Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

PANDANGAN IMAN KRISTEN TERHADAP ADAT ISTIADAT

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 13

NAMA MAHASISWA : FERDINAN GYPSY MARBUN (2302059)

VALENTINO C.T. SIAGIAN (2302089)

MATA KULIAH : AGAMA KRISTEN PROTESTAN

DOSEN PENGAMPU : Dr.FERNANDO TAMBUNAN, MTh

PRODI TEKNIK MEKANIKA

POLITEKNIK TEKNIK KIMIA INDUSTRI MEDAN

2023
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan
rahmat-Nya yang hingga saat ini memberikan kita nikmat iman dan kesehatan, sehingga
penulis diberi untuk menyelesaikan makalah mata kuliah Agama Kristen Protestan ini selesai
dengan tepat waktu. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr.Fernando
Tambunan, MTh selaku dosen pengampu atas bimbingan dan tugas yang diberikan. Penulis
juga ingin mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang turut membantu dalam
penyusunan makalah ini. Semoga makalah ini bisa memberikan sumbangan pemikiran
sekaligus pengetahuan bagi para pembaca.
Pada makalah yang berjudul “Pandangan Iman Kristen terhadap Adat Istiadat” ini
bertujuan untuk membantu kita dalam memahami secara mendalam mengenai materi Agama
Kristen Protestan. Makalah ini berisi paparan tentang
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna
serta kesalahan yang penulis yakini diluar batas kemampuan penulis. Maka dari itu penulis
dengan senang hati menerima kritik dan saran yang membangun dari para pembaca. Penulis
berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Medan,17 September 2023


Penulis

Kelompok 13
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Agama Kristen adalah salah satu agama besar di dunia yang memiliki sejarah
panjang dan jutaan pengikut di seluruh dunia. Selain keyakinan teologis dan ajaran
moral, agama Kristen juga memiliki pengaruh yang kuat pada budaya dan tradisi di
berbagai negara. Di sepanjang sejarahnya, banyak pengikut Kristen yang telah
menjalankan keyakinan mereka dengan menggabungkan unsur-unsur kebudayaan dan
adat istiadat lokal dalam praktik ibadah mereka.

Penggabungan adat istiadat dengan iman Kristen menjadi sebuah perdebatan


yang menarik. Sebagian besar masyarakat Kristen memiliki hubungan yang kompleks
dengan tradisi adat istiadat mereka. Beberapa melihatnya sebagai cara untuk
memperkaya pengalaman keagamaan mereka, sementara yang lain mungkin
melihatnya sebagai bentuk penyimpangan dari ajaran agama Kristen yang murni.

Makalah ini akan membahas pandangan iman Kristen terhadap adat istiadat.
Dalam konteks ini, adat istiadat merujuk pada praktik-praktik budaya, ritual, dan
tradisi lokal yang sering kali berbeda antara satu komunitas Kristen dengan komunitas
Kristen lainnya. Perdebatan tentang sejauh mana adat istiadat dapat diselaraskan
dengan ajaran Kristen yang mendasar merupakan topik yang relevan dan penting.

Melalui pemahaman yang lebih dalam tentang pandangan iman Kristen


terhadap adat istiadat, kita dapat memahami bagaimana agama Kristen beradaptasi
dengan budaya lokal dan bagaimana komunitas Kristen di berbagai belahan dunia
menghadapi tantangan ini. Selain itu, hal ini juga dapat memberikan wawasan tentang
bagaimana agama-agama lain juga menghadapi permasalahan serupa dalam konteks
kultural dan tradisi mereka sendiri. Dengan demikian, makalah ini akan membantu
menggali lebih dalam pemahaman kita tentang kompleksitas hubungan antara agama
dan budaya di dunia yang semakin terglobalisasi ini.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun yang menjadi rumusan masalah berdarkan latar belakang di atas dalam
penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.2.1 Apa pengertian dari iman Kristen?
1.2.2 Apa pengertian dari adat istiadat?
1.2.3 Bagaimana pandangan iman Kristen terhadap adat istiadat?
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui pengertian dari iman Kristen.
1.3.2 Untuk mengetahui dari adat istiadat.
1.3.3 Untuk mengetahui pandangan iman Kristen terhadap adat istiadat.
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Iman Kristen
Kata iman dalam bahasa lbrani, berasal dari kata “Emun”,yang berarti
kesetiaan, dan kata “Batakh”, yang berarti percaya. Dalam bahasa Yunani, iman
berasal dari kata “Pistis”, (kata benda), yang berarti kepercayaan, keyakinan, dan
iman itu sendiri, dankata “Pisteou” (kata kerja), yang artinya, percaya, meyakini,
mengimani.Dalam istilah bahasa Inggris kata ini mempunyai pengertian yang sama
dengan pengertian di atas, yaltu “Faith” berarb. kepercavaan, dan keyakinan.1
Peter Kreeft dan Ronald K. Tacelli, dalam memberikan definisi iman membagi
ke dalam dua bagian:
1. Objek iman, yaitu segala sesuatu yang dipercayai,bagiorang Kristen segala
sesuatu yang Allah telah nyatakan dalam Alkitab.
2. Tindakan iman, yaitu bukan hanya percaya tetapi rela mengorbankan diri dalam
kepercayaan tersebut. Dalam aspek ini ada empat macam yaitu, (a) Iman
emosional, yaitu merasa yakin, percaya atau pasti pada seseorang, (b) Iman
intelektual atau keperc ayaan, (c) Iman volisional adalah tindakan kehendak, suatu
komitmen untuk menaati kehendak Allah, (d) Iman berawal dari pusat keberadaan
kita yang penuh rahasia yang oleh kehendak Allah disebut “Hati”.
Dari pengertian di atas, maka iman adalah “Kesetiaan”, atau “Kepercayaan”.
Penulis Ibrani memberikan definisi iman, yaitu iman adalah dasar dari segala sesuatu
yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat (Ibr.11:1).
Definisi ini mengandung pengertian bahwa dalam segala hal yang kita harapkan itu
ada keyakinan atau kepercayaan yang melandasinya, dan acia keyakinan atau
kepercayaan dari segala hal yang tidak kita lihat. Pada saat kita percaya kepada Allah,
maka pada saat itu pula kita harus setia, jadi kepercayaan itu bukan hanya bersifat
“kognitif” belaka, tetapi harus ada “action” atau tindakan untuk setia kepada Allah.
Aspek iman ini adalah aspek yang menyangkut hubungan vertikal, yaitu Tuhan
dengan manusia, antara pencipta dengan yang dicipta, sehingga iman adalah dasar
atau pokok kepercayaan Kristery yaitu kepercayaan atau keyakinan terhadap Allah
dan wahyu-Nya.
2.2 Pengertian Adat Istiadat
Istilah adat berasal dari bahasa Arab, yang diterjemahkan dalam Bahasa
Indonesia dan memiliki makna “kebiasaan”. Adat atau kebiasaan adalah tingkah laku
seseorang yang terus menerus dilakukan dengan cara tertentu dan diikuti oleh
masyarakat luar dalam waktu yang lama. Unsur-unsurnya adalah:
a) Adanya tingkah laku seseorang;
b) Dilakukan terus menerus;
c) Adanya dimensi waktu;
d) (d)Diikuti orang lain.2
1
Hermanto Suanglangi, “Iman Kristem dan Akal Budi,” Jurnal Teologi dan Studi Pastoral, 1 (2018), 43–52.
2
Erwin Soetoto, Zulkifli Ismail, dan Melaniie Lestari, Buku Ajar Hukum Adat, 1 ed. (Malang: Madza Media,
2021).
Adat istiadat menunjukkan bentuk, sikap, tindakan (perubahan) manusia pada
masyarakat hukum adat untuk mempertahankan adat istiadat yang berlaku di
lingkungan wilayahnya.Adat istiadat terkadang dipertahankan karena kesadaran
masyarakatnya, namun tidak jarang pula adat istiadat dipertahankan dengan sanksi
atau akibat hukum sehingga menjadi hukum adat.3
Adat-istiadat dapat mencerminkan jiwa suatu masyarakat atau bangsa dan
merupakan suatu kepribadian dari suatu masyarakat atau bangsa. Tingkat peradaban,
cara hidup yang modern seseorang tidak dapat menghilangkan tingkah laku atau adat
istiadat yang hidup dan berakar dalam masyarakat. Adat selalu menyesuaikan diri
dengan keadaan dan kemajuan jaman, sehingga adat itu tetap kekal. Adat-istiadat
yang hidup di dalam masyarakat erat sekali kaitannya dengan tradisi-tradisi rakyat
dan ini merupakan sumber pokok daripada hukum adat. Prof. Kusumadi Pudjosewojo
mengatakan bahwa adat adalah tingkah laku yang oleh masyarakat diadatkan. Adat ini
ada yang tebal dan tipis dan senantiasa menebal dan menipis. Aturan-aturan tingkah
laku di dalam masyarakat ini adalah aturan adat dan bukan merupakan aturan hukum.4
2.3 Pandangan Iman Kristen Terhadap Adat Istiadat
Berdasarkan Markus 7:1-8 melukiskan orang Farisi dan ahli Taurat sebagai
orang yang memegang teguh adat-istiadat Yahudi sebagai tradisi bahkan hampir saja
menempatkan adat istiadat tersebut setara dengan Hukum Taurat Musa. Teks ini
dengan jelas memperlihatkan “pertentangan” Yesus dengan orang-orang Farisi dan
ahli-ahli Taurat sehubungan dengan masalah adat istiadat manusia yang seringkali
diperlakukan lebih istimewa daripada perintah Allah sendiri. Tradisi adat istiadat yang
menjadi pokok persoalan dalam teks ini adalah tentang hal membasuh tangan sebelum
makan, dan beberapa tradisi lainnya juga disebut, seperti mencuci cawan, kendi dan
perkakas-perkakas tembaga. Tradisi ini dipelihara dengan ketat oleh orang-orang
Yahudi dengan menjadikannya sebagai ukuran/standar suci-najis .Itulah sebabnya
orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat ini keberatan kepada Yesus ketika murid-
murid-Nya makan dengan tangan najis, yaitu dengan tangan yang tidak dibasuh.5
Yesus pun merespons pertanyaan orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat
tersebut dengan cara yang amat cerdas. Dia tidak menghilangkan tradisi adat istiadat
tersebut atas nama Firman Tuhan, dan tentunya Dia tidak ikut-ikutan dengan mereka
yang memperlakukan tradisi tersebut melebihi Firman Tuhan sendiri. Yesus berfokus
pada kemunafikan mereka, yang seolah-olah memuliakan Tuhan, tetapi sesungguhnya
hidup mereka sehari-hari tidak mencerminkan hidup orang yang sungguh-sungguh
taat pada perintah Tuhan. Sebaliknya, mereka malah mengabaikan perintah Allah
hanya demi adat istiadat nenek moyang mereka. Banyak hal dalam perintah Tuhan
yang mereka abaikan demi untuk memelihara tradisi adat istiadat tersebut, antara lain
perihal menghormati orangtua, atau perihal keadilan, belas kasihan dan kesetiaan.
Sekali lagi, Yesus tidak membatalkan tradisi adat istiadat manusia tersebut, Dia hanya
meluruskan pola pikir, sikap, dan cara memperlakukan tradisi tersebut supaya tidak
mengalahkan ketaatan manusia atas perintah Tuhan sendiri. Melalui respons-Nya ini
3
Soetoto, Ismail, dan Lestari.
4
Pilemon Bukit, “Pandangan Kristen tentang Kebudayaan dan Adat Istiadat di dalamnya,” Jurnal Teologi dan
Pelayanan Kristiani, 2.1 (2019), 1–15.
5
Jemmy C Najoan, “Analisa Kontekstual Markus 7:1-23 dalam Hubungan dengan Peraturan Makanan di PL,”
Jurnal Koinonia, 13.1 (2021), 21–33.
Yesus juga hendak menegaskan bahwa ukuran suci atau najis tidak ditentukan oleh
ketaatan pada tradisi adat istiadat tersebut, tetapi lebih pada isi hati manusia, apakah
manusia tersebut sungguh-sungguh taat pada perintah Tuhan atau sebaliknya tidak
taat.
Inti dari Markus 7:1-8 ini ada di ayat 8 “perintah Allah kamu abaikan untuk
berpegang pada adat istiadat manusia”. Melalui kata-kata ini, Yesus hendak
mengingatkan manusia yang seringkali mengutamakan hal-hal sekunder sementara
mengabaikan hal-hal yang lebih substansial dalam kehidupan ini. Fenomena ini
terjadi sepanjang zaman, termasuk di dalam gereja. Lihatlah misalnya, betapa orang-
orang Kristen suka memperdebatkan cara baptisan, sementara inti dari baptisan itu
diabaikan. Atau, kita seringkali, dan terus menerus, memperdebatkan tradisi perayaan
Natal, sebelum tanggal 25 Desember ataukah setelahnya? Kita berlelah-lelah
memperdebatkannya, sementara kita lupa pada inti dari perayaan Natal itu sendiri.
Masih berkaitan dengan perayaan Natal, pelaksanaan undian Natal (lucky draw)
semakin lama semakin mendominasi perayaan-perayaan Natal kita, seolah-olah
undian itulah yang menandakan adanya perayaan Natal. Pada masa lalu, dan masih
ada sampai sekarang di beberapa tempat, kita menerapkan dan juga merespons gendre
baru secara emosional, kita begitu lelah untuk itu, sementara inti ibadah terlewatkan
begitu saja. Ada orang yang bahkan menghakimi sesamanya hanya karena cara
berdoanya yang agak berbeda dari tradisi yang sudah umum yaitu melipat tangan dan
menutup mata. Di beberapa tempat, terutama di Nias, ketaatan manusia atas tradisi
adat istiadatnya jauh lebih kuat dibanding ketaatannya pada perintah Tuhan. Lihat
misalnya, tradisi fangotome’ö yang sepertinya begitu mulia, sebab anak-cucu
memperlihatkan betapa mereka mengasihi dan menghormati orangtua mereka. Tetapi,
apakah mereka sudah menunjukkan kasih dan penghormatan kepada orangtua di
sepanjang hidupnya.
Keanehan lain adalah begitu banyaknya orang Kristen, termasuk pada hamba
Tuhan, yang begitu berapi-api di gereja, penampilannya tampak begitu saleh, tetapi di
luar gereja, dalam kehidupannya sehari-hari di rumah, atau di tempat kerja, tidak
mencerminkan sebagai orang yang takut akan Tuhan. Kita memang seringkali lebih
banyak mengurus hal-hal yang remeh-temeh, tidak begitu penting, tidak begitu
menentukan kualitas iman kita; kita lebih banyak menghabiskan waktu dan energi
untuk memperdebatkannya, dan, entah disadari atau tidak, kita pun pada akhirnya
mengabaikan atau tidak mengerjakan hal-hal yang lebih utama untuk pertumbuhan
iman kita.
BAB 3 KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa adat istiadat tidak salah jika
disandingkan dengan kehidupan orang Kristen.Namun,selama adat istiadat itu tidak
bertentangan dengan kehendak Yesus Kristus.Karena Tuhan tidak bermaksud meniadakan
adat-istiadat dan tradisi nenek moyang namun janganlah menempatkan tradisi manusia setara
dengan ajaran Yesus. Janganlah kita mengesampingkan perintah Tuhan demi otoritas adat-
istiadat yang semu. Maka jika ada aturan-aturan manusia yang berhubungan dengan kita yang
tidak sesuai dengan Firman Tuhan, maka kita harus kritis untuk memperbaikinya. Tuhan
tidak menghendaki seseorang yang kelihatannya melakukan perintah Tuhan, namun dalam
kenyataannya aturan dan kehendak manusia yang lebih dominan.
DAFTAR PUSTAKA
Bukit, Pilemon, “Pandangan Kristen tentang Kebudayaan dan Adat Istiadat di dalamnya,”
Jurnal Teologi dan Pelayanan Kristiani, 2.1 (2019), 1–15
Najoan, Jemmy C, “Analisa Kontekstual Markus 7:1-23 dalam Hubungan dengan Peraturan
Makanan di PL,” Jurnal Koinonia, 13.1 (2021), 21–33
Soetoto, Erwin, Zulkifli Ismail, dan Melaniie Lestari, Buku Ajar Hukum Adat, 1 ed. (Malang:
Madza Media, 2021)
Suanglangi, Hermanto, “Iman Kristem dan Akal Budi,” Jurnal Teologi dan Studi Pastoral, 1
(2018), 43–52

Anda mungkin juga menyukai