Anda di halaman 1dari 11

Sejarah Perkembangan Studi Administrasi Publik

Ilmu Administrasi Negara sebagai suatu kajian yang multidisipliner berada dalam
kondisi transisi. Ilmu ini senantiasa berada dalam suatu proses perkembangan yang tidak
menuju ke satu arah saja, melainkan menuju ke berbagai arah. Perubahan terjadi semenjak
awal tahun 1990- an, membuat ilmu administrasi Negara berada dalam proses perubahan
yang dinamis. Bahkan Waldo (1968) dalam Toha, (2008) mencatat, bahwa perubahan yang
sedang berlangsung saat itu sebenarnya merefleksi suatu identitas krisis dalam pembentukan
suatu disiplin ilmu pengetahuan termasuk ilmu administrasi Negara ini. Menurut Lynn
(1966). Waldo juga memberikan sinyal bahwa perjuangan administrasi Negara untuk
memperoleh rekognisi dan legitimasi sebagai suatu seni (an art), ilmu pengetahuan (a body of
knowledge) dan suatu profesi (a profession) sudah amat dikenal semenjak lahirnya disiplin
ini.

Pada dasawarsa terakhir ini perjuangan untuk menunjukan keunikan dan keaslian
adinistrasi Negara terus berlangsung, bahkan beberapa akademisi mengatakan semakin
intensif. Dimuali dari awal lahirnya, kajian administrasi Negara memusatkan pada locus dan
boundary pada on going state senantiasa mengundang banyak perdebatan. Membahas arti
“public” pada “administration” dan integrasi dari dua konstruksi itu kedalam suatu bangunan
kajian ilmu pengetahuan senantiasa memberikan harapan dan persoalan (Vigoda, 2002)

Di Indonesia dilihat dari perspektif akademis kelihatan ilmu administrasi Negara


masih banyak mengkopi perkembangan yang terjadi di Negara-negara maju. Sementara
dilihat dari program kegiatan dari pemerintahan dan reformasi administrasi pemerintahan
sudah ada kemajuan dan perkembangan semenjak Bung Karno dan Soeharto. Adapun
sekarang ini tampaknya masih berada dalam kondsi transisi belum menunjukan arah yang
jelas kemana reformasi administrasi akan diarahkan.

A. Perkembangan Ilmu Administrasi Negara

Overview singkat terhadap perkembangan sejarah adminsitrasi Negara modern


modern perlu disinggung disini guna memahami tingkat perkembangannya hingga saat ini.
Ilmu administrasi Negara dilahirkan pada abad ke-19, ketika perhatian masyarakat akademisi
mulai tertarik mengamati kegiatan-kegiatan suatu Negara (the bussines of the state). Revolusi
yang mengubah administrasi negara menjadi suatu ilmu dan profesi yang independen, aslinya
tidak bisa dipisahkan dari upaya dan visi yang amat berpengaruh dari tokoh Woodrow
Wilson (1887) dan Frank J. Goodnoe (1900). Dua pemikir ini yang pertama kali diantara
tokoh-tokoh lain yang mempertahankan kemandirian ilmu ini. Ditekankan bahwa ilmu ini
mempunyai karakteristik bidang kajian keilmuan yang subtansinya bisa berawal dari berbagai
disiplin ilmu lain. Pada awal perkembangannya sebagai bidang kajian keilmuan, ilmu-ilmu
hokum, politik, dan beberapa ilmu lain yang tergolong “hard science” seperti engineering dan
hubungan industrial yang menarik perhatian ilmu administrasi Negara sebagai domain
kajiannya. Untuk waktu yang cukup panjang ilmu-ilmu tersebut memberikan pengaruh kuat
terhadap masa transisi dan terbentuknya ilmu administrasi Negara. Namun keluasan dan
kedalaman pengaruh itu tidaklah bisa berlangsung secara linier dan konsisten.

Perhatian adminsitrasi Negara tradisional sebagaimana yang dikemukakan oleh


pelopor pendahulu senantiasa tidak bisa dipisahkan dengan kekuasaan hukum (the power of
low) wakil-wakil rakyat dilembaga perwakilan membuat hukum dan didelegasikan
responsibilitasnya itu kepada birokrat yang professional untuk melaksanakan hukum tersebut.
Menurut Rosembloom (1998) pendekatan legal memandang administrasi Negara sebagai
upaya untuk mengamalkan dan memaksa hukum ke tataran lingkungan yang nyata (as
applying and enforcing the low in concrete circumstances). Pendekatan kekuasaan hukum ini
bersumber pada tiga hal utama yakni : (1) administrative law, dimana hukum sebagai body of
law and regulation mengendalikan proses administrasi; (2) peradilan administrasi Negara,
adanya kecenderungan bahwa setiap persoalan dalam proses administrasi diselesaikan
menurut prosedur peradilan; dan (3) hukum konstitusional, bahwa semua dan macam-
macam warga Negara dirumuskan kembali hak dan kemerdekaanya. Dengan demikian,
adminsitrasi Negara adalah hukum in action dan suatu system yang teregulasi. Dengan kata
lain “pemerintah mengatakan kepada warganya baik sipil maupun pengusaha apa yang boleh
dan apa yang tidak boleh dikerjakan”

Seperti dketahui bersama bahwa bertahun-tahun hukum itu sendiri tidak mampu
memelihara kondisi yang bisa memuaskan timbulnya kinerja pengelolaan sector public.
Memang diakui bahwa system konstitusional bisa memberikan kinerja yang sehat terhadap
administrasi Negara, akan tetapi jika ditinjau dari prinsip efisiensi efektivitas maka hasilnya
akan jauh dari harapan. Hukum yang baik adalah amat diperlukan, tetapi ia bisa juga
melahirkan kondisi inefisien untuk menciptakan kinerja pelayanan public yang baik.
Administrasi Negara concern tentang bagaimana sesuatu itu bisa segera diselesaikan sebaik-
baiknya, hukum mengutamakan prosedur kebsahan menurut konstitusinya. Inilah sebabnya
administrasi Negara berangsur-angsur memalingkan pandangannya ke disiplin lain.

Salah satu disiplin yang kemudian memberikan kontribusi terhadap ilmu administrasi
Negara seperti disinggung diatas adalah ilmu-ilmu keras klasik, yakni engineering dan
industrial relations. Revolusi industry yang terjadi tahun 1900-an yang disertai dengan
reformasi politik demokratisasi berkualitas (higer democratization) dan keprihatinan terhadap
kesejahteraan hidup rakyat, semuanya ini memerlukan navigator yang sangat unggul dan
kualified. Kebutuhan tersedianya para insinyur, entrepreneur industri, dan tekhnisi dan
professional yang bisa mengendalikan baik pasar maupun pemerintahan amat diperlukan.
Berbagai bidang dan metode keinsinyuran dan studi industrial mulai dipergunakan oleh ilmu
administrasi Negara. Metode statistic mulai popular dikalangan sarjana administrasi. Saat itu
statistic dijadikan sebagai ukuran untuk menilai penelitian administrasi Negara baik atau
tidak. Management science yang banyak menggunakan ilmu keinsinyuran mulai menular
dipakai dalam ilmu Administrasi Negara. Hubungan yang telah terjalin lebih dulu antara
manajemen umum dengan administrasi yang berakar pada upaya memahami terhadap
kompleks dan rumitnya persoalan-persoalan organisasi menganut kesamaan dalam
membangun feature ilmu administrasi Negara ke depan. Mulai saat itu terjadi perubahan yang
dramatis dari sifat, orientasi, dan aplikasi teori umum organisasi sabagai salah satu unsure
pokok ilmu administrasi Negara. Penelitian Elton Mayo pakar psikologi industri dari Harvard
Business School yang dilakukan tahun 1920 dan tahun 1930 yang dikenal dengan studin
Howthorn membuktikan bahwa pengaruh kuat industri relations terhadap administrasinegara
tidak lagi bisa diabaikan.

Pendekatan industrial yang lebih banyak mengemukakan ilmu perilaku (behavior


science) mulai mewarnai ilmu administrasi Negara, sehinGga pada waktu itu banyak
diterbitkan tulisan dalam jurnal dan buku-buku literature tentang perilaku organisasi.
Diantara jurnal yang terbit saat itu antara lain Journal of Applied Behavior Science, Quartely,
1965, diterbitkan oleh national Institute for Applied Behavior Science: organization Behavior
and Human Performance, Bimontly, 1966.

Buku Fred Luthan, Organization Behavior yang diterbitkan tahun 1981, merupakan
buku- buku wajib yang harus oleh mahasiswa pascasarjana Amerika saat itu, sekarang ilmu
perilaku organisasi banyak diajarkan pada program-program master dan doctoral disekolah-
sekolah business administration. Buku-buku terbitan McGraw-Hill, seperti karangan Robert
Kreitner dan engelo Kinicki (2004) dari Arizona State University Organization Behavior dan
karangan lainnya masih banyak dikembangkan. Perubahan-perubahan ilmu administrasi
belum berhenti sampai pada tataran statistic dan ilmu perilaku. Waktu berjalan terus seiring
dengan berjalannya perubahan. Konflik internasional yang terjadi tahun 1930-an dan tahun
1940-an mendorong kuat timbulnya perubahan ideology nasional dan perspektif paham
demokrasi di masyarakat Negara- negara barat. Konsekuensinya kejadian ini berpengaruh
terhadap perkembangan ilmu administrasi Negara dan teori kebijakan public (public policy).
Perang dunia kedua memfasilitasi pemimpin politik (political leader) dan gerakan- gerakan
sosial masyarakat demokratis untuk melakukan reformasi manajemen Negara-negara barat.
Hubungan kondisi sosial dan ekonomi dengan stabilitas politik yang berupa semakin
massive-nya program-program pembangunan ekonomi pemerintah dan administrasi Negara
ikut berperan secara aktif. Perhatian pemerintah mulai diperlihatkan dengan menciptakan
kinerja pelayanan public yang semakin baik dan berkualitas, perencanaan jangka panjang,
dan kinerja jasa penyampaian barang-barang public (public goods) kepada penduduk semakin
berkembang. Menciptakan kehidupan masyarakat yang semakin baik merupakan targetnya,
dan alat untuk mewujudkan itu adalah membangun sector public yang besar dan produktif.
Disini ilmu administrasi Negara memberikan kontribusi dan memainkan peran yang amat
besar. Diantara publikasi yang terkena; saat itu antara lain; Yehezkel Dror (1968) menulis
Public making Reexamined, Thomas R. Dye, (1981), Understanding Public Policy, William
Dunn, (1981) Public Policy, Carl Bellone (1980) menulis tentang Organization Theory and
the New Public Administration.

Keinginan untuk memahami ilmu administrasi Negara secara komprehensif tidak


bisadilakukan kalau tidak ditelusuri suatu proses akumulasi dari disiplin ilmu-ilmu lain. Akan
tetapi, banyak juga tulisan- tulisan para pemikir “public system” mengadopsi “unidimension
viewpoint” ilmu administrasi Negara oleh karena itu, tidak jarang kita jumpai tulisan tulisan
yang memandang ilmu administrasi Negara dari satu perpektif, seperti misalnya kebijakan
public, manajemen science, atau juga hanya dilihat dari domain kajian tentang organisasi,
manakala ilmu administrasi Negara hanya dilihat dari satu dimensi saja, misalnya dibatasi
pada ilmu politik atau manajemen, maka tidak bisa kita memotret boundary dan sifat dari
ilmu ini. Itulah sebabnya banyak pemikiran yang mengajukan pandangan “multidimensi”
untuk memahami keaslian dimensi ini. Pendapat Eran Vigoda (2002) ada tiga disiplin ilmu
sebagai “core Sources” dari ilmu administrasi Negara, tiga disiplin itu adalah : (1) political
science and Policy analysis; (2) sosiologi dan cultural studies; (3) manajemen organisasi dan
business science, termasuk didalamnya ilmu perilaku organisasi dan human resources, dapat
juga disebut istilah the human side of public system. Walaupun tiga disiplin ini sebagai
sumber inti akan tetapi ilmu hukum masih kuat juga berpengaruh terhadap eksistensi ilmu
administrasi sekarang dan dimasa akan datang. Sebenarnya sekitar tahun 1980 Dwight Waldo
bersamaan dengan gejolak perkembangan ilmu ini Waldo menulis The Enterprise of public
Administration. Buku ini merupakan tulisan yang memberikan summary dari locus, focus dan
bahkan pandangan pandangan Waldo terhadap ilmu ini sampai tahun 2000. Waldo
menguraikan sedikit lebih lengkap identitas ilmu administrasi public.

Pada dasawarsa terakhir perkembangan ilmu administrasi Negara mengalami banyak


kemajuan. Upaya untuk mencari new ideas dan solusi mengatasi persoalan-persoalan
identitasnya, dapat kita jumpai dalam tulisan-tulisan tentang ilmu administrasi Negara. Salah
satu diantaraya membahas Reengineering Bureaucracy oleh Hammer dan Champy (1994),
yang mengemukakan pendekatan “strategy benchmarking” ditulis oleh Champ R. (1998),
yang membahas tentang “Reinfenting Government” David Osborne dan Ted Geabler (1992),
dan tulisan yang amat berpengaruh sampai sekarang ini mengenai “New Public
Management” (Lynn, 1998 dan juga Steward dan Ranson, 1994). Sementara itu, tulisan yang
memberikan warna teknologi dalam organisasi yakni “T-Form Organization” oleh Henry and
Lucas (1966).

B. Ilmu Administrasi Negara di Indonesia

Secara teoritis perkembangan ilmu administrasi Negara di Indonesia tidak ada yang
istimewa, bahkan mengikuti perkembangan di Negara naju lainnya. Apa yang terjadi di
Amerika misalnya, diimport oleh para pakar di Indonesia diintroduksi sebagai barang baru.
Penelitian dibidang ilmu ini belum banyak yang mengenalkan temuan baru. Entah karena
para peneliti, pengajar, dan pemerhati atau karena pemerintah (pengasaa) yang tidak
mempunyai perhatian terhadap perkembangan ilmu ini atau entah karena penyebab lainnya,
sehingga perkembangan ilmu ini tidak banyak yang bisa diceritakan.
Perkembangan ilmu administrasi Negara di Indonesia tampaknya terpengaruh dengan
apa yang sekarang dikembangkan di Amerika Serikat atau di negara- negara lain. Amerika
Serikat (AS) tampaknya masih dipandang sebagai barometer dari perkembangan ilmu
administrasi Negara. Perubahan paradigma manajemen pemerintahan yang berlangsung di
AS dengan mudah ditransfer menjadi perubahan paradigma di Indonesia, perubahan
renventing government di AS dengan mudah pula dikembangkan dalam administrasi
pemerintahan. Demikian pula perubahan paradigma dari government ke governance yang
dikenalkan UNDP dikopi dengan mudah menjadi program pengembangan tata
kepemerintahan yang baik (Good Governance). Banyak tulisan-tulisan dan program
pendidikan dan perubahan paradigma didalam manajemen pemerintahan dan ilmu
administrasi Negara.
Jika diamati dari program kegiatan pemerintah dalam melakukan perbaikan,
pengembangan dan perubahan dibidang administrasi pemerintahan ada kemajuan. Program
diklat (pendidikan pelatihan) bagi aparat pemerintah dari hari kehari semakin banyak. Diklat
structural untuk pendidikan pejabat yang akan dan telah menduduki jabatan structural
semenjak pelaksanaan otonomi daerah senantiasa meningkat. Dalam 5 tahun terakhir ini
diklat structural (diklat pimpinan II) untuk eselon II dipusat maupun didaerah lebih dari 10
ibu pejabat. Data yang diperoleh dari lembaga administrasi Negara sebagai lembaga
penyelenggara diklat nasional untuk semua pejabat eselon (terutama eselon II dan I) mulai
tahun 2001 sampai dengan tahun 2004 telah mendiklat pejabat eselon II sebanyak 12.186
pejabat, dan eselon I sebanyak 228 pejabat.

C. Dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik

Sejarah tentang perubahan Ilmu Administrasi Negara masih terus berulang.


Upayamendefinisikan diri Ilmu Administrasi Negara sebagai ilmu administrasi pemerintahan
sebagaimana dijelaskan sebelumnya ternyata tidak berlangsung lama. Dinamika lingkungan
administrasi negara yang sangat tinGgi kemudian menimbulkan banyak pertanyaan tentang
relevansi keberadaan Ilmu Administrasi Negara sebagai administrasi pemerintahan. Gugatan
tersebut terutama ditujukan pada lokus Ilmu Administrasi Negara yang dirasa tidak memadai
lagi. Menurut Dwiyanto (2007) lembaga pemerintah dirasa terlalu sempit untuk menjadi
lokus Ilmu Administrasi Negara. Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa lembaga
pemerintahan tidak lagi memonopoli peran yang selama ini secara tradisional menjadi
otoritas pemerintah. Saat ini semakin mudah ditemui berbagai lembaga non- pemerintahyang
menjalankan misi dan fungsi yang dulu menjadi monopoli pemerintah saja.
Disisi yang lain, organisasi birokrasi juga tidak semata-mata memproduksi barang dan
jasa publik, tetapi juga barang dan jasa privat. Pratikno (2007) juga memberikan konstatasi
yang sama. Saat ini negara banyak menghadapi pesaing-pesaing baru yang siap menjalankan
fungsi negara, terutama pelayanan publik, secara lebih efektif. Selain pelayanan publik,
dalam bidang pembangunan ekonomi dan sosial, negara juga harus menegosiasikan
kepentingannya dengan aktor-aktor yang lain, yaitu pelaku bisnis dan kalangan civil society
(masyarakat sipil). Secara lebih tegas, Miftah Thoha (2007) bahkan mengatakan telah terjadi
perubahan paradigma “ dari orientasi manajemen pemerintahan yang serba negara menjadi
berorientasi ke pasar (market). Menurut Thoha, pasar di sini secara politik bisa dimaknai
sebagai rakyat atau masyarakat (public).
Fenomena menurunnya peran negara ini merupakan arus balik dari apa yang disebut
Grindlesebagai too much state, di mana Negara pada pertengahan 1980-an terlalu banyak
melakukan intervensi yang berujung pada jeratan hutang luar negeri, krisis fiskal, dan
pemerintah yang terlalu sentralistis dan otoriter. Dwiyanto (2007) menyebut setidaknya ada
empat faktor yang menjadi sebab semakin menurunnya dominasi peran negara, yaitu:
1. Dinamika ekonomi, politik dan budaya yang membuat kemampuan pemerintah
semakin terbatas untuk dapat memenuhi semua tuntutan masyarakat;
2. Globalisasi yang membutuhkan daya saing yang tinggi di berbagai sektor menuntut
makin dikuranginya peran negara melalui debirokratisasi dan deregulasi;
3. Tuntutan demokratisasi mendorong semakin banyak munculnya organisasi
kemasyarakatan yang menuntut untuk dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan
dan implementasinya;
4. munculnya fenomena hybrid organization yang merupakan perpaduan antara
pemerintah dan bisnis.

Berbagai fenomena tersebut menimbulkan gugatan di antara para mahasiswa maupun


ilmuwan Ilmu Administrasi Negara: Apakah masih relevan menjadikan pemerintah sebagai
lokus studi Ilmu Administrasi Negara? Pemaparan di atas menunjukkan bahwa kata "negara‟
dalam Ilmu Administrasi Negara menjadi terlalu sempit dan kurang relevan lagi untuk
mewadahi dinamika Ilmu Administrasi Negara di awal abad ke 21 yang semakin kompleks
dan dinamis. Utomo (2007) menyebutkan bahwa dalam perkembangan konsep Ilmu
Administrasi Negara telah terjadi pergeseran titik tekan dari negara yang semula diposisikan
sebagai agen tunggal yang memiliki otoritas untuk mengimplementasikan berbagai kebijakan
publik menjadi hanya sebagai fasilitator bagi masyarakat.
Dengan demikian istilah public administration tidak tepat lagi untuk diterjemahkan
sebagai administrasi negara, melainkan lebih tepat jika diterjemahkan menjadi administrasi
publik. Sebab, makna kata ‟publik‟ di sini jauh lebih luas daripada kata ‟negara‟ (Majelis
Guru Besar dan Jurusan Ilmu Administrasi Negara UGM, 2007: x). Publik di sini
menunjukkan keterlibatan institusi-institusi non-negara baik di sektor bisnis maupun civil
society di dalam pengadministrasian pemerintahan. Konsekuensi dari perubahan makna
public administration sebagai administrasi publik di sini adalah terjadinya pergeseran lokus
Ilmu Administrasi Negara dari yang sebelumnya berlokus pada birokrasi pemerintah menjadi
berlokus pada organisasi publik, yaitu birokrasi pemerintah dan juga organisasi-organisasi
non-pemerintah yang terlibat menjalankan fungsi pemerintahan, baik dalam hal
penyelenggaraan pelayanan publik maupun pembangunan ekonomi, sosial maupun bidang-
bidang pembangunan yang lain. Dengan adanya pergeseran makna ‟publik‟ sebagaimana
dijelaskan di atas, maka ilmu administrasi publik telah menemukan lokusnya secara lebih
jelas. Intinya, semua aktivitas yang terjadi pada birokrasi pemerintah dan organisasi-
organisasi non-pemerintah yang menjalankan fungsi pemerintah menjadi bidang perhatian
ilmuwan administrasi publik.
Apabila lokus ilmu administrasi publik menjadi semakin jelas, pertanyaan berikutnya
adalah apa yang seharusnya menjadi fokus perhatian ilmuwan administrasi publik.
Kegelisahan tersebut kemudian dijawab dengan munculnya studi kebijakan publik sebagai
pokok perhatian ilmuwan administrasi publik. Hal ini merupakan implikasi yang sangat
logiskarena kebijakan publik merupakan output utama dari pemerintah (Dwiyanto, 2007).
Bagipemerintah, kebijakan merupakan instrumen pokok yang dapat dipakai untuk
mempengaruhi perilaku masyarakat dalam upaya memecahkan berbagai persoalan publik
(public affairs). Upaya tersebut dapat dilakukan dengan menGgunakan kebijakan domestik
yang bersifat: distributive policy, protectiveregulatory policy, competitive regulatory policy,
dan redistributive policy (Ripley, 1985: 60). Dwiyanto (2007) dengan mengutip pendapat
Denhardt mengatakan bahwa tinGginya minat ilmuwan administrasi publik untuk
memusatkan perhatian pada studi kebijakan semakin meningkatkan keyakinan bahwa para
administrator memiliki intensitas yang tinggi dalam proses perumusan kebijakan publik. Hal
ini juga semakin menguatkan argumen bahwa ilmu administrasi publik memang tidak dapat
dipisahkan dari induknya Ilmu Politik, sebab proses perumusan kebijakan itu sendiri tidak
hanya dilakukan melalui tahapan yang bersifat teknokratis akan tetapi juga melampaui
tahapan yang bersifat politis. Tahapan teknokratis dalam proses perumusan kebijakan
memiliki posisi sentral. Sebab, pada tahapan ini berbagai solusi cerdas sebagai upaya
memecahkan persoalan masyarakat digodok agar dapat dirumuskan serangkaian alternatif
kebijakan yang dapat dipilih oleh para policy maker melalui proses politik. Pentingnya proses
teknokratis dalam pembuatan kebijakan semakin membuat analisis kebijakan publik menjadi
keahlian yang sangat vital yang dibutuhkan oleh para praktisi administrasi publik.
Berbagai tokoh seperti William N. Dunn (1981), Carl Patton dan David Sawicki
(1983), Arnold J. Meltsner (1986), dan lain-lain telah menghasilkan berbagai buku penting
sebagai acuan para ilmuwan dan praktisi administrasi publik dalam melakukan kegiatan
analisis kebijakan publik. Selain itu, kenyataan bahwa kebijakan yang telah dirumuskan tidak
selalu menjamin implementasinya akan berjalan mulus juga memicu munculnya
studiimplementasi kebijakan publik di dalam ilmu administrasi publik. Para ilmuwan seperti
Jeffrey Pressman dan Aaron Wildavsky (1984), Merilee Grindle (1980), Malcolm Goggin
et.al (1990) merupakan sebagian ilmuwan yang menjadi pelopor pengembangan studi
implementasi dalam disiplin Ilmu Administrasi Publik. Dengan adanya perkembangan
terakhir tersebut menjadikan Ilmu Administrasi Publik memiliki lokus dan fokus yang lebih
jelas. Lokus studi ini adalah organisasi publik, sementara fokus perhatiannya adalah
persoalan publik (public affairs) dan bagaimana persoalan tersebut dipecahkan dengan
instrumen kebijakan publik. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, kegelisahan ilmuwan
administrasi publik tidak hanya berhenti sampai di sini. Buku Owen E. Hughes (1998) yang
berjudul Public Management and Administration merupakan pemikiran yang memicu
perlunya perubahan dalam mendefinisikan Ilmu Administrasi Publik.
Jika di masa-masa sebelumnya yang dipersoalkan adalah makna public pada public
administration yang kemudian bergeser dari administrasi negara menjadi administrasi public.
Hughes memulai diskusi dengan menganjurkan untuk menggunakan istilah manajemen
publik daripada administrasi publik. Pemikiran Hughes tersebut memang tidak dapat
dipisahkan dari perkembangan paradigma Ilmu Administrasi Publik yang terjadi pada eram
1990an yang mencoba memperbarui mekanisme pengelolaan birokrasi public yang dikenal
sangat hirarkis, lamban, dan tidak efisien dengan mengadopsi prinsip- prinsip yang
diterapkan pada manajemen bisnis. Keluhan tentang tidak relevannya prinsip-prinsip
birokrasi Weberian sudah sering disampaikan. Apa yang disampaikan oleh Al Gore
sebagaimana dikutip oleh Hughes (1998: 3) tentang buruknya sistem birokrasi yang bekerja
atas dasar prinsip Old Public Administration barangkali mewakili pemimpin negara yang
lain: in today‘s world of rapid change, lightning-quick information technologies, tough global
competition, and demanding customers, large, top-down bureaucracies –public or private—
don‘t work very well Merespon persoalan tersebut, beberapa pemikir kemudian mengajukan
gagasan mereka, seperti: managerialism (Pollit, 1993), new public management (Hood,
1991), market-based public administration (Lan, Zhioying & Rosenbloom, 1992), dan post-
bureaucratic paradigm (Barzelay, 1992). Namun yang paling fenomenal tentu saja pemikiran
Osborne dan Gaebler (1992) tentang entrepreneurial government yang ditulis dalam buku
mereka yang menjadi best seller, yaitu Reinventing Government. Gagasan mereka kemudian
diadopsi secara luas di berbagai Negara setelah pemerintahan Clinton-Gore di Amerika
Serikat mengadopsinya secara sukses. Selain di Amerika, gagasan untuk mengembangkan
paradigma public managerialism dalam disiplin Ilmu Administrasi Publik juga terjadi di
Eropa, terutama di Inggris ketika tekanan terhadap keterbatasan anGgaran bagi penyediaan
layanan publik telah memaksa pemerintahan Margaret Thacher untuk menerapkan berbagai
upaya guna lebih mengefisienkan pelayanan publik di Inggris. Rhodes (1991) menyerukan
perlunya diterapkan semboyan “3Es” atau economy, efficiency dan effectiveness agar
pelayanan publik di Inggris menjadi lebih efisien.
Berbagai realitas sebagaimana digambarkan di atas membawa pada suatu cakrawala
baru di antara para ilmuwan administrasi negara untuk sampai pada suatu kesimpulan bahwa
administrasi publik yang berkonotasi sempit perlu diubah menjadi manajemen publik yang
lebih memiliki jangkauan yang lebih luas sebagaimana dikatakan oleh Hughes (1998: 4): It is
argued here that administration is a narrower and more limited function than management.
Dalam argumentasinya lebih lanjut, Hughes mengatakan bahwa menurut definisi kamus, kata
"manajemen‟ memiliki makna yang lebih luas dibandingkan "administrasi‟. Dari berbagai
definisi kamus yang ada (Oxford English Dictionary,Webster Dictionary dan Latin
Dictionary) dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa administrasi lebih dimaknai sebagai proses
dan prosedur yang harus dipatuhi oleh seorang administrator dalam menjalankan tugasnya
untuk memberikan pelayanan publik. Sedangkan manajemen memiliki arti lebih luas, yaitu
tidak hanya sekedar mengikuti prosedur, melainkan berkaitan juga dengan: pencapaian target
dan tanggung jawab bagi manajer untuk mencapai target-target yang telah ditetapkan.
Selain alasan tersebut, Hughes (1998: 6) juga menyebut semakin meluasnya
penggunaan istilah "manajemen‟ dan "manajer‟ di sektor publik. Sementara di sisi yang lain,
penggunaan istilah ‟administrasi‟ justru mengalami penurunan. Di Indonesia sendiri, sejak
pemerintahan Kolonial Belanda berakhir, penggunaan istilah ‟administrasi‟ di dalam
birokrasi pemerintah semakin jarang digunakan. Kalaupun digunakan, istilah ‟administrasi‟
telah mengalami kemerosotan makna sebagai konsep untuk menggambarkan pekerjaan ketik-
mengetik atau sesuatu yang berkaitan dengan pemenuhan prosedur surat- menyurat (cf.
Utomo, 2007: 131). Apa yang terjadi tersebut menunjukkan bahwa istilah ‟manajemen‟
memiliki makna lebih superior dibandingkan istilah "administrasi‟. Oleh karena itu Hughes
(1998: 6) kemudian mengatakan bahwa: As part of the general process public administration‘
has clearly lost favor as a description of the work carried out; the term manager‘ is more
common, where once administrators‘ was used. Dukungan terhadap pendapat Hughes juga
diberikan oleh Pollitt (1993: vii) yang menyebutkan: formerly they were called
administrators‘, principal officers‘, finance officers‘ atau assistant directors‘. Now, they are
managers‘. Tentu saja, pentingnya perubahan dari administrasi menjadi manajemen bukan
hanya sekedar sebuah pergantian istilah. Perubahan tersebut akan berimplikasi pada bangun
teoritis yang perlu dikembangkan untuk mendukung perubahan nama dari administrasi
menjadi manajemen, misalnya menyangkut bagaimana akuntabilitas disampaikan, hubungan
eksternal, dan konsepsi tentang pemerintahan sendiri yang juga akan turut berubah.
Konsekuensi dari perubahan nama "administrasi publik‟ ke "manajemen publik‟ secara
epistimologis juga berpengaruh terhadap cara bagaimana ilmuwan administrasi publik ke
depan mengembangkan ilmu ini. Jika selama ini ilmuwan administrasi publik lebih berkutat
pada diskusi yang bersifat filosofis tentang administrasi, standar etika dan norma bagi
manajer publik dalam menjalankan tugasnya, maka ke depan jika administrasi publik berubah
menjadi manajemen publik, orientasi keilmuan dari disiplin ini juga akan bergeser pada hal-
hal yang lebih empirikal tentang bagaimana mengembangkan keilmuan untuk membantu
manajer publik mencapai tujuan organisasi, bagaimana meningkatkan kemampuan manajerial
mereka dan bagaimana meningkatkan akuntabilitas para manajer publik tersebut di depan
masyarakat. Untuk itu di masa depan ilmuwan administrasi publik harus memahami:
1. Semakin meningkatnya tekanan terhadap sektor publik untuk melakukan
restrukturisasi dan menyerahkan urusan kepada sektor swasta;
2. bagaimana membuat keputusan yang secara ekonomis menguntungkan dengan
mempelajari public choice theory, principal/agent theory dan transaction cost theory;
3. perubahan-perubahan lingkungan di sektor swasta seperti kompetisi yang semakin
meningkat dan globalisasi; terjadinya perubahan teknologi informasi yang dapat
membantu manajer publik untuk menyelesaikan berbagai persoalan mereka sehingga
ilmuwan manajemen publik ke depan harus belajar perkembangan teknologi
informasi untuk diadopsi menjadi e- government Pemikiran untuk mengubah nama
"administrasi‟ menjadi "manajemen‟ sebenarnya bukan sesuatu yang aneh jika kita
merujuk kembali pada gagasan awal yang dikembangkan oleh Wilson (1887: 16)
tentang Ilmu Administrasi yang Ia katakan sebagai berikut: This is why
4. there should be a science of administration which shall seek to straighten the paths
of government, to make it business less unbusinesslike. Namun demikian, tentu saja
manajemen publik yang dikembangkan oleh ilmuwan administrasi publik di masa
mendatang jelas akan berbeda dengan manajemen bisnis sebagaimana
dikembangkan oleh ilmuwan diFakultas Ekonomi dan Bisnis.
DAFTAR PUSTAKA

Budiarjo, Miriam., 2009, Dasar-dasar ilmu politik (Edisi Revisi), PT. Gramedia Pustaka
Utama.

Dimock, Marshal E., dan Dimock, Gladys O., 1992, Administrasi Negara (Terjemahan:
Husni

Thamrin Pane) Rineka Cipta, Jakarta.

Dunn, W.N. 1981. Public Policy Analysis: An Introduction. New Jersey: Prentice Hall.

Dwiyanto, Agus., 1995, Penilaian Kinerja Organisasi Pelayanan Publik, UGM Yogyakatya.

Dwiyanto, A. 2007. "Reorientasi Ilmu Administrasi Publik: dari Government ke


Governance‟,

dalam Majelis Guru Besar dan Jurusan Ilmu Administrasi Negara Universitas Gadjah Mada

(Eds.), Dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik. Yogyakarta: GadjahMada


University

Press.

Denhard, B. Robert., 1984, Theories Of Public Organization, Brooks/Cole Publishing


Company,

Pacific Grove, California.

Farazmand A., Sound Governance in the Age of the Age of Globalization, in Ali Farazmand,
ed.,

Sound Governance: Policy and Administrative Innovations (Westport, CT: Praeger, 2004)

Fayol, H. 1916. General and Industrial Management. London: Pitman and Sons, Ltd.

Fredricson, H. George., and K. Smith., 2004, Public Adminiatration, Theory Primer, Kumarin

Press, USA.

Goodnow, F.J. 1900. "Politics and Administration‟, dalam Shafritz, J.M & Hyde,

A.C. (Eds.). 1997. Classic of Public Administration. Fort Worth etc.: Harcourt Brace College

Publishers.

Grindle, M.S. 1980. Politic and Policy Implementation in the Third World.

Princenton: Princenton University Press


Hal. 16 dari 41

1&2 TEORI ADMINISTRASI

Grindle, M.S. 1997. "The Good Government Imperative”, dalam Grindle, M.S. (Ed.). Getting
Good

Government: Capacity Building in the Public Sectors of Developing Countries. Harvard


University

Press.

Gullick. L. 1937. "Notes on the Theory of Organization‟, dalam Shafritz, J.M. & Hyde, A.C.
(Eds.).

1997. Classic of Public Administration. Fort Worth etc.: Harcourt Brace College Publishers.

Henry, Nicholas., 1975, Public Adminidtration and Public Affairs, Prentice-Hall, Englewood
Cliffs,

New Jersey.

Islamy, Irfan, 1997, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara, Bumi Aksara, Jakarta.

Keban Yeremias, T., 2008, Enam Dimensi Staregi Administrasi Publik: Konsep, Teori dan
Isu,

Penerbit Gava Media, Yogyakarta.

Farazmand A., Sound Governance in the Age of the Age of Globalization,in Ali Farazmand,
ed.,

Sound Governance: Policy and Administrative Innovations (Westport, CT: Praeger, 2004)

Anda mungkin juga menyukai