TINJAUAN TEORI
1. Defenisi
Saraf parifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan ukosa traktus respiratorius bagian
atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. (Amin dan Hardhi
2013).
Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang masih merupakan Masalah
yang sangat kompleks.masalah yang ada bukan saja dari segi medisnya ,tetapi juga
masalah sosial ,ekonomi,budaya ,serta keamanan dan ketahanan nasional .
(Widoyono. 2011).
2.. Etiologi
Kusta tampil dalam dua jenis bentuk klinis utama, yaitu kusta bentuk kering atau
tuberkuloid, dan kusta bentuk basah, disebut juga kusta lepromatosa. Bentuk ketiga
yaitu bentuk peralihan (borederline). (Amin dan Hardhi 2013).
Kusta bentuk kering : tidak mnular, kelainan kulit berupa bercak keputihan sebesar
uang logam atau lebih besar, sering timbul dipipi, punggung, pantat, paha, atau
lengan. Bercak tampak kering, kulit kehilangan daya rasa sama sekali.
Kusta bentuk basah : bentuk menular karena kumamnya banyak terdapat diselaput
lendir hidung, kulit dan organ tubuh lainnya, dapat berupa bercak kemerahan, kecil –
kecil tersebar diseluruh tubuh atau berupa penebalan kulit yang luas sebagai infiltrate
yang tampak mengkilap dan berminyak, dapat berupa benjolan merah sebesar biji
jagung yang tersebar dibadan, muka dan daun telingga. Disertai rontoknya alis mata,
menebalnya daun telingga.
Kusta tipe peralihan : merupakan peralihan antara kedua ttipe utama. Pengobatan tipe
ini dimaksukkan kedalam jenis kusta basah. (Amin dan Hardhi, 2013)
Macula hipopigmentasi
Hiperpegmentasi
Eritematosa
Gejala kerusakan saraf ( sensorik, motorik, autonom )
Kerusakan jaringan (kulit, mukosa traktus respiataorius atas tulang-tulang jari dan
wajah )
Kulit kering dan alopesia
4. Patofisiologi
M. Leprae adalah organisme tahan asam intrasel yang sangat sulit tumbuh dalam
biakan, tetapi dapat ditumbuhkan dalam almadilo (trenggileng), kuman ini tumbuh
lebih lambat dari pada mikobakterium lain dan tumbuh paling subur pada suhu 320C
sampai 340C, yakni suhu kulit manusia dan suhu tubuh inti armadilo, seperti M.
Tuberkulosis M. Leprae tidak mengeluarkan toksin, dan virulensinya didasarkan pada
sifat dinding selnya. Dinding selnya cukup mirip dengan dinding M. Tuberkulosis
sehingga imunisasi dengan basil Calnette – guerin sedikit banyak memberi
perlindungan terhadap infeksi M. Leprae. Imunitas seluler tercermin oleh reaksi
hipersensitivitas tipe lambat terhadap penyuntikan ekstrak bakteri yang disebut
lepromin kedalam dermis.
Pada sebagian kasus, terbentuk antibodi terhadap respon antigen M. Leprae. Antibodi
ini biasanya tidak bersifat protektif, tetapi dapat membentuk kompleks imun dengan
gen antigen bebas yang dapat menyebabkan eritema nodosem, vaskulitis dan
glomerulonefritis. (Robbins dan Cotran. 2009).
Kusta tuberkuloid berawal dari lesi lokal yang mula – mula datar dan merah, tetapi
kemudian membesar dan membentuk ireguler disertai indurasi, peninggian, tepi
hiperpigmentasi dan bagian tengah yang pucat dan cekung (penyembuhan disentral).
Kelainan saraf mendominasi gambaran kusta tuberkuloid. Saraf terbungkus oleh
reaksi peradangan granulomatosa dan, jika cukup kecil (misalnya cabang perifer),
akan mengalami kerusakan. Degenerasi saraf menyebabkan anastesi kulit serta atrofi
kulit dan otot menyebabkan pasien mudah mengalami trauma di bagian yang terkena,
disertai kulit pembentukan ulkus kulit indolen. Dapat terjadi kontraktur, paralisis dan
autoamputasi jari tangan atau kaki. Kelainan saraf wajah dapat menyebabkan paralisis
kelopak mata, disertai keratitis dan ulkus kornea. Pada pemeriksaan mikroskopik,
semua lesi memperlihatkan lesi granulotoma mirip dengan lesi yang ditemukan pada
tuberkulosis, dan basil hampir tidak pernah ditemukan. Adanya granuloma dan
ketiadaan bakteri mencerminkan imunitas sel T yang kuat. Karena kusta
memperlihatkan perjalanan penyakit yang sangat lambat, hingga berpuluh – puluh
tahun, sebagian besar pasien meninggal bersama kusta dan bukan disebabkan
olehnya.
Kusta lepramatosa mengenai kulit, saraf perifer, kamera anterior mata, saluran napas
atas (hingga laring), testis, tangan dan kaki. Organ vital dan susunan saraf pusat
jarang terkena, mungkin karena suhu inti tubuh terlalu tinggi untuk tumbuhnya
M.leprae. lesi lepramatosa mengandung agregat magrofat penuh lemak (sel kusta),
yang sering terisi oleh masa basil tahan asam. Kegagalan menahan infeksi
membentuk granuloma memcerminkan rendahnya respon TH1. Terbentuk lesi
makuler, papular, noduler diwajah, telingga, pergelangan tangan, siku dan lutut.
Seiring dengan perkembangan penyakit, lesi nodular menyatu untuk menimbulkan
fasies leonina (“muka singa”) yang khas.sebagian besar lesi kulit hipoestetik atau
anestetik. Lesi dihidung dapat menyebabkan peradangan persisten dan pembentukan
duh yang penuh basil. Saraf perifer, terutama nervus ulnaris dan pereneus dibagian
yang dekat kulit, diserang mikobakteri disertai reaksi peradangan minimal. Hilangnya
sensibilitas dan kelainan – kelainan trofik ditangan dan kaki mengikuti lesi saraf.
Kelenjar limfe memperlihatkan agregat magrofag berbusa didaerah parakorteks (sel
T), disertai pembesaran sentrum germinativum, pada penyakit tahap lanjut, agregat
magrofag juga terbentuk di pulpa merah limpa dan hati. Testis biasanya banyak
mengandung basil, disertai dektruksi tubulus seminiferus dan sterilitas. (Robbins dan
Cotran. 2009)
5.pathways Keperawatan ( NANDA NIC NOC 2015)
Mikrobakterium
leprae M. Sensabilitas 1
Resiko trauma
tuberkoloid
Inefektif koping
individu Perubahan aktivitas
Infeksi bakteri
Resti infeksi
KURANG
PENGETAHUAN
6. Pemeriksaan penunjang (NANDA NIC NOC)
Biasakan hidup bersih dan cuci tangan sebelum melakukan aktivitas dan sesudah
melakuka aktivitas
Makan makanan yang bergizi seimbang
Hindari penularan melalui penggunaan handuk pisau cukur secara bersamaan
Kenali dan kendalikan stress emosional yang dapat memicu terjadinya masalah
kulit
Menghilangkan sumber penularan yaitu dengan mengobati semua penderita
7. PENATALAKSANAAN
1. TERAPI MEDIK
Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai minum 6
dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif. Menurut WHO(1995)
tidak lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah Completion Of Treatment Cure
dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.
Klofazimin:
Bulanan 100mg/bln
Harian 50mg/2kali/minggu
Umur 11-14 tahun
Bulanan 100mg/bln
Harian 50mg/3kali/minggu
DDS:1-2mg /Kg BB
Rifampisin:10-15mg/Kg BB
e) Putus obat
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang
seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe MB dinyatakan DO bila
tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.
2. PERAWATAN UMUM
Penderita memeriksa mata setiap hari apakah ada kemerahan atau kotoran
Perlu direndam setiap hari dengan air dingin selama lebih kurang setengah
jam
d) Perawatan luka
8.Komplikasi
Berikut ini komplikasi yang dialami penderita kusta yaitu :
1. Menyerang ekstremitas Yang paling diserang yaitu pada saraf ulnaris dan
mengakibatkan jari keempat dan kelima seperti mencakar yang diakibatkan oleh
kehilangan dari fungsi otot. Pada saraf medianus apabila terinfeksi maka akan
menyebabkan kelumpuhan pada jari tangan.
2. Apabila pada hidung terinfeksi oleh bakteri maka akan menyebabkan perdarahan, dan
apabila tidak segera diobati akan merusak tulang rawan dan sampai kehilangan
hidungnya.
4. Testis Apabila testis diserang maka dapat menyebabkan terjadinya infeksi pada
salurannya, dan jika tidak dilakukan terapi maka akan terjadi kerusakan yang permanen.
BAB II
SECARA TEORITIS
1. PENGKAJIAN
a. BIODATA
Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan, anak-anak dan
dewasa pemberian dosis obatnya berbeda.
Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan adanya lesi
dapat tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf) kadang-kadang
gangguan keadaan umum penderita (demam ringan) dan adanya komplikasi pada
organ tubuh
Pada klien dengan morbus hansen reaksinya mudah terjadi jika dalam kondisi lemah,
kehamilan, malaria, stres, sesudah mendapat imunisasi.
Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang disebabkan oleh
kuman kusta ( mikobakterium leprae) yang masa inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun.
Jadi salah satu anggota keluarga yang mempunyai penyakit morbus hansen akan
tertular.
e. RIWAYAT PSIKOSOSIAL
Klien yang menderita morbus hansen akan malu karena sebagian besar masyarakat
akan beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit kutukan, sehingga klien
akan menutup diri dan menarik diri, sehingga klien mengalami gangguan jiwa pada
konsep diri karena penurunan fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita.
Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan dan kaki
maupun kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan pada orang lain dalam
perawatan diri karena kondisinya yang tidak memungkinkan
g. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat pada tipe I,
reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah karena adanya gangguan saraf tepi
motorik.
Sistem penglihatan. Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata anastesi
sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan kebutaan, dan
saraf tepi motorik terjadi kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada infeksi akan
buta. Pada morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi peradangan pada organ-
organ tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis. Sedangkan pause basiler jika ada
bercak pada alis mata maka alis mata akan rontok.
Sistem pernafasan. Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan
terdapat gangguan pada tenggorokan.
Sistem persarafan:
Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/ lumpuh dan lama-lama
ototnya mengecil (atropi) karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki
menjadi bengkok dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur),
bila terjadi pada mata akan mengakibatkan mata tidak dapat dirapatkan
(lagophthalmos).
3. INTERVENSI
Diagnosa 1
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan
berangsur-angsur sembuh.
Kriteria :
Menunjukkan regenerasi jaringan
Mencapai penyembuhan tepat waktu pada lesi
Intervensi:
1. Kaji/ catat warna lesi,perhatikan jika ada jaringan nekrotik dan kondisi sekitar luka
Diagnosa 2
Tujuan:setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan
berangsur-angsur hilang
Kriteria:setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi dapat berkurang
dan nyeri berkurang dan beraangsur-angsur hilang
Intervensi:
Diagnosa 3
Tujuan:Setelah dilakukan tindakan keperawatan kelemahan fisik dapat teratasi dan
aktivitas dapat dilakukan
Kriteria:
Intervensi:
3. Lakukan latihan rentang gerak secara konsisten, diawali dengan pasif kemudian
aktif
5. Dorong dukungan dan bantuan keluaraga/ orang yang terdekat pada latihan
Diagnosa 4
Tujuan:setelah dilakukan tindakan keperawatan tubuh dapat berfungsi secara optimal
dan konsep diri meningkat
Kriteria:
Intervensi
Pada tahap ini pengolahan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah
disusun pada tahap perawatan yang telah ditentukan dengan tujuan untuk memenuhi
secara optimal.
5. Evaluasi
Adalah langkah terakhir dalam proses keperawatan yaitu kegiatan yang disengaja dan
terus menerus melibatkan Kx, perawat dan anggota kesehatan lain. Tujuan evaluasi
yaitu untuk menilai apakah tujuan dalam rencana tindakan keperawatan tercapai atau
tidak atau bahkan timbul masalah baru serta untuk melaksanakan pengkajian ulang.
DAFTAR PUSTAKA
Kosasih. I made Wisnu. Emmy S Sjamsoe – Daili dan Sri Linuwih Menaldi. 2010.
Universitas Indonesia.
Mansjoer, Arif. Dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Ed. 3. Media Aesculapius.
Jakarta.
Nurarif, Amin Huda dan Hardhi Kusuma. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA NIC NOC. Jil 2. Ed. Revisi. Media
Rahariyani, Loelfia Dwi. 2009. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan
Robbins dan Cotran. 2009. Dasar Patalogis Penyakit. Ed. 7. EGC. Jakarta.