Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH IPPD 1

KUSTA

DISUSUN OLEH

KELOMPOK 6

 AZZIZAH DIFI
 INDRI WIDYA HAPSARI
 NI PUTU AGNES WULANDARI
 NURHIKMAH
 SITI NUR ULFA

i
BAB 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kusta merupakan penyakit menular dan menahun yang disebabkan oleh
kuman Mycobacterium Leprae, penyakit ini menyerang kulit, saraf tepi dan dapat
pula menyerang jaringan tubuh lainnya kecuali otak. Penyakit kusta adalah salah
satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah
yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial,
ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional. (Depkes RI, 2007). Penyakit
kusta sampai saat ini masih ditakuti masyarakat, keluarga termasuk sebagian
petugas kesehatan. Hal ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan dan
kepercayaan yang keliru terhadap kusta dan cacat yang ditimbulkan oleh kusta.
Suatu kenyataan bahwa sebagian besar penderita kusta adalah dari golongan
ekonomi lemah. Perkembangan penyakit pada diri penderita bila tidak ditangani
secara cermat dapat menimbulkan cacat dan keadaan ini menjadi halangan bagi
penderita kusta dalam kehidupan bermasyarakat untuk memenuhi kebutuhan sosial
ekonomi mereka, juga tidak dapat berperan dalam pembangunan bangsa dan
negara. Disamping cacat yang timbul, pendapat yang keliru dari masyarakat
terhadap kusta, rasa takut yang berlebihan atau leprophobia akan memperkuat
persoalan sosial ekonomi penderita kusta.

1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

1.Definisi Kusta
Penyakit Hansen atau Penyakit Morbus Hansen yang dahulu dikenal sebagai
Penyakit Kusta atau Lepra adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae dan biasanya mempengaruhi kulit serta saraf tepi, namun
memiliki berbagai macam manifestasi klinis. (WHO, 2010). Penyakit ini ditandai
dengan borok dari tulang dan kulit yang menyebabkan hilangnya sensasi, lumpuh,
gangrene, dan deformasi. (The American Heritage-Dictionary of the English
language).
Istilah kusta berasal dari bahasa Sansekerta, yakni kustha berarti kumpulan
gejala-gejala kulit secara umum.. Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa
pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernafasan atas dan lesi pada kulit adalah
tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif
menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak dan mata. Tidak
seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta tidak menyebabkan pelepasan
anggota tubuh sebegitu mudah seperti pada penyakit tzaraath yang digambarkan
dan sering disamakan dengan kusta.(Pusdatin,2015)

2.Penyebab Kusta
Penyebab penyakit kusta adalah kuman kusta ( mycobacterium
leprae), yang berbentuk batang dengan ukuran panjang 1–8 mic, lebar 0,2–0,5
mic biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel
dan bersifat tahan asam (BTA).

Gambar .Mycobacterium Leprae


Masa belah diri kuman kusta adalah memerlukan waktu yang sangat
lama dibandingkan dengan kuman lain, yaitu 12-21 hari. Hal ini merupakan

2
salah satu penyebab masa tunas lama yaitu rata-rata 2–5 tahun.
Pertumbuhan optimal dari kuman kusta adalah pada suhu 27°-30°C.

3.Klasifikasi dan Kriteria Kusta


Untuk keperluan pengobatan kombinasi atau Multidrug Therapy (MDT)
yaitu menggunakan gabungan Rifampicin, Lamprene dan DDS, maka penyakit
kusta di Indonesia diklasifikasikan menjadi 2 tipe yaitu :
a. Tipe PB (Pausi basiler).
b. Tipe MB (Multi basiler).
Dalam menentukan klasifikasi tipe PB dan MB didasarkan pada criteria
seperti tabel dibawah ini. Penentuan tipe tidak boleh berpegang pada hanya
salah satu dari kriteria, akan tetapi harus dipertimbangkan dari seluruh criteria.

Tabel 1.1 Kriteria untuk tipe PB dan MB (Depkes RI-Buku pedoman


pemberantasan kusta, 2007)
Kelainan kulit dan hasil
PB MB
pemeriksaan bakteriologis
1. Bercak (makula)
1-5 Banyak
a. Jumlah
b. Ukuran Kecil dan besar Kecil-kecil
c. Distribusi Unilateral atau
Bilateral, simetris
bilateral asimetris
d. Konsistensi Kering dan kasar Halus, berkilat
e. Batas Tegas Kurang tegas
f. Kehilangan rasa Biasanya tidak jelas, jika
pada bercak Selalu ada dan jelas ada, terjadi pada yang
sudah usia lanjut.
g. Kehilangan
Bercak tidak
kemampuan
berkeringat, ada Bercak masih berkeringat,
berkeringat, bulu
bulu rontok pada bulu tidak rontok.
rontok pada
bercak.
bercak

3
2. Infiltrat : Ada, kadang-kadang tidak
Tidak ada
a. Kulit ada
b. Membran mukosa
(hidung tersumbat Ada, kadang-kadang tidak
Tidak pernah ada
perdarahan di ada.
hidung)
3. Ciri-ciri khusus 1. Punched out lession
**
“central healing”
2. Madarosis
penyembuhan di
3. Ginekomastia
tengah
4. Hidung pelana
5. Suara sengau
4. Nodulus Tidak ada Kadang-kadang ada
5. Penebalan syaraf Terjadi pada yang
Lebih sering terjadi lanjut, biasanya lebih
dini, asimetris dari satu dan
simetris.
6. Deformitas (cacat) Biasanya asimetris Terjadi pada stadium
terjadi dini lanjut
7. Apusan BTA negatif BTA positif

4.Tanda dan Gejala


Untuk menetapkan diagnosa penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda
pokok atau “cardinal signs” pada badan yaitu :
1. Kelainan kulit/lesi yang hypopigmentasi atau kemerahan dengan
hilang/mati rasa yang jelas.
2. Kerusakan dari syaraf tepi, yang berupa hilang/mati rasa dan kelemahan
otot tangan, kaki, atau muka.
3. Adanya kuman tahan asam di dalam kultur jaringan kulit (BTA positif).

4
Gambar . Lesi kulit pada paha
Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta bilamana terdapat satu
dari tanda-tanda pokok diatas. Bila ragu-ragu orang tersebut dianggap sebagai
kasus dicurigai (suspek) dan diperiksa ulang setiap 3 bulan sampai diagnose
dapat ditegakkan kusta atau penyakit lain.

5.Cara Penularan
Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe Multi basiler
(MB) kepada orang lain dengan cara penularan langsung. Cara penularan
yang pasti belum diketahui, tetapi sebagian besar para ahli berpandapat
bahwa penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran pernafasan dan kulit
(Depkes RI, 2007). Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah,
dan tidak perlu ditakuti tergantung dari beberapa faktor antara lain :
1. Faktor Sumber Penularan.
Sumber penularan adalah penderita kusta tipe MB. Penderita MB ini pun
tidak akan menularkan kusta, apabila berobat teratur.
2. Faktor Kuman Kusta.
Kuman kusta dapat hidup diluar tubuh manusia antara 1-9 hari tergantung
pada suhu atau cuaca, dan diketahui hanya kuman kusta yang utuh (solid)
saja yang dapat menimbulkan penularan.
3. Faktor Daya Tahan Tubuh.
Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta (95 %). Dari hasil
penelitian menunjukkan gambaran sebagai berikut :
Dari 100 orang yang terpapar : 95 orang tidak menjadi sakit, 2 orang
sembuh sendiri tanpa obat, 2 orang menjadi sakit, hal ini belum lagi
memperhitungkan pengaruh pengobatan.

5
6. Penatalaksanaan
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah menyembuhkan
pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai
penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain
untuk menurunkan insidens penyakit.
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin,
klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk
mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi
ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi
persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO (
1995) sebagai berikut:

1. Tipe PB
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
a. Rifampisin 600 mg/bulan diminum di depan petugas.
b. DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah.
Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan. dan setelah selesai minum
6 dosis dinyatakan RFT (Release From Treatment = berhenti minum obat
kusta) meskipun secara klinis lesinya masih aktif. Menurut WHO (1995) tidak
lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah Completion of Treatment
Cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.

Tabel 1. Obat dan dosis regimen MDT-PB

Obat & Dosis MDT Dewasa Anak


– Kusta PB BB < 35 kg BB > 10-14 thn
35 kg
Rifampisin(diawasi 450 mg/bln 600 450
petugas) mg/bln mg/bln(12-15
mg/kgBB/bln)
Dapson(Swakelola) 50 mg/hr(1- 100 50 mg/hr(1-2
2 mg/hr mg/kgBB/hr)
mg/kgBB/hr)

6
2. Tipe MB
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
a. Rifampisin 600 mg/bulan diminum di depan petugas.
b. Klofazimin 300 mg/bulan diminum di depan petugas dilanjutkan
dengan klofazimin 50 mg/hari diminum di rumah.
c. DDS 100 mg/hari diminum di rumah.
Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan.
Sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis
lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif Menurut WHO ( 1998)
pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18
bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT.

Dosis untuk anak :


Klofazimin: Umur di bawah 10 tahun : bulanan 100 mg/bulan harian 50 mg/2
kali/minggu
Umur 11-14 tahun : bulanan 100 mg/bulan harian 50 mg/3 kali/minggu
DDS : 1 - 2 mg/kg berat badan
Rifampisin : 10-15 mg/kg berat badan

Tabel 2. Obat dan dosis regimen MDT-MB

Obat & Dosis MDT Dewasa Anak


– Kusta MB BB < 35 kg BB > 10-14 thn
35 kg
Rifampisin(diawasi 450 mg/bln 600 450
petugas) mg/bln mg/bln(12-15
mg/kgBB/bln)
Klofazimin 300 mg/bln (diawasi 200 mg/bln
petugas)dan dilanjutkan (diawasi)dan
esok dilanjutkan
esok
50 mg/hr (swakelola)
50 mg/hr
(swakelola)
Dapson(Swakelola) 50 mg/hr(1- 100 50 mg/hr(1-2
2 mg/hr mg/kgBB/hr)
mg/kgBB/hr)

7
Pengobatan MDT terbaru
Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO ( 1998),
pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 (satu) cukup diberikan dosis
tunggal rifampisin 600 mg, olloksasin 400 mg, dan minosiklin I 00 mg dan
pasien langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi
diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai obat
alternatif dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 bulan.

1.Evaluasi Pengobatan
Evaluasi pengobatan menurut Buku Panduan Pemberantasan Penyakit
Kusta Depkes ( 1999) adalah sebagai berikut:
a. Pasien PB yang telah mendapat pengobatan MDT 6 dosis dalam waktu
6 sampai 9 bulan dinyatakan RFT tanpa diharuskan menjalani
pemeriksaan laboratorium.
b. Pasien MB yang telah mendapat pengobatan MDT 24 dosis dalam
waktu 24-36 bulan dinyatakan RFT tanpa diharuskan menjalani
pemeriksaan laboratorium.
c. RFT dapat dilaksanakan setelah dosis dipenuhi tanpa diperlukan
pemeriksaan laboratorium. Dikeluarkan dari register pasien dan
dimasukkan dalam register pengamatan (surveillance) dan dapat
dilakukan oleh petugas kusta.

2.Masa Pengamatan.
Pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif :
a) Tipe PB selama 2 tahun.
b) Tipe MB selama 5 tahun tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium.

Hilang/Out of Control (OOC)


Pasien PB maupun MB dinyatakan hilang bilamana dalam 1 tahun
tidak mengambil obat dan dikeluarkan dari register pasien.
a. Relaps (kambuh)

8
Terjadi bila lesi aktif kembali setelah pernah dinyatakan sembuh atau
RFT.

7.Komplikasi
Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kusta baik akibat
kerusakan fungsi saraf tepi maupun karena neuritis sewaktu terjadi reaksi
kusta.

8.Masalah Kesehatan
Stigma masyarakat
Karena pengertian masyarakat yang keliru tentang penyakit kusta,
berkembang pendapat yang keliru tanpa pembuktian. Untuk itu kekeliruan
tersebut harus diluruskan. Tidak benar bahwa kusta adalah penyakit keturunan
atau karena guna-guna. Tidak benar juga disebutkan kusta terjadi karena
berhubungan seks saat menstruasi atau salah makan. Harus ditegaskan pada
masyarakat bahwa kusta tidak menular dan dapat disembuhkan.
Kesulitan dalam pemberantasan kusta, baik dalam pengobatan,
pencegahan dan penanganan kecacatan disebabkan masih besarnya stigma
masyarakat terhadap penderita kusta sehingga mereka menyembunyikan diri
atau dikucilkan. Sebagian besar penderita adalah dari golongan ekonomi lemah.
Dengan adanya kecacatan itu, akan memperburuk kondisi ekonominya,
kehilangan lapangan pekerjaan, kehilangan kesempatan kerja, kehilangan
kesempatan untuk bersosialisasi dengan lingkungannya.

Program Kesehatan
Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah mengeluarkan strategi global
untuk terus berupaya menurunkan beban penyakit kusta dalam: ”Enhanced
global strategy for futher reducing the disease burden due to leprosy 2011 –
2015”; dimana target yang ditentukan adalah penurunan sebesar 35% angka
cacat kusta pada akhir tahun 2015 berdasarkan data tahun 2010. Dengan
demikian, tahun 2010 merupakan tonggak penentuan pencapaian target
tersebut. Menkes menekankan bahwa penyakit kusta masih merupakan
masalah kesehatan sehingga pelu penanganan dari berbagai lintas program
9
dan lintas sektor terkait. Sektor tersebut antara lain Kementerian Sosial,
Kementerian Dalam Negeri, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas
HAM), Rumah Zakat, Persatuan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin
(Perdoski), Netherland Leprosy Relief (NLR), tim penggerak PKK Pusat,
Perhimpunan Mandiri Kusta (Permata).
Program pemerintah :
a. Tujuan :
1. Tujuan Jangka Panjang : Eradikasi Kusta di Indonesia
2. Tujuan Jangka Menengah : Menurunkan angka kesakitan kusta.
3. Tujuan Jangka Pendek :
a. Penemuan Penderita (Case Finding)
Penemuan penderita sedini mungkin sehingga propinsi cacat tingkat
dua diantara penderita baru dapat ditekan serendah mungkin.
b. Implementasi MDT.
Meningkatkan pengobatan MDT sebagai obat standar di daerah
pengembangan sehingga mancakup 100% penderita terdaftar dan
penderita baru.
c. Pembinaan pengobatan (“Case Holding”).
Agar semua penderita PB yang di MDT akan selesai pengobatannya
dalam batas waktu 9 bulan, dan semua penderita MB yang di MDT
akan selesai pengobatannya dalam batas waktu 18 bulan.
d. Mencegah cacat pada penderita yang telah terdaftaf sehingga tidak
akan terjadi cacat baru.
e. Penyuluhan kesehatan di bidang kusta.
Melakukan penyuluhan kesehatan masyarakat tentang penyakit kusta,
agar masyarakat memahami kusta yang sebenarnya dan mengurangi
leprophobia.
f. Pengawasan sesudah RFT.
Memberikan motifasi kepada semua penderita agar dating
memeriksakan dirinya setiap 3 bulan setelah selesai masa
pengobatan selama 2 tahun untuk tipe PB dan 5 tahun untuk tipe MB.
h. Melaksanakan pencatatan dan pelaporan sesuai dengan ketentuan
yang telah ditetapkan dalam memenuhi kebutuhan program.

10
b. Kebijaksanaan
1. Penderita kusta tidak boleh diisolasi.
2. Obat kusta diberikan secara cuma-cuma.
3. Regimen MDT mengikuti rekomendasi WHO.
4. Program P2 Kusta diintegrasikan kedalam sistem pelayanan
kesehatan dan rujukan.
c. Strategi
1. MDT dilaksanakan secara intensif dan extensif.
2. Meningkatkan peran serta organisasi swasta.
3. Meningkatkan peran serta lintas sektor dan kerjasama program.
4.Meningkatkan kemampuan serta ketrampilan petugas yang bertanggung
jawab.

d. Kegiatan Pemberantasan Kusta


1. Penemuan penderita.
a. Penemuan penderita secara pasif (sukarela)
Penemuan penderita yang dilakukan terhadap orang yang belum
pernah berobat kusta yang datang sendiri atau atas saran orang lain
ke Puskesmas/ sarana kesehatan lainnya. Penderita ini biasanya
sudah dalam stadium lanjut.
Faktor-faktor yang menyebabkan penderita terlambat datang berobat
ke Puskesmas/sarana kesehatan lainnya :
1. Tidak mengerti tanda dini kusta.
2. Malu datang ke Puskesmas.
3. Adanya Puskesmas yang belum siap.
4. Tidak tahu bahwa ada obat tersedian cuma-cuma di Puskesmas.
5. Jarak penderita ke Puskesmas/sarana kesehatan lainnya terlalu
jauh.
b. Penemuan penderita secara aktif
Penemuan penderita secara aktif dapat dilaksanakan dalam beberapa
kegiatan:
1. Pemeriksaan kontak serumah (survai kontak).
a. Tujuan :
11
1). Mencari penderita baru yang mungkin sudah lama ada dan
belum berobat (index case).
2). Mencari penderita baru yang mungkin ada.
b. Sasaran :
Pemeriksaan ditujukan pada semua anggota keluarga yang
tinggal serumah dengan penderita.
c. Frekwensi pemeriksaan :
Pemeriksaan dilaksanakan minimal 1 tahun sekali dimulai pada
saat anggota keluarga dinyatakan sakit Kusta pertama kali dan
perhatian khusus ditujukan pada kontak tipe MB.
d. Pelaksanaan :
1). Membawa kartu kuning (kartu penderita), dari penderita yang
sudah dicatat dan membawa kartu penderita kosong,alat-alat
untuk pemeriksaan serta obat MDT.
2). Mendatangi rumah penderita dan memeriksa semua anggota
keluarga penderita yang tercatat dalam kolom yang tersedia
pada kartu kuning.
3). Bila ditemukan penderita baru dari pemeriksaan itu maka
dibutlah kartu baru dan dicatat sebagai penderita baru, kemudian
diberikan obat MDT dosis pertama.
4). Memberikan penyuluhan kepada penderita dan semua
anggota keluarga.
5). Hasil pemeriksaan kontak dicatat pada “ Pencatatan Hasil
Penemuan Penderita ”

2. Pemeriksaan anak sekolah SD/Taman Kanak-kanak atau sederajat


disebut survei sekolah.
a. Tujuan :
1). Mendapatkan kasus baru secara dini.
2). Memberikan penyuluhan kepada murid dan guru.
b. Sasaran :
1). Semua anak SD dan sederajat.
2). Taman Kanak-kanak.
c. Frekuensi pemeriksaan
12
Pemeriksaan anak sekolah dilaksanakan 2 tahun 1 kali.
d. Pelaksanaan Pemeriksaan
Untuk melakukan survei sekolah ini perlu dibina kerjasama
dengan UKS dan guru-guru sekolah. Perlu diberikan
penyuluhan kesehatan terlebih dahulu kepada murid-murid
bertempat di lapangan upacara atau didalam suatu ruangan
yang cukup besar bila mungkin.Sesudah pemeriksaan murid-
murud kelas demi kelas, mulai dari kelas 1 dan akhirnya kelas 6,
maka diadakan penyuluhan kesehatan kepada guru-guru
bertempat di Kantor guru atau ruangan lainnya. Pada
pemeriksaan murid tersebut, bila ada yang dicurigai kusta,
dirujuk ke Puskesmas untuk pemeriksaan lebih lanjut. Jumlah
anak yang diperiksa dan penderita baru diketemukan dicatat
pada buku “Pencatatan Harian Penemuan Penderita”
3. “Chase Survey”
Maksud dari survei ini adalah mencari penderta baru dalam suatu
lingkup kecil misalnya Desa atau kelurahan sambil membina
partisipasi masyarakat.
a. Tujuan :
1). Mencari penderita baru dalam lingkup kecil.
2). Membina partisipasi masyarakat.
b. Sasaran : Desa/Kelurahan, atau unit yang lebih kecil seperti
dusun.
c. Frekwensi : 1 x setahun.
d. Pelaksanaan :
1). Persiapan.
Pimpinan Puskesmas “chusus survey” dengan Kepala Desa
atau memberitahukan dengan mengirim surat melalui Camat
untuk menentukan tanggal pelaksanaannya, sebaiknya
diadakan bersama dengan pertemuan bulanan desa, atau
kegiatan lain.
2). Pelaksanaan.
Pertemuan (Penyuluhan Kesehatan) diadakan sesuai dengan
tanggal yang telah ditetapkan dan dipimpin oleh Kepala Desa.
13
Sesudah beberapa hari kemudian, sesuai dengan waktu yang
ditetapkan maka diadakan pemeriksaan terhadap suspek.
Bila ditemukan penderita baru dibuatkan kartu dan diberi
pengobatan serta penyuluhan kesehatan yang lebih dalam
terhadap penyakitnya. Kartu penderita diisi dengan lengkap.
Bilamana dari suspek yang tercatat belum dapat diperiksa,
maka nama suspek tersebut dicatat oleh petugas kesehatan
dan direncanakan akan diperiksa Puskesmas.

4. Survai Khusus.
a. Survai Fokus :
Dilakukan pada suatu lingkup kecil misalnya suatu RT, dimana
proporsi penderita baru MB minimal 60% dan dijumpai penderita
usia muda cukup tinggi.
Caranya :
Terlebih dahulu didaftarkan nama penduduk RT menurut
keluarga mulai dari kepala keluarga dan kemudian diperiksa
rumah demi rumah yang alpa dicari untuk diperiksa. Survai
Fokus ini dilakukan satu kali saja kalau perlu diulang di tahun-
tahun kemudian.
b. Random Sample Survay (Survay Prevalensi).
Survai ini dilakukan sesuai perancanaan danpetunjuk dari Pusat
sesudah diadakan “set-up” secara statistik oleh ahli statistik
WHO atau yang ditunjuk Depkes. Survei ini dilaksanakan dengan
timyang tetap dan dipimpin oleh seorang yang telah
berpengalaman di bidang kusta.

14
9. Konsep Pencegahan Penyakit Kusta
 Pencegahan primer
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan :
a. Penyuluhan kesehatan
Pencegahan primer dilakukan pada kelompok orang sehat yang belum
terkena penyakit kusta dan memiliki resiko tertular karena berada disekitar
atau dekat dengan penderita seperti keluarga penderita dan tetangga
penderita, yaitu dengan memberikan penyuluhan tentang kusta. Penyuluhan
yang diberikan petugas kesehatan tentang penyakit kusta adalah proses
peningkatan pengetahuan, kemauan dan kemampuan masyarakat yang
belum menderita sakit sehingga dapat memelihara, meningkatkan dan
melindungi kesehatannya dari penyakit kusta. Sasaran penyuluhan penyakit
kusta adalah keluarga penderita, tetangga penderita dan masyarakat
(Depkes RI, 2006).

b. Pemberian imunisasi
Sampai saat ini belum ditemukan upaya pencegahan primer penyakit kusta
seperti pemberian imunisasi (Saisohar,1994). Dari hasil penelitian di Malawi
tahun 1996 didapatkan bahwa pemberian vaksinasi BCG satu kali dapat
memberikan perlindungan terhadap kusta sebesar 50%, sedangkan
pemberian dua kali dapat memberikan perlindungan terhadap kusta
sebanyak 80%, namun demikian penemuan ini belum menjadi kebijakan
program di Indonesia karena penelitian beberapa negara memberikan hasil
berbeda pemberian vaksinasi BCG tersebut (Depkes RI, 2006).

 Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan :
a) Pengobatan pada penderita kusta
Pengobatan pada penderita kusta untuk memutuskan mata rantai penularan,
menyembuhkan penyakit penderita, mencegah terjadinya cacat atau
mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan.
Pemberian Multi drug therapy pada penderita kusta terutama pada tipe
Multibaciler karena tipe tersebut merupakan sumber kuman menularkan
kepada orang lain (Depkes RI, 2006).
15
 Pencegahan tertier
a. Pencegahan cacat kusta
Pencegahan tersier dilakukan untuk pencegahan cacat kusta pada penderita.
Upaya pencegahan cacat terdiri atas (Depkes RI, 2006) :
 Upaya pencegahan cacat primer meliputi penemuan dini penderita
sebelum cacat, pengobatan secara teratur dan penangan reaksi untuk
mencegah terjadinya kerusakan fungsi saraf.
 Upaya pencegahan cacat sekunder meliputi perawatan diri sendiri untuk
mencegah luka dan perawatan mata, tangan, atau kaki yang sudah
mengalami gangguan fungsi saraf.
b. Rehabilitasi kusta
Rehabilitasi merupakan proses pemulihan untuk memperoleh fungsi
penyesuaian diri secara maksimal atas usaha untuk mempersiapkan
penderita cacat secara fisik, mental, sosial dan kekaryaan untuk suatu
kehidupan yang penuh sesuai dengan kemampuan yang ada padanya.
Tujuan rehabilitasi adalah penyandang cacat secara umum dapat
dikondisikan sehingga memperoleh kesetaraan, kesempatan dan integrasi
sosial dalam masyarakat yang akhirnya mempunyai kualitas hidup yang lebih
baik (Depkes RI, 2006). Rehabilitasi terhadap penderita kusta meliputi :
 Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk
mencegah terjadinya kontraktur.
 Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan
agar tidak mendapat tekanan yang berlebihan.
 Bedah plastik untuk mengurangi perluasan infeksi.
 Terapi okupsi (kegiatan hidup sehari-hari) dilakukan bila gerakan
normal terbatas pada tangan.
 Konseling dilakukan untuk mengurangi depresi pada penderita cacat.

16
10.Kelompok berisiko

Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal di daerah
endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang tidak memadai, air
yang tidak bersih, asupan gizi yang buruk, dan adanya penyertaan penyakit lain
seperti HIV yang dapat menekan sistem imun. Pria memiliki tingkat terkena kusta
dua kali lebih tinggi dari wanita.

11. Peran Perawat


1. Care Giver
Peran perawat sebagai care giver dilakukan dengan memberikan
pelayanan kepada penderita kusta dan keluarga dalam bentuk promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif. Salah satu bentuk kegiatannya adalah
dengan mencegah terjadinya kecacatan akibat penyakit kusta dan
mengadakan penyuluhan-penyuluhan untuk menekan endemis penyakit
kusta.
2. Advokat
Peran perawat sebagai advokat adalah dengan memberikan
perlindungan kepada penderita kusta dan keluarga. Contoh pelaksanaan
peran advokat adalah memastikan bahwa penderita kusta mendapatkan obat
sesuai dengan jadwal dan jenis pengobatannya.
3. Edukator
Perawat memainkan peran sebagai pemberi health education dalam
bentuk penyuluhan yang berisi tentang pemahaman instruksi pengobatan
pada penderita kusta. Karena selama ini fenomena yang ditemukan di
masyarakat adalah banyaknya penderita kusta yang putus pengobatan atau
drop out dengan alasan bahwa obat-obatan yang dikonsumsi terlalu banyak
dan lamanya pengobatan. Para penderita kusta harus mengkonsumsi 6 dosis
obat untuk penderita tipe Pausi Basiller (PB) dan12 dosis multi basiller (MB),
dalam kurun waktu untuk PB 6-9 bulan dan untuk MB 12-18 bulan (Dit Jen
PPM & PL, 2002). Kebanyakan dari mereka berpendidikan rendah, selain itu
kualitas interaksi dengan perawat juga belum terjalin dengan baik, mereka
cenderung takut untuk bertanya. Dari kurangnya pengetahuan, kualitas

17
interaksi yang belum terjalin dengan baik maka motivasi penderita kusta untuk
melakukan pengobatan kurang bahkan memilih untuk drop out dari
pengobatan. Sehingga diharapkan peran perawat lebih dimaksimalkan, salah
satunya adalah dengan memotivasi penderita untuk terus melakukan
pengobatan sampai tuntas serta mengarahkan keluarga pasien untuk selalu
memantau dalam hal peraturan mengkonsumsi obat.

18
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Penyakit kusta adalah penyakit menular yang menahun dan disebabkan oleh
kuman kusta (Mycobacterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan
jaringan tumbuh lainnya.Penyebab penyakit kusta adalah kuman kusta, yang
berbentuk batang dengan ukuran panjang 1–8 mic, lebar 0,2–0,5 mic biasanya
berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel dan bersifat tahan
asam (BTA). Penyakit kusta diklasifikasikan menjadi dua, yaitu tipe pausi basiler
(PB), dan multi basiler (MB).
Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah tergantung dari
beberapa faktor antara lain faktor sumber penularan, faktor kuman kusta, dan
faktor daya tahan tubuh.
Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta bilamana terdapat kelainan
kulit/lesi yang hypopigmentasi atau kemerahan dengan hilang/mati rasa yang
jelas, kerusakan dari syaraf tepi, yang berupa hilang/mati rasa dan kelemahan
otot tangan, kaki, atau muka, dan adanya kuman tahan asam di dalam kultur
jaringan kulit (BTA positif).
Pemerintah Indonesia telah membuat program dan kebijakan untuk
mengatasi penyebaran kusta dimasyarakat. Program-program tersebut terdiri dari
berbagai kegiatan, kegiatan tersebut diantaranya adalah penemuan penderita,
pemberian obat, pembinaan pengobatan, penyuluhan kesehatan serta pencatatan
dan pelaporan
4.2 Saran
1. Makalah ini dapat digunakan sebagai salah satu masukan dalam rangka
meningkatkan program pemerintah dalam usaha pemberantasan penderita
kusta sehingga penyakit kusta dapat dibasmi secara tuntas.
2. Makalah ini dapat digunakan sebagai masukan untuk mengetahui apa saja
faktor-faktor yang menyebabkan sulitnya pemberantasan penyakit kusta.
3. Perawat semakin memaksimalkan perannya untuk membantu upaya
pemberantasan penyakit kusta.

19
Daftar Pustaka
Anonim.2009. Penatalaksanaan kusta di Indonesia. Disitasi dari
https://pramareola14.wordpress.com/2009/12/09/penatalaksanaan-kusta-di
indonesia/. Diakses pada 17 Januari 20167 jam 13.40 wita.

Depkes, 1998, Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta, Cetakan ke-XII,


Depkes Jakarta.

Departemen Kesehatan RI Dirjen P2M dan PLP, 1996, Buku Pedoman


Pemberantasan Penyakit Kusta, Jakarta.

Mansjoer, Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Ed. III, media Aeuscualpius,
Jakarta.

Yayan, M. 2011. Askep Klien dengan Penyakit Kusta. Disitasi dari


http://yayannerz.blogspot.com/2011/03/askep-klien-dengan-penyakit-
kusta.html. Diakses pada 17 Januari 2016 jam 14.05 wita.

_____, http://www.kabarmadura.com/jumlah-penderita-kusta-di-jatim-tertinggi.html.
diakses tanggal 17 Januari 2016 pukul 19.42 wita.

_____, http://us.surabaya.detik.com/read/2011/02/02/102259/1558723/466/30-
persen-penderita-kusta-didominasi-warga-jatim?881104465. diakses tanggal
17 januari 2016 pukul 19.25 wita

_____,http://hanyaberita.com/penderita-lepra-di-indonesia-terbesar-ke-3-di-
dunia/1936/. diakses tanggal 17 oktober 2016 pukul 20.02 wita.

_____,http://koran.republika.co.id/berita/35129/Jumlah_Penderita_Kusta_di_Indones
ia_Cenderung_Naik. Diakses tanggal 17 Januari 2016 pukul 19.00 wita.

_____,http://us.health.detik.com/read/2011/04/07/171659/1611158/763/penderita-
lepra-di-indonesia-nomer-tiga-di-dunia?ld991103763. Diakses tanggal 17
Januari 2016 pukul 19.00 wita.

20
21

Anda mungkin juga menyukai