Anda di halaman 1dari 7

TUGAS SOSIOLOGI

OLEH

NAMA : VAMILIA ROUCH ( 2203050127 )


KELAS / SEMESTER : B/1

PRODI ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

2022/2023
STRUKTUR SOSIAL DALAM KONTEK BUDAYA DI KABUPATEN
MALAKA DAN LINGKUNGAN SOSIAL

Secara umum struktur sosial merupakan suatu pola hubungan sosial yang terbentuk antara
individu yang satu dengan individu lain yang membentuk suatu kelompok di dalam suatu
lingkungan masyarakat.

 Struktur Sosial Dalam Kontek Budaya Di Kabupaten Malaka.


Dalam sejarah raja-raja di Pulau Timor khususnya Timor Barat dikenal adanya sebuah
kerajaan di Belu Selatan atau Kabupaten Malaka (sekarang) yakni kerajaan We Hali yang di
dirikan oleh para migran dari negeri Malaka dan biasa dituturkan dengan istilah “Sina Mutin
Malaka”(Orang Cina Putih dari Malaka) yang datang ke Pulau Timor. Kedatangan mereka
secara bertahap, dengan tempat persinggahan atau pintu masuk dan pendaratan yang berbeda
serta dengan motif yang bervariasi pula.
Merujuk pada apa yang sering dituturkan oleh para Mak’oan atau sastrawan adat yang
tersebar di seluruh wilayah Belu dengan sebutan “Sina Mutin Malaka, Larantuka Baboe”.
Bila mereka menyebut nama ini, maka tiap orang terus tahu yang dimaksudkan ialah : leluhur
orang Belu berasal dari Malaka, mereka meninggalkan tanah airnya dan mencari tempat baru
untuk dihuninya dengan pelayarannya ke Pulau Timor melalui Larantuka. Kedatangan
leluhur dari Malaka yang mendarat di Pantai Selatan, Timor Barat dan kemudian mereka
menaklukan dan beradaptasi dengan orang asli Pulau Timor yang disebut sebagai “Melus”
dengan waktu yang cukup lama dan mengalami proses asimilasi dengan kelompok lain yang
datang ke wilayah Belu Selatan selanjutnya mendirikan sebuah kerajaan di Belu Selatan.
Tentunya ada faktor pemicu mengapa mereka pindah dari tempat asalnya dan mencari tempat
tinggal baru. Alasan yang paling urgensi yaitu faktor perdagangan, selain itu terdapat pula
faktor peperangan,wabah penyakit dan gempa bumi di daerah asalnya sehingga mendorong
untuk mencari daerah lain ataupun faktor ketersesatan waktu dalam pelayaran ke suatu
tempat lain dan akhirnya terdampar di pantai Selatan –Timor Barat.
Awal waktu tahun berdirinya kerajaan We Hali masih belum diketahui secara pasti.
Hingga kini bukti-bukti yang berhasil di temukan seputar sejarah kerajaan We Hali hanya
berdasarkan tutur adat dan catatan-catatan kuno ataupun laporan hasil penelitian dari
beberapa pihak misalnya catatan Antonio Pigafetta yang disadur oleh Le Roux, menyebutkan
bahwa pada tahun 1522 di bagian Selatan Pulau Timor sudah ada empat kerajaan yaitu:
Oibich, Lichsana, Suai, Kabanaza (Usfinit, 2003). Selanjutnya menurut catatan arsip kuno
orang Portugis yang disadur oleh Lumenta (2011) menyatakan bahwa sejak tahun 1260 telah
berdiri Kerajaan We Hali sebagai satu-satunya kerajaan pribumi yang lolos dari pengaruh
kerajaan-kerajaan Hindu Budha yang sudah bertebaran di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan.
Kerajaan We Hali telah mempersatukan berbagai kerajaan kecil di seluruh Pulau Timor dan
pulau-pulau sekitarnya. Kerajaan baru yang di dirikan oleh para migran dari Malaka
dinamakan “We Hali”. Nama ini diberikan untuk mengenang kembali leluhur pertama
mereka yang telah menanam pohon beringin (Bahasa Tetun : Hali = beringin dan We = air)
pada saat pertama mereka mendarat di wilayah Belu Selatan. Hal ini dimaksudkan sebagai
bukti pemersatu dan persaudaraan. Pusat kerajaan berada di Laran-Betun yakni sebuah
dataran yang subur di pinggir sungai Benain. Demikian juga seperti pendapat Fox dan Therik
(2002) bahwa lembah Benain yang subur telah menjadikan Kerajaan We Hali di Belu Selatan
sebagai suatu kerajaan yang independen dengan bentuk kekuasaan yang paradoksal (the
power of the powerlessness), apalagi didukung dengan pelabuhan alam Mota Dikin yang
terletak pada muara sungai Benain sebagai tempat terpenting untuk perdagangan kayu
cendana pada saat itu.

Maromak Oan
Liurai
Loro
Na’I
Dato
Fukun
Renu

Struktur Sosial Kerajaan We Hali.

a) Maromak Oan
Kerajaan We Hali saat itu diperintah oleh seorang raja agung yang bergelar sebagai
“Maromak Oan” (Bahasa Tetun = Anak Allah atau Titisan Allah). Raja agung ini
tidak langsung memerintah tetapi sebagai lambang/simbol spiritual dan tidak boleh
bekerja. Ia hanya makan dan minum lalu tidur (dalam tutur adat disebut dengan “Ma
Ha Toba, Ma Hemu Toba”). Hal ini menurut Parera (1994); Tifa dan Itta (2007) serta
Bouk (2012) bahwa pandangan orang Belu pada saat itu mengakui rajanya sebagai
sumber kebenaran dan kebijaksanaan yang memiliki kewibawaan tanpa salah dan
memiliki kekuasaan penuh sebagai titisan Allah untuk membimbing dan mengayomi
para rakyatnya (Bahasa Tetun = Renu) termasuk dalam hal sakral sekalipun karena
memiliki rahmat dan kesaktian yang bersifat supra natural. Maksudnya bahwa raja
agung memiliki kekuasaan tunggal dan kemampuan istimewa untuk mengayomi,
melindungi dan membimbing para rakyatnya dengan sunguh-sungguh untuk mencapai
kedamaian dan keamanan dalam wilayah kekuasaannya. Sistim pemerintahan di
Kerajaan We Hali didasarkan pada sistim kemurnian hubungan darah dan keturunan
(genealogis) yang diperkuat dengan pengukuhan teritorial yang dimilikinya. Pada
masa itu urusan pemerintahan dipimpin oleh Liurai dan dalam pelaksanaannya
dijalankan oleh Liurai We Hali atau lebih terkenal dengan Liurai Fatuaruin yang
dibantu oleh beberapa Loro.

b) Liurai
Sebagai pelaksana pemerintahan di bawah kekuasaan Maromak Oan terdapat 3 (tiga)
“Liurai” yakni: : 1) Liurai We Hali dan dikenal sebagai Liurai Fatuaruin; Di atas
pundak Liurai We Hali/Fatuaruin terdapat 2 (dua) jabatan penting yakni: Pertama :
sebagai Liurai We Hali yang berkuasa atas seluruh wilayah Belu, Biboki, dan Insana
(sekarang TTU); dan Kedua : sebagai Liurai Fatuaruin menguasai wilayah Fatuaruin,
Manulea dan Bani-Bani yang merupakan pemasok utama logistik bagi kerajaan.
Liurai Fatuaruin juga bertindak sebagai wakil umum dari sang raja agung “Maromak
Oan” yang bertugas untuk menyelesaikan seluruh urusan pemerintahan, pertahanan-
keamanan dan perdagangan dengan kerajaan lain di luar Pulau Timor atau wilayah
sekitarnya. 2) Liurai Likusaen dan lebih dikenal sebagai Liurai Suai Kamanasa;
menguasai seluruh wilayah Suai dan wilayah Timor Timur yang lain (sekarang
Negara RDTL). 3) Liurai Sonbai dan lebih dikenal sebagai Sonbai Besar: menguasai
di wilayah Miomaffo (sekarang Kabupaten TTU), wilayah Amanuban, Molo
(sekarang Kabupaten TTS) hingga wilayah Amfoang dan Amarasi (sekarang
Kabupaten Kupang). Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Hidayat (1976)
bahwa sampai sekarang masyarakat Atoni Meto di wilayah Kabupaten TTU, TTS dan
Kupang ; jika hendak melaksanakan ritual adat seperti kegiatan pertanian selalu
memohon keberhasilan dengan menyebut Liurai Sonbai. Hal yang sama jika
melakukan upacara “Takanaf” atau “Natoin” selalu menyebutkan akan leluhur mereka
yaitu berasal dari “Oe Nunu” atau We Hali. Hal ini menunjukkan bahwa secara
faktual masyarakat mengakui adanya kekuasaan Kerajaan We Hali lewat Liurai
Sonbai di wilayahnya dan sesuai dengan aspek genealogisnya. Liurai (Bahasa Tetun:
Liu = lebih atau melebihi; dan Rai = Tanah atau bumi), oleh karena itu Liurai dapat
diartikan sebagai pemangku bumi dan merupakan bangsawan kelas atas yang
memerintah dan berkuasa atas beberapa wilayah dalam hal ini mengurusi sistim
pemerintahan dan mengkoordinasikan para raja dibawahnya yang berstatus
bangsawan kelas menengah atau para “Loro”. Sedangkan menurut Doko (1981)
mengartikan Liurai adalah memrintahkan tanah, sehingga di dalam tutur adat Liurai
sering disebutkan sebagai “ Leo Lema rai, beta lema rai “ artinya Liurai wajib
menaungi seluruh wilayah dan menjelajahi seluruh wilayah yang menjadi
kekuasaannya.

c) Loro
Di bawah Liurai terdapat para “Loro”. Sebutan gelar Loro (Bahasa Tetun = matahari)
dan diartikan sebagai bangsawan menengah. Struktur pemerintahan di bawah Liurai
We Hali/Fatuaruin di Belu Selatan terdapat 4 (empat) kerajaan yang bergelar Loro
yakni: (1) Loro We Hali-We Wiku; (2) Loro Hatimuk; (3) Loro Lakekun; dan (4)
Loro Dirma. Ke-empat Loro ini biasa dituturkan sebagai “Mane hat, laen hat, rin besi
hat, rin kmurak hat” artinya : empat lelaki, empat wilayah, empat kekuatan pertahanan
- keamanan/pangan, empat kekuatan keping uang/ekonomi. Di Belu Utara terdapat 3
(tiga) kerajaan yang berstatus Loro yakni: (1) Loro Fehalaran; (2) Loro Bauho; dan
(3) Loro Lasiolat. Fakta menyebutkan bahwa Kerajaan Fehalaran sejak awal hanya
merupakan kerajaan adat dengan kekuasaan tertinggi berada pada Loro Bauho dan
Loro Lasiolat (Buru, 2009). Di bawah Liurai Likusaen terdapat Loro Likusaen yang
pusatnya berada di kerajaan Suai Kamanasa, serta dibawah Liurai Sonbai terdapat
Loro Sonbai yang pusatnya berada di wilayah Mutis-kerajaan Amanatun. Tugas
utama para Loro ini adalah mengkoordinir para raja kecil (Na’I) yang berada di
sekitarnya untuk mengatur upeti (Bahasa Tetun = Fohon) bagi raja agung serta
sebagai kekuatan persediaan pangan atau pertahanan keamanan wilayah. Menurut
laporan penelitian oleh Ninu dkk.(1999) di wilayah bekas kerajaan Nenometa-
Amanatun Utara bahwa Kerajaan Nenometa memiliki kewajiban yang mutlak untuk
menyampaikan upeti yaitu pemberian persembahan/hadiah sebagai tanda hormat
kepada kerajaan induk Liurai We Hali di Belu Selatan setiap tahunnya lewat Liurai
Sonbai.

d) Nai
Di bawah Loro terdapat para “ Na’I” atau raja kecil yang memiliki kekuasaan untuk
memerintah di beberapa wilayah sekitarnya. Banyaknya wilayah pemerintahan dari
kerajaan We Hali di Pulau Timor pada saat mencapai masa kejayaannya memiliki 37
Na’I yang tersebar di Pulau Timor (Parera, 1994). Di lingkungan Kerajaan/Loro
Fehalaran terdapat beberapa kerajaan kecil diantaranya: Kerajaan Lidak, Jenilu,
Naitimu dan Mandeu berstatus “ Oa natar hat, Oa laluan hat, Basa isin hat, Kaer
kadun hat, Taka ulun hat, Sabeo hat” yang merupakan wilayah mata rantai
perdagangan menuju pelabuhan Atapupu dan Batugede. Ke-empat kerajaan ini
mempunyai pemerintahan sendiri namun tunduk pada kekuasaan Loro Fehalaran. Di
lingkungan Kerajaan/ Loro Bauho terdapat beberapa kerajaan yaitu : Dafala, Takirin,
Manleten, dan Umaklaran. Selanjutnya di wilayah Kerajaan/Loro Lasiolat terdapat
kerajaan : Asumanu, Tohe/Maumutin dan Aiton (Buru, 2009). Kerajaan-kerajaan
yang berada di bawah Loro ini diberi gelar “Na’I” dengan tugas utama yaitu
menjalankan sistim kepemerintahan secara otonom serta memberikan upeti kepada
Loro selanjutnya diteruskan kepada para Liurai. Di wilayah kedaulatan Loro Likusaen
terdapat kerajaan Suai Kamanasa, Bobonaro, Maubara dan Lautem. Kemudian untuk
wilayah kekuasaan Loro Sonbai terdapat kerajaan: Maubes-Insana, Biboki, Oenam,
Amanuban (Banam), Amanatun (Onam), Molo. Nenometa.Tafnai, Taebenu, Fatuleu
dan Amabi. Hal ini ini disebutkan oleh Usfinit (2003) bahwa sesuai dengan catatan
dan tutur adat masyarakat Insana dikatakan kerajaan Maubes-Insana leluhurnya
adalah dari kerajaan We Wiku, We Hali. Demikian juga yang disebutkan oleh Jacob
dkk (2003) bahwa semua kerajaan yang berada di bekas kekuasaan Liurai Sonbai
leluhurnya merupakan proses asimilasi penduduk asli dengan pendatang dari kerajaan
We Hali yang datang secara bertahap karena di utus oleh raja di We Hali untuk
memerintah dan membangun kerajaan baru bersama kelompok pendatang lainnya. Di
lingkungan Loro We Hali-We Wiku; terdapat beberapa raja kecil yaitu: Rabasa,
Umalor-Lawain, Wederok, Besikama-Lasaen; Loosina. Loro Fatuaruin menguasai :
Babotin, Sasita Mean. Sedangkan kekuasaan Loro Hatimuk; adalah kerajaan
Hatimuk; Kekuasaan Loro Lakekun; terdapat kerajaan Litamali, Alas; serta di wilayah
kekuasaan Loro Dirma ; terdapat raja kecil yaitu: Kusa, Te’un, Nekin Klau, Oelaran,
Uarau (Umaraun), Malianain, Maubebain, Bauboti, Nauboni (Bouk, 2012).

e) Dato
Struktur berikutnya adalah “ Dato” yang merupakan perpanjangan tangan dari para
Na’I di wilayah kekuasaan masing-masing raja-raja kecil. Istilah “Dato” ini menurut
para penutur adat hanya berlaku di wilayah kekuasaan kerajaan We Hali yang ada di
Belu. Tugas utama para “Dato” yaitu: menjalankan perintah Na’I kepada rakyat dan
sebaliknya bertindak sebagai perantara atau mediasi persoalan rakyat yang
disampaikan kepada Na’I termasuk sebagai pengumpul upeti dari rakyat.

f) Fukun
Fukun sebagai kepala marga, merupakan lapisan yang berada di bawah Dato dan
memiliki tugas untuk melindungi dan mengatur hubungan sosial masyarakat yang
berada dalam marganya (Uma Fukun).

g) Renu
Renu (rakyat) sebagai lapisan paling bawah dalam strata sosial masyarakat dalam
suatu marga adalah sebagai pembayar atau pemberi upeti kepada raja dan
menjalankan seluruh titah raja, fukun ataupun dato.
 Struktur Sosial di Lingkungan Sosial
Contoh struktur sosial dalam kehidupan sehari-hari yaitu keluarga. Pada umumnya,
struktur dalam sebuah keluarga hanya memiliki tiga posisi sosial, yaitu: suami-ayah,
istri-ibu, dan anak-sibling (Lee, 1982). Hal ini menjadikan keluarga sebagai orientasi
bagi anak, yaitu keluarga tempat ia dilahirkan. Adapun orang tua menjadikan keluarga
sebagai wahana prokreasi, yang terbentuk setelah sepasang laki-laki dan perempuan
menikah dan memiliki anak (Berns, 2004). Hubungan antara suami istri bersifat saling
membutuhkan dan mendukung layaknya persahabatan, sedangkan anak-anak tergantung
pada orang tuanya dalam hal pemenuhan kebutuhan afeksi dan sosialisasi (Lestari,
2012).
Dapat anda lihat saat kondisi di meja makan. Saat waktu makan bersama keluarga
misalnya, tentu adanya pengaturan kursi kursi yang diperuntukkan untuk
memperlihatkan perbedaa dari status anggota keluarga yang ada. Ayah sebagai kepala
keluarga akan ada di bagian kepala meja, dan lainnya berada di samping. Begitupun saat
memulai waktu makan, ayah terlebih dulu lah yang akan menyendok makanan terlebih
dahulu. Keteraturan dari situasi sosial saat makan bersama inilah yang dapat anda lihat
dari urutan urutan yang terjadi saat pengambilan makanan

 Stratifikasi Sosial
Stratifikasi sosial adalah penggolangan masyarakat kedalam kelas yang bisa disusun
secara bertingkat. Stratifikasi sosial disebut juga lapisan antar masyarakat. Penggolongan
masyarakat-masyarakat ini bisa menimbulkan kelas-kelas sosial, seperti sosial atas
(upper class), sosial menengah (middle class), dan kelas bawah (lower class).
Dapat dilihat dalam sistem pemerintahan kerajaan We Hali, dimana kedudukan tertinggi
adalah Maromak Oan dan yang terendah adalah Renu (rakyat).
Hal ini juga dapat dilihat dalam lingkungan keluarga, dimana ayah sebagai kepala
keluarga diikuti oleh ibu dan anak.

 Diferensiasi Dalam Struktur Sosial


Diferensiasi sosial adalah klasifikasi sosial yang memiliki perbedaan tingkatan horizontal
merupakan bentuk struktur sosial pada masyarakat yang memiliki nilai yang sama atau
setara antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Seperti suku, ras, agama, profesi
dan jenis kelamin.
Di Kerajaan We Hali, terdapat beberapa diferensiasi dalam struktur sosial, yaitu :
a) Dikisahkan, pada zaman itu, Liurai pertama We Hali adalah seorang wanita yang
cantik menawan, disanjung, diberi gelar Hoa Diak Malaka. Ia adalah Liurai feto
(Bahasa Tetun = Wanita) dan kawin dengan Seran Taen Boboto Rui Makerek yang
diberi gelar : ” Sui Likusaien, Sui We Hali” (Bahasa Tetun: Sui = menanduk).
Hal tersebut membuktikan bahwa tidak ada perbedaan antara pria dan wanita, dimana
wanita juga bisa menjadi seorang pemimpin yang bertindak sebagai wakil umum dari
sang raja agung “Maromak Oan” dan bertugas untuk menyelesaikan seluruh urusan
pemerintahan, pertahanan-keamanan dan perdagangan dengan kerajaan lain di luar
Pulau Timor atau wilayah sekitarnya.
b) Hal yang menarik dalam sistem pemerintahan tradisional dari kerajaan We Hali yaitu
diperbolehkan kerajan-kerajaan bawahan dengan status Liurai, Loro dan Na’I diikat
dengan perkawinan oleh putri-putri kerajaan untuk mempererat hubungan tali
persaudaraan. Kerajaan We Hali yang mampu memadukan politik dagang dan politik
perkawinan berhasil memegang kekuasaan di seluruh wilayah Timor dan sekitarnya
dengan didukung oleh para Meo (panglima perang/prajurit pemberani) dalam
berperang selalu menggunakan hiasan kepala yang disebut noni funan yang
merupakan replika dari perahu kora-kora (Middelkoop, 1963).
Hal tersebut membuktikan bahwa tidak ada perbedaan kasta.

 Potensi Konflik yang Mungkin Terjadi


a) Sistim pemerintahan di Kerajaan We Hali didasarkan pada sistim kemurnian
hubungan darah dan keturunan (genealogis) yang diperkuat dengan pengukuhan
teritorial yang dimilikinya. Hal ini dapat menimbulkan konflik yang disebabkan oleh
keinginan dari renu (rakyat) untuk menduduki kedudukan dari Maromak Oan
sehingga dapat memecah belah kerajaan.
b) Perlu diperjelas lagi tentang ketiga Loro di Utara, yaitu : Fehalaran, Lasiolat dan
Bauho. Apakah ketiga loro tersebut muncul pada waktu yang sama ditempat berbeda ?
Apakah pada waktu yang sama dan tempat yang sama ? Ataukah di tempat yang sama
tetapi waktu yang berbeda ?
Karena nama diberikan sesuai nama tokoh pendirinya, seandainya muncul nama dari 3
Loro pada waktu yang sama ditempat yang sama maka akan berdampak pada terjadi
tumpang tindih dalam pelaksanaan roda pemerintahan,saling berebut wilayah
kekuasaan dan lain sebagainya.
c) Di Kerajaan We Hali, sistem adat Fehalaran lebih dominan mempraktekkan sistem
Matrilinear, sedangkan sistem adat Oan Natarhat lebih dominan mempraktekan sistem
adat Patrilinear dengan wilayahnya separoh lebih dari wilayah kabupaten Belu
sekarang ini. Hal tersebut bisa memicu terjadinya perpecahan diantara beberapa
wilayah.

Anda mungkin juga menyukai