Npm : CA231110446
Prodi : Perpajakan
Administrasi publik sebenarnya sudah ada sejak dahulu, yakni sejak masyarakat mulai dapat mengorganisasikan diri dan
kelompoknya dalam bentuk sistem penataan pemerintahan. Administrasi publik modern yang dikenal sekarang merupakan
produk dari suatu masyarakat feodal yang tumbuh subur di negara-negara Eropa (Thoha, 2005). Dasar-dasar pemikiran
administrasi publik modern diletakkan oleh Woodrow Wilson yang dituangkan dalam tulisannya yang diberi judul, "The Study
of Administration" yang diterbitkan pada tahun 1873. Konsep dari Wilson yang terkenal adalah pemisahan antara politik dan
administrasi publik. Banyak perkembangan teori administrasi publik yang dipelopori oleh banyak ahli. Adapun perkembangan
teori administrasi publik yang dikemukakan oleh para ahli, meliputi:
1. Teori Birokrasi Weber
Teori Weber sering disebut juga sebagai tipe ideal birokrasi. Menurut Weber, tipe ideal birokrasi ingin menjelaskan bahwa
suatu birokrasi atau administrasi itu mempunyai suatu bentuk yang pasti di mana semua fungsi dijalankan dalam cara- cara
yang rasional (Thoha, 2007). Weber mengemukakan beberapa konsepsi tentang tipe ideal birokrasi, yaitu:
a. Tugas-tugas pejabat diorganisasi atas dasar aturan yang berkesinambungan.
b. Tugas-tugas tersebut dibagi atas bidang-bidang yang berbeda sesuai dengan fungsi-fungsinya, yang masing-masing dilengkapi
dengan syarat otoritas dan sanksi-sanksi.
c. Jabatan-jabatan tersusun secara hierarkis yang disertai dengan rincian hak-hak kontrol dan pengaduan (complaint).
d. Aturan-aturan yang sesuai dengan pekerjaan diarahkan baik secara teknis maupun secara legal.
e. Anggota sebagai sumber daya organisasi berbeda dengan anggota sebagai individu pribadi.
Perkembangan administrasi publik baru tidak dapat dilepaskan dari perkembangan berbagai paradigma dalam ilmu
administrasi publik. Paradigma dapat diartikan sebagai perspektif yang dimiliki oleh komunitas keilmuan, yang terbentuk dari
keinginan dan komitmen (konseptual, teoritis, metodologis, instrumental). Sebuah paradigma menuntut scientific community
untuk melakukan seleksi terhadap sebuah masalah, evaluasi data, dan menganjurkan teori (Chilcote, 1998). Dalam ilmu
administrasi publik terdapat beberapa paradigma antara lain, sebagaimana diungkapkan melalui metode pendekatan matriks
loccus dan focus (2x2 matrix) dari Golembiewski (1977) yang menghasilkan empat fase dalam perkembangan ilmu administrasi
publik (www.ginanjar.com). Fase-fase tersebut adalah (1) fase perbedaan analitik politik dari administrasi; (2) fase perbedaan
konkret politik dari administrasi; (3) fase manajemen; dan (4) fase orientasi terhadap kebijakan publik. Golembiewski juga
mengetengahkan adanya tiga paradigma komprehensif dalam perkembangan pemikiran-pemikiran ilmu administrasi publik,
yakni: (1) paradigma tradisional; (2) paradigma sosial psikologi; dan (3) paradigma kemanusiaan (humanist/systemic). Nicholas
Henry (1995) dalam Thoha (2005), menggunakan pendekatan lain. menurutnya terdapat 5 paradigma ilmu administrasi publik,
yaitu:
1. Paradigma 1: Dikotomi Politik dan Administrasi, tahun 1990-1926 Paradigma 1, dikotomi politik dalam administrasi
menekankan pada lokus di mana administrasi publik seharusnya diletakkan. Jelas, dalam pandangan Goodnow dan rekan-
rekannya sesama pemerhati public administration, administrasi publik harus berpusat pada birokrasi pemerintah.
2. Paradigma 2: Prinsip- prinsip Administrasi, tahun 1927-1937 Pada masa ini lokus administrasi publik kurang diperhatikan,
sedangkan fokusnya adalah “prinsip-prinsip” manajerial yang dipandang berlaku universal pada setiap bentuk organisasi dan
lingkungan budaya. Perbedaan pendapat dari administrasi publik pada 1940-an salah satunya adalah keberatan bahwa politik
dan pemerintahan tidak akan pernah bisa dipisahkan. Kemudian yang lainnya adalah bahwa prinsipprinsip administrasi secara
logis tidak konsisten.
3. Administrasi Publik sebagai Ilmu Politik, tahun 1950-1970 Definisi fase ketiga ini sebagian besar adalah usaha membangun
kembali hubungan antara administrasi publik dan ilmu politik. Tapi konsekuensi dari usaha ini adalah untuk "mendefinisikan"
bidang ilmu ini, setidaknya dalam hal fokus analisis, "keahlian” esensial. Dengan demikian, tulisan-tulisan tentang administrasi
publik di tahun 1950-an berbicara tentang bidang ini sebagai “penekanan”, sebuah “daerah kepentingan”, atau bahkan sebagai
sinonim “ilmu politik”.
4. Administrasi Negara sebagai Ilmu Administrasi, tahun 1956-1970 Pada masa ini administrasi publik tetap menggunakan
paradigma ilmu administrasi, dengan mengembangkan pemahaman sosial psikologi, dan analisis sistem sebagai pelengkapnya.
Sebagai sebuah paradigma, ilmu administrasi memberikan fokus tapi tidak lokus.
5. Administrasi Publik sebagai Administrasi Publik, tahun 1970-Sekarang Kurangnya kemajuan dalam menggambarkan sebuah
lokus untuk bidang ini, atau urusan publik apa dan "resep untuk kebijakan publik" harus mencakup hal yang relevan dengan
administrator publik. Namun demikian, bidang ini tidak muncul untuk penekanan pada keunikan faktor-faktor sosial tertentu
untuk sepenuhnya dikembangkan negara sebagai lokus yang tepat.
Kartasasmita (1996) melakukan analisis reposisi terhadap paradigma administrasi pembangunan (birokrasi) yang selama 32
tahun memiliki peran yang besar dalam pembangunan bangsa, yaitu: perubahan dalam polarisasi:
1. Orientasi birokrasi bergeser dari yang kuat kepada yang lemah dan kurang berdaya;
Inti dari perubahan peran dan orientasi administrasi publik adalah bahwa bentuk organisasi birokrasi yang ada sekarang harus
berubah sesuai dengan tuntutan perubahan itu sendiri, yaitu bentuk organisasi yang terbuka, fleksibel, ramping atau pipih
(flat), efisiensi dan rasional, terdesentralisasi, kaya fungsi miskin struktur sehingga memungkinkan organisasi birokrasi lebih
cepat menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan. Bahkan menurut Mc Kinsey (Kristiadi:1997) desain organisasi ke depan
dicirikan oleh 7 S, yaitu:
1. system, 2. structure, 3. strategy, 4. staff, 5. skill, 6. leadership style, dan 7. share value.
C. Reformasi
Kata reformasi berasal dari kata bahasa asing “reformation” (Inggris) atau “reformatie” (Belanda). Kata dasar “reformation”
berasal dari kata “reform”, yang berarti membentuk kembali. “Reform” berasal dari kata “form” yang berarti bentuk atau
membentuk. Konsepsi dasar reformasi adalah melakukan perubahan, perbaikan, penataan, dan pengaturan secara
komprehensif dan sistematik terhadap banyak hal, terutama yang berkaitan dengan pimpinan dan kepemimpinan, serta sistem
bernegara, berorganisasi, dan berpemerintahan. Reformasi diartikan sebagai proses perubahan dari kondisi lama menuju
kondisi baru yang dikehendaki (Abidin, 2006:17). Sedangkan menurut pendapat Wibawa (2005:207208) adalah gerakan untuk
mengubah bentuk dan perilaku suatu tatanan, karena tatanan tersebut tidak lagi disukai atau tidak sesuai kebutuhan zaman –
baik karena tidak efisien, tidak bersih, tidak demokratis, dll. Menurut Hidayat (2007:1), reformasi adalah perbaikan atau
perubahan bentuk.
Dari beberapa pendapat tentang pengertian reformasi didapat suatu kesimpulan bahwa proses reformasi ini bermula sebagai
akibat dari adanya kesenjangan yang luas antara aspirasi dan keinginan masyarakat dengan kenyataan yang ada. Berbeda
dengan revolusi, ketika kesenjangan tidak mungkin lagi dijembatani sehingga menimbulkan gejolak perubahan yang dapat
menjungkirbalikkan landasan berpikir yang ada, reformasi jelas tidak memerlukan timbulnya perombakan secara menyeluruh.
Namun, karena perubahan itu terjadi pada bidang bidang yang strategis, dampaknya juga terasa di semua bidang kehidupan,
sehingga reformasi sering dipandang sebagai sebuah revolusi.
Reformasi administrasi publik menurut Suk Choon Cho (dalam Zauhar, 1996:10) adalah “administrative reform as a consious
human effort to introduce changes into the behavior and performances of administrators”. Dan reformasi administrasi publik
menurut Montgomery (dalam Hidayat, 2007:1), adalah suatu proses politik yang didesain untuk menyesuaikan hubungan antara
birokrasi dan elemen-elemen lain dalam masyarakat, atau di dalam birokrasi itu sendiri, dengan kenyataan politik.Sedangkan
menurut Ibrahim (2008:13), dan Zauhar (1996:11), reformasi administrasi publik adalah usaha yang sadar dan terencana untuk
mengubah struktur dan prosedur birokrasi (aspek reorganisasi kelembagaan, sikap, dan perilaku birokrat/aspek perilaku atau
kinerja), meningkat efektivitas organisasi (aspek program), sehingga dapat diciptakan administrasi publik yang sehat dan
terciptanya tujuan pembangunan nasional. Reformasi administrasi publik diartikan secara sederhana oleh Abidin (2006:19)
adalah proses reformasi atas paradigma dan sistem administrasi publik.
Tiga tujuan internal reformasi administrasi publik adalah sebagai berikut:
1. Efisiensi administrasi, dalam arti penghematan uang, yang dapat dicapai melalui penyederhanaan formulir, perubahan
prosedur, penghitungan duplikasi, dan kegiatan organisasi metode yang lain.
2. Penghapusan kelemahan atau penyakit administrasi seperti korupsi, pilih kasih dan sistem teman dalam sistem politik, dan
lain-lain.
3. Pengenalan dan penggalakan sistem merit, pemakaian PPBS, pemrosesan data melalui sistem informasi yang otomatis,
peningkatan penggunaan pengetahuan ilmiah, dan lain-lain.
Sedangkan 3 tujuan lain yang berkaitan dengan masyarakat adalah:
1. Menyesuaikan sistem administrasi terhadap meningkatnya keluhan masyarakat.
2. Mengubah pembagian pekerjaan antara sistem administrasi dan sistem politik, seperti misalnya meningkatkan otonomi
profesional dari sistem administrasi dan meningkatkan pengaruhnya pada suatu kebijakan.
3. Mengubah hubungan antara sistem administrasi dan penduduk, misalnya melalui relokasi pusat-pusat kekuasaan
(sentralisasi versus desentralisasi, demokratisasi danlain-lain).
Strategi reformasi terhadap administrasi reformasi menurut Abidin (2006:27) dapat dilakukan melalui:
1. Peningkatan kemampuan birokrasi agar mampu mewujudkan kebijakan-kebijakan yang normatif menjadi kenyataan di
lapangan. Hal ini dapat dilakukan melalui perbaikan institusi publik, perbaikan prosedur pelayanan, dan peningkatan
kemampuan sumber daya manusia aparatur.
2. Perbaikan prosedur dan tata laksana pengelolaan kekayaan negara dengan mendahulukan kepentingan publik, keselamatan
kekayaan negara, dan kebenaran secara hukum.
3. Penetapan pejabat publik melalui kriteria dan prosedur terbuka dengan menempatkan persyaratan ketaatan, kejujuran, dan
keahlian sebagai syarat pokok.
Keban (2004:7) “menyatakan bahwa ada beberapa makna penting yang harus diingat berkenaan dengan hakikat administrasi
publik, yaitu:
a. Bidang tersebut lebih berkaitan dengan dunia eksekutif, meskipun juga berkaitan dengan dunia yudikatif dan legislatif.
c. Strategi Pelanggan
Strategi pelanggan ini memiliki pola yaitu menggeser sebagian pertanggungjawaban kepada pelanggan. Strategi ini memberi
pilihan kepada pelanggan mengenai organisasi yang memberikan pelayanan dan menetapkan standar pelayanan pelanggan
yang harus dipenuhi oleh organisasi-organisasi itu. Penciptaan pertanggungjawaban kepada pelanggan semakin menekan
organisasiorganisasi pemerintah untuk memperbaiki hasil-hasil kinerja mereka, tidak sekadar mengelola sumber daya mereka.
Strategi ini juga menciptakan informasi mengenai kepuasan pelanggan terhadap pelayanan dan hasil-hasil tertentu dari
pemerintah, dan strategi ini memberi organisasi-organisasi pemerintah sasaran tujuan yang tepat yaitu meningkatnya kepuasan
pelanggan.
d. Strategi Kontrol
Strategi kontrol pengendalian secara signifikan mendorong turun kekuasaan pengambilan keputusan melalui hierarki, dan
kadang-kadang keluar ke kelompok masyarakat. Strategi ini menggeser bentuk pengendalian yang digunakan dan aturan-aturan
yang rinci serta komando hierarkis ke misi bersama dan sistem yang menciptakan akuntabilitas kinerja. Strategi ini
memberdayakan organisasi dengan mengendurkan cengkeraman badan kontrol pusat.
e. Strategi Budaya
Dana sistem pemerintah kritis yang terakhir adalah dana yang menentukan budaya organisasi pemerintah yaitu mengenai nilai-
nilai, norma, sikap, dan harapan pegawai. Budaya sangat dipengaruhi oleh bagian dana yang lainya yakni tujuan organisasi,
sistem insentif, sistem pertangungjawaban, dan struktur kekuasaannya. Ubahlah unsur-unsur ini maka budaya akan berubah,
tetapi budaya tidak selalu berubah seperti apa yang diharapkan para pemimpinnya. Oleh karena itu, setiap organisasi yang telah
menggunakan empat strategi lainnya akhirnya harus memutuskan mengubah budaya organisasinya.