Sebagai bentuk tanggapan dari keberagaman yang dimiliki oleh Indonesia, kita
sebagai warga negara seharusnya menjaga dan tetap melestarikan budaya negeri sendiri.
Sepatutnya kita bangga terhadap apa yang kita miliki dan berani mengeksplor secara
penuh keistimewaan negeri ini. Selain itu, kita harus tetap menjaga dan menaati aturan
yang sudah sejak dahulu dilakukan atau dapat disebut sebagai budaya kita.
Penduduk Indonesia memiliki ciri khas gotong royong yang sejatinya sudah lahir
dan tercermin dalam berbagai budaya dan kebiasaan masyarakat, salah satunya dalam
tradisi “berburu adat” dalam masyarakat adat So’a terkhususnya pada masyarakat
kampung Lo’a ( Ulu Watu Waza Eko Milo Wali Ulu Rewa Eko Lo’a). Masyarakat
kampung Lo’a terdiri dari beberapa suku yaitu Woe Lo’a, Woe Seko, Woe Rewa, Woe
Anagare, Woe Leko, Woe Loy, dan Woe Bhari Weka ( Woe Artinya Suku ).
1
hutan, atau rusa yang dapat merusak bagi semua tanaman yang menjadi usaha masyakat
lokal sebagai bahan pangan dalam pemenuhan kebituhan hidup sehari - hari.
Maka upacara ini dilaksanakan setiap tahun sebagai upacara tahunan (annual
ritual). Tradisi berburu adat di Soa meliputi beberapa kampung yakni Kampung
Mengeruda (Witu Menge), Kampung Lo'a (Witu Loa), Kampung Seso (Witu Welu) serta
kampung Libunio (Witu Nio). Berburu adat dilaksanakan sesuai dengan kalender lokal
berbasis peredaran bulan. Upacara berburu biasanya dilaksanakan dari bulan Juni sampai
Oktober dalam tahun.
1.3 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini antara lain :
1. Menjelaskan tentang tradisi berburu adat So’a.
2. Menjelaskan tahapan pelaksanaan tradisi berburu adat So’a.
2
BAB II PEMBAHASAN
3
Binatang buruan yang diperoleh biasanya saling berebutan sehingga tidak seorang pun
yang mendapatkan satu bagian tubuh secara utuh dari binatang buruan tersebut namun hanya
sebagian misalnya ada yang mendapatkan bagian kepala, kaki, atau tangan dan juga bagian yang
lainnya.Perebutan ini menunjukan kegigihan dan jiwa kesatria seorang laki-laki. Bagi yang lebih
kuat akan mendapatkan bagian binatang buruan sedangkan yang lemah dan putus asa tidak
mendapatkan apa - apa.Namun perebutan hanya terjadi pada saat berburu tidak menimbulkan
dendam atau permusuhan antara satu dengan yang lain dan semangat persaudaraan tetap terjaga .
Secara umum tahapan berburu di semua kampong memiliki kesamaan yang berbeda
hanyalah pada tahapan ritual malam hari yang mana keesokan harinya akan dilaksanakan
kegiatan berburu. Berikut beberapa tahapan dalam tradisi berburu adat So’a :
4
Para gadis ini akan menukarkan dengan daging hasil buruan yang ada pada para
pemburu pada upacara Pepu. Juga para Mori atau Raghu memanjatkan doa kepada
leluhur dan penunggu hutan agar mengumpulkan rusa dan babi hutan di tempat berburu
agar para pemburu bisa mendapatkan hasil buruannya dengan mudah. Doa yang
diucapkan adalah “Semua Tombak Jurang Terlihat Rata Seperti Padang Dihindarkan dari
Semua Malapetaka” dalam bahasa Lo’a “ Masa tuba Bhoru, Ngaba Lei Mala, Roga
Ngenga Lei Nua, Masa Tuba Bhoru Kau Peru Wau Zeu. Pada upacara Pepu juga
diadakan sumpah agar para pemburu dan semua orang yang melakukan kegiatan berburu
untuk bisa mendapatkan hasil buruan. Dalam upacara Pepu juga dilakukan basuh muka,
meminyaki kepala terutama pada hari pertama berburu. Hal ini dilakukan tidak hanya
oleh para pemburu tetapi juga semua masyarakat setempat.
2. Tahapan pelaksanaan
Ketika semua tahapan adat yang menjadi rangkaian ritual persiapan sebelum
berburu telah dilaksanakan, maka tibalah saatnya pada hari berburu. Pada hari itu semua
Mori Nua dan anggotanya berkumpul ditengah kampung ( Kisa Nua ) dan melakukan
perarakan menuju tempat pemasangan api ( Saka Api ) sambil diiringi nyanyian adat.
Sesampainya di tempat Saka Api, Mori Ragho atau Rawu menyalakan api secara Mori
atau dengan menggesek bambu kering ( Bheto Rogho ) dan alang – alang kering.
Api yang sudah dinyalakan dijadikan sebagai sumber api. Selama tiga hari
berturut – turut para pemburu tidak pulang ke kampung selama perburuan berlangsung
dan mereka bertahan di kemah ( Loka ) masing - masing sebagai tempat peristirahatan
sementara.
Sepulangnya dari lokasi berburu mereka menyanyian yel yel adat sebagai tanda
mereka mendapatkan hasil buruan daging binatang. Daging buruan dimakan secara
bersama – sama dengan anggota keluarga dan masyarakat dan darahnya diolesakan pada
tombak atau panah.
5
3. Tahapan akhir
Setelah pulang ke kampung menggunakan kuda ( Zara ), di tempat masing – masing (
Loka tua ) wanita atau anak muda yang sudah Kiki atau Buemuzi memikul hasil
tangkapan dengan mengenaan pakaian adat ( Kodo Doi-Nai Doi ) sambil menari di
tengah kampung mengelilingi tiga Ngadhu sebanyak enam kali pada tiap-tiap Ngadhu.
6
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti terhadap tiga
naras sumber yaitu tetua adat So’a dan masyarakat So’a menyatakan bahwa tradisi
berburu adat So’a merupakan kegiatan tahunan yang dilaksanakan oleh masyarakat
So’a sebagai upaya untuk mengusir hama pada tanaman agar hasil pertanian bisa
diperoleh secara maksimal. Tradisi ini juga merupakan ritual sebagai salah satu
bentuk penghargaan terhadap warisan leluhur dan menjalankan tradisi berburu
sebagai ungkapan syukur atas hasil panen. Tradisi ini dilaksanakan dalam beberapa
tahap yang mana pada tiap tahap terdapat ritual-ritual penyertanya. Secara umum
tahapan – tahapan pada tradisi berburu adat So’a ini dilaksanakan di setiap kampung
pada masyarakat So’a dengan model tahapan yang hampir sama.
3.2 Saran
Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan pada penelitian mengenai
sendratari, maka peneliti memberikan beberapa saran dan masukkan yakni :
1. Bagi kaum muda dan pelajar, diharapkan agar tetap menjaga warisan
leluhur serta nilai – nilai yang terkandung didalamnya agar nilai – nilai
positif dapat dipelihara dan diamalkan.
2. Bagi Pemerintah Kabupaten Ngada, diharapkan agar selalu
mendukung setiap aktifitas kebudayaan dan ikut mempromosikannya
agar tradisi-tradisi tersebut tetap terlaksana dan tidak hilang.
7
DAFTAR PUSTAKA
Meo Y. R. 2024. “Berburu Adat So’a”. Hasil Wawancara Pribadi:10 Januari 2024, kampung
Lo’a