Anda di halaman 1dari 8

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri atas banyak suku dan budaya.
Hal tersebut yang menjadikan Indonesia penuh dengan keberagaman. Perbedaan suku,
bahasa, makanan khas, kebiasaan, aturan, dan masih banyak lagi. Hal itu semua membuat
Indonesia unik dan penuh warna. Keberagaman dan budayanya menjadi daya tarik bagi
orang asing. Banyak dari mereka yang berkunjung sekadar mencari tahu atau belajar
budaya kita. Mereka mendapatkan kesan yang baik karena penduduk di Indonesia dikenal
dengan orang yang ramah.

Sebagai bentuk tanggapan dari keberagaman yang dimiliki oleh Indonesia, kita
sebagai warga negara seharusnya menjaga dan tetap melestarikan budaya negeri sendiri.
Sepatutnya kita bangga terhadap apa yang kita miliki dan berani mengeksplor secara
penuh keistimewaan negeri ini. Selain itu, kita harus tetap menjaga dan menaati aturan
yang sudah sejak dahulu dilakukan atau dapat disebut sebagai budaya kita.

Penduduk Indonesia memiliki ciri khas gotong royong yang sejatinya sudah lahir
dan tercermin dalam berbagai budaya dan kebiasaan masyarakat, salah satunya dalam
tradisi “berburu adat” dalam masyarakat adat So’a terkhususnya pada masyarakat
kampung Lo’a ( Ulu Watu Waza Eko Milo Wali Ulu Rewa Eko Lo’a). Masyarakat
kampung Lo’a terdiri dari beberapa suku yaitu Woe Lo’a, Woe Seko, Woe Rewa, Woe
Anagare, Woe Leko, Woe Loy, dan Woe Bhari Weka ( Woe Artinya Suku ).

Tradisi berburu adat (traditional hunting) dalam budaya masyarakat So’a


biasanya ditempatkan dalam siklus kalender berbasis budaya pertanian lokal setempat.
Tradisi ini erat kaitannya dengan ritual keyakinan masyarakat akan keberadaan makhluk
pengganggu tanaman padi, jagung, kacang-kacangan atau tanaman lainnya seperti babi

1
hutan, atau rusa yang dapat merusak bagi semua tanaman yang menjadi usaha masyakat
lokal sebagai bahan pangan dalam pemenuhan kebituhan hidup sehari - hari.

Maka upacara ini dilaksanakan setiap tahun sebagai upacara tahunan (annual
ritual). Tradisi berburu adat di Soa meliputi beberapa kampung yakni Kampung
Mengeruda (Witu Menge), Kampung Lo'a (Witu Loa), Kampung Seso (Witu Welu) serta
kampung Libunio (Witu Nio). Berburu adat dilaksanakan sesuai dengan kalender lokal
berbasis peredaran bulan. Upacara berburu biasanya dilaksanakan dari bulan Juni sampai
Oktober dalam tahun.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, maka dirumuskan beberapa rumusan masalah
sebagai berikut :
1. Apa itu tradisi berburu adat So’a?
2. Bagaimana tahapan pelaksanaan tradisi berburu adat So’a?

1.3 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini antara lain :
1. Menjelaskan tentang tradisi berburu adat So’a.
2. Menjelaskan tahapan pelaksanaan tradisi berburu adat So’a.

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat yang diperoleh dari pembuatan makalah ini adalah:
1. Dapat memperkaya wawasan filsafat dan pengetahuan tentang kebudayaan
Indonesia dalam hal ini tradisi berburu adat So’a.
2. Dapat menambah literatur kebudayaan terutama tentang tradisi berburu adat So’a.
3. Dapat berkontribusi dalam upaya pelestarian kebudayaan

2
BAB II PEMBAHASAN

2.1 Berburu adat So’a


Tradisi berburu adat So’a merupakan kebiasaan tahunan yang dilakukan oleh masyarakat
So’a sebagai ritual keyakinan atas keberadaan makhluk pengganggu tanaman padi, jagung,
kacang-kacangan, atau tanaman lainnya seperti babi hutan, atau rusa yang dapat merusak semua
tanaman yang menjadi usaha masyarakat lokal sebagai bahan pangan dalam pemenuhan
kebutuhan hudup sehari – hari. Tradisi berburu adat ini biasanya ditempatkan dalam siklus
kalender berbasis budaya pertanian dan telah diwariskan seara turun – temurun.
Tradisi ini dilakukan setiap tahun sebagai upacara tahunan (annual ritual) yang
dilaksanakan di beberapa kampong diantaranya Kampung Mangeruda (Witu Menge), Kampung
Lo’a (Witu Lo’a), Kampung Seso (Witu Welu), serta Kampung Libunio (Witu Nio). Pelaksanaan
upacara berburu adat pada masing- masing kampong memiliki waktu yang berbeda – beda.
Sehingga tidak ada kampung yang melaksanakan kegiatan berburu secara bersamaan.
Perlengkapan dalam tradisi berburu adat So’a ini menggunakan tombak ( Tuba ), tombak
berkait ( bhou ) bentuknya seperti mata kail. Para pemburu biasanya berasal dari semua
masyarakat So’a tidak dibatasi baik anak – anak maupun orang dewasa. Dan mereka biasanya
berburu dengan menggunakan kuda ( zara ) atau dengan berjalan kaki.
Para pemburu biasanya membentuk kelompok berburu sesuai daerah seasal atau
gabungan anggota dari kampung lain yang disebut loka. Setiap loka secara bersama- sama
memperebutkan buruan atau pun mempertahankan hasil buruan dari aksi penjarahan yang
dilakukan oleh kelompok atau loka yang lain. Dalam usahanya untuk mendapat binatang buruan,
para pemburu menyertainya dengan anjing dalam jumlah yang besar. Semua anjing yang dibawa
dikerahkan untuk mencari babi hutan (hui) dan juga rusa (kogha).

3
Binatang buruan yang diperoleh biasanya saling berebutan sehingga tidak seorang pun
yang mendapatkan satu bagian tubuh secara utuh dari binatang buruan tersebut namun hanya
sebagian misalnya ada yang mendapatkan bagian kepala, kaki, atau tangan dan juga bagian yang
lainnya.Perebutan ini menunjukan kegigihan dan jiwa kesatria seorang laki-laki. Bagi yang lebih
kuat akan mendapatkan bagian binatang buruan sedangkan yang lemah dan putus asa tidak
mendapatkan apa - apa.Namun perebutan hanya terjadi pada saat berburu tidak menimbulkan
dendam atau permusuhan antara satu dengan yang lain dan semangat persaudaraan tetap terjaga .

2.2 Tahapan Pelaksanaan Tradisi Berburu Adat So’a

Secara umum tahapan berburu di semua kampong memiliki kesamaan yang berbeda
hanyalah pada tahapan ritual malam hari yang mana keesokan harinya akan dilaksanakan
kegiatan berburu. Berikut beberapa tahapan dalam tradisi berburu adat So’a :

1. Tahapan awal dan persiapan.


Upacara Pau, masyarakat dilarang untuk melaksanakan kegiatan pertanian apapun
seperti menebang pohon atau membakar ladang. Apabila ada yang melanggar akan
dikenakan sanksi adat dari para tokoh adat atau akan mendapatkan musibah. Beberapa
hari kemudian semua laki –laki dewasa mencari udang (Koo Kuza) yang dilanjutkan
dengan ritual Sino Oro yaitu ritual mempersiapkan seruas bambu yang sudah dibersihkan
untuk dicelupkan di sungai. Sesudah semua dipersiapkan maka dilanjutkan dengan ritual
Bhore Tua pada malam harinya dimana keesokan harinya akan dilaksanakan berburu.
Upacara Pepu nasi bambu (Mama Toke), upacara ini dilakukan sebagai persiapan
dimana tokoh adat yang melaksanakan ritual berburu adat mulai meminta nasi bambu
(Mama Toke), yang akan dibagian kepada para gadis yang baru menyelesaikan upacara
inisiasi menjadi dewasa secara adat dalam upacara Bu’e Muzi yang akan ikut serta
dalam berburu.

4
Para gadis ini akan menukarkan dengan daging hasil buruan yang ada pada para
pemburu pada upacara Pepu. Juga para Mori atau Raghu memanjatkan doa kepada
leluhur dan penunggu hutan agar mengumpulkan rusa dan babi hutan di tempat berburu
agar para pemburu bisa mendapatkan hasil buruannya dengan mudah. Doa yang
diucapkan adalah “Semua Tombak Jurang Terlihat Rata Seperti Padang Dihindarkan dari
Semua Malapetaka” dalam bahasa Lo’a “ Masa tuba Bhoru, Ngaba Lei Mala, Roga
Ngenga Lei Nua, Masa Tuba Bhoru Kau Peru Wau Zeu. Pada upacara Pepu juga
diadakan sumpah agar para pemburu dan semua orang yang melakukan kegiatan berburu
untuk bisa mendapatkan hasil buruan. Dalam upacara Pepu juga dilakukan basuh muka,
meminyaki kepala terutama pada hari pertama berburu. Hal ini dilakukan tidak hanya
oleh para pemburu tetapi juga semua masyarakat setempat.

2. Tahapan pelaksanaan
Ketika semua tahapan adat yang menjadi rangkaian ritual persiapan sebelum
berburu telah dilaksanakan, maka tibalah saatnya pada hari berburu. Pada hari itu semua
Mori Nua dan anggotanya berkumpul ditengah kampung ( Kisa Nua ) dan melakukan
perarakan menuju tempat pemasangan api ( Saka Api ) sambil diiringi nyanyian adat.
Sesampainya di tempat Saka Api, Mori Ragho atau Rawu menyalakan api secara Mori
atau dengan menggesek bambu kering ( Bheto Rogho ) dan alang – alang kering.
Api yang sudah dinyalakan dijadikan sebagai sumber api. Selama tiga hari
berturut – turut para pemburu tidak pulang ke kampung selama perburuan berlangsung
dan mereka bertahan di kemah ( Loka ) masing - masing sebagai tempat peristirahatan
sementara.
Sepulangnya dari lokasi berburu mereka menyanyian yel yel adat sebagai tanda
mereka mendapatkan hasil buruan daging binatang. Daging buruan dimakan secara
bersama – sama dengan anggota keluarga dan masyarakat dan darahnya diolesakan pada
tombak atau panah.

5
3. Tahapan akhir
Setelah pulang ke kampung menggunakan kuda ( Zara ), di tempat masing – masing (
Loka tua ) wanita atau anak muda yang sudah Kiki atau Buemuzi memikul hasil
tangkapan dengan mengenaan pakaian adat ( Kodo Doi-Nai Doi ) sambil menari di
tengah kampung mengelilingi tiga Ngadhu sebanyak enam kali pada tiap-tiap Ngadhu.

6
BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti terhadap tiga
naras sumber yaitu tetua adat So’a dan masyarakat So’a menyatakan bahwa tradisi
berburu adat So’a merupakan kegiatan tahunan yang dilaksanakan oleh masyarakat
So’a sebagai upaya untuk mengusir hama pada tanaman agar hasil pertanian bisa
diperoleh secara maksimal. Tradisi ini juga merupakan ritual sebagai salah satu
bentuk penghargaan terhadap warisan leluhur dan menjalankan tradisi berburu
sebagai ungkapan syukur atas hasil panen. Tradisi ini dilaksanakan dalam beberapa
tahap yang mana pada tiap tahap terdapat ritual-ritual penyertanya. Secara umum
tahapan – tahapan pada tradisi berburu adat So’a ini dilaksanakan di setiap kampung
pada masyarakat So’a dengan model tahapan yang hampir sama.

3.2 Saran
Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan pada penelitian mengenai
sendratari, maka peneliti memberikan beberapa saran dan masukkan yakni :
1. Bagi kaum muda dan pelajar, diharapkan agar tetap menjaga warisan
leluhur serta nilai – nilai yang terkandung didalamnya agar nilai – nilai
positif dapat dipelihara dan diamalkan.
2. Bagi Pemerintah Kabupaten Ngada, diharapkan agar selalu
mendukung setiap aktifitas kebudayaan dan ikut mempromosikannya
agar tradisi-tradisi tersebut tetap terlaksana dan tidak hilang.

7
DAFTAR PUSTAKA
Meo Y. R. 2024. “Berburu Adat So’a”. Hasil Wawancara Pribadi:10 Januari 2024, kampung
Lo’a

Anda mungkin juga menyukai