Anda di halaman 1dari 5

SEJARAH KERAJAAN LARANTUKA

Pengertian Kerajaan Larantuka

Kerajaan Larantuka merupakan sebuah kerajaan yang berada di Nusa Nipa yang berarti
Pulau Naga dalam bahasa lokal,sedangkan dalam bahasa Portugis: Cabo de Flores yang
sekarang disebut sebagai Pulau Flores, dan juga dalam buku Nāgarakṛtāgama dikatakan
sebagai Galiyao yang disebut sebagai penghasil kayu cendana. Wilayah kekuasaannya
hingga mencapai Adonara. dengan raja pertama yaitu bernama Lorenzo I

Sebagai kerajaan penting, interaksi dengan kerajaan-kerjaan lain bahkan negara lain pun
terjadi. Larantuka yang sempat dipengaruhi ajaran Hindu dari Majapahit, lalu menjelma
menjadi kerajaan Kristen-Katolik pertama di Nusantara. Faktor inilah yang memperkuat
hubungan Larantuka dengan Portugis.

Latar Belakang dan Sejarah Kerajaan Larantuka

Sumber-sumber tertulis yang memberi informasi tentang Kerajaan Larantuka sampai


dengan kedatangan bangsa Barat, tidak tersedia sehingga sulit dipastikan sejak kapan
kerajaan ini muncul. Beberapa ahli sejarah mengatakan bahwa pada abad ke-13 dipastikan
sudah ada sistem pemerintahan yang teratur di bawah pimpinan seorang raja (Soemargono,
ed., 19 92:9).

Sumber-sumber tradisi lisan, yang sebagiannya masih terpelihara melalui tutu maring usu-
asa (cerita asal usul) yang dikeramatkan, kiranya .merupakan bahan berharga yang
membantu memberikan penjelasan tentang sejarah, kebudayaan, dan pandangan dunia
masyarakat Flores Timur. Beberapa peneliti etnografi telah memanfaatkan dengan baik
sumber-sumber tradisi lisan ini (lihat, misalnya Vatter, 1984; Graham, 1985; Petu, .1967;
Van Wouden, 1985). Dalam tulisan inii dimanfaatkan sumber tradisi lisan dan. beberapa
sumber tertulis.

Sejarah kependudukan masyarakat NTT pada umumnya menunjukkan bahwa propinsi ini
dihuni oleh berbagai kelompok etnik yang hidup dalam komunitas-komunitas yang hampir-
hampir eksklusif sifatnya. Masing-masing etnik menempati wilayah tertentu lengkap dengan
pranata sosial budaya dan ideologi yang mengikat anggota masyarakatnya secara utuh
(Barlow, 1989:12; Mubyarto, 1991:5). Kenyataan ini membawa tantangan tersendiri,
terutama jika heterogenitas itu menimbulkan konflik kebudayaan.

Khusus dalam masyarakat Flores Timur, gejala heterogenitas terlihat dalam sejarah asal
usul, suku, bahasa (dialek), filsafat dan pandangan dunia. Pembicaraan mengenai aspek-
aspek tersebut acap kali memunculkan perdebatan sengit antara berbagai orang yang
memegang „otoritas‟ (Vatter, 1984:71). Suatu persoalan yang menarik untuk dikaji lebih
dalam adalah, bagaimana masyarakat yang pluralistik seperti itu membangun sebuah
komunitas hidup bersama dan mengembangkan semacam „lembaga peredam konflik‟.

Asal Mula Kerajaan Larantuka

Mitos dalam ceritera rakyat menyebutkan bahwa kerajaan Larantuka semula didirikan oleh
seorang tokoh perempuan bernama Watowele bersama suaminya Pati Golo Arakian yang
berasal dari keturunan bangsawan dari pulau Timor dari kerajaan Wehale merupakan tokoh
peranakan perempuan bangsawan Jawa danjuga bangsawan kerajaan Wehale.
Kerajaan itu semula lebih dikenal dengani kerajaan Ata Jawa sebelum akhirnya bernama
Larantuka.

Watowele adalah tokoh keramat yang diyakini dilahirkan dari gunung Ilemandiri dan
merupakan cikal bakal keturunan satu – satunya dinasti yang memerintah kerajaan
Larantuka dan juga dihormati sebagai keturunan langsung dari gunung / keturunan Ile Jadi.
Baru pada pemerintahan keturunan ke – 3, yakni raja Sira Demon Pagu Molang kerajaan
Larantuka menemukan bentuk pemerintahan tradisional yang lebih teratur yang tetap
dipelihara hingga berakhirnya kerajaan Larantuka.

Sebelum tahun 1600, pedagang Portugis ini meninggalkan Solor lalu menetap di Larantuka.
Para pedagang terlibat dalam konflik dengan Dominikan di Solor, karena mereka lebih
tertarik dalam perdagangan daripada kristenisasi. tahun 1613, Solor diduduki Belanda dan
Dominikan pindah ke Larantuka juga.

Kemudian Larantuka menjadi stasiun internal guna perdagangan kayu cendana dari Timor
dan juga menjadi pusat perdagangan Portugis di wilayah Indonesia bagian tenggara.
Larantuka ini bahkan menjadi tempat pengungsian bagi desertir dari Dutch East India
Company (VOC).

Pembagian Wilayah

Pembagian Wilayah Teritorial Raja Sira Demong Pagong Molang membagi dan menetapkan
wilayah Kerajaan Larantuka atas 10 distrik kakang (kakangschap) yang disebut “Demon Lewo
Pulo”, yang dikuasai oleh raja Larantuka sebagal “Raja Koten Demon Lewo Pulo” Penetapan
kesepuluh wilayah kakang itu dilaksanakan dengan upacara ritual pemotongan kerbau.
Kesepuluh wilayah kakang itu adalah: Kakang Hadung dan Kakang Lamalera (di Lembata),
Kakang Boleng dan Kakang Horowura (di Adonara), Kakang Pamakayo dan Kakang Lewolein
(di Solor), Kakang Wobo, Mudakaputu, Lewingo, dan Lewotobi (di ujung timur Flores Timur).

Dari kesepuluh wilayah itu, kakang Hadung dan Boleng menduduki posisi yang lebih penting,
sebagai semacam pusat dari 4 wilayah lainnya, sehingga Graham (1984:125)
mengidentifikasi model organisasi politik di Flores Timur adalah „2×4‟. Model pembagian
organisasi wilayah seperti itu terlihat pula dalam pembagian wilayah di pusat Kerajaan
Larantuka. Pusat wilayah kerajaan adalah Lokea, yang bersama-sama dengan 8 kampung
lainnya (Posto, Pohonsirih, Pohonrau, Gegeb, Renion, Kotta, Kottasau, dan Kottaruido)
membentuk „rumah raja‟.

„Rumah Raja‟ dikelilingi oleh 4 kompleks kampung (yang dikenal dengan istilah po atau pau)
yakni Lewonama, Waibalun, Balela, dan Lewerang. Ketika pemerintahan di Lewerang tidak
Struktur Birokasi dan Sistem Kekuasaan Tradisional di Flores Timur 4
berjalan, raja mengambil alih kampung itu dan memindahkan pusat wilayah dari Lokea ke
Larantuka.

Ritual Kerajaan Larantuka

Upacara ritual pengorbanan hewan mempunyai posisi yang cukup penting dan juga
mempengaruhi berbagai struktur dan proses sosial pada bermacam lapisan sistem politik
Flores Timur. Kohesi sosial dan juga legitimasi status sosial melalui ritus mempunyai
peranan khas dalam berbagai organisasi sosial-politik di Flores Timur (Graham, 1985:141).
Selain dalam upacara ritual pembagian kakang, ritus ini juga tampak pada upacara
penerimaan imigran Kroko Pukeng.

Ritus pengorbanan hewan yang pertama kali ditetapkan oleh seorang Raja Sira Demong
Pagong Molang ini dilaksanakan di setiap kampung (Lewo) oleh ‘panitia empat’ yang disebut
dengan suku raja (suku besar). (Istilah suku berasal dari kata Melayu. Istilah asli Flores Timur
untuk menyebut suku ialah Ama atau Wung.

Reinha Rosari

Sekitar tahun 1665 an, Raja Ola Adobala dibaptis dengan nama Don Fransisco Ola Adobala
Diaz Vieira de Godinho. Secara ritual, ia memprakarsai upacara penyerahan tongkat
kerajaan berkepala emas kepada patung Tuan Ma (Bunda Maria Reinha Rosari) sebagai
lambang Larantuka sepenuhnya menjadi kota Reinha (Ratu) dan para raja ialah wakil dan
abdi Bunda Maria. Dengan begitu menyiratkan Kerajaan Larantuka sebagai kerajaan Katolik.

Pada 8 September 1886 Raja Don Lorenzo UsinenoII DVG, raja ke-10 Larantuka, menobatkan
Bunda Maria sebagai Ratu KerajaanLarantuka sehingga Larantuka sejak saat itu umum
disebut “Reinha Rosari” (RatuRosari).

Bentuk-bentuk Hierarki Jabatan

Sekalipun dalam kerajaan Larantuka sudah dikenal adanya penguasa „ tunggal ‟ yakni raja,
pola kekuasaannya tidak dapat disamakan dengan pola kekuasaan raja-raja tradisional di
berbagai wilayah lainnya di Indonesia. Raja Larantuka tidak memiliki pola kekuasaan
„permanen dan rutin.‟ Kekuasaannya bersifat „temporal dan berasal dari berbagai sumber‟
serta „dilegimitasi melalui indentifikasi mitos dan ritus‟ ( Graham, 1985: 130-131 ).
Bandingkan dengan pola kekuasaan Jawa yang terletak pada “karisma” yang permanen dan
rutin sebagai prinsip dalam organisasi negana (Anderson, 1972:67).

Menurut Anderson, di Jawa memang terdapat birokrasi, tetapi mereka hanya mendapatkan
legitimasi dan otoritasnya dari „pancaran pusat‟ yang melingkupi keseluruhan struktur
dengan energinya.

Struktur Birokasi dan Sistem Kekuasaan Tradisional di Flores Timur 5

Dalam sistem pemerintahannya, Raja Larantuka memiliki satu wakil (deputy) yang disebut
„Raja Kedua‟. Selain itu raja dapat menunjuk 2 kapiten dari keluarga dekatnya dan 2 kapitan
yang biasanya diambil dari keluarga Fernandez. Raja, Raja Kedua, Kapiten, dan Kapitan
membentuk dewan pemerintahan yang disebut Kumpulan Anggota Besar. Dalam
mengambil keputusan, Kumpulan Anggota Besar masih harus mempertimbangkan saran
dari Paoe Suku Lema (baca: Po Suku Lema) sebelum keputusan itu disampaikan kepada
pimpinan 10 distrik kakang (Graham, 1985:127).

Paoe Suku Lerna (dari istilah bahasa Portugis: payao artinya payung) adalah para kepala
perang, tentara raja, yang disebut sebagai Koten Larantuka. Yang termasuk dalam kelompok
ini adalah: Waibalun, Lewerang, Lewolere, dan Lebao. Istilah Koten mengacu pada
kedudukan dalam upacara pengorbanan hewan dalam rumah adat (korke).

Bentuk-bentuk Organisasi Pemerintahan dan Aparatnya

Upacara ritual pengorbanan hewan menduduki posisi penting dan mernperigaruhi berbagal
struktur dan proses sosial pada berbagal lapisan sistem politik Flores Timur. Kohesi sosial
dan legitimasi status sosial melalui ritus memiliki peranan khas dalam berbagai organisasi
sosial-politik di Flores Timur (Graham, 1985:141). Selain dalam upacara ritual pembagian
kakang, ritus juga tampak pada upacara penerimaan imigran Kroko Pukeng. Ritus
pengorbanan hewan yang pertama kali ditetapkan oleh Raja Sira Demong Pagong Molang ini
dilaksanakan di setiap kampung (Lewo) oleh „panitia empat‟ yang disebut suku raja (suku
besar).

(Istilah suku berasal dari kata Melayu. Istilah asli Flores Timur untuk menyebut suku adalah
Ama atau Wung. Organisasi suku dalam kampung tidak sama tinggi kedudukan dan
fungsinya. Pada prinsipnya, nama-nama suku „besar‟ itu berkaitan erat dengan fungsi para
kepala suku dalam upacara ritual pengorbanan hewan. Selain itu, mereka juga memangku
kekuasaan duniawi ataupun yang berkaitan dengan dunia ilahi. Keempat suku itu adalah:
Ama Koten, Ama Kelen, Ama Marang, dan Ama Hurint. Dalam ritus pengorbanan hewan,
Ama Koten memegang kepala hewan korban. Dia adalah kepala dari „panitia empat‟, tuan
tanah, dan memegang kekuasaan dalam kampung.
Ama Kelen memegang bagian belakang hewan korban. Dialah yang bertugas Struktur
Birokasi dan Sistem Kekuasaan Tradisional di Flores Timur 6 mengurus hubungan dengan
kampung-kampung lainnya dan mengatur masalah perang dan damai. Ama Marang
bertugas membacakan doa, menceritakan sejarah asal usul (tutu rnaring usu-asa) untuk
mendapat restu (ike kwaAt) dari kekuatan leluhur. Dialah yang bertugas menjaga tatanan
adat dalam kampung.

Ama Hurint bertugas membunuh hewan korban, meneliti urat hati hewan korban untuk
meramal suatu kejadian. Ama Hurint dan Ama Marang juga bertugas memberi nasihat atau
saran bila terdapat perbedaan pendapat antara Ama Koten dan Ama Kelen, mencari jalan
keluar bersama-sama dengan pemukapemuka atau tua-tua yang disebut Kelake.

Anda mungkin juga menyukai