Anda di halaman 1dari 44

REFERAT

MORBUS HANSEN
Pembimbing:

dr. Imanda Jasmine Siregar, Sp.KK., FINS-DV

Agus Muliawan 20360169

Ahmad Fauzan 20360233

Mitta Fidyana 20360203

Sarmilah 20360219

Sheini Dwi Juniar 20360222


BAB 1 PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG

Morbus Hansen (MH) atau disebut Kusta termasuk


penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa India
kustha, dikenal sejak 1400 tahun sebelum Masehi. Kusta
adalah penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae yang menyerang Saraf perifer,
kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas,
kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf
pusat. Kusta merupakan penyebab kecacatan tertinggi
terkait infeksi di banyak negara endemik.
Data WHO tahun 2018 di
159 Negara : 208.619 kasus

India : 120.334 kasus


Brazil : 28.660 kasus
Indonesia : 17.017 kasus

MH Tipe MB : 12.377 kasus (85,97%)


MH Tipe PB : 2.020 kasus (14,03%)
Data Kemenkes RI tahun 2018 kasus
Laki-laki : 9.016 (62,62%)
baru di Indonesia : 14.397 kasus
Perempuan : 5.381 (37,38%)
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI MORBUS HANSEN/KUSTA

Penyakit infeksi kronik granulomatosa yang disebabkan


oleh Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular.

Menyerang :
• Saraf perifer
• Kulit
• Mukosa mulut
• Saluran pernafasan bagian atas
• Mata, otot, tulang, testis
ETIOLOGI : Mycobacterium leprae

Basil Gram +, Berbentuk Tidak bergerak dan


tahan asam pleomorf lurus, tidak berspora,
batang panjang, dapat tersebar
dan alkohol sisi pararel dalam berbagai
Uk. 3-8 µm x dengan kedua ukuran bentuk
0,5 µm ujung bulat kelompok

Obligat intraseluler Tumbuh pada


pada jaringan temperatur 27- Masa
bersuhu dingin
30˚C, dari sekret inkubasi 2-5
(mukosa hidung, tahun
cuping telinga) nasal dapat
bertahan 9 hari

Ditemukan oleh :
G.A Hansen, tahun 1874 di Norwegia
Mycobacterium leprae
EPIDEMIOLOGI
Kasus baru kusta di Indonesia : Kasus Kusta Anak dengan tingkat
kecacatan tingkat 1 :
• Jawa Timur : 4.668 jiwa
• Jawa Barat : 16,86%
• Jawa Barat : 2.410 jiwa
• Kalsel : 16,7%
• Jawa Tengah : 2000 jiwa
• Sulsel : 16,4%
• Papua : 1.376 jiwa
• Jawa Timur : 13,48%
• Papua Barat : 1.346 jiwa • Sumut : 11,93%

• Sulsel : 1.186 jiwa • Jawa Tengah : 11,45%

• Banten : 1.007 jiwa • NTT : 10,88%


PATOGENESIS
M. leprae mempunyai patogenitas dan daya
M. leprae invasi rendah. Ketidakseimbangan antara
derajat infeksi dengan derajat penyakit
tidak lain disebabkan oleh respon imun yang
berbeda, sehingga kusta disebut sebagai
Kulit yang lecet
Penyakit Imunologik.
atau mukosa
nasal
Sistem imun seluler ↓ (tipe LL) makrofag
tak mampu menghancurkan M. leprae →
Sel multiplikasi bebas → merusak jaringan
makrofag/sel
Schwann
(Obligat Sistem imun seluler ↑ (tipe BB) makrofag mampu
intraseluler) menghancurkan M. leprae → berubah menjadi
sel epitheloid → sel datia Langhans → kerusakan
saraf/jaringan yang progresif
PREDILEKSI
• Predileksi Lesi Kulit

Bagian tubuh yang relatif dingin :


wajah, mukosa hidung, telinga, dan
anggota tubuh yang terbuka.

• Predileksi Kerusakan Saraf Tepi

Saraf tepi superficial : N. fasialis, N.


trigeminus, N. auricularis magnus,
N. radialis, N. ulnaris, N. medianus,
N. poplitea lateralis, dan N. tibialis
posterior.
GEJALA KLINIS

Untuk menetapkan diagnosa penyakit kusta


didasarkan pada gejala-gejala utama atau
“Cardinal signs”, yaitu :

• Lesi kulit yang mati rasa


• Penebalan saraf tepi
• Kelainan kulit dapat berupa bercak
hipopigmentasi atau eritematosa yang mati
rasa terhadap rasa raba, suhu, dan nyeri
• Ditemukan Basil Tahan Asam (BTA)
KLASIFIKASI
Tabel Zona spektrum kusta menurut berbagai klasifikasi

KLASIFIKASI ZONA SPEKTRUM KUSTA

Ridley & Jopling TT BT BB BL LL

Madrid Tuberkuloid Borderline Lepromatosa

WHO Pausibasilar (PB) Multibasilar (MB)

Tipe I, TT, dan BT Tipe LL, BL, dan BB

Puskesmas PB MB
Tabel Klasifikasi Menurut WHO

Pausibasiler (PB) Multibasiler (MB)

Jumlah tanda bercak 1 – 5 Bercak >5 Bercak


pada kulit

Kerusakan saraf tepi Hanya 1 saraf Banyak saraf

BTA Negatif (-) Positif (+)


Kusta tipe Borderline Tuberkuloid (BT)
Lesi hipopigmentasi dengan tepi yang lebih
eritematosa, kekeringan kulit atau skuama
yang tidak jelas, biasanya asimetris. Lesi
satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf
perifer yang menebal.
Lepromatosa Polar (LL)
Distribusi lesi khas yaitu di wajah, dahi, pelipis,
dagu, cuping telinga, sedangkan pada bagian
badan pada bagian belakang, lengan, punggug
tangan, dan permukaan ekstensor tungkai bawah.
Tabel Tanda lain yang dapat dipertimbangkan dalam penentuan
klasifikasi menurut WHO pada penderita Morbus Hansen
Kelainan Kulit Dan Pausibasiler (PB) Multibasiler (MB)
Hasil Pemeriksaan
1. Bercak (macula) mati rasa

a. Ukuran Kecil dan besar Kecil-kecil

b. Distribusi Unilateral atau bilateral Bilateral simetris


asimetris
c. Konsistensi Kering dan kasar Halus, berkilat

d. Batas Tegas Kurang tegas

e. Kehilangan rasa bercak Selalu ada dan tegas Biasanya tidak jelas, jika ada
terjadi pada yang sudah lanjut
f. Kehilangan kemampuan Selalu ada dan jelas Biasanya tidak jelas, jika ada
selalu ada berkeringat, terjadi pada yang sudah lanjut
rambut rontok dan jelas pada
bercak
Kelainan Kulit Dan Pausibasiler (PB) Multibasiler (MB)
Hasil Pemeriksaan
2. Infiltrat

a. Kulit Tidak ada Ada, kadang-kadang tidak ada

b. Membran mukosa Tidak pernah ada Ada, kadang-kadang tidak ada

c. Ciri-ciri Central healing - Punched out lesion


- Madarosis
- Ginekomastia (laki-laki)
- Hidung pelana
- Suara sengau
- Wajah singa (facies
leonine)
d. Nodulus Tidak ada Kadang-kadang ada

e. Deformitas Terjadi dini Terjadi pada tahap lanjut


Gejala-gejala Kerusakan saraf

N. Ulnaris N. Medianus N. Radialis N. Poplitea


Lateralis
- Anestesia pada - Anestesia pada - Anestesia dorsum - Anestesia tungkai
ujung jari anterior ujung jari anterior manus, ujung bawah, bagian
kelingking dan jari ibu jari, telunjuk proksimal jari lateral, dan
manis dan jari tengah telunjuk dorsum pedis
- Clawing kelingking - Tidak mampu - Tangan gantung - Kaki gantung
dan jari manis aduksi ibu jari - Tak mampu - Kelemahan otot
- Atrofi hipotenar - Clawing ibu jari, ekstensi jari-jari peroneus
dan otot telunjuk, dan jari atau pergelangan
interoseus serta tengah tangan
kedua otot - Ibu jari kontraktur
lumbricalis medial - Atrofi otot tenar
dan kedua otot
lumbricalis lateral
N. Tibialis Posterior N. Fasialis N. Trigeminus
- Anestesia telapak kaki - Cabang temporal dan - Anestesia kulit wajah,
- Claw toes zigomatik menyebabkan kornea, dan konjungtiva
- Paralisis otot intrinsic kaki lagoftalmus mata
dan kolaps arkus pedis - Cabang bukal, mandibular - Atrofi otot tenar dan
dan servikal menyebabkan kedua otot lumbricalis
kehilangan ekspresi wajah lateral
dan kegagalan
mengatupkan bibir
Tabel Diagnosis Klinis Menurut WHO (1995)

Pausibasiler (PB) Multibasiler (MB)

Lesi kulit - 1 – 5 lesi - >5 lesi


(makula datar, papul - Hipopigmentasi/eritema - Distribusi lebih
yang meninggi, nodus) - Distribusi tidak simetris simetris
- Hilangnya sensasi yang - Hilangnya sensasi
jelas kurang jelas
Kerusakan saraf Hanya 1 cabang saraf Banyak cabang saraf
(menyebabkan
hilangnya
sensasi/kelemahan
otot yang dipersarafi
oleh saraf yang terkena
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Pemeriksaan
Tes Lepromin
Bakterioskopik Histopatologik

• Sediaan dibuat dari • Tipe Tuberkuloid : • Tes non spesifik


kerokan kulit atau tuberkel dan kerusakan untuk klasifikasi dan
mukosa hidung diwarnai saraf nyata, tidak ada prognosis tapi tidak
pewarnaan ZIEHL NELSEN basil/ sedikit dan non
solid untuk diagnosis
• + tampak merah pada
sediaan • Tipe Lepromatosa : • Menunjukkan sistem
• Bentuk solid = basil hidup subepidermal clear zone imun penderita
• Bentuk fragmented dan (dibawah epidermis) terhadap M. leprae
granular = basil mati yang jaringannya tidak
patologik, terdapat sel
Virchow dgn basil banyak
Pemeriksaan Serologi

• Untuk diagnosis infeksi M. leprae sebelum timbul


manifestasi klinis.
• Untuk menentukan adanya antibody spesifik terhadap
M. leprae di dalam darah.

Pemeriksaan Saraf Tepi

• Perabaan (palpasi) saraf tepi


• Fungsi saraf (raba dan kekuatan otot)
DIAGNOSIS BANDING
PENGOBATAN

Multi Drugs Treatment (MDT) :


WHO menambahkan Obat alternatif :
- DDS (Diamino Difenil Sulfon)
➢ Ofloksasin
- Klofazimin (Lampren) Dosis optimal : 400 mg
- Rifampisin Side effect : mual, daire, insomnia

Tujuan Pemberian MDT ➢ Minosiklin


▪ Mencegah dan mengobati resistensi Dosis harian : 100 mg
▪ Memperpendek masa pengobatan
➢ Klaritromisin
▪ Mempercepat pemutusan mata rantai Dosis harian : 500 mg
penularan
Cara Pemberian MDT
MDT untuk multibasilar (BB, BL, LL atau MDT untuk pausibasilar (I, TT, BT, atau dgn
semua tipe dgn BTA +) : BTA -) :

- Rifampisin 600 mg setiap bulan, dalam - Rifampisin 600 mg setiap bulan, dalam
pengawasan pengawasan
- DDS 100 mg setiap hari - DDS 100 mg setiap hari
- Klofazimin 300 mg setiap bulan, dalam
pengawasan, diteruskan 50 mg/hari atau Keduanya diberikan dalam 6 dosis selama 6
100 mg selama sehari atau 3 x 100 mg / – 9 bulan.
minggu

Pengobatan dilakukan selama 2 – 3 tahun


Dosis MDT PB untuk anak (umur10-15 Dosis MDT MB untuk anak (umur10-15
tahun) : tahun) :

Pengobatan bulanan : hari pertama (obat Pengobatan bulanan : hari pertama (obat
diminum didepan petugas)
diminum didepan petugas)
- 2 kapsul Rifampisin 150 mg dan 300 mg
- 2 kapsul Rifampisin 150 mg dan 300 mg
- 3 tablet Lampren 50 mg (150 mg)
- 1 tablet Dapson/DDS 50 mg - 1 tablet Dapson/DDS 50 mg

Pengobatan harian : hari ke 2-28 Pengobatan harian : hari ke 2-28


- 1 tablet Dapson/DDS 50 mg - 1 tablet Lampren 50 mg selang sehari
- 1 tablet Dapson/DDS 50 mg
Diminum selama 6 – 9 bulan.
Diminum selama 12 – 18 bulan.
REAKSI KUSTA
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan
penyakit yang sebenarnya sangat kronik.

❑ Reaksi kusta tipe 1


Reaksi kusta tipe ini terjadi pada penderita penyakit kusta tipe MB dan
PB, reaksi ini terjadi selama pengobatan diduga disebabkan oleh
meningkatnya respon imun selular secara cepat terhadap kuman kusta.

❑ Reaksi kusta tipe 2


Reaksi kusta tipe ini terjadi pada penderita kusta tipe MB dan
merupakan respon imun humoral karena tingginya respon imun humoral
penderita.
REAKSI KUSTA

❑ Ulserasi
Ulserasi terjadi akibat hilangnya proteksi sensasi. Pasien tidak
merasakan panas, tekanan atau sakit. Trauma pada kulit tidak
terasa dan sering kali terabaikan, risiko kerusakan meningkat bila
disertai kehilangan kekuatan otot (tangan keriting, kaki lunglai).

❑ Deformitas
Deformitas terjadi akibat kehilangan kekuatan otot dan ulserasi,
diikuti oleh osteomyelitis dan pemendekan jari-jari, umumnya
dihubungkan dengan kekuatan dan kontraktur.
PROGNOSIS
Bergantung pada tipe kusta, akses pelayanan Kesehatan, dan penggunaan
obat awal yang diterima.

Dubia ad bonam :
▪ Kusta pada anak karena jarang terjadi reaksi kusta
▪ Pengobatan menggunakan obat-obat kombinasi

Dubia ad malam :
Jika sudah ada kontraktur dan ulkus kronik
PENCEGAHAN
- Pencegahan Primer → Pencegahan tingkat pertama ini merupakan
upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat
atau mencegah orang yang sehat agar tidak sakit.

- Pencegahan Sekunder → Tingkat pencegahan kedua ini merupakan


upaya manusia untuk mencegah orang yang telah sakit agar
sembuh dengan pengobatan, menghindarkan komplikasi kecacatan
secara fisik.

- Pencegahan Tersier → Pencegahan ini dimaksudkan untuk


mengurangi ketidakmampuan dan mengadakan rehabilitasi. Upaya
pencegahan tingkat tiga ini dapat dilakukan dengan
memaksimalkan fungi organ tubuh, membuat protesa ekstremitas
akibat amputasi dan mendirikan pusat-pusat rehabilitasi.
BAB 3 KESIMPULAN

Morbus Hansen atau Kusta merupakan penyakit infeksi kronis yang


disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae dan utamanya menyerang saraf
perifer, kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke
organ lain kecuali susunan saraf pusat. Masa inkubasi dari M. leprae sangat
bervariasi, umumnya 3-5 tahun. Morbus Hansen merupakan penyebab kecacatan
tertinggi terkait infeksi di banyak negara endemik MH.
Alhamdulillah,
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai