangkat daerah otonom. Perbedaannya pada zaman Hindia Belanda di bawah
gubernur ada pejabat pusat yaitu residen dan di bawah bupati terdapat pejabat
pusat yaitu wedana dan asisten wedana sedangkan di bawah UU No. 23/2014
jabatan-jabatan tersebut dihapus kecuali camat yang tidak lagi sebagai pejabat
pusat tapi sebagai pejabat daerah otonom kabupaten/kota. UU No. 6/2014 adalah
model pemerintahan indirect rule meniru model IGO 1906 Juncto IGOB 1938. Dalam
model ini pemerintah tidak berhubungan langsung dengan rakyat desa. Pemerintah
berhubungan dengan rakyat desa melalui kepala komunitasnya: lurah (kepala desa).
Di sini status kepala desa adalah perantara antara pemerintah dengan rakyat desa.
Agar mempunyai legalitas maka komunitas desa itu dijadikan badan hukum
(korporasi). Melalui kepala korporasinya pemerintah berhubungan dengan rakyat
desa. Kepala desa atas nama pemerintah menarik pajak bumi dan bangunan,
melegalisasi surat yang diajukan penduduk kepada pemerintah, dan mengontrol
gerak-gerik penduduk.
Pemerintah desa di bawah UU No. 6/2014 sama dengan IGO 1906 Juncto
IGOB 1938. Desa bukan pemerintahan formal tapi korporasi sosial bentukan negara.
Di sini status kepala desa juga hanya sebagai perantara antara pemerintah dengan
rakyat desa. Sebagaimana pengaturan di bawah IGO 1906 Juncto IGOB 1938
model demikian adalah model pemerintahan tidak langsung (indirect rule atau
indirect gebied). Pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota tidak berhubungan
langsung dengan rakyat desa karena tidak mempunyai pejabat pemerintah dan
aparatur sipil negara di desa. Kepala Desa bukan government official dan perangkat
desa bukan civil servant. Memang desa dilihat dari tugas yang dilaksanakan sama
dengan organisasi pemerintahan tapi sejatinya ia hanya korporasi sosial bentukan
negara. Desa bukan organisasi pemerintahan dalam arti yang sebenarnya karena
tidak dipimpin oleh government official dan birokrasinya tidak diselenggarakan oleh
civil servant. Melalui perantaranya, pemerintah dapat menarik pajak bumi dan
bangunan, melaksanakan proyeknya, dan mengerjakan tugas-tugas pemerintahan
tertentu di desa.

Praktik administrasi negara/publik di Indonesia dilihat dari lensa NPS, Negara


tidak tidak memberikan pelayanan publik. Pelayanan publik di sini dalam pengertian
pemberian public service and goods yang terdiri atas (a) pelayanan administrasi, (b)
pelayanan pembangunan infrastruktur, (c) pelayanan fasilitas umum dan sosial, (d)
pelayanan infrastruktur ekonomi (sarana-prasarana ekonomi, permodalan, akses
pemasaran, dan dukungan produksi dan sumber daya), (e) pelayanan
pemberdayaan masyarakat, dan (f) pelayanan perlindungan berupa rasa tenteram,
tertib, dan aman. Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota lebih banyak melayani
dirinya sendiri daripada memberikan pelayanan publik kepada citizens. Pemerintah
provinsi hanya memberikan pelayanan pendidikan SMA/SMK (inipun masih tertatih-
tatih) dan pelayanan infrastruktur jalan provinsi. Citizens yang tinggal di Kota
beruntung karena mendapatkan pelayanan pendidikan, kesehatan, administrasi,
infrastruktur fasilitas umum dan sosial, infrastruktur ekonomi (sarana dan prasarana
ekonomi, dukungan permodalan, akses pemasaran, dan dukungan produksi dan
sumber daya), transportasi publik, sanitasi, air bersih, sampah, pemberdayaan
masyarakat, dan pelayanan perlindungan (rasa tenteram, tertib, dan aman) dari
kepolisian negara. Citizens yang tinggal di Kabupaten benar-benar sengsara karena
tidak mendapatkan pelayanan publik dari pemerintah. Pemerintah kabupaten hanya
mengurus dirinya sendiri dan memberikan pelayanan pendidikan SD dan SMP,
kesehatan, dan infra struktur (jalan, jembatan, dan bangunan irigasi) kabupaten.
Pemerintah kabupaten tidak memberikan pelayanan infrastruktur fasilitas umum dan
sosial, infrastruktur ekonomi (sarana dan prasarana ekonomi, dukungan
permodalan, akses pemasaran, dan dukungan produksi dan sumber daya), sanitasi,
air bersih, sampah, transportasi publik, air irigasi, pemberdayaan masyarakat, dan
pelayanan perlindungan (rasa tenteram, tertib, dan aman) kepada citizens yang
tinggal di desa. Jika Pemerintah Kota bisa berhubungan langsung dengan citizens
yang tinggal di wilayahnya, Pemerintah Kabupaten tidak bisa berhubungan langsung
dengan citizens yang tinggal di wilayahnya. Ia harus melalui perantara: kepala desa.
Kepala Desa merasa dirinya adalah kepala korporasi (badan hukum) seringkali
merasa memiliki otoritas otonom sehingga tidak mudah dijadikan perantara yang
baik. Banyak kepala desa yang tidak patuh kepada camat dan bupati. Jika, kepala
desa tersebut bisa menjadi perantara yang baik, pemerintah kabupaten tetap tidak
bisa memberikan pelayanan publik langsung kepada warga desa karena terhambat
oleh pemerintah desa yang merupakan korporasi semi otonom. Celakanya,
pemerintah desa sebagai korporasi hanya menarik pajak bumi dan bangunan,
membangun infrastruktur desa, mengecap dan menandatangi surat-surat dari warga
desa yang diajukan ke kantor pemerintah atasan, dan memobilisasi warga untuk
kerja wajib desa (heerendiensten) yang diperhalus dengan gotong royong. Akibatnya
citizens yang tinggal di desa menjadi korban. Rakyat desa tidak mendapatkan
pelayanan administrasi, infrastruktur fasilitas umum dan sosial, infrastruktur ekonomi
(sarana dan prasarana ekonomi, dukungan permodalan, akses pemasaran, dan
dukungan produksi dan sumber daya), sanitasi, air bersih, sampah, transportasi
publik, air irigasi, pemberdayaan masyarakat, dan perlindungan (rasa tenteram,
tertib, dan aman).
BAB IV
KESIMPULAN

PENUTUP

Administrasi negara/publik lahir di AS. Meskipun gagasan dan praktik administrasi


negara/publik telah ada sebelum munculnya negara AS tapi semuanya merupakan
ilustrasi sejarah. Fakta konkrit adalah praktik pemerintahan AS khususnya di bawah
Thomas Jefferson, presiden AS ke-3. Praktik pemerintahan AS tersebut kemudian
disistematisir oleh Wodrow Wilson (yang kemudian juga menjadi presiden AS ke-28)
sebagai ilmu administrasi publik sebagaimana kita kenal sekarang.

Administrasi negara/publik dilihat dari fokus dan lokusnya mengalami


perkembangan paradigmatik: dikotomi politik-administrasi, asas-asas administrasi
negara/publik, sebagai ilmu adminsitrasi, sebagai ilmu politik, dan sebagai ilmu
administrasi negara. Di samping itu, dilihat dari pendekatannya juuga berkembang
dari old public administration, new public administration, new public management,
dan new public service. Administrasi negara/publik di Indonesia modern dimulai dari
zaman Hindia Belanda yang lebih berciri Perancis daripada Belanda induk. Di
zaman kemerdekaan, administrasi negara/publik Indonesia mengarah ke model
Belanda induk tapi sejak zaman Orde Baru kembali ke model Perancis. Ilmu
administrasi negara/publik telah dikembangkan pada fakultas ilmu administrasi tapi
riset tentang administrsi negara/publik lebih berupa laporan dinas daripada riset
ilmiah. Praktik administrasi negara/publik saat ini dilihat dari lensa new public
service, Negara tidak memberikan pelayanan publik kepada citizens khususnya
yang tinggal di desa.

Dengan adanya paradigma perkembangan ilmu administrasi serta kebijakan


publik, otonomi daerah dan desentralisasi. Maka, pergeseran kebijakan publik pada
zaman orde baru perlahan mulai ditinggalkan, bahkan era reformasi birokrasi
menginginkan perombakan total dari administrasi sebelumnya. Baik berupa
simplifikasi dan mengedepankan kepentingan penduduk/citizens hingga berupaya
melibatkan rakyat, dimana rakyat sebagai investasi dalam pembangunan dan
pemerintahan sebagaimana bisnis dijalankan dalam sebuah perusahaan.

Anda mungkin juga menyukai