Anda di halaman 1dari 93

Morbus Hansen

Nama dan NIM Dokter Pembimbing :


1. Milton Kaspo Sagoya (112019221)
2. Ester Cesaria Claudia Sosomar (112019142) dr. Roger, Sp.KK
3. Nafthalia Rila (112019154)
4. Yanfrin Taslim (112019151)
5. Fallentino Christman Leuhery (112019202)
6. Dimas Syahputro Winarto (112019201)
Pendahuluan
 Penyakit menular yang sangat kompleks.
 Dikenal sejak tahun 1550 SM dalam dokumen Mesir.
 Tahun 1873  Gehard Armauer Herik Hansen (Norwegia)
mengidentifikasi kuman penyebab kusta di bawah mikroskop.
 Tidak ditangani  progresif, kerusakan kulit, saraf-saraf, anggota
gerak, mata
DEFINISI

Kusta Merupakan penyakit infeksi yang kronik yang disebabkan oleh infeksi bakteri
Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat.

Kusta mempengaruhi kulit dan saraf perifer, akibatnya neuropati dan konsekuensi jangka
panjang terkait, termasuk deformitas dan kecacatan.

MUKOSA
ORGAN LAIN
TRAKTUS
SARAF PERIFER KULIT (kecuali susunan
RESPIRATORIUS
saraf pusat).
BAGIAN ATAS
Epidemiologi
• Semua umur
• Kusta bukan penyakit keturunan.
• Frekuensi tertinggi pada kelompok umur 25-35 tahun.
• Indonesia  penderita kusta < 14 tahun ± 13%
EPIDEMIOLOGI

Berdasarkan laporan resmi yang diterima dari 138 negara dari seluruh wilayah WHO, prevalensi kusta
yang tercatat secara global pada akhir tahun 2015 adalah 176.176 kasus (0,2 kasus per 10.000 orang).

In 2013, 215 656 kasus baru

In 2014, 213 899 kasus baru yang telah dilaporkan

Jumlah kasus baru yang dilaporkan pada tahun 2015 adalah 211 973 (2.9 kasus per 100 000 orang)

Jumlah kasus baru menunjukkan tingkat penularan infeksi yang berkelanjutan.

Iklim (cuaca panas dan lembab), diet, status gizi, status sosial ekonomi, genetik, berperan
dalam kejadian dan penyebaran penyakit
Etiologi

■ Mycobacterium leprae
■ Ukuran : 1-8 um, diameter 0,25-0,3
um
■ Berkelompok atau tersebar
■ Hidup dalam sel bersifat tahan asam
(BTA), gram positif, tahan alcohol
• Menular : kontak langsung (lesi
■ Tidak mudah diwarnai
mikroskopis + makroskopis, kontak lama
dan berulang), melalui pernapasan.
• Mampu bertahan 9 hari di luar tubuh.
• Masa inkubasi : 2-5 tahun
Patogenesis Kusta
• M. leprae  Inoklusi kulit & droplet  Makrofag (lapisan dermis) &
sel Schwann (jaringan saraf).
• Sel Schwann  sel target  gangguan imunitas  kuman migrasi &
aktivasi  reaksi tubuh (+)  makrofag  fagositosis  sel epiteloid
inaktif  sel Datia Langhans  granuloma  aktivitas regenerasi
saraf ↓ & kerusakan saraf progresif.
• Sebenarnya M. leprae mempunyai patogenesis dan daya invasi yang
rendah, sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak
belum tentu memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat
sebaliknya.
• Oleh karena itu penyakit kusta dapat di sebut sebagai penyakit
imunologik.
PATOFISIOLOG
I
• Invades via specific laminin binding protein.

• PGL-1 glycoconjugate on membrane surface of


M,Leprae binds laminin 2.

• Dystroglycan (DC) involved in early nerve degeneration.


Pertumbuhan yang sangat lambat menimbulkan masa
inkubasi yang sangat lama (5-7 tahun)

• Basil belum dapat dibiakkan in vitro, dapat


di inokulasi pada beberapa binatang
• Bersifat tahan asam
• Bagian tubuh yang dingin merupakan tempat
predileksi misalnya saluran pernapasan, testis,
ruang anterior mata, kulit terutama kuping
telinga, jari.
DIAGNOSIS
Penyakit kusta adalah penyakit menular, menahun dan disebabkan oleh
kuman kusta (Mycobacterium leprae).
• Bersifat intraselular obligat
• Saraf tepi/perifer (sebagai afinitas pertama)  kulit dan mukosa
saluran nafas bagian atas, lalu ke organ tubuh lain (kecuali SSP)
• Diagnosis didasarkan dengan melihat kelainan yang berhubungan
dengan gangguan saraf tepi dan kelainan yang tampak pada kulit.
Untuk menetapkan diagnosis, perlu dicari tanda utama dan cardinal sign, yaitu :
1. Kelainan (lesi) kulit yang mati rasa  berbentuk bercak putih atau kemerahan yang
mati rasa
2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan saraf  akibat dari peradangan
saraf tepi (neuritis perifer) kronis
Gangguan fungsi saraf berupa :
a. Sensoris : mati rasa
b. Motoris : kelemahan (paresis) atau kelumpuhan (paralisis) otot
c. Otonom : kulit kering dan retak-retak
3. Adanya BTA dalam kerokan jaringan kulit (slit skin smear)

• Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta bila terdapat 1 dari tanda-tanda utama
diatas. Sebagian besar penderita dapat didiagnosis dengan pemeriksaan klinis. Apabila
hanya ditemukan cardinal sign, perlu dirujuk kepada ahli kusta. Jika masih ragu, orang
tersebut dianggap sebagai penderita yang dicuragai (suspek)
Tanda-tanda tersangka kusta
1. tanda- tanda pada kulit
a. Bercak kulit yang merah atau putih (paling sering) dan atau plakat
pada kulit, terutama di wajah dan telinga
b. Bercak kurang/mati rasa
c. Bercak yang tidak gatal
d. Kulit mengkilap/kering bersisik
e. Adanya kelainan kulit yang tidak berkeringat dan atau ndak
berambut
f. Lepuh tidak nyeri
2. Tanda-tanda pada saraf
a. Nyeri tekan dan atau spontan pada saraf
b. Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota gerak
c. Kelemahan anggota gerak dan atau wajah
d. Adanya cacat (deformitas)
e. Luka (ulkus) yang sulit sembuh
3. Lahir dan tinggal didaerah endemic kusta dan mempunyai kelainan
kulit yang tidak sembuh dengan pengobatan rutin, terutama bila
terdapat keterlibatan saraf tepi
Tanda tersebut merupakan tanda-tanda tersangka kusta dan belum dapat
digunakan sebagai dasar diagnosis penyakit kusta. Jika diagnosis kusta masih
belum dapat ditegakkan, Tindakan yang dapat dilakukan adalah :
• Pikirkan kemnungkinan peny kulit lain (panu, kurap, kudis,psoriasis, vitiligo)
• Pengambilan kerokan jaringan kulit
• Jika tidak ada petugas terlatih, tunggu 3-6 bulan dan periksa Kembali adanya
tanda utama. Jika ditemukan tanda utama, diagnosis dapat ditengakkan, jika
masih ragu, rujuk
Ingat ! Tanda utama tetap dapat ditemukan pada pasien sembuh atau release
from treatment (RFT). Perlu anamnesis yang teliti untuk menghindari
pengobatan ulang yang tidak perlu
Klasifikasi
Setelah seseotang didiagnosis menderita kusta, maka tahap selanjutnya yaitu menetapkan
tipe/klasifikasinya
1. Dasar klasifikasi
a. Manifestasi klinis, yaitu jumlah lesi kulit, jumlah saraf yang terganggu
b. Hasil pemeriksaan kerokan jaringan kulit BTA +/-
2. Tujuan
Klasifikasi penting untuk menentukan :
c. Jenis pengobatan
d. Lama pengobatan
e. Perencanaan logistic
3. Jenis klasifikasi
Terdapat beberapa klasifikasi kusta (klasifikasi Madrid, Ridley-Jopling, India, WHO). Penentuan klasifikasi
didasarkan pada tingkat kekebalan tubuh dan jumlah kuman
1982  ahli WHO mengklasifikasikan kusta untk memudahkan
pengobatan. Pasien dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe Pausibasilar (PB)
dan tipe Multibasilar (MB)
Diagnosis Banding
Kusta disebut dengan istilah the great imitator pada penyakit kulit.
Beberapa kelainan yang mirip dengan kusta antara lain :
1. Diagnosis Bercak Merah
2. Bercak Putih
3. Nodul
GAMBARAN KLINIS
CUTANEOUS LESIONS
CUTANEOUS LESIONS
CUTANEOUS LESIONS
CUTANEOUS LESIONS
CUTANEOUS LESIONS
Kusta Histoid
Gejala Kerusakan Saraf

N. ULNARIS
• Anestesia pada ujung jari
anterior kelingking dan jari
manis
• Clawing kelingking dan jari
manis
• Atrofi hipotenar dan otot
interoseus serta kedua otot
lubrikalis medial
Gejala Kerusakan Saraf

N. MEDIANUS
• Anestesia pada ujung jari
bagian anterior ibu jari,
telunjuk, dan jari tengah
• Tidak mampu aduksi ibu jari
• Clawing ibu jari, telunjuk, dan
jari tengah
• Ibu jari kontraktur
• Atrofi otot tenar dan kedua
otot lumbrikalis lateral
Gejala Kerusakan Saraf

N. RADIALIS
• Anestesia dorsum manus,
serta ujung proksimal jari
telunjuk
• Tangan gantung (wrist drop)
• Tidak mampu ekstensi jari-jari
atau pergelangan
Gejala Kerusakan Saraf

N. POPLITEA LATERALIS
• Anestesia tungkai bawah,
bagian lateral
• Kaki gantung (foot drop)
• Kelemahan otot peroneus
Gejala Kerusakan Saraf

N. TIBIALIS POSTERIOR
• Anestesia telapak kaki
• Claw toes
• Paralisis otot intrinsik kaki dan
kolaps arkus pedis
Gejala Kerusakan Saraf

N. FASIALIS DAN TRIGEMINUS


• Cabang temporal dan
zigomatik menyebabkan
lagoftalmus
• Cabang bukal, mandibular
dan servical menyebabkan
kehilangan ekspresi wajah
dan kegagalan
mengatupkan bibir
• Anastesia kulit wajah,
kornea, dan konjungtiva
mata
Pemeriksaan Fisik
• Pemeriksaan Klinis
pemeriksaan yang teliti dan lengkap sangat berguna dalam menegakan
diagnosis MH.

1. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan setelah meminta izin (Inform consent) kepada
pasien, usahakan pada pemeriksaan ruang yang terang agar dapat melihat
kelainan kulit dengan seksama.
Pemeriksaan fisik
Inspeksi

Inspeksi dilakukan dari kepala sampai kaki. Perhatikan setiap makula, nodul, jaringan parut
dan penebalan kulit. Perhatikan apakah ada deformitas pada wajah, tangan dan kaki.

Palpasi

Palpasi dilakukan untuk memeriksa apakah ada penebalan saraf tepi atau tidak. Tempat-
tempat dimana sering terjadi penebalan saraf adalah pada nervus ulnaris di siku, nervus
medianus dan radialis superfisial di pergelangan tangan, nervus peroneus komunis di fossa
poplitea, dan nervus aurikularis di leher.

Pemeriksaan Fungsi Sensorik

Gunakan sepotong kapas yang sudah dipilin pada ujungnya. Berikan penjelasan pada pasien
bila merasakan sentuhan maka pasien harus menunjuk bagian mana yang terasa. Pasien
ditutup matanya saat melakukan pemeriksaan. Lesi di kulit diperiksa secara bergantian
dengan kulit yang normal untuk mengetahui apakah ada anestesi atau hipestesia.
• SIMBOL KELAINAN KUSTA
Keterangan simbol
Bercak
Bercak kusta
kusta kemerahan
kemerahan // Ulkus
Ulkus
keputihan
keputihan
Mati
Mati rasa
rasa Infiltrat
Infiltrat yang
yang luas
luas
dan merata
dan merata

Bercak
Bercak putih/merah
putih/merah Tangan
Tangan lunglai
lunglai // kaki
kaki
yg
yg mati rasa
mati rasa berbatas
berbatas semper
semper
tidak
tidak jelas
jelas
Kontraktur
Kontraktur lemah
lemah
Bercak
Bercak putih/merah
putih/merah yg
yg
mati
mati rasa
rasa berbatas
berbatas tegas
tegas
Kontraktur
Kontraktur kaku
kaku
Benjolan
Benjolan
Mutilasi
Mutilasi // absorbsi
absorbsi
Alis
Alis mata
mata rontok
rontok //
madarosis
madarosis
Hidung
Hidung pelana
pelana
Ginekomasti
Ginekomasti

Lagoppthalmus
Lagoppthalmus Penebalan
Penebalan saraf
saraf
Makula
Hipopigmentasi +
5A :
• Anestesi
• Anhidrosis
• Akromia
• Alopesia
• Atrofi
TES SENSIBILITAS
FUNGSI NORMAL SARAF
Fungsi

Saraf Motorik Sensorik Otonom

Facialis Mempersarafi
kelopak mata agar
bisa menutup
Ulnaris Mempersarafi jari Rasa raba telapak
tangan ke 4 dan ke tangan : separuh jari ke
5 4 (jari manis) & ke 5
(jari kelingking)
Medianus Mempersarafi jari Rasa raba telapak
ibu jari, telunjuk tangan bagian ibu jari,
dan jari tengah jari ke 2, 3, dan Mempersarafi
separuh jari ke 4. kelenjar keringat,
Radialis Kekuatan
kelenjar minyak dan
pergelangan tangan
pembuluh darah
Peroneus Kekuatan
pergelangan Kaki
Tibialis Mempersarafi jari- Rasa raba telapak kaki
posterior jari kaki
LETAK SARAF TEPI YANG BERHUBUNGAN DENGAN KUSTA

N. Facialis
N. Auricularis magnus

N. Medianus
N. Radialis

N. Ulnaris

N. Peroneus Communis

N. Tibialis Posterior
Pemeriksaan Fungsi saraf facialis
Pemeriksaan raba Saraf Ulnaris
PEMERIKSAAN KEKUATAN JARI
KELINGKING DAN TES KONFRONTASI

Penderita diminta menggerakkan jari pemeriksa menarik kertas tersebut


kelingking ke lateral medial sambil menilai ada tidaknya
tahanan/jepitan terhadap kertas
Bila + pemeriksa memberi tekanan pada tersebu
jari kelingking penderita
PEMERIKSAAN FUNGSI MOTORIK SARAF MEDIANUS

PEMERIKSAAN FUNGSI MOTORIK SARAF RADIALIS


Pemeriksaan fungsi saraf Peroneus Communis
PEMERIKSAAN FUNGSI SENSORIS SARAF TIBIALIS POSTERIOR
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan bakteriologis untuk mengetahui apakah
ada basil tahan asam (BTA) pada kerokan kulit atau tidak. Pemeriksaan bakteriologis dapat
dilakukan di fasilitas kesehatan tingkat pertama seperti Puskesmas.

1. Pemeriksaan Kerokan Kulit


Pengambilan sampel kerokan kulit untuk pemeriksaan bakteriologis bisa dilakukan pada cuping
telinga atau lesi kulit yang paling aktif (lesi kulit yang meninggi dan berwarna kemerahan). Sampel
kerokan kulit dapat diambil dari 2 sampai 3 tempat yang berbeda. Pemeriksaan ini dapat membantu
menentukan klasifikasi pada pasien lepra baru, membantu menilai hasil pengobatan, serta sebagai
evaluasi pada pasien relapse.
2.Pemeriksaan Histopatologik
SIS Kuat Sisa makrofag yang Massa
Sel Epiteloid Tuberkel
tidak fagosit Epiteloid
Makrofag

Fagosit
SIS Lemah Makrofag tidak bs Sel Virchow Penyebarluasan
fagosit

- Pada lepra tipe tuberkuloid akan ditemukan tuberkel dan hanya ada sedikit
kuman
- Pada lepra tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi sub-epidermal, dimana didapati
sel Virchow/sel lepra dan banyak kuman.
- Pada tipe borderline terdapat campuran dari tuberkel dan sel Virchow
3.Pemeriksaan Serologik
• Pemeriksaan serologik lepra didasarkan dari terbentuknya antibodi pada
tubuh penderita yang terinfeksi Mycobacterium leprae.
• Ab Spesifik - Mycobacterium lepraeadalah antibodi anti phenolic glycolipid-1
(PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD dan 35kD.
• NonSpesifik - anti-lipoarabinomanan (LAM)
• Jenis pemeriksaan serologic
- Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination)
- Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-sorbent Assay)
- ML Dipstick Test (Mycobacterium Leprae Dipstick)
- ML Flow Test (Mycobacterium Leprae Flow Test)
Pengambilan Sampel
Cara pengambilan sampel untuk kerokan kulit pada lepra adalah:

• Cuci tangan dan pasang handscoon


• Bersihkan bagian kulit yang akan dikerok dengan menggunakan alkohol
• Jepitlah kulit dengan erat menggunakan jempol dan telunjuk
• Buat insisi dengan panjang 5 mm dan dalam 2 mm. Kulit tetap dijepit supaya tidak berdarah.
Putar pisau skalpel 90 derajat, lalu kerok irisan tersebut sekali atau dua kali untuk
mengumpulkan cairan dan bubur jaringan.
• Lepas jepitan pada kulit dan bersihkan dengan kapas alkohol
• Buatlah apusan kerokan kulit di kaca objek berbentuk lingkaran dengan diameter 8 mm
• Ulangi di tempat kulit yang lain
• Tutup luka pasien
• Biarkan kaca objek kering beberapa saat di suhu ruangan
• Fiksasi dengan melewatkan kaca objek diatas api sebanyak 3 kali
• Tulis identitas pasien dan kirim sampel ke laboratorium
• Sampel akan dilakukan pewarnaan dengan teknik Ziehl-Nielsen. BTA akan terlihat seperti
bentukan batang panjang dengan kedua ujungnya membulat serta berwarna merah. Hasil
pembacaan bakteriologis akan ditulis dalam bentuk indeks bakteri.
Indeks Bakteri pada Pemeriksaan Bakteri Tahan Asam Lepra
Klasifikasi
Klasifikasi penyakit lepra dapat dibagi berdasarkan kriteria WHO dan berdasarkan kriteria Ridley-Jopling.
Berdasarkan kriteria Ridley-Jopling, penyakit lepra dibagi menjadi 5 tipe sedangkan berdasarkan kriteria
WHO, penyakit lepra dibagi menjadi 2 tipe.

Klasifikasi Ridley-Jopling

Klasifikasi berdasarkan Ridley-Jopling diantaranya:

• TT (Tuberkuloid): pasien memiliki sistem imun seluler yang baik, dengan pasien mengalami lesi kulit
tunggal atau jumlah lesi asimetris yang kecil.
• BT (Borderline Tuberkuloid): seperti TT, tetapi lesi lebih banyak dengan ukuran lebih kecil.
• BB (Borderline- Borderline): lesi antara TT dan LL dengan distribusi asimetris serta gangguan saraf
sedang.
• BL (Borderline Lepromatous): mirip dengan LL, tetapi dengan jumlah lebih banyak, tidak simetris dan
kehilangan sensasi di beberapa bagian kulit.
• LL (Lepromatous): bakteri bermultiplikasi dan menyebar melalui pembuluh darah karena tidak adanya
respon imun seluler terhadap bakteri. Lesi kulit multipel dan simetris, hipopigmentasi dan batas yang
kurang tegas. Pada tahap lanjut pasien mengalami facies leonine, madarosis, dan edema pada kaki.
Klasifikasi WHO
Klasifikasi TT dan BT dimasukkan ke dalam tipe Pausibasiler (PB) sedangkan
klasifikasi BB, BL, dan LL dimasukkan ke dalam tipe Multibasiler (MB) pada
klasifikasi WHO.

Bila salah satu dari tanda utama MB ditemukan maka pasien


diklasifikasikan dalam kategori MB.
Tabel 3. Tanda Lain untuk Klasifikasi Lepra Menurut WHO
Tatalaksana Kusta
• 1949 – DDS obat tunggal
• 3-5 tahun PB
• 5-10 tahun MB, seumur hidup
• 1964 Terjadi resistensi, pasien defaulter
• 1982 Multi Drug Therapy
Tujuan Pengobatan
• Memutuskan mata rantai penularan
• Mencegah resistensi obat
• Memperpendek masa pengobatan
• Meningkatkan keteraturan berobat
• Mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnyacacat yang
sudah ada sebelum pengobatan
Regimen Pengobatan MDT
Kelompok orang yang butuh MDT
• Pasien yang baru didiagnosis kusta dan belum pernah mendapat
MDT
• Pasien ulangan
• Relaps
• Masuk Kembali stelah dafault
• Pindahan
• Ganti klasifikasi / tipe
Pasien Pausibasiler (PB) untuk dewasa
• Pengobatan bulanan: hari pertama obat diminum depan petugas
• 2 kapsul rifampisin 300mg (600mg)
• 1 tablet dapson / DDS 100mg
• Pengobatan Harian hari ke 2 – 28
• 1 tablet dapson / DDS 100mg
• Satu blister untuk 1 bulan
• 6 blister untuk diminum dalam 6-9 bulan
Pasien Multibasiler (MB) untuk dewasa
• Pengobatan bulanan: hari pertama diminum depan petugas
• 2 kapsul rifampisin @300mg (600mg)
• 3 tablet lampren @ 100mg (300mg)
• 1 tablet dapson / DDS 100mg
• Pengobatan harian: hari ke 2-28
• 1 tablet lampren 50mg
• 1 tablet dapson / DDS 100mg
• Satu blister untuk 1 bulan
• 12 blister untuk 12-18 bulan
Dosis MDT PB utuk Anak (10-15)
• Pengobatan bulanan: hari pertama diminum depan petugas
• 2 kapsul rimfapisin @150mg (300mg) PB child treatment (10-15
years):
• 1 tablet dapson / DDS 50mg
• Pengobatan harian: hari ke 2-28
• 1 tablet dapson / DDS 50mg
• Satu blister untuk 1 bulan, 6 blister untuk 6 bulan
Dosis MDT MB untuk Anak (10-15)
• Pengobatan bulanan: hari pertama diminum depan petugas
• 2 kapsul rimfapisin @150mg (300mg)
• 3 tablet lampren @50mg (150mg) PB child treatment (10-15
years):
• 1 tablet dapson / DDS 50mg
• Pengobatan harian: hari ke 2-28
• 1 tablet dapson / DDS 50mg
• 1 tablet lampren 50mg selang sehari
• Satu blister untuk 1 bulan
• 12 blister untuk 12-18 bulan
Dosis MDT untuk dewasa (>15th
& Anak 10-15th)
Tersedia paket dalam bentuk blister

Dosis MDT untuk Anak (<10th)


• Rifampisin 10-15mg/kgBB
• Dapson 1-2mg/kgBB
• Lampren 1mg/kgBB
Dosis MDT
Dosis MDT
Sediaan dan sifat obat
• DDS (dapson)
• Berbentuk tablet berwarna putih 50mg dan 100mg
• Bersifat bakteriostatik

• Lampren (klofazimin)
• Berbentuk kapsul lunak berwarna coklat 50mg dan 100mg
• Bersifat bakteriostatik, bakterisidal lemah, dan anti inflamasi
• Pemberian oral, diminum sesusah makan untuk menghindari gangguan
gastrointestinal
Sediaan dan sifat obat
• Rifampisin
• Berbentuk kapsul 150mg, 300mg, 450mg dan 600mg
• Bersifat bakterisidal: 99% kuman kusta mati dalam satu kali pemberian
• Pemberian oral, diminum setengah jam sebelum makan agar penyerapan
lebih baik
• Vitamin (obat penunjang)
• Obat neurotropik : vitamin B1, B6, dan B12
Pasien dengan keadaan Khusus
1. Hamil dan menyusui: MDT aman untuk ibu hamil dan anaknya

2. Tuberkulosis : pemberian obat diberikan bersamaan, dengan dosis


rifampisis sesuai dosis untuk tuberkulosis
• TB kusta tipe PB
Pengobatan kusta cukup ditambahkan dapson 100mg, lama pengobatan sesuai
dengan pengobatan PB
• TB kusta tipe MB
Pengobatan kusta cukup dengan dapson dan lampren, lama pengobatan sesuai
dengan pengobatan MB
Pasien dengan keadaan Khusus
3. Untuk pasien PB yang alergi terhadap dapson : diganti dengan
lampren

4. Untuk pasien MB yang alergi terhadap dapson : pengobatan hanya


rifampisin dan lampren sesuai dosis dan jangka waktu pengobatan
Terapi Alternatif (alergi terhadap dapson)
• Rifampisin 600mg/bulan, ofloksasin 400mg/bulan, minosiklin
100mg/bulan selama 24 bulan
• Klofazimin 50mg/hari, ofloksasin 400mg/hari dan minosiklin selama 6
bulan dilanjutkan klofazimin 50mg/hari, ofloksasin 400mg/hari atau
klofazimin 50mg/hari, minosiklin 100mg/hari selama 18 bulan
• Rifampisin 600mg/bulan, klofazimin 50mg/hari, minosiklin
100mg/bulan selama 12 bulan
• Rifampisin 600mg/bulan, klofazimin 50mg/hari, prothionamid
250mg/hari selama 12 bulan
Efek samping obat dan penanganannya
Monitoring dan Evaluasi Pengobatan
• Setiap petugas memonitor tanggal pengambilan obat
• Apabila terlambat mengambil obat dalam 1 bulan, pelacakan dilakukan
• Release From Treatment dinyatakan setelah dosis dipenuhi tanpa perlu lab.
• Dilakukan pengamatan secara semi aktif pada pasien RFT dengan faktor
resiko:
• Cacat tingkat 1/2
• Mengalami reaksi
• BTA pada awal pengobatan positif >3 (ada nodul atau infiltrat)
• Pasien PB yang telah melakukan MDT 6 dosis dalam 6-9 bulan, dinyatakan RFT
tanpa cek lab
• Pasien MB yang tekah melakukan MDT 12 dosis dalam 12-18 bulan,
dinyatakan RFT tanpa cek lab
Monitoring dan Evaluasi Pengobatan
• Tindakan defaulter
Monitoring dan Evaluasi Pengobatan
• Pasien Relaps / kambuh apabila dinyatakan RFT timbul lesi baru
• Bila pemeriksaan ulang BTA terjadi peningkatan indek bakteri 2+ atau lebih
dibandingkan saat diagnosis. Pasien dirujuk untuk mendapat kepastian diagnosis
sebelum diobati
• Orang yang mendapatkan pengobatan dapson monoterapi, bila tanda kusta aktif
muncul kembali, makan dimasukkan dalam kategori relaps dan diberi MDT
• Indikasi pengeluaran pasien dari register kohort adalah: RFT, meninggal,
Pindah, salah diagnosis, ganti klasifikasi, dan default
• Pada keadaan khusus (sulit akses ke tempat pelayanan kesehatan) dapat
diberikan sekaligus beberapa blister diikuti penyuluhan efek samping,
tanda reaksi, agar secepatnya kembali ke pelayanan kesehatan
Reaksi kusta
Interupsi dengan episode akut yang sebenarnya sangat kronik.

Termasuk dalam reaksi imun patologik

Terbagi menjadi 2:

• Eritema nodosum leprosum

• Reaksi reversal atau raksi upgrading


Eritema Nodosum Leprosum
• Disebut juga reaksi lepra nodular

• Timbul terutama pada tipe lepromatosa dan dapat pula pada BL.

• Semakin tinggi tingkat multibasilarsemakin besar kemungkinan ENL.

• Biasanya terjadi pada pengobatan tahun ke 2

• Banyak M. Leprae yang mati banyak mengeluarkan antigen


bereaksi dengan antibodi (IgM dan IgG)  mengaktifkan sistem
komplemen  kompleks imun.

• Tidak terjadi perubahan ke tipe lain.


• Nodus eritema dan nyeri
• Predileksi lengan dan tungkai
• Dapat mengenai organ lain dan menjadi iridosiklitis, neuritis akut,
limfademinitis, artritis, orkitis, dan nefritis akut.
Pengobatan ENL
• Obat yang paling sering dipakai adalah kortikosteroid.

• Prednison 15-30 mg/hari

• Pemakaian kortikosteroid disesuaikan dengan berat tidaknya reaksi, lalu di

tappering offsesuai dengan perbaikan reaksi.

• Ada kemungkinan pasien mengalami ketergantungan di mana ENL timbul saat

obat diberhentikan atau dikurangi dosisnya.

• Dapat dipakai Klofazimin (200-300 mg/hari).

• Memiliki efek samping kulit menjadi berwarna merah kecoklatan yang

reversibel.
Pengobatan dengan Klofazimin (Lampren)

• ENL berat, berkepanjangan, dengan ketergantungan steroid perlu


ditambahkan lampren/klofazimin.

• Lampren (klofazimin) 300 mg/hari selama 2-3 bulan.

• Bila ada perbaikan  100 mg/hari, 2-3 bulan.

• Selanjutnya 50 mg/hari bila penderita masih dalam pengobatan MDT.

• Apabila sudah RFT maka dapat menghentikan pemberian lampren.

• Pada saat pemberian lampren, dosis steroid dapat diturunkan secara


bertahap.
Reaksi Reversal
• Disebut juga reaksi lepra non-nodular.

• Hanya dapat terjadi pada tipe borderline (BT, BB, BL).

• Diakibatkan oleh peningkatan mendadak sistem imun selular.

• Tipe kusta borderline bergerak bebas ke arah TT atau LL seiring dengan

perubahan SIS.

• Apabila perubahan ke arah TT  reaksi reversal

• Perubahan ke arah LL  downgrading

• Umumnya terjadi pada pengobatan 6 bulan pertama


Gejala Reaksi Reversal

• Seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif atau timbul lesi baru dalam waktu
singkat

• Lesi hipopigmentasi menjadi eritema

• Lesi eritema menjadi semakin eritematosa

• Lesi makula menjadi infiltrat  semakin infiltratif

• Lesi lama bertambah luas.

• Dapat disertai dengan neuritis.


Pengobatan Reaksi Reversal

• Apabila tidak ada neuritis akut, tidak diberi pengobatan tambahan.

• Apabila terdapat neuritis akut maka diberi kortikosteroid (dosis


disesuaikan dengan berat-ringannya neuritis) Prednison 40 mg/hari.

• Harus secepatnya dan adekuat untuk mengurangi kerusakan saraf.

Anda mungkin juga menyukai