Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PENDAHULUAN

KUSTA

OLEH :

NAMA : WELMINTJE CHELYN G.LODO ROHI


NIM : PO.530320118452
KELAS : TK III REGULER B

POLI TEKNIK KESEHATAN KEMENKES KUPANG


PRODI D-III KEPERAWATAN
2020
Laporan Pendahuluan
Morbus Hansen (Kusta)

A. Definisi
Penyakit Hansen atau Penyakit Morbus Hansen yang dahulu dikenal sebagai
penyakit kusta atau lepra adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang sebelumnya
diketahui hanya disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae, hingga ditemukan
bakteri Mycobacterium lepromatosis oleh universitas Texas pada tahun 2008, yang
menyebabkan endemik sejenis kusta di Meksiko dan Karibia, yang dikenal lebih khusus
dengan sebutan diffuse lepromatous leprosy. Sedangkan bakteri Mycobacterium leprae
ditemukan oleh seorang ilmuwan Norwegia bernama Gerhard Henrik Armauer Hansen
pada tahun 1873 sebagai patogen yang menyebabkan penyakit yang telah lama dikenal
sebagai lepra.
Saat ini penyakit lepra lebih disebut sebagai penyakit Hansen, bukan hanya untuk
menghargai jerih payah penemunya, melainkan juga karena kata leprosy dan leper
mempunyai konotasi yang begitu negatif, sehingga penamaan yang netral lebih
diterapkan untuk mengurangi stigma sosial yang tak seharusnya diderita oleh pasien
kusta. Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari
saluran pernapasan atas; dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Bila
tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif, menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-
saraf, anggota gerak, dan mata. Tidak seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta
tidak menyebabkan pelepasan anggota tubuh yang begitu mudah, seperti pada penyakit
tzaraath.

B. Etiologi
Penyakit kusta disebabkan oleh kuman kusta yaitu Mycobacterium leprae, yang
berbentuk batang dengan ukuran panjang 1 – 8 micrm, lebar 0,2 – 0,5 micrm. Biasanya
berkelompok dan ada yang tersebar satu – satu, hidup dalam sel dan bersifat tahan asam
(BTA). Sampai saat ini yang dianggap sebagai sumber penularan hanya manusia satu –
satunya, walaupun kuman kusta dapat hidup pada armadillo, simpanse dan pada telapak
kaki tikus (Depkes RI, 1990). Dengan demikian berarti kuman kusta yaitu
Mycobactirium leprae hidup harus berpindah langsung dari seorang ke orang lain untuk
penularan penyakit tersebut (Ross, F.W., Halim, WP, 1989 : 4).
Masa belah diri kuman kusta adalah memerlukan waktu yang sangat lama
dibandingkan dengan kuman lain yaitu 12 – 21 hari. Hal ini merupakan salah satu
penyebab masa tunas yang lama yaitu 2 – 5 tahun(Depkes RI, 2002). Penyakit kusta
dapat ditularkan dari penderita kusta tipe Multi Basiler (MB) kepada orang lain dengan
cara penularan langsung. Cara penularan yang pasti belum diketahui, tetapi sebagian
besar para ahli berpendapat bahwa penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran
pernafasan dan kulit. Luka di kulit dan mukosa hidung dikenal sebagai sumber dari
kuman.
Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah, dan tidak perlu ditakuti
tergantung dari beberapa faktor antara lain :
1. Faktorsumberpenularan
Sumberpenularanadalahpenderitakustatipe Multi Basiler (MB).Penderita MB
inipuntidakakanmenularkankusta, apabilaberobatteratur.
2. Faktorkumankusta
Kumankustadapattumbuhdanhidupdiluartubuhmanusiaantara 1 – 9
haritergantungpadasuhuataucuaca, dandiketahuihanyakumankusta yang utuh (solid)
saja yang dapatmenimbulkanpenularan.
3. Faktordayatahantubuh
Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta (95 %). Dari hasil penelitian
menunjukkan gambaran sebagai berikut :
Dari 100 orang yang terpapar, 95 orang tidak menjadi sakit, 3 (tiga) orang sembuh
sendiri tanpa obat dan 2 (dua) orang menjadi sakit, hal ini belum lagi
memperhitungkan pengaruh pengobatan(Depkes RI, 2002).

C. Klasifikasi
Menurut Ridley dan Joplin membagi klasifikasi kusta berdasarkan gambaran
klinis, bakteriologik, histo patologik, dan status imun penderita menjadi :
1. TT:Lesi berupa makula hipo pigmantasi/eutematosa dengan permukaan
kering dan kadang dengan skuama di atasnya. Jumlah biasanya yang satudengan
yang besar bervariasi. Gejala berupa gangguan sensasibilitas, pertumbuhan langsung
dan sekresi kelenjar keringat. BTA ( - ) dan uji lepramin ( + ) kuat.
2. BT: Lesi berupa makula/infiltrat eritematosa dengan permukaan kering bengan
jumlah 1-4 buah, gangguan sensibilitas ( + ).
3. Lesi berupa mamakula/infiltrat eritematosa permukaan agak mengkilat. Gambaran
khas lesi ”punched out” dengan infiltrat eritematosa batas tegas pada tepi sebelah
dalam dan tidak begitu jelas pada tepi luarnya.Gangguan sensibilitas sedikit, BTA
( + ) pada sediaan apus kerokan jaringan kulit dan uji lepromin ( - ).
4. BL:Lesi infiltrat eritematosa dalam jumlah banyak, ukuran bervariasi, bilateral tapi
asimetris, gangguan sensibilitas sedikit/( - ), BTA ( + ) banyak, uji Lepromin ( - ).
5. LL:Lesi infiltrat eritematosa dengan permukaan mengkilat, ukuran kecil, jumlah
sangat banyak dan simetris. BTA ( + ) sangat banyak pada kerokan jaringan kulit
dan mukosa hidung, uji Lepromin ( - ).
WHO membagi menjadi dua kelompok, yaitu :
1. Pansi Basiler (PB) : I, TT, BT
2. Multi Basiler (MB) : BB, BL, LL

D. Manifestasi klinis
 Tanda kulit penyakit kusta adalah :
a) Kelaianan pada kulit yang berupa bercak, kemerahan
b) Kulit mengkilat
c) Bercak yang tidak terasa gatal
d) Adanya bagian tubuh yang tidak berkeringat dan tidak berambut
e) Lepuh tapi tidak terasa nyeri
 Tanda-tanda pada syaraf pada penyakit kusta adalah :
a) Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota badan atau muka
b) Gangguan kerak pada anggota badan dan muka
c) Adanya kecatatan (deformitas) pada bagian tubuh
d) Terdapat luka tabib tidak terasa sakit
 Gejala-gejala yang dapat ditemukan pada penderita kusta antara lain :
a) Panas dari derajat yang rendah sampai menggigil
b) Anoreksia
c) Nausea yang terkadang disertai dengan vermitus
d) Cephalgia
e) Kadang disertai dengan iritasi, orchitis dan pleuritis
E. Patofisiologi
Meskipun cara masuk M. Leprae ke tubuh belum diketahui pasti, beberapa
penelitian, tersering melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh bersuhu dingin dan
melalui mukosa nasal. Pengaruh M. Leprae ke kulit tergantung factor imunitas
seseorang, kemampuan hidup M. Leprae pada suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi
lama, serta sifat kuman yang Avirulen dan non toksis.
M. Leprae ( Parasis Obligat Intraseluler ) terutama terdapat pada sel macrofag
sekitar pembuluh darah superior pada dermis atau sel Schwann jaringan saraf, bila
kuman masuk tubuh  tubuh bereaksi mengeluarkan macrofag ( berasal dari monosit
darah, sel mn, histiosit ) untuk memfagosit. Tipe LL ; terjadi kelumpuha system imun
seluler tinggi  macrofag tidak mampu menghancurkan kuman  dapat membelah diri
dengan bebas  merusak jaringan. Tipe TT ; fase system imun seluler tinggi 
macrofag dapat menghancurkan kuman hanya setelah kuman difagositosis macrofag,
terjadi sel epitel yang tidak bergerak aktif, dan kemudian bersatu membentuk sel dahtian
longhans, bila tidak segera diatasi  terjadi reaksi berlebihan dan masa epitel
menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan sekitar.

F. Pathway
M. Leprae M. Tuberkoloid

Menyerang kulit dan saraf tepi

Makula nodula papula ulkus menyerang saraf


tepi sensorik dan
Keganasan/ motorik
Kulit Invasi kanker
terlihat bakteri epidemoid Neuritis
rusak

Kerusakan Resti Sensibilitas


Malu Metastase
integritas infeksi turun Menyerang saraf
kulit
ulnaris, nervus
Amputasi
Inefektif Resiko popliteus, nervus
koping trauma aurikularis, nervus
individu radialis
Perubahan Resti Gangguan
aktivitas Gangguan
injuri rasa
konsep diri
nyaman
HDR
Gangguan nyeri Kelumpuhan otot
konsep diri
HDR
Intoleranaktivitas

G. Pemeriksaan diagnostik
1. Pemeriksaan Bakteriologis
Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut:
1) Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.
2) Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali tidak
ditemukanlesi ditempat lain.
3) Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila
perluditambah dengan lesi kulit yang baru timbul.
4) Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan mikobakterium leprae
ialah:
a) Cuping telinga kiri atau kanan.
b) Dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat lain.
5) Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena:
a) Tidak menyenangkan pasien.
b) Positif palsu karena ada mikobakterium lain.
c) Tidak pernah ditemukan mikobakterium leprae pada selaput lendir
hidungapabila sedian apus kulit negatif.
d) Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lendir hidung
lebihdulu negatif dari pada sediaan kulit ditempat lain.
6) Indikasi pengambilan sediaan apus kulit:
1) Semua orang yang dicurigai menderita kusta.
2) Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasienkusta.
3) Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena tersangka
kuman resisten terhadap obat.
4) Semua pasien MB setiap 1 tahun sekali.
7) Pemerikaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam, yaitu
ziehlneelsen atau kinyoun gabett.
8) Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode yaitu cara
zigzag, huruf z, dan setengah atau seperempat lingkaran. Bentuk kuman
yangmungkin ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecah-pecah
(fragmented),granula (granulates), globus dan clumps.

2. Indeks Bakteri (IB)


Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapus. IB
digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil pengobatan.
Penilaian dilakukan menurut skala logaritma RIDLEY sebagai berikut:
0 : bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang
1 : bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang
2 : bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang
3 : bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
4 : bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
5 : bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
6 : bila >1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
Indeks Morfologi (IM) Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh
BTA. IM digunakan untuk mengetahui daya penularan kuman, mengevaluasi hasil
pengobatan, dan membantumenentukan resistensi terhadap obat.
H. Komplikasi
Komplikasi pada mata yaitu kreatis yang dapat terjadi karena berbagai factor
termasuk karena mata yang kering insensifitas kornea dan lagophtalmus. Keratitis dan
lesi pada bilik anterior bola mata, umumnya terjadi iritis dan menyebabkan kebutaan.
Juga dapat terjadi ektropion dan entropion, menurut penelitian resiko komplikasi mata
terjadi pada pasien dengan tipe MB,. Setelah menyelesaikan MDT menjadi 5,6 %
dengan komplikasi kerusakan mata sebanyak 3,9 %

I. Penatalaksanaan
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan pasien
kustadan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien
kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden penyakit.
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan
DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang
semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat,
dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan. Rejimen pengobatan MDT
di Indonesia sesuai rekomendasi WHO 1995 sebagai berikut:
1. Tipe PB (Pause Basiler)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa : Rifampisin 600mg/bln diminum di depan
petugas, DDS (Diamino Difenil Sulfon) tablet 100 mg/hari diminum di rumah.
Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai minum 6 dosis
dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif. Menurut WHO (1995)
tidak lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah Completion Of Treatment
Cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.
2. Tipe MB (Multi Basiler)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa: Rifampisin 600mg/bln diminum di depan
petugas. Klofazimin 300mg/bln diminum di depan petugas dilanjutkan dengan
klofazimin 50 mg/hari diminum di rumah. DDS 100 mg/hari diminum di rumah,
pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan sesudah selesai
minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan
pemeriksaan bakteri positif. Menurut WHO (1998) pengobatan MB diberikan untuk
12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT.
3. Dosis untuk anak
Klofazimin: umur di bawah 10 tahun: bulanan100mg/bln, harian 50mg/2kali/minggu;
umur 11-14 tahun: bulanan 100mg/bln, harian 50mg/3kali/minggu, DDS:1-2mg /Kg
BB, Rifampisin:10-15mg/Kg BB.
4. Pengobatan MDT terbaru
Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO (1998), pasien kusta
tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup diberikan dosis tunggal rifampisin 600 mg,
ofloksasim 400 mg dan minosiklin 100 mg dan pasien langsung dinyatakan RFT,
sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk
tipe MB diberikan sebagai obat alternatif dan dianjurkan digunakan sebanyak 24
dosis dalam 24 jam.
5. Putus obat
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang
seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe MB dinyatakan DO
bila tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.
Daftar Pustaka

Anonim. 2012. Penyakit Hansen. http://id.wikipedia.org/wiki/Penyakit_Hansen. Diperoleh


tanggal 28 Maret 2013.
Graber, M.A. 1998. Buku Saku Kedokteran University Of IOWA. Jakarta: EGC.
Juall, L. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Dan Dokumentasi Keperawatan. Edisi II.
Jakarta: EGC.
Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2 Ed. III. Jakarta: media Aeuscualpius.
Sjamsoe, D., Emmi, S. (2003). Kusta. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Sjamsuhidajat, R. & Jong, W. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai