Anda di halaman 1dari 7

Nama : Ima Aidil Fitri

Npm : CA231110446

Prodi : Perpajakan

Matkul : Sistem Administrasi Negara

RESUME REFORMASI ADMINISTRASI PUBLIK

REFORMASI ADMINISTRASI PUBLIK

A. Ruang Lingkup Administrasi Publik

Administrasi publik sebenarnya sudah ada sejak dahulu, yakni sejak masyarakat mulai dapat mengorganisasikan diri dan
kelompoknya dalam bentuk sistem penataan pemerintahan. Administrasi publik modern yang dikenal sekarang merupakan
produk dari suatu masyarakat feodal yang tumbuh subur di negara-negara Eropa (Thoha, 2005). Dasar-dasar pemikiran
administrasi publik modern diletakkan oleh Woodrow Wilson yang dituangkan dalam tulisannya yang diberi judul, "The Study
of Administration" yang diterbitkan pada tahun 1873. Konsep dari Wilson yang terkenal adalah pemisahan antara politik dan
administrasi publik. Banyak perkembangan teori administrasi publik yang dipelopori oleh banyak ahli. Adapun perkembangan
teori administrasi publik yang dikemukakan oleh para ahli, meliputi:
1. Teori Birokrasi Weber
Teori Weber sering disebut juga sebagai tipe ideal birokrasi. Menurut Weber, tipe ideal birokrasi ingin menjelaskan bahwa
suatu birokrasi atau administrasi itu mempunyai suatu bentuk yang pasti di mana semua fungsi dijalankan dalam cara- cara
yang rasional (Thoha, 2007). Weber mengemukakan beberapa konsepsi tentang tipe ideal birokrasi, yaitu:
a. Tugas-tugas pejabat diorganisasi atas dasar aturan yang berkesinambungan.
b. Tugas-tugas tersebut dibagi atas bidang-bidang yang berbeda sesuai dengan fungsi-fungsinya, yang masing-masing dilengkapi
dengan syarat otoritas dan sanksi-sanksi.

c. Jabatan-jabatan tersusun secara hierarkis yang disertai dengan rincian hak-hak kontrol dan pengaduan (complaint).
d. Aturan-aturan yang sesuai dengan pekerjaan diarahkan baik secara teknis maupun secara legal.
e. Anggota sebagai sumber daya organisasi berbeda dengan anggota sebagai individu pribadi.

f. Pemegang jabatan tidaklah sama dengan jabatannya.


g. Adminstrasi didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis dan hal ini cenderung menjadikan kantor (biro) sebagai pusat
organisasi modern.
h. Sistem-sistem otoritas legal dapat mengambil banyak bentuk, tetapi dilihat pada bentuk aslinya, sistem tersebut tetap berada
dalam suatu staf administrasi birokratis (Albrow, 2005).
2. Hawthorne Study
Dalam Hawthorne Study, Elton Mayo melakukan penelitian di Western Electronic Company (1924-1927, 1930). Mayo dalam
penelitiannya berusaha mencari korelasi antara pengaruh intensitas penerangan pada produktivitas kerja. Hipotesisnya,
intensitas cahaya akan memengaruhi produktivitas kerja. Ternyata hipotesis tersebut tidak terbukti. Intensitas pencahayaan
tidak selamanya menentukan produktivitas. Kesimpulan yang didapatkan Mayo dari penelitiannya adalah:
a. Organisasi adalah sistem sosial disamping sistem teknis-ekonomis.
b. Individu dimotivasi faktor sosial dan psikologis, disamping motif ekonomi.
c. Kelompok kerja informal adalah unit yang perlu mendapat perhatian.
d. Pola kepemimpinan berdasarkan struktur formal kedudukan – perlu pertimbangan faktor psikososial; lebih demokratis.
e. Kepuasan kerja sangat berkaitan erat dengan produktivitas.
f. Saluran komunikasi yg efektif hendaknya dikembangkan dalam berbagai level dalam hierarki.
g. Manajemen membutuhkan skill sosial yg efektif, disamping skill teknis.
h. Para anggota organisasi digerakkan oleh terpenuhinya kebutuhan sosiopsikologis.
3. Teori Motivasi Abraham Maslow
Menurut Maslow manusia memiliki tingkat-tingkat kebutuhan yang selalu berusaha ingin dicapai. Tingkat kebutuhan tersebut
yaitu:
a. Kebutuhan fisik (makan, pakaian, tempat tinggal).
b. Kebutuhan akan keamanan.
c. Kebutuhan sosial (berkumpul dan bergaul).
d. Kebutuhan pengembangan diri (berkembang dan berkarya).
e. Kebutuhan aktualisasi diri (berbeda dengan manusia lain).

4. New Public Administration (Administrasi Negara Baru)


Administrasi negara baru merupakan sebuah gerakan fiolosofis di mana proporsi moral merupakan prinsip utama.
Konsekuensinya, gerakan ini akan berlawanan dengan setiap model proses administrasi yang berusaha mengutamakan aspek
teknis daripada nilai. Beberapa karakteristik administrasi negara baru:
a. berorientasi pada “klien”
b. pola administrasi multilevel
c. berorientasi filosofis
d. paham kemanusiaan
e. konseptualisasi
f. emosi, intuisi, dan irasionalitas
g. orientasi kebijakan
h. ketidakefisienan
i. nonhierarki
j. segi eksternal organisasi
k. moralitas
l. keberagaman.

Perkembangan administrasi publik baru tidak dapat dilepaskan dari perkembangan berbagai paradigma dalam ilmu
administrasi publik. Paradigma dapat diartikan sebagai perspektif yang dimiliki oleh komunitas keilmuan, yang terbentuk dari
keinginan dan komitmen (konseptual, teoritis, metodologis, instrumental). Sebuah paradigma menuntut scientific community
untuk melakukan seleksi terhadap sebuah masalah, evaluasi data, dan menganjurkan teori (Chilcote, 1998). Dalam ilmu
administrasi publik terdapat beberapa paradigma antara lain, sebagaimana diungkapkan melalui metode pendekatan matriks
loccus dan focus (2x2 matrix) dari Golembiewski (1977) yang menghasilkan empat fase dalam perkembangan ilmu administrasi
publik (www.ginanjar.com). Fase-fase tersebut adalah (1) fase perbedaan analitik politik dari administrasi; (2) fase perbedaan
konkret politik dari administrasi; (3) fase manajemen; dan (4) fase orientasi terhadap kebijakan publik. Golembiewski juga
mengetengahkan adanya tiga paradigma komprehensif dalam perkembangan pemikiran-pemikiran ilmu administrasi publik,
yakni: (1) paradigma tradisional; (2) paradigma sosial psikologi; dan (3) paradigma kemanusiaan (humanist/systemic). Nicholas
Henry (1995) dalam Thoha (2005), menggunakan pendekatan lain. menurutnya terdapat 5 paradigma ilmu administrasi publik,
yaitu:

1. Paradigma 1: Dikotomi Politik dan Administrasi, tahun 1990-1926 Paradigma 1, dikotomi politik dalam administrasi
menekankan pada lokus di mana administrasi publik seharusnya diletakkan. Jelas, dalam pandangan Goodnow dan rekan-
rekannya sesama pemerhati public administration, administrasi publik harus berpusat pada birokrasi pemerintah.

2. Paradigma 2: Prinsip- prinsip Administrasi, tahun 1927-1937 Pada masa ini lokus administrasi publik kurang diperhatikan,
sedangkan fokusnya adalah “prinsip-prinsip” manajerial yang dipandang berlaku universal pada setiap bentuk organisasi dan
lingkungan budaya. Perbedaan pendapat dari administrasi publik pada 1940-an salah satunya adalah keberatan bahwa politik
dan pemerintahan tidak akan pernah bisa dipisahkan. Kemudian yang lainnya adalah bahwa prinsipprinsip administrasi secara
logis tidak konsisten.

3. Administrasi Publik sebagai Ilmu Politik, tahun 1950-1970 Definisi fase ketiga ini sebagian besar adalah usaha membangun
kembali hubungan antara administrasi publik dan ilmu politik. Tapi konsekuensi dari usaha ini adalah untuk "mendefinisikan"
bidang ilmu ini, setidaknya dalam hal fokus analisis, "keahlian” esensial. Dengan demikian, tulisan-tulisan tentang administrasi
publik di tahun 1950-an berbicara tentang bidang ini sebagai “penekanan”, sebuah “daerah kepentingan”, atau bahkan sebagai
sinonim “ilmu politik”.
4. Administrasi Negara sebagai Ilmu Administrasi, tahun 1956-1970 Pada masa ini administrasi publik tetap menggunakan
paradigma ilmu administrasi, dengan mengembangkan pemahaman sosial psikologi, dan analisis sistem sebagai pelengkapnya.
Sebagai sebuah paradigma, ilmu administrasi memberikan fokus tapi tidak lokus.

5. Administrasi Publik sebagai Administrasi Publik, tahun 1970-Sekarang Kurangnya kemajuan dalam menggambarkan sebuah
lokus untuk bidang ini, atau urusan publik apa dan "resep untuk kebijakan publik" harus mencakup hal yang relevan dengan
administrator publik. Namun demikian, bidang ini tidak muncul untuk penekanan pada keunikan faktor-faktor sosial tertentu
untuk sepenuhnya dikembangkan negara sebagai lokus yang tepat.

B. Perkembangan Administrasi Publik


Dalam era global kita melihat berkembang dan tumbuhnya sistem administrasi publik dan pemerintahan yang semakin efisien,
efektif. Pergeseran peran telah mulai terjadi di mana fungsi pemerintah dalam berbagai segi kehidupan ekonomi, sosial telah
bergeser dari peran pemerintah yang begitu besar ke arah mendorong lembaga-lembaga masyarakat/swasta untuk mengambil
bagian yang besar dalam menjalankan sebagai fungsi-fungsi pelayanan kepada masyarakat (Osborne 1993, Kartasasmita 1996,
Kristiadi 1997).

Kartasasmita (1996) melakukan analisis reposisi terhadap paradigma administrasi pembangunan (birokrasi) yang selama 32
tahun memiliki peran yang besar dalam pembangunan bangsa, yaitu: perubahan dalam polarisasi:
1. Orientasi birokrasi bergeser dari yang kuat kepada yang lemah dan kurang berdaya;

2. Birokrasi harus membangun partisipasi rakyat;


3. Peranan birokrasi bergeser dari mengendalikan ke mengarahkan; dan
4. Birokrasi harus mengembangakan keterbukaan dan kebertanggungjawaban.
Dalam rangka pemberdayaan masyarakat dalam pambangunan, peran pemerintah dapat ditingkatkan antara lain melalui: (a)
pengurangan hambatan dan kendala-kendala bagi kreativitas dan partisipasi masyarakat; (b) perluasan akses pelayanan untuk
menunjang berbagai kegiatan sosial ekonomi masyrakat; dan (c) pengembangan proses untuk lebih memberikan kesempatan
kepada masyarakat belajar dan berperan aktif (social learning process) dalam memamfaatkan dan mendayagunakan sumber
daya produktif yang tersedia sehingga memiliki nilai tambah guna meningkatkan kesejahteraan mereka.

Inti dari perubahan peran dan orientasi administrasi publik adalah bahwa bentuk organisasi birokrasi yang ada sekarang harus
berubah sesuai dengan tuntutan perubahan itu sendiri, yaitu bentuk organisasi yang terbuka, fleksibel, ramping atau pipih
(flat), efisiensi dan rasional, terdesentralisasi, kaya fungsi miskin struktur sehingga memungkinkan organisasi birokrasi lebih
cepat menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan. Bahkan menurut Mc Kinsey (Kristiadi:1997) desain organisasi ke depan
dicirikan oleh 7 S, yaitu:
1. system, 2. structure, 3. strategy, 4. staff, 5. skill, 6. leadership style, dan 7. share value.

C. Reformasi
Kata reformasi berasal dari kata bahasa asing “reformation” (Inggris) atau “reformatie” (Belanda). Kata dasar “reformation”
berasal dari kata “reform”, yang berarti membentuk kembali. “Reform” berasal dari kata “form” yang berarti bentuk atau
membentuk. Konsepsi dasar reformasi adalah melakukan perubahan, perbaikan, penataan, dan pengaturan secara
komprehensif dan sistematik terhadap banyak hal, terutama yang berkaitan dengan pimpinan dan kepemimpinan, serta sistem
bernegara, berorganisasi, dan berpemerintahan. Reformasi diartikan sebagai proses perubahan dari kondisi lama menuju
kondisi baru yang dikehendaki (Abidin, 2006:17). Sedangkan menurut pendapat Wibawa (2005:207208) adalah gerakan untuk
mengubah bentuk dan perilaku suatu tatanan, karena tatanan tersebut tidak lagi disukai atau tidak sesuai kebutuhan zaman –
baik karena tidak efisien, tidak bersih, tidak demokratis, dll. Menurut Hidayat (2007:1), reformasi adalah perbaikan atau
perubahan bentuk.
Dari beberapa pendapat tentang pengertian reformasi didapat suatu kesimpulan bahwa proses reformasi ini bermula sebagai
akibat dari adanya kesenjangan yang luas antara aspirasi dan keinginan masyarakat dengan kenyataan yang ada. Berbeda
dengan revolusi, ketika kesenjangan tidak mungkin lagi dijembatani sehingga menimbulkan gejolak perubahan yang dapat
menjungkirbalikkan landasan berpikir yang ada, reformasi jelas tidak memerlukan timbulnya perombakan secara menyeluruh.
Namun, karena perubahan itu terjadi pada bidang bidang yang strategis, dampaknya juga terasa di semua bidang kehidupan,
sehingga reformasi sering dipandang sebagai sebuah revolusi.
Reformasi administrasi publik menurut Suk Choon Cho (dalam Zauhar, 1996:10) adalah “administrative reform as a consious
human effort to introduce changes into the behavior and performances of administrators”. Dan reformasi administrasi publik
menurut Montgomery (dalam Hidayat, 2007:1), adalah suatu proses politik yang didesain untuk menyesuaikan hubungan antara
birokrasi dan elemen-elemen lain dalam masyarakat, atau di dalam birokrasi itu sendiri, dengan kenyataan politik.Sedangkan
menurut Ibrahim (2008:13), dan Zauhar (1996:11), reformasi administrasi publik adalah usaha yang sadar dan terencana untuk
mengubah struktur dan prosedur birokrasi (aspek reorganisasi kelembagaan, sikap, dan perilaku birokrat/aspek perilaku atau
kinerja), meningkat efektivitas organisasi (aspek program), sehingga dapat diciptakan administrasi publik yang sehat dan
terciptanya tujuan pembangunan nasional. Reformasi administrasi publik diartikan secara sederhana oleh Abidin (2006:19)
adalah proses reformasi atas paradigma dan sistem administrasi publik.
Tiga tujuan internal reformasi administrasi publik adalah sebagai berikut:
1. Efisiensi administrasi, dalam arti penghematan uang, yang dapat dicapai melalui penyederhanaan formulir, perubahan
prosedur, penghitungan duplikasi, dan kegiatan organisasi metode yang lain.
2. Penghapusan kelemahan atau penyakit administrasi seperti korupsi, pilih kasih dan sistem teman dalam sistem politik, dan
lain-lain.

3. Pengenalan dan penggalakan sistem merit, pemakaian PPBS, pemrosesan data melalui sistem informasi yang otomatis,
peningkatan penggunaan pengetahuan ilmiah, dan lain-lain.
Sedangkan 3 tujuan lain yang berkaitan dengan masyarakat adalah:
1. Menyesuaikan sistem administrasi terhadap meningkatnya keluhan masyarakat.
2. Mengubah pembagian pekerjaan antara sistem administrasi dan sistem politik, seperti misalnya meningkatkan otonomi
profesional dari sistem administrasi dan meningkatkan pengaruhnya pada suatu kebijakan.
3. Mengubah hubungan antara sistem administrasi dan penduduk, misalnya melalui relokasi pusat-pusat kekuasaan
(sentralisasi versus desentralisasi, demokratisasi danlain-lain).

D. Strategi Reformasi Administrasi Publik


Pada awalnya, konsep strategi digunakan dalam kalangan militer, yang diartikan sebagai seni memenangkan peperangan
melawan musuh dengan pemanfaatan kekuatan yang dimiliki secara maksimal. Reformasi administrasi publik pun berkaitan
erat dengan pengertian strategi karena pada hakikatnya reformasi administrasi publik merupakan aktivitas untuk
meningkatkan kemampuan memenangkan “peperangan” melawan ketidakberesan administrasi dan beberapa jenis penyakit
administrasi yang lain yang banyak dijumpai di kebanyakan negara sedang berkembang. Berbicara tentang strategi reformasi
administrasi publik, pada dasarnya sangat beragam dalam ruang lingkupnya, mulai dari yang paling luas, sampai yang paling
sempit.

Strategi reformasi terhadap administrasi reformasi menurut Abidin (2006:27) dapat dilakukan melalui:
1. Peningkatan kemampuan birokrasi agar mampu mewujudkan kebijakan-kebijakan yang normatif menjadi kenyataan di
lapangan. Hal ini dapat dilakukan melalui perbaikan institusi publik, perbaikan prosedur pelayanan, dan peningkatan
kemampuan sumber daya manusia aparatur.
2. Perbaikan prosedur dan tata laksana pengelolaan kekayaan negara dengan mendahulukan kepentingan publik, keselamatan
kekayaan negara, dan kebenaran secara hukum.
3. Penetapan pejabat publik melalui kriteria dan prosedur terbuka dengan menempatkan persyaratan ketaatan, kejujuran, dan
keahlian sebagai syarat pokok.

Sedangkan reformasi administrasi sendiri menurut Abidin (2006:28) dilakukan melalui :


1. Perubahan paradigma administrasi publik. Seperti yang telah disebutkan, orientasi ekonomi administrasi publik cenderung
mengabaikan nilai-nilai sosial, sementara orientasi sosial yang berlebihan mempersulit penilaian mengenai kinerja
keberhasilan. Karena itu dalam perubahan paradigma itu diupayakan adanya keseimbangan antara kedua orientasi itu.
2. Menempatkan peran administrasi publik secara proporsional, sehingga administrasi publik mendapat tempat sebagai salah
satu sarana pokok dalam merealisasikan program-program reformasi.

E. Administrasi Publik dan Reformasi Administrasi


1. Administrasi Publik
Terkait permasalahan administrasi publik ada beberapa ahli yang memberikan pendapatnya tentang pengertian dari
administrasi publik di antaranya adalah: Henry (1995:31) “menyatakan bahwa administrasi negara dimaksudkan untuk lebih
memahami hubungan antara pemerintah dengan masyarakatnya serta meningkatkan responsibilitas kebijakan negara terhadap
berbagai kebutuhan sosial dan juga melembagakan praktik-praktik manajerial agar terbiasa lebih efektif dan efisien”.
Sedangkan Pasolong (2008:8) “mengartikan administrasi publik adalah kerja sama yang dilakukan oleh sekelompok orang atau
lembaga dalam melaksanakan tugastugas pemerintahan dalam memenuhi kebutuhan publik secara efektif dan efisien”.

Keban (2004:7) “menyatakan bahwa ada beberapa makna penting yang harus diingat berkenaan dengan hakikat administrasi
publik, yaitu:
a. Bidang tersebut lebih berkaitan dengan dunia eksekutif, meskipun juga berkaitan dengan dunia yudikatif dan legislatif.

b. Bidang tersebut berkenaan dengan formulasi dan implementasi kebijakan publik.


c. Bidang tersebut juga berkaitan dengan berbagai masalah manusiawi dan usaha kerja sama untuk mengerjakan tugas-tugas
pemerintah.
d. Meskipun bidang tersebut berbeda dengan administrasi swasta tetapi ia overlapping dengan administrasi swasta.
e. Bidang tersebut diarahkan untuk menghasilkan public goods dan services.
f. Bidang ini memiliki aspek teoritis dan praktis.”
2. Reformasi Administrasi
Terkait dengan reformasi administrasi ada beberapa ahli yang memberikan pejelasannya, diantaranya yaitu Caiden (dikutip dari
Zauhar 2007:6) mendefinisikan reformasi administrasi sebagai “the artificial inducement of administrative transformation
againts resistance”. Artinya, reformasi administrasi merupakan kegiatan yang dibuat oleh manusia, tidak bersifat insidental,
otomatis, maupun alamiah; ia merupakan suatu proses yang beriringan dengan proses reformasi administrasi”. Caiden juga
dengan tegas membedakan antara administrative reform dan administrative change. Perubahan administrasi bermakna sebagai
respons keorganisasian yang sifatnya otomatis terhadap fluktuasi atau perubahan kondisi. Zauhar (2007:11) “mengartikan
reformasi administrasi adalah suatu usaha sadar dan terencana untuk mengubah struktur dan prosedur birokrasi (aspek
reorganisasi atau institutional/kelembagaan, sikap dan perilaku birokrat), (aspek perilaku, guna meningkatkan efektivitas
organisasi atau terciptanya administrasi yang sehat dan menjamin tercapainya tujuan pembangunan nasional)”.
3. Reformasi Pelayanan Publik
Pollit dan Bouckaert (dikutip dari Manurung 2010, hal 189) mendefinisikan reformasi pelayanan publik seperti dibawah ini: “…
public management reform consists of deliberate changes to the structures and processes of public organization with the
objective of getting them (in some sense) to run better. Structural changes may include merging or splitting public sector
organizations…. Process change may include the redesign of the system…wich encourcage public servant to be more cost
conscious and/or to monitor more closely the result their expenditures generates. Management reform frequently also embraces
changes to the system by which the public servants themselves are recruited, trained, appraised, promoted, disciplined and
declared redundant- these would be another kind of process change”. Reformasi pelayanan publik adalah perubahan sistematis,
menyeluruh dan berkesinambungan agar kinerja sektor publik semakin baik. Reformasi sektor publik mencakup bukan saja
unsur organisasi dan manajemen, tetapi juga sumber daya manusia. Perubahan-perubahan tersebut tidak hanya terfokus pada
perubahan kuantitas, namun juga kualitas. Suatu ketika, reformasi yang dilakukan akan berdampak terhadap melebar dan
menebalnya struktur birokrasi, tetapi di masa yang lain menuntut birokrasi menjadi lebih ramping dan pipih. Reformasi juga
dapat menyebabkan penambahan administrator publik, namun juga dapat mengakibatkan pengurangan administrator publik.
4. Strategi Reformasi Administrasi
Seperti yang sudah dijelaskan di atas untuk memperbaiki dari aspek kelembagaan dan aspek sumber daya manusia diperlukan
model pendekatan atau strategi dalam melakukan reformasi adminitrasi pada kedua aspek tersebut. Terkait dengan strategi
dalam reformasi administrasi, Zauhar (2007:77) “menyatakan bahwa reformasi administrasi berkaitan erat dengan pengertian
strategi, karena pada hakikatnya reformasi administrasi merupakan aktivitas untuk meningkatkan kemampuan memenangkan
peperangan melawan ketidakberesan administrasi dan beberapa jenis penyakit administrasi lainnya yang banyak dijumpai di
kebanyakan negara sedang berkembang”.
Selain itu Osborne (2000:45) “menyatakan ada 5 strategi reformasi administrasi yaitu:
a. Strategi Inti
Strategi inti ini berkaitan erat dengan tujuan dari suatu sistem dan organisasi pemerintahan. Tujuan dari suatu sistem dan
organisasi pemerintahan dijadikan strategi inti karena merupakan fungsi inti pemerintahan yaitu fungsi mengarahkan. Strategi
ini menghapus fungsi-fungsi yang tidak lagi menjalankan tujuan pemerintah yang sebenarnya. Strategi ini memisahkan fungsi
mengarahkan dari fungsi melaksanakan, sehingga setiap organisasi dapat memusatkan pada satu tujuan. Strategi ini juga
meningkatkan kemampuan pemerintah untuk mengarahkan dengan menciptakan mekanisme baru guna mendefinisikan tujuan
dan strategi. Strategi ini pendekatannya dengan pendekatan kejelasan tujuan, dan pendekatan kejelasan arah.
b. Strategi Konsekuensi
Strategi konsekuensi ini berkaitan erat dengan sistem insentif pemerintah. Sistem ini merupakan bagian penting dari sistem
pemerintahan dan birokratis memberi insentif yang kuat kepada pegawai untuk taat aturan dan tunduk. Inovasi hanya akan
membawa kesulitan sedangkan status quo terus-menerus mendatangkan hadiah. Pegawai dibayar sama tanpa memandang hasil
dan sebagain besar organisasi bersifat monopoli. Sistem insentif pemerintah yang disebutkan harus diubah menjadi insentif
dengan menciptakan konsekuensi atas kinerja yang dihasilkan.

c. Strategi Pelanggan
Strategi pelanggan ini memiliki pola yaitu menggeser sebagian pertanggungjawaban kepada pelanggan. Strategi ini memberi
pilihan kepada pelanggan mengenai organisasi yang memberikan pelayanan dan menetapkan standar pelayanan pelanggan
yang harus dipenuhi oleh organisasi-organisasi itu. Penciptaan pertanggungjawaban kepada pelanggan semakin menekan
organisasiorganisasi pemerintah untuk memperbaiki hasil-hasil kinerja mereka, tidak sekadar mengelola sumber daya mereka.
Strategi ini juga menciptakan informasi mengenai kepuasan pelanggan terhadap pelayanan dan hasil-hasil tertentu dari
pemerintah, dan strategi ini memberi organisasi-organisasi pemerintah sasaran tujuan yang tepat yaitu meningkatnya kepuasan
pelanggan.
d. Strategi Kontrol
Strategi kontrol pengendalian secara signifikan mendorong turun kekuasaan pengambilan keputusan melalui hierarki, dan
kadang-kadang keluar ke kelompok masyarakat. Strategi ini menggeser bentuk pengendalian yang digunakan dan aturan-aturan
yang rinci serta komando hierarkis ke misi bersama dan sistem yang menciptakan akuntabilitas kinerja. Strategi ini
memberdayakan organisasi dengan mengendurkan cengkeraman badan kontrol pusat.
e. Strategi Budaya
Dana sistem pemerintah kritis yang terakhir adalah dana yang menentukan budaya organisasi pemerintah yaitu mengenai nilai-
nilai, norma, sikap, dan harapan pegawai. Budaya sangat dipengaruhi oleh bagian dana yang lainya yakni tujuan organisasi,
sistem insentif, sistem pertangungjawaban, dan struktur kekuasaannya. Ubahlah unsur-unsur ini maka budaya akan berubah,
tetapi budaya tidak selalu berubah seperti apa yang diharapkan para pemimpinnya. Oleh karena itu, setiap organisasi yang telah
menggunakan empat strategi lainnya akhirnya harus memutuskan mengubah budaya organisasinya.

F. Reformasi Administrasi Publik Menuju Paradigma Baru


Reformasi telah lebih dari 16 tahun dijalankan di Indonesia. Perubahan dan dinamika sistem politik, sosial dan ekonomi telah
menyebabkan pula banyak perubahan yang signifikan di tanah air. Berbagai macam upaya dilakukan pemerintah untuk
memperbaiki sistem yang selama ini identik dengan sentralistik, konvensional, otoriter, militeristik dan berbagai julukan yang
diletakkan dengan sistem birokrasi dan administrasi pemerintahan kita. Setelah runtuhnya rezim orde baru, maka orientasi dan
paradigma sistem administrasi birokrasi perlahan mengalami perubahan yang signifikan. Reformasi administrasi dibutuhkan
tidak hanya oleh Indonesia, tetapi juga oleh negaranegara lainnya. Faktor-faktor seperti semakin terbukanya pasar bebas dunia,
kepentingan pasar terhadap pelayanan yang lebih professional, kompetisi global, dan tuntutan otonomi yang dimiliki oleh
masing-masing wilayah regional dan lokal menjadi pemicu bagi perubahan sistem administrasi publik yang ada. Gerakan
reformasi administrasi sendiri di berbagai belahan dunia telah menjadi suatu gerakan massif yang dilakukan sebagai bentuk
respons terhadap perubahan dinamika ekonomi, sosial, politik dan budaya di ranah global.

G. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Reformasi Administrasi Publik


Pada dasarnya gerakan reformasi administrasi disebabkan birokrasi tidak mampumerespons keinginan masyarakat. Traditional
bureaucracy yang merupakan konsepsi birokrasi yang selama ini kita kenal tidak bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan
masyarakat yang sangat pesat sehingga mereka tidak mampu memenuhi tuntutan publik. Secara terperinci dapat disebutkan 4
faktor yang mempengaruhi reformasi administrasi di negara-negara berkembang termasuk salah satunya Indonesia, yaitu
sebagai berikut.
1) Ketidakpuasan kepada pemerintah, yang bersumber pada terlalu besarnya organisasi pemerintah sehingga cenderung
mengkonsumsi seluruh sumber daya yang ada, postur kabinet kementerian/lembaga publik cenderung masih gemuk dan
terkesan bagi-bagi kursi bukan dilihat dari kebutuhan pasar publik dan kebutuhan masyarakat/rakyat, pemerintah terlalu
campur tangan dan melakukan kegiatan kegiatan yang sebenarnya bisa dilakukan oleh swasta dan masyarakat sendiri,
pemerintah dipandang menggunakan cara-cara usang dalam menerapkan manajemen baru.
2) Munculnya teori-teori ekonomi baru.
3) Globalisasi dan perdagangan bebas.
4) Perkembangan Sains, teknologi dan informasi serta komunikasi.
Umumnya negara-negara berkembang mempunyai ciri-ciri pola dasar sistem administrasinya merupakan tiruan atau jiplakan
dari sistem kolonial, kekurangan sumber daya yang berkualitas, cenderung mengutamakan atau berorientasi pada kepentingan
pribadi maupun kelompok, formalisasi birokrasi, cenderung bersifat otonom, sangat lamban dan birokratis, dan adanya unsur-
unsur non birokrasi dalam pengambilan keputusan.

Anda mungkin juga menyukai