Anda di halaman 1dari 16

3B.

KLASIFIKASI LEPRA

Terdapat banyak jenis klasifikasi penyakit kusta diantaranya adalah


klasifikasi Madrid, klasifikasi Ridley-Jopling, dan klasifikasi menurut
WHO.1
A. Klasifikasi Internasional: klasifikasi Madrid (1953)

Pada klasifikasi ini penyakit kusta dibagi atas Indeterminate


(I), Tuberculoid (T), Borderline-Dimorphous (B), Lepromatous (L).
Klasifikasi ini merupakan klasifikasi paling sederhana berdasarkan
manifestasi klinis, pemeriksaan bakteriologis, dan pemeriksaan
histopatologi, sesuai rekomendasi dari International Leprosy
Association di Madrid tahun 1953.1
B. Klasifikasi Ridley-Jopling (1966)
Pada klasifikasi ini penyakit kusta adalah suatu spektrum klinis
mulai dari daya kekebalan tubuhnya rendah pada suatu sisi sampai
mereka yang memiliki kekebalan yang tinggi terhadap M.leprae di sisi
yang lainnya. Kekebalan seluler (cell mediated imunity = CMI)
seseorang yang akan menentukan apakah dia akan menderita kusta
apabila individu tersebut mendapat infeksi M.leprae dan tipe kusta yang
akan dideritanya pada spektrum penyakit kusta. Sistem klasifikasi ini
banyak digunakan pada penelitian penyakit kusta, karena bisa
menjelaskan hubungan antara interaksi kuman dengan respon
imunologi seseorang, terutama respon imun seluler spesifik.2
Kelima tipe kusta menurut Ridley-Jopling adalah tipe
Lepromatous (LL), tipe Borderline Lepromatous (BL), tipe Mid-
Borderline (BB), tipe Borderline Tuberculoid (BT), dan tipe
Tuberculoid (T). 2
Tipe I tidak termasuk dalam spektrum. Tipe TT adalah tipe
tuberculoid polar yaitu tuberculoid 100% yang merupakan tipe stabil
sehingga tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga dengan tipe LL yang
merupakan tipe lepromatosa polar, yaitu lepramatosa 100%,
mempunyai sifat stabil dan tidak mungkin berubah lagi. BB merupakan
tipe campuran yang terdiri atas 50% tuberculoid dan 50% lepromatosa.
Pada tipe BT lebih banyak tuberculoid, sedangkan pada tipe BL lebih
banyak lepromatosa. Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang labil yang
berarti bahwa dapat dengan bebas beralih tipe, baik ke arah tipe TT
maupun tipe LL.3

C. Klasfikasi menurut WHO

Pada tahun 1982, WHO mengembangkan klasifikasi untuk


memudahkan pengobatan di lapangan. Dalam klasifikasi ini seluruh
penderita kusta hanya dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe Pausibasiler (PB)
dan tipe Multibasiler (MB). 4

1) Lepra tipe PB ditemukan pada seseorang dengan Sistem Imun


Seluler (SIS) baik. Pada tipe ini berarti mengandung sedikit
kuman yaitu tipe TT, tipe BT dan tipe I. Pada klasifikasi
Ridley-Jopling dengan Indeks Bakteri (IB) kurang dari 2+.

2) Lepra tipe MB ditemukan pada seseorang dengan SIS yang


rendah. Pada tipe ini berarti bahwa mengandung banyak
kuman yaitu tipe LL, tipe BL dan tipe BB. Pada klasifikasi
Ridley-Jopling dengan Indeks Bakteri (IB) lebih dari 2+.
Berkaitan dengan kepentingan pengobatan pada tahun 1987 telah
terjadi perubahan yaitu lepra PB adalah lepra dengan BTA negatif pada
pemeriksaan kerokan jaringan kulit, yaitu tipe I, tipe TT dan tipe BT
menurut klasifikasi Ridley-Jopling. Apabila pada tipe-tipe tersebut disertai
BTA positif maka akan dimasukkan kedalam lepra tipe MB. Sedangkan
lepra tipe MB adalah semua penderita lepra tipe BB, tipe BL dan tipe LL
atau apapun klasifikasi klinisnya dengan BTA positif, harus diobati
dengan regimen MDT (Multi Drug Therapy)-MB.5

Sampai saat ini Departemen Kesehatan Indonesia menerapkan


klasifikasi menurut WHO sebagai pedoman pengobatan penderita kusta.
Dasar dari klasifikasi ini berdasarkan manifestasi klinis dan hasil
pemeriksaan bakteriologi.5
Tabel 1. Pedoman utama dalam menentukan klasifikasi / tipe penyakit kusta
menurut WHO (1982).5
Tanda utama Pausibasiler (PB) Multibasiler
(MB)
Bercak kusta. Jumlah 1 sampai Jumlah lebih dari
dengan 5 5
Penebalan saraf tepi yang disertai Hanya satu saraf Lebih dari satu
dengan gangguan fungsi saraf
(gangguan fungsi bisa berupa
kurang/mati rasa atau kelemahan
otot yang dipersarafi oleh saraf
yang
bersangkutan.
Pemeriksaan bakteriologi. Tidak dijumpai Dijumpai basil
basil tahan asam tahan asam
(BTA negatif) (BTA positif)

Tabel 2. Tanda lain yang dapat dipertimbangkan dalam penentuan klasifikasi


menurut WHO (1982) pada penderita kusta.5
Kelainan kulit dan hasil Pausibasiler Multibasiler (MB)
pemeriksaan (PB)
1. Bercak (makula) mati rasa
a. Ukuran Kecil dan besar Kecil-kecil
b. Distribusi Unilateral atau Bilateral simetris
bilateral asimetris

c. Konsistensi Kering dan kasar Halus, berkilat

d. Batas Tegas Kurang tegas


e. Kehilangan rasa Selalu ada dan Biasanya tidak jelas,
pada bercak tegas jika ada, terjadi pada
yang sudah lanjut
f. Kehilangan Selalu ada dan Biasanya tidak jelas, jika
kemampuan jelas ada, terjadi pada yang
berkeringat, sudah lanjut
rambut rontok
pada bercak
2. Infiltrat
a. Kulit Tidak ada Ada, kadang-kadang
tidak ada
b. Membran mukosa Tidak pernah Ada, kadang-kadang
ada tidak ada
c. Ciri-ciri Central healing - Punched out
lession
- Madarosis
- Ginekomasti
- Hidung pelana
- Suara sengau
d. Nodulus Tidak ada Kadang-kadang ada
e. Deformitas Terjadi dini Biasanya asimetris

4B. TERANGKAN DAN PENATALAKSANAAN FLUOR ALBUS


Keputihan atau fluor albus atau leukorea atau vaginal discharge merupakan
istilah yang menggambarkan keluarnya cairan dari organ genitalia atau vagina yang
berlebihan dan bukan darah.6 Keputihan adalah cairan bukan darah yang keluar di
luar biasanya dari liang vagina baik berbau atau tidak, serta disertai adanya rasa
gatal setempat.7
A. Etiologi
Berdasarkan penyebab terjadinya keputihan terbagi menjadi dua macam, yaitu:8

a. Keputihan Fisiologis

Keputihan fisiologis merupakan cairan yang terkadang berupa lendir


atau mukus dan mengandung banyak epitel dengan leukosit yang jarang,
sedangkan keputihan patologis banyak mengandung leukosit. Keputihan
fisiologis terjadi pada perubahan hormon saat masa menjelang dan sesudah
menstruasi, sekitar fase sekresi antara hari ke 10-16 siklus menstruasi, pada
saat terangsang, hamil, kelelahan, stres, dan sedang mengkonsumsi obat-
obat hormonal seperti pil KB, serta atrofi vulvovagina (hipoestrogenisme)
pada menopause.
b. Keputihan Patologis

Merupakan cairan eksudat dan mengandung banyak leukosit. Cairan


ini terjadi akibat reaksi tubuh terhadap luka (jejas). Luka (jejas) ini dapat
diakibatkan oleh infeksi mikroorganisme seperti jamur (Candida albicans),
parasit (Trichomonas), bakteri (E.coli, Staphylococcus, Treponema
pallidum). Keputihan patologis juga dapat terjadi akibat benda asing yang
tidak sengaja atau sengaja masuk ke dalam vagina, neoplasma jinak, lesi,
prakanker, dan neoplasma ganas. Keputihan patologis dapat disebabkan
beberapa hal berikut ini, yaitu :

1. Infeksi

1) Infeksi Jamur

Infeksi jamur terjadi jika ada kelainan flora vagina


(misalnya penurunan laktobasil) dan 80-95% disebabkan oleh
Candida albicans. Gejala yang biasanya muncul adalah
keputihan kental seperti keju, bewarna putih susu, rasa gatal, dan
sebagian melekat pada dinding vagina akibatnya terjadi
kemerahan dan pembengkakan pada mulut vagina. Infeksi
kandida tidak dianggap sebagai penyakit menular seksual dan
dapat timbul pada wanita yang belum menikah. Kelompok
resiko khusus yang rentan mengalami kandidiasis adalah
penderita diabetes mellitus, pengguna kontrasepsi oral, pemakai
antibiotika dan obat kortikosteroid yang lama, dan wanita hamil.
Selain itu, keputihan yang disebabkan kandida bisa disebabkan
menurunnya kekebalan tubuh seperti penyakit- penyakit
kronis, serta memakai pakaian dalam yang ketat dan terbuat dari
bahan yang tidak menyerap keringat.
2. Bakteri

1) Gardnerella vaginalis

Bakteri ini terdapat kira-kira 30% dalam flora vagina wanita


normal. Mikroorganisme ini merupakan bakteri batang gram
negatif yang biasanya ditemukan bersamaan dengan bakteri
anaerob (misalnya Bakteriodes dan Peptokokus). Bakteri ini
menyebabkan peradangan vagina tidak spesifik, biasanya
membentuk clue cell (bakteri yang mengisi penuh sel-sel epitel
vagina). Menghasilkan asam amino yang akan diubah menjadi
senyawa amin, berbau amis, dan bewarna keabu-abuan. Gejala
yang ditimbulkan ialah fluor albus yang berlebihan dan berbau
disertai rasa tidak nyaman di perut bagian bawah.
2) Gonokokus
Penyakit ini disebut juga dengan Gonorrhoe yang
disebabkan oleh bakteri Neisseria gonorrhoe dan sering terjadi
akibat hubungan seksual. Gejala yang ditimbulkan ialah
keputihan yang bewarna kekuningan atau nanah dan rasa nyeri
saat berkemih.
3) Klamidia trakomatis
Disebabkan oleh bakteri intraseluler obligat, Chlamydia
trachomatis dan sering menyebabkan penyakit mata trakoma dan
menjadi penyakit menular seksual. Infeksi biasanya ditandai
dengan munculnya keputihan mukopurulen, seringkali berbau
dan gatal. Organisme ini paling baik dideteksi dengan asam amino
terkait enzim dalam uji antibodi monoklonal terkonjugasi dengan
floresen.
3. Parasit
Parasit yang sering menyebabkan keputihan adalah Trichomonas
vaginalis. Trikomonas berbentuk seperti buah pir, terdapat flagela
uniseluler dapat diamati bergerak di sekitar daerah yang berisi banyak
leukosit pada sediaan basah. T. Vaginalis hampir selalu merupakan
infeksi
yang ditularkan secara seksual. Sumber kuman seringkali berasal
dari pria dan terdapat di bawah preputium atau dalam uretra atau uretra
bagian prostat. Tetapi penularan trikomonas dapat juga melalui pakaian,
handuk, atau karena berenang. Gejala yang ditimbulkan ialah fluor albus
yang encer sampai kental, bewarna kuning kehijauan, dan kadang-kadang
berbusa disertai bau busuk, serta terasa gatal dan panas.
4. Virus
Keputihan akibat infeksi virus juga sering ditimbulkan penyakit
kelamin, seperti kondiloma, herpes, HIV/AIDS. Kondiloma ditandai
tumbuhnya kutil-kutil yang sangat banyak dan sangat berbau. Sedangkan
infeksi virus herpes bentuknya seperti luka melepuh, terdapat di
sekeliling liang vagina, mengeluarkan cairan gatal, dan terasa panas.
Infeksi virus dapat memicu terjadinya kanker mulut rahim.
5. Kelainan alat kelamin didapat atau bawaan
Seperti pada fistel vesikovaginalis atau rektovaginalis akibat cacat
bawaan, cedera persalinan dan radiasi.
6. Benda asing
Misalnya tertinggalnya kondom, pesarium pada penderita hernia
atau prolaps uteri dapat merangsang sekret vagina berlebihan.
7. Neoplasma jinak dan kanker
Pada neoplasma jinak maupun ganas dapat ditemukan leukorea atau
keputihan bila permukaan sebagian atau seluruhnya memasuki lumen
saluran alat genitalia. Gejala yang ditimbulkan ialah cairan yang banyak,
berbau busuk disertai darah tak segar.
8. Menopause
Kadar hormon estrogen pada saat menopause menurun sehingga
vagina kering dan mengalami penipisan, ini mengakibatkan mudah luka
dan disertai infeksi.
9. Fisik
Akibat penggunaan alat kontrasepsi IUD (intra uterine device),
trauma pada genitalia, dan pada pemakaian tampon.

10. Iritasi

1) Sperma, pelicin, kondom

2) Sabun cuci dan pelembut pakaian

3) Deodorant dan sabun

4) Cairan antiseptik untuk mandi

5) Pembersih vagina

6) Kertas tisu toilet yang tidak bewarna

7) Celana yang ketat dan tidak menyerap keringat

B. Patogenesis
Fluor albus merupakan keadaan yang terjadi secara fisiologis dan dapat
menjadi fluor albus yang patologis karena terinfeksi kuman penyakit. Sekresi
vagina fisiologis terdiri atas lendir serviks (transudat dari epitel skuamos vagina)
dan sel skuamos vagina yang terkelupas.9 Suasana area vagina normal ditandai
dengan adanya hubungan dinamis antara Lactobacillus acidophilus (flora normal)
dengan flora endogen lainnya, estrogen, glikogen, pH vagina, dan metabolit
lainnya. Lactobacillus acidophilus menghasilkan endogen peroksida yang bersifat
toksik terhadap bakteri patogen. Adanya pengaruh estrogen pada epitel vagina,
produksi glikogen, laktobasilus (Döderlein) dan produksi asam laktat mengatur pH
vagina sekitar 3,8-4,5 yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri lainnya.8 Pada
kondisi tertentu, pH vagina bisa lebih tinggi atau lebih rendah dari normal. Jika pH
vagina naik (lebih basa) mengakibatkan kuman penyakit mudah berkembang dan
hidup subur serta menginfeksi vagina.10
C. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu:

1. Pemeriksaan spesimen basah yaitu dengan melakukan pemeriksaan swab


vagina dan ditetesi dengan NaCl 0,9% dan atau KOH 10% kemudian dilihat
di bawah mikroskop.8
2. Pemeriksaan sampel urin

3. Sitologi atau kultur sekret vagina

4. Kultur urin untuk melihat adanya infeksi bakteri

5. Pewarnaan gram

6. Test Amin/Whiff test

7. Penilaian pH cairan vagina

8. PCR (Polymerase Chain Reaction) dan Ligase Chain Reaction

9. Pap Smear
D. Penatalaksanaan Fluor albus
Apabila Fluor albus yang dialami adalah yang fisiologik tidak perlu
pengobatan, cukup hanya menjaga kebersihan pada bagian kemaluan. Apabila
Fluor albus yang patologik, sebaiknya segera melakukan pemeriksaan, tujuannya
menentukan letak bagian yang sakit dan dari mana Fluor albus itu berasal.
Melakukan pemeriksaan dengan menggunakan alat tertentu akan lebih
memperjelas. Kemudian merencanakan pengobatan setelah melihat kelainan yang
ditemukan. Fluor albus yang patologik yang paling sering dijumpai yaitu Fluor
albus yang disebabkan Vaginitis, Candidiasis, dan Trichomoniasis.
1) Terapi farmakologi
Pengobatan Fluor albus yang disebabkan oleh Candidiasis dapat
diobatidengan anti jamur atau krim. Biasanya jenis obat anti jamur yang
sering digunakan adalah Imidazol yang disemprotkan dalam vagina
sebanyak 1 atau 3 ml. Ada juga obat oral anti jamur yaitu ketocinazole
dengan dosis 2x1 hari selama 5 hari. Apabila ada keluhan gatal dapat
dioleskan salep anti jamur.11
Pengobatan Fluor albus yang disebabkan oleh Trichomoniasis
mudah dan efektif yaitu setelah dilakukan pemeriksaan dapat diberikan
tablet metronidazol (Flagy) atau tablet besarTinidazol (fasigin) dengan
dosis 3x1 hari selama 7-10 hari. Pengobatan Fluor albus (Fluor albus)
yang disebabkan oleh vaginitis sama denganpengobatan infeksi
Trichomoniasis yaitu dengan memberikan metronidazol atau Tinidazol
dengan dosis 3x1 selama 7- 10 hari. Pengobatan kandidiasis vagina
dapat dilakukan secara topikal maupun sistemik.12
Obat anti jamur tersedia dalam berbagai bentuk yaitu: gel, krim,
losion, tablet vagina, suppositoria dan tablet oral. Nama obat adalah
sebagai berikut: (1) Derivat Rosanillin, Gentian violet 1-2 % dalam
bentuk larutan atau gel, selama 10 hari. (2) Povidone – iodine,
Merupakan bahan aktif yang bersifat antibakteri maupun anti jamur. (3)
Derivat Polien; Nistatin 100.000 unit krim/tablet vagina selama 14 hari.
Nistatin 100.000 unit tablet oral selama 14 hari. (4) Drivat Imidazole:
Topical( Mikonazol : 2% krim vaginal selama 7 hari, 100 mg tablet
vaginal selama 7 hari, 200 mg tablet vaginal selama 3 hari, 1200 mg
tablet vaginal dosis tunggal.12
Ekonazol 150 mg tablet vaginal selama 3 hari. Fentikonazol 2%
krim vaginal selama 7 hari, 200 mg tablet vaginal selama 3 hari, 600 mg
tablet vaginal dosis tunggal. Tiokonazol 2% krim vaginal selama 3 hari,
6,5 % krim vaginal dosis tunggal. Klotrimazol 1% krim vaginal selama
7 – 14 hari, 10% krim vaginal sekali aplikasi, 100 mg tablet vaginal
selama 7 hari, 500 mg tablet vaginal dosis tunggal. Butokonazol 2%
krim vaginal selama 3 hari. Terkonazol 2% krim vaginal selama 3
hari).Sistemik ( Ketokanazol 400 mg selama 5 hari. Trakanazol 200 mg
selama 3 hari atau 400 mg dosis tunggal. Flukonazol 150 mg dosis
tunggal.12
2) Terapi Nonfarmakologi
a. Perubahan Tingkah Laku
Fluor albus yang disebabkan oleh jamur lebih cepat
berkembang dilingkungan yang hangat dan basah maka untuk
membantu penyembuhan menjaga kebersihan alat kelamin dan
sebaiknya menggunakan pakaian dalam yang terbuat dari katun
serta tidak menggunakan pakaian dalam yang ketat
(Jones,2005). Fluor albus bisaditularkan melalui hubungan
seksual dari pasangan yang terinfeksi oleh karena itu sebaiknya
pasangan harus mendapat pengobatan juga.1
b. Personal Hygiene
Memperhatikan personal hygiene terutama pada bagian alat
kelamin sangatmembantu penyembuhan, dan menjaga tetap
bersih dan kering, seperti penggunaan tisu basah atau produk
panty liner harus betul-betul steril. Bahkan, kemasannya pun
harus diperhatikan. Jangan sampai menyimpan sembarangan,
misalnya tanpa kemasan ditaruh dalam tas bercampur dengan
barang lainnya. Karena bila dalam keadaan terbuka, bisa saja
panty liner atau tisu basah tersebut sudah terkontaminasi.
Memperhatikan kebersihan setelah buang air besar atau kecil.
Setelah bersih, mengeringkan dengan tisu kering atau handuk
khusus. Alat kelamin jangan dibiarkan dalam keadaan lembab.1
Daftar Pustaka

1. Djuanda et al. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: FKUI. 2011.
2. Lastoria JC. Leprosy: review of the epidemiological, clinical, and
etiopathogenic aspects - Part 1. An Bras Dermatol. 2014 Mar-Apr; 89(2):
205–218.
3. Amiruddin MD. Penyakit Kusta Sebuah Pendekatan Klinis. Surabaya : Brilian
Internasional. 2012.
4. World Health Organization. Weekly epidemiological record 2012;34:317- 28
5. WHO (2012). Leprosy. http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs101/en/ di
akses 11 Desember 2019.
6. Sibagariang E . Kesehatan Reproduksi Wanita. Jakarta : TIM. 2010.
7. Kusmiran E. Kesehatan Reproduksi Remaja dan Wanita, Jakarta : Salemba
Medika. 2011
8. Monalisa, Bubakar, A Rahman. Clinical Aspects Fluor Albus Of Female And
Treatment Vol.1 No.1 2012. Universitas Hasanuddin/Rumah Sakit Wahidin
Sudirohusodo Makassar diakses 11 Desember 2019.
9. Benson, P & Pernoll. Buku saku Obsetry Gynecology William. Jakarta EGC. 2009.
10. Hollingworth T. Diagnosis Banding Dalam Obstetri Dan Ginekologi. EGC.
Jakarta. 2012.
11. Mayer FL et al. Inciden Of Candidiasis And Trichomoniasis In Leucorrhoea
patients. 2013. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3654610/
12. Panda S et al. Inciden Of Candidiasis And Trichomoniasis In Leucorrhoea Patients
Vol. 5 Issue 3. International Journal Of Current Research And Review (IJCRR).
Indian. Radiance Research Academy. 2013. http//ijcrr.com/archive.html

Anda mungkin juga menyukai