Anda di halaman 1dari 19

BAB I

TINJAUAN TEORI

1. Defenisi

Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya


ialahMycobacterium Leprae yang bersifat intraselular obligat. (Kosasih dan Sri
Linuwih 2010).

Saraf parifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan ukosa traktus respiratorius bagian
atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. (Amin dan Hardhi
2013).

Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang masih merupakan Masalah
yang sangat kompleks.masalah yang ada bukan saja dari segi medisnya ,tetapi juga
masalah sosial ,ekonomi,budaya ,serta keamanan dan ketahanan nasional .
(Widoyono. 2011).

2.. Etiologi

Kuman penyebab adalah Myicobacterium leprae  yang ditemukan oleh G.A.


HANSEN pada tahun 1874 di Nerwegia, yang sampe sekarang belum juga dapat
dibiakan dalam media artifisial. M. Leprae  berbentuk kuman dengan ukuran 3 – 8
µm x 0,5 µm, tahan asam dan alkohol serta positif-Gram. (Kosasih dan Sri Linuwih
2010.  )

Kusta tampil dalam dua jenis bentuk klinis utama, yaitu kusta bentuk kering atau
tuberkuloid, dan kusta bentuk basah, disebut juga kusta lepromatosa. Bentuk ketiga
yaitu bentuk peralihan (borederline). (Amin dan Hardhi 2013).

Kusta bentuk kering : tidak mnular, kelainan kulit berupa bercak keputihan sebesar
uang logam atau lebih besar, sering timbul dipipi, punggung, pantat, paha, atau
lengan. Bercak tampak kering, kulit kehilangan daya rasa sama sekali.
Kusta bentuk basah : bentuk menular karena kumamnya banyak terdapat diselaput
lendir hidung, kulit dan organ tubuh lainnya, dapat berupa bercak kemerahan, kecil –
kecil tersebar diseluruh tubuh atau berupa penebalan kulit yang luas sebagai infiltrate
yang tampak mengkilap dan berminyak, dapat berupa benjolan merah sebesar biji
jagung yang tersebar dibadan, muka dan daun telingga. Disertai rontoknya alis mata,
menebalnya daun telingga.
Kusta tipe peralihan : merupakan peralihan antara kedua ttipe utama. Pengobatan tipe
ini dimaksukkan kedalam jenis kusta basah. (Amin dan Hardhi,  2013)

3. Manifestasi klinis ( NANDA NIC NOC )

Macula hipopigmentasi
Hiperpegmentasi
Eritematosa
Gejala kerusakan saraf ( sensorik, motorik, autonom )
Kerusakan jaringan (kulit, mukosa traktus respiataorius atas tulang-tulang jari dan
wajah )
Kulit kering dan alopesia

4. Patofisiologi

M. Leprae adalah organisme tahan asam intrasel yang sangat sulit tumbuh dalam
biakan, tetapi dapat ditumbuhkan dalam almadilo (trenggileng), kuman ini tumbuh
lebih lambat dari pada mikobakterium lain dan tumbuh paling subur pada suhu 320C
sampai 340C, yakni suhu kulit manusia dan suhu tubuh inti armadilo, seperti M.
Tuberkulosis M. Leprae tidak mengeluarkan toksin, dan virulensinya didasarkan pada
sifat dinding selnya. Dinding selnya cukup mirip dengan dinding M. Tuberkulosis
sehingga imunisasi dengan basil Calnette – guerin sedikit banyak memberi
perlindungan terhadap infeksi M. Leprae. Imunitas seluler tercermin oleh reaksi
hipersensitivitas tipe lambat terhadap penyuntikan ekstrak bakteri yang disebut
lepromin kedalam dermis.
Pada sebagian kasus, terbentuk antibodi terhadap respon antigen M. Leprae. Antibodi
ini biasanya tidak bersifat protektif, tetapi dapat membentuk kompleks imun  dengan
gen antigen bebas yang dapat menyebabkan eritema nodosem, vaskulitis dan
glomerulonefritis. (Robbins dan Cotran. 2009).

Kusta tuberkuloid berawal dari lesi lokal yang mula – mula datar dan merah, tetapi
kemudian membesar dan membentuk ireguler disertai indurasi, peninggian, tepi
hiperpigmentasi dan bagian tengah yang pucat dan cekung (penyembuhan disentral).
Kelainan saraf mendominasi gambaran kusta tuberkuloid. Saraf terbungkus oleh
reaksi peradangan granulomatosa dan, jika cukup kecil (misalnya cabang perifer),
akan mengalami kerusakan. Degenerasi saraf menyebabkan anastesi kulit serta  atrofi
kulit dan otot menyebabkan pasien mudah mengalami trauma di bagian yang terkena,
disertai kulit pembentukan ulkus kulit indolen. Dapat terjadi kontraktur, paralisis dan
autoamputasi jari tangan atau kaki. Kelainan saraf wajah dapat menyebabkan paralisis
kelopak mata, disertai keratitis dan ulkus kornea. Pada pemeriksaan mikroskopik,
semua lesi memperlihatkan lesi granulotoma mirip dengan lesi yang ditemukan pada
tuberkulosis, dan basil hampir tidak pernah ditemukan. Adanya granuloma dan
ketiadaan bakteri mencerminkan imunitas sel T yang kuat. Karena kusta
memperlihatkan perjalanan penyakit yang sangat lambat, hingga berpuluh – puluh
tahun, sebagian besar pasien meninggal bersama kusta dan bukan disebabkan
olehnya.

Kusta lepramatosa mengenai kulit, saraf perifer, kamera anterior mata, saluran napas
atas (hingga laring), testis, tangan dan kaki. Organ vital dan susunan saraf pusat
jarang terkena, mungkin karena suhu inti tubuh terlalu tinggi untuk tumbuhnya
M.leprae. lesi lepramatosa mengandung agregat magrofat penuh lemak (sel kusta),
yang sering terisi oleh masa basil tahan asam. Kegagalan menahan infeksi
membentuk granuloma memcerminkan rendahnya respon TH1. Terbentuk lesi
makuler, papular, noduler diwajah, telingga, pergelangan tangan, siku dan lutut.
Seiring dengan perkembangan penyakit, lesi nodular menyatu untuk menimbulkan
fasies leonina (“muka singa”) yang khas.sebagian besar lesi kulit hipoestetik atau
anestetik. Lesi dihidung dapat menyebabkan peradangan persisten dan pembentukan
duh yang penuh basil. Saraf perifer, terutama nervus ulnaris dan pereneus dibagian
yang dekat kulit, diserang mikobakteri disertai reaksi peradangan minimal. Hilangnya
sensibilitas dan kelainan – kelainan trofik ditangan dan kaki mengikuti lesi saraf.
Kelenjar limfe memperlihatkan agregat magrofag berbusa didaerah parakorteks (sel
T), disertai pembesaran sentrum germinativum, pada penyakit tahap lanjut, agregat
magrofag juga terbentuk di pulpa merah limpa dan hati. Testis biasanya banyak 
mengandung basil, disertai dektruksi tubulus seminiferus dan sterilitas. (Robbins dan
Cotran. 2009)
5.pathways Keperawatan ( NANDA NIC NOC 2015)

Mikrobakterium
leprae M. Sensabilitas 1
Resiko trauma
tuberkoloid

Menyerang kulit Menyerang saraf tepi neuritis


dan saraf tepi
sensorik dan motorik

Macula, nodula, Menyerang saraf


Kontraktor otot dan ulnaris,nervus
papula sendi popliteus,nervus
aurikularis,nervus
radialis

Kulit terlihat rusak


GANGGUAN RASA Kelumpuhan otot
NYAMAN
malu
Gangguan aktivitas

Inefektif koping
individu Perubahan aktivitas

RESIKO INJURI Hambatan mobilitas


KURANG
INFORMASI fisik

Infeksi bakteri

Resti infeksi

KURANG
PENGETAHUAN
6. Pemeriksaan penunjang (NANDA NIC NOC)

Test sensibilitas pada kulit yang mengalami kelainan


Laboraturium ; basil tahan asam. Diagnose pasti apabila adanya mati rasa dan kuman
tahan asam pada kulit yang (+) ( positif)
Pengobatan kusta / lepra lamanya pengobatan tergantung dari berbagai jenis kusta
lepromatus pengobatan minimal 10 tahun, obat yang diberikan dapsone (DSS) (Dosis
2 x seminggu ).

Discharge planning ( NANDA NIC NOC )

 Biasakan hidup bersih dan cuci tangan sebelum melakukan aktivitas dan sesudah
melakuka aktivitas
 Makan makanan yang bergizi seimbang
 Hindari penularan melalui penggunaan handuk pisau cukur secara bersamaan
 Kenali dan kendalikan stress emosional yang dapat memicu terjadinya masalah
kulit
 Menghilangkan sumber penularan yaitu dengan mengobati semua penderita

7. PENATALAKSANAAN

1. TERAPI MEDIK

Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan pasien kusta


dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta
terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden penyakit.

Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin,


dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson
yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus
obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO 1995 sebagai
berikut:

a) Tipe PB ( PAUSE BASILER)

Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :

Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas

DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah

Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai minum 6
dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif. Menurut WHO(1995)
tidak lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah Completion Of Treatment Cure
dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.

b) Tipe MB ( MULTI BASILER)

Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:

 Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas

 Klofazimin 300mg/bln diminum didepan petugas dilanjutkan dengan klofazimin 50


mg /hari diminum di rumah

 DDS 100 mg/hari diminum dirumah

Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan sesudah selesai


minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan
pemeriksaan bakteri positif. Menurut WHO (1998) pengobatan MB diberikan untuk 12
dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT.

c) Dosis untuk anak

Klofazimin:

· Umur dibawah 10 tahun :

 Bulanan 100mg/bln

Harian 50mg/2kali/minggu
 Umur 11-14 tahun

Bulanan 100mg/bln

Harian 50mg/3kali/minggu

DDS:1-2mg /Kg BB

 Rifampisin:10-15mg/Kg BB

d) Pengobatan MDT terbaru

Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO(1998), pasien


kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup diberikan dosis tunggal rifampisin 600 mg,
ofloksasim 400mg dan minosiklin 100 mg dan pasien langsung dinyatakan RFT,
sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB
diberikan sebagai obat alternatif dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24
jam.

e) Putus obat

Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang
seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe MB dinyatakan DO bila
tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.

2. PERAWATAN UMUM

Perawatan pada morbus hansen umumnya untuk mencegah kecacatan. Terjadinya


cacat pada kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi saraf tepi, baik karena kuman kusta
maupun karena peradangan sewaktu keadaan reaksi netral.

a) Perawatan mata dengan lagophthalmos

 Penderita memeriksa mata setiap hari apakah ada kemerahan atau kotoran

 Penderita harus ingat sering kedip dengan kuat

 Mata perlu dilindungi dari kekeringan dan debu

b) Perawatan tangan yang mati rasa


 Penderita memeriksa tangannya tiap hari untuk mencari tanda- tanda luka,
melepuh

 Perlu direndam setiap hari dengan air dingin selama lebih kurang setengah
jam

 Keadaan basah diolesi minyak

 Kulit yang tebal digosok agar tipis dan halus

 Jari bengkok diurut agar lurus dan sendi-sendi tidak kaku

 Tangan mati rasa dilindungi dari panas, benda tajam, luka

c) Perawatan kaki yang mati rasa

 Penderita memeriksa kaki tiap hari

 Kaki direndam dalam air dingin lebih kurang ½ jam

 Masih basah diolesi minyak

 Kulit yang keras digosok agar tipis dan halus

 Jari-jari bengkok diurut lurus

 Kaki mati rasa dilindungi

d) Perawatan luka

 Luka dibersihkan dengan sabun pada waktu direndam

 Luka dibalut agar bersih

 Bagian luka diistirahatkan dari tekanan

 Bila bengkak, panas, bau bawa ke puskesmas

Tanda penderita melaksanakan perawatan diri:

 Kulit halus dan berminyak

 Tidak ada kulit tebal dan keras

 Luka dibungkus dan bersih

 Jari-jari bengkak menjadi kaku

8.Komplikasi
Berikut ini komplikasi yang dialami penderita kusta yaitu :

1. Menyerang ekstremitas Yang paling diserang yaitu pada saraf ulnaris dan
mengakibatkan jari keempat dan kelima seperti mencakar yang diakibatkan oleh
kehilangan dari fungsi otot. Pada saraf medianus apabila terinfeksi maka akan
menyebabkan kelumpuhan pada jari tangan.

2. Apabila pada hidung terinfeksi oleh bakteri maka akan menyebabkan perdarahan, dan
apabila tidak segera diobati akan merusak tulang rawan dan sampai kehilangan
hidungnya.

3. Indera penglihatan Apabila penglihatan terinfeksi akan mengalami gangguan


penglihatan seperti buram dan terjadi keruh pada cairan mata, juga dapat menyerang
bagian saraf penglihatan dan dapat mengalami kebutaan.

4. Testis Apabila testis diserang maka dapat menyebabkan terjadinya infeksi pada
salurannya, dan jika tidak dilakukan terapi maka akan terjadi kerusakan yang permanen.
BAB II

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

SECARA TEORITIS

1. PENGKAJIAN

a. BIODATA

Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan, anak-anak dan
dewasa pemberian dosis obatnya berbeda.

Pekerjaan, alamat menentukan tingkat sosial, ekonomi dan tingkat kebersihan


lingkungan. Karena pada kenyataannya bahwa sebagian besar penderita kusta adalah
dari golongan ekonomi lemah.

b. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan adanya lesi
dapat tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf) kadang-kadang
gangguan keadaan umum penderita (demam ringan) dan adanya komplikasi pada
organ tubuh

c. RIWAYAT KESEHATAN MASA LALU

Pada klien dengan morbus hansen reaksinya mudah terjadi jika dalam kondisi lemah,
kehamilan, malaria, stres, sesudah mendapat imunisasi.

d. RIWAYAT KESEHATAN KELUARGA

Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang disebabkan oleh
kuman kusta ( mikobakterium leprae) yang masa inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun.
Jadi salah satu anggota keluarga yang mempunyai penyakit morbus hansen akan
tertular.

e. RIWAYAT PSIKOSOSIAL

Klien yang menderita morbus hansen akan malu karena sebagian besar masyarakat
akan beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit kutukan, sehingga klien
akan menutup diri dan menarik diri, sehingga klien mengalami gangguan jiwa pada
konsep diri karena penurunan fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita.

f. POLA AKTIVITAS SEHARI-HARI

Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan dan kaki
maupun kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan pada orang lain dalam
perawatan diri karena kondisinya yang tidak memungkinkan

g. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat pada tipe I,
reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah karena adanya gangguan saraf tepi
motorik.

Sistem penglihatan. Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata anastesi
sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan kebutaan, dan
saraf tepi motorik terjadi kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada infeksi akan
buta. Pada morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi peradangan pada organ-
organ tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis. Sedangkan pause basiler jika ada
bercak pada alis mata maka alis mata akan rontok.

Sistem pernafasan. Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan
terdapat gangguan pada tenggorokan.

Sistem persarafan:

a. Kerusakan fungsi sensorik


Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/ mati rasa. Alibat
kurang/ mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka, sedang pada
kornea mata mengkibatkan kurang/ hilangnya reflek kedip.

b. Kerusakan fungsi motorik

Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/ lumpuh dan lama-lama
ototnya mengecil (atropi) karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki
menjadi bengkok dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur),
bila terjadi pada mata akan mengakibatkan mata tidak dapat dirapatkan
(lagophthalmos).

c. Kerusakan fungsi otonom

Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan


sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras dan
akhirnya dapat pecah-pecah.

Sistem muskuloskeletal. Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya


kelemahan atau kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.

Sistem integumen. Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu),


bercak eritem (kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul
(benjolan). Jika ada kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan kelenjar
keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit kering,
tebal, mengeras dan pecah-pecah. Rambut: sering didapati kerontokan jika
terdapat bercak.
2. DIAGNOSA

1. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses


inflamasi
2. Gangguan rasa nyaman, nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi
jaringan
3. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik
4. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan
ketidakmampuan dan kehilangan fungsi tubuh
5. Gangguan rasa nyaman b/d Ketidakmampuan keluarga merawat anggota
keluarga yang sakit .
6. Defisit pengetahuan b/d Ketidakmampuan keluarga dalam mengenal
masalah kesehatan yang dilami oleh anggota keluarganya.

3. INTERVENSI

Diagnosa 1
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan
berangsur-angsur sembuh.
Kriteria :
Menunjukkan regenerasi jaringan
Mencapai penyembuhan tepat waktu pada lesi
Intervensi:

1. Kaji/ catat warna lesi,perhatikan jika ada jaringan nekrotik dan kondisi sekitar luka

Rasional:Memberikan inflamasi dasar tentang terjadi proses inflamasi dan


atau mengenai sirkulasi daerah yang terdapat lesi.

2. Berikan perawatan khusus pada daerah yang terjadi inflamasi

Rasional:menurunkan terjadinya penyebaran inflamasi pada jaringan sekitar.


3. Evaluasi warna lesi dan jaringan yang terjadi inflamasi perhatikan adakah
penyebaran pada jaringan sekitar

Rasional :Mengevaluasi perkembangan lesi dan inflamasi dan


mengidentifikasi terjadinya komplikasi.

4. Bersihan lesi dengan sabun pada waktu direndam

Rasional:Kulit yang terjadi lesi perlu perawatan khusus untuk


mempertahankan kebersihan lesi

5. Istirahatkan bagian yang terdapat lesi dari tekanan

Rasional:Tekanan pada lesi bisa maenghambat proses penyembuhan

Diagnosa 2
Tujuan:setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan
berangsur-angsur hilang
Kriteria:setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi dapat berkurang
dan nyeri berkurang dan beraangsur-angsur hilang
Intervensi:

1. Observasi lokasi, intensitas dan penjalaran nyeri

Rasional:Memberikan informasi untuk membantu dalam memberikan


intervensi.

2. Observasi tanda-tanda vital

Rasional:Untuk mengetahui perkembangan atau keadaan pasien

3. Ajarkan dan anjurkan melakukan tehnik distraksi dan relaksasi

Rasional:Dapat mengurangi rasa nyeri

4. Atur posisi senyaman mungkin

Rasional:Posisi yang nyaman dapat menurunkan rasa nyeri


5. kolaborasi untuk pemberian analgesik sesuai indikasi

Rasional:menghilangkan rasa nyeri

Diagnosa 3
Tujuan:Setelah dilakukan tindakan keperawatan kelemahan fisik dapat teratasi dan
aktivitas dapat dilakukan
Kriteria:

1) Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari

2) Kekuatan otot penuh

Intervensi:

1. Pertahankan posisi tubuh yang nyaman

Rasional: meningkatkan posisi fungsional pada ekstremitas

2. Perhatikan sirkulasi, gerakan, kepekaan pada kulit

Rasional: oedema dapat mempengaruhi sirkulasi pada ekstremitas

3. Lakukan latihan rentang gerak secara konsisten, diawali dengan pasif kemudian
aktif

Rasional: mencegah secara progresif mengencangkan jaringan, meningkatkan


pemeliharaan fungsi otot/ sendi

4. Jadwalkan pengobatan dan aktifitas perawatan untuk memberikan periode istirahat

Rasional: meningkatkan kekuatan dan toleransi pasien terhadap aktifitas

5. Dorong dukungan dan bantuan keluaraga/ orang yang terdekat pada latihan

Rasional: menampilkan keluarga / oarng terdekat untuk aktif dalam perawatan


pasien dan memberikan terapi lebih konstan

Diagnosa 4
Tujuan:setelah dilakukan tindakan keperawatan tubuh dapat berfungsi secara optimal
dan konsep diri meningkat
Kriteria:

1) Pasien menyatakan penerimaan situasi diri

2) Memasukkan perubahan dalam konsep diri tanpa harga diri negative

Intervensi

1. Kaji makna perubahan pada pasien

Rasional: episode traumatik mengakibatkan perubahan tiba-tiba. Ini


memerlukan dukungan dalam perbaikan optimal

2. Terima dan akui ekspresi frustasi, ketergantungan dan kemarahan. Perhatikan


perilaku menarik diri.

Rasional: penerimaan perasaan sebagai respon normal terhadap apa yang


terjadi membantu perbaikan

3. Berikan harapan dalam parameter situasi individu, jangan memberikan


kenyakinanyang salah

Rasional: meningkatkan perilaku positif dan memberikan kesempatan untuk


menyusun tujuan dan rencana untuk masa depan berdasarkan realitas

4. Berikan penguatan positif

Rasional: kata-kata penguatan dapat mendukung terjadinya perilaku koping


positif

5. Berikan kelompok pendukung untuk orang terdekat

Rasional: meningkatkan ventilasi perasaan dan memungkinkan respon yang


lebih membantu pasien
4. Implementasi

Pada tahap ini pengolahan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah
disusun pada tahap perawatan yang telah ditentukan dengan tujuan untuk memenuhi
secara optimal.

5. Evaluasi

Adalah langkah terakhir dalam proses keperawatan yaitu kegiatan yang disengaja dan
terus menerus melibatkan Kx, perawat dan anggota kesehatan lain. Tujuan evaluasi
yaitu untuk menilai apakah tujuan dalam rencana tindakan keperawatan tercapai atau
tidak atau bahkan timbul masalah baru serta untuk melaksanakan pengkajian ulang.
DAFTAR PUSTAKA

Kosasih. I made Wisnu. Emmy S Sjamsoe – Daili dan Sri Linuwih Menaldi. 2010. 

Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin Ed. 6. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia.

Mansjoer, Arif. Dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Ed. 3. Media Aesculapius.

Jakarta.

Nurarif, Amin Huda dan Hardhi Kusuma. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan

Berdasarkan  Diagnosa Medis dan NANDA NIC NOC. Jil 2. Ed. Revisi. Media

Action Publishing. Yogyakarta.

Rahariyani, Loelfia Dwi. 2009. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan

Sistem Integumen. EGC. Jakarta.                        

Robbins dan Cotran. 2009. Dasar Patalogis Penyakit. Ed. 7. EGC. Jakarta.

Widoyono. 2011. Penyakit Tropis Epidemiologi , Penularan , pencegahan, dan

Pemberantasannya. Ed. 2. Erlangga. Semarang.

Anda mungkin juga menyukai