PENDAHULUAN
1
Di luar periode neonatal, korioretinitis dapat didiagnosis dalam kondisi
klinis yang beragam dan dimana dapat mencerminkan penyakit baru atau
reaktivasi dari penyakit sebelumnya. Toxoplasmosis kongenital adalah penyebab
paling umum dari infeksi korioretinitis pada anak imunokompeten.4,5,6
Infeksi toksoplasmosis juga dapat bermanifestasi pada tempat lain diluar
mata seperti gangguan pertumbuhan intrauterin, mikrosefali, mikroftalmia,
katarak, uveitis, cacat pendengaran, osteomielitis, hepatosplenomegali,
limfadenopati, eritropoiesis kulit, karditis, dan penyakit jantung bawaan.4,5,6
Pengetahuan tentang korioretinitis toxoplasma sangat diperlukan untuk
mendeteksi kemungkinan penyakit ini sejak awal terutama sejak masa kehamilan
untuk menghindari infeksi kongenital, sehingga pencegahan dan pengobatan
terhadap penyakit ini bisa dilakukan lebih cepat.
Makalah ini membahas tentang korioretinitis toksoplasma mulai morfologi
dan daur hidup toksoplasma, hubungan dengan penyakit lain akibat infeksi
toksoplasma sampai pada pengobatan korioretinitis toksoplasma.
2
BAB 2
SARI PUSTAKA
3
Gambar 1. Takizoit Toxoplasma gondii.2
Keterangan: A. Takizoit dalam sel mononuklear besar
B. Takizoit bebas dalam darah
Di otak bentuk kista lonjong atau bulat, tetapi di dalam otot bentuk kista
mengikuti bentuk sel otot. Kista ini merupakan stadium istirahat dari T. gondii.
Pada infeksi kronis kista dapat ditemukan dalam jaringan organ tubuh dan
terutama di otak.2,4.5
Ookista berbentuk lonjong, berukuran 11-14 x 9-11 mikron. Ookista
mempunyai dinding, berisi satu sporoblas yang membelah menjadi dua
sporoblas. Pada perkembangan selanjutnya ke dua sporoblas membentuk
dinding dan menjadi sporokista. Masing-masing sporokista tersebut berisi 4
sporozoit yang berukuran 8 x 2 mikron dan sebuah benda residu. Kucing dan
jenisnya adalah host definitif T. gondii; replikasi parasit terjadi di usus besar.
Selama infeksi akut, beberapa juta ookista (10x12 µm) dihasilkan dalam kotoran
kucing selama 7-21 hari. Setelah sporulasi, yang berlangsung antara 1 sampai
21 hari, ookista menghasilkan sporozoit yang infektif dan ketika ditelan oleh
mamalia (termasuk manusia) berkembang menjadi stadium takizoit.2,4.5
Bradizoite bertahan dalam kista selama hidup dalam sel host (Gambar 1).
Secara morfologis bradizoit identik dengan takizoit tapi perkembangbiakannya
lebih lambat, mengekspresikan tahap molekul yang spesifik, dan yang secara
fungsional berbeda. Jaringan kista mengandung ratusan sampai ribuan bradizoit
dan terbentuk dalam sel host terutama di otak, tulang dan otot jantung. Bradizoit
kemudian dapat dilepaskan dari kista, dan kembali berubah menjadi takizoit,
yang menyebabkan kambuhnya infeksi pada pasien immunocompromised. Kista
merupakan tahap infektif untuk host intermediat dan definitif. 2,4,5,6
4
2.2. DAUR HIDUP
Kucing dan hewan sejenisnya merupakan hospes definitif dari T. gondii.
Di dalam usus kecil kucing sporozoit menembus sel epitel dan tumbuh menjadi
trofozoit. Inti trofozoit membelah menjadi banyak sehingga terbentuk skizon.
Skizon matang pecah dan menghasilkan banyak merozoit (skizogoni). Daur
aseksual ini dilanjutkan dengan daur seksual. Merozoit masuk ke dalam sel epitel
dan membentuk makrogametosit dan mikrogametosit yang menjadi makrogamet
dan mikrogamet (gametogoni). Setelah terjadi pembuahan terbentuk ookista,
yang akan dikeluarkan bersama tinja kucing. Di luar tubuh kucing, ookista
tersebut akan berkembang membentuk dua sporokista yang masing-masing
berisi empat sporozoit (sporogoni) (Krahenbuhl dan Remington, 1982). Bila
ookista tertelan oleh mamalia seperti domba, babi, sapi dan tikus serta ayam
atau burung, maka di dalam tubuh hospes perantara akan terjadi daur aseksual
yang menghasilkan takizoit. Takizoit akan membelah, kecepatan membelah
takizoit ini berkurang secara berangsur kemudian terbentuk kista yang
mengandung bradizoit. Bradizoit dalam kista biasanya ditemukan pada infeksi
menahun (infeksi laten).2,3,4,5
Bila kucing sebagai hospes definitif memakan hospes perantara yang
terinfeksi maka berbagai stadium seksual di dalam sel epitel usus muda akan
terbentuk lagi. Jika hospes perantara yang dimakan kucing mengandung kista T.
gondii, maka masa prepatennya 2 -3 hari. Tetapi bila ookista tertelan langsung
oleh kucing, maka masa prepatennya 20 -24 hari. Dengan demikian kucing lebih
mudah terinfeksi oleh kista dari pada oleh ookista(gambar 2).4,5,7,8,9
5
2.3. EPIDEMIOLOGI
Toxoplasma gondii ditemukan di seluruh dunia. Infeksi terjadi, di mana
adakucing yang mengeluarkan ookista bersama tinjanya. Ookista ini adalah
bentuk yanginfektif dan dapat menular pada manusia atau hewan lain.2,4,6,7,9
Seekor kucing dapat mengeluarkan sampai 10 juta ookista sehari selama
2minggu. Di dalam tanah yang lembab dan teduh, ookista dapat hidup lama
sampailebih dari satu tahun. sedangkan tempat yang terkena sinar matahari
langsung dantanah kering dapat memperpendek hidupnya. Bila di sekitar rumah
tidak ada tanah,kucing akan berdefekasi di lantai atau tempat lain, di mana
ookista bisa hidup cukuplama bila tempat tersebut lembab. Cacing tanah
mencampur ookista dengan tanah,kecoa dan lalat dapat menjadi vektor mekanik
yang dapat memindahkan ookista dari tanah atau lantai ke makanan. Ookista ini
dapat hidup lebih dari satu tahun di tanah yang lembab. Bilaookista tertelan oleh
tikus, tikus terinfeksi dan akan terbentuk kista dalam otot danotaknya. Bila tikus
dimakan oleh kucing, maka kucing akan tertular lagi. Bila ookista ini tertelan oleh
manusia atau hewan lain, maka akan terjadi infeksi. Misalnyakambing, sapi dan
kuda pemakan rumput yang mungkin tercemar tinja kucing yang mengandung
ookista, dapat terinfeksi. Juga ayam dan burung yang mencari makan di tanah
(misal cacing tanah) juga dapat terinfeksi. Manusia juga dapat tertular dengan
ookista di tanah, misalnya bila makan sayur-sayuranmentah yang tercemar tinja
kuning, atau setelah berkebun lupa mencuci tangan sewaktu mau makan. Anak
balita yang bermain di tanah juga dapat terinfeksi oleh ookista.2,3,4,7,9
Penyebaran Toxoplasma gondii sangat luas, hampir di seluruh dunia,
termasuk Indonesia baik pada manusia maupun pada hewan. Sekitar 30%
daripenduduk Amerika Serikat positif terhadap pemeriksaan serologis, yang
menunjukkan pemah terinfeksi pada suatu saat dalam masa hidupnya.Kontak
yang sering terjadi dengan hewan terkontaminasi atau dagingnya, dapat
dihubungkan dengan adanya prevalensi yang lebih tinggi di antara dokter hewan,
mahasiswa kedokteran hewan, pekerja di rumah potong hewan dan orang
yangmenangani daging mentah seperti juru masak.Krista T. gondii dalam daging
dapat bertahan hidup pada suhu -40˚C sampaitiga minggu. Kista tersebut akan
mati jika daging dalam keadaan beku pada suhu -150˚C selama tiga hari dan
pada suhu -200˚C selama dua hari. Daging dapat menjadi hangat pada semua
bagian dengan suhu 650˚C selama empat sampai lima menit atau lebih maka
secara keseluruhan daging tidak mengandung kista aktif, demikian juga hasil
6
daging siap konsumsi yang diolah dengan garam dan nitrat. Konsumsi daging
mentah atau daging yang kurang masak merupakan sumber infeksi pada
manusia. Tercemamya alat-alat untuk masak dan tangan oleh bentuk infektif
parasit ini padawaktu pengolahan makanan merupakan sumber lain untuk
penyebaran T. gondii.2,4,5,7,9
2.4. Prevalensi
Prevalensi T. Gondii berbeda di berbagai daerah secara geografik,
sepertipada ketinggian yang berbeda di daerah dataran rendah prevalensi
parasit ini lebih tinggi dibandingkan dengan daerah dataran tinggi. Prevalensi
parasit ini juga lebih tinggi didaerah tropik. Pada umumnya prevalensi T. gondii
meningkat sesuai dengan umur, tidak ada perbedaan antara pria dan wanita.
Pada manusia prevalensi T. Gondii yang di periksa dengan tes wama di berbagai
negara adalah: USA 13-68 %, Austria 7-62 %, El Salvador 40-93 %,Finlandia 7-
35 %, Inggris 8-25 %, Paris 33-87 %, Tahiti 45-77 %. Di Jepang 59-78 % pada
7
pekerja rumah potong hewan dan 21,7 % pada populasi penduduk dengan umur
sama. 2
Di berbagai negara toksoplasmosis kongenital terdapat pada 0,25-7 %
dari setiap 1000 kelahiran hidup. Di Jepang terdapat prevalensi T. gondii pada
babi 0,33 %, dan pada sapi 1,33 %. Lalat dan kecoa secara praktis juga penting
dalam penyebarannya.2
Di Indonesia, prevalensi T. gondii pada hewan adalah sebagai berikut:
kucing 35-73 %, babi 11-36 %, kambing 11-61 %, anjing 75 % dan pada temak
lain kurang dari 10 %. Prevalensi T. gondii yang positif pada manusia di
Indonesia berkisar antara 2-63 %.1
Prevalensi T. gondii pada wanita hamil di Rumah Sakit Dr. Cipto
Mangunkusumo, Jakarta adalah 14,3 % dan angka seropositif pada 50 kasus
abortus di Bagian Obsgin adalah 67,8 % . Pada tahun 1985, 810 serum wanita
diperiksa terhadap antibodi Toxoplasma, yang terdiri dari 288 serum dari wanita
yang tidak pemah abortus atau kematian janin dalam kandungan, 409 serum
wanita dengan abortus habitualis atau sporadik dan 145 serum wanita dengan
riwayat kematian janin dalam kandungan. Dua puluh empat dari 409 wanita
dengan riwayat abortus juga mengalami kematian janin dalam kandungan.
Angka seropositif antibodi Toxoplasma pada berbagai kelompok wanita yang
diperiksa tidak dapat ditemukan perbedaan yang bermakna. Pada orang dewasa
dan anak-anak dengan retinokoroiditis, prevalensi antibodi adalah 60 %,
sedangkan pada pasien dengan penyakit mata lain prevalensi 17 %. Angka
prevalensi toksoplasmosis kongenital pada bayi baru lahir belum ada, namun
kasus toksoplasmosis kongenital telah banyak dilaporkan di Indonesia.
Dilaporkan juga kasus kebutaan pada anak umur 18 bulan. Kasus
toksoplasmosis kongenital pada bayi berumur 13 bulan dan 6,5 bulan dengan
retardasi mental dan motorik serta kelainan mata. Antibodi T. gondii ditemukan
pada 7 (10,6%) dari 66 anak hidrosefalus di Jakarta, yang berumur antara 1 hari
sampai 12 tahun, dengan titer IHA > 1 : 256. Dari 99 bayi dengan cacat
kongenital,berumur antara 1 hari sampai 6 bulan temyata 18,2 % menderita
toksoplasmosis kongenital dengan ditemukan IgM, titer IgG yang meningkat atau
tetap tinggi, dan dengan ditemukan parasit pada autopsi. Lazuardi dkk. (1989)
melaporkan antibodi T. gondii pada 44.6 % anak dengan retardasi mental, 44,6
% pada anak dengan lesi mata dan 9,5% pada anak dengan gejala umum.
8
Widyantoro (1989) menemukan 7 kasus toksoplasmosis kongenital pada 18 bayi
yang ibunya mempunyai titer IgG tinggi.1
2.5. Patogenesis
Manusia dapat terinfeksi oleh T. gondii dengan berbagai cara yaitu makan
daging mentah atau kurang masak yang mengandung kista T. gondii, termakan
atau tertelan bentuk ookista dari tinja kucing, misalnya bersama buah-buahan
dan sayur-sayuran yang terkontaminasi. Juga mungkin terinfeksi melalui
transplantasi organ tubuh dari donor penderita toksoplasmosis laten kepada
resipien yang belum pemah terinfeksi T. gondii. Kecelakaan laboratorium dapat
terjadi melalui jarum suntik dan alat laboratorium lain yang terkontaminasi oleh T.
gondii. Infeksi kongenital terjadi secara intra uterin melalui plasenta. Setelah
terjadi infeksi T. gondii ke dalam tubuh maka akan terjadi proses yang terdiri dari
tiga tahap yaitu tahap pertama merupakan tahap parasitemia, di mana parasit
menyerang organ dan jaringan serta memperbanyak diri dan menghancurkan
sel-sel host. Perbanyakan diri ini paling nyata terjadi pada jaringan
retikuloendotelial dan otak, di mana parasit mempunyai afinitas paling besar.
Pembentukan antibodi merupakan tahap kedua setelah terjadinya infeksi. Tahap
ketiga merupakan fase kronik, dimana terbentuk kista-kista yang menyebar di
jaringan otot dan syaraf, yang sifatnya menetap tanpa menimbulkan peradangan
lokal.9,10,11
Secara garis besar sesuai dengan cara penularan dan gejala klinisnya,
toksoplasmosis dapat dikelompokkan atas: toksoplasmosis akuisita (akuisita) dan
toksoplasmosis kongenital. Baik toksoplasmosis akuisita maupun kongenital
sebagian besar asimptomatis atau tanpa gejala. Keduanya dapat bersifat akut
dan kemudian menjadi kronik atau laten. Gejala yang nampak sering tidak
spesifik dan sulit dibedakan dengan penyakit lain.9,10,11
Toksoplasmosis akuisita biasanya tidak diketahui karena jarang
menimbulkan gejala. Tetapi bila seorang ibu yang sedang hamil mendapat
infeksi primer, ada kemungkinan bahwa 50% akan melahirkan anak dengan
toksoplasmosis kongenital.9,10,11
Ukuran inokulum, virulensi organisme,latar belakang genetik, jenis
kelamin, dan status imunologi tampaknya mempengaruhi jalannya infeksi
toksoplasmosis pada manusia dan hewan. Setelah parasit tertelansecara oraldan
kemudian dicerna, selanjutnya secara aktif akan menginvasi atau memfagosit sel
9
epitel usus.Secara intraseluler,T. gondii menginduksi pembentukan vakuola
parasitophorousyang mengsekresi protein parasit dan termasuk protein host
yang biasanya akan mempromosikan pematangan fagosom, sehingga
mencegah fusi lisosom. Itu merupakan karakterisasi molekuler dan fungsi
beberapa proteindari organel parasit yang berbeda, termasuk
rhoptries,micronemes dan beberapa butiran padat;molekul-molekul ini dan
takizoit imunodominan merupakan antigen permukaan SAG1, adanya antigen ini
adalah merupakan faktor yang paling menjanjikanuntuk pembuatan vaksin.9,10,11
Infeksi dengan T. Gondii menghasilkan respon yang kuat dariT-helper-1
(Th1) yang ditandai dengan produksisitokin proinflamasi termasuk interleukin
12,interferonƴ, dan tumor necrosis factor α. Akibat reaksi tersebut sitokin dan
imunologi lainnya akan melindungi host terhadap replikasi cepat takizoit dan
perubahan patologis berikutnya. Setelah invasi enterosit, T. gondii menginfeksi
antigen-precenting cell di lamina propria usus dan menginduksi respon lokal
sementara dari Th1.Sel-dendritik dengan kemampuan mereka untuk
menghasilkan interleukin12 adalah penggerak utama dari Th1 sebagairespon
imun setelah infeksi T. gondii pada tikus.Granulosit juga dapat berkontribusi
untuk produksi awalinterleukin 12. Makrofag diaktifkan untuk menghambat
ataumembunuh T. Gondii intraseluler. Namun, sebagian parasit dapat menangkal
rekasi imun ini bahkan sejak tahap awal infeksi. T. gondii dapat memanfaatkan
antigen-presenting cell sebagai socalledTrojan horsesseperti downregulatorysel
molekul permukaan dan mengganggu jalur apoptosis.CD4 + dan CD8 + T limfosit
keduanya bersifat sitotoksik untuk T. gondii yang menginfeksi sel. Agen
proinflamasi (misalnya,interferonƴ dan tumor necrosis factor α) dan
downregulatory (misalnya, interleukin 10, transforming growthfaktorβ) sitokin
terlibat dalam menyeimbangkan respon tersebut. Jumlah sel T meningkat selama
infeksi akut. Dalam waktu 2 minggu setelah infeksi, IgG,IgM, IgA, dan IgE
antibodi terhadap protein T. Gondii dapat dideteksi. Produksi antibodi IgA pada
permukaan mukosa akan melindungi host terhadap reinfeksi, dan bila terjadi
reinfeksi tidak akan menimbulkan gejala penyakit atau transmisi kongenital dari
parasit.9,10,11,12
10
Gambar 4. Proses penghancuran jaringan yang diinduksi oleh
Toksoplasma.9
11
intrakranial dan korioretinitis. Pada anak yang lahir prematur, gejala klinis lebih
berat dari anak yang lahir cukup bulan, dapat disertai hepatosplenomegali,
ikterus, limfadenopati, kelainan susunan syaraf pusat dan lesi mata. 9,11,12,13,14,15
Infeksi T. gondii pada individu dengan imunodefisiensi menyebabkan
manifestasi penyakit dari tingkat ringan, sedang sampai berat, tergantung
kepada derajat imunodefisiensinya. Infeksi T. gondiilebih nyatapada penderita
imunodefisiensi, misalnya pada penderita karsinoma, leukemia atau penyakit lain
yang diberi pengobatan kortikosteroid dosis tinggi atau radiasi. Gejala yang
timbul umumnya demam tinggi, disertai gejala susunan syaraf pusat karena
adanya ensefalitis difus. Gejala klinis yang berat ini mungkin disebabkan oleh
eksaserbasi akut dari infeksi yang terjadi sebelumnya atau akibat infeksi baru
yang menunjukkan gejala klinis yang dramatis karena adanya imuno-defisiensi.
Pada penderita AIDS, infeksi T. gondii sering menyebabkan ensefalitis
dan kematian. Sebagian besar penderita AIDS dengan ensefalitis akibat T. gondii
tidak menunjukkan pembentukan antibodi dalam serum. 9,11,12,13,14,15
Infeksi T. gondii bisa hilang tanpa diketahui penyebabnya atau bisa
menyebabkan tanda dan gejala yang bervariasi tergantung pada status
kekebalan pasien dan kondisi klinis misalnya pada pasien dengan
imunokompeten, penyakit mata, immunocompromised, atau toksoplasmosis
kongenital. 9,11,12,13,14,15
12
2.6.2. Okuler Toksoplasmosis
Korioretinitis toksoplasma dapat ditemukan pada penyakit kongenital atau
penyakit postnatal oleh karena infeksi akut atau reaktivasi infeksi sebelumnya.
Korioretinitis pada orang dengan toksoplasmosis akut dapat muncul sporadis
atau sebagai akibat wabah penyakit akut. Tanda khas korioretinitis toxoplasma
termasuk lesi fokal berwama putih dan reaksi inflamasi intra vitreal diatasnya.
Tanda klasik seperti melihat lampu dalam kabut, ini disebabkan karena adanya
lesi retina aktif dengan reaksi inflamasi yang berat. Lesi yang rekuren biasanya
dapat dilihat adanya kelainan pada perbatasan bekas luka korioretinal, yang
biasanya ditemukan berkelompok. Korioretinitis pada orang dewasa secara
tradisional dianggap sebagai manifestasi akhir dan merupakan reaktivasi
penyakit kongenital, namun telah telah dilaporkan juga adanya peningkatan
frekuensi oleh karena infeksi akut. Untuk menentukan apakah penyakit ini
merupakan asli infeksi kongenital atau akuisita pada pasien yang mengalami
korioretinitis masih sulit.7,8,9,10,12,15,16
13
dan Nocardia spp, ataubakteri pada abses otak. Toksoplasmosis pada pasien
immunocompromised juga dapat menunjukan gejala dan tanda sebagai
korioretinitis, pneumonitis, atau gangguan multiorgan lainnya seperti kegagalan
pemafasan akut dan kelainan hemodinamikyang mirip dengan septik shock.
Pneumonia Toxoplasma tampaknya lebih sering terjadi pada penerima
transplantasi sumsum tulang dan pada pasien dengan AIDS.9,17,18,19
2.7. Diagnosis
2.7.1. Gejala dan Tanda Klinis
2.7.1.1. Toksoplasmosis Akut. .
Gejala umum pada individu dengan sistem kekebalan tubuh yang sehat meliputi:
kelelahan diikuti dengan demam, sakit kepala, malaise, dan mialgia, anoreksia.
14
Pembengkakan kelenjar getah bening dapat terjadi dan dapat bertahan atau
berulang pada waktu yang berbeda selama infeksi. Pada anak-anak dan pasien
immunocompromised, infeksi akut dapat menyebabkan: lesi otak, ensefalitis,
hidrosefalus, dan kerusakan pada mata (retinochoroiditis). Ensefalitis
toksoplasma yang paling mungkin untuk mempengaruhi korteks serebral, diikuti
oleh basal ganglia, otak kecil dan batang otak.9,10,11,16,17,19,20
15
Gambar 5. Lesi pada Korioretinitis Toksoplasma
2.7.2. Serologi
Infeksi T. gondii dapat didiagnosis secara tidak langsung dengan metode
serologi dan langsung oleh PCR, hibridisasi, isolasi, dan histologi. Metode
serologi tidak langsung banyak digunakan pada pasien imunokompeten,
diagnosis definitif pada orang immunocompromised adalah sebagian besar
dilakukan dengan deteksi langsung pada parasit. Percobaan langsung pada
organisme (inokulasi tikus, kultur sel, atau PCR untuk DNAT. gondii) dari cairan
serebrospinal, darah, dan urin. Pemeriksaan optalmologi, pemeriksaan radiologi
dan pemeriksaan cairan serebrospinal dapat membantu diagnosis penyakit
kongenital.16,17,18
16
antibodi. Dimana IgG timbul dalam waktu 1-2 minggu setelah infeksi dan
bertahan sampai seumur hidup. 16,17,18
Tes untuk aviditas (afinitas fungsional) antibodi IgG telah menjadi standar
untuk membedakan antara infeksi baru dan infeksi lama. Keberadaan antibodi
aviditas tinggi merupakan dasar untuk menentukan infeksi yang akuisita sampai
akhir bulan 3-4, sebaliknya antibodi aviditas rendah dapat bertahan melampaui
bulan ke 3 infeksi. Diferensialaglutinasi (AC / HS) tes juga telah terbukti
membantu dalam membedakan antara infeksi akut atau kronis pada wanita hamil
yang dapat dikombinasi dengan paneltes yang lain. Pemeriksaan Double
Sandwich IgM ELISA dan IgM immunosorbent agglutination assay (ISAGA) dapat
digunakan untuk mendeteksi antibodi IgM yang timbul dalam minggu pertama
infeksi, yang kemudian meningkat dengan cepat, selanjutnyamenurun lalu
menghilang dengan nilai yang sangat bervariasi.Hasil false positif dengan titer
positif yang menetap bahkan bertahun-tahun setelah infeksi awal dapat
menghambat interpretasi yang benar dari hasil yang diperoleh pada pemeriksaan
tes antibodi IgM.Nilai pengujian yang dapat menjadi pegangan yakni apabila
hasil pemeriksaan IgM negatif maka dapat disimpulkan bahwa adanya infeksi
baru yang akuisita bisa disingkirkan. 16,17,18
17
Pemeriksaan menggunakan tes IgM ISAGA sangat sensitif dan spesifik
dan sering digunakan untuk mendiagnosis infeksi kongenital pada bayi yang baru
lahir. Tetapi pemeriksaan untuk mendeteksi antibodi IgA dianggap lebih sensitif
dibandingkan pemeriksaan untuk mendeteksi antibodi IgM pada janin dan bayi
baru lahir. Antibodi IgG yang ditemukan dalam serum bayi yang baru lahir bisa
bisa berasal dari bayi itu sendiri atau ibunya. Pada bayi yang terinfeksi
pemeriksaan antibodi IgM dan IgA dapat memberikan gambaran infeksi sampai
dengan 75%. Bayi yang dicurigai menderita toksoplasmosis kongenital dapat
memberikan hasil IgG positif tetapi hasil pemeriksaan IgM dan IgA negatif.
Antibodi IgG yang diturunkan saat kehamilan biasanya menurun dan hilang
dalam waktu 6-12 bulan. 16,17,18,19
Pada orang dewasa, antibodi IgA dapat tetap positif selama satu tahun
atau lebih, sehingga untuk mendiagnosis adanya infeksi baru pada orang
tersebut masih dianggap kecil bila hanya berdasarkan pemeriksaaan antibodi IgA
tersebut. Tes untuk mengetahui pembentukan antibodi IgE hanya bisa dipakai
bila dilakukan dengan kombinasi metode pemeriksaan serologi yang lain.
Produksi antibodi lokal pada mata telah berhasil digunakan untuk mendiagnosis
toxoplasmosis okular. 16,17,18,19
Lesi di otak akibat infeksi toksoplasmosis terutama pada pasien
immunocompromised dapat dideteksi dengan pemeriksaan MRI, CT, scan atau
PET. Gambaran lesi tersebut dapat menjadi dasar untuk segera memulai
pengobatan terhadap toksoplasmosis akut. Jika ternyata dalam pengobatan
kondisi membaik, maka toksoplasmosis dapat disimpulkan sebagai penyebab
dari lesi. Bila sulit untuk menentukan penyebab lesi dari pencitraan saja, teknik
pemeriksaan lain juga dapat dipakai seperti Fluorodeoxyglucose PET (FDG-PET)
dan dengan peningkatan kontras secara dinamik pada MRI, juga memberikan
gambaran perbedaan antara lesi oleh karena kanker atau oleh karena
toksoplasma. 16,17,18,19
18
Gambar 7. Hasil MRI yang menunjukkan lesi di otak oleh karena toksoplasma.17
19
perifer, cairan serebrospinal dan urin dapat dipertimbangkan sebagai bahan
pemeriksaan PCR pada setiap bayi yang baru lahir yang diduga memiliki
penyakit kongenital. PCR dari cairan vitreous atau humor aquous dapat
membantu menegakkan diagnosis pada pasien yang datang dengan lesi retina
atipikal, yang menunjukkan respon suboptimum terhadap pengobatan
antitoxoplasma, atau pasien yangimmunocompromised. Pada pasien
immunocompromisedyang diduga telah menderita atau menularkan
toksoplasmosis, pemeriksaan PCR darah (buffy coat), cairan tubuh(termasuk
bronchoalveolar lavage atau serebrospinal, pleura, asites, peritoneal, atau cairan
okular) danaspirasi sumsum tulang, merupakan bahan yang pentinguntuk
diagnostik.Hasil pemeriksaan PCR jaringan otak yang positif mungkin tidak bisa
membedakan antara pasien toksoplasma ensefalitis dan orang dengan riwayat
patologi jaringan otak yang berbeda seperti oleh karena infeksi kronis (dorman
infeksi) olehT. gondii. 9,16,17,18
Pemeriksaan takizoit dari bagian jaringan atau apusan cairan tubuh,
misalnya, bronchoalveolar lavage atau cairan serebrospinal menunjukkan bahwa
T. gondii menyebabkan perubahan patologis yang terlihat pada jaringan yang
terinfeksi atau pasien. Takizoit dapat ditemukan pada infeksi akut primer atau
reaktivasi dari infeksi laten sebelumnya.Teknik pemeriksaan immunoperoxidase,
yang menggunakan antisera dariT. gondii, telah terbukti sensitif dan spesifik
dansangat baik untuk bagian jaringan konvensional yang terkena. Hasil tersebut
dapat digunakan untuk menunjukkan adanya parasit pada susunan saraf pusat
pasien AIDS. 9,16,17,18
Pada kasus tertentu dimana pada hasil pemeriksaaan lesi di retina masih
meragukan untuk menegakkan diagnosis kearah korioretinitis toxoplasma maka
perlu dilakukan pemeriksaan antibodi spesifik T. gondiidari cairan mata yang
biasanya memberikan hasil yang abnormal (Goldman-Witmer koefisien) dan
dapat dilakukan pemeriksaaan parasit dengan PCR dalam menunjang
penegakkan diagnosis. 9,16,17,18
20
Tabel 1. Tes diagnostik untuk toksoplasma pada skenario klinis yang
berbeda.9
21
dengan interpretasi yang benar oleh orang yang ahli di bidang tersebut, sehingga
dapat mengurangi tingkataborsi yang tidak perlu sampai sekitar 50% pada wanita
dengan hasil tes IgM toxoplasma positif yang dilakukan oleh laboratorium luar
yang belum direkomendasikan.5,10,11
Hasil tes negatif untuk antibodi IgM selama trimester pertama dan kedua
dapat menjadi dasar untukmenyingkirkan adanya infeksi baru, kecuali sampel
serum yang diambilterlalu awal sehingga respon antibodi IgM belum terdeteksi
(sangatjarang) atau pengambilannya terlambat sehingga antibodi IgM sudahtidak
terdeteksi. Diagnosis definitif infeksi akut atau toksoplasmosis memerlukan
pengujian kenaikan titer dalam spesimen secara serial (baik konversi dari negatif
ke titer positif atau kenaikan yang signifikan dari yang rendah ke titer yang lebih
tinggi), tetapi pengujian ini jarang dilakukankan di negara dimana skrining
5,10,11
sistematis selama kehamilan tidak tersedia. .
Pengobatan dengan spiramisin harus segera dimulai setelah diagnosis
infeksi baru pada ibu ditegakkan. Ada penelitian di Eropa yang menunjukkan
bahwa angka kejadian toksoplasmosis kongenital pada wanita yang mendapat
spiramisin selama kehamilan tampaknya tidak lebih rendah bila dibandingkan
denganmereka yang tidak mendapat pengobatan tersebut. Tetapi, hasil
penelitian tersebut tidak mendorong perubahan dalam kebijakan pemberian
spiramisin kepada ibu hamil yang dicurigai memiliki atau didiagnosis dengan
infeksiT. Gondii baru. Tetapi sampai saat ini penggunaan spiramisin masih
direkomendasikan (untuk trimester pertama dan awal trimester kedua) atau
pemberian pirimetamin / sulfadiazin (untuk akhir trimester kedua dan pada
trimester ketiga) terutama pada wanita yangdicurigai terinfeksi T. Gondii akut
selama masa kehamilan. Bila infeksi pada ibu belum jelas mengakibatkan infeksi
pada janin, atau sudah dicurigai kemungkinan terjadi infeksi pada janin atau
infeksi pada ibu yang didapat selama kehamilan belum dapat disingkirkan
(berdasarkan pemeriksaaan USG atau serologi) maka perlu dilakukan konfirmasi
untuk menegakkan diagnosis prenatal dengan pemeriksaaan PCR dari cairan
ketuban. Tes ini memiliki sensitivitas sebesar 64 - 98,8%. Bila ditemukan kasus
dimana hasil PCR negatif, wanita hamil tersebut tetap harus menerima spiramisin
profilaksis sampai minggu ke-17 kehamilan dan tetap melakukan pemeriksaan
5,10,11
USG bulanan selama masa kehamilan.
. Di Amerika Serikat dan Perancis Spiramisin tetap diberikan sepanjang
kehamilan. Bila hasil PCR positif atau kemungkinan terjadi infeksi pada janin
22
sangat tinggi (didapat dari ibu yang terinfeksi pada trimester kedua atau ketiga
dan terlambat ditangani), pengobatannya diberikan pyrimethamine / sulfadiazin
dan di beberapa negara obat tersebut diselingi dengan pemberian spiramisin.
Pengobatan prenatal dengan pirimetamin / sulfadiazin kepada wanita yang
dicurigai terinfeksi atau setelah diperiksa ternyata memiliki infeksi pada janin
akan mengurangi gejala sisa dari penyakit pada bayi baru lahir. Pengobatan
Antitoxoplasma harus dilanjutkan selama kehamilan. Asam folat perlu
ditambahkan dalam pengobatan untuk mengurangi penekanan sumsum tulang;
monitoring efek toksik terhadap darah wajib dilakukan. USG harus dilakukan
setidaknya setiap bulan sampai akhirnya dinyatakan dari pemeriksaan tidak ada
kelainan. Ditemukannya hidrosefalus pada janin telah digunakan sebagai indikasi
untuk penghentian kehamilan. Di kebanyakan negara, pengobatan janin diikuti
dengan pengobatan saat bayi baru lahir sampai sepanjang tahun pertama
kehidupan. 5,10,11
23
Tabel 2. Standar terapi untuk Toksoplasmosis Okular.7
24
BAB 3
PENUTUP
25
DAFTAR PUSTAKA
26
12. Abgrall S, Rabaud C, Costagliola D. 2001. Incidence and risk factors for
toxoplasmic encephalitis in human immunodeficiency virus-infected patients
before and during the highly active antiretroviral therapy era. Clin. Infect. Dis.
33:1747–1755.
13. Afonso E, Thulliez P, Gilot-Fromont E. 2010. Local meteorological
conditions, dynamics of seroconversion to Toxoplasma gondii in cats (Felis
catus) and oocyst burden in a rural environment. Epidemiol. Infect. 138:1105–
1113.
14. Athmar K. Al-Azawi, Iqbal H A, Al-Rawe, Raya YJ, Al- Bayati.
Seroprevalance of toxoplasmic chorioretinitis in Baghdad province. International
Journal of Science and nature. VOL. 4(1) 2013: 68-71
27